Anda di halaman 1dari 3

Refleksi “Jean Paul Sartre”

Pertemuan 7 Kelompok 5
Nama: Glenn Armartya Bagaskara
NIM : 1500011914003

Sebagai sebuah aliran dalam filsafat, jejak-jejak eksistensialisme dapat ditemukan


pada setiap pendahulu yang telah merenungkan keberadaan manusia secara mendalam.
Tradisi ini baru menjadi trend pemikiran di era post-modern dan banyak mewariskan literatur
yang berhasil merombak pemikiran barat. Pada prinsipnya eksistensialisme lahir sebagai
kritik terhadap cara-wujud manusia yang serba-semu perihal penampakan dan berbagai relasi
kebersamaannya, baik itu berupa relasi dengan alam maupun relasi dengan sesama.
Karenanya, ceroboh untuk mengatakan eksistensialisme telah usang, lebih-lebih ditinggalkan
begitu saja.
Mendefinisikan eksistensialisme dalam satu rumusan utuh juga tidak mudah bagi saya
sendiri, sebab tokoh-tokoh yang mendakukan diri sebagai eksistensial atau setidaknya filsuf
yang digolongkan kedalam aliran ini telah menunjukkan berbagai perbedaan anggapan
mengenai eksistensi itu sendiri. Anda dapat memaknai “eksistensi” secara harfiah sebagai
keberadaan, kehadiran, cara-wujud, cara mengada, atau gejala adaan. Terserah saja. Tidak
perlu heran andai tokoh-tokoh yang Anda dapati nantinya menarik penghayatan ke dalam
situasi yang kian baru dan lagi-lagi asing.
Sebagai langkah awal untuk menjelajahi belantara filsafat ini, kita memerlukan sosok
yang dapat mengantar masuk pada gerbang eksistensialisme. Kita memerlukan sesosok
eksistensialis yang dekat untuk dijangkau, yang karya-karyanya bertebaran, yang cakupannya
luas dan substantif, yang pandangan-pandangan relatif mudah dijajaki sebagai alur.
Pendasaran yang digunakan oleh Sartre adalah sebagaimana ungkapan masyhur
“Existence precedes essence” yang dilekatkan pada manusia. Eksistensi mencakup makna
“keberadaan” sehingga pertanyaan padanya adalah “adakah (sesuatu) itu?” sedangkan esensi
memuat makna “keapaan” sehingga pertanyaan berikutnya adalah “apakah itu?” Melalui
ungkapan ini Sartre secara tegas membalik paradigma filsafat tradisional yang dianggapnya
gagal menempatkan manusia pada kesadarannya.
Mulanya, segala penjelasan tentang kesadaran adalah sederhana, yakni manusia
berhasil menyadari sesuatu. Kesadaran, sebagaimana dinyatakan Edmund Husserl (1859-
1938) bersifat intensional, artinya selalu mengarah pada objek tertentu. Tentu kesadaran yang
dimaksudkan masihlah umum dan bukan dalam kapasitas tertentu. Artinya, meliputi
kesadaran primordial bayi yang kedinginan saat jatuh dari rahim, sampai kesadaran paling
kompleks yang dialami seorang dokter bedah syaraf dalam ruang operasi.
Berikutnya, Sartre menerapkan fenomenologi Husserl sebagai metode perumusan
eksistensialisme miliknya. Situasi “menyadari sesuatu” yang mengarah keluar tersebut juga
diseret masuk kembali “menyadari diri” yang sedang “menyadari sesuatu” atau dengan kata
lain pada eksistensi manusia itu sendiri. Pernyataan “Aku sadar akan hadirnya meja”
akhirnya juga ditarik ke dalam dan menjadi pra-reflektif: “Aku menyadari kesadaranku akan
hadirnya meja”.
Melalui persitegangan dengan ontologi, berikutnya Sartre membedakan dua modalitas
Being. Pertama adalah L’etre en soi (being-in-itself), atau jika dialih-bahasakan menjadi ada-
dalam-dirinya-sendiri. L’etre en soi dipahami sebagai eksistensi yang padanya melekat status
padat; pejal; tanpa lubang; beku. Kerakteristik mode eksistensi ini: it is what it
is. En Soi tidak dapat merealisasikan dirinya sendiri menjadi yang bukan dirinya, sebab ia
tidak memiliki tujuan bagi keberadaannya sendiri. Eksistensi en Soi ada dan terlempar begitu
saja dalam dunia tanpa alasan eksistensial (kontingen) serta tidak dapat menentukan atau
bahkan mengakui eksistensinya. Mode kemengadaan en Soi dapat berupa segala adaan
material atau juga dapat berupa objek immaterial seperti ego.
Sedangkan Entitas kedua oleh Sartre disebut L’Etre Pour Soi (being-for-itself). Ada-
untuk-dirinya merupakan manifestasi dari eksistensi kesadaran; ada-bagi-dirinya berarti terus
merealisasikan diri sebagai ‘yang-bukan’. Karakteristik Pour Soi adalah: it is not what it is.
Mode eksistensi ini secara konstan mengonfrontasikan diri pada being-in-itself. Sebab
kesadaran selalu intensional, maka ia menyadari dirinya sabagai ‘yang-ada’ hanya jika ia
menyadari objek tertentu
Menurut Sartre hubungan kesadaran dengan dunia merupakan bentuk rekonsiliasi
antara subjek dan objek melalui kegiatan aktif kesadaran baik memaknai atau menegasi, tapi
