Evaluasi:
Berpikir keilmuan, secara filosofis, karenanya, hendak mengatasi kekeliruan dan kesesatan pikir
serta mempertahankan pemikiran yang benar terhadap kekuatan fantasi dan omong kosong.
3. Kelebihan dan kekurangan pemikiran keilmuan.
Ilmu dan anak kandungnya yang disebut spesialisasi, mesti dilihat dalam kelebihan dan
kekurangan manusia, sehingga ilmu dan spesialisasi tersebut tidak seolah-olah didewa-dewakan
(tanpa cacat), juga sebaliknya tidak diabaikan dengan berbagai alasan yang keliru. Kepicikan
semacam itu, merupakan cermin keterbatasan memahami hakikat kedalaman, keluasan, dan
jangkauan (keterbatasan) pemikiran itu sendiri. Filsafat hendak menunjukkan bahwa mereka yang
ingin mendapatkan kepuasan dari berpikir, harus menganggap berpikir sebagai sebuah nilai (value)
dan petualangan yang mengasikkan, bukan sebagai suatu beban atau kuk yang memperbudak diri
dan kemanusiaan itu sendiri.
Sejarah umat manusia menunjukkan bahwa kekuatan fisik manusia boleh lemah dan hancur
tetapi pikiran manusia tetap hidup dan menang karena pikiran, pada dirinya, memiliki nilai-nilai
keluhuran. Daya pemikiran manusia akan menemukan jalan keluar dari kekacauan, kejahatan, dan
perbudakan penderitaan. Selalu ada saja para pemikir dan peneliti yang mengembangkan warisan
pemikiran sebelumnya atau berusaha menemukan pemikiran-pemikiran baru yang lebih memadai
baginya. Seorang filsuf, Gilbert Highet mengatakan: “Perjalanan pikiran manusia yang penting
inilah, telah membawa manusia keluar dari kebiadaban ke arah peradaban dan kebijkasanaan, dan
akan lebih lanjut membawa kita ke sana”.
Artinya, kelebihan pemikiran keilmuan adalah membantu manusia untuk menyingkap berbagai
misteri kehidupan secara luas dan mendalam. Pemikiran keilmuan sekaligus membantu manusia
untuk menangani dan menyiasati aneka realitas yang mendeterminasi kehidupannya, sehingga
menjadi realitas yang menunjang kemanusiaannya, dalam sebuah tugas peradaban. Pemikiran
keilmuan membantu menyingkap keluhuran manusia dalam menemukan jalan keluar dari berbagai
lingkaran kejagatan kebodohan dan kemiskinan.
Meskipun demikian, orang pun harus kritis dalam membangun pemikiran keilmuan, segingga tidak
mendewa-dewakan pemikiran dan lupa bahwa ilmu adalah buatan manusia, bukan ciptaan
malaekat. Ilmu, sebagai buatan manusui, tidak dapat menyelesaikan segala hal karema tidak semua
masalah kehidupan dapat dipecahkan dengan ilmu. Ilmu mengandung pengandaian-pengandaian
yang juga terbatas, baik dari sisi jangkauan pemikiran ilmuwan maupun dari sisi keterbatasan
metodenya atau kelengkapan keilmuannya.
Sumber : Bahan Ajar Filsafat Ilmu oleh Prof. Dr. A. Watloly, S.Pak, M.Hum Terakhir
diperbaharui: Wednesday, 4 April 2012, 23:37
Evaluasi:
Evaluasi:
1. Plato : Plato adalah filsuf pertama yang memiliki sebuah pandangan teoretis yang lebih luas
dan lengkap tentang filsafat. Plato memiliki berbagai gagasan tentang filsafat. Plato antara
lain, mengatakan bahwa filsafat adalah ilmu pengetahuan yang berusaha meraih kebenaran
yang asli dan murni. Filsafat, karena itu, berusaha menemukan kenyataan-kenyataan atau
kebenaran-kebenaran asli, murni, dan mutlak. Plato, mengatakan juga bahwa filsafat adalah
penyelidikan tetang sebab dan azas yang paling akhir dari segala sesuatu yang ada. Ia
menjelaskan bahwa filsafat atau kebijaksanaan sejati adalah pengetahuan mengenai
“hakikat” (arrete) dari sesuatu yang diperoleh melalui kontemplasi, bukan melalui aksi.
