Anda di halaman 1dari 7

Cogito, Laboro et

Do ergo Sum

Sepintas judul ini tampaknya hendak menunjukkan ketidakpuasan atas pemikiran


salah seorang filsuf terkemuka Ren Descartes. Descartes menjadi salah satu tokoh yang
cukup mashyur dalam ranah filsafat lantaran cetusannya Cogito ergo sum Aku
berpikir maka aku ada. Manusia terus menerus merenungkan ke-ada-an1 dirinya. Untuk
ber-ada manusia membutuhkan ada-ada yang lain. Karena hal inilah, salah satu hak asasi
manusia ialah hak untuk diakui keberadaannya. Manusia diakui keberadaannya oleh
manusia-manusia yang lain. Tanpa yang lain, manusia tidak akan mendapatkan sebuah
pengakuan akan ke-ada-annya. Tak heran kalau ada begitu banyak orang yang berusaha
untuk menjadi terkenal dengan segala cara. Ada yang berusaha menjadi artis atau bintang
film, ada yang berusaha menjadi tokoh masyarakat seperti para anggota legislatif (selain
karena gajinya yang besar), atau bahkan yang paling dekat dengan kehidupan kita sehari-hari
adalah dunia maya, di mana situs jejaring sosial menjadi ajang untuk saling bertemu dengan
orang-orang baru. Manusia mencari ketenaran demi pengakuan akan ke-ada-an dirinya.
Semakin banyak orang mengenalnya, semakin banyak orang mengakui keberadaannya.
Artikel ini bukanlah sebuah ungkapan ketidakpuasan penulis atas pendasaran yang telah
dibuat oleh bapa filsafat modern ini. Artikel ini justru bermaksud menjadikan semboyan
filsafat modern ini semakin menyatakan aktualitasnya mana kala semakin banyak orang
justru berhenti pada Cogito. Manusia berhenti pada pemikiran bahwa pikiran, kepintaran,
gelar, atau apa pun yang menjadi bagian dari pikiran merupakan hal yang begitu penting.
Sementara itu masih ada sekian banyak orang dengan pandangan yang demikian justru
menjadi kering karena hanya berkutat pada pikiran dalam dirinya saja. Maka jangan heran
kalau penganggur elit masih banyak di sekitar kita.
Laboro yang berarti aku bekerja setidaknya mau memacu manusia untuk
mewujudkan apa yang ada dalam pikirannya. Bekerja, yang menjadi kodrat manusia,
seringkali muncul justru dari luar diri manusia, sehingga muncul terminologi lapangan kerja
di mana lapangan kerja ini harus disediakan oleh orang-orang yang dianggap lebih mapan
1 Penulisan kata ke-ada-an di sini masih memiliki makna yang sama dengan yang pernah ditulis
oleh penulis dalam artikel Makhluk Simbolis dalam Peradaban Dunia Maya, dimuat dalam majalah
FORUM th. XXXVIII no.2 / 2009. Kata ke-ada-an mengacu pada eksistensi manusia, bahwa
manusia itu ada.

untuk menciptakannya. Bekerja belum menjadi suatu hasrat yang muncul dari dalam diri
sebagian besar orang sebagai bentuk ungkapan dari apa yang dia pikirkan, bukan dari apa
yang dipikirkan orang lain. Bekerja pun belum mutlak meng-ada-kan diri secara utuh
manakala bekerja hanya menjadi kesenangan pribadi atau sibuk dengan diri sendiri tanpa
melihat dampaknya entah baik entah buruk terhadap ada-ada yang lain di sekitarnya.
Do aku berbagi2 menjadi cara konkret bagi manusia untuk meng-ada-kan dirinya
bagi ada-ada yang lain. Berbagi di sini menegaskan konteks aku dan ada-ada yang
lain. Berbagi menjadi suatu interaksi setidaknya dua pribadi yang memberi dan menerima.
Ketika aku berbagi dengan orang lain sesuatu yang kumiliki, pada saat itulah aku menjadi
nyata ada. Pada saat itulah ke-ada-an manusia ditampilkan dalam realitas.
Pergumulan filosofis tentang ada ini menunjukkan bahwa betapa pentingnya
pengakuan atas diri manusia bahwa dirinya ada. Dengan berbagai cara manusia berusaha
meng-ada-kan dirinya, dan tentunya ada dapat dikatakan ada hanya oleh ada-ada yang
lain. Berpikir, bekerja dan berbagi kiranya menjadi usaha manusia untuk (menjadi dan
mempertahankan) ada(-nya).

