Anda di halaman 1dari 15

EKSISTENSIALISME ( FILSAFAT BERBASIS KEMERDEKAAN )

Diajukan untuk memenuhi salah satu mata kuliah

FILSAFAT UMUM

Dosen Pengampu:

Lailatuzz Zuhriyah, S.Th., M.Fil.I

Disusun Oleh:

Kelompok

1. Rofi’atun Nikmah (17204163224)


2. Anggun Elytasani (17204163241)
3. Zaid Kurniawan (17204163243)

TADRIS MATEMATIKA KELAS F


FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI TULUNGAGUNG
MARET 2017
KATA PENGANTAR

Tiada kata yang paling indah selain mengucapkan Alhamdulillah, puji dan
syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan segala nikmat, berkah dan
rahmat serta hidayah-Nya yang senantiasa selalu diberikan kepada penulis,
sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini yang berjudul
“EKSISTENSIALISME ( FILSAFAT BERBASIS KEMERDEKAAN )”. Dalam
penyusunan makalah ini, semua yang penulis lakukan tidak lepas dari doa dan
dukungan beberapa pihak yang telah memberikan bantuan baik secara moril
maupun materil.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan,
untuk itu kritik dan saran yang bersifat membangun sangatlah diharapkan kepada
para pembaca untuk menyempurnakan makalah ini.
Akhir kata, besar harapan penulis semoga makalah ini dapat memberi
manfaat, khususnya bagi peneliti dan umumnya bagi pihak-pihak yang terkait.

Tulungagung, Maret 2017

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..........................................................................................i

DAFTAR ISI.........................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................1

A. Latar Belakang...........................................................................................1
B. Rumusan Masalah.....................................................................................2
C. Tujuan .......................................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN.......................................................................................3

A. Pemikiran Eksistensialisme Menurut Sartre..............................................3


B. Basis Ontologis Eksistensi Manusia .........................................................4
C. Tokoh-tokoh Eksistensialis ......................................................................6

BAB III PENUTUP...............................................................................................10

A. Kesimpulan................................................................................................10
B. Saran .........................................................................................................12

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................13
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sebagai salah satu aliran besar dalam filsafat, secara khususnya dalam
periodisasi filsafat barat yang juga pernah menjadi salah satu aliran sangat
penting di abad ke-20. Eksistensialisme merupakan filsafat yang memandang
segala gejala dengan berpangkal pada eksistensi, yang secara umum diartikan
sebagai keberadaan. Paham ini memusatkan perhatiannya kepada manusia,
maka kerena itulah filsafat ini bersifat humanitis, yang mempersoalkan
seputar keber-Ada-an manusia dan keber-Ada-an itu dihadirkan lewat
kebebasan. Dalam studi sekolahan filsafat eksistensialisme paling dikenal
hadir lewat Jean-Paul Sartre, yang terkenal dengan diktumnya “human is
condemned to be free”, manusia dikutuk untuk bebas, maka dengan
kebebasannya itulah kemudian manusia bertindak. Pertanyaan yang paling
sering muncul sebagai derivasi kebebasan eksistensialis adalah, sejauh mana
kebebasan tersebut bebas? atau “dalam istilah orde baru”, apakah
eksistensialisme mengenal “kebebasan yang bertanggung jawab”? Bagi
eksistensialis, ketika kebebasan adalah satu-satunya universalitas manusia,
maka batasan dari kebebasan dari setiap individu adalah kebebasan individu
lain. Eksistensi adalah cara manusia berada dalam dunia, yang mana cara
berada manusia di dunia ini amatlah berbeda dengan cara berada benda-benda
yang tidak sadar akan keberadaannya, juga benda yang satu berada di
samping lainnya, tanpa hubungan. Namun, disamping itu semua manusia
berada bersama-sama dengan sesama manusia. Maka, untuk membedakan
antara benda dengan manusia dapat kita katakan bahwa benda “berada” dan
manusia “bereksistensi”. Sehubungan dengan itu semua maka, dalam
makalah pengantar filsafat kali ini, penulis ingin membahas tentang
Eksistensialisme.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pemikiran Eksistensialisme menurut Sartre ?
2. Apa saja basis ontologis eksistensi manusia ?
3. Siapa saja tokoh-tokoh Eksistensialis ?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pemikiran Eksistensialisme menurut Sartre.
2. Untuk mengetahui basis ontologi eksistensi manusia.
3. Untuk mengetahui tokoh-tokoh Eksistensialis.
BAB II

