Anda di halaman 1dari 22

KONFLIK EKSISTENSIAL MANUSIA YANG

TIDAK PERNAH TERDAMAIKAN : JEAN PAUL


SARTRE (1905-1980)

Samuel Marlas Roha Sihombing


1801060108
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
BAB 1
PENDAHULUAN
 Kata eksistensi berasal dari kata “eks” (keluar) dan sistensi,
yang diturunkan dari kata kerja “sisto” (berdiri,
menempatkan). Oleh karena itu kata eksistensi diartikan :
manusia berdiri sebagai diri sendiri dengan keluar dari dirinya.
Manusia sadar bahwa dirinya ada. Ia dapat meragukan segala
sesuatu, tetapi satu hal yang pasti, yaitu bahwa dirinya ada.
 Eksistensialisme adalah filsafat yang memandang segala gejala
dengan berpangkal kepada eksistensi. Pada umumnya kata
eksistensi berarti keberadaan, akan tetapi di dalam filsafat
eksistensialisme ungkapan eksistensi mempunyai arti yang
khusus. Eksistensi adalah cara manusia berada di dalam dunia
 RINGKASAN MATERI

KONFLIK EKSISTENSIAL MANUSIA YANG TIDAK PERNAH TERDAMAIKAN :


JEAN PAUL SARTRE (1905-1980)
 HERBERT SPIEGELBERG

Meski tidak menyebut dirinya sebagai seorang fenomenolog, Sartre (1950-1980) mengaku
pemikirannya banyak dipengaruhi oleh fenomenologi Husserl dan Heidegger. Dari
fenomenologi Husserl paling tidak Sartre melihat dua hal penting.
 Pertama, perlunya menempatkan kesadaran sebagai titik tolak untuk kegiatan-kegiatan atau

penyelidikan-penyelidikan filsafat.
 Kedua, pentingnya filsafat untuk “kembali kepada realitasnya sendiri” (Zu den sachen

selbst).
“Fenomenologi Husserl” demikian Sartre menulis dalam L’imagination, “dengan gemilang
membuka jalan untuk mengadakan studi-studi tentang kesadaran dengan bertolak dari titik
nol, tanpa asumsi-asumsi, tanpa hipotesa-hipotesa dan tanpa teori-teori prafenomenologis”.
Gejala-gejala dasar manusia seperti kesadaran, emosi, imajinasi dan fanntasi memang harus
diselidiki secara langsung, tanpa menggunakan asumsi-asumsi atau teori-teori
prafenomenologis yang deterministik dan mekanistik. Sartre member ilustrasi tentang gejala
emosi, yang menuruut teori psikologi tentang emosi dari James-Lange diartikan sebagai
bagian yang pasif dari perilaku manusia, yakni sebagai suatu respons pada suatu stimulus
tertentu. Kritik Sartre atas teori itu cukup menohok.
DUA TEMA UTAMA FILSAFAT SARTRE :
“KEBEBASAN” DAN “ADA”
 Dalam Saint Genet, Sartre merumuskan seluruh usaha

