Anda di halaman 1dari 26

Konsep “Orang Lain Adalah Neraka” Dan Pembelaan Atas Sikap

Kemanusiaan Yang Bebas Dari Penindasan Orang Lain Menurut Pemikiran


Jean Paul Sartre

Uripa
Program Studi Akidah dan Filsafat Islam, Institut Agama Islam Negeri
(IAIN) Syekh Nurati Cirebon, Cirebon, Jawa Barat, Indonesia

uripa31@gmail.com

Abstrak
Pandangan Sartre mengenai “Orang lain adalah Neraka” bagi penulis sangat
penting untuk dikaji. Pandangannya mengenai orang lain tersebut bersifat konflik
dalam kehidupan sosial. Sedangkan hubungan interaksi sangatlah penting, karena
manusia dalam berinteraksi memiliki hubungan timbal-balik, dan pandanganya
tersebut menyebabkan permasalahan. Pemikran Sartre juga sangat penting untuk
dijadikan sebagai pembelaan terhadap segala bentuk penindasan dalam persoalan
kemanusian. Penelitian ini merujuk pada sumber-sumber kepustakaan (liberary
reseach) sehingga metode yang digunakan untuk menganalisis pemikiran Jean Paul
Sartre adalah hermeneutika dan psikologi behaviorisme. Hermeneutika yang
dipakai dalam penelitian ini adalah hermeneutika Schleiermacher dan Dilthey. Hal
ini, karena dari hermeneutika Schleiermacher tersebut akan mampu menguak
pergulatan-pergulatan batin Sartre dalam mengungkapkan orang lain adalah
neraka, adapun teori psikologi behaviorisme menggunakan teori dari Skiner untuk
memperjelas analisis dari Schleiermacher dengan teori stimulus dan respon.
Hermeneutika Dilthey mampu menguak pengalaman-pengelaman hidup Sartre
sehingga dapat memahami gagasannya tentang eksistensialisme.
Orang lain adalah neraka menurut Sartre diasalkan dari konflik, semua
bermula dari tatapan mata orang lain, baginya orang lain dapat mengobjekan, dan
dirinya menajdi terobjekkan. Menurutnya manusia memiliki etre pour soi yang
dapat menolak diobjekannya dari orang lain. Pemikiran Sartre dipengaruhi oleh
pergulatan-pergulatan batin yang dialaminya. Hal tersebut dapat dilihat dari
perjalanan hidupnya melalui metode hermenutika Scheleieramcaher, interpretasi
psikologisnya, menggunakan teori Skiner untuk memperjelas analisis dari
Schleiermacher dengan teori stimulus dan respon yang dialami Sartre selama
hidupnya. Adapun hasil analisis dari hermeneutika Dilthey terhadap pemikiran
Jean Paul Sartre yang terdiri dari erlebnis, ausdruck, verstehen. Erlebnis sendiri
mencakup pengalaman-pengalaman hidup yang dialmi oleh Sartre yang menjadikan
dirinya seorang filsuf eksistensialisme dengan pemikiran-pemikran filsafatnya.
Ausdruck yakni berisi gagasan eksistensialisme dan pemikiran filsafat yang
kontrversial dan menghasilkan karya-karya besar, dibidang filsafat, sastra, naskah
drama dari gagasan-gagasan Sartre. Verstehen, merupakan upaya pemahaman atas
pemikiran Sartre yang dilihat dari pengalaman-pengalaman hidup dalam
memahami karya yang dihasilkan, yakni sebagai upaya pembelaan atas sikap
kemanusian yang bebas dari penindasan orang lain.

Kata Kunci: Jean Paul Sartre, Eksitensialisme, Orang lain adalah neraka.

A. PENDAHULUAN
Abad ke 19 atau abad modern adalah puncak dimana aliran eksistensalisme
berkembang, banyak tokoh-tokoh eksistensialis lahir dan menggaungkan ide-ide
pemikirannya. Eksistensialime pada mulanya adalah suatu penolakan atau
tindakan protes terhadap beberapa karekter filsafat tradisional atau klasik dan
bagaimana kehidupan masyarakat modern yang serba saintis dan mekanis pada
waktu itu.1 Eksistensialisme berrmula dari berbagai masalah yang menyangkut
kemanusian dan bagaimana untuk meresponnya atau yang sering disebut
humanisme.
Eksistensialisme juga merupakan pemberontakan atau sikap kritik terhadap
kelompok agamawan yang bersifat kaku. Maka pada abad ke 19-20 muncullah
tokoh-tokoh eksitensialisme-atheis melaui pernyataan-pernyataan kontroversial,
misalnya oleh Nietzsche yang mengatakan bahwa “Tuhan telah mati”. Ungkapan
tersebut merupakan kritik terhadap kelompok agama. Hal tersebut menimbulkan
kontroversi dan dianggap sebagai ungkapan yang memiliki nilai tidak baik dalam
tataran etis.2
Filsafat eksistensialisme dalam sejarahnya memiliki banyak tokoh besar
yang berpengaruh bagi khazanah keilmuan barat, seperti Soren kierkegaard,
Friedrich Nietzsche, Martin Heidegger, Karl Jasper, Franz Kafka, Gabriel
Marchel, Fyodor Dostoyevsky, Albert Camus dan Jean Paul Sartre. Para tokoh
eksistensialisme berbicara mengenai hal-hal berikut; “eksistensi”, “individu”,
“kebebasan”, “keputusan”, “pilihan”, “gairah” serta perhatian khusunya mengarah
pada “subjektivitas individu” atau “manusia”.3 Pada umumnya kata eksistensi
berarti keberadaan, eksistensi adalah cara manusia berada di dunia berbeda
dengan cara berada benda-benda. Kata eksistensi sendiri berasal dari kata eks
(keluar) dan sistensi yang diturunkan dari kata kerja sisto (berdiri, menampakkan),
sehingga manusia berdiri sebagai dirinya sendiri dengan keluar dari dirinya.
Manusia di dalam dunia menentukan keadaannya dengan perbuatan-perbuatan, ia
mengalami dirinya sebagai pribadi. Manusia dapat menemukan pribadinya dengan
seolah-olah keluar dari dirinya sendiri dan menyibukkan diri dengan apa yang ada
diluar dirinya. Kemudian menggunakan benda-benda yang ada disekitarnya,
sehingga dengan kesibukannya itulah manusia menemukan dirinya sendiri.4
Ada beberapa ciri aliran eksistensialisme diantaranya adalah pertama motif
pokok adalah apa yang disebut eksistensi, yaitu cara manusia berada. Hanya
manusialah yang bereksistensi, karena eksistensi adalah cara khas manusia berada
sehingga bersifat humanis. Kedua bereksistensi harus diartikan secara dinamis,
bereksistensi berarti menciptakan dirinya secara aktif, sehingga bereksistensi
berarti berbuat, menjadi merencanakan segala sesuatu. Ketiga bahwa dalam
eksistensialisme manusia dipandang sebagai makhluk yang terbuka. Manusia
adalah realitas yang belum selesai, yang masih harus dibentuk. Dan pada dasarnya
manusia terikat akan dunia disekitarnya, tak terkecuali sesama manusia. Keempat

1
Lathief, Supaat I. 2008. Psikologi Fenomenologi Eksistensialisme. Lamongan: Putaka
Ilalang, Cet 1. hlm 2.
2
Ibid, hlm 3.
3
Nugroho, Wahyu Budi. 2013. Orang Lain Adalah Neraka: Sosiologi Eksistensialisme
Jean Paul Sartre. Yogyakarta:Pustaka Pelajar, Cet 1. hlm 16.
4
Hadiwijono, Harun. 2005. Sari Sejarah Filsafat Barat 2.Yogyakarta: Kanisius, Cet ke 21.
hlm 148.
eksistensialisme menekankan kepada pengalaman, yakni pengalaman yang
konkrit dan yang eksistensial.5
Eksistensialisme terbagi menjadi dua jenis, yakni eksistensialisme “teistik”
dan eksistensialisme “ateistik”. Eksistensialisme pada dasarnya membicarakan
individual dan kebebasan, sehingga dalam eksistensialisme ateistik menolak akan
keberadaan Tuhan demi kebebasan manusia, karena ketika kebebasan manusia
dicampuri oleh Kehendak Tuhan maka kebebasan manusia itu sendiri menjadi
semu, sehingga manusia tidak lagi bebas dan otonom. Sedangkan eksistensialime
teistik menerima keeksistensian Tuhan, karena dengan adanya Tuhan maka
manusia mendapatkan kebebasananya. Manusia dapat mengatasi temporalnya
yang menjadi ciri eksistensi dengan menjadikan Tuhan sebagai masa depan.6
Sartre dikatagorikan sebagai eksistensialis Prancis yang paling representatif,
berpengaruh besar terhadap banyak bidang pemikiran modern. Sartre juga
merupakan sastrawan modern yang produktif, sebagai seorang filsuf, novelis,
penulis drama dan biografi, kritikus budaya serta jurnalis politik sampai dengan
studi-studinya mengenai psikologi. Karena minatnya yang khusus terhadap
kehidupan manusia, ia menaruh perhatiaannya secara menyeluruh terhadap
persoalan eksistensi individu dan mengeksplorasi makna kebebasan manusia.7Ada
beberapa tema pokok pemikiran Sartre, diantaranya bahwa manusia adalah bukan
apa-apa selain apa yang drinya perbuat untuk dirinya sendiri atau bisa disebut
“subjektivitas”, dengan kata lain manusia haruslah mengada. Bertanggung jawab
atas kehidupan manusia itu sendiri, kebebasan dalam pilihan, kesadaran serta
mengenai ketiadaan Tuhan.8 Maka dalam hal ini Sartre termasuk kedalam tokoh
eksistensialis ateistik yang meniadakan Tuhan.
Sartre, dalam menggaungkan sikap anti Tuhannya tersebut tidak lepas dari
apa yang telah Sartre terangkan mengenai kebebasan dalam menghadapi pilihan-
pilihan untuk mengambil sebuah keputusan hidup, karena bagi dirinya manusia
telah dikutuk mengalami kebebasan.9Pemikiran-pemikiran Sartre memiliki nilai
filosofis dan kontroversial, penikirannya dihasilkan dari perenungan dan refleksi
dirinya yang dipengaruhi oleh banyak faktor. Inti dari pemikirannya adalah
kebebasan dan eksistensi diri manusia itu sendiri. Salah satu pemikirannya yang
kontroverisial adalah mengenai orang lain. Orang lain, menurut Sartre adalah akar
dari konflik, semua bermula dari tatapan orang lain yang dapat mengobjekkan.
Pemikiran Sartre mengenai tatapan mata orang lain memiliki dampak
terhadap interaksi sosial, dan menjadi dasar terjadinya konflik antara individu satu
dengan individu lain serta mengakibatkan saling melukai hingga tercetuslah
pemikirannya mengenai orang lain adalah neraka.Hal tersebut menjadi
berlawanan dengan kehidupan bersosial, karena dalam kehidupan sosial memiliki
berbagai perangkat yang terdapat didalamnya, dan tidak dapat dipisahkan.
5
Hadiwijono, Harun. Ibid. hlm 149.
6
Chafid Wahyudi, “Tuhan dalam Perdebatan Eksistensialisme”, Teosofi:Jurnal Tasawuf
dan Pemikiran Islam, Vol. 02 No. 02, Desember 2012 hlm 382.
7
Supaat I. Lathief, Psikologi Fenomenologi Eksistensialisme, (Lamongan: Putaka Ilalang,
Cet 1 2008), hlm 29.
8
Sartre, Jean Paul. 2002. Eksistensialisme dan Humanisme, terj. Yogyakarta:Pustaka
Pelajar, Cet 1. hlm 45-56.
9
Ibid,hlm 58.
Perangkat tersebut antara lain yaitu adanya hubungan antara individu dengan
individu, individu dengan kelompok, kelompok dengan kelompok sehingga
menghasilkan sebuah interaksi sosial, dan akan terbentuknya suatu aturan atau
norma serta adanya suatu kelembagaan.
Pandangan Sartre mengenai “Orang lain adalah Neraka” bagi penulis sangat
penting untuk dikaji. Pandangannya mengenai orang lain tersebut bersifat konflik
dalam kehidupan sosial. Sedangkan hubungan interaksi sangatlah penting, karena
manusia dalam berinteraksi memiliki hubungan tumbal-balik, dan pandanganya
tersebut menyebabkan permasalahan. Namun demikian, pemikiran Sartre juga
sangat penting untuk dijadikan sebagai pembelaan terhadap segala bentuk
penindasan dalam persoalan kemanusian. Karena dari pemikirannya tersebut akan
melahirkan kesadaran hak manusia untuk bebas secara kejiwaan dan
membangkitkan aktualisasi diri dalam kebebasannya. Maka dari itu penulis ingin
lebih lanjut mengkaji pemikiran Sartre mengenai “Orang Lain adalah Neraka”.