Cogito . . . Aku Berpikir . . .


Berpikir merupakan kemampuan yang hanya dimiliki oleh manusia, sehingga manusia
disebut makluk hidup dengan derajat tertinggi. Berpikir menjadi bagian dari suatu proses
kesadaran manusia yang membuatnya terus-menerus menggali realitas baik di dalam dirinya
maupun di luar dirinya sendiri.3 Bahkan dengan pikiran, manusia dapat membayangkan suatu
hal tanpa harus melihat atau mengalaminya secara langsung pada saat itu juga. 4 Nalar
manusia atau kemampuan rasional manusia terbentuk dalam pikiran. Dengan kata lain
2 Terjemahan lurus dari do(bahasa Latin) dalam bahasa Indonesia adalah aku memberi. Kata memberi itu
sendiri memiliki padanan membagi atau berbagi (bdk. Kamus Tesaurus Bahasa Indonesia, terbitan Pusat
Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, th. 2008. Versi pdf. Adobe Document). Kata berbagi bagi penulis
memiliki makna yang lebih mendalam daripada sekadar memberi. Berbagi bagi penulis, merupakan tindakan
memberi dari apa yang sungguh dimiliki oleh seseorang, sementara memberi bisa jadi hanya sekadar
mengambil dan memberikan sesuatu yang belum tentu kepunyaannya kepada orang lain. Selain itu, kata
memberi masih menyisakan sebuah kemungkinan untuk tidak melibatkan orang lain, misalnya dalam kegiatan
memberi waktu untuk diri sendiri. Sementara kata berbagi, dapat dikatakan hampir pasti melibatkan orang
lain.

3 bdk. Dr. Theo Huijbers, Manusia Merenungkan Dirinya (Yogyakarta: Kanisius, 1991), hlm. 112.
4 bdk. Berelson and Steiner, Human Behaviour, An Inventory of Scientific Findings (New York:
Harcourt, Brace & World, Inc, 1964), hlm. 44.