filsafatnya dalam satu kalimat pendek : “merekonsiliasikan


(mendamaikan) subjek dan objek”. Usaha ini barangkali
didorong oleh pengalaman fundamental Sartre tentang
kebebasan (diri sebagai “subjek”) dan tentang benda
(“objek”). Kedua pengalaman ini dalam pandangan Sartre
merupakan symbol kondisi manusia yang (di satu pihak)
mengalami dirinya sebagai makhluk bebas, tetapi (di lain
pihak) selalu dihadapkan pada kuasa atau daya tarik Benda.
Paradoks dari pengalaman tentang kebebasan itu secara
orisinal dilukiskan dalam novel-novelnya seperti Rasa Muak
(La nausea) dan Lalat-Lalat (Les mouches).
Dalam pandangan Sartre, pengalaman tentang kebebasan dan tenntang
kesadaran sendiri, bukanlah pengalaman yang mudah dan mengenakkan.
Kebebasan ternyata penuh dengan paradoks dan seklliagus menyesakkan.
Kebebasan “dibebankan” kepada kita oleh situasi yang tidak kita pilih dan
tanpa alternatif lain kita harus menerimanya begitu saja. Selain itu, kebebasan
bukanlah sesuatu yang mapan dan padat (massif), yang bisa kita andalkan
sebagai sandaran yang kokoh untuk hidup kita. Seballiknya, kebebasan itu
amatlah rapuh dan selamanya berada dalam posisi yang rentan dan teancam.
Ancaman itu sesungguhnya berasal dari Benda. Benda mempunyai daya
tarik dan daya pikat yang luar biasa besar, yang mampu menjerat dan
menghancurkan kebebasan. Kebebasan merupakan sasaran empuk dari pesona
dan kuasa Benda yang keberadaannya luar biasa massif dan melimpah-ruah
(de trop). La nausee berisi ilustrasi tentang ancaman Benda terhadap
kebebasan. Dalam novel dikisahkan tentang Antoine Roquentin yang merasa
muak, merasa mau muntah, setelah melihat Benda yang esensinya sama sekali
tidak bermakna, yang keberadaannya tidak beralasan, dan kelimpah-ruahan
serta kemasifannya menyebabkan kedangkalan pada jiwa manusia.
Apakah akar dari dualisme Sartre? Francis Jeanson yang telah
mengadakan penelaahan atas hampir seluruh kaya dan biografi Sartre,
coba menjawab pertanyaan itu dengan menunjuk pada dua tema lain
dari pemikiran Sartre, yakni “haram jadah” (bastardy) dan
“kebanggaan” (pride). Di dalam biografi Sartre ditemukan tema dasar
hidupnya yang tragis –karena masa lalunya sebagai anak yatim yang
dibesarkan dalam sepi dan dinginnya perpustakaan kakeknya yang
keras kepala- yang meyakinkan dirinya bahwa eksistensinya adalah
tidak sah, tidak pada tempatnya dan tidak dikehendaki. “Aku adalah
haram jadah yang konyo,” akunya. Pengalaman ini meyakinkan
pendiriannya bahwa eksistensi manusia pada prinsipnya adalah sia-sia,
absurd, penuh permusuhan dan syakwasangka. Pendirian ini pun
semakin mendapatkan pembenarannya di dalam pengalaman
Heidegger tentang “keterlemparan”, dimana kita sebagai manusia
sesungguhnya tidak mengetahui asal-usul dan alasan keberadaan hidup
kita sendiri.
Petunjuk kedua terdapat pada tema “kebanggaan”, yakni
sebuah tema yang membawa Sartre pada humanisme
eksistensial : “kebanggaan” bahwa manusia adalah satu-
satunya pusat dari realitas. Dan atas dasar “kebanggaan” itulah
Sartre mengikuti Husserl, hendak menghapus Benda-benda
dari kesadaran. Benda-benda adalah lawan tunggal kebebasan.
perlawanan-perlawanan Sartre terhadap Benda-Benda adalah
klimaks dari semangat pemberontakan Promothus melawan
universum yang telah dibangun terutama sejak zaman
Romantik. Pada saat yang bersamaan, perlawanan Sartre itu
pun adalah perlawanan Kartesian dalam menaklukkan
kegelapan bawah sadar pada zamannya atau semangat Kantian
dalam mempertahankan otonomi manusia dari Kuasa-Kuasa di
luar manusia.
PERANAN FENOMENOLOGI DALAM PERKEMBANGAN
PEMIKIRAN SARTRE
Sartre mengakui bahwa usaha untuk merekonsialisasikan antara subjek
dan objek, antara kebebasan dan Benda, antara kebebasan subjektif dan
Ada-objektif, ternyata bukan merupakan usaha yang gampang. Perjalanan
panjang pemikiran Sartre yang ditandai oleh sejumlah percobaan,
kegagalan, dan perubahan jalan yang ditempuh menunjukkan kesulitan yang
dihadapi olehnya.
 Periode Prafenomenologis

