Anda di halaman 1dari 21

MEMBANGUN KESADARAN DIRI SEBAGAI PEMIKIR DAN ILMUAN

I. Komunitas yang Ingin Mencetak Jati diri dengan Mengerjakan Pikiran.


Mahasiswa adalah kelompok manusia atau komunitas akademis yang "secara aktual" sedang
senangnya mencari jati diri dengan pikirannya, untuk berusaha mencetakkan baginya sebuah
identitas baru sebagai "kaum pemikir". Filsafat Ilmu, karena itu, pertama-tama berusaha
menumbuhkan kesadaran dan kebanggaan dalam diri mahasiswa sebagai calon pemikiran sejati.
Kesadaran diri selaku pemikir sejati, mendorong Anda selaku mahasiswa untuk mengembangkan
diri sebagai ilmuawan sejati, dan calon professional yang sejati.
Memang, filsafat memandang manusia sebagai makhluk berpikir (Homo Sapiens), namun
filsafat juga menegaskan bahwa tidak semua manusia, secara otomatis, dapat memanusiakan diri
sebagai pemikir sejati. Kesadaran diri sebagai makhluk berpikir, merupakan langkah awal bagi
manusia, khusunya mahasiswa dalam menempatkan diri sebagai makhluk istimewa yang berbeda
dari makhluk lainnya dengan berusaha mengembangkan daya pemikiran atau kemampuan
berpikirnya secara baik, aktif, kreatif jujur, dan benar.
Jelas bahwa manusia, khusunya mahasiswa, tidak dapat membangun kehidupan, mengembangkan
diri, serta kehidupan kemahasiswaannya tanpa berpikir. Mahasiswa, setiap saat seolah berada dalam
sebuah kecemasan intelektual atau kegelisahan pemikiran, dalam mengamati keadaan di sekitarnya.
Mereka terdorong untuk mengamati, menguji, mengkritisi, dan mengembangkan pemikiran-
pemikiran baru yang lebih jelas atau tajam dalam memecahkan realitas dimaksud. Mereka tidak
mau menerima sesuatu sebagai apa adanya, tetapi menghadapinya sebagai obyek berpikir untuk
mengerjakan pengertian-pengertian (konsep), keputusan-keputusan intelektual yang khas. Mereka
menguji setiap konsep, teori, atau pandangan dalam dunia kenyataan dengan menciptakan bahasa
sebagai alat untuk mengkomunikasikan pikirannya. Pendeknya, mereka ingin memecahkan misteri
ketidaktahuan, dan menemukan pemikiran-pemikiran dari hal-hal yang telah ada menuju
pengetahuan baru, serta menciptakan pemikiran atau penemuan-penemuan baru dalam bentuk
ilmu,teknologi, dan industri.
Mahasiswa, karena itu, hendak menegaskan bahwa, manusia sejak dari lahir sampai
matinya, tidak pernah berhenti dari berpikir. Manusia, hampir tidak ada masalah menyangkut
kehidupannya (baik yang remeh dan sederhana misalnya, sarapan pagi sampai pada soal-soal yang
paling asasi seperti sorga atau neraka), yang lepas dari jangkuan berpikirnya. Baginya, manusia
yang mengabaikan tugas melatih, mendewasakan, dan mencerdaskan diri dan hidup dengan berpikir
akan tergilas oleh kehidupan itu sendiri, sehingga tidak berdaya menghadapi arus kehidupan yang
terus mengalir. Otak manusia bekerja seperti jantung yang tidak berhenti berdenyut, siang malam,
sejak masa kecil sampai tua renta. Otak manusia menyimpan berbagai jaringan yang menyimpan
serta mengalirkan berbagai juta, bahkan, bilyun ingatan, kemampuan bicara, perhitungan,
keinginan, kekuatan, pola, dan suara. Otak manusia, membuat manusia mampu mengerjakan
pengertian-pengertian (konsep), keputusan-keputusan, menciptakan bahasa sebagai tanda
kepribadian dan alat komunikasi, memecahkan misteri ketidaktahuan, dan menemukan pemikiran-
pemikiran dari hal-hal yang telah ada menuju pengetahuan baru, serta menciptakan pemikiran atau
penemuan-penemuan baru dalam bentuk ilmu, teknologi, seni, dan industri.
Baginya, banyak manusia yang memiliki potensi kecerdasan, tetapi bisa lalai, gagal, atau
salah dalam mengembangkan kecerdasannya, baik dalam membangun kehidupan sehari-hari.
