Rumusan Masalah
Tujuan
PEMBAHASAN
1. Materialisme
Menurut pandangan ini, pada hakekatnya manusia nantinya adalah benda, seperti halnya kayu
atau batu. Para meterialis memang tidak mengatakan bahwa manusia sama dengan benda,
tapi mereka mengatakan bahwa pada akhirnya, pada prinsipnya,Pada akhirnya, pada instansi
yang terakhir manusia adalah sesuatu yang material. Namun Manusia memang lebih unggul
daripada hewan, namun pada eksistensinya manusia sama dengan hewan.
Idealisme
Aliran ini memandang manusia sebagai subjek,hanya sebagai kesadaran, menempatkan aspek
berfikir dan kesadaran secara berlebihan sehingga menjadi seluruh manusia bahkan di lebih
lebihkan lagi sampai tidak ada barang selain pikiran.
Eksistensialisme juga karena adanaisi dunia barat yang tidak menentu. Penampilan manusia
saat itu penuh rahasia, peru- pura, kebencian merajalela, nilai sedang mengalami krisis,
bahkan manusia juga krisis. dan agama sudah tidak memberikan makna pada kehidupan.[3]
D.Tokoh Eksistensialisme
Karl Jaspers
Martin Heidegger
Pemikirannya adalah manusi sebagai subjek atau objek dari segala masalah yang ada,
semuanya di kembalikan pada pemikiran manusia.
manusia yang berinteraksi adalahmakhluk yang hidup dan berada dengan sadar dan bebas
bagi diri sendiri.ia mengatakan bahwa manusia ida memiliki apapun namun ia dapat
membuat sesuatu bagi dirinya sendiri. Menurutnya manusia tidak hanya ada namun
selamanya dia harus membangun adanya, adanya harus di bentuk dengan tidak henti
hentinya.
Soren Aabye
Mengedepankan teori bahwa eksistensi manusia bukanlah sesuatu yang kaku dan statis tetapi
senantiasa terbentuk, manusia juga senantiasa melakukan upaya dari sebuah hal yang sifatnya
hanya sebagai spekulasi menuju suatu yang nyata dan pasti, seperti upaya mereka untuk
menggapai cita-citanya pada masa depan.
Eksistensialisme berarti filsafat mengenai aku, mengenai bagaimana aku hidup. Dengan
demikian eksistensialisme adalah filsafat subjektif mengenai diri sendiri. Manusia disini di
pandang sebagai makhluk yang harus aktif. Eksistensialisme di definisikan sebagaiusaha
untuk memfilsafatkan sesuatu dari sudut pandang pelakunya. Dan memberi perhatian
terhadap masalah manusia modern.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
http://adipustakawan01.blogspot.com/2013/06/aliran-eksistensialisme.html.
http://didanel.wordpress.com/2011/06/09/eksistensialisme
[2] http://adipustakawan01.blogspot.com/2013/06/aliran-eksistensialisme.html.
