Anda di halaman 1dari 3

Resume Filsafat Manusia

Disusun oleh : Sebastian Mehitabel (1120700000225)


Kelas 1D

Manusia dalam Sinaran Filsafat Eksistensialisme

Eksistensialisme
Eksistensialisme berasal dari kata latin “eksistere” yakni “ex” yang berarti keluar dan
“sitere” yang berarti membuat, berdiri. Sehingga eksistensi dapat dikatakan sebagai apa yang ada,
apa saja yang dialami, dan apa yang memiliki kualitas. Secara singkat, eksistensi menekankan
tentang keberadaan. Eksistensi juga bisa berarti sesuatu yang eksis, sesuatu yang memiliki wujud,
keberadaan dan sesuatu yang menekankan pada apa sesuatu itu, atau kesadaran bahwa kita ada dan
bahwa kita adalah makhluk yang bertindak, memilih dan mengekspresikan dalam proses bertindak
dan memilih secara bertanggung jawab. Dalam kenyataan tidak akan ada sesuatu yang mempunyai
ciri atau karakter eksistere selain manusia. Hanya manusialah yang bisa keluar dari dirinya dan
melampaui keterbatasan biologis serta lingkungan fisiknya. Akan tetapi, beberapa pengertian
tersebut belum cukup untuk menjelaskan pengertian dari eksistensi yang sesungguhnya. Kata
eksistensi yang banyak digunakan oleh para eksistensialis selalu saja dihubungkan dengan konteks
manusia. Namun satu pertanyaan kunci dari semua ini adalah, bagaimana caranya agar manusia
bisa keluar dan bereksistensi dari dirinya?

Soren Aabye Kierkegaard


Soren Kierkegaard merupakan seorang filsuf Denmark yang mempunyai buku dengan
judul “Fear and Trembling” (1842). Di dalam buku itu ia mencoba membayangkan apa yang ada
di pikiran Abraham yang mendapat pesan dari Tuhan untuk mengorbankan putra satu-satunya
yaitu Ishak. Kierkegaard merupakan orang yang cukup “aneh” dan susah untuk beradaptasi di
tempat ia tinggal yaitu Kopenhagen. Di siang hari ia sering sekali terlihat sedang berjalan-jalan di
sekitar kota dan sedang mengobrol dengan seorang teman, ia juga menganggap bahwa dirinya
adalah Socrates Denmark. Dia sering menulis di malam hari di depan mejanya dan dikelilingi oleh
lilin. Kierkegaard banyak menulis tentang memilih cara hidup dan sulitnya mengetahui bahwa
keputusanmu adalah keputusan yang tepat karena ia jatuh cinta dengan seorang wanita lalu dia
khawatir bahwa ia akan menjadi orang yang muram dan terlalu religius untuk menikah. Ia akhirnya
menulis kepada wanita tersebut dan mengatakan bahwa ia tidak bisa menikahinya. Ada satu
bukunya tentang pengambilan keputusan yang terkenal, yaitu “Either/Or”. Buku ini memberikan
pembaca pilihan antara kehidupan yang menyenangkan dan mengejar sebuah keindahan atau hidup
berdasarkan aturan moral konvensional, pilihan antara estetika atau etika.
Bagi Kierkegaard, percaya pada Tuhan bukanlah sebuah keputusan yang sederhana, tapi
sebuah keputusan yang membutuhkan semacam lompatan ke kegelapan, keputusan yang diambil
dengan iman yang mungkin akan bertentangan dengan gagasan konvensional tentang apa yang
harus dilakukan. Kierkegaard percaya bahwa tugas sosial biasa, seperti seorang ayah yang harus
melindungi putranya bukanlah nilai tertinggi melainkan sebuah kewajiban untuk menaati Tuhan.
Dari sudut pandang manusia, mungkin Abraham merupakan orang yang tidak bermoral karena
mempertimbangkan untuk mengorbankan putranya. Tapi perintah Tuhan merupakan satu hal yang
mutlak, apa pun yang Tuhan perintahkan tidak ada yang melebihinya bahkan etika manusia tidak
lagi relevan. Kierkegaard adalah seorang Kristen, walaupun ia membenci gereja Denmark dan
tidak terima cara orang Kristen yang berperilaku berpuas diri. Menurutnya, gereja Denmark tidak
benar-benar Kristen. Karena kritikan tersebut ia menjadi tidak populer dan orang-orang di
sekitarnya mengkritiknya.
Seperti banyak filsuf lainnya, Kierkegaard tidak sepenuhnya dihargai selama masa
hidupnya. Namun pada abad kedua puluh, buku-bukunya menjadi populer yang secara khusus
dianggap sebagai sebuah ide tentang penderitaan dalam memilih apa yang harus di lakukan. Bagi
Kierkegaard, sudut pandang subjektif sebuah pengalaman individu dalam membuat pilihan adalah
yang terpenting.
Kierkegaard pernah menkritik idealisme Hegel, alasan utamanya adalah pemikiran Hegel
menurutnya meremehkan keberadaan manusia konkret. Reaksi Kierkegaard terhadap Hegel juga
sangat dipengaruhi oleh situasi Denmark saat itu, yaitu sulitnya mencari solusi kehidupan sosial
keagamaan. Agama Kristen saat itu bersifat sekuler dan banyak dipengaruhi oleh filsafat idealisme
Hegel. Karena hal tersebut, akhirnya muncullah aliran filsafat eksistensialisme yang menekankan
pada individualitas manusia dan manusia konkret.

Jean Paul Sartre


Sartre mengaku banyak dari pemikirannya dipengaruhi oleh fenomenologi Husserl dan
Heidegger. Dari fenomenologinya Husserl, Sartre dapat melihat dua hal yang menurutnya penting.
Pertama, perlunya menempatkan kesadaran sebagai titik tolak untuk kegiatan filsafat. Kedua,
pentingnya filsafat untuk kembali pada realitasnya sendiri. Sartre mengkritik sebuah teori
psikologi tentang emosi James-lange yang menurutnya teori James-Lange bukan hanya abstrak
tapi juga deterministik, karena realitas yang benar tidak menunjukkan adanya determinisme pada
manusia. Emosi, kata Sartre bukan hanya aktif, tapi juga menunjuk pada perilaku manusia yang
bebas yang tidak di determinir. Walau banyak dipengaruhi oleh Husserl, Sartre dalam beberapa
karyanya juga pernah mengecam idealisme Husserl yang tidak realistis. Karena konsepsi tentang
kesadaran tidak dihubungkan dengan adanya dunia. Kesadaran diandaikan begitu saja tanpa
adanya landasan yang menopang oleh Husserl. Dunia dan eksistensi justru direduksi oleh Husserl
dan tidak pernah ditempatkan sebagai realitas yang menopang kesadaran.
Sartre merumuskan filsafatnya dalam satu kalimat pendek “merekonsiliasikan
(mendamaikan) subjek dan objek.” Usaha ini didorong oleh pengalaman Sartre tentang kebebasan
sebagai subjek dan tentang benda sebagai objek. Kedua pengalaman ini dalam pandangannya
merupakan suatu simbol kondisi manusia yang di satu sisi merasa dirinya bebas tapi di sisi yang
lain selalu dihadapkan pada kuasa atau daya tarik benda. Dalam pandangan Sartre, pengalaman
tentang kebebasan, dan tentang kesadaran sendiri bukanlah sebuah pengalaman yang mudah dan
mengenakkan. Kebebasan ternyata penuh sekali dengan paradoks dan sangat menyesakkan. Selain
itu, kebebasan bukanlah sesuatu yang bisa kita andalkan sebagai sandaran yang kokoh untuk hidup
kita. Sebaliknya, kebebasan sangat rapuh dan selalu berada dalam posisi yang terancam.
Sartre tidak percaya adanya Tuhan yang bisa merancang manusia, dia menolak gagasan
bahwa Tuhan memiliki tujuan tersendiri untuk manusia. Sebuah pisau dirancang untuk memotong,
itu adalah esensinya. Tapi untuk apa manusia itu dirancang? Manusia itu tidak mempunyai esensi.
Manusia tidak berada di sini karena suatu alasan, menurutnya. Semua manusia dapa memilih apa
yang harus di lakukan, dan menjadi apa. Kita semua itu bebas, tidak seorang pun yang dapat
memutuskan apa yang harus kita lakukan di hidup ini. Jika kita membiarkan seseorang untuk
memutuskan hidup kita, ya itu adalah sebuah pilihan. Ini akan menjadi sebuah pilihan kita untuk
menjadi manusia seperti apa yang diharapkan orang lain. Dalam kuliah yang ia berikan, Sartre
menggambarkan kehidupan manusia yang penuh sekali dengan penderitaan. Kesedihan dapat
datang dari pemahaman bahwa kita tidak bisa membuat alasan apa pun tapi kita bertanggung jawab
atas semua yang kita lakukan. Tetapi derita sangat buruk karena menurut Sartre, apa pun yang saya
lakukan itu adalah semacam pola untuk apa yang orang lain harus lakukan.

Simone de Beuvoir
Simone dan Sartre sudah saling kenal sejak mereka bertemu di kampus. Mereka berdua
sangat sering terlihat bersama di sebuah kafe. Simone merupakan seseorang yang paling dekat
dengan Sartre walaupun mereka tidak pernah menikah dan tidak pernah hidup bersama. Dalam
bukunya “The Second Sex” Simone memberikan sesuatu yang berbeda pada eksistensialisme
dengan mengatakan bahwa wanita tidak dilahirkan sebagai wanita tapi mereka menjadi wanita.
Maksudnya adalah bahwa wanita cenderung dapat menerima pandangan pria tentang apa itu
wanita. Menjadi apa yang pria harapkan adalah sebuah pilihan. Tetapi wanita itu bebas, mereka
dapat memutuskan sendiri apa yang mereka inginkan, mereka tidak mempunyai esensi dan tidak
ada cara yang diberitahukan oleh alam bahwa mereka harus menjadi apa.

Albert Camus
Albert Camus menggunakan sebuah mitos yang berasal dari Yunani, yaitu Sisyphus untuk
menjelaskan sebuah keabsurdan manusia. Sisyphus diberikan hukuman karena telah menipu para
dewa dengan menggulingkan batu besar ke puncak gunung. Ketika dia sudah sampai puncak, batu
tersebut menggelinding ke bawah lagi dan ia harus mulai lagi dari ulang. Sisyphus harus
melakukan ini secara berulang-ulang selama-lamanya. Kehidupan manusia sama dengan tugas
Sisyphus yang tidak ada gunanya, tidak berarti dan tidak ada jawaban yang bisa menjelaskan
semuanya. Tapi Camus tidak berpikir untuk harus putus asa, tidak harus untuk bunuh diri.
Sebaliknya, kita harus bisa mengakui bahwa Sisyphus bahagia. Kenapa? Karena ada sesuatu dalam
perjuangan yang sia-sia tersebut yang membuat hidup ini layak untuk bisa dijalani.

Anda mungkin juga menyukai