Akibatnya, kaum Platonian (pengikut fanatik Plato) telah menyamakan filsafat sebagai
pengetahuan tentang “pengertian” saja. Praktisnya, urusan filsafat di sini hanya usaha
mencari kebenaran hakiki, tanpa usaha mempraktikkan kebenaran tersebut dalam kehidupan
nyata.
Plato adalah filsuf pertama yang mulai menggunakan pendekatan rasionalistik di dalam
mengemukakan gagasan-gagasannya tentang filsafat. Baginya, hakikat filsafat itu, bukan
terletak pada kenyataan atau penampakan lahirian yang terbatas, tetapi pada keluhuruan ide
yang bersifat mendasar dan absolut. Kejelasan filsafat adalah pada rasio, karena rasio lah
yang mampu menunjukkan letak kejelasan dan ketepatan suatu pemikiran, bukan pada
dorongan-dorongan sensasi bendawi atau inderawi. “Rasionalisme” Plato, akhirnya,
berkembang menjadi “Idealisme”, yaitu, pengabstraksian konsep pada tataran ide. Baginya,
kebenaran filosofis bukan pada penampakan-penampakan tetapi pada idenya yang lengkap.
Menurut Plato, ada beberapa hal yang merupakan sifat kebijaksanaan filosofis, yaitu:
pertama; kebijaksaanan atau pengetahuan filosofis harus tahan menghadapi ujian kritis.
Konsekueninya, semua jenis pengetahuan atau kebijaksanaan yang belum diuji sampai
dasarnya, harus ditolak alias “omong kosong”, palsu, dan “asal bunyi” (asbun).
kedua; motode yang digunakan adalah dialektik, di mana filsafat berkembang dengan
pendapat atau pengendaian-pengandaian yang diuji secara kritis, diragukan sampai pada
kesimpulan atau pemikiran yang tidak dapat diragukan atau disangsikan lagi. Pendeknya,
bagi filsafat, tidak ada sesuatu pun yang diandaikan tanpa pertanggungjawaban akal.
ketiga; filsafat harus menerobos masuk sampai kepada “kenyataan sejati”, yaitu kenyataan
essensi atau hakikat ideal dari realitas. Kenyataan sejati adalah kodrat terdalam dari realitas,
yaitu ide di balik relitas (bukan sekedar realitas yang tampak). Aspek yang tampak itu akan
bergonta-ganti dan hilang (sifat sementar), sedangkan ide itu selalu bersifat tetap (abadi).
Melalui sistem ide, filsafat akan tetap hidup (aktif) yang berusaha menggugat dan
mempertanyakan secara radikal sampai mencapai kenyataan, sebab, atau prinsip-prinsip
tertinggi dan universal dari kenyataan.
2. Aristoteles. Murid Plato ini mengatakan bahwa filsafat adalah ilmu pengetahuan yang
senantiasa berupaya mencari prinsip dan penyebab utama (causa prima) dari realitas yang
ada. Ia pun mengatakan bahwa filsafat adalah pengetahuan yang berupaya mempelajari
“ada” ( being asteing ) atau peri ada sebagaimana adanya ( being such ). Aristoles adalah
filsuf besar yang berjasa dalam mewariskan sejumlah pemikiran dan karya filsafat besar.
Beberapa karya filsafatnya, antara lain; Metafisika, Logika, Etika dan Estetika. Ia
merumuskan hakikat filsafat sebagai berikut:
pertama; hakikat filsafat berhubungan langsung dengan ada sebagai “pengada” atau “ada”
sebagai sebab dan prinsip pertama dari kenyataan tertinggi. Aristoteles, dalam hal ini,
berada pada posisi selaku seorang realis, atau penganut aliran realisme (kenyataan).
kedua; filsafat harus berurusan dengan upaya membangun (aksi) hidup kekinian, bukan
sekedar berenung atau berkontemplasi.
ketiga; filsafat harus mendorong pada aksi-praksis, bukan sekedar penalaran spekulatif,
tetapi harus mendorong pada pengalaman dan pengamalan.