[3] ibid
[4] http://didanel.wordpress.com/2011/06/09/eksistensialisme
FILSAFAT EKSISTENSIALISME
FILSAFAT EKSISTENSIALISME
Kata dasar eksistensi (existency) adalah exist yang berasal dari bahasa Latin ex yang berarti
keluar dan sistere yang berarti berdiri. Jadi, eksistensi adalah berdiri dengan keluar dari diri
sendiri. Artinya dengan keluar dari dirinya sendiri, manusia sadar tentang dirinya sendiri; ia
berdiri sebagai aku atau pribadi. Pikiran semacam ini dalam bahasa Jerman disebut dasein (da
artinya di sana, sein artinya berada).[2]
Dari uraian di atas dapat diambil pengertian bahwa cara berada manusia itu menunjukkan
bahwa ia merupakan kesatuan dengan alam jasmani, ia satu susunan dengan alam jasmani,
manusia selalu mengkonstruksi dirinya, jadi ia tidak pernah selesai. Dengan demikian,
manusia selalu dalam keadaan membelum; ia selalu sedang ini atau sedang itu.[3]
Untuk lebih memberikan kejelasan tentang filsafat eksistensialisme ini, perlu kiranya
dibedakan dengan filsafat eksistensi. Yang dimaksud dengan filsafat eksistensi adalah benar-
benar seperti arti katanya, yaitu filsafat yang menempatkan cara wujud manusia sebagai tema
sentral.[4] Sedangkan filsafat eksistensialisme adalah aliran filsafat yang menyatakan bahwa
cara berada manusia dan benda lain tidaklah sama. Manusia berada di dunia; sapi dan pohon
juga. Akan tetapi cara beradanya tidak sama. Manusia berada di dalam dunia; ia mengalami
beradanya di dunia itu; manusia menyadari dirinya berada di dunia. Manusia menghadapi
dunia, menghadapi dengan mengerti yang dihadapinya itu. Manusia mengerti guna pohon,
batu dan salah satu di antaranya ialah ia mengerti bahwa hidupnya mempunyai arti. Artinya
bahwa manusia sebagai subyek. Subyek artinya yang menyadari, yang sadar. Barang-barang
yang disadarinya disebut obyek.[5]
Filsafat selalu lahir dari suatu krisis. Krisis berarti penentuan. Bila terjadi krisis, orang
biasanya meninjau kembali pokok pangkal yang lama dan mencoba apakah ia dapat tahan
uji[7]. Dengan demikian filsafat adalah perjalanan dari satu krisis ke krisis yang lain. Begitu
juga filsafat eksistensialisme lahir dari berbagai krisis atau merupakan reaksi atas aliran
filsafat yang telah ada sebelumnya atau situasi dan kondisi dunia, yaitu:
1. Materialisme
Menurut pandangan materialisme, manusia itu pada akhirnya adalah benda seperti halnya
kayu dan batu. Memang orang materialis tidak mengatakan bahwa manusia sama dengan
benda, akan tetapi mereka mengatakan bahwa pada akhirnya, jadi pada prinsipnya, pada
dasarnya, pada instansi yang terakhir manusia hanyalah sesuatu yang material; dengan kata
lain materi; betul-betul materi. Menurut bentuknya memang manusia lebih unggul ketimbang
sapi tapi pada eksistensinya manusia sama saja dengan sapi.[8]
2. Idealisme
Aliran ini memandang manusia hanya sebagai subyek, hanya sebagai kesadaran;
menempatkan aspek berpikir dan kesadaran secara berlebihan sehingga menjadi seluruh
manusia, bahkan dilebih-lebihkan lagi sampai menjadi tidak ada barang lain selain pikiran.[9]
Pada tahun 1841 ia mempublikasikan buku pertamanya (disertasi MA) Om Begrebet Ironi
(The Concept of Irony). Karya ini sangat orisinal dan memperlihatkan kecemerlangan
pemikirannya. Ia mengecam keras asumsi-asumsi pemikiran Hegel yang bersifat umum.
Karya agungnya terjelma dalam Afsluttende Uvidenskabelig Efterskriff (Consluding
Unscientific Postcript) tahun 1846, mengungkapkan ajaran-ajarannya yang bermuara pada
kebenaran subyek. Karya-karya lainnya adalah Enten Eller (1843) dan Philosophiske Smuler
(1844). Sedangkan buku-buku yang bernada kristiani adalah Kjerlighedens Gjerninger (Work
of Love) 1847, Christelige Taler (Christian Discourses) 1948, dan Sygdomen Til Doden (The
Sickness into Death) tahun 1948). [12]
a. Tentang Manusia.