PEMBAHASAN

1. Pemikiran Eksistensialisme Menurut Sartre


Dalam pemikiran Sartre selalu bermuara pada konsep kebebasan. Ia
mendefinisikan manusia sebagai kebebasan. Sartre memberikan perumusan
bahwa pada manusia itu eksistensi mendahului esensi, maksudnya setelah
manusia mati baru dapat diuraikan ciri-ciri seseorang. Perumusan ini menjadi
intisari aliran eksistensialisme dari Sartre. Kebebasan akan memberi rasa
hormat pada dirinya dan menyelamatkan diri dari sekedar menjadi obyek.
Kebebasan manusia tampak dalam rasa cemas. Maksudnya karena setiap
perbuatan saya adalah tanggung jawab saya sendiri. Bila seseorang menjauhi
kecemasan, maka berarti ia menjauhi kebebasan. Kebebasan merupakan suatu
kemampuan manusia dan merupakan sifat kehendak. Posisi kebebasan itu
tidak dapat tertumpu pada sesuatu yang lain, tetapi pada kebebasan itu
sendiri. Sartre mengakui pemikiran Mark lebih dekat dengan keadaan
masyarakat dan satu-satunya filsafat yang benar dan definitif. Filsafat Mark
telah memberikan kesatuan konkrit dan dialektis antara ide-ide dengan
kenyataan pada masyarakat. Mark telah menekankan konsep keberadaan
sosial ketimbang kesadaran sosial. Dan bagi Sartre, Mark adalah seorang
pemikir yang berhasil meletakkan makna yang sebenarnya tentang kehidupan
dan sejarah. Meski demikian, Sartre tidak menganggap pemikiran Mark
sebagai akhir suatu pandangan filsafat, karena setelah cita-cita masyarakat
tanpa kelas versi Mark terbentuk, maka persoalan filsafat bukan lagi soal
kebutuhan manusia akan makan dan pakaian, tetapi persoalan filsafat
mungkin dengan memunculkan tema yang baru, seperti soal kualitas hidup
manusia masa depan. Tetapi pemikiran Mark itu dinilai relevan untuk masa
kini.
Inti pemikirannya adalah menekankan pada kebebasan manusia, manusia
setelah diciptakan mempunyai kebebasan untuk menetukan dan mengatur
dirinya. Konsep manusia yang bereksistensi adalah makhluk yang hidup dan
berada dengan sadar dan bebas bagi diri sendiri.
2. Basis Ontologis Eksistensi Manusia
Pemikiran Sartre berawal dari menaggapi pemikiran “Cogito Ergo Sum”
yang digagas Rene Descartes. Menurut Sartre Cogito ditafsirkan
sebagai Cogito tertutup yang terpisah dari dunia dan terkurung dalam dirinya.
Dari pemikiran Huserl dapat dipetik pelajaran bahwa intensionalitas
merupakan ciri khas kesadaran. Menurut kodratnya kesadaran terarah kepada
yang lain dari dirinya dan kesadaran bersifat transendensi. Hal demikian
bertentangan dengan imanensi yang menandai Cogito Descartes.1 Sartre
berkeyakinan bahwa “Ada” merupakan syarat bagi tampaknya sesuatu, “Ada”
itu selalu bersifat transfenomenal, istilahnya tidak dapat dijadikan suatu
fenomen saja, tidak pernah dapat dilampaui antara polaritas kesadaran dan
Ada. Kesadaran dirumuskan Sartre sebagai berikut: kesadaran akan dirinya
berada sebagai kesadaran akan sesuatu. Kesadaran adalah kesadaran diri.
tetapi kesadaran dirinya tidak sama dengan pengalaman tentang dirinya.
Hemat kata, mengambil dirinya sebagai pengenalan. Cogito bukanlah
pengenalan diri, melainkan kehadiran kepada dirinya secara non-tematis,
dapat dikatakan Cogito prareflektif. Kesadaran dirinya membonceng
kesadaran dunia, artinya Cogito tidak menunjuk pada suatu relasi pengenalan,
melainkan pada suatu relasi Ada. Kehadiran pada dirinya merupakan syarat
yang perlu dan cukup untuk kesadaran, maka tidak membutuhkan suatu
subjek Transendental atau Aku Absolut, seperti pemahaman idealisme.2
Untuk menunjukkan Ada, Sartre  mempunyai dua bentuk:
a.      Being-for-itslef (etre-pour-soi)
Ada yang berkesadaran, dengan prinsip kemampuan untuk
bertanya dan menerima jawaban baik negatif maupun positif. Kesadaran
tampil terhadap obyek, menanyakakanya dan yang ditanyakan itu tidaklah
dirinya sendiri sebagai kesadaran. Oleh karena itu, kesadaran tidak pernah
identik dengan dirinya, bahkan tidak mempunyai identitas karena tidak
bisa dekat dengan cara lain dari refleksi. Hemat kata, menghadapi dirinya
sendiri seperti menghadapi hal lain dari dirinya. Menurut Sartre for-
itself yaitu kehadiran manusia dirinya sendiri sebagai Ada yang