B. TINJAUAN PUSTAKA
Berikut adalah beberapa karya terdahulu yang telah membahas pemikiran
Jean Paul Sartre:
Skripsi tahun 2015 oleh Diana Mella Yussafina mahasiswi UIN Walisongo
Semarang, Eksistensialisme Jean Paul Sartre Dan Relevansinya Dengan Moral
Manusia. Skripsi tersebut berisi tentang pemikiran eksistensialisme Jean Paul
Sartre bahwa manusia memiliki kebebasan absoulut dan manusia dapat
menentukan moral bagi dirinya sendiri melalui perbuatan yang dilakukannya
berdasarkan kebebasan, skripsi tersebut mengkaitkan dan menkritik dengan
menggunakan etika ajaran Islam. Skripsi tersebut menggunakan konsep etika
Islam dan bagaimana relevansi dari eksistensialisme Sartre dengan Moral manusia
khusunya umat Islam.10 Skripsi tersebut memiliki perbedaan fokus dengan tulisan
peneliti, tulisan peneliti akan menggali makna pemikiran Sartre dengan metode
deskripsi analisis.
Skripsi tahun 2003 Nuril Hidayati mahasiswi UIN Sunan Kalijaga
Jogyakarta, Kebertuhanan Manusia Dalam Filsafat Eksistensialisme Ateis F.
Nietzsche dan Jean Paul Sartre. Skripsi tersebut membahas mengenai manusia
dan kehidupannya dalam bertuhan menurut pandangan dua tokoh eksitensialisme
yaitu Nietzsche dan Sartre, tulisan tersebut menggunakan metode
komperasi.11Skripsi tersebut dengan tulisan peneliti memiliki perbedaan fokus,
karena peneliti akan membahas pemikiran dari Sartredengan menggunakan
metode yang berbeda yaitu deskripsi analisis.
Skripsi Ary Arseno tahun 2015 mahasiswi Universitas Brawijaya Malang,
Keyakinan yang buruk pada tokoh Kanji Watanabe dalam film Ikiru karya
sutradara Akira Kurosawa. Skripsis tersebut berisi tentang penelitian terhadap
10
Diana Mella Yussafina, Eksistensialisme Jean Paul Sartre Dan Relevansinya Dengan
Moral Manusia. Skripsi Jurusan Aqidah dan Filsafat Fakultas Ushuluddin UIN Walisongo
Semarang, 2015
11
Nuril Hidayati, Kebertuahanan Manusia dalam Filsafat Eksistensialisme Ateis F.
Nietzsche dan Jean Paul Sartre. Skripsi Jurusan Aqidah dan Filsafat Fakultas Ushuluddin UIN
Sunan Kalijaga Jogyakarta, 2003
tokoh Watanabe dalam film Ikiru karya Akira dengan menggunakan teori filsafat
eksistensiaisme Jean Paul Sartre dengan konsep mauvaise foi.12Penelitian ini
berbeda dengan penelitian penulis, yakni bahwa penulis membahas pemikiran J.P
Sartre dengan menggunakan teori hermeneutika sebagai analisis.
Skripsi Petsy Jessy Ismoyo tahun 2012 mahaisiwi Univeritas Indonesia,
Kebebasan dalam roman L’age de Raison karya Jean Paul Sartre. Skripsi ini
menggunakan analisis struktural, penellitian ini melihat pemikiran Sartre
mengenai kebebasan yang berkaitan dengan eksistensi, la mauvaise foi, dan
otentitas manusia.13 Penelitian skripsi tersebut berbeda dengan skripsi penulis.
Penulis lebih memfokuskan pada pemikiran Sartre tentang Orang lain adalah
Neraka dengan menggunakan teori hermeneutika untuk menganalisisnya.
Penelusuran yang peneliti lakukan, sejauh ini belum ada yang secara
spesifik membahas tentang pemikiran Jean Paul Sarte “Orang Lain adalah
Neraka”. Oleh karena itu dalam penulisan ini menurut peneliti menarik untuk di
kaji dan sepengetahuan peneliti belum ada yang membahasanya. Sejauh yang
penulis ketahui, sudah banyak karya-karya intelektual yang membahas pemikiran
Jean Paul Sartre. Namun, belum ada yang membahas masalah Orang Lain adalah
Neraka. Maka dalam penelitian ini, penulis mengambil fokus pembahasan pada
analisis hermeneutika Schleiermacher dan Wilhelm Dilthey serta psikologi
behaviorisme terhadap pemikiran Jean Paul Sartre tentang konsep “Orang Lain
adalah Neraka”. Penelitian ini penulis berusaha menampilkan perbedaan fokus
masalah yang akan dibahas dengan penelitian tentang pemikiran Jean Paul Sartre
yang telah ada.

C. METODOLOGI
Penulisan dalam penelitian ini, penulis menggunakan jenis penelitian library
research yaitu melalui upaya pengumpulan data-data tertulis yang berkaitan
dengan pembahasan.14 Library research atau kajian pustaka adalah salah satu jenis
metode penelitian kualitatif yang penelitiannya dilakukan di pustaka, wujud dari
penelitian kepustakaan yaitu buku-buku teks, dokumen, arsip dan lain
sebagainnya.15 Studi biografi atau kajian yang dilakukan terhadap kisah hidup
seseorang, baik yang menyangkut kehidupan pribadi, historisnya serta cara
pandangnya terhadap berbagai hal dalam kehidupan. Studi ini, bukan hanya
mendeskripsikan tentang apa yang dialami, namun juga harus mampu
mendeskripsikan keadaan batiniah yang berkembang pada setiap siklus hidup

12
Ary Arseno, Keyakinan yang buruk pada tokoh Kanji Watanabe dalam film Ikiru karya
sutradara Akira Kurosawa. Skripsi Jurusan Bahasa dan Sartre Fakultas Ilmu Budaya Universitas
Brawijaya Malang. 2015.
13
Pesty Jessy Ismoyo, Kebebasan dalam Roman L’age de Raison karya Jean Paul Sartre.
Skripsi jurusan Studi Perancis Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia. Tahun
2012.
14
Andi Prastowo, Metode Penelitian Kualitatif: dalam Perspektif Rancangan Penelitian,
(Jojyakarta: Ar-Ruzz Media, 2016), hlm 162.
15
Syahrin Harahap, Metodologi Studi dan Penelitian ilmu-ilmu Ushuluddin, (Jakarta:
RajaGrafindo Persada, 2000), hlm 90.
yang dijalani oleh objek yang diteliti. 16 Metodologi kualitatif yaitu sebagai
prosedur penelitian yangmenghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis,
lisan orang dan perilaku yang diamati. 17Adapun langkah-langkah penelitiannya
yaitu sebagai berikut:

1. Penentuan sumber data


Sumber data yang akan digunakan dalam penelitian ini terdiri dari data
primer dan data sekunder. Data primer yaitu data yang berkaitan langsung dengan
pembahasan ini, sedangkan data sekunder merupakan data pendukung. Adapun
sumber data yang digunakan adalah sebagai berikut:
a. Data Primer
Data primer adalah data yang menjadi pokok dalam sumber data penulisann
skripsi ini. Dalam tulisan ini, data yang akan di ambil adalah berupa tulisan-
tulisan asli Jean Paul Sartre yang telah di terjemahkan kedalam bahasa Inggris
maupun bahasa Indonesia. Sebagai berikut: Existentialism and Humanism
(Eksistensialisme dan Humanisme). Words (Words : Menguak Kekuatan Menulis
dan Membaca). The Psychology of Imagination (Psikologi Imajinasi). Theory of
The Emotions (Emotion Theori). Critique de la Raison Dialectique, precede de
Question de Methode, Theorie des Ensembles Pratiques, 1960 (Dogmatik Kritik).
Modern Times : Selected Non-Fiction (Seks dan Revolusi ). Huis Clos (Pintu
Tertutup).
b. Data Sekunder
Data sekunder adalah karya tulis lain berupa buku, jurnal, artikel mengenai
Jean Paul Sartre, namun tidak terfokus pada masalah yang akan dikaji akan tetapi
berguna untuk menunjang kelengkapan penelitian yang akan ditulis.

2. Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan dengan memanfaatkan bahan-bahan primer


yang telah diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia dan bahan-bahan sekunder
yang menunjang akan dikumpukan dan diolah secara deskripsi-analisis. Secara
deskripsi-analisis menggunakan metode hermeneutika dan psikologi behaviorisme
untuk memperkuat teori hermenutika Schleiermacher, kemudian data
mendapatkan kesimpulan yang sistematis dengan menggunakan data dari buku
primer dan buku-buku yang lain, sehingga mendapatkan data yang lengkap.