Bahkan, banyak yang gagal mengembangkan potensi kecerdasannya dalam meraih ilmu atau
pengetahuan sebagai sarana kekuatan dan kekuasaan manusia dalam alam. Akibatnya, mereka gagal
meraih martabat diri dan mengembangkan kehidupan sebagai makluk berpikir.
Melalui studi filsafat Ilmu, hendak ditegaskan bahwa martabat diri manusia ditentukan oleh
sejauh mana ia berpikir dan mengembangkan pikirannya. Filsuf Rene Descartes, menegaskan hal itu
dengan mengatakan bahwa: "karena berpikir maka aku ada" (Cogito ergo sum). Implikasi
pandangan tersebut adalah bahwa karena manusia itu berpikir maka ia ada", sebab tanpa berpikir
maka manusia tidak pernah akan menyadari keberadaan aktualnya sebagai potensi "ada" dan
"mengada", atau mampu menempatkan diri sebagai "subyek pengada" bagi ada lainnya (berupa
pengetahuan, ilmu, atau penemuan lain) di dalam hidup ini. Tanpa berpikir, manusia tidak memiliki
perbedaan secara mendasar (essensial) dari makhluk lainnya, dan mungkin, akan mudah dibatasi
(dideterminasi) oleh kekuatan alam atau makhluk lainnya.
II. Mahasiswa Sebagai Pemikir Sejati.
Mahasiswa, bukan sekedar sebuah gelar intelektual, tetapi tanda keberadaan actual sebagai
pemikira sejati. Kesadaran diri dan pengembangan diri sebagai homo sapiens membuat para
mahasiswa bergerak dari sekedar sebuah "keberadaan kodrati" atau "keberadaan potensial" menjadi
"keberadaan aktual" sebagai pemikir sejati yang mampu menyumbang bagi pengembangan ilmu,
kebudayaan, dan kesejahteraan masyarakat. Melelui pengembangan diri sebagai pemikir sejati,
mahasiswa mampu menyumbang bagi pemenuhan keterbatasan kodratinya serta membudayakan
diri dan alam lingkungannya menjadi pribadi dan lingkungan yang bermartabat serta berbudaya.
Pikiran membuat mausia mampu melakukan transendensi diri sehingga mampu membebaskan diri
dari berbagai determinasi dan represi, baik yang bersifat alami, tradisi, provokasi, maupun
"penyakit peradaban" yang ingin membelenggu dan memperbudak manusia secara utuh dan
sitematis.
Bagi seorang mahasiswa atau pemikir sejati, Homo Sapiens bukan sekedar sebuah tanda
keberadaan, tetapi tanda kekuatan dan kekuasaan (the Power). Bahkan, lebih daripada itu, bernilai
pada dirinya sebagai "tenaga budaya". Mahasiswa sebagai pemikir, hendak membuktikan bahwa
manusia, dengan pikirannya, bukan saja mampu mengetahui rahasia alam, tetapi mampu
menguasainya dan "menanganinya". Manusia, dengan pikirannya, sebagai "tenaga budaya" mampu
membangun berbagai sistem berpikir, sistem pengetahuan, dan sistem keilmuan yang mampu
menempatkannya sebagai aktor zaman. Manusia, dengan pikirannya, mampu membudayakan diri
dan alam lingkungannya menjadi manusia dan alam lingkungan yang berbudaya. Hanya manusia
berpikir lah yang mampu membangun sebuah "keberadaan" yang khas manusiawi bagi diri dan
lingkungannya.
Jadi, Homo sapiens adalah tanda kesadaran manusia akan otonomi dan kreatifitas dirinya
yang melahirkan kemampuan manusia untuk bernalar, mencerap, mengamati, mengingat,
membayangkan, menganalisis, memahami, merasa, membangkitkan emosi, menghendaki,
melakukan sintesis, abstraksi, serta mengadakan suatu perhitungan menuju ke masa depan. Homo
sapiens merupakan sebuah keberadaan aktif yang memungkinkan dunia obyektif direfleksikan
dalam konsep, putusan intelektual, serta memungkinkan manusia mengorganiser pikirannya darai
taraf-taraf hipoteisis (dugaan-dugaan sementara) menuju taraf pembuktian untuk menjadi teori,
ilmu, teknologi, industri, dan sebagainya, serta membuat manusia mampu memecahkan masalah-
masalah kehidupan secara efektif dan sitematis.
Aristoteles, karena itu menganjurkan; "agar orang yang tidak mampu berpikir dan tidak mau
mengembangkan daya pikirannya harus dilenyapkan saja". Alasannya, mereka adalah sama dengan
lemah berfikir yang tidak berguna dan, karennya, akan menjadi beban bagi masyarakat atau negara.