3. Rene Descartes : Descartes adalah seorang filsuf Prancis yang memelopori lahirnya sejarah
filsafat modern dengan mengembangkan aliran filsafat ”Rasionalisme”. Descartes, dengan
“Rasionalisme”-nya, hendak menegaskan sebuah pendirian filosofis bahwa inti dari filsafat
itu adalah rasio itu sendiri. Rasio atau pikiran, bagi Descartes, merupakan dasar bagi segala
klaim (tuntutan) kebenaran, kesahihan (keabsahan), ketepatan (validitas), dan obyektifitas
filsafat itu sendiri. Konsekuensinya, segala klaim filosofis yang berada di luar tatanan rasio,
harus disangkal kebenarannya dan patut ditolak keberadaannya sebagai kepalsuan, sesat
pikir, kebohongan, dan perasaan subyektif yang menyesatkan.
Descartes termasur dengan argumennya: je pense, donc je suis atau yang dalam bahasa Latin “
cogito ergosum “ (aku berfikir maka aku ada). Dalil tersebut menunjukkan sebuah klaim
keberadaan manusia dari sisi rasio, sebagai satu-satunya subyek pengada yang meng-ada-kan
manusia. Descartes mengajarkan bahwa filsafat selalu berhubungan dengan kategori-kategori
pemikiran rasional dalam menuntun manusia untuk menentukan dan memperjuangkan kebenaran-
kebenaran yang bersifat “jelas dan terpilah” (clear and distinct) di dalam hidupnya. Melalu ketegori-
ketegori pemikiran rasional dimaksud, manusia akan dituntun keluar dari godaan-godaan pemikiran
yang bersifat emosional atau dorongan perasaan yang membuat manusia tidak dewasa atau matang
di dalam mengambil keputusan intelektual. Hukum, karena itu, harus mendasari diri pada logika-
logika rasional, bukan pada etika atau perasaan semata. “Rasionalisme” Rene Descartes, meskipun
sangat membantu dalam meletakkan prinsip-prinsip kebenaran yang universal, misalnya di dalam
hukum dan sebuah proses yuridis, namun dengan demikian, telah mencabut hakikat hukum itu
sendiri dari intinya, yaitu manusia dan kemanusiaan itu sendiri. Logika hukum pun, akhirnya,
mengabdi pada logika-logika tautologis (kebahasaan) semata, bukan pada etika dan moralitas
kemanusiaan itu sendiri (bd. aliran Logika Positivisme).
Uraian di atas menunjukkan secara tegas bahwah filsafat merupakan kegiatan berfikir manusia yang
berusaha mencapai kebijakan atau kearifan. Kearifan merupakan buah pikir yang dihasilkan filsafat
dari usah mencari hubungan antara pengetahuan dan impilikasinya (baik yang tersurat maupun yang
tersirat). Filsafat berusaha merangkum dan membuat garis besar dari masalah dan peristiwa pelik
dari pengalaman umat manusia. Filsafat, dengan kata lain, bukan saja berusaha menemukan pikiran
(tesis), kontra pikiran atau pikiran tandingan (antitesis), tetapi juga sampai kepada bagaimana
merangkum pikiran-pikiran (sintetis), baik yang sejalan maupun yang bertabrakan untuk menyiasati
pokok yang ditelaahanya.
III. Memahami Perbedaan Pendapat di kalangan Filsuf Tentang Arti Filsafat
Inti filsafat adalah usaha manusia dengan pikiran, pengetahuan, maupun nilai atau cita rasa
kemanusiaannya untuk mencari serta mendapatkan dasar-dasar pertanggunjawaban pikiran tentang
realitas yang sesungguhnya. Baginya, realitas (penampakan fisik, pandangan, teori keilmuan, norma
adat, tradisi, ideologi, ajaran) atau keyakinan apa pun, harus dipahami secara luas (ekstensif), utuh
(eksistensial), mendalam (intensif), dan hakiki (essensial). Inti filsafat itulah yang mampu
membimbing orang guna mendapatkan sebuah pertanggungjawaban yang kuat mendasar tentang
realitas dimaksud, sehingga tuntutan (claim) kebenaran, obyektivitas, validitas, dan kesahihan-nya
pun akan mampu bertahan dalam menghadapi ujian kritis tanntangan zaman. Para filsuf, berusaha
mencari dan mengungkapkan hal dimaksud dalam rangka menolong tugas-tugas kemanusiaan
bersama, agar dengannya manusia memperoleh pegangan di dalam upaya membangun hidupnya.