Kierkegaard menekankan posisi penting dalam diri seseorang yang "bereksistensi" bersama
dengan analisisnya tentang segi-segi kesadaran religius seperti iman, pilihan, keputusasaan,
dan ketakutan. Pandangan ini berpengaruh luas sesudah tahun 1918, terutama di Jerman. Ia
mempengaruhi sejumlah ahli teologi protestan dan filsuf-filsuf eksistensial termasuk Barh,
Heidegger, Jaspers, Marcel, dan Buber.[13]
Alur pemikiran Kierkegaard mengajukan persoalan pokok dalam hidup; apakah artinya
menjadi seorang Kristiani? Dengan tidak memperlihatkan "wujud" secara umum, ia
memperhatikan eksistensi orang sebagai pribadi. Ia mengharapkan agar kita perlu memahami
agama Kristen yang otentik. Ia berpendapat bahwa musuh bagi agama Kristiani ada dua,
yaitu filsafat Hegel yang berpengaruh pada saat itu. Baginya, pemikiran abstrak, baik dalam
bentuk filsafat Descartes atau Hegel akan menghilangkan personalitas manusia dan
membawa kita kepada kedangkalan makna kehidupan. Dan yang kedua adalah konvensi,
khususnya adat kebiasaan jemaat gereja yang tidak berpikir secara mendalam, tidak
menghayati agamanya, yang akhirnya ia memiliki agama yang kosong dan tak mengerti apa
artinya menjadi seorang kristiani.[14]
Kierkegaard bertolak belakang dengan Hegel. Keberatan utama yang diajukannya adalah
karena Hegel meremehkan eksistensi yang kongkrit, karena ia (Hegel) mengutamakan idea
yang sifatnya umum. Menurut Kierkegaard manusia tidak pernah hidup sebagai sesuatu "aku
umum", tetapi sebagai "aku individual" yang sama sekali unik dan tidak dapat dijabarkan ke
dalam sesuatu yang lain.[15] Kierkegaard sangat tidak suka pada usaha-usaha untuk
menjadikan agama Kristen sebagai agama yang masuk akal (reasonable) dan tidak menyukai
pembelaan terhadap agama Kristiani yang menggunakan alasan-alasan obyektif.[16]
Penekanan Kierkegaard terhadap dunia Kristiani, khususnya gereja-gerejanya, pendeta-
pendetanya, dan ritus-ritus (ibadat-ibadat)nya sangat mistis. Ia tidak menerima faktor
perantara seperti pendeta, sakramen, gereja yang menjadi penengah antara seorang yang
percaya dan Tuhan Yang Maha Kuasa.[17]
Kierkegaard membedakan tiga bentuk eksistensi, yaitu estetis, etis, dan rligius.[19]
Eksistensi estetis menyangkut kesenian, keindahan. Manusia hidup dalam lingkungan dan
masyarakat, karena itu fasilitas yang dimiliki dunia dapat dinikmati manusia sepuasnya. Di
sini eksistensi estetis hanya bergelut terhadap hal-hal yang dapat mendatangkan kenikmatan
pengalaman emosi dan nafsu. Eksistensi ini tidak mengenal ukuran norma, tidak adanya
keyakinan akan iman yang menentukan.
Eksistensi etis. Setelah manusia menikmati fasilitas dunia, maka ia juga memperhatikan
dunia batinnya. Untuk keseimbangan hidup, manusia tidak hanya condong pada hal-hal yang
konkrit saja tapi harus memperhatikan situasi batinnya yang sesuai dengan norma-norma
umum. Sebagai contoh untuk menyalurkan dorongan seksual (estetis) dilakukan melalui jalur
perkawinan (etis).
