Meski tidak menyebut dirinya sebagai seorang fenomenolog, Sartre (1950-1980) mengaku
pemikirannya banyak dipengaruhi oleh fenomenologi Husserl dan Heidegger. Dari
fenomenologi Husserl paling tidak Sartre melihat dua hal penting.
Pertama, perlunya menempatkan kesadaran sebagai titik tolak untuk kegiatan-kegiatan atau
penyelidikan-penyelidikan filsafat.
Kedua, pentingnya filsafat untuk “kembali kepada realitasnya sendiri” (Zu den sachen
selbst).
“Fenomenologi Husserl” demikian Sartre menulis dalam L’imagination, “dengan gemilang
membuka jalan untuk mengadakan studi-studi tentang kesadaran dengan bertolak dari titik
nol, tanpa asumsi-asumsi, tanpa hipotesa-hipotesa dan tanpa teori-teori prafenomenologis”.
Gejala-gejala dasar manusia seperti kesadaran, emosi, imajinasi dan fanntasi memang harus
diselidiki secara langsung, tanpa menggunakan asumsi-asumsi atau teori-teori
prafenomenologis yang deterministik dan mekanistik. Sartre member ilustrasi tentang gejala
emosi, yang menuruut teori psikologi tentang emosi dari James-Lange diartikan sebagai
bagian yang pasif dari perilaku manusia, yakni sebagai suatu respons pada suatu stimulus
tertentu. Kritik Sartre atas teori itu cukup menohok.
DUA TEMA UTAMA FILSAFAT SARTRE :
“KEBEBASAN” DAN “ADA”
Dalam Saint Genet, Sartre merumuskan seluruh usaha
dalam temporalitas dan dalam transendensinya ke arah Ada. (Jadi, sangat dekat
dengan Analisis Eksistensial Heidegger).
Bagian ketiga menyangkut tema baru tentang perhubungan antara kesadaran yang
satu dengan kesadaran yang lain. Ini adalah bentuk Ada baru, yakni “ada-bagi-
orang-lain” (pour autrui). Ada jenis ini secara konkret tampak misalnya dalam
tatapan. Dalam tatapan, sorot mata kita diarahkan pada sorot mata orang lain.
Dalam konteks ini, Sartre secara cukup intens mengamati gejala tubuh menurut
pengalaman diri sendiri dan menurut pengalaman orang lain. Hasil dari
pengamatan ini berupa anggapan Sartre tentang konflik : Perhubungan antara
kesadaran yang satu dengan kesadaran yang lain tidak bisa lain kecuali konflik,
suatu pertentangan yang tidak bisa diperdamaikan.
Bagian keempat merupakan deskripsi tentang esensi kesadaran sebagai suatu
Periode Eksistensialisme Fenomenologis
Eksistensialisme Adalah Suatu Humanisme (L’Eexistentialisme est un
humanism) (1946). Ceramah itu dimaksudkan sebagai apologia eksistensialisme
dalam menangkal berbagai serangan dari kaum komunis dan gereja Katolik.
Ceramah itu sekaligus merupakan upaya rekonsiliasi baru antara kebebasan dan
Ada, lewat suatu humanism. Humanisme eksistensialis bisa dikatakan
merupakan suatu bentuk humanisme baru karena pendirian dasarnya yang khas,
yakni bahwa tidak ada universum apapun di luar universum manusia. Universum
manusia adalah “universum hasil dari proyek transendensi diri dan proyek aktif
subjektivitas manusia”. Meskipun humanisme Sartre masih tetap
mempertahankan ateismenya, beberapa interpretasinya tentang manusia
(kesadaran) mengalami perubahan yang cukup berarti. Pandangannya yang
semula muram tentang manusia, kini menunjukkan tanda-tanda optimistik.
Manusia tidak lagi dipandang sebagai “gairah yang sia-sia”, melainkan
dipandangnya sebagai “anugerah”. “Menjadi manusia”, tulis Sartre dalam naskah
ceramahnya itu, “tidka lain adalah suatu anugerah, suatu berkah yang luar biasa,
hanya jika manusia itu sendiri mengakui kebebasan absolutnya dan pertanggung
jawabkannya yang menyeluruh”.
BEBERAPA KARAKTERISTIK UTAMA FENOMENOLOGI
SARTRE DAN TEMA-TEMA PENYELIDIKANNYA
Tema Penyelidikan Sartre : Kesadaran
Penolakan atas Ego Transendental Husserl dan Interpretasi Sartre
tentang Fenomenologi Eksistensi Manusia
Kita telah mengetahui bahwa ajakan Husserl untuk “kembali kepada