sumber makna juga bukan ego transendental sebagaimana yang ditegaskan Husserl pada
akhir evolusi pemikirannya, karena dengan demikian artinya fenomenologi pulang pada
idealisme dan menyalahi jargon “kembali pada realitas itu sendiri”
Bagi Sartre manusia itu mengada dengan kesadaran sebagai dirinya sendiri sehingga
hal yang demikian itu tidak dapat dipertukarkan dengan harga apapun. Keberadaan manusia
berbeda dengan keberadaan benda-benda lain yang tidak memiliki kesadaran atas
keberadaannya sendiri. Bagi manusia, eksistensi adalah keterbukaan, berbeda dengan benda-
benda lain yang keberadaannya sekaligus berarti esensinya. Hal tersebut tidaklah serentak—
eksistensi mendahului esensi. Oleh karenanya, penghayatan atas manusia, selama ia terus
mengada, tidak dapat dibekukan menjadi apa yang dikatakan esensi sebagaimana yang selain
manusia. Melalui pandangan Sartre ini, boleh ditegaskan bahwa keterbatasan manusia
dibayar lunas oleh kesadarannya.
Penghayatan atas eksistensi manusia membawa Sartre pada ide tentang kebebasan.
Jika ditarik mundur, setiap manusia telah dihadapkan dengan berbagai situasi imperatif yang
hadir sebagai implikasi atas pilihan yang diambil sebelumnya, dan seterusnya sampai pada
keterlemparan awal manusia dalam dunia. Ketika seseorang mengingat-ingat kembali kondisi
patah hati terkini adalah akibat dari kecerobohan apa, sebagai sebab menjatuhkan pilihan
pada apa, karena pergi kemana lantas melihat apa, sampai pada potensialitas paling sederhana
yang dia ambil, misalnya. Meskipun ilustrasi pendek ini tidak cukup lugas untuk
menggambarkan betapa kehidupan dan segala pilihan di dalamnya adalah absurd, tapi
setidaknya hal tersebut berhasil membawa pada pengertian: manusia dihukum oleh
kebebasan.
Mohon maaf apabila kebebasan di sini menjadi tak seindah yang didambakan banyak
orang. Sebelumnya telah ditegaskan bahwa Sartre melihat manusia sebagai L’etre pour soi.
Kesadaran tidak dipandang sebagai sesuatu yang berdiri sendiri, sebab kesadaran hanya
ditemukan pada orang yang bergerak dan mencari pijakan mana pun sehingga ia dapat
berdiri. Ia berusaha untuk dapat “berada–dalam–diri (Etre en-Soi), padahal itu mustahil,
karena tidak mungkin makhluk yang berada-untuk-diri (Etre pour-Soi) berubah menjadi
berada-dalam-diri. Ia terpaksa terus-menerus bergerak dari satu pijakan ke pijakan lain tiada
henti. Senantiasa berjarak dengan kesadarannya, yang mana jarak tersebut adalah ketiadaan
(Nothingness) dan tepat pada inilah kebebasan bersemayam sebagai kutukan. Oleh karena itu,
manusia tiada lain adalah terhukum oleh kebebasan.
Kebebasan dimutlakkan oleh Sartre melalui pernyataannya, “Human reality is free,
basically and completely free.” Tapi dari sini muncul apa yang disebut Anguish, sebab
adanya kesadaran refleksif yang menegaskan diri sebagai eksistensi yang bebas menidak atau
menarik diri dari bentuk en-soi manapun. Kebebasan penuh ini tentunya berarti juga
menuntut tanggungjawab tanpa batas, serta menyituasikan kenyataan manusia yang serba
dilematis oleh sebab eksistensinya sebagai ‘yang-bebas’. Manusia memikul sendiri
tanggungjawabnya tanpa mempergantungkan tanggungan pada yang selainnya, bahkan
Tuhan sekalipun. Dengan ini Sartre menjadi seorang ateis. Meski begitu, dalam karya
lainnya, Sartre juga menyebutkan bahwa eksistensialisme tidaklah sedemikian ateistik
sehingga mengarahkan segala-galanya untuk menunjukkan bahwa Tuhan tidak ada.
Eksistensialisme hanya menyatakan bahwa meskipun entitas Tuhan ada sebagaimana
kepercayaan banyak orang, itu tidak akan mengubah kenyataan apapun, sebab manusia bebas
dan bertanggungjawab.

“Existentialism is not so atheistic that it wears itself out showing that God does not exist.
Rather, it declares that even if God did exist, that would change nothing.”

Demikianlah ujar Sartre, runtuhnya monopoli atas dunia saya ini justru dikarenakan
oleh tampilnya orang lain ke dalam universum. Dunia yang saya bina, yang saya percantik,
yang saya hayati sebagai taman, yang saya diami semerta-merta dihampiri orang lain dan
dengan brutalnya merenggut kekuasaan yang saya miliki. Ia tidak hanya menyusup ke dalam
dunia yang saya miliki, dengan pandangannya ia juga mengubah saya menjadi objek. Orang
lain yang tadinya tampil sebagai objek kini saya hayati sebagaai subjek yang memperlakukan
saya sebagai objek. Sampai disini Sartre geram dan menghardik: “Other is Hell”.

Anda mungkin juga menyukai