Anda di halaman 1dari 9

Ciptaan: Untuk Apa?

‘Percakapan’ tentang Mengapa Manusia dan


Semua Ciptaan itu Ada

Hadrianus Tedjoworo

Penciptaan: Status Quaestionis


• Ciptaan mengandaikan pencipta, proses penciptaan, dan
hasil (ciptaan).
• “Everything is obscure in the idea of creation if we
think of things which are created and a thing which
creates, as we habitually do [... For] there are no things,
there are only actions [...]. God thus defined has nothing
of the already made; He is unceasing life, action,
freedom. Creation, so conceived, is not a mystery; we
experience it in ourselves when we act freely.” – Henri
Bergson, Creative Evolution, 1907.
• Diskusi tentang ‘ciptaan’ dimulai dengan Kehidupan.

1
• Diskusi tentang ‘ciptaan’ dimulai dengan Kehidupan:
1. Mengapa ada kehidupan, dan bukan ketiadaan?
2. Mengapa ada manusia, dan bukan hanya semesta?
• Pertanyaan pertama tidak bisa dibicarakan, tetapi
pertanyaan kedua bisa menjadi pokok percakapan kita.
Dengan kata lain, adanya manusia yang hidup, menjadi
bukti adanya kesadaran – dan dengan kesadaran inilah
muncul berbagai pertanyaan dan, filsafat.
• Bahasa filosofis Ada = Being. Dan ia bukan sekadar
benda/objek. Kita bertanya tentang apapun, karena kita
ada dan hidup. Yang bertanya ialah kesadaran kita.
Tumbuhan tidak bertanya. Hanya manusia.

• Namun, kalau mau membicarakan seluruh ciptaan,


dengan kesadaran dan otak kita ini, mustahil. Semua yang
kita bicarakan “di luar” pengalaman kita, menjadi bukan
percakapan lagi, tetapi spekulasi.
• Oleh karenanya, ada dua pilihan dasar: mau masuk ke
dalam percakapan, atau spekulasi? Kita mencoba realistis,
dan memilih yang pertama. Berarti, kita berada di wilayah
pengalaman akan ciptaan – semua yang ada. Kita juga
akan membicarakan apapun yang dapat kita sadari.

2
Kreativitas selalu Mencipta
• Ciptaan (creation) mengantar kita pada sosok yang
melakukan penciptaan, yakni pencipta. Sebelum
menyebutnya ‘Tuhan’, kita mulai dengan Sang Kreativitas.
Kalau bukan person, lalu apa itu?
• Bergson menemukan akar (proses) penciptaan pada Waktu.
Kunci menuju filsafat Bergson ialah memahami
kontinuitas waktu yang utuh. Bayangkanlah bahwa dalam
setiap ‘detik’ terjadi penciptaan?
• Waktu = penciptaan yang tidak pernah terputus, sementara
kita sering tenggelam dalam ilusi, seakan-akan bisa
menghentikan waktu, dan itu tak pernah terjadi!

• Bergson: “Durasi semesta pasti sejalan dengan lingkup


penciptaan yang dapat menemukan tempat di dalamnya”.
• Pernahkah kita terbangun pada jam 02.00 dan dalam
keheningan yang mutlak, berpikir bahwa waktu seperti
berhenti? Persis pada saat itu, yakni di saat kesadaran kita
berpikir, sesungguhnya penciptaan yang tak terbilang
jumlahnya, sudah dan sedang terjadi di dunia.
• Kalau begitu, ‘pencipta’ (kreator) adalah tunggal, namun
ciptaan adalah plural sampai pada taraf yang mengerikan
untuk dibayangkan oleh manusia  jadi, mustahil kita
mengerti tujuan dari ciptaan yang demikian plural!
• Penciptaan, sebagaimana realitas, berjalan sendiri tanpa
dapat dikuasai oleh manusia.

3
• Kalau ‘waktu’ adalah penciptaan yang terus menerus, dan
tidak ada yang bisa menghentikan waktu, pluralitas ciptaan
pun tidak terkontrol oleh manusia.
• Mungkin Kreativitas Terbesar ialah sosok (Tuhan) yang
mampu menghasilkan ciptaan-ciptaan baru (Leibniz), atau
sosok yang sekaligus adalah Tuhan dan Alam (Spinoza) ...
atau “suatu singularitas mistik yang ‘melintasi’ manusia
dan juga tanaman dan binatang, terlepas dari materi yang
membuatnya terwujud dan bentuk personalitasnya”
(Deleuze).
• Ciptaan, dalam pengertian terakhir di atas, adalah suatu
virtualitas yang perlu ada/eksis untuk mengaktualisasikan
keutuhan penciptanya.  tak ada ciptaan yang abadi.