Uraian sebelum pembahasan ini, secara gamblang menunjukkan betapa terdapat perbedaan
pemikiran di kalangan para filsuf tentang arti dan hakikat filsafat itu sendiri. Kenyataan tersebut,
sekurang-kurangnya, disebabkan oleh dua hal yang menjadi titik perbedaan, yaitu perbedaan sudut
pandang dan perbedaan minat akademis.
Pertama, perbedaan sudut pangdang (ponit of view). Maksudnya, setiap filsuf, pada dirinya
memiliki sudut pandang atau cara pandang yang berbeda (yang merupakan spesifikasi dirinya) di
dalam memahami sebuah realitas, teristimewa di dalam memahami filsafat itu sendiri. Plato,
sebagai pencetak aliran pemikiran “Idealisme”, telah menjadikan ide (pikiran atau gagasan) sebagai
basis pemikiran filsafatnya dalam membangun klaim-klaim kebenaran, kesahihan, validitas, dan
obyektifitas filosofis. Konsekuensinya, klaim-kalim lain di luar ide, ditolak sebagai kepalsuan dan
kesesatan berpikir. Plato cenderung meletakkan atau membangun pemikiran dari sistim ide atau
gagasan-gagasan di balik kenyataan yang dihadapi, bukan pada aspek penampakan atau kenyataan
fisik yang dihadapi. Alasannya, hanya dunia ide itulah yang menjamin adanya kebenaran,
obyektivitas, validitas, dan kesahihan sebuah kenyataan. Menurut Plato, hal-hal yang tidak dibawah
dalam dunia ide muda diragukan, serta mudah hilang dan rusak tanpa bekas, hanya ide lah yang
bersifat luhur kekal dan tak berubah.
Rene Descartes, sebagai pendiri aliran pemikiran “Rasionalisme”, telah menjadikan rasio sebagai
sudut pandang dan basis pemikiran filosofisnya dalam membangun klaim-klaim kebenaran
filosofisnya. Menurutnya, hanya rasio lah yang mampu menjamin terwujudnya klaim-klaim
kebenaran filosofis, lepas dari selera atau kehendak subyektif dan emosionalitas yang buta. Sudut
pandang rasio akan mampu memberi arah dan pedoman pemikiran yang jelas dan tegas, karena
rasio selalu bersikap kritis untuk mencari kebenaran–kebenaran yang murni dan obyektif. Filsuf
Realis, misalnya Aristoleles, sebaliknya meletakkan sudut pandang filosofisnya pada hal-hal yang
nyata dan bersentuhan dengan pengalaman manusia secara langsung, bukan ide-ide yang abstrak.
Filsuf Pragmatis, misalnya John Dewey, dengan aliran pemikiran “Pragmatisme”-nya, justru akan
meletakkan pandangan filosofisnya pada kenyataan makna atau kegunaan (pragma) yang mendasari
segala sesuatu. Akibatnya, bagi mereka, hanya sesuatu yang berguna atau bermakna itulah yang
benar, obyektif, valid, maupun sah, selain dari itu tidak. Filsuf materialis, misalnya Marksisme
Ortodoks dengan aliran “Materilisme”-nya justru melihat materi (kenyataan fisik) sebagai jaminan
kebenaran, obyektifitas, validitas, dan kesahihan. Bagi mereka, hanya materi sajalah yang menjadi
dasar pembuktikan bahwa hal itu benar, obyektif, valid atau tepat, dan sah untuk diakui atau
diyakini, selain itu tidak. Filsuf empirs, misalnya, John Locke, David Hume, dan sebaginya, akan
meletakkan sudut pandang pemikirannya pada aspek pengalaman (empiris) sebagai basis
pengembangan pemikiran filsafatnya. Hal yang sama juga berlaku bagi filsuf lainnya dengan sudut
pendekatannya yang khas.
Kedua; minat akademis. Selain perbedaan sudut pandang, setiap filsuf memiliki pula perbedan
minat akademis dalam mengartikan dan memaknakan filsafat dengan caranya yang berbeda.