berbagai hal dapat muncul, entah muncul secara lurus atau justru jatuh dalam kesesatan
berpikir. Melihat luasnya kemungkinan akan hal yang dipikirkan manusia ini Albert Einstein
dalam kaitannya dengan teori ralitivitasnya mengungkapkan bahwa ketika seseorang
mengungkapkan sebuah ide, pada saat yang sama seribu orang juga memikirkan hal yang
sama. Hal senada juga disebut dalam Kitab Amsal, Apa yang pernah ada akan ada lagi, dan
apa yang pernah dibuat akan dibuat lagi; tak ada sesuatu yang baru di bawah matahari. (Ams
1:9)
Berpikir memungkinkan manusia untuk merefleksikan keadaan di luar dirinya,
sehingga muncul suatu dorongan dalam diri manusia untuk mempertahankan, mengubah, atau
memperbaiki situasi dan kondisi baik dirinya sendiri maupun situasi dan kondisi di luar
dirinya. Dari pikiranlah segala hal tercipta dan terwujud dalam dunia nyata. Yang terwujud
dalam dunia nyata berawal dari manusia sebagai subjek utama berfilsafat, sebagaimana yang
tersirat dalam ungkapan Cogito ergo sum-nya Descartes. Hal ini berbeda dengan cara berpikir
para filsuf sebelumnya yang memulai filsafatnya dari objek yang tampak, yaitu segala
sesuatu yang hadir nyata dan tercerap indra.Dengan Cogito Descartes mengungkapkan
adanya pengetahuan segera (intuisi) dalam diri manusia untuk mengenal sesuatu, terutama
keragu-raguan dalam diri manusia. Manusia mulai menyadari adanya hal yang patut
dipertanyakan, dan oleh karena itu manusia lantas mencari jawabannya. Dari sinilah manusia
mulai mengimajinasikan, memanipulasi, dan pada akhirnya mengubah dunia di sekitarnya.
Sampai di sini mungkin kita bisa mengatakan bahwa manusia telah mengadakan dirinya.
Tetapi tunggu dulu, perubahan yang terjadi di luar diri manusia tidak akan terwujud hanya
dengan berpikir. Segala sesuatu yang ada dalam pikiran manusia sungguh-sungguh hanya
berada pada alam ide dalam pengertian modern-kontemporer, yaitu sebagai konsep. Pikiran
menjadi nyata, ada real sebatas rasio atau nalar manusia.
Berpikir, kendati telah menampilkan ke-ada-an diri manusia secara pribadi, tidak
serta-merta melibatkan ada lain yang menjadi syarat pengakuan akan ke-ada-an manusia.
Seorang manusia tidak akan puas hanya dengan memikirkan sesuatu saja, karena memang dia
belum sungguh-sungguh meng-ada-kan dirinya bagi ada-ada yang lain. Bagi dirinya
sendiri, sangat jelas bahwa dirinya ada. Hal ini tampak dari kesadaran dan keraguan akan dan
dalam dirinya. Tetapi ia belum mendapatkan pengakuan sebagai manusia, sebagai pribadi,
yang ada secara penuh. Selain itu, terlalu banyak berpikir justru berpotensi menjadikan
manusia begitu egosentris. Salah satu contoh jelasnya ialah para rasionalis. Mereka melihat

bahwa yang paling tinggi nilainya adalah rasio atau nalar yang ada dalam pikiran manusia.
Keterpusatan pada pemikiran pribadi melepaskan manusia dari ada yang lain.
Aktivitas berpikir juga terkait sangat erat dengan ucapan dan kerja. Meskipun
demikian, dalam realita hidup sehari-hari hal ini tampak jelas dalam slogan NATO (No
Action Talk Only = tiada kerja, bicara saja). Berbicara menjadi cetusan berpikir manusia.
Meskipun berbicara secara harafiah dapat digolongkan dalam kata kerja, manusia belum
sungguh-sungguh mengerjakan apa yang dia pikirkan. Berbicara yang merupakan
cetusan pikiran menjadi sungguh-sungguh bermakna manakala apa yang terungkap ini
dapat mengubah atau mempengaruhi seseorang atau suatu keadaan real dan terwujudnyatakan
dalam hidup keseharian manusia.
Kesadaran akan hal ini kiranya membantu untuk berpikir secara baik dan benar, demi
kebaikan dan kebenaran yang ingin dihadirkan oleh manusia dalam realitas. Ulasan Aku
berpikir ini kiranya dapat menyadarkan diri untuk tidak puas hanya dengan memposisikan
diri dalam konsep-konsep semata, atau bahkan imajinasi atau khayalan hampa yang justru
menyembunyikan ke-ada-an diri manusia dari ada-ada yang lain.

. . . Laboro . . . . . . Aku Bekerja . . .