• Pandangan mengenai virtualitas ciptaan ini dapat dipakai


untuk menjelaskan persoalan teodise. Ciptaan memang
tidak sempurna, karena ia bukanlah pencipta. Apa yang
‘tampaknya’ sempurna (virtual) pun sesungguhnya tidak
sempurna.
• Apa yang kita mengerti sebagai sifat kreatif manusia bisa
dimengerti sebagai “becoming-creative” (Deuleuze). Yang
kita lakukan dalam kehidupan ialah: menemukan alternatif
dan mengambil keputusan (menyesuaikan diri?).
• Dengan kata lain, kita selalu berada dalam keadaan
‘menjadi’ lebih utuh, tetapi bukan secara definitif, sebab
keutuhan hanya merupakan sifat pencipta. [Mungkin
kekecewaan kita  bukti bahwa kita adalah ciptaan].

4
Imaji Diri: Tak Terdefinisikan
• Thomas Carlson pernah menggambarkan ‘identitas’
manusia sebagai “the indiscrete image”. Kita tidak dapat
menolak bahwa diri kita ini ada dan hidup, namun sekaligus
tidak pernah selesai memahami diri sendiri.

• Kita tidak menciptakan diri


kita sendiri. Kadang-kadang
kita malah frustrasi pada saat
mencoba menggambarkan
keutuhan ‘pribadi’ kita.

• Mungkin benar apa yang dipikirkan Deuleuze bahwa


sandungan-sandungan utama penciptaan ialah 
personalitas, identitas, subjektivitas, kesadaran, signifikasi.
Sebab, hal-hal itulah yang selama ini menjebloskan kita ke
dalam ilusi imaji diri: kita menyangka bahwa kita sendiri
menciptakan gambaran tentang “siapa aku”.
• Apa maksudnya mengatakan, “Aku tahu siapakah aku ini”?
• Oleh karenanya, ‘kendaraan’ penciptaan mungkin
seharusnya bersifat impersonal (anonim), ‘tidak sadar’
(unconscious), anorganik, atau unlived  paradoks ciptaan!
• Artinya, untuk memahami siapakah dirinya, ciptaan harus
menyesuaikan dirinya dengan gerakan/tindakan Pencipta.
Ciptaan mesti “mengosongkan diri” (kenosis) untuk melihat
gambaran dirinya.

5
• Apakah kita mulai mengerti mengapa “penyesuaian diri”
mungkin merupakan cara terbaik menuju aktualisasi diri?
• Kalau kita rela menjadi ciptaan yang “anonim”, kita bisa
menemukan apa yang menjadi intensi Pencipta ketika
meng-ada-kan diri kita?
• Kalau kita membiarkan diri “tidak sadar”, kita akan
mengalahkan hegemoni ‘aku’ dan mengalami semesta.
• Kalau kita masuk ke keadaan “anorganik” (tidak hidup),
kita bisa menyerap energi dari setiap hal material.
• Kalau kita “berhenti menghayati” (unlived) lewat cara kita
sendiri, kita mungkin akan melihat tujuan semua ciptaan di
dunia ini.

• Dengan kata lain, kalau kita belajar menjadi rendah hati di


hadapan seluruh realitas kehidupan, bukan kita yang akan
menyelamatkan dunia, melainkan seluruh ciptaan—yang
adalah Pencipta itu sendiri—akan menyelamatkan kita.
Kesalahan pertama kita sebagai ciptaan mungkin ada pada
nafsu untuk menguasai ciptaan lain.
• Pencipta adalah Seniman. Ia adalah politisi, pelukis, arsitek,
sopir, penulis, penari... sebut apa saja! Dan seluruh ciptaan
adalah aktualisasi diri Pencipta yang tunggal dan sama itu.
Kita dan semua ciptaan yang bisa kita bayangkan selalu
bersifat ‘plural’.
• Kalau Pencipta itu tunggal dan kita—ciptaan—itu plural,
berarti tujuan ada-nya kita pun tunggal: keutuhan Pencipta.

6
• Deleuze: ‘Underneath the self which acts are little selves
which contemplate and which render possible both the
action and the active subject. We speak of our “self ” only
in virtue of these thousands of little witnesses which
contemplate within us: it is always a third party who says
“me”’ (Différence et répétition, 1968).
• “Diri-diri kecil” di dalam siapa kita inilah yang membuat
kita merasa ada, mengalami hidup. Pada dasarnya setiap
ciptaan mengalami hal yang sama ini, dibentuk oleh
pluralitas tak terhingga, namun mengungkapkan dan
melukiskan sosok Pencipta yang satu.