Misalnya, seorang filsuf yang menaruh minat akademis pada ilmu –ilmu ekonomi akan
mengembangkan filsafat untuk kepentingan ilmu ekonomi. Filsafat, dalam hal ini, akan diartikan
sebagai upaya untuk memperluas dan mengembangkan kekuasaan ekonomi (produksi, konsumsi,
dan keuntungan). Demikian pula halnya dengan filsuf yang menaru minat akademis pada ilmu-ilmu
fisika yang akan mengartikan filsafat sebagai upaya pemikiran yang kritis (rasional) untuk
menjelaskan dan menangani gelaja-gejala fisik –alami, dari sisi hukum sebab-akibat. Filsuf yang
menaru minat akademis pada ilmu teologi, sebaliknya akan mengartikan filsafat sebagai upaya
pemikiran yang kritis (rasional) untuk menjelaskan tentang hakikat Sang Supranatural dalam
penghadapanNya dengan manusia, dalam sebuah hukum ilahi. Perbedaan yang sama akan dijumpai
pula dalam berbagai penganut mina akademis lainnya.
Perbedaan minat akademis itulah yang akhirnya membawa kepada pembentukan ilmu secara khusus
serta berbagai aliran besar dalam sejarah pemikiran filsafat, dengan klaim-klaim (tuntutan)
kebenarannya yang bersifat sektoral, deterministik, dan partikularis atau terlepas pisah. Akibatnya,
muncul berbagai macam ilmu yang berbeda-beda dengan tuntutan (claim) kebenaran, obyektivitas,
dan validitas, atau kesahihan, baik terhadap baik obyek-obyek yang partikular maupun yang sama.
Kenyataan di atas menunjukkan betapa sulitnya mengartikan filsafat secara filosofis. Alasannya,
para filsuf akan berfilsafat dengan perbedaan sudut pandang maupun minat akademisnya yang
berbeda-beda tentang filsafat itu sendiri. Kesulitan tersebut, kemudian makin menambah kecemasan
para filsuf untuk berusaha mencari sebuah cara pemecahan sederhana untuk dapat mendekati
pengertian filsafat secara filosofis. Phytagoras, seorang filsfus Yunani kuno, akhirnya menenukan
sebuah solusi dengan mendekati arti filsafat, bukan secara filosofis, tetapi secara etimologis.
Menurut Phyitagoras, istilah filsafat berasal dari kata Yunani Philosophia. Akar katanya; Philos atau
philia = cinta, persahabatan atau tertarik pada, dan Sophia berarti kebijaksanaan atau kearifan. Jadi,
Phiolosophia, secara harafiah, artinya “cinta kebijaksanaan” (lover of wisdom). Sudut pendekatan
etimologis ini menunjukkan bahwa sejak semula, yakni dari zaman Yunani Kuno, kata filsafat
dipahami sebagai cinta kearifan atau cinta kebijaksanaan. Meskipun demikian, cakupan pengertian
sophia ini ternyata begitu luas dan padat. Sophia, pada awalnya, tidak hanya berarti kearifan,
melainkan meliputi pula prinsip-prinsip kebenaran pertama, pengatahuan luas, kebajikan
intelektual, pertimbangan akal sehat sampai pada pengertian yang lebih bersifat teknologis, yaitu
kepandaian pengrajin, dan kecerdikan dalam memutuskan soal-soal praktis.
Inti persoalannya, mengapa filsafat itu tidak hanya berpusat pada sophia atau kearifan saja, tetapi
harus disertai dengan philos atau philia (cinta)? Mengapa filsafat harus bermain dengan api cinta?
Pertanyaan filosofis di atas, justru hendak membimbing kedalam sebuah pemaknaan filosofis yang
sifatnya hakiki dan mendalam tentang arti dan hakikat filsafat itu sendiri.
Bagi Phytagoras dan para filsuf (khusunya filsuf Yunani Kuno), nama filsafat itu sendiri
menunjukkan bahwa manusia tidak pernah secara sempurna memiliki pengertian yang sifatnya total
dan menyeluruh tentang kebijaksanaan atau kearifan yang menjadi inti hakiki dari arti filsafat itu
sendiri. Sophia atau kebijaksanaan (kearifan), bukanlah sebuah pemikiran atau pengetahuan yang
bersifat datar sebagai penjelasan-penjelasan diskriptif biasa. Sophia, bukan sekedar informasi atau
fakta yang jelas, lengkap, sempurna, dan selesai atau berakhir pada dirinya. Justru, Sophia
(kebijkasanaan atau kearifan) itu merupakan sebuah upaya penjelajahan dalam menggumuli segala
realitas serta menyingkap berbagai daya misteri. Tujuannya, bukan sekedar untuk menunjukkan
sebuah pikiran sebatas ide, tetapi lebih daripada itu, berusaha memahami, menyelami, mendalami,
menerangi, dan menembusi dasar–dasar terakhir segala hal, secara khusus, tentang eksistensi, dasar,
serta tujuan manusia.