1 K. Bertens, Sejarah Filsfat Kontemporer Prancis, (Jakarta: Gramedia, 2013), h. 90.


2 Ibid, h, 91.
menyebabkan ketiadaan muncul di bumi ini, ketiadaan yang muncul di
dunia menyebabkan manusia memeluk kebebasanya, suatu kebebasan
yang membuat kecemasan.3 Kesadaran itu sebagai kebebasan mengatasi
obyek yang disebut in-itslef, maka manusia dapat mengatur dan memilih
serta memberikan makna alam kepadatan, dan memberikan bentuk tertentu
sebagai dunia yang cocok bagi dirinya. Dengan demikian Sartre
menjelaskan struktur langsung dari for-itslef, diantaranya: penghadiran
diri, faktisitas dari for-itslef, for-itslef dan nilai-nilai, for-itslef dan adanya
kemungkinan-kemungkinan, diri dan lingkungan kedirian.
b.      Being-in-itslef (etre-en-soi)
Ada yang tidak berkesadaran, in-itslef adalah suatu imanensi yang tidak
dapat merealisasikan dirinya sendiri, tidak pernah terpisahkan baik dalam
refleksi maupun temporalitas, maka disebut dengan “Ada dalam dirinya
sendiri” (in-itslef).4 Sederhananya, Ada tidak ada hubungan keluar karena
tidak berkesadaran, tidak pernah dan tidak akan bisa menempatkan
dirinya, tidak pernah terpengaruh dengan masalah keberadaanya. Manusia
terus menerus berbuat, mencari tempat dimana ia dapat berdiri, berusaha
untuk dapat “berada dalam diri”, akan tetapi hal demikian tidak mungkin.
Pada hakekatnya manusia bukan hanya memiliki kesadaran dan
kebebasan, tetapi hidupnya dihubungkan dengan sesamanya juga, ia
“berada untuk orang lain” (l’etre pour autrui). Hal demikian menurut
Sartre disebut dengan kata “malu”.5 Pendapat Sartre, psikonalisa
membuktikan bahwa manusia pada ahirnya hanya menginginkan satu hal,
yaitu “berada”. Yang diinginkanya ia “berada dalam diri” yang dapat
bersandar pada diri sendiri. jadi bukan entre en soi, melainkan entre en soi
pour soi “berada dalam diri untuk diri”. Namun yang berada demikian
hanyalah Allah semata, tapi Sartre tidak mengakui adanya Allah. 6
Akhirnya Sartre memberi nasehat agar kita jangan memandang ke dalam,
sebaiknya memandang keluar saja, yaitu kepada pekerjaan dan masa depan