3. Pengolahan Data

Penulis menggunakan metode deskriptif, yaitu metode yang meliputi proses-


proses penyusunan penjelasan atau penafsiran terhadap data yang ada, kemudian
dianalisa, metode ini disebut juga dengan metode analitik. 18 Penelitian kualitatif

16
Indrawan, rully. 2014. Metodologi Penelitian: Kuantitatif, Kualitatif dan Campuran
untuk Manajemen, Pembangunan dan Penidikan. Bandung: Rafika Aditama. Hlm 73.
17
Lexy J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, (Bandung:Remaja Rosdakarya, 2001, hlm
4.
18
Hadi, Sutriano. 1989. Metodelogi Research. Yogyakarta: Andi Offset. hlm 42.
menggunakan analisis induktif, yang berarti kategori, tema dan pola berasal dari
data. Menurut Creswell ada enam tahap yang digunakan dalam menganalisis data
kualitatif. Keterlibatan dalam eksplorasi data awal melalui proses pemberian kode
data; menggunakan kode-kode itu untuk mengembangkan gambar data yang lebih
umum-deskripsi data tema; menarasikan hasil; membuat interpretasi makna hasil
dengan merefleksikan secara personal mengenai temuan dan literatur yang dapat
menginformasikan temuan-temuan; terkahir melakukan strategi-strategi untuk
memvalidasi keakuratan temuan. Mengumpulkan data, mempersiapkannya untuk
analisis data, membaca data, membuat kode data, memberikan kode teks untuk
deskripsi yang akan digunakan dalam laporan penelitian, dan memberikan kode
teks untuk tema yang akan digunakan dalam laporan penelitian.19

D. KERANGKA BERFIKIR
Penelitian mengenai pemikiran tokoh, yaitu Jean Paul Sartre dengan konsep
“Oran
g Lain adalah Neraka” yang sumber utamanya adalah teks maka metode
yang digunakan untuk penelitian ini adalah hermenutika.
Hermeneutika adalah suatu teori atau filsafat tentang interpretasi makna,
kata hermeneutika berasal dari bahasa Yunani yaitu hermeneuien yakni asal kata
tersebut merupakan penurunan atau derivasi dari Hermes (nama Dewa dalam
metologi Yunani). Tugas dari Hermes adalah menyampaikan dan menjelaska
pesan dari Sang Dewa kepada manusia. Menurut Sayyed Hossein Nasr Hermes
adalah Nabi Idris a.s yang disebutkan dalam al-Qur’an, Nabi Idris adalah manusia
pertama yang mengetahui tulisan, teknologi, tenun, kedokteran, astrologi dan lain-
lain.20
Penelitian ini, penulis menggunakan dua teori hermeneutika, yaitu
hermeneutika Schleiermacher dan Wilhelm Dilthey, serta menggunakan teori
psikologi behaviorime sebagai pelengkap dan memperkuathermeneutika
Schleiermacher dalam memahami dan mendeskripsikan psikologi dari pengarang.
Menurut Schleiermacher ada dua tugas hermeneutika yaitu interpretasi gramatikal
dan interpretasi psikologi, bahasa gremetikal menurut Schleiermacher merupakan
syarat berpikir bagi setiap orang, sedangkan psikologi sendiri merupakan
interpretasi pada diri pribadi penulis atau pengarang. Oleh karena itu dalam
memahami pernyataan-pernyataan seorang pengarang maka harus mampu
memahami bahasa dan kejiwaanya.21
Teori yang kedua adalah hermeneutika Wilhelm Dilthey, teori ini menjadi
pelengkap dari teori hermeneutika yang digunakan sebelumnya Schleiermacher,
karena dari apa yang dikatakan Schleiermacher mengenai tugas hermeneutika
Dilthey jauh lebih dalam untuk menginterpretasinya. Dilthey pada awalnya ingin
menkritik akal murni dari Immanuel Kant dengan menggunakan kritik historis
sehingga menjadi kritik atas akal historis. “Kritik” Dilthey adalah suatu konstruksi
19
Ahmadi, Rulam. 2016. Metodelogi Penelitian Kualitatif. Yogyakarta:Ar-ruzz Media.
Hlm 232.
20
Edi Mulyono dkk, Belajar Hermeneutika, (jogjakarta, IRCiSoD Cet II, 2013), hlm 16.
21
E. Sumaryono, Hermeneutik Sebuah Metode Filsafat, (Yogyakarta: Kansius, 1999). hlm.
41.
spekulatif yang dimaksudkan untuk menemukan makna dalam sejarah sebagai
cara memahami dengan lebih mendalam daripada hanya sekedar penelitian
historis.22
Dilthey memberikan sumbangsih epistemologi baru bagi penelitian sejarah,
yakni dengan gagasan mengenai pemahaman atau komprehensi yang memandang
segala sesuatu dalam dua wajah, yakni wajah dalam (interior) dan wajah luar
(eksterior). Peristiwa sejarah dalam hal ini ditinjau dari dua sudut pandang, yaitu
secara eksterior dan interior, eksterior berarti bahwa memandang peristiwa sejarah
dengan melihat waktu dan tempat khusus tertentu, sedangkan interior berarti
bahwa peristiwa tersebut dilihat atas dasar kesadaran atau dalam keadaan sadar. 23
Menurutnya filsafat bersifat esensial historis sehingga Dilthey begitu tajam dalam
membedakan ilmu pengetahuan alam (Naturwissenschaften) dengan ilmu
pengetahuan tentang batin manusia (Geisteswissenschaften) termasuk filsafat,
sejarah, psikologi, ilmu sosial dan lainnya.
Hermeneutika menurutnya adalah seni menginterpretasi naskah yang
bersifat monumental atau karya-karya besar. Sehingga dengan demikian Dilthey
ingin menjadikan hermeneutika sebagai alat untuk melihat peristiwa yang
menyejarah dengan sudut pandang lain. Dilthey, dalam teori hermeneutikanya
memberikan tiga term yaitu pengalaman, ekspresi dan pemahaman. Pengalaman
adalah suatu bentuk empati yang mensugestikan peristiwa hidup langsung yang
didapati dalam keseharian. Atau bisa dikatakan sebagai aspek historis dari
pengarang yang dapat dinterpretasi. Ekspresi adalah memahami sudut pandang
atau gagasan pengarang atau pelaku sejarah, karena ekspresi disini diartikan
sebagai “objektivikasi”. Pemahaman adalah bagaimana mendayagunakan
kemampuan-kemampuan akal pikiran setiap individu sebagaimana “pengalaman
yang hidup” individu tersebut. Dengan kata lain pemahaman adalah proses di
mana kehidupan mental menjadi diketahui melalui ungkapannya yang ditangkap
oleh pancaindera.24
Penerapan teori hermeneutika Schleiermacher untuk lebih memahami
bagaimana gramatikal bahasa dari penyataan Sartre serta untuk melihat dan
menganalisis kondisi psikologi pengarang dalam melatar belakangi pemikiranya.
Penerapan teori yang kedua adalah hermeneutika Dilthey dengan tiga term
hermeneutika yang diajukannya yaitu, pengalaman, ekspresi, dan pemahaman.
Pertama yang dilakukan adalah menjelaskan pengalaman, yaitu berupa
pengalaman pengarang, sehingga dapat dijadikan sebagai objek dalam
menginterpretasi. Yaitu biografi, latar belakang kehidupan sosial dan politik.
Kedua ekspresi yaitu berupa gagasan yang dilahirkan oleh pengarang, bukan
ekspresi yang dipahami secara umum yakni sebuah perasaan, melainkan sebuah
karya-karya yang dihasilkan pengarang. Ketiga pemahaman,yaitu proses
mengetahui pengalaman pengarang dan ekspresi dalam teks. Dengan kata lain
sebagai analisis penulis terhadap pengalaman pengarang dan teks yang ditulisnya.
Dari kedua teori tersebut dapat memahami pengarang dari pengalaman psikologi

22
Ibid, hlm 48.
23
Ibid, hlm 47.
24
Richard E. Palmer, Hermeneutika Teori Baru Mengenai Interpretasi, terj (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, cet 2 2005), hlm 120-126.
pribadi dan pengalaman sosialnya. Dengan memahami bagaimana pengalaman
pengarang, maka pengetahuan memahami tersebut dapat digunakan dalam
menginterpretasi teks-teks yang dihasilkan.
Psikologi behaviorisme sendiri digunakan untuk menganalisis perilaku
sesorang yang ditentukan oleh intensitas dan beragamnya jenis pengutan
(reinforcement) yang diterima dalam situasi hidupnya. Sartre, dalam hal ini
mengalami banyak situsi hidup yang mempengaruhi perilaku dalam
kehidupannya. Oleh karena itu, behaviorisme digunakan untuk menganalisis hal-
hal yang mempengaruhi perilaku Sartre dari apa stimulus yang dia terima selama
hidupnya.

E. ANALISIS
Biografi Sartre
Jean Paul Sartre lahir di Paris, Prancis pada tanggal 21 Juni 1905, ayahnya
bernama Jean Baptiste dan ibunya Anne Marie Schweitzer yang merupakan anak
bungsu dan satu-satunya anak perempuan dari Charles Schweitzer, yang seorang
guru bahasa dan sastra Jerman di daerah Alsace Lorraine, deareh timur Prancis. 25
Charles Schweitzer, memiliki peran psikologis tersendiri bagi diri Sartre. Sartre
dan ibunya diperlakukan sama seperti anak-anak oleh Charles, hal tersebut
membuat Sartre lebih menganggap ibunya seperti kakak perempuannya. Charles
begitu menyanyangi Sartre, dan kerap memanggil Sartre dengan julukan “anak
emas” atau “anak ajaib”.26 Buku auotobiografinya, menuliskan betapa kakeknya
begitu memberikan perhatian lebih pada dirinya, dalam buku tersebut Sartre
memberikan kesan terhadap kakeknya.
Sartre, bocah kecil yang benar-benar merasakan kasih sayang dan
kehangatan dari keluarganya, ia berkata dengan penuh kerendahan hati,
mengizinkan sepatu yang dikenakannya dilepaskan, dimandikan, memakaikan
pakaiannya dan mengurusinya serta melindunginya. Sartre kecil kemudian
memiliki sifat negatif dalam kepribadiannya akibat kasih sayang yang
diterimanya, dan berubah menjadi sosok yang haus akan pujian dan sanjungan
dari ibu dan kakeknya bahkan Sartre berpura-pura dan berakting demi
mendapatkan pujian dari orang lain.
Sartre memiliki sikap negatif lain yang muncul akibat dari sikap haus akan
pujian tersebut, yakni selalu ingin menjadi unggul bagaimanapun caranya. Sartre,
pernah suatu waktu merusak kostum temannya karena melihat permaian
sandiwara temannya lebih baik dari dirinya, ia dimarahi oleh ibunya akan tetapi ia
tidak menyesali sikapnya tersebut. Sikap ingin menang dan unggul dengan
berbagai cara apapun mengindikasikan bahwa Sartre memiliki sifat egois.27
Sartre mengalami kejatuhan pertamanya, pada waktu ia berusia sekitar
empat tahun (1909) mengalami kecelakaan yang membuatnya cacat seumur
25
K. Bertens, Filsafat Barat Kontemporer : Prancis, terj (Jakarta: Gramedia, Cet 3 2001),
hlm 81.
Paul Strathern, 90 Menit bersama Sartre, trj (Jakarta : Erlangga, cet 7 2008), hlm 5.
26

Wahyu Budi Nugroho, Orang Lain Adalah Neraka: Sosiologi Eksistensialisme Jean
27

Paul Sartre, Ibid, hlm 34.