Sophia, karenanya, merupakan sebuah hutan luas yang penuh daya misteri. Begitu luas Sophia itu,
sehingga tidak mampun dijangkau oleh pikiran manusia yang biasa. Manusia, untuk itu, perlu
dibimbing oleh “api cinta” (philos atau philia), untuk mengejar, menjangkau, dan mewujudkan
sophia dimaksud. Sophia atau kearifan itu sesungguhnya hanya dimiliki oleh Sang Tuhan dengan
pikiran atau pengetahuan nya yang tidak terbatas. Pythagoras, seorang filsuf klasik, membenarkan
hal itu dengan menjelaskan bahwa manusia bukanlah citra kepenuhan dari kearifan atau kebijaksaan
itu sendiri. Menurutnya, manusia harus selalu merendahkan diri di hadapan kearifan dan
kebijaksanaan itu sendiri sebagai seorang pencinta kearifan atau pencinta kebijaksanaan. Manusia
bukan pemilik mutlak dan “penguasa kearifan” tetapi “pencinta kearifan” atau “pencinta
kebijkasanaan” itu sendiri. Manusia adalah pencinta kearifan yang mencarinya dengan api cinta
yang terus membara, bukan berdasarkan kemauan atau keinginan biasa yang bersifat sementara.
Manusia (filsuf) bukanlah philosophos tetapi philosopher, artinya, orang yang mencintai hikmat.
Sebagai pencinta hikmat, filsuf selalu merasa terbakar oleh adanya api kerinduan atau api cinta
yang membara untuk terus mencari, mengejar, dan memperoleh hikmat atau kebijaksanaan
dimaksud. Tugas, keinginan, atau kerinduan mencari hikmat bukanlah tugas sesaat atau seketika
saja. Tugas mencari hikat atau kebijaksanaan adalah tugas abadi sebagai api kerinduan yang terus
mekar. Filafat merupakan sebuah “pengejaran abadi” untuk memperoleh kearifan yang tidak pernah
berakhir dalam hidup. Justru itu, meskipun ia terbatas, manusia selalu berusaha dengan penuh
kesabaran, kesetiaan, dan kerendahan hati untuk terus berguru mencari hikmat dan mengabdi pada
sang hikmat. Hal itu dilakukan di dalam setiap jalan hidupnya dengan segala keterbatasan,
keraguannya, kecemasan, kerinduan, dan pertapaan atau kontemplasinya yang mendalam. Jelasnya,
melalui proses itu, jadilah filsafat sebagai upaya manusia untuk memenuhi hasratnya, demi
kecintaannya akan hikmat atau kebijaksanaan yang “memekarkan diri” itu.
IV. Memahami berbagai latar pemikiran tentang Arti Filsafat dalam pengembangan, pikiran,
pengetahuan, dan Ilmu.
Berbagai latar perbedaan pemikiran filosofis tentang arti filsafat, pada dirinya, mengandung
berbagai tuntutan (claim kebenaran) dalam pengembangan pikiran, pengetahuan, dan ilmu. Orang
tentu memiliki perbedaan, sesuai pembatasan cudut pandang maupun minat akademisnya yang
berbeda dalam memahami setiap obyek pemikiran. Perbedaan mana, adalah sah dan penting untuk
melakukan pendalaman analisi, dan pembuktian-pembuktian dengan perangkat metodologis
maupun alat analisisnya yang khas untuk mengingkap hal-hal yang sifatnya detail tentang hal
dimaksud. Masing-masing tuntutan (claim) memiliki kebenaran dan keabsahan pada dirinya
masing-masing, sejauh diterima dan terbukti kebenarannya dalam bidang keahliannya. Kenyataan
tersebut menunjukkan hakikat kekayaan pemikiran, pengetahuan, dan ilmu dalam mendekati
hakikat realitas secara sempurna.
Kebenaran ilmu-ilmu empiris, seperti: biologi, fisika, atau geografi memiliki kedudukan yang sama
dengan kebenaran ilmu-ilmu normatif, seperti: ilmu hukum atau etika, juga hal yang sama dengan
ilmu-ilmu kerohanian, seperti: kebudayaan atau teologi. Orang, karena itu harus makin
mengembangkan keahlian dalam bidang keilmuannya dengan mempertajam daya eksplorasi dan
analisis, serta pembuktiannya atas setiap pemikiran atau obyek keilmuannya.