Komitmen dan concern Sartre untuk merekonsiliasikan pertentangan


antara Kebebasan-subjektif dan Ada-objektif sudah ada, bahkan ketika ia
masih muda dan belum berkenalan dengan fenomenologi. Dalam suratnya
kepada Les Nauvelles Litteraises (2 Februari 1912), saat Sartre berusia 24
tahun, menunjukkan kenyataan itu. Dalam surat yang dimaksudkan untuk
menjawab pertanyaan para mahasiswa tentang gagasan-gagasan Sartre yang
dianggap kontroversial pada saat itu, dipaparkan olehnya kondisi manusia
yang penuh dengan paradoks.
Periode Psikologi Fenomenologis
Berbeda dengan periode prafenomenologis, pada periode psikologi
fenomenologis, pendekatan dan interpretasi Sartre atas masalah kebebasan
dan Ada, bukan saja lebih “ilmiah” dan konkret, tetapi juga mulai bebas
dari pesimisme yang muram dan pikiran yang masih diliputi kekaburan.
Fenomenologi, yang dipelajari Sartre selama belajar di Jerman (1933-
1934), rupanya telah memberinya suatu permulaan baru, suatu permulaan
berpikir yang tidak dibayang-bayangi oleh filsafat dan psikologi
tradisional.
Sampai berapa jauh pendekatan baru itu membantu Sartre memecahkan
persoalan utama tentang pertentangan antara kebebasan dan Ada? Kendati
dalam La Nausee belum tampak adanya usaha yang sungguh-sungguh
untuk mengadakan rekonsiliasi antara kebebasan dan Ada, namun dalam
novel ini telah disuguhkan sebuah alternatif untuk perlindungan dan
pembebasan dari rasa muak karena Ada. La Nausee menawarkan jalan
keluar dari rasa muak dengan cara masuk ke dalam dimensi keindahan.
 Periode Ontologi Fenomenologis
Periode ini dimulai dengan terbitnya Ada dan Tiada (L’etre et le neant) pada
tahun 1943. Anak judul buku ini, “Uraian tentang Ontologi Fundamental”, sudah
secara eksplisit menunjukkan tema atau sasaran yang hendak diselidikinya.
Sartre kini relatif lebih siap memecahkan persoalan tentang Ada dan kesadaran-
bebas, dan menghubungkan kedua persoalan tersebut dalam suatu sintesis baru.
Fenomenologi dipandang mampu menjalankan tugas itu.
Yang menarik dari buku itu adalah adanya perpaduan baru antara ontologi
(yang dihubungkan oleh Sartre dengan gejala-gejala “aneh” seperti pengalaman-
pengalaman tatapan, anomali seks, rasa mual dan sebagainya) dengan berbagai
bentuk baru psikoanalisis, yang kemudian disebut Psikoanalisis Eksistensial.
Selain itu, kita akan diajak terjun langsung untuk mengalami pertentangan antara
kesadaran (etre-pour-soi) dan Ada-pada-dirinya (etre-en-soi). Akan tetapi, seperti
halnya Ontologi Fundamental Heidegger, yang pada dasarnya merupakan
analisis eksistensial atas manusia (Dasein), ontologi Sartre dalam bukunya itu
pun pada dasarnya hanya berkenaan denga kesadaran. Deskripsi tentang Ada-
pada-dirinya hanya menyita empat halaman.
Berikut ini empat bagian penting dalam Ada dan Tiada. Dalam keempat bagian itu
deskripsi tentang kesadaran (pour-soi) menyita hampir seluruh buku yang cukup tebal
itu.
 Bagian pertama berkenaan dengan relasi antara ketiadaan dengan struktur

kesadaran. Dideskripsikan bahwa kesadaran merupakan gerbang menuju ketiadaan.