Kerja menjadi kodrat manusia. Manusia sendiri dipanggil untuk bekerja guna menuju
kesempurnaan ada-nya manusia.5 Bekerja menjadi bagian tak terpisahkan dari hidup
manusia. Melalui kerja, manusia mewujudkan ide-idenya. Hidup manusia memang bukan
untuk bekerja, melainkan manusia bekerja demi mempertahankan dan mengembangkan
hidupnya. Inilah tujuan manusia bekerja. Bekerja membuat manusia merasakan ke-berarti-an
ada dirinya, karena dengan bekerja manusia menggunakan seluruh daya jiwa dan raganya
secara sadar. Kemampuan bekerja manusia juga bukan menjadi bagian otonom dalam
keseluruhan ada, melainkan sebuah bentuk partisipasi pada ada absolut.
Bagi sebagian besar orang, bekerja masih dianggap suatu beban dalam hidup. Bekerja
menjadi sebuah tuntutan yang menindas dan mengancam kebebasan manusia. Mereka belum
menyadari sepenuhnya bahwa bekerja menjadi sebuah cetusan diri yang berasal dari
kedalaman dirinya atau pikirannya sendiri. Hal ini muncul dalam diri manusia manakala
manusia belum menyadari hakikat kerja, yaitu kerja justru merupakan ungkapan kebebasan
5 Bdk. Damasus Jehaut, Manusia Dipanggil untuk Bekerja, Suatu Tinjauan Teologi Spiritualitas
Agama Kristen Katolik, (Malang, STFT Widya Sasana, 2002).

dan kerelaan diri untuk mencapai sebuah nilai yang harus diperjuangkan selama
keberadaannya di dunia.
Apa yang harus dikerjakan adalah apa yang sesuai dengan peran, kemampuan, dan jati
diri manusia yang bersangkutan. Yang harus dikerjakan seorang petani ialah mengolah tanah
untuk mengusahakan hasil bumi, sementara seorang pedagang mengolah barang dagangannya
untuk menyediakan kebutuhan orang lain melalui kegiatan jual beli. Yang harus dikerjakan
seorang mahasiswa tentunya belajar (dan belajar untuk mulai mengajar), sementara seorang
dosen bekerja dengan mengajar (dan pastinya tidak luput juga dari kewajiban untuk belajar).
Dalam kaitannya dengan ke-ada-an manusia, bekerja menjadi salah satu bagian di
mana manusia dapat meng-ada-kan dirinya. Bekerja tidak harus menghasilkan suatu benda
fisik, namun tetap real secara empiris, tampak dan atau dirasakan dampaknya dalam
kehidupan bersama. Seseorang tidak dapat dikatakan bekerja ketika ia duduk melamun atau
tidur. Pun tidak dapat dikatakan bekerja jika ia terlalu sibuk dengan pemikirannya sendiri
tanpa melakukan sesuatu. Untuk menjadi ada secara penuh, bekerja memerlukan ada yang
lain. Hal ini jelas tampak bilamana manusia bekerja (ber)sama. Bekerja tanpa ada lain
justru mengalienasi diri manusia, mengucilkannya, dan menyembunyikannya dari ada-ada
lain, sementara ada-ada lain inilah yang seharusnya mengakui ke-ada-an orang tersebut.
Pekerjaan juga bisa menjadi tempat pelarian seseorang ketika ia menghadapi suatu tekanan
dalam hidupnya.

. . . Do Ergo Sum. . . . Aku Berbagi maka Aku Ada.


Untuk mengantisipasi alienasi diri karena suatu pekerjaan, berbagi menjadi cara yang
hampir pasti melepaskan manusia dari belenggu alienasi tersebut. Apa yang telah manusia
kerjakan senantiasa memberikan hasil, entah itu dalam bentuk materi atau pun afeksi diri,
entah itu sebuah kegembiraan, kesuksesan, dan banyak hal lain lagi. Berbagi dengan ada
yang lain sangat jelas menghadirkan diri secara utuh, dan dengan demikian aku menjalin
relasi dengan yang lain. Setidaknya ada dua pribadi atau bahkan bisa lebih banyak lagi
pribadi yang terlibat dalam berbagi. Di sini kita bisa melihat bahwa aku disadarkan bahwa
aku tidaklah sendiri. Ada ada-ada yang lain bersama aku.
Berbagi mengungkapkan ke-ada-an diri pribadi di hadapan ada lain, dan pada saat
yang sama mengakui ke-ada-an ada lain. Dengan demikian penuhlah ke-ada-an aku
setelah aku berpikir, bekerja, dan berbagi. Apakah yang harus kita bagi dan kepada siapakah