Konsekuensinya, orang harus terbuka terhadap kemajemukan kebenaran, dan tidak menutup diri
dengan memutlakkan klaim kebenarannya sendiri sebagai hal yang mutlak satu-satunya. Orang
harus bersedia untuk mengkomunikasikan setiap pemikirannya secara terbuka, baik dalam bentuk
ide, pengetahuan, atau ilmu agar dapat menyumbang bagi pengembangan alam pemikiran,
pengetahuan, dan ilmu secara lebih utuh dan lengkap.
Sumber : Bahan Ajar Filsafat Ilmu oleh Prof. Dr. A. Watloly, S.Pak, M.Hum Terakhir
diperbaharui: Wednesday, 4 April 2012, 23:37
Evaluasi:
1. membuat manusia akan lebih menjadi manusia. Maksudnya, dengan belajar filsafat maka
manusia akan makin setia mendidik dan membangun dirinya atas dasar kesadaran maupun
tanggung jawab kemanusiaannya untuk menemukan jati dirinya yang khas. Manusia,
melalui itu dituntun untuk mengatasi permasalahan-permasalahan hidupnya dalam sebuah
proses penemuan yang luas-mendalam, tepat, arif, dan bijaksana. Tugas mengatasi
permasalahan hidup manusia itu adalah utuh, karena mencakup aspek-aspek jasmani dan
rohani. Maksudnya, sifat yang khusus bagi seorang filsuf ialah bahwa ia sadar akan apa saja
yang termasuk dalam kehidupan manusia, tetapi juga bagaimana mengatasi dunia itu sendiri.
Filsuf, dalam hal ini, harus sanggup melepaskan diri atau menjaukan diri sebentar dari
keramaian hidup serta kepentingan subyektif untuk menjadikan hidupnya sendiri sebagai
obyek penyelidikannya, termasuk kepentingan dan keinginan subyektifnya. Melalui cara
demikian, filsuf mencapai keobyektifan dan kebebasan hati sehingga dimungkinkan
penilaian yang obyektif dan benar tentang manusia dan dunia dengan segala sifatnya itu.
Bagi filsafat, sifat keobyektifan adalah ciri seorang dewasa yang matang kerohaniannya.
Konsekuensinya, seorang filsuf akan semakin memiliki kebijaksanaan bila ia semakin
mempunyai sikap obyektif terhadap dunia ini.
2. melatih orang untuk memandang dengan luas. Jadi, dengan belajar filsafat maka orang
disembuhkan dari “kecenderungan kepicikan” yaitu dari “Akuisme” dan “Akusentrisme”
yang membelenggu sehingga orang tidak dapat berpikir sehat luas, dan obyektif. “Akuisme”
atau “Akusentrisme”, di samping merupakan sebuah belenggu, juga merupakan sebuah
musuh peradaban, karena hanya menempatkan manusia sebatas obyek bagi dirinya sendiri.
Filsafat, dalam hal ini, mengajarkan orang, bukan untuk menghancurkan ke-aku-annya,
tetapi menumbuhkan dan mengembangkannya secara kritis dengan berbagai referensi diri
yang lain di luar dirinya sendiri.
3. membimbing orang untuk dapat berpikir sendiri sehingga orang akan memiliki kemandirian
dan kreativitas intelektual (pemikiran) di dalam menghadapi dan menyiasati realitasnya.
Orang dilatih dan dididik untuk harus berpikir secara mandiri, terutama dalam lapangan
kerohanian. Orang dibimbing untuk harus mempunyai pendapat sendiri jika perlu dapat
dipertahankannya untuk terus menyempurnakan cara berpikirnya, sehingga makin mencapai
kematangan dan kedewasaan. Prinsip itu perlu terus dikembangkan hingga orang dapat
bersikap kritis dalam mencari kebenaran dalam apa yang dikatakan orang, baik dalam buku
– buku pengetahuan maupun dalam surat– surat kabar, majalah, pidato, dan sebagainya.
Sumber : Bahan Ajar Filsafat Ilmu oleh Prof. Dr. A. Watloly, S.Pak, M.Hum Terakhir
diperbaharui: Wednesday, 4 April 2012, 23:37
Evaluasi: