Anda di halaman 1dari 27

Eksistensialis

• Eksistensialisme berpandangan bahwa pada manusia eksistensi


mendahului esensi (hakekat)
• Manusia berada lalu menentukan diri sendiri menurut proyeksinya sendiri.
• Eksistensialisme mempersoalkan keber-Ada-an manusia, dan keber-Ada-
an itu dihadirkan lewat kebebasan.
• Tokoh yang paling terkenal Jean-Paul Sartre, dengan diktumnya "human
is condemned to be free" atau manusia dikutuk untuk bebas.
• Tokoh-tokohnya Soren Kierkegaard (1813-1855), Albert Camus (1913 –
1960), Jean-Paul Sartre (1905-1980), Frederick Nietchze (1844-1900), Karl
Jaspers (1883-1969), Gabriel Marcel (1889-1973) sedangkan dalam Islam
Muhammad Iqbal.
Albert Camus • There is no answer to “Why am I?”
• Pokok pemikirannya yaitu absurditas
(1913 –1960) • Absurditas adalah sikap individu terhadap dunia
dan eksistensi manusia yang tidak memiliki tujuan
dan makna yang rasional, sikap itulah yang
tergambar dari kisah Meursault.
• Humans exist in a meaningless, irrational universe
and any search for order will bring them into direct
conflict with this universe.
• Manusia hidup tanpa arti, di semesta yang irrasional
dan setiap pencarian akan membawa mereka ke
dalam konflik langsung dengan kehidupan.
• Life is not useless or without purpose.
• Hidup ini tidak berguna atau tanpa tujuan.
• Meaning in life comes from a person’s ability to affect
his/her own destiny.
• Makna dalam hidup berasal dari kemampuan
seseorang untuk mempengaruhi nasibnya sendiri.
Tiga Konsekuensi Absurditas

1. Revolt (pemberontakan)
• Terdapat konfrontasi abadi antara manusia dan
ketidakjelasan dalam dirinya sendiri
• Realitas di atas bukan sebuah aspirasi, melainkan tidak
adanya harapan sehingga akan memberikan suatu gelar
pada seseorang yaitu absurditas.
• Absurditas akan menjadi suatu kepastian tentang nasib
individu yang mengalami kehancuran.
2. Freedom
 Orang yang absurd mengesampingkan masalah
kebebasan pribadi karena ia membatasi dirinya
dengan kepercayaannya pada Tuhan.
 Absurditas memungkinkan manusia untuk melihat
sesuatu dari perspektif baru sehingga manusia tahu
bahwa kondisinya tanpa harapan.
3. Passion
a. Hidup di alam semesta yang absurd mengarahkan
individu untuk keluar dari ketidakbermaknaan hidup
dengan memahami passion (keinginannya).
Mengalihkan pengalaman yang dimengerti dengan
suatu keinginan yang kuat.
b. Camus menekankan pada kuantitas daripada kualitas.
c. Manusia harus siap membayar tindakannya.
d. Manusia adalah satu-satunya tujuan hidupnya.
 Menurut Albert Camus (1999:71) hidup dengan
kehilangan makna terjadi karena manusia tidak pernah
mampu mewujudkan kehendaknya secara bebas.
 Kematian merupakan absurditas mutlak karena menjadi
alasan pokok akan penderitaan manusia dan
ketakutannya akan ketidakmampuannya bereksistensi .
 Walaupun eksistensialisme Camus berbeda dengan tokoh
lainnya, ia melihat bahwa dunia ini memang absurd
namun manusia tetap bisa hidup dengan memaknai
kehidupan.
 Manusialah yang membuat hidupnya bermakna dengan
menemukan kebahagiannya,”find happiness and peace of
mind in an absurd universe” (1987:81)
Jalan Keluar dari Absurditas
Camus menyebutkan jalan keluar dari absurditas, dengan
dua cara, yaitu:
 Bunuh diri dengan upaya mengakhiri hidupnya yang
tidak layak dijalani atau tindakan individu yang pasrah
menerima absurditas (Camus,2000:8).
 Melompat adalah upaya merumuskan jawaban
terhadap absurditas dengan keluar dari batas rasio
melalui keyakinan akan kemampuan Tuhan
(Camus,1999:40-50).
.
Jean-Paul Sartre (1905-1980)
“HUMAN IS
CONDEMNED
TO BE FREE"

By. Jean Paul Sartre


• Menurut Sartre manusia itu bebas, berkaitan dengan cara
pandangnya tentang eksistensi (cara berada). Sartre
membedakan dua macam cara berada, yakni:
a. Etre-en-soi (berada dalam dirinya sendiri) merupakan cara
berada benda mati, hewan dan tumbuhan yang terikat
dengan deterministik atau kodratnya.
b. Etre-pour-soi adalah cara khas manusia berada artinya
terdapat keberadaan manusia kemudian menentukan apa
yang harus dilakukannya.
• Konsep kebebasan ini yang membawa Sartre pada penolakan
akan adanya Tuhan, jika ada Tuhan manusia tidak bebas lagi
karena Tuhan yang menentukan esensi manusia.
Eksistensi Sartre