hidup, ia terkena demam. Sartre menderita leukoma (pemutihan di kornea yang
membuat pandangan samar-samar) di mata kanannya, sehingga akhirnya ia
mengalami strabismus (seperti juling, kedua mata tidak berfokus pada satu titik). 28
Sartre diperolok-olok oleh teman-temannya, yang membuat dirinya menjadi
seorang yang penyendiri, ia dikucilkan dan terasing akibat wajahnya yang buruk.
Les Most, buku autobiografinya menuliskan perasaan kesedihan dan keperihan
yang dialaminya.
Sartre mengalami kejatuhan yang kedua ketika ibunya menikah lagi, pada
saat itu ia berumur 12 tahun (1917), ia menjadi begitu ketakutan, takut tidak
menajdi pusat perhatian ibunya lagi Anne-marie, Sartre merasa bahwa pernikahan
ibunya adalah suatu bentuk ‘kehilangan’ dan ‘penghianatan’. Anne-Marie dan
Sartre pindah ke La Rochelle bersama bapak tirinya. Bapak tirinya adalah seorang
lulusan universitas ternama di Prancis. Sartre menggambarkan ayah tirinya yang
selalu berpikir dengan bertitik tolak dari pengetahuan matematika, fisika dan
pengetahuan teknis lainya. Sartre, pada suatu ketika disuruh mengerjakan soal-
soal geometri dan al-jabar, namun Sartre tidak bisa mengerjakannya karena tidak
ahli dibidang ilmu tersebut dan mendapat perlakuan kasar oleh bapak tirinya.29
Sartre, dalam perjalanan hidup intelektualnya, sekitar tahun 1929 ia bertemu
dengan Simon de Beauvoir, mahasiswi filsafat di Universitas Sorbonne.
Pertemuan keduanya menjadi titik awal persahabatan mereka sepanjang masa.
Keduanya tidak pernah menikah, karena bagi Simon pernikahan adalah suatu
lembaga borjuis.30 Simon de Beavoir dikenal sebagai tokoh terpenting dalam
mahzab pemikiran feminisme beraliran eksisntensialisme (Feminisme
Eksistensialisme), melalui dua jilid bukunya Second Seks.31
Filsafat Sartre diperoleh dari Descartes, sebagai yang pertama dalam
andilnya sebagai sumber kuat pemikiran Sartre. Pengaruh kedua ketika Sartre
mulai berkenalan dengan fenomenologi Husserl dan pada tahun 1933-1934
mendapat kesempatan untuk mempelajari lebih mendalam aliran filsafat di suatu
lembaga di Prancis.32 Tokoh lain yang mempengaruhi pemikiran Sartre adalah
Martin Heidegger, dari Heideggerlah ia mengambil konsep eksistensi sadar di
dunia; pemilihan mendasar antara dunia makhluk-berkesadaran dan dunia benda;
konsep dengan aneh menjadi eksistensi; rasa derita; kehampaan; pembedaan
antara kefaktaan dan angan-angan; dan konsep manusia yang membentuk dirinya
sendiri dengan memiliki proyek menuju masa depannya.33
Sartre,pada tahun 1960 mengaku telah mengambil keseluruhan pemikiran
Marx dengan beberapa bagian revisi dan mengkaitkannya dengan eksistensialisme
yang ada di dalamnya. Kierkegaard juga memberi sumbangan atas perjalanan
intelektual Sartre yakni pada penekanan eksistensi sadar individu, bukan pada
esensi dari Hegel, serta pembedaan antara ketakutan objektif dan derita
28
Paul Strathern, 90 Menit bersama Sartre, trj, Ibid, hlm 7.
29
A. Setyo Wibowo dkk, Filsafat Eksistensialisme Jean Paul Sartre,
(Yogyakarta:Kanisius, Cet 5 2015), hlm 28.
30
K. Bertens, Filsafat Barat Kontemporer : Prancis, terj, Ibid, hlm 84.
31
Wahyu Budi Nugroho, Orang Lain Adalah Neraka: Sosiologi Eksistensialisme Jean
Paul Sartre, Ibid, hlm 26.
32
K. Bertens, Filsafat Barat Kontemporer : Prancis, terj, Ibid, hlm 84.
33
T.Z. Lavine, Ibid, hlm 34.
eksistensial. Dari Nietzsche, ia terpengaruh dengan konsep kematian Tuhan.
Sartre begitu tenggelam dalam arus sejarah pemikiran-pemikran Eropa yang kuat,
orsinilitas Sartre dapat dilihat dari penerjemahan ulang, revisi dan pengerjaan
ulang bahan-bahan yang telah dijelaskan di atas menjadi satu kesatuan yang baru
yang menjadi titik pusat eksistensialisme Prancis dewasa ini, dalam bentuk
risalah, novel, drama, essai sastra dan kritik politik.34
Sartre, setelah menjalani wamil (wajib militer), ia dipangggil kembali dan
masuk ketentaraan karena ketika itu Perang Dunia II pecah. Tugasnya dalam masa
wamil memiliki banyak waktu luang karena ditempatkan di bidang meteorologi,
sehingga ia dapat membaca dan menulis. Sartre, kemudian menjadi tahanan
perang oleh Jerman dari bulan Juni 1940 sampai April 1941, di dalam tahanan ia
menulis dan menyutradarai sebuah drama yang mengisahkan peristiwa Natal,
akan tetapi sebenarnya mengecam pendudukan Palestina oleh tentara Roma.35
Perang Dunia ke II, merupakan masa-masa produktif bagi Sartre, ia
menuliskan tiga buah karya besarnya L’etre et le neant (Being and Nothingness),
The Psychology of Imagination, dan Transcendence of Ego, Sartre juga menulis
tiga novel besar yang berjudul Nausea, The Age of Reason dan Roads to
Freedom. Perang dunia ke II dan berbagai peristiwa di dalamnya sangat
mempengaruhi pemikiran Sartre dan penulisan karya-karyanya. Peristiwa yang
terjadi di Eropa khususnya Prancis sendiri yang dialami oleh jutaan bahkan lebih
penduduk Eropa dan Prancis yang dirasakan secara bersamaan, memiliki
kedudukan dan kesan tersendiri bagi Sartre dan hal tersebut memiliki pengaruh
terhadap pemikirannya dalam filsafat eksistensialismenya.36
Sartre, pada periode Perang Dunia ke II dan menjadi tawanan tentara
Jerman, ia mulai membaca karya filsuf asal Denmark Soren Kierkegaard, yang di
daulat sebagai perintis filsafat eksistensialisme yang bercorak theistik.
Kierkegaard dan Sartre memiliki keyakinan yang bertolak belakang, namun dalam
dimensi lain, keduanya memiliki kesamaan dalam memaknai arti “kebebasan”.
Kiekegaard mengartikan bebas adalah seperti “dosa asal” 37, dalam pandangannya
kecemasan dan ketakutan adalah ketika ia berhadapan dengan kebebasannya
sendiri, dengan kata lain bahwa kecemasan dan ketakutan pasti akan dirasakan
oleh manusia ketika ia dihadapkan pada kebebasannya sendiri.38
Pada tanggal 15 April 1980, duka menyelimuti seluruh penjuru Prancis
bahkan seantero jagat, Jean Paul Sartre filsuf abad 20, seorang pemikir, penulis,
dramawan, humanis, jurnalis serta aktivis politik yang paling berpengaruh kala
itu, meninggal dunia pada usia 75 tahun.

34
T.Z. Lavine, Ibid, hlm 35.
35
K. Bertens, Filsafat Barat Kontemporer : Prancis, terj, Ibid, hlm 85.
36
Wahyu Budi Nugroho, Orang Lain Adalah Neraka: Sosiologi Eksistensialisme Jean
Paul Sartre, Ibid, hlm 40.
37
Dikisahkan oleh Kiekegarrd peristiwa Adam yang menggambarkan betapa besarnya
kebebasan yang dimiliki oleh manusia. Tuhan telah melarang Adam untuk memakan buah
pengetahuan yang ada di dalam surga, namun larangan tersebut berarti pula bahwa “ia dapat
memakannya” (dalam artian ia bebas melakukannya).
38
Wahyu Budi Nugroho, Orang Lain Adalah Neraka: Sosiologi Eksistensialisme Jean
Paul Sartre, Ibid, hlm 41.
Pemikiran Sartre
Sartre membedakan dua macam kenyataan; “Berada-pada-dirinya-sendiri”
(etre en soi) dan “Berada-bagi-dirinya-sendiri” (etre pour soi). Pertama adalah
realitas padat-objektif, kedua adalah kesadaran diri yang hanya bisa ada sebagai
penolakan terhadap “Berada-pada-dirinya-sendiri” (kesadaran menyadari diri
sebagai yang bukan-apa-yang-disadarinya). Sartre, menegaskan bahwa berada-
bagi-dirinya-sendiri membenarkan diri dengan menidakan berada-pada-dirinya-
sendiri. Manusia adalah berada-bagi-dirinya-sendiri yang berarti bahwa ia tidak
mempunyai hakikat yang pasti, yang harus begitu saja diterimanya. Manusia
menemukan dirinya terlempar ke dalam eksistensi. Manusia adalah sama sekali
bebas, sama sekali tidak terdeterminasi, manusia harus memproyeksi dirinya,
menciptakan dirinya melalui kebebasan yang dimilikinya, melalui tindakan bebas
tersebut manusia menjadi.39 Menurut Sartre, proyek berada-bagi-dirinya-sendiri
hanya dapat eksis dalam bentuk yang sadar. Proyek tersebut benar-benar eksis
sebagai proyek yang terintegrasi di dalam suatu struktur khusus dan larut di
dalamnya.40
Sartre, untuk menunjukan ada mencetuskan istilah etre en soi (being-in-
itself; ada-pada-dirinya). Etre en soi juga bisa dikatakan it is what it is (itu adalah
apa itu).Etre en soi identik sekali dengan dirinya, tidak aktif, tidak pasif, tidak
afirmatif, dan tidak negatif. Etre en soi tidak memiliki masa lalu dan tidak
memimilik masa depan, tidak mempunyai kemungkinan maupun tujuan, etre en
soi itu sama sekali kontingen (ada begitu saja, tanpa fundamen, tanpa diciptakan,
dan lain-lain).41
Istilah etre pour soi (being-for-itself; ada-bagi-dirinya) untuk menunjukan
kesadaran. Etre pour soi bukanlah benda dan berbeda sama sekali serta memiliki
status yang berlainan dengan etre en soi, jadi terdapat dua cara berada, dua modes
of being yang sama sekali berbeda: etre en soi dan etre pour soi.42Etre pour soi
yang diajukan Sartre bahwa kesadaran (akan) dirinya berbeda sebagai kesadaran
akan sesuatu, dengan kata lain kesadaran intensional. Kesadaran tersebut juga bisa
dikatakan sebagai kesadaran akan sesuatu berada sebagai kesadaran (akan)
dirinya. Kehadiran (pada) dirinya sendiri adalah konstitutif bagi kesadaran.
Sebagai contoh; saya melihat sepeda di halaman atau saya melihat sendok di meja,
hal tersebut berarti saya sadar bahwa saya bukanlah sepada ataupun sendok.
Negavitas atau menidak merupakan ciri khas dari etre pour soi, manusia
mampu untuk mengadakan relasi dengan yang tidak ada. Etre pour soi juga bisa
dikatakan; it is not what it is (itu bukan apa itu). Sehingga bagi Sartre, kesadaran
berarti distansi, jarak, non-identitas dan bahwa kesadaran sama dengan kebebasan.
Menurutnya, manusia adalah makhluk yang membawa ‘ketiadaan’, sehingga
dalam aktivitas khusus etre pour soi adalah ‘menidak’.43 Perbandingan anatra
kedua cara berada etre en soi dengan etre pour soi , bahwa etre en soi tidak
memiliki relasi terhadap etre pour soi , sedangkan etre pour soi memiliki relasi

39
Franz Magnis-Suseno, menalar tuhan, (Yogyakarta: Kanisius, cet 8 2013), hlm 94.
40
Jean Paul Sartre, Seks dan Revolusi, trj (Yogyakarta: Narasi, Cet 2 2016), hlm 68.
41
K. Bertens, Ibid, hlm 92.
42
K. Bertens, Ibid, hlm 93.
43
K. Bertens, Ibid, hlm 95.
dengan etre en soi yaitu ‘menidak’ etre en soi. Etre pour soi berkeinginan sebagai
etre en soi, yang memiliki identitas dan kepenuhan ada.44

Orang Lain adalah Nereka45


Manusia dalam perkembangannya sebagai posisi sentral dinobatkan sebagai
pelaku dalam pemaknaan hidupnya. Manusia dengan distingsi rasionalnya
membuat relasi-relasi dengan realitas sebagai subjek yang menggarap objek. Yang
lain atau “the othter” diperlakukan sebagai objek, bahwa realitas adalah objek
yang dianalisis oleh pikiran manusia, realitas adalah ‘yang lain’ yang akan
dikuasai, dikatagorikan, dipetakan hingga berada di bawah kontrol budi rasional
manusia.46
Yang lain merupakan salah satu ide yang ditawarkan Sartre dalam
eksistensialismenya. Keberadan yang lain selalu mengobjekkan diri kita, hal
tersebut dapat terjadi mengingat tentang kesadaran (etre pour soi) yang dimiliki
setiap manusia seperti halnya diri kita sehingga tidak bisa dipungkiri yang lain
berpotensi membentuk ‘penilaian’ atau ‘menstruktur’ eksistensi kita.47
Ide mengenai yang lain menimbulkan banyak kontroversi dan kritik,
bagaimana tidak, Sartre beranggapan bahwa relasi antar manusia adalah konflik.
Ungkapan-ungkapan Sartre mengenai hal tersebut banyak dikutip dalam buku-
bukunya, seperti; “Dosa asal saya adalah adanya orang lain” (dalam buku Ada dan
Ketiadaan) dan “Neraka adalah Orang Lain” (dalam buku Pintu Tertutup, sebuah
teks drama).48
Garcin : Kau selalu akan melihatku?
Inez : Selalu.
Garcin : Perunggu ini. (memegangnya sambil merenung) ya sekarang
saatnya. Aku melihat kepada barang ini dan aku tahu aku berada dalam
neraka. Memang, semuanya sudah diatur sebelumnya. Mereka tahu aku
akan berdiri di sini membarut-barut perunggu ini, sedangkan semua mata
memandangku. Melalap aku. (tiba-tiba ia berputar) apa? hanya kalian
berdua? Kukira lebih banyak. (ketawa) jadi inilah neraka. Aku tidak
mengira begini. Ingatkah, apa yang diceritakan pada kita tentang macam-
macam siksaan di sini? Certita nenek-nenek. Buat apa besi rajam yang
merah menyala? Tidak perlu sama sekali. Neraka adalah Orang Lain.49
Relasi antar manusia bagi Sartre pada dasarnya dapat diasalkan dari konflik.
Konflik adalah inti dari setiap relasi intersubyektif, hal tersebut berkaitan erat
dengan pandangannya mengenai kesadaran. Aktivitas kesadaran yang khas adalah
‘menidak’ seperti apa yang telah dijelaskan di atas. Kesadaran yang khas tersebut
juga berlangsung dalam setiap pertemuan antara kesadaran-kesadaran. Setiap
44
K. Bertens, Ibid, hlm 96.
45
Neraka menurut Sartre adalah keadaan terobjekkan oleh subjek (orang lain), sehingga
dirinya merasakan seperti terkucilkan, kesiksaan dan kesengsaraan. Karena menurutnya hubungan
dengan orang lain pada dasarnya adalah suatu konflik.
46
Mudji Sutrisno, dkk, Hermeneutika Pascakolonial (Yogyakarta:Kanisius, 2004), hlm 1.
47
Wahyu Budi Nugroho, Ibid, hlm 68.
48
K. Bertens, Ibid, hlm 100.
49
Jean Paul Sartre, Pintu Tertutup, trj (Jakarta: Dunia Pustaka Jaya , 1976), hlm 69.
kesadaran ingin mempertahankan subjektivitasnya sendiri-sendiri, ingin menjadi
pusat suatu ‘dunia’. Kesadaran lain harus dimasukan ke dalam ‘dunia’ tersebut,
atau harus dijadikan objek bagi saya, agar saya tetap bearada dalam ‘duniaku’.
Akan tetapi, orang lain juga sama halnya dengan kita, akan mengusahakan hal
yang sama dengan saya, ia akan berusaha memasukan saya ke dalam dunianya.
Sehingga, setiap relasi antar manusia dalam perjumpaan kesadaran-kesadaran
tersebut tidak lain tidak bukan merupakan suatu dialektika subyek-objek di mana
yang satu berusaha mengalahkan yang menjadi objek bagi dia. Konflik yang
terjadi antar relasi manusia tersbut didasarkan pada sorot mata (le regard), atau
dengan kata lain sorot mata adalah orang lain yang menonton saya,
mengobservasi saya, dan dengan demikian hal tersebut dapat mengobyektivasi
saya.50
Tatapan orang lain adalah dia yang menguarangi kebebasan manusia untuk
menentukan dirinya sendiri. Sartre sendiri dalam pengalaman mengenai tatapan
orang lain, mengalami dua peristiwa kejatuhan-kejatuhan yang telah dijelaskan di
atas pada pengalaman-pengalaman pribadinya. Kedua peristiwa tersebut, tatapan
mata orang lain menjatuhkan manusia menjadi sekedar “objek”. Sartre bepikir
bahwa situasi manusia pada umumnya adalah ditentukan oleh cara pandang orang
lain, entah dalam hal positif maupun negatif. Cara pandang orang lain tersebut
mengobjekkan manusia, menempatkannya ke dalam sebuah konsep atau ide, atau
situasi yang di luar jangkauan manusia itu sendiri.51
Tatapan orang lain mengurangi kemungkinan-kemungkinan diri untuk
menentukan dirinya sendiri, serta mengurangi kebebasan otentik manusia.
Tatapan mata orang lain yang mengobyekkan bukan kata akhir bagi manusia.
Menurut Sartre, pada saat diobjekkan, manusia harus tetap tahu bahwa dia bukan
objek, bahwa hal tersebut menjadikan manusia sadar objektivasi atas dirinya
hanyalah sesuatu yang kontingen belaka, satu di antara banyak kemungkinan.52
Refleksi Sartre dalam mendefinisikan manusia pada intinya adalah
kebebasan sebagai sebuah pour soi (ada bagi dirinya sendiri) di hadapan en soi
(ada pada dirinya sendiri). Kesadaran transenden manusia selalu masih bisa
menidak, menghindari dan menolak pada en soi. Dengan kata lain, bahwa
manusia sebagai pour soi adalah kebebasan itu sendiri, manusia menjadikan
dirinya sendiri ketika ia menyadari sebagai pour soi.53
L’etre et le Neant (neraka adalah orang lain) adalah membaca manusia
sebagai etre pour autrui (ada-untuk-yang-lain), justru menyadarkan Sartre sebagai
suatu refleksinya bahwa adanya kejatuhan manusia diakibatkan objektivasi
l’autre lewat tatapan mata orang lain. L’autre menjadi sumber kesusahan, sumber
petaka bagi manusia yang sejatinya memiliki kebebasan dan ingin tetap bebas.
Manusia adalah ada bagi dirinya sendiri (pour soi), sebuah kebebasan yang tak

50
K. Bertens, Ibid, hlm 101.
51
A. Setyo Wibowo dkk, Filsafat Eksistensialisme Jean Paul Sartre, (Yogyakarta:Kanisius,
Cet 5 2015), hlm 29.
52
A. Setyo Wibowo dkk, Ibid, hlm 30.
53
A. Setyo Wibowo dkk, Ibid, hlm 31.
terbatas, yang tak terobjekkan dari dirinya (en soi), lewat kebebasan tersebut
manusia menjadi dirinya sendiri.54

Interpretasi Gramatikal
Interpretasi gramatikal berfokus pada proses memahami teks yang bertitik
tolak dari bahasa, struktur kalimat-kalimat yang diungkapkan atau ditulis dan juga
hubungan antara teks tersebut dengan karya-karya lainnya dengan jenis yang
sama.55
Ungkapan kontroversial Sartre tidak lepas dari perenungannya yang
mendalam mengenai fenomena yang terjadi. Refleksi filosofis yang dihasilkan
berupa karya-karya baik dibidang filsafat maupun sastra. Karya filosofis pertama
Sartre adalah L’etre et le Neant, sebuah buku dan karya yang besar dan sulit serta
menggunakan istilah-istilah yang abstrak namun selalu bertitik tolak pada
manusia yang nyata dan dari sebuah situasi dan fenomena. Refleksi atas
pembacaan terhadap manusia sebagai etre pour soi (ada-bagi-dirinya),
menyadarkan Sartre akan situasi manusia akibat dari objeketivasi dari l’etre (yang
lain) dan hal tersebut mengakibatkan kesusahan, kesiksaan bagi manusia itu
sendiri dan hal tersebut terjadi lewat tatapan mata.
Kaitan antara karya L’etre et le Neant dengan karya lain atau ungkapan
Sartre dalam dialog lain yang terdapat di teks drama Huis Clos mengenai
penajisan orang lain dan keterpengaruhan tatapan orang lain sebagai suatu akibat
kesusuhan dan kesiksaan bagi kebebasan manusia itu sendiri sebagai subjek.
Pelayan : Tuan seorang yang nglamun?
Garcin : Tolong jangan bicara... aku tidak akan ribut, aku tidak
akan menaruh kasihan pada diriku sendiri, aku akan menghadapi keadaan,
seperti apa yang telah aku katakan. Aku tidak akan membiarkannya
menyergap aku dari belakang, sebelum aku sempat menaksirnya. Itu yang
kau sebut “nglamun”.... singkatnya begini, orang tidak perlu istirahat.
Kenapa tidur harus dirisaukan kalau kita tiak mengantuk. Masuk akal
sekali kan? Sebentar, sebentar ada yang tidak cocok di sini – sesuatu yang
tidak menyenangkan. Tapi ia tidak akan menyenangkan? .... aku mengerti.
Ini hidup terus menerus.
Pelayan : Apa maksud tuan?
Garcin : Apa maksudku? (memandang pelayan dengan penuh
curiga) sudah kukira. Itu makanya ada sesuatu yang keji, sesuatu yang
kurang ajar dalam caramu menatap aku.56
Dilaog dari teks drama Huis Clos yang menyinggung tatapan mata orang
lain memberikan dampak bagi Garcin akan kebebasnnya, dan dirinya sadar bahwa
tatapan yang dilakukan pelayan mengganggu dirinya. Buku Huis Clos (Pintu
Tertutup), sebuah buku teks drama yang memiliki nilai-nilai filosofis yang tersirat