3 Muzairi, Eksistensialieme Jean Paul Sartre (Sumur Tanpa Dasar Kebebasan Manusia), (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2002), h. 111-112.
4 Ibid, h.113
5 Harun Hadiwijiono, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, (Yogyakarta: Kanisius, 2001), h. 162.
6 Ibid, h. 164.
yang kita rencanakan. Dan pada ahir bukunya Sartre mengatakan bahwa
manusia merupakan une passion inutile.7Istilahnya manusia adalah suatu
gaerah yang sia-sia. Maka terlihat jelas, aliran eksistesialisme dikatakan
sebagai aliran pesimisme.
3. Tokoh-tokoh Eksistensialis

1. Soren Kiekegaard
Soren Kierkegaard lahir di Kopenhagen, Denmark, 5 Mei 1813 dan
meninggal di Kopenhagen, Denmark, 11 November 1855 pada umur 42
tahun. Menurut Kiekegaard, filsafat tidak merupakan suatu sistem, tetapi
suatu pengekspresian eksistensi individual. Karena ia menentang filsafat yang
bercorak sistematis, dapat dimengerti mengapa ia menulis karyanya dengan
menggunakan nama samaran. Dengan cara demikian, ia mencoba
menghindari anggapan bahwa bukunya merupakan gambaran tentang fase-
fase perkembangan pemikiranya. Dengan menggunakan nama samaran,
mungkinlah ia menyerang pendapat-pendapatnya di dalam bukunya yang lain.
Menurut Kiekegaard, manusia tidak pernah hidup sebagai suatu “aku umum”,
tetapi sebagai “aku individual” yang sama sekali unik dan tidak dapat
dijabarkan ke dalam sesuatu yang lain. Dengan demikian, Kiekegaard
memperkenalkan istilah “eksistensi” dalam suatu arti yang mempunyai peran
besar pada abad ke-20.
Menurut Kiekegaard filsafat harus mengutamakan manusia individual.
Kiekegaard mengemukakan kritik tajam terhadap gereja Lutheran yang
merupakan Gereja Kristen resmi di Denmark. Ia menganggap Gereja di tanah
airnya itu telah menyimpang dari Injil Kristus. Masalah yang di kritiknya
ialah karena orang mengaku kristen disana, tetapi kebanyakan tidak benar.
Kristen tidak melekat di hati, tidak dianut dengan sepenuh kepribadian, ada
kemunafikan. Bahkan ketika itu, iman Kristen menjadi sikap borjuis dan
lahiriah saja. Sedangkan menurut Kiekegaard iman Kristen haruslah
merupakan salah satu cara hidup radikal yang menuntut seluruh kepribadian.
Pengaruh Kiekegaard belum nampak di kenal orang di luar negerinya, itu
antara lain karena karyanya ditulis dalam bahasa Denmark. Barulah pada

