Anda di halaman 1dari 8

KESADARAN TEMATIK DAN KESADARAN NON

TEMATIK

Paper Halaqoh

Disajikan pada tanggal 7 November 2020

Pengasuh:

Prof. Dr. Kyai H Achmad Mudlor, S.H

Disusun Oleh:

Eni Mar’a Qoneta

Alumni

Jurusan Hukum Bisnis Syariah

Fakultas Syariah

Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang

Halaqoh Ilmiah

LEMBAGA TINGGI PESANTREN LUHUR MALANG


November 2020
A. Pendahuluan
Pada akhir abad XVIII-XX para filsuf Eksistensialisme bermunculan
salah satunya filsuf Prancis yaitu Jean Paul Sartre. Jean Paul Sartre
merupakan Filsuf Eksistensialisme yang berhasil membuat aliran ini
berkembang dan terkenal. Jean Paul Sartre (1905-1980) berhasil mengangkat
aliran pemikiran ini menjadi gaya hidup pada masanya.
Secara ontologi, menurut Jean Paul Sartre, Eksistensialisme merupakan
filsafat tentang ‘ada’, tapi dia menolak untuk merasionalisasikannya sebagai
hakikat ‘ada’. Ia menganggap bahwa Eksistensialisme merupakan
pengalaman personal manusia sebagai subjek. Dalam bukunya L’Etre et
I’Neant, Sartre melihat eksistensi manusia itu dalam kenyataan sebagai etre
en soi dan etre pour soi.
Kesadaran merupakan unsur dalam manusia memahami realitas dan
bagaimana cara bertindak atau menyikapi terhadap realitas. Dengan
dikaruniai akal budi manusia merupakan makhluk hidup yang sadar dengan
dirinya. Kesadaran yang dimiliki oleh manusia kesadaran dalam diri, akan
diri sesama, masa silam, kemungkinan masa depannya.
Kesadaran menurut Sartre dalam bukunya Being and Nothingness
bersifat intensional yang menurut kodratnya mengarah kepada dunia dan
tidak dapat dipisahkan di dunia.