Terdapat 3 bentuk eksistensi menurut Sartre, yaitu:


• Being it's self: wujudnya
• Being for itself : wujud dan jiwanya
• Being for others : wujudnya untuk orang lain
Manusia dalam bereksistensi dihadapkan pada beberapa
kenyataan yang tidak terelakkan atau kefaktaan (facticity), yaitu:

• Tempat aku berada

• Masa lampau

• Lingkungan dengan aturan-aturannya

• Berada dengan sesama manusia lainnya

• Kematian
Karl Jaspers (1883-1969)

• Pemikiran filsafat Jaspers berakar kuat pada Kierkegaard, namun banyak juga
dipengaruhi oleh para filsuf lain, seperti Plotinos, Spinoza, Kant, Schelling, dan
Nietzsche. Jika dibandingkan dengan para filsuf eksistensialisme lainnya, Jaspers adalah
filsuf yang pemikirannya memperlihatkan suatu sistem yang rapi.
• Karya Jaspers yang paling penting untuk mengetahui pemikirannya adalah "Filosofi"
yang ditulis pada tahun 1932. Pemikiran Jaspers yang paling terkenal adalah tentang
"chiffer-chiffer" dan "situasi batas". Ada empat "situasi batas" yang menantang manusia
untuk mewujudkan dirinya dengan lebih penuh:
1. Kematian
2. Penderitaan
3. Perjuangan
4. Kesalahan
• Ketika berhadapan dengan "situasi batas" individu dihadapkan dengan dua sikap yaitu
berkembang maju atau mundur, hal tersebut tergantung dari pilihan yang diambil oleh
orang tersebut.
• Metafisika merupakan upaya memahami chiffer yaitu
simbol yang menjembatani makna eksistensi dan
transendensi.
• Chiffer adalah jejak, cermin, gema atau bayangan
transendensi.
• Manusia adalah chiffer paling unggul, karena banyak
dimensi kenyataan bertemu dalam diri manusia.
• Manusia merupakan suatu mikrokosmos, pusat kenyataan;
alam, sejarah, kesadaran, dan kebebasan ada dalam diri
manusia.
• Metafisika bagi Jaspers, berarti membaca chiffer,
transendensi, keilahian, sebagai kehadiran tersembunyi.
Kebebasan Manusia
• Kebebasan yang terdapat pada diri manusia tidak semata-mata bebas tanpa
batas, kebebasan yang berlaku hanya pada perbuatan dan tindakan
• Adanya kebebasan membuat adanya pilihan dan akibat yang
dipertanggungjawabkan karena adanya sesuatu yang lebih tinggi dari
manusia yaitu Tuhan dan norma yang ada.
• Manusia tidak semata-mata bebas dan akan menjumpai keterbatasan karena
dalam kebebasan setiap orang pasti akan menemukan situasi batas yang
mengikuti kebebasan tersebut
• Kebebasan merupakan upaya untuk merealisasikan nilai-nilai kemanusiaan
• Kebebasan manusia identik dengan konsep free will and free act
Gabriel Marcel (1889-1973)
• Bagi Marcel kata "mempunyai" atau "memiliki" memiliki dua makna yaitu
berkaitan dengan diri sendiri dan apa yang berada di luar diri.
• Hubungan di antara dua makna tersebut nampak dalam tiga aspek yang
berkaitan dengan keberadaan individu (eksistensialisme), yaitu:
a. Pertama, aku yang bereksistensi menunjukkan keberadaan individu
berhubungan dengan apa yang ada di sekitarnya.
b. Kedua, aku yang hadir terlibat dan berdialog bersama dengan subjek
lain.
c. Ketiga, aku yang berelasi adalah individu yang hadir dan bertemu
dengan subjek lain sebagai pribadi yang terlibat dan berdialog.
PEMIKIRAN SOREN A. KIEKERGAARD
(1813-1855)
• Sören Aabye Kierkegaard (1813-1855) adalah seorang filsuf
berkebangsaan Denmark yang lahir pada tanggal 5 Mei 1813.
Pendapatnya dalam karya filsafatnya yang berjudul Either/Or
berbeda dengan filsuf sebelumnya.
• Menurut Kierkegaard hidup bukanlah sekedar sesuatu
sebagaimana yang dipikirkan melainkan sebagaimana yang
dihayati.
• Semakin mendalam penghayatan manusia mengenai kehidupan
maka semakin bermakna pula kehidupannya (Hassan, 1976: 24).
• Kierkegaard adalah bapak filsafat eksistensialisme namun dia
tidak menisbatkan dirinya sebagai bagian dari eksistensialisme.
• Eksistensialisme adalah filsafat yang memandang sesuatu
gejala bertitik tolak dari eksistensinya.
• Eksistensi sendiri dapat diartikan sebagai suatu bentuk
keberadaan. Manusia berada dalam dunia atau dengan
perkataan lain cara berada manusia dalam dunia.
• Kata ‘eksistensi’ berasal dari kata ‘eks’ (keluar) dan ‘sistensi’
yang diturunkan dari kata kerja ‘sisto’ (berdiri, menempatkan).
• Dengan demikian, kata ‘eksistensi’ dapat diartikan manusia
yang berdiri sebagai diri sendiri dengan keluar dari dirinya
(Hadiwijono, 1980: 148).
Soren Kierkegaard
Materialisme
Eksistensialisme
• Dalam pandangan materialisme • Perbedaan manusia dengan makhluk
kalsik maupun modern, hakekat hidup lainnya yaitu “cara berada”
manusia adalah materi. yang tidak sama dengan benda lain.
• Manusia dipandang sebagai • Ketika manusia berada di dalam
objek, sama halnya dengan dunia, ia menyadari dirinya berada di
materi lainnya yang ada di dunia, ia menghadapi dunia dan
dunia. mengerti apa yang dihadapinya.
• Materialisme memandang • Manusia adalah subjek. Subjek
kejasmanian sebagai artinya yang menyadari, yang sadar
keseluruhan manusia, padahal sedangkan barang-barang lainnya
itu hanyalah aspek manusia. disebut objek
• Kritik Kierkegaard atas Hegelianisme bukan sekedar sebuah minat
teoritis, melainkan didasari oleh keprihatinan praktis terhadap perilaku
keagamaan Kristen sekuler di Denmark .
• Dalam situasi seperti ini, agama hanya menjadi persoalan “objektif” dan
“lahiriah”, hanya menyangkut perilaku yang dapat dilihat bukan
komitmen subjektif  manusia.
• Eksistensi manusia bukanlah suatu “ada”  yang statis, melainkan suatu
“menjadi”, dalamnya menyangkut suatu perpindahan dari
“kemungkinan” ke “kenyataan”.
• Apa yang semula berada sebagai kemungkinan berubah atau bergerak
menjadi suatu kenyataan. Jadi eksistensi manusia adalah suatu eksistensi
yang dipilih dalam kebebasan.
• Sören Kierkagaard membagi eksistensi manusia ke dalam tiga tingkat
yang masing-masing memiliki ciri khas, yaitu: (1) Eksistensi yang
estetik, (2) Eksistensi yang etik, (3) Eksistensi yang religius.
Eksistensi yang estetik
• Perhatian manusia tertuju kepada segala sesuatu yang berada di
luar diri dan hidupnya dalam masyarakat dengan segala yang
dimiliki dunia dan masyarakat.
• Kenikmatan jasmaniah dan rohaniah terpenuhi namun batinnya
kosong karena ia menghindari diri dari keputusan-keputusan yang
menentukan.
• Keinginan-keinginan yang dinikmati seluruhnya hanya ada pada
pengalaman emosi dan nafsu.
• Pada tahap ini, manusia cenderung bersandar pada emosi dan
nafsunya sehingga sifat hakiki eksistensi estatis ialah tidak adanya
ukuran-ukuran moral umum yang telah ditetapkan, dan tidak adanya
kepercayaan keagamaan yang menentukan.
Eksistensi yang etis