• Kalau semua ciptaan pada dasarnya terarah pada keutuhan


Pencipta, masing-masing akan saling menyelamatkan.
• Tidak ada satu pun ciptaan yang utuh, tetapi seluruh
ciptaan adalah bagian dari keutuhan Being, Realitas,
Pencipta, Sang Ada.
• Konsekuensi logis pandangan yang demikian ialah bahwa
manusia menyelamatkan pohon, pohon menyelamatkan
binatang, binatang menyelamatkan alam, alam
menyelamatkan manusia, manusia menyelamatkan udara,
udara menyelamatkan air, dan seterusnya, dan seterusnya...
• Partisipasi di dalam penciptaan = penyesuaian ‘diri’ di
dalam Realitas (Deleuze: “participation in reality”).

7
Penciptaan: Suatu Visi yang ‘Menjadi’
• Kesadaran bahwa kita—ciptaan—hidup bisa mendorong
pada keyakinan bahwa kehidupan adalah segala-galanya.
Tetapi, kehidupan pun adalah ciptaan, sehingga sikap
memutlakkan kehidupan dapat berisiko melupakan
Pengada yang melakukan penciptaan.
• Filsafat Deleuze mengarahkan percakapan kita tentang
ciptaan kepada sesuatu yang tidak membutuhkan ‘medium’
sama sekali, yakni pemikiran (thought). Kehidupan itu bukan
kata akhir dalam filsafat penciptaan, sebab kehidupan
hanya memperlihatkan Sang Ada yang murni spiritual dan
yang murni aktif itu sedang ‘menjadi’ (becoming).

• Filsafat dalam hal ini membantu kesadaran kita untuk


menemukan dan menangkap kembali Being yang langsung
mengada itu (the immediate) sebagai identitas semua ciptaan
dan sekaligus yang membedakan setiap ciptaan. Dengan
kata lain, Pengada/Pencipta tidak membutuhkan medium,
tetapi kitalah yang membutuhkan media untuk memuaskan
keinginan kita akan pengetahuan.
• Interkoneksi (keterkaitan) kita dengan berbagai ciptaan lain,
karenanya, dialami sebagai jaringan untuk menemukan
suatu tujuan bersama – suatu visi tentang tindakan tunggal
Penciptaan. Kita tidak berhak ‘menentukan’ tujuan setiap
ciptaan di dunia, selain berusaha menghargai ada-nya
sebagai ciptaan yang menampilkan salah satu sifat Pencipta.

8
• Sejauh ‘pemahaman’ di antara ciptaan dapat membantu
menemukan keterkaitan yang mengantar pada visi
penciptaan, diperlukan suatu filsafat afirmasi ( peneguhan,
penerimaan).
• Dalam terang pemikiran Deleuze, kita bisa menyimpulkan
bahwa tanggapan paling tepat dari ciptaan bukanlah menilai
atau menégasi (menolak), melainkan mengafirmasi proses
penciptaan dan ada dirinya yang senantiasa ‘menjadi’.
• Penciptaan being dan kehidupan adalah suatu afirmasi yang
tak terhingga, atau juga pemikiran kreatif yang tak
terbatas—yang sering diasosiasikan oleh metafisika klasik
dengan gagasan ‘Tuhan’. “Kehidupan itu membenarkan
[penciptaan]; ia tidak memerlukan pembenaran lagi” (Critique
et clinique, 1993).

• Filsafat afirmasi Deleuze senada dengan keyakinan teofani:


hanya Tuhan mampu mengafirmasi diri-Nya sendiri, hanya
Tuhan mampu memikiran gagasan tentang Tuhan, dan
hanya Tuhan dapat berpikir dengan kekuatan tak terbatas
pikiran[-Nya].
• Dengan demikian, kita, ciptaan, mengungkapkan Tuhan
dengan mengizinkan-Nya bekerja (berpikir, mencipta,
bertindak...) melalui diri kita.
• Hanya being dapat mengafirmasi dirinya sendiri. Hanya kita
(manusia) dapat mengafirmasi diri kita sendiri. Dan hanya
afirmasi (penerimaan, peneguhan) itu sendiri dapat
mengafirmasi kekuatan tak terbatas Sang Afirmasi. Sampai
di sini, seharusnya kita sudah ‘tahu’, untuk apa ciptaan.

Anda mungkin juga menyukai