Aristoteles, dalam hal ini, memandang pikiran sebagai kemampuan yang khas manusia untuk secara
kritis melakukan: pertama; pengamatan, kedua; menilai dan mengklasifikasi atau mengkategorikan
konsep-konsep, ketiga; menempatkan perbedaan dalam rangka kombinasi dan hubungan, keempat;
melakukan perhitungan-perhitungan berdasarkan kemampuan membeda-perbedakan,
mengklasifikasi, dan mengkombinasi hubungan.
Pendeknya, mahasiswa adalah sebuah dunia actual dan fungsional yang ingin mewujudkan
kapasitasnya, sebagai komunitas baru yang berciri khas sebagai kaum intelek atau "pemikir aktual".
Para mahasiswa, karenanya, giat membangun struktur perilaku, cara berkomunikasi, cara bergaul,
cara berbahasa, serta bereksperimentasi hidup dalam pola dan arus pemikiran yang khas dan
dinamis. Mereka mengkritik pikiran-pikiran, tradisi, dogma-dogma, ideologi, serta melakukan
eksplorasi, analisis, perbandingan, dan penyimpulan-penyimpulan yang progresif, berupa
persetujuan-persetujuan (affirmasi) atau penolakan-penolakan (negasi) untuk menunjukkan
kepiawaiannya sebagai "pemikir aktual". Jiwa mereka diliputi sebuah semangat yang tunggi untu
berusaha menyusun atau memformulasi pemikirannya sedemikian rupa menjadi tanda kepribadian
yang "memekarkan".
Mahasiswa, lebih daripada itu, ingin menampilkan diri sebagai "pemikir aktual", penggagas
seminar, aktivis kelompok diskusi, bedah pemikiran, dan "demonstran intelektual". Tujuannya,
ingin mendemontrasikan atau mengujicoba kekuatan pemikirannya sebagai the power of logic
untuk menyikapi realitas masyarakatnya, sedemikian rupa, sehingga diakui atau dikenal luas
sebagai pemikir sejati, komunitas rasional, ilmuwan, dan kaum berpengetahun. Mereka, dengan itu,
berusaha menyakinkan masyarakat bahwa, pikiran dan kaum pemikir adalah "kekuatan" yang
mampu mengemansipasi masyarakatnya dari kemandegan hidup yang mengancam serta kekuatan-
kekuatan determinan berupa; represi, arogansi, dan candu kekuasaan yang dianggapnya sebagai
kepalsuan, absurditas, dan irasional yang harus dilawan dengan pikiran sehat.
Mahasiswa adalah "calon pemikir", bukan dalam arti bahwa mereka, sebelumnya, belum pernah
berpikir atau belum terbiasa berpikir. Maksudnya, mereka di sini baru berada pada sebuah periode
khusus dalam hal memandang dan mengerjakan pikiran itu sendiri secara kritis, terstruktur dan
sistematis sebagai sebuah keberadaan baru baginya. Mahasiswa, pada periode ini mulai terlatih
untuk bereksperimentasi pemikiran dalam rangka mengembangkan alam berpikirnya secara
filosofis logis, yang menjadi dasar bagi proses "berpikir keilmuan".
Mahasiswa, karena itu, harus mengolah pemikirannya secara teratur dan bertahap, untuk mencapai
tahap-tahap kepuasan inteketual yang dipersyaratkan dalam mewujudkan dirinya selaku pemikir
yang ilmuwan, bukan pemikir biasa. Mereka, justru itu, harus membangun sebuah tradisi berpikir
dalam hidup aktualnya, untuk dapat mewujudkan jatidirinya selaku "master" berpikir. Mereka
mengeksperimentasi pemikiran dengan cara mengkritik, menganalisis, mengkaji, menggugat, serta
menguji pikiran dan pandangan, termasuk dalamnya, ideologi-ideologi, tradisi, atau ajaran-ajaran
yang ada, untuk mengambil keputusan-keputusan intelektual yang baru, sebagai taha-tahap berpikir
progresif menuju pencapaian pikiran atau pengetahuan-pengetahuan baru di dalam hidupnya. Ciri
berpikir yang dimaksud, yaitu berpikir secara rasional (bukan subyektif-emosional), terstruktur,
metodik, dan logis untuk menghasilkan kategori-kategori pemikiran sehat, lurus, dan obyektif.
Melalui itu, mahasiwa akan melihat dirinya di dalam teater pemikirannya sendiri dengan aneka
penyiasatan hidup untuk mencapai kesuksesan.