54
A. Setyo Wibowo dkk, Ibid, hlm 33.
55
Richard E. Palmer, Hermeneutika Teori Baru Mengenai Interpretasi, terj (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, cet 2 2005), hlm 100.
56
Jean Paul Sartre, Pintu Tertutup, trj (Jakarta: Dunia Pustaka Jaya , 1976), hlm 11.
dan beberapa kali drama tersebut dipentaskan. Teks dialog dari drama tersebut
terdapat ungkapan-ungkapan yang kontroversial.
Garcin : Kau selalu akan melihatku?
Inez : Selalu.
Garcin : Perunggu ini. (memegangnya sambil merenung) ya sekarang
saatnya. Aku melihat kepada barang ini dan aku tahu aku berada dalam
neraka. Memang, semuanya sudah diatur sebelumnya. Mereka tahu aku
akan berdiri di sini membarut-barut perunggu ini, sedangkan semua mata
memandangku. Melalap aku. (tiba-tiba ia berputar) apa? hanya kalian
berdua? Kukira lebih banyak. (ketawa) jadi inilah neraka. Aku tidak
mengira begini. Ingatkah, apa yang diceritakan pada kita tentang macam-
macam siksaan di sini? Certita nenek-nenek. Buat apa besi rajam yang
merah menyala? Tidak perlu sama sekali. Neraka adalah Orang Lain.57
L’enfer c’est Les Autres dalam bahasa Prancis yang memiliki arti Neraka
adalah orang lain, ungkapan dari Garcin dalam dialog drama Huis Clos. Kalimat
tersebut sebagai pandangan negatif terhadap orang lain. Pandangan negatif
tersebut tidak lepas dari refleksi atas dialog sebelumnya yang mengungkapkan
bahwa “kau akan selalu melihatku?”. Ungkapan-ungkapan dalam dialog di atas
berkaitan dengan apa yang dijelaskan dan sikap reflektif Sartre dalam buku
L’etre et le Neant (Being and Nothingness).
Tatapan mata yang dimaksud oleh Sartre sendiri adalah awal dari semua
kejatuhan-kejatuhan manusia, manusia akan menjadi objek dari yang lain, yang
mengakibatkan kebebasan yang dimiliki manusia hilang. Oleh karena itu dalam
pandangan mengenai hubungan dengan yang lain adalah sebagai konflik, maka
Sartre sangat menekankan pandanganya mengenai kesadaran yang dimiliki
manusia. Kesadaran, seperti yang telah dijelaskan pada sub bab sebelumnya,
bahwa aktivitas dari kesadaran adalah menidak. Manusia dari aktivitas
menidaknya tersebut adalah suatu kesadaran yang mempertahankan
subjektivitasnya dan dunianya sendiri, sehingga terhindar dari pengobjekan dari
yang lain. Tatapan orang lain juga menurut hemat penulis dapat diartikan sebagai
cara pandang dan sikap orang lain terhadap keauntentikan diri dan kebebasan
yang dimilikinya. Sehingga pengobjekan atas subjek yang diobjekkan
menimbulkan keresahan, kesengsaraan dan kesiksaan pada diri subjek.
Konflik dalam hubungan antar manusia berawal dari tatapan yang lain,
maka ungkapan-ungkapan Sartre begitu kontroversial dan memiliki banyak
komentar kritik terhadap pandangan-pandangannya. Ungkapan-ungkapan yang
dilontarkan seolah menajiskan orang lain, sehingga pandangannya banyak menuai
kritikan. Akan tetapi jika dilihat dari sisi interpretasi psikologis yang dialami
Sartre, maka tidak heran jika ia berpandangan tersebut.
Interpretasi psikologis dalam menganalisis pergulatan batin yang dialami
Sartre, bahwa ia dalam menjalani hidup ini mengalami beberapa kejatuhan-
kejatuhan yang sangat berpengaruh dalam perkembangan pemikirannya.
Kejatuhan yang pertama ia alami ketika masih kecil sekitar berusia empat tahun,
dikarenakan hidup Sartre yang berasal dari kalangan borjuis maka perlakuan dari
57
Jean Paul Sartre, Pintu Tertutup, trj (Jakarta: Dunia Pustaka Jaya , 1976), hlm 69.
keluarganya begitu istimewa. Namun disisi lain ia memiliki cacat fisik, matanya
yang juling sehingga ia diperolok-olok oleh teman-temannya, yang membuat
dirinya menjadi seorang yang penyendiri.
Kejatuhan yang kedua ketika ibunya menikah kembali pada waktu dirinya
berusia 12 tahun, bapak tirinya adalah seorang lulusan universitas ternama di
Prancis, Sartre menggambarkan ayah tirinya yang selalu berpikir dengan bertitik
tolak dari pengetahuan matematika, fisika dan pengetahuan teknis lainya. Sartre,
pada suatu saat disuruh mengerjakan soal-soal al-jabar, namun tidak bisa
mengerjakannya karena tidak ahli dibidang ilmu tersebut dan mendapat perlakuan
kasar oleh bapak tirinya. Sartre menganggap kejadian tersebut berawal dari
tatapan mata dan dapat menjatuhkan manusia, yang menjadi sekedar “objek”, oleh
karena itu tatapan mata mengurangi kebebasan autentik manusia. Sartre
merefleksikan apa yang ia alami dalam mendefinisikan manusia bahwa kebebasan
adalah sebagai sebuah pour-soi, “berada bagi dirinya sendiri”. Kejatuhan-
kejatuhan yang menjadikan pergulatan batin tersendiri bagi Sartre, kemudian ia
refleksikan pada konsep eksistensialismenya. Sehingga ungkapan-ungkapan
kontroversialnya terlahir bukan hanya sekedar dilihat dari segi gramatikal bahasa
saja, melainkan keadaan psikologi atau pergulatan batin yang dialami Sartre
sangat berpengaruh besar terhadap apa yang dia ucapkan.
Konsep orang lain adalah neraka, atau ungkapan dan pandangan mengenai
yang lain dapat dicontohkan melalui fenomena-fenomena yang tengah terjadi.
Salah satu contohnya adalah kasus agraria yang terjadi di daerah Yogyakarta,
mengenai rencana pembangunan New Yogyakarta International Airpot (NYIA)
mendapatkan penolakan dari warga Yogyakarta, khususnya warga Temon Kulon
Progo, pada Desember tahun 2017.58
Penolakan warga bukan tanpa alasan, karena dalam proses proyek
pembangunan NYIA, pihak Angkasa Pura 1 telah menghancurkan ruang hidup
warga Kulon Progo. Penghancuran ruang hidup yang dialami warga adalah
penggilasan tanaman yang belum sempat dipanen, mencabut listrik, mengisolasi
warga dari kehidupan luar dan adanya sikap-sikap pengintimidasian. Pengalaman-
pengalaman batin yang dialami oleh warga adalah salah satu bentuk penindasan
dan perampasan kebebasan ruang hidup. Maka dalam hal ini, bagi warga Kulon
Progo pihak Angkasa Pura 1 adalah neraka, karena telah mengakibatkan
kebebasan yang dimiliki warga hilang akibat dari perampasan lahan. Bahkan
ruang hidup serta alam mengalami kerusakan yang diakibatkan oleh proyek
pembangunan bandara tersebut.
Perjuangan dalam mempertahankan tanah dan air pesisir, adalah perjuangan
yang dilakukan warga dalam aksi penolakan pembangunan bandara baru Kulon
Progo (NYIA) adalah suatu perjuang besar untuk mempertahankan kebebasan
sebagai suatu individu, bukan hanya itu melainkan perjuangan panjang dalam
mempertahankan berbagai ruang hidup di Kulon Progo, Yogyakarta. Maka bagi
Sartre, hal tersebut adalah suatu kesadaran yang dimiliki manusia dalam aktivitas
menidakpihak orang lain. Pemberontakan atau penolakan yang dilakukan warga
adalah salah satu wujud dari etre pour soi (ada-bagi-dirinya). Penolakan terhadap
58
http://tirto.id/penolak-bandara-nyia-kami-pertahankan-milik-kami-kami-punya-haknbps-
cBfb.
pengobyekan dari pihak Angkasa Pura 1 yang telah menghancurkan ruang hidup
dan kebebasan warga Yogyakarta khusunya Kulon Progo.
Menurut Sartre, kesadaran transenden manusia selalu masih bisa menidak,
menghindari dan menolak pada en soi(dalam hal ini adalah pihak Angkasa Pura).
Dengan kata lain, bahwa warga sebagai pour soi adalah kebebasan itu sendiri,
manusia menjadikan dirinya sendiri ketika ia menyadari sebagai pour soi.
Sehingga warga menyadari bahwa perjuangan yang dilakukan dalam aksi
penolakannya adalah untuk mempertahankan ruang hidup yang dimilikinya.
L’enfer c’est Les Autres (neraka adalah orang lain) adalah membaca
manusia sebagai etre pour autrui (ada-bagi-yang-lain), justru menyadarkan bahwa
konsep dari pemikiran Sartre adalah sebagai suatu refleksinya bahwa adanya
kejatuhan manusia diakibatkan objektivasi l’autre, hemat penulis adalah sikap-
sikap orang lain yang menjatuhkan manusia, yakni membuat manusia itu
sengsara, kesusahan dan tertindas. Pengalaman-pengalaman batin yang dialami
warga Kulon Progo adalah sebagai kejatuhan manusia yang diakibatkan dari
objektivasi l’autre(yang dilakukan pihak Angkasa Pura) lewat tindakan-tindakan
mereka yang menghancurkan ruang hidup dan kebebasan warga dari hak yang
dimiliki.