Selanjutnya dideskripsikan juga bahwa, karena kesadaran melalui tindakan
negasinya (yakni, “menidak”), menutup did terhadap Ada, maka disimpulkan oleh
Sartre bahwa sumber negasi itu tidak lain adalah kesadaran dan kesadaran pada
prinsipnya adalah ketiadaan.
 Bagian kedua berkenaan dengan struktur kesadaran dalam faktisitasnya, kemudian

dalam temporalitas dan dalam transendensinya ke arah Ada. (Jadi, sangat dekat
dengan Analisis Eksistensial Heidegger).
 Bagian ketiga menyangkut tema baru tentang perhubungan antara kesadaran yang

satu dengan kesadaran yang lain. Ini adalah bentuk Ada baru, yakni “ada-bagi-
orang-lain” (pour autrui). Ada jenis ini secara konkret tampak misalnya dalam
tatapan. Dalam tatapan, sorot mata kita diarahkan pada sorot mata orang lain.
Dalam konteks ini, Sartre secara cukup intens mengamati gejala tubuh menurut
pengalaman diri sendiri dan menurut pengalaman orang lain. Hasil dari
pengamatan ini berupa anggapan Sartre tentang konflik : Perhubungan antara
kesadaran yang satu dengan kesadaran yang lain tidak bisa lain kecuali konflik,
suatu pertentangan yang tidak bisa diperdamaikan.
 Bagian keempat merupakan deskripsi tentang esensi kesadaran sebagai suatu
Periode Eksistensialisme Fenomenologis
Eksistensialisme Adalah Suatu Humanisme (L’Eexistentialisme est un
humanism) (1946). Ceramah itu dimaksudkan sebagai apologia eksistensialisme
dalam menangkal berbagai serangan dari kaum komunis dan gereja Katolik.
Ceramah itu sekaligus merupakan upaya rekonsiliasi baru antara kebebasan dan
Ada, lewat suatu humanism. Humanisme eksistensialis bisa dikatakan
merupakan suatu bentuk humanisme baru karena pendirian dasarnya yang khas,
yakni bahwa tidak ada universum apapun di luar universum manusia. Universum
manusia adalah “universum hasil dari proyek transendensi diri dan proyek aktif
subjektivitas manusia”. Meskipun humanisme Sartre masih tetap
mempertahankan ateismenya, beberapa interpretasinya tentang manusia
(kesadaran) mengalami perubahan yang cukup berarti. Pandangannya yang
semula muram tentang manusia, kini menunjukkan tanda-tanda optimistik.
Manusia tidak lagi dipandang sebagai “gairah yang sia-sia”, melainkan
dipandangnya sebagai “anugerah”. “Menjadi manusia”, tulis Sartre dalam naskah
ceramahnya itu, “tidka lain adalah suatu anugerah, suatu berkah yang luar biasa,
hanya jika manusia itu sendiri mengakui kebebasan absolutnya dan pertanggung
jawabkannya yang menyeluruh”.
BEBERAPA KARAKTERISTIK UTAMA FENOMENOLOGI
SARTRE DAN TEMA-TEMA PENYELIDIKANNYA
Tema Penyelidikan Sartre : Kesadaran
Penolakan atas Ego Transendental Husserl dan Interpretasi Sartre
tentang Fenomenologi Eksistensi Manusia
 Kita telah mengetahui bahwa ajakan Husserl untuk “kembali kepada

realitasnya sendiri” (Zu den sachen selbst) pada akhirnya menjadi


“kembali kepada Ego Transendental”. Fenomenologi kemudian
didefinisikan oleh Husserl sebagai “studi tentang esensi kesadaran
dan berbagai strukturdasariahnya”.
 Pada prinsipnya Sartre menyetujui ajakan Husserl tersebut. Baginya,