B. Pembahasan
1. Kesadaran Tematis
Titik tolak filsafat menurut Sartre tidak bisa lain dari pada cogito;
kesadaran yang saya miliki tentang diri saya sendiri. Dalam hal ini, Sartre
mengakui kebenaran Descartes tentang cogito ergo sum. Tetapi filsuf abad 17
ini menurut Sartre langsung menafsirkan cogito sebagai cogito yang tertutup,
sehingga cogito yang terpisah dari dunia dan terkurung dalam dirinya.
Menurut Sartre, kesadaran itu tidak bersifat tertutup tetapi terarah ‘ke pada
dunia’. Untuk itu kemudian Sartre memasukkan pandangan Husserl yang
menyatakan bahwa intensionalisme merupakan ciri khas kesadaran.
Kesadaran menurut Sartre dalam bukunya Being and Nothingness
bersifat intensional yang menurut kodratnya mengarah kepada dunia dan
tidak dapat dipisahkan di dunia. Menurut kodratnya kesadaran terarah kepada
yang lain dari dirinya. Menurut kodratnya kesadaran adalah transendensi.
Dengan intensionalitas ini kesadaran akan selalu dapat melaju mengatasi
keadaannya, bukan terhadap “ada” itu, akan tetapi terhadap arti dari “ada” ini.
Sartre setuju bahwa kesadaran selalu berarti “kesadaran tentang”
(Consciousnessof), tetapi dalam kesadaran tercakup juga “objek-objek
intensional”. Kesadaran dengan demikian mengandung makna dua hal.
Pertama, kesadaran akan diri (Consciousness of self) dan kesadaran akan
sesuatu (Consciousness of something). Kesadaran akan diri tidak sama
dengan pengalaman dirinya, melainkan kehadiran dirinya secara non-tematis.
Sedangkan kesadaran akan sesuatu bersifat mutlak karena tidak ada dan tidak
akan pernah ada kesadaran murni. Kesadaran akan sesuatu adalah kesadaran
tematis.
2. Kesadaran Non Tematis
Menurut Sartre, kesadaran selalu cenderung menjadi sesuatu “ketiadaan”.
Untuk menjadi sadar berarti menjadi sesuatu yang bukan dia dan menjadi
“tiada”. Oleh karena itu ketiadaan selalu berada dalam kesadaran. Ketiadaan
bukanlah sesuatu yang abstrak, dan bukan pula berarti bahwa ketiadaan
adalah proses ke dunia lain tetapi sebuah objek pengalaman manusia.
Ketiadaan adalah sebuah tindakan kesadaran. Bagi Sartre, ketiadaan sebagai
sebuah tindakan kesadaran muncul dengan “menidak”.
Dalam kaitannya dengan kebebasan, kesadaran dapat dikatakan identik
dengan kebebasan. Sebab, kesadaran yang selalu mengandung ketiadaan
sama dengan aktivitas kebebasan manusia sebagai makhluk yang selalu
membawa ketiadaan.
Bagi Sartre kesadaran tidak boleh dipisahkan dari dunia. Suatu hal lain
yang ditekankan Sartre ialah bahwa kesadaran sekali-kali tidak boleh
disamakan dengan benda. Bagi Sartre sebagaimana dijelaskan di atas bahwa
kesadaran (akan) dirinya berada sebagai kesadaran akan sesuatu. Dengan kata
lain kesadaran adalah intensional. Rumusan ini dapat dibalik dengan:
kesadaran akan sesuatu berada sebagai kesadaran (akan) dirinya. Kehadiran
(pada) dirinya sendiri adalah konstitutif bagi kesadaran. Suatu maksud, rasa
senang, sedih atau yang lainnya hanya bisa berada sebagai sadar (akan)
dirinya; persis suatu benda tidak mungkin berada kecuali dengan memiliki
tiga dimensi. Suatu kesadaran yang tidak sadar atau suatu aktifitas psikis yang
tidak sadar (bandingkan dengan psikoanalisa Freud) bagi sartre sama sekali
mustahil Kehadiran (pada) dirinya sendiri yang mengkonstitusikan kesadaran
itu sebagai non-tematis. Bagaimana dapat kita mengerti bahwa manusia tidak
langsung sadar akan dirinya?, apakah yang memungkinkan hal itu?
Kesadaran tidak dapat disamakan dengan Ada, karena Sartre berpendapat
Ada itu transenden (ada begitu saja). Ada yang demikian ini disebutnya Etre-
en-soi (being in itself), tidak aktif, tidak pasif, tidak afirmatif, tidak negatif,
tidak mempunyai masa silam, masa depan maupun tujuan, tidak diciptakan
dan tanpa diturunkan dari sesuatu yang lain.
Berbeda halnya dengan etre-pour-soi (being for itself) atau Ada bagi
dirinya yang menunjukkan kesadaran. Kalau saya sadar akan sesuatu berarti
saya bukan sesuatu itu atau saya tidak sama dengan sesuatu itu. Saya melihat
lukisan berarti saya sadar bahwa saya bukan lukisan. Jadi, untuk dapat
melihat sesuatu diperlukan syarat mutlak adanya jarak. Contoh lain saya
sedang mengetik, berarti saya sadar bahwa saya orang yang sedang mengetik,
tetapi saya juga sadar bahwa saya tidak identik dengan orang yang mengetik.
Artinya, saya bisa berhenti mengetik dan menggantinya dengan berjalan-jalan
atau membaca koran. Jadi, negativitas merupakan ciri khas dari etre-pour-soi.
Kesadaran berarti distansi dan non-identitas. Kesadaran brarti sama dengan
kebebasan. Dengan kesadaran manusia sanggup mengadakan relasi dengan
yang tidak ada. Manusia adalah makhluk yang membawa ketiadaan. Aktivitas
khusus Etre-Pour Soi adalah menidak ketiadaan tidak terdapat di luar Ada.
Ketiadaan terus-menerus menghantui ada. Ada tidak dapat dilepaskan
darinya. Dan adanya Etre-Pour Soi adalah menidak, menampilkan ketiadaan
itu.
Kesadaran itu bersifaat intensional, menurut kodratnya terarah kepada
dunia. Hal itu dirumuskan oleh Sartre dengan ‘kesadaran (akan) dirinya;
berada sebagai ‘kesadaran akan sesuatu’. Kesadaran adalah kesadaran diri,
tetapi kesadaran (akan) dirinya tidak sama dengan pengalaman tentang
dirinya; mengambil dirinya sebagai objek pengenalan. Cogito bukanlah
pengenalan diri, melainkan kehadiran kepada dirinya secara non tematis.
Karena alasan ini kata ‘akan’ oleh Sartre ditulis dalam tanda kurung. Jadi
harus dibedakan kesadaran tematis dan non tematis, itu berarti bahwa cogito
yang merupakan titik tolak dari filsafat Sartre adalah cogito pra refleksif .
kesadaran (akan) dirinya ‘membonceng’ pada kesadaran akan dunia. Itu
berarti juga bahwa cogito tidak menunjuk pada suatu relasi Ada. Kesadaran
adalah kehadiran (pada) dirinya. Kehadiran (pada) dirinya merupakan syarat
yang perlu dan cukup untuk kesadaran. Dari sini terlihat penolakan Sartre
terhadap subjek transendental atau Aku absolut seperti diterima oleh
idealisme.
1. Etre-en Soi (Thingness, Ujud)
Bahasa Inggris untuk etre-en soi adalah thingness (dunia benda-benda). Etre-
en soi adalah ada pada dirinya atau secara singkat disebut ujud. Pada etre-en
soi (ujud), manusia tidak sadar akan dirinya apakah ia berperan sebagai
subjek atau objek. Ia bukan subjek karena ia tak memiliki kesadaran yang
dapat digunakannya. Ia bukan objek karena ia tak sadar akan kedudukannya
sebagai objek. Ia juga tidak sadar akan lingkungannya. Ia tertutup dan gelap
dalam segala macam hal. Ia tidak dapat mengerti dan tidak mengadakan
pertanyaan terhadap apapun. Ia hanya penuh dengan dirinya sendiri sebagai
suatu ujud tanpa bersangkut paut dengan hal apapun yang lain. Etre-en soi
yang tak sadar akan apapun ini adalah dunia bendabenda.
Manusiapun apabila dilepaskan dari kesadarannya atau apabila ia
dipandang sebagai benda, maka iapun merupakan etre-en soi. Tentu saja apa
bila etre-en soi ini diterapkan pada mahkluk lain yang tak berkesadaran
seperti manusia, maka dia menjadi objek dari kesadaran manusia.
2. Etre-pour-Soi. (Nothingness, Kesadaran)
Etre-pour Soi (Kesadaran) adalah ada untuk dirinya. Pada Etre pour-soi
tampak keistimewan manusia sebagai suatu ada yang memiliki kesadaran
akan segala sesuatu (subjek yang sadar akan adanya objek yang merupakan
Etre-en soi) baik dirinya sendiri maupun lingkungannya. Dengan
kesadarannya, ia dapat bertanya mengenai apa saja dan berusaha mencari
jawabannya. Ia dapat pula mencari makna mengenai segala sesuatu dengan
menggunakan pikirannya yang sadar. Etre-pour–soi menunjukkan manusia
yang mengerti dengan kesadarannya yang aktif, dan menunjukkan peran
eksistensi manusia sebagai subjek yang dapat sadar akan adanya objek yang
dipikirkannya atau diamatinya. Dengan demikian, Etre-pour soi adalah ada
yang tidak buta dan tidak berada dalam kegelapan seperti Etre-en soi. Dengan
kesadarannya,
Etre pour-soi memperlihatkan adanya kemungkinan perubahan terhadap
segala sesuatu yang ternyata berbeda dengan dirinya atau tidak sama dengan
dirinya, yang kemudian menjadi objeknya. Etre pour-soi dengan demikian
mengadakan lobang pada dunia, benda-benda, atau dunia Etre en-soi yang
sebenarnya sudah ”merasa” penuh ata ”puas” dengan dirinya yang tidak dapat
memiliki kesadaran yang mempertanyakan. Tetapi, pada saat Etre-pour soi
dengan kesadarannya mengadakan pertanyaan terhadap Etre-en soi -atau
dunia benda-benda-, maka terlihat suatu kemungkinan dalam dunia Eter en–
soi di mana kemungkinan itu dapat berupa penyangkalan atau peniadaa
(neantisation). Misalnya, Etre pour-soi melihat bahwa benda a tak sama
dengan benda b, dan juga tak sama dengan dirinya yang menyadari
ketidaksamaan itu. Etre-pour soi mengadakan peniadaan terhadap Etre-en soi
pada saat ia sebagai subjek mengamati Etre en soi adalah objek.
C. Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA

Tambunan, Sihol Farida. Kebebasan Individu Manusia Abad Dua Puluh: Filsafat
Eksistensialisme Sartre. Jurnal Masyarakat dan Budaya, vol. 18 No. 2,
2016.

Syukri, Ahmad. Tema Sentral dalam Pemikiran Jean Paul Sartre. Jambi:
Universitas Islam Negeri Sultan Thaha Jambi.

Siswanto, Dwi. Kesadaran dan Tanggung Jawab Pribadi dalam Humanisme Jean
Paul Sartre. Jurnal Filsafat, 1997.

Anda mungkin juga menyukai