7 K. Bertens, Sejarah Filsfat Kontemporer Prancis, (Jakarta: Gramedia, 2013), h. 95.


akhir abad ke-19 karya-karya Kiekegaard mulai diterjemahkan ke dalam
bahasa Jerman. Karyanya menjadi sumber yang penting sekali untuk filsafat
abad ke-20, yang disebut eksistensialisme. Karenanya sering disebut bahwa
Kierkegaard adalah Bapak Filsafat Eksistensialisme. Akan tetapi, anehnya,
eksistensialisme abad ke-20 tidak jarang beraliran atheis, padahal
Kierkegaard sorang penganut Kristen. Tak pelak lagi, tokoh eksistensialisme
tersebar adalah Jean Paul Sartre.
2. Jean Paul Sartre
Jean Paul Charles Aymard Leon Eugene Sartre adalah seorang filsuf dan
penulis yang lahir pada 21 Juni 1905 di Paris, Prancis. Ayahnya seorang
penganut agama Katolik, sedang ibunya beragama Protestan. Ayahnya
meninggal dunia ketika menunaikan tugas negara sebagai seorang perwira
Angkatan Laut di Indocina. Sejak itu, ia diasuh oleh ibu dan kakenya yang
berprofesi Profesor dalam bahasa modern di Universitas Sorbone. 8 Melalui
kakeknya, Sartre  mengenal karya-karya sastra klasik di usia sebelum
memasuki masa sekolah. Antara tahun 1907 hingga 1917 Sartre tinggal di
rumah kakeknya dan melewati masa kanak-kanak yang membahagiakan serta
tumbuh sebagai anak yang cemerlang dan percaya diri. Melalui perpustakaan
pribadi keluarga Schwitzer, Sartre mengenal berbagai karya sastra. Pada
tahun 1924 Sartre melanjutkan pendidikannya di école Normale Superieur
dan bertemu dengan Simone de Beauvoir. Ia pun tertarik pada aspek-aspek
filsafat barat yang menyerap gagasan-gagasan Immanuel Kant dan Martin
Heidegger. Sartre menterjemahkan Psycopathologie karya Jaspers bersama
Nizan pada tahun 1927. Berkat kecerdasannya, pada tahun 1929 Sartre
berhasil lulus ujian agrégation filsafat. Ujian tersebut memberikan Sartre
kesempatan untuk berkarir sebagai guru filsafat di Le Havre, Lyon, dan Paris.
Sejak muda, Sartre tidak menyukai lingkungan borjuis dan segala
kebiasaannya. Perasaan tidak suka itu perlahan-lahan berubah menjadi
perasaan muak dan keinginan untuk memberontak. Perasaaan dan
keinginannya itulah yang mendasari roman-romannya. Sartre menulis novel
berjudul La Nausée yang berisi ide-ide eksistensialisme, dalam karyanya itu

8 Muzairi, Eksistensialieme Jean Paul Sartre (Sumur Tanpa Dasar Kebebasan Manusia), (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2002), h. 71-72.
diceritakan tentang seorang peneliti yang patah semangat, Roquentin, di
sebuah kota yang jika diamati memiliki kemiripan dengan Le Havre.
Roquentin menyadari seutuhnya akan fakta bahwa benda-benda mati serta
situasi khayalan merupakan dua hal yang sangat berbeda dengan eksistensi
dirinya. Sartre juga menulis novel Le Mur yang  menekankan pada aspek
kesadaran untuk mengenali dirinya sendiri. Melalui karya-karyanya Sartre
mengungkapkan bahwa hidup tidak untuk dibuktikan atau dicarikan
pembenarannya. Untuk memberi makna hidup, manusia hanya dapat
mengandalkan diri sendiri, tanggung jawab sendiri, dan dengan kebebasan
dalam keterlibatannya. Ia tidak dapat meminta atau mengharapkan bantuan
dari siapapun:L’homme n’est rien d’autre que ce qu’il se fait ‘. Manusia tidak
lain adalah apa yang dibuatnya sendiri. Hal ini terdapat dalam karyanyanya
yang berjudul  L’etre et ie neant.9
Karya-karya Jean Paul Sartre
La Trencendance de l’Égo (1936), L’Imagination (1936), Esquisse d’une
théorie des émotions (1939), Le Mur (1939), La Nausée (1938), Les
Mouches (1943), L’Etre en le Néant (1943), Huis Clos (1944), Chemins de la
Liberté, L’Âge de Raison, Le Sursis,L’Existentialisme est un
humanisme (pidato) (1946), La Putain Respectueuse, Réflexions sur loa
question juive, Essai sur Beaudelaire (1947), Les Mains sales (1948), La
Mort dans l’âme (1949), Le Diable et le Bon Dieu (1951), Saint Genet,
comédien et martyr,Nekrassov (1955), Les Séquestrés d’Altona, L’Être et le
Néant: Critique de la raison dialectique (1960),  Les Mots (1964), L’Idiot de
la Famille (1971).10
3. Friedrich Nietzsche
Menurutnya manusia yang bereksistensi adalah manusia yang mempunyai
keinginan untuk berkuasa (will to power), dan untuk berkuasa manusia harus
menjadi manusia super (uebermensh) yang mempunyai mental majikan bukan
mental budak. Dan kemampuan ini hanya dapat dicapai dengan penderitaan

9 Poedjawijatna, Pembimbing Ke Arah Alam Filsfat, (Jakarta: Rineka Cipta, 2002), h. 147-148.


10 Muzairi, Eksistensialieme Jean Paul Sartre (Sumur Tanpa Dasar Kebebasan Manusia), (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2002) h. 85-89.
karena dengan menderita orang akan berfikir lebih aktif dan akan menemukan
dirinya sendiri.
4. Karl Jaspers