Eksistensi religius. Bentuk ini tidak lagi membicarakan hal-hal konkrit, tetapi sudah
menembus inti yang paling dalam dari manusia. Ia bergerak kepada yang absolut, yaitu
Tuhan. Semua yang menyangkut Tuhan tidak masuk akal manusia. Perpindahan pemikiran
logis manusia ke bentuk religius hanya dapat dijembatani lewat iman religius.
c. Teodise
Menurut Kierkegaard, antara Tuhan dengan alam, antara pencipta dan makhluk terdapat
jurang yang tidak terjembatani. Ia menjelaskan bahwa Tuhan itu berdiri di atas segala ukuran
sosial dan etika. Sedangkan manusia jauh berada di bawah-Nya. Keadaan seperti ini
menyebabkan manusia cemas akan eksistensinya. Tetapi dalam kecemasan ini, seseorang itu
dapat menghayati makna hidupnya. Jika seseorang itu berada dalam kecemasan, maka akan
membawa dirinya pada suatu keyakinan tertentu. Perilaku ini memperlihatkan suatu loncatan
yang dahsyat di mana manusia memeluk hal yang tidak lagi masuk akal.[20]
Selanjutnya ia mengatakan bahwa agama Kristen itu mengambil langkah yang dahsyat,
langkah menuju yang tidak masuk akal. Di sana agama Kristen mulai. Alangkah bodohnya
orang yang ingin mempertahankan agama Kristiani. Tetapi menurut Kierkegaard iman adalah
segala-galanya. Bila seseorang itu memihak agama Kristen atau memusuhinya atau memihak
kebenaran atau memusuhinya. Agama Kristen itu bisa benar secara mutlak tetapi bisa juga
salah secara mutlak.[21]
Meski Sartre berasal dari keluarga Kristen protestan dan ia sendiri dibaptiskan menjadi
katolik, namun dalam perkembangan pemikirannya ia justru tidak menganut agama apapun.
Ia atheis. Ia memngaku sama sekali tidak percaya lagi akan adanya Tuhan dan sikap ini
muncul semenjak ia berusia 12 tahun. Bagi dia, dunia sastra adalah agama baru, karena itu ia
menginginkan untuk menghabiskan hidupnya sebagai pengarang.[23]
Sartre tidak pernah kawin secara resmi, ia hidup bersama Simone de Beauvoir tanpa nikah.
Mereka menolak menikah karena bagi mereka pernikahan itu dianggap suatu lembaga borjuis
saja. Dalam perkembangan pemikirannya, ia berhaluan kiri. Sasaran kritiknya adalah kaum
kapitalis dan tradisi masyarakat pada masa itu. Ia juga mengeritik idealisme dan para pemikir
yang memuja idealisme.[24]
Pada tahun 1931 ia mengajar sebagai guru filsafat di Laon dan Paris. Pada periode ini ia
bertemu dengan Husserl. Semenjak pertemuan itu ia mendalami fenomenologi dalam
mengungkapkan filsafat eksistensialisme-nya. Ia menjadi mashur melalui karya-karya novel
dan tulisan dramanya. Dalam bidang filsafat, karyanya yang sangat terkenal adalah Being ang
Nithingness, buku ini membicarakan tentang alam dan bentuk eksistensinya. Eksistensialisme
dan Humanism yang berisi tentang manusia. Ia juga termasuk tokoh yang membantu
gerakan-gerakan haluan kiri dan pembela kebebasan manusia. Dengan lantang ia mengatakan
bahwa manusia tidak mempunyai sandaran keagamaan atau tidak dapat mengendalikan pada
kekuatan yang ada di luar dirinya, manusia harus mengandalkan kekuatan yang ada dalam
dirinya. Karya-karya yang lain adalah Nausea, No Exit, The Files, dan The Wall.[25]
Ide-ide pokok Sartre adalah sebagai berikut:
a. Tentang Manusia
Bagi Sartre, manusia itu memiliki kemerdekaan untuk membentuk dirinya, dengan kemauan
dan tindakannya. Kehidupan manusia itu mungkin tidak mengandung arti dan bahkan
mungkin tidak masuk akal. Tetapi yang jelas, manusia dapat hidup dengan aturan-aturan
integritas, keluhuran budi, dan keberanian, dan dia dapat membentuk suatu masyarakat
manusia. Dalam novel semi-otobiografi La Nausee (1938) dan essei L'Eksistensialisme est un
Humanism (1946), ia menyatakan keprihatinan fundamental terhadap eksistensi manusiawi