kesadaran adalah gejala yang sangat menarik perhatian. Tidak ada


yang lebih menakjubkan dalam kehidupan kita ini selain gejala
kesadaran. Akan tetapi Sartre tidak mau mengulang apa yang telah
dilakukan Husserl, yakni untuk menempatkan ego pada tingkat
transcendental.
Kesadaran dan Fenomenologi
 Salah satu sumbangan terpentingan Sartre pada

perkembangan fenomenologi adalah konsepsinya tentang


kesadaran. Ia memperluas pengertian kesadaran dengan
cara membedakan antara kesadaran reflektif dan kesadaran
pra-reflektif. Kesadaran pra-reflektif adalah kesadaran
yang langsung terarah pada objek perhatian kita (baik
objek dalam kehidupan sehari-hari kita maupun objek
dalam pemikiran atau penelitian kita), tanpa kita sendiri
berusaha untuk mereflesikannya. Adapun kesadaran
reflektif adalah kesadaran yang membuat kesadaran pra-
reflektif menjadi tematik, atau dengan kata lain : kesadaran
yang membuat kesadaran yang tidak-disadari menjadi
“kesadaran yang disadari”.
Karakter Negatif Kesadaran
Kajian awal Sartre dalam psikologi fenomenologis,
khususnya tentang gejala imajinasi, sudah
memperlihatkan perhatiannya pada karakter negatif
kesadaran. “Imajinasi terarah pada objek yang tidak ada,
pada objek-objek yang dimana pun tidak menampakkan
kehadirannya”. Dalam Ada dan Tiada, fungsi negatif
kesadaran itu lebih diberi tekanan lagi. Dalam buku yang
sangat terkenal itu, Sartre menganalisis kesadaran dalam
hubungannya dengan “ketiadaan”. Hasilnya
memperlihatkan perbedaan yang sangat mencolok dari
analisis Heidegger dalam Ada dan Waktu.
Metode Fenomenologi dan Psikoanalisis Eksistensi
 Berdasarkan pada hasil interpretasi tentang kesadaran, Sartre lalu

memperkenalkan suatu metode fenomenologis “baru”, yang ia


sebut “Psikoanalisis Eksistensial”. Hasil studinya itu membawa
Sartre pada kesimupulan, bahwa psikoanalisis dapat membantu
usahanya untuk menerangi dan menganalisa aspek-aspek gelas
dari kesadaran yang selama ini memang merupakan pusat
perhatiannya. “Psikoanalisis yang bertujuan untuk menggali dan
mengungkap sampai ke bawah permukaan perilaku manusia yang
tampak, sesuai dengan minat saya untuk memahami kesadaran
secara lebih mendalam”, demikian tulis Sartre. Ia percaya bahwa
“perilaku yang tampak” itu sebenarnya mengandung makna-
makna simbolis yang kekuatan-kekuatan penggeraknya perlu
diungkap lebih dalam lagi. Psikoanalisis disamping fenomenologi
tentu saja dinilai oleh Sartre mampu menyandang tugas itu.
BEBERAPA ILUSTRASI TENTANG GEJALA
MANUSIA, HASIL DARI PRAKTEK
FENOMENOLOGI EKSISTENSIAL SARTRE
Di bawah ini akan disajikan empat ilustrasi yang akan
memperlihatkan bagaimana fenomenologi Sartre dapat
menjelaskan gejala-gejala dasar manusia.
 Imajinasi