Memandang filsafat bertujuan mengembalikan manusia kepada dirinya


sendiri. Eksistensialismenya ditandai dengan pemikiran yang menggunakan
dan mengatasi semua pengetahuan obyektif, sehingga manusia sadar akan
dirinya sendiri. Ada dua fokus pemikiran Jasper, yaitu eksistensi dan
transendensi.
5. Martin Heidegger
Martin Heidegger (lahir di Mebkirch, Jerman, 26 September 1889 –
meninggal 26 Mei 1976 pada umur 86 tahun) adalah seorang filsuf asal
Jerman. Ia belajar di Universitas Freiburg di bawah Edmund Husserl,
penggagas fenomenologi, dan kemudian menjadi profesor di sana
1928. Karya terpenting Heidegger adalah Being and Time (German Sein und
Zeit, 1927). Inti pemikirannya adalah keberadaan manusia diantara
keberadaan yang lain, segala sesuatu yang berada diluar manusia selalu
dikaitkan dengan manusia itu sendiri, dan benda-benda yang ada diluar
manusia, baru mempunyai makna apabila dikaitkan dengan manusia karena
benda-benda yang berada diluar itu selalu digunakan manusia pada setiap
tindakan dan tujuan mereka.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Pemikiran Eksistensialisme menurut Sartre adalah menekankan pada


kebebasan manusia, manusia setelah diciptakan mempunyai kebebasan
untuk menetukan dan mengatur dirinya. Konsep manusia yang
bereksistensi adalah makhluk yang hidup dan berada dengan sadar dan
bebas bagi diri sendiri.
2. Satre membagi status ontologis manusia menjadi dua bentuk:
a.      Being-for-itslef (etre-pour-soi)
Struktur langsung dari for-itslef, diantaranya: penghadiran diri,
faktisitas dari for-itslef, for-itslef dan nilai-nilai, for-itslef dan adanya
kemungkinan-kemungkinan, diri dan lingkungan kedirian.
b.      Being-in-itslef (etre-en-soi)
Kita jangan memandang ke dalam, sebaiknya memandang keluar saja,
yaitu kepada pekerjaan dan masa depan yang kita rencanakan. Dan pada
ahir bukunya manusia merupakan une passion inutil. Istilahnya manusia
adalah suatu gaerah yang sia-sia. Maka terlihat jelas, aliran eksistesialisme
dikatakan sebagai aliran pesimisme.
3. Tokoh-tokoh Eksistensialisme
1. Soren Kiekegaard
2. Jean Paul Sartre
3. Friedrich Nietzsche
4. Karl Jaspers
5. Martin Heidegger

B. Saran

Filsafat eksistensialisme lebih menfokuskan pada pengalaman-pengalaman


manusia. Dengan mengatakan bahwa yang nyata adalah yang dialaminya bukan
diluar kita. Sebaiknya, manusia mampu menginterpretasikan semuanya
atas pengalamannya. Sebab tujuan pendidikan adalah memberi pengalaman yang
luas dan kebebasan namun memiliki aturan-aturan. Peranan guru adalah
melindungi dan memelihara kebebasan akademik namun disisi lain guru harus
sebagai motivator dan fasilitator.
DAFTAR PUSTAKA

Tafsir, Ahmad. 2005. FILSAFAT UMUM (Akal dan Hati Sejak Thales Sampai
Capra). Bandung: PT REMAJA ROSDAKARYA.

Muzairi. 2002. Eksistensialieme Jean Paul Sartre (Sumur Tanpa Dasar


Kebebasan Manusia). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Poedjawijatna. 2002. Pembimbing Ke Arah Alam Filsfat. Jakarta: Rineka Cipta.

K. Bertens. 2013. Sejarah Filsfat Kontemporer Prancis. Jakarta: Gramedia.

Harun Hadiwijiono.2001. Sari Sejarah Filsafat Barat 2. Yogyakarta: Kanisius.

Anda mungkin juga menyukai