dan kebebasan kehendak. Menurutnya, manusia tidak memiliki apa-apa sejak ia lahir. Dan
sepertinya, dari kodratnya manusia bebas dalam pilihan-pilihan atas tindakannya atau
memikul beban tanggung jawab.[26]
Sartre mengikuti Nietzsche yakni mengingkari adanya Tuhan. Manusia tak ada hubungannya
dengan kekuatan di luar dirinya. Ia mengambil kesimpulan lebih lanjut, yakni memandang
manusia sebagai kurang memiliki watak yang semestinya. Ia harus membentuk pribadinya
dan memilih kondisi yang sesuai dengan kehidupannya. Maka dari itu "tak ada watak
manusia", oleh karena tak ada Tuhan yang memiliki konsepsi tentang manusia. Manusia
hanya sekedar ada. Bukan karena ia itu sekedar apa yang ia konsepsikan setelah ada---seperti
apa yang ia inginkan sesudah meloncat ke dalam eksistensi". Sartre mengingkari adanya
bantuan dari luar diri manusia. Manusia harus bersandar pada sumber-sumbernya sendiri dan
bertanggung jawab sepenuhnya bagi pilihan-pilihannya. Karena itu bagi Sartre, pandangan
eksistensialis adalah suatu doktrin yang memungkinkan kehidupan manusia. Eksistensialime
mengajarkan bahwa tiap kebenaran dan tiap tindakan mengandung keterlibatan lingkungan
dan subyektifitas manusia.[27]
3. Mauvaise Foi
Konsep ini menjelaskan bahwa penyangkalan diri seseorang terutama faal tidak mengakui
dan tidak menerima bahwa seseorang mempunyai kebebasan memilih. Sikap ini menghindar
tanggung jawab dan takut membuat keputusan. Konsep ini juga mengandung pengertian
kurangnya penerimaan diri, teristimewa tidak menerima atau menipu diri sendiri tentang apa
yang benar mengenai diri sendiri.[30]
4. Kebebasan
Dalam pemikiran Sartre selalu bermuara pada konsep kebebasan. Ia mendefinisikan manusia
sebagai kebebasan. Sartre memberikan perumusan bahwa pada manusia itu eksistensi
mendahului esensi, maksudnya setelah manusia mati baru dapat diuraikan ciri-ciri seseorang.
Perumusan ini menjadi intisari aliran eksistensialisme dari Sartre. Kebebasan akan memberi
rasa hormat pada dirinya dan menyelamatkan diri dari sekedar menjadi obyek. Kebebasan
manusia tampak dalam rasa cemas. Maksudnya karena setiap perbuatan saya adalah tanggung
jawab saya sendiri. Bila seseorang menjauhi kecemasan, maka berarti ia menjauhi kebebasan.
Kebebasan merupakan suatu kemampuan manusia dan merupakan sifat kehendak. Posisi
kebebasan itu tidak dapat tertumpu pada sesuatu yang lain, tetapi pada kebebasan itu
sendiri.[31]
Sartre mengakui pemikiran Mark lebih dekat dengan keadaan masyarakat dan satu-satunya
filsafat yang benar dan definitif. Filsafat Mark telah memberikan kesatuan konkrit dan
dialektis antara ide-ide dengan kenyataan pada masyarakat. Mark telah menekankan konsep
keberadaan sosial ketimbang kesadaran sosial. Dan bagi Sartre, Mark adalah seorang pemikir
yang berhasil meletakkan makna yang sebenarnya tentang kehidupan dan sejarah. Meski
demikian, Sartre tidak menganggap pemikiran Mark sebagai akhir suatu pandangan filsafat,
karena setelah cita-cita masyarakat tanpa kelas versi Mark terbentuk, maka persoalan filsafat
bukan lagi soal kebutuhan manusia akan makan dan pakaian, tetapi persoalan filsafat
mungkin dengan memunculkan tema yang baru, seperti soal kualitas hidup manusia masa
depan. Tetapi pemikiran Mark itu dinilai relevan untuk masa kini.[32]
D. Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa:
1. Meski bermacam-macam pandangan dan metode dan sikap dalam gerakan
eksistensialisme, para filsuf dari kelompok ini senantiasa memperhatikan kedudukan
manusia. Titik sentral pembicaraan mereka adalah soal keterasingan manusia dengan dirinya
dan dengan dunia.