• Pada taraf eksistensi etik perhatian manusia tertuju kepada batinnya, yakni:
hidup dalam hal-hal yang kongkrit adanya sehingga sikapnya mengarah pada
segi kehidupan batiniah.
• Pergeseran dari taraf estetik ke taraf etik digambarkan oleh Kierkegaard
sebagai orang yang meninggalkan nafsu sementara dan masuk ke segala
bentuk kewajiban. Dalam hidupnya manusia telah menyadari dan menghayati
akan adanya dasar nilai yang sifatnya umum.
• Oleh karena itu, manusia secara terus-menerus dihadapkan pada pilihan-
pilihan. Pilihan manusia yang pertama dan senantiasa harus diputuskan
berhubungan dengan persoalan baik dan buruk.
• Kemudian dalam waktu yang bersamaan ia harus pula mampu menempatkan
diri diantara kedua pilihan tersebut. Dengan berbuat dan bersikap terhadap
keadaan tersebut maka keputusannya itu menjadi bermakna.
Eksistensi yang religius

• Setelah manusia meningkat atau menyadari dan menghayati dengan


kesadaran moralnya, ia akan dihadapkan pada kekurangan dan kesalahan serta
dosanya.
• Pada tingkatan eksistensi etik hal ini mulai disadari oleh manusia. Dalam
perkembangannya, untuk mengatasi kesulitan pada taraf eksistensi etik,
manusia harus menerangi dirinya kepada taraf eksistensi religius.
• Tahap religius ditandai oleh pengakuan individu akan Tuhan, dan kesadarannya
sebagai pendosa yang membutuhkan pengampunan-Nya.
• Pada tahap ini individu membuat komitmen personal dan melakukan apa yang
disebutnya “lompatan iman” bersifat non-rasional atau pertobatan.
• Misalnya, Abraham dalam kitab suci mengorbankan putranya yang tunggal
karena beriman kepada Tuhan sehingga Abraham betul-betul meninggalkan
tahap etis dan melompat ke tahap religius.

Anda mungkin juga menyukai