Teori Psikologi Behaviorisme Skinner


Teori psikologi behaviorisme untuk memperkuat teori hermenutika
Schleiermacher mengenai interpretasi psikologi. Interpretasi psikologi melihat
pengalaman-pengalaman batin pengarang, kemudian psikologi behaviorisme
Skinner lebih memperkuat dengan pandangannya mengenai proses belajar dan
stimulus respon yang dialami seseorang.
Kejatuhan-kejatuhan yang dialami Sartre, dari mulai kejatuhan yang
pertama pada usianya ke empat tahun yakni mengalami cacat (mata juling),
bermula dari situ, Sartre mengalami pengucilan oleh teman-temanya yang
mengakibatkan menjadi pribadi penyendiri. Kejatuhan kedua dialaminya ketika
usiannya 12 tahun, dan harus menerima kenyataan bahwa ibunya menikah lagi
dan harus ikut dengan Ibu dan Ayah tirinya. Hidup dengan ayah tirinya membuat
dirinya merasa terbebani dengan hal baru dan respon serta interaksi dirinya
dengan ayah tirinya yang kurang baik. Sartre mendapatkan perlakuan yang tidak
mengenakan dari ayah tirinya, sehingga dirinya memiliki ketidak senangan pada
yah tirinya. Kejadian terseubt juga merupakan seuatu refleksi dalam hidupnya dan
menajadi salah satu pengaruh besar terhadap pemikirannya.
Pengalaman pribadi Sartre, dalam teori psikologi behaviorisme mendapat
perhatian lebih, karena aliran behaviorisme merupakan aliran yang menganggap
bahwa orang-orang sepenuhnya dikontrol oleh lingkungan yang ada di
sekitarnya.59 Teori behavior menganggap bahwa manusia bersifat mekanistik atau
merespon kepada lingkungan dengan kontrol yang terbatas, hidup dalam alam
deterministik dan sedikit berperan aktif dalam menentukan martabatnya. Manusia
melalui kehidupannya dan memberikan reaksi terhadap lingkungannya, dari hal
tersebut menghasilkan pola-pola perilaku yang dapat membentuk kepribadian.
59
Howard S. Friedman dkk, Kepribadian : Teori Klasik dan Riset Modern. Trj, (Jakarta:
Erlangga, 2006), hlm 220.
Perilaku sesorang ditentukan oleh intensitas dan beragamnya jenis pengutan
(reinforcement) yang diterima dalam situasi hidupnya.60 Maka dari kejatuhan-
kejatuhan yang dialami Sartre, pengaruh lingkungan, stimulus yang ia dapatan
sangat mempengaruhi perilakunya yang menyendiri dan mempengaruhi
pemikirannya.
Proses belajar, stimulus yang diterima mengindikasikan Sartre menjadi
pribadi yang suka menyediri, semaunya dan ingin menang sendiri. Sartre
menganggap bahwa orang lain tidak boleh mempengaruhinya, sehingga dia bebas
dalam melakukan apa yang diinginkan. Orang lain menjadi sesutu yang sangat
mengganggu bagi keauntentikan dirinya, sehingga orang lain tidak boleh
mengobjekan dirinya. Proses belajar dan stimulus pengaruh lingkungan yang
dimaksud psikologi behaviorisme tersebut, maka perilaku-perilaku Sartre
terbentuk dari apa yang diterima dan mempengaruhinya semasa hidupnya, dari
semenjak usia empat tahun mendapat perlakuan dan pengucilan oleh teman-
temannya, kemudian menginjak remaja pada usia 12 tahun, mendapat perlakuan
tidak baik oleh ayah tirinya. Pengalaman menjadi tahanan tentara Jerman
merupakan salah satu pengaruh terhadap pemikiran dan perilaku Sartre dan
direfleksikan ke dalam ide humanismenya dalam mengahadapi situasi buruk saat
perang dan ketertindasan.

Strategi Sartre Dalam Upaya Pembelaan atas Sikap Kemanusiaan yang


Bebas dari Penindasan Orang Lain.
Strategi yang di upayakan Sartre dalam pembelaan atas sikap kemanusiaan
yang bebas dari penindasan orang lain, dapat dilihat dari aplikasi teori
hermeneutika Dilthey. Formulasi yang ditawarkan dilthey ada tiga, erlebnis,
ausdruck dan versthen, untuk erlebnis adalah bagaimana penafsir melihat dari
berbagai pengalaman-pengalaman hidup yang dialami Sartre baik sosial, politik
dan lain sebagainya. Ausdruck adalah suatu ekspresi yang dihasilkan oleh Sartre,
dalam hal ini adalah karya-karya ataupun ungkapan-ungkapan yang dihasilkan
oleh Sartre selama hidupnya dari pengalaman-pengalaman batin yang dialaminya,
kemudian diobjetivisasikan ke dalam sebuah karya. Maka dalam kaitannya
mengenai versthen adalah bagaimana upaya Sartre dalam sikap pembelaannya
terhadap kasus-kasus kemanusiaan yang terjadi dari apa yang dialaminya, serta
dari pengalaman batin hidupnya menghasilkan karya yang dapat berkontibusi
dalam sikap kemanusiaannya.
Humanisme yang ditawarkan Sartre adalah humanisme eksistensialisme,
mengapa humanisme eksistensialisme? Karena dalam humanisme eksistensialime
Sartre menawarkan gagasan-gagasan humanisme yang dalam pengertian tersebut
sebagai kritik terhadap konsep humanisme terdahulu. Humanisme
eksistensialisme menurutnya adalah harus optimis, menjunjung tinggi kebebasan
yang dimiliki manusia, mewujudkan apa yang diinginkan manusia serta manusia
aktif dalam menjadi manusia. Karena dasar keeksistensian manusia adalah
humanisme itu sendiri, manusia memiliki potensi yang dapat melampaui apa yang
sudah dimiliki sehingga manusia menjadi autentik. Menurutnya humanisme

Sigit Sanyata, Teori dan Aplikasi Pendekatan Behavioristik dalam Konseling, Jurnal
60

Paradigma, No. 14 th. VII, Juli 2012. Hlm 3.


terdahulu belum menunjukan sisi manusiawi atau kemanusiaan itu sendiri, dan
masih mempertimbangkan orang lain, nilai, norma, dan agama bahkan Tuhan.
Sartre, dalam kuliahnya pasca perang dan yang terkanal dengan bukunya
berjudul Existensialism is A Humanism, ia menciptakan dua upaya. Upaya
pertama, ia mendukung gagasan Nietzsche pada pentingnya pengungkapan.
Konsekuensi dari ketiadaan Tuhan itu adalah tidak ada lagi sumber absolut nilai-
nilai bagi manusia. “Sama sekali tak tertulis, katanya, “bahwa ‘kebaikan’ itu ada,
bahwa seseorang harus jujur atau tidak berdusta, karena kita ini berada dalam
kapal yang isinya hanya manusia.”, “karena Tuhan tidak ada, Dia tidak bisa
menjadi landasan bagi hidup kita.” Kemudian Sartre mengutip ungkapan dari
Dostoevski bahwa “Jika Tuhan tidak ada, segalanya diperbolehkan.”61
Ketiadaan Tuhan baginya adalah inti dari eksistensialisme, segalanya
diperbolehkan dan bebas. Tidak adanya Tuhan, manusia sendirian di alam semesta
yang hanya sebagai makhluk berkesadaran, separti apa yang dikatakannya bahwa
eksistensi manusia sebagai makhluk berkesadaran berada di atas esensi atau
eksistensi mendahului esensi.62
Sartre, pada masa-masa perang dunia ke dua pecah ditugaskan dibidang
meteorologi, dalam tugasnya itu Sartre memiliki banyak waktu dan digunakan
untuk membaca dan menulis. Sartre juga sempat ditahan oleh pasukan tentara
Jerman sekitar 9 bulan, di dalam tahanan Sartre banyak membaca dan menulis
serta menyutradari sebuah drama yang mengisahkan peristiwa Natal, yang
sebenarnya adalah untuk mengencam penindasan Palestina oleh tentara Roma.
Perang Dunia, juga merupakan masa-masa produktifitas Sartre dalam
menghasilkan karya besarnya. L’etre et le neant (Being and Nothingness), The
Psychology of Imagination, dan Transcendence of Ego, Sartre juga menulis tiga
novel besar yang berjudul Nausea, The Age of Reason dan Roads to Freedom.
Perang dunia ke II dan berbagai peristiwa di dalamnya sangat
mempengaruhi pemikiran Sartre dan penulisan karya-karyanya. Peristiwa-
peristiwa yang terjadi di Eropa, berbagai kerusuhan dan lain sebagainya memiliki
kesan tersendiri bagi Sartre dan hal tersebut memiliki pengaruh terhadap
pemikiran eksistensialismenya.Sartre dalam meneriakan kebebasan dari tekanan
Nazi begitu lantang, dia telah menguniversalisasikan keputusan Prancis selama
penjajahan, karena konsepsi optimistiknya atas pembaharuan diri, “bahwa
manusia bukanlah apa-apa selain apa yang dia buat untuk dirinya sendiri.” Sartre
begitu lantang menawarkan pada masyarakat Prancis dan para pengungsi korban
perang mengenai subjektivisme Cartesian: “Di hadapan keraguan dan
kebingunganku atas permasalahan dunia, subjektivisme menyatakan, aku sendiri,
dalam situasiku sendiri, mengejar cita-citaku sendiri dan mengambil moralku
sendiri dengan bebas dan bertanggung jawab dalam kemurnian.63
Pengalaman-pengalaman hidup Sartre, yang telah dijelaskan di atas, dapat
kita simpulkan sebagai upaya sikap-sikap kemanusiaan Sartre dalam memandang
61
Jean Paul Sartre, Eksistensialisme dan Humanisme, terj (Yogyakarta:Pustaka Pelajar, Cet
1 2002), hlm 58.
62
Jean Paul Sartre, Eksistensialisme dan Humanisme, terj (Yogyakarta:Pustaka Pelajar, Cet
1 2002), hlm 27.
63
T.Z. Lavine, Jean Paul Sartre: Filsafat Eksistensialisme Humanis, trj (Yogyakarta:
Jendela, 2003), hlm. 99.
dunia dan penindasan-penindasan yang dialami setiap individu, khususnya ketika
masa Perang Dunia ke dua. Pengalaman-pengalaman hidup yang dialami Sartre
memberikan sumbangsi besar dalam humanisme dewasa ini, sikap-sikap
kemanusiaan yang ingin diangkat adalah humanisme yang bercorak
eksistensialisme. Manusia memiliki kebebasan, sehingga sebagai individu yang
memiliki kebebasan dapat memilih dan menentukan hidupnya sendiri. Kebebasan
itu sendiri merupakan cara berada manusia yang paling mendasar, karena manusia
diyakini sebagai makhluk yang bebas dan dengan kebebasannya itu adalah modal
dasar untuk hidup sebagai seorang individu yang autentik dan bertanggung jawab
atas apa yang dilakukan dalam menjalani kehidupannya.
Pemikiran Sartre yang telah dijelaskan di atas mengenai konsep orang lain
adalah neraka, dari hasil refleksi pengalaman kehidpannya baik psikologi maupun
sosial dapat membawa semangat dan percaya diri terhadap aktualisasi diri pribadi,
untuk sadar akan kebebasan manusia itu sendiri. Bukan hanya menyuarakan
kebebasan manusia yang dimilikinya, akan tetapi menjadi semangat untuk
memberikan sikap-sikap humanis dalam upaya pembelaan terhadap penindasan-
penindasan orang lain.