Dalam L’imagination Sartre mengadakan studi kritis


tentang imajinasi dan menyorotinya dalam cahaya
fenomenologi. Sambil memperlihatkan kelemahan teori-
teori psikologi tentang imajinasi, ia memuji keunggulan
pendekatan fenomenologi Husserl tentang gejala yang
sama dalam Ideen.
Emosi
Dalam Esquisse d’une theorie des emotion, Sartre mengajukan
pertanyaan, “apakah fungsi emosi dalam eksistensi manusia?”. Di belakang
pertanyaan itu terkandung pengertian bahwa emosi mempunyai struktur
teleologisnya (telos = bertujuan) sendiri, dan sama sekali bukan hasil
sampingan atau gangguan yang tidak mengandung arti bagi kehidupan
rasional kita. Emosi dipastikan merupakan suatu bentuk perilaku yang
bermakna dan bertujuan. Untuk membuktikan hal itu,Sartre memulai
interpretasinya pertama-tama dengan cara mengkritik teori-teori klasik
tentang emosi. Menurut teori-teosri tersebut, emosi adalah proyeksi mekanis
dari kejadian-kejadian fisiologis dalam kesadaran. Sebaliknya, Sartre
memandang emosi sebagai jaringan cara-cara yang teratur, untuk mencapai
suatu tujuan tertentu. Maka dalam beberapa hal ia setuju dengan para
psikolog gestaltis, yang menginterpretasikan emosi sebagai “penyelesaian
yang masih ‘kasar’ atas konflik-konflik”, atau “suatu cara mengambil
keputusan secara tergesa-gesa untuk mengakhiri keragu-raguan”.
 Tatapan
Salah satu deskripsi fenomenologis Sartre yang juga cukup
orisinal adalah mengenai tatapan manusia. Dengan deskripsi ini,
ia memasuki diskusi tentang “orang lain” ; tentang dunia sosial.
Namun, sebagaimana deskripsi-deskripsi fenomenologis Sartre
pada umumnya, deskripsi fenomenologisnya tentang “tatapan”
dan tentang “orang lain” pun, baru tampak dan bisa dijelaskan
dalam kaitannya dengan gejala kesadaran.
Sartre memperkenalkan masalah “tatapan” dengna mengajak
kita untuk merenungkan kasus penglihatan kita pada seseorang
yang tidak kita kenal, yang lewat di muka kita. Mulai saat itu
kita memandangnya sebagai seorang manusia dengan tatapan
yang terarah pada objek-objek yang sama seperti yang kita lihat.
Tubuh
Gejala tubuh oleh Sartre dilihat dalam perspektif
filsafat sosial. Oleh sebab itu, perhatian Sartre tidak
diarahkan pda tubuh sebagai objek penelitian ilmiah,
seperti di dalam ilmu anatomi atau fisiologi. Melainkan
pada tubuh sebagaimana dialami langsung secara sadar
oleh kita dan fungsi tubh dalam kaitannya dengan relasi
kita dengan “orang lain”. Di dalam pengelaman sehari-
hari kita tentang tubuh, kita tidak memperhatikan atau
mengamati aktivitas otak atau kelenjar endokrin yang
bekerja dalam tubuh kita, melainkan kita mengalami
tubuh sendiri sebagai tubuh-subjek yang meliputi tiga
“dimensi” atau “segi”
PENGARUH SARTRE
Untuk melihat pengaruh Sartre dalam bidang filsafat dewasa ini, kita
jangan melihatnmya dari posisi akademis. Di dalam dunia akademis
pengaruh Sartre bisa dibandingkan dengan posisi para filsuf besar pada
Abad Pertengahan awal, atau para “philosophes” di Perancis. Ia tidak
punya mazhab, tidak punya “sekolah”, tapi ia memiliki sekelompok
pengikut fanatik berkat majalah yang diterbitkannya, yakni Les Temps
moderns.
Namun pemikiran-pemikirannya tentang manusia, baik melalui
filsafat maupun novel-novelnya, tidak boleh diabaikan begitu saja.
Banyak hal “baru” dan menarik tentang manusia, diungkapkan oleh
Sartre dengan cara yang gambling dan berani. Banyak ruang-ruang
gelap dan tidak terduga keberadaannya dalam pengalaman kita, disoroti
oleh Sartre dengan sangat terang sehingga menghentakkan kesadaran
kita, yang selama ini kita abai untuk memikirkannya.
  
TERIMAKASIH

Anda mungkin juga menyukai