kita harus berbagi? Banyak hal yang dapat kita bagikan, dan apa yang kita bagi tidak selalu
berupa materi. Salah satunya adalah kehadiran diri kita bagi sesama (be for other), yaitu
berbagi waktu untuk memberi perhatian kepada orang-orang yang selama ini selalu
dipandang hina, rendah, atau bahkan tidak dipandang sama sekali, seperti mereka yang
miskin dan lemah, baik secara jasmani maupun rohani. Bisa jadi orang-orang yang
membutuhkan perhatian justru tidak hanya orang yang jelas tampak tersisih, tetapi bisa jadi
orang-orang yang duduk di samping kita, makan sehidangan dengan kita, atau duduk belajar
bersama. Kadang mereka membutuhkan waktu untuk didengar, dan giliran kitalah yang
berbagi waktu untuk mendengar keluh kesah mereka yang tertekan.
Akhirnya tulisan ini hendak mengajak para pembaca untuk berpikir tentang orangorang di sekitar kita. Tak hanya itu, penulis juga mengajak para pembaca untuk bekerja bagi
pribadi-pribadi yang lain di luar diri kita. Berbagi menjadi ajakan utama dalam tulisan ini
terutama bagi mereka yang membutuhkan waktu, perhatian, perlindungan, kasih sayang, dan
sebagainya dari diri kita masing-masing. Tidak menutup kemungkinan ketiga hal ini berjalan
bersamaan, hanya saja kadang kita kurang peka terhadap diri kita sendiri, terhadap situasi
orang lain, atau lingkungan sekitar kita. Kadang kita terlalu sibuk dalam satu hal saja,
misalnya asyik berpikir sendiri, atau bekerja demi diri sendiri, tetapi lupa berbagi dengan
orang lain, sehingga kita menjadi terasing dalam lingkungan sendiri. Hadirkanlah diri bagi
orang-orang di sekitar kita, maka lahirlah kebersamaan dan keharmonisan hidup bersama
ada-ada yang lain yaitu pribadi-pribadi di luar diri kita.
Setiap pribadi manusia dituntut untuk mampu berdiri di atas kaki sendiri. Namun
tidak dengan sendirinya kita berdiri di atas kaki sendiri. Ada banyak orang yang lebih dulu
berdiri di sekitar kita dan mengajar, menolong, dan menjaga kita untuk tetap berdiri. Ada pula
mereka yang sedang berdiri bersama kita, di mana kita saling menopang satu sama lain. Ada
pula orang-orang yang belum mampu berdiri di atas kakinya sendiri, dan menjadi tugas kita
untuk menolong mereka. Dengan berpikir, bekerja, dan berbagi maka aku ada, kamu
ada, kita ada.

Daftar Pustaka

Bagus, Lorens. Kamus Filsafat. Jakarta: Gramedia. 2005.


Berelson & Steiner. Human Behaviour, An Inventory of Scientific Findings. New York:
Harcourt, Brace & World, Inc. 1964.
Huijbers, Dr. Theo Manusia Merenungkan Dirinya. Yogyakarta: Kanisius. 1991.
Jehaut, Damasus. Tesis: Manusia Dipanggil untuk Bekerja, Suatu Tinjauan Teologi
Spiritualitas Agama Kristen Katolik. Malang: STFT Widya Sasana. 2002.
Trout, Daniel S.

and the Other

Levinas

and Ontological Violence.

http://cityofgod.wordpress.com/2007/01/26/i-and-the-other-levinas-and-the-violenceof-ontology/ I and the Other

Levinas and Ontological Violence Homilia

Anglicana.htm. diakses Sabtu, 28 Agustus 2010.

Data Penulis
Nama : Marcellius Ari Christy

Anda mungkin juga menyukai