F. KESIMPULAN
Berdasarkan analisis hermeneutika Schleiermacher dan Dilthey, serta teori
psikologi behaviorisme terhadap pemikiran Jean Paul Sartre tentang orang lain
adalah neraka, dan pembelaan atas sikap kemanusian yang bebas dari penindasan
orang lain dapat disimpulkan sebagai berikut:
Pertama, Orang lain adalah neraka menurut Sartre diasalkan dari konflik,
semua bermula dari tatapan mata orang lain, baginya orang lain dapat
mengobjekan, dan dirinya menajdi terobjekkan. Sartre menganggap kejadian
tersebut berawal dari tatapan mata dan dapat menjatuhkan manusia, yang menjadi
sekedar “objek”, oleh karena itu tatapan mata mengurangi kebebasan autentik
manusia. Sartre merefleksikan apa yang ia alami dalam mendefinisikan manusia
bahwa kebebasan adalah sebagai sebuah pour-soi, “berada bagi dirinya sendiri”.
Kejatuhan-kejatuhan yang menjadikan pergulatan batin tersendiri bagi Sartre,
kemudian ia refleksikan pada konsep eksistensialismenya. Sehingga ungkapan-
ungkapan kontroversialnya terlahir bukan hanya sekedar dilihat dari segi
gramatikal bahasa saja, melainkan keadaan psikologi atau pergulatan batin yang
dialami Sartre sangat berpengaruh besar terhadap apa yang dia ucapkan.
Pemikiran-pemikiran Sartre dipengaruhi oleh pergulatan-pergulatan batin
yang dialaminya. Hal tersebut dapat dilihat dari perjalanan hidupnya melalui
metode hermenutika Scheleieramcaher, interpretasi psikologisnya. Proses belajar,
stimulus yang diterima mengindikasikan Sartre menjadi pribadi yang suka
menyediri, semaunya dan ingin menang sendiri. Sartre menganggap bahwa orang
lain tidak boleh mempengaruhinya, sehingga dia bebas dalam melakukan apa
yang diinginkan. Orang lain menjadi sesutu yang sangat mengganggu bagi
keauntentikan dirinya, sehingga orang lain tidak boleh mengobjekan dirinya.
Proses belajar dan stimulus pengaruh lingkungan yang dimaksud psikologi
behaviorisme Skinner, maka perilaku-perilaku Sartre terbentuk dari apa yang
diterima dan mempengaruhinya semasa hidupnya, dari semenjak usia empat tahun
mendapat perlakuan dan pengucilan oleh teman-temannya, kemudian menginjak
remaja pada usia 12 tahun, mendapat perlakuan tidak baik oleh ayah tirinya.
Pengalaman menjadi tahanan tentara Jerman merupakan salah satu pengaruh
terhadap pemikiran dan perilaku Sartre dan direfleksikan ke dalam ide
humanismenya dalam mengahadapi situasi buruk saat perang dan ketertindasan.
Kedua, berdasarkan analisiis dengan menggunakan metode hermeneutika
Dilthey terhadap pemikiran Jean Paul Sartre yang terdiri dari erlebnis, ausdruck,
verstehen. Erlebnis sendiri mencakup pengalaman-pengalaman hidup yang dialmi
oleh Sartre yang menjadikan dirinya seorang filsuf eksistensialisme dengan
pemikiran-pemikran filsafatnya. Ausdruck yakni berisi gagasan eksistensialisme
dan pemikiran filsafat yang kontrversial dan menghasilkan karya-karya besar,
dibidang filsafat, sastra, naskah drama dari gagasan-gagasan Sartre. Verstehen,
merupakan upaya pemahaman atas pemikiran Sartre yang dilihat dari
pengalaman-pengalaman hidup dalam memahami karya yang dihasilkan, yakni
sebagai upaya pembelaan atas sikap kemanusian yang bebas dari penindasan
orang lain.
Pengalaman-pengalaman hidup Sartre, yang telah dijelaskan di atas, dapat
kita simpulkan sebagai upaya sikap-sikap kemanusiaan Sartre dalam memandang
dunia dan penindasan-penindasan yang dialami setiap individu, khususnya ketika
masa Perang Dunia ke dua. Pengalaman-pengalaman hidup yang dialami Sartre
memberikan sumbangsih besar dalam humanisme dewasa ini, sikap-sikap
kemanusiaan yang ingin diangkat adalah humanisme yang bercorak
eksistensialisme. Manusia memiliki kebebasan, sehingga sebagai individu yang
memiliki kebebasan dapat memilih dan menentukan hidupnya sendiri.
Penelitian yang dilakukan dalam penulisan skripsi ini berfokus pada analisis
hermeneutika Schleiermacher dan Dilthey terhadap pemikiran Jean Paul Sartre
mengenai Orang lain adalah Neraka dan upaya pembelaan atas sikap kemanusiaan
yang bebas dari penindasan orang lain. Adapun saran dari penulis adalah bahwa
banyak pemikiran-pemikiran Sartre yang masih bisa digali dan dianalisis lebih
mendalam lagi. Oleh karena itu, disarankan untuk peneliti selanjutnya dapat
meneliti etika Sartre, karena penulis lebih berfokus pada kajian filsafat manusia
khusunya eksistensialisme dan sikap-sikap humanisme Sartre melalui
pengalaman-pengalaman batinnya.
DAFTAR PUSTAKA

A. Setyo Wibowo dkk. 2015. Filsafat Eksistensialisme Jean Paul Sartre. Cet 5.
Yogyakarta:Kanisius.

Abidin, Zainal. Filsafat Manusia. Cet 6.Bandung: Remaja Rosdakarya.

Ahmadi, Rulam. 2016. Metodelogi Penelitian Kualitatif. Yogyakarta:Ar-ruzz


Media.

Al-Qur’an nul Karim.

Bartens, K. 2002. Filsafat Barat Kontemporer: Inggris-Jerman. Trj. Jakrata:


Gramedia Pustaka Utam

Bertens, K. 2001. Filsafat Barat Kontemporer: Prancis. Trj. Jakarta: Gramedia


Pustaka Utama.

Edi Mulyono dkk. 2013.Belajar Hermeneutika. Cet 2. Jogjakarta, IRCiSoD.

Friedman, Howard S. dkk. 2006. Kepribadian : Teori Klasik dan Riset Modern.
Trj. Jakarta: Erlangga.

Hadi, Sutirsno. 1989. Metodelogi Research. Yogyakarta: Andi Offset.

Hadiwijono, Harun. 2005.Sari Sejarah Filsafat Barat 2. Cet 21. Yogyakarta:


Kanisius.

Harahap, Syahrin. 2000. Metodologi Studi dan Penelitian ilmu-ilmu Ushuluddin.


Jakarta: RajaGrafindo Persada.

Indrawan, Rully. 2014. Metodologi Penelitian: Kuantitatif, Kualitatif dan


Campuran untukManajemen, Pembangunan dan Penidikan. Bandung:
Rafika Aditama.

Lathief, Supaat I. 2008. Psikologi Fenomenologi Eksistensialisme. Cet 1.


Lamongan: Putaka Ilalang.

Lavine, T. Z. 2003. Jean Paul Sartre: Filsafat Eksistensialisme Humanis. Trj.


Yogyakarta: Jendela.
Meleong,Lexy J. 2001.Metode penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja
Rosdakarya.

Muzari. 2002. Eksistensialisme Jean Paul Sartre: Sumur Tanpa Dasar Kebebasan
Manusia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Nugroho,Wahyu Budi. 2013. Orang Lain Adalah Neraka: Sosiologi


Eksistensialisme Jean Paul Sartre. Cet 1.Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Palmer, Richard E. 2005. Hermeneutika : Teori Baru Mengenai Interpretasi.


Cet2. Yogjakarta: Pustaka Pelajar.

Palmquist, Stephen. 2002. Pohon Filsafat: Teks Kuliah Pengantar Filsafat. Trj.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Prastowo, Andi.2016. Metode Penelitian Kualitatif: dalam Perspektif


Rancangan Penelitian. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.

Sarete, Jean Paul. 1976. Pintu Tertutup. Trj. Jakarta: Dunia Pustaka Jaya.

Sartre, Jean Paul. 2000. Psikologi Imajinasi. Trj. Yogyakarta: Bentang.

Sartre,Jean Paul. 2002. Eksistensialisme dan Humanisme, terj . Cet 1.


Yogyakarta:Pustaka Pelajar.

Sartre, Jean Paul. 2004. Dogmatik Kritik. Trj. Jakarta: Celepuk.

Sartre, Jean Paul. 2009. Words : Menguak Kekuatan Menulis dan Membaca. Trj.
Surabaya: Selasar Publishing.

Sartre, Jean Paul. 2016. Seks dan Revolusi. Trj. Yogyakarta: Narasi.

Sartre, Jean Paul.2012. Emotions Theory. Trj. Surabaya : Grammatical Publishing.

Sumaryono,E.1999. Hermeneutik Sebuah Metode Filsafat. Yogyakarta: Kansius.

Suseno, Franz Magnis. 2013.Menalar Tuhan. Yogyakarta: Kanisius.

Sutrisno, Mudj, Dkk. 2004. Hermeneutika Pascakolonial: Soal Identitas.


Yogyakarta. Kanisius.

Skripsi dan Jurnal:


Sigit Sanyata, Teori dan Aplikasi Pendekatan Behavioristik dalam Konseling,
Jurnal Paradigma, No. 14 th. VII, Juli 2012.

Chafid Wahyudi, “Tuhan dalam Perdebatan Eksistensialisme”, Teosofi:Jurnal


Tasawuf dan Pemikiran Islam, Vol. 02 No. 02, Desember 2012

Hadi, Sumasno “Konsep Humanisme Yunani Kuno dan Perkembangannya dalam


Sejarah Pemikiran Filsafat”, Jurnal Filsafat, Vol. 22 No. 2 Agustus 2012.

Muzairi, “Kebebasan Manusia dan Konflik dalam Pandangan Eksistensialisme


Jean Paul Sartre”, Jurnal Esensia, Vol. XIII No. 1 Januari 2012.

Toto Suharto, “Melacak Pemikiran Poskolonialisme”, Esensia , Volume XII No 2


Juli 2011.
Ary Arseno, Keyakinan yang buruk pada tokoh Kanji Watanabe dalam film Ikiru
karya sutradara Akira Kurosawa. Skripsi Jurusan Bahasa dan Sartre
Fakultas Ilmu Budaya Universitas Brawijaya Malang. 2015.

Diana Mella Yussafina, Eksistensialisme Jean Paul Sartre Dan Relevansinya


Dengan Moral Manusia. Skripsi Jurusan Aqidah dan Filsafat Fakultas
Ushuluddin UIN Walisongo Semarang, 2015.

Nuril Hidayati, Kebertuahanan Manusia dalam Filsafat Eksistensialisme Ateis F.


Nietzsche dan Jean Paul Sartre. Skripsi Jurusan Aqidah dan Filsafat
Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga Jogyakarta, 2003.

Pesty Jessy Ismoyo, Kebebasan dalam Roman L’age de Raison karya Jean Paul
Sartre. Skripsi jurusan Studi Perancis Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya
Universitas Indonesia. Tahun 2012.

Tika Sylvia Utami.Ketidaktunggalan Identitas dalam Novel Kering Iwan


Simatupang Tinjauan berdasarkan eksistensialisme Jean Paul Sartre.
Skripsi jurusan Ilmu Filsafat Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya
Universitas Indonesia tahun 2011.

http://library.islamweb.net/newlibrary/display_book.php?idfrom=4438&idto=44
1&bk_no=52&D=1552. Di unduh pada tanggal 9 November 2017, pukul
09:41 WIB.

http://tirto.id/penolak-bandara-nyia-kami-pertahankan-milik-kami-kami-punya
haknbps-cBfb.

Anda mungkin juga menyukai