Anda di halaman 1dari 3

Ai Nurlatifah

03051912045

Resume Bab 4

Eksistensi Mendahului Esensi

 Tema kunci dalam karya Sartre “Being and Nothingness” (1943) sekaligus
yang menjadi sentral dalam eksistesialisme secara keseluruhan adalah
eksistensi mendahului esensi—dengan kata lain kita tidak memili alam yang
bernilai harga mati terhadapnya yang mana di dalamnya menuntut kita wajib
menyesuaikan diri melainkan kita mempengaruhi siapa diri kita denga napa
yang kita lakukan.
 Muasal ide radikal pada eksistensi mendahului esensi bisa ditarik dari
pemikiran para filsuf Yunani kuno khususnya Aristoteles. Menurutnya
eksistensi adalah apa yang membuatnya seperti itu. Sehingga selalu menjadi
pertanyaan filsafat tradisional “apakah kodrat (esensi) manusia?”
 Klaim eksistensialisme membalik hal tersebut dengan mengatakan eksistensi
ada terlebih dahulu kemudian setelah manusia berada dan beraksi manusia
menentukan esensinya.
 Karya Phenonemonology of Perception (PP) dari Maurice Merleau-Ponty
(1908-1961) mengimplikasikan ciri pokok eksistensialisme yaitu:
Dunia bukan apa yang saya pikirkan melainkan apa yang saya hidupi dan
filsafat itu bukan refleksi tentang kebenaran yang sudah ada sebelumnya
(pre-existing) melainkan seperti seni, Tindakan yang membawa kebenaran
menjadi ada.
 Ketiadaan diartikan sebagai keterlibatan kita dalam dunia dibentuk oleh
ketiadaan yang ada di masa lalu dan masa yang akan datang.
 Kecemasan (Angst) diartikan “pusing karena bebas” oleh Kierkegaard yang
dianalogikan sebagai rasa cemas yang hadir saat kita meninggalkan rumah
karena “ketidak-tahuan”.
 Heidegger (dalam Being and Time) mengilustrasikan Angst sebagai pelarian
diri seseorang dari dirinya sendiri. Hal tersebut terjadi karena dengan cara
bersembunyi dan menghilangkan dirinya sendiri dari dunia yang ambruk
(falling).
 Menurut pemikiran eksistensialisme angst berkaitan erat dengan ketiadaan
dan kebebasan dan merupakan hasil aktualisasi hidup yang terjadi karena
didorong oleh dominasi “keharusan melakukan hal yang benar” sesuai
ekspektasi social.
 Sartre menguraikan distingsi “dalam dirinya sendiri” dan “untuk dirinya
sendiri” sebagai gagasan fundamental eksistensialisme. Yang mana manusia
Ai Nurlatifah
03051912045

berelasi dengan dunia dengan menjadi sadar dan terlibat yang mana
“keberadaan dirinya” tersebut untuk dirinya sendiri.
 Sartre mengobservasi perasaan yang hadir dalam diri berubah karena
adanya kesadaran yang muncul jika diri saya sedang diselidiki dan dinilai
oleh orang lain. Selain itu Sartre mengatakan pada momen kematian, kartu
mati sudah turun shingga tidak ada lagi kartu sisa yang akan dimainkan yang
mana pada saat kematian kita ada (are) yang mengartikan kita tak berdaya di
hadap penilaian orang lain.
 Ceramah Sartre di Paris pada 29 Oktober 1945 yang berjudul Existentialism
as a Humanism mengundang orang berbondong-bondong
mendengarkannya. Dianggap sebagai gagasan baru dan menghebohkan.
Namun Sarte ingin menyakinkan jika gagasan eksistensialisme adalah
gagasan yang lebih sederhana dibanding gagasan para filsuf sebelumnya.
Yang mana hal tersebut dipersepsikan oleh khalayak yang hadir sebagai
upaya Sartre merangsang antispisasi yang mendengarkan gagasannya
tersebut.

Komentar
1. Sartre mengusung gagasan eksistensialisme dimana budaya literasi
bangsa Eropa sudah demikian tinggi sehingga ceramahnya akan gagasan
filsafat tersebut memiliki ruang dan daya Tarik tersendiri. Gagasan
mengenai berfilsafat dan menceramahkannya bukankah sebuah
dorongan keinginan manusia akan ide “menawarkan pemikiran yang yang
lebih baik”? barangkali karena manusia dibekali dengan nalarlah yang
membuat pemikiran tersebut terus muncul.
2. Gagasan eksistensialisme adalah mengaitkan dirinya era tantara
kecemasan, ketiadaan dan dorongan melakukan hal benar sesuai
ekspektasi social, keberadaan diri memiliki sangkut pautnya dengan irisan
keberadaan liyan.
3. Keberadaan liyan sebagai yang telah mengada memiliki ruang sebagai
entitas yang juga ada dan berkontribusi dalam mempengaruhi cara
merasa, berpikir dan bertindak manusia.

Pertanyaan:

1) Konsep eksistensialisme sangat mengagungkan keberadaan akan


manusia itu sendiri dibandingkan esensi dari keberadaan manusianya,
mengapa pemikiran tentang kedua hal ini dianggap terpisah?
Ai Nurlatifah
03051912045

2) Manusia sebagai diri yang kompleks apakah hanya akan mengagungkan


dirinya sendiri yang telah mengada dan menjadi tanpa mengikuti nilai
yang dianggapnya harus ditularkan pada liyan?
3) Penghargaan akan keberadaan liyan dalam pemikiran Sartre apakah bisa
diasumsikan sebagai akar pemikiran Gerakan HAM?

Anda mungkin juga menyukai