2. Gerakan eksistensialisme ini muncul sebagai protes atau reaksi dari aliran filsafat
terdahulu, yaitu materialisme dan idealisme serta situasi dan kondisi dunia pada umumnya
yang tidak menentu. Penampilan manusia penuh rahasia, penuh imitasi yang merupakan hasil
persetujuan bersama yang palsu yang disebut konvensi atau tradisi.
3. Kierkegaard dan Sartre merupakan tokoh yang mewakili aliran eksistensialime ini. Dari
latar belakang yang berbeda yang satu agamawan dan lainnya atheis, mereka mengusung
konsep tentang keberdaan manusia sebagai subyek di dunia ini.
DAFTAR PUSTAKA
Beerling, R.F. 1966. Filsafat Dewasa Ini. Terj. Hasan Amin, Djakarta:Balai Pustaka.
Dagun, Save M. 1990. Filsafat Eksistensialisme, Jakarta:Rineka Cipta.
Hadiwijono, Harun. 1980. Sari Sejarah Filsafat Barat 2, Yogyakarta:Kanisius.
Hasan, Fuad. 1974. Kita dan Kami, Jakarta:Bulan Bintang.
Tafsir, Ahmad. 1992. Filsafat Umum: Akal dan Hati Sejak Thales sampai James, Bandung:
PT. Remaja Rosda Karya.
Titus, Smith dan Nolan. 1984. Persoalan-persoalan Filsafat Terj. H.M. Rasjidi Jakarta:Bulan
Bintang.
[1] Fuad Hasan, Kita dan Kami (Jakarta:Bulan Bintang. 1974), hlm. 8.
[2] Ahmad Tafsir, Filsafat Umum: Akal dan Hati Sejak Thales sampai James (Bandung: PT.
Remaja Rosda Karya. 1992), cet. ke-2, hlm. 191.
[3] Ibid.
[4] Hasan, Kita dan Kami, hlm. 7.
[5] Tafsir, Filsafat Umum, hlm192-193.
[6] Ibid, hlm. 190.
[7] R.F. Beerling, Filsafat Dewasa Ini.Terj. Hasan Amin (Djakarta:Balai Pustaka.1966), hlm.
11.
[8] Tafsir, Filsafat Umum, hlm192.
[9] Ibid, hlm. 193-194.
[10] Ibid, hlm. 194.
[11] Save M. Dagun, Filsafat Eksistensialisme (Jakarta:Rineka Cipta. 1990), cet. ke-1, hlm.
47.
[12] ibid, hlm. 48-49.
[13] Ibid, hlm. 49
[14] Ibid.
[15] Tafsir, Filsafat Umum, hlm. 195
[16] Smith Titus dan Nolan, Persoalan-persoalan Filsafat Terj. H.M. Rasjidi (Jakarta:Bulan
Bintang. 1984), hlm. 388.
[17] Ibid.
[18] Dagun, Filsafat Eksistensialisme, hlm. 50-51.
[19] Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 2 (Yogyakarta:Kanisius. 1980), hlm. 125.
[20] Dagun, Filsafat Eksistensialisme, hlm.52.
[21] Nolan, Persoalan-persoalan, hlm. 388.