III. Pikiran Mengobati "Rasa Ingin Tahu".
Sebagaimana diketahui, salah satu ciri fundamental manusia sebagai Homo sapiens ialah "ingin
tahu". Namun, suasana atau semangat "ingin tahu" itu sendiri akan menjadi beku dan mati tanpa
hasil budaya apa pun, bila tidak ada pikiran yang mampu membimbing manusia untuk mengobati
kerinduan "rasa ingin tahu" itu. Bahkan, kesadaran berpikir itu sendirilah yang telah memunculkan
"rasa ingin tahu" dimaksud sebagai tanda kesadaran (existencial consciousness) yang khas bagi
manusia. Pikiran mampu mengobati "rasa ingin tahu", sehingga manusia tidak digerogoti atau terus
dicemaskan oleh sebuah "keingintahuan" yang statis (kekanak-kanakan).
Pikiran mampu menangani "rasa ingin tahu" manusia sedemikian rupa sehingga manusia mendapat
sebuah titik pangkal kesadaran untuk makin melangkah menuju tahap kedewasaan dan kematangan
hidup. Manusia, melalui pikirannya, tidak hanya menterapi "rasa ingin tahu"-nya secara psikologis,
tetapi mampu menempatkannya pada sebuah realitas pembelajaran (diskursus) untuk mengisi ruang
keinginannya itu dengan kompetensi; pengetahuan, keilmuan, ketrampilan, etika, moralitas, dan
spiritualitas. Pikiran mampu menangani "rasa ingin tahu" manusia dan menempatkannya sebagai
"tenaga budaya" dalam melakukan berbagai karya budaya. Pikiran juga mampu menangani "rasa
ingin tahu" manusia dan menempatkanya sebagai "tenaga ilmu" dalam mengerjakan berbagai karya
keilmuan yang terus menyingkap misteri ketidaktahuan yang mencemaskan menjadi alam
penaklukkan yang mengasikkan.
Pikiran adalah sebuah daya atau "tenaga" yang mampu mengobati, mengubah, dan mendinamisasi
suasana keraguan, kesangsian atau kebingungan dan rasa tetidaktahuan yang mencekam dalam diri
manusia. Pikiran mampu menangani gejolak kebathinan dimaksud menjadi semangat
"keingintahuan" yang menyegarkan eksistensi manusia, serta mencitrakan dirinya sebagai "kreator
dunia". Sebagai "tenaga budaya", pikiran telah membangkitkan dan menumbuhkan sebuah
kesadaran yang khas bagi manusia untuk memosisikan diri sebagai makhluk beradab atau
berbudaya yang mampu mengatasi kejahatan, kebiadaban, asosial, dan mengembangkan peradaban
diri dan dunianya menjadi diri pribadi dan dunia yang berpribadi, beradab, dan bermartabat.
Pikiran memberikan sebuah martabat dan sekaligus beban tanggungjawab yang menyuburkan bagi
manusia. Melalui itu, manusia, bukan sekedar menjadi makhluk pemikir (homo sapiens), namun
akan terus mengembangkan diri menjadi makhluk pekerja keras atau berbudaya (homo vaber),
makhluk sosial (homo social), dan makhluk beragama (homo religius). Pikiran membuat manusia
membatasi, mengarahkan, dan mengendalikan diri sebagai "aktor nilai" dengan norma atau aturan
(orde) kehidupan yang jelas.
Pikiran membuat manusia mampu berada (bereksistensi) dan berkarya (beraktivitas) dalam tatanan
(orde) atau sistem (ordo) kehidupan yang memadai bagi diri kemanusiaannya maupun diri
kesosialannya. Daya pemikiran dimaksud membuat manusia mampu mengisi dan mengkreasi
berbagai sistem kehidupan dalam menyiasati tuntutan kehidupannya secara nyata, sehingga manusia
memiliki sebuah sistem keberadaan (Ordo essendi), sistem nilai atau pengetahuan (Ordo
Cognoscendi), sistem kerja (Ordo Fiendi), dan sistem niat pengabdian (Ordo Agendi) untuk
mewujudkan kapasitas diri secara nyata sebagai agen kehidupan bagi dunianya. Semuanya itu
hanya mungkin dilakukan oleh manusia sebagai makhluk berpikir.
Jelasnya, melalui pikiran, manusia mampu memahami dan "mengolah diri" sedemikian rupa
sehingga makin halus, makin peka, dan makin terbuka. Pikiran sebagai "tenaga budaya" membuat
manusia juga mampu berinspirasi, beraspirasi, dan bertransformasi secara aktual dan dinamis utuk
menciptakan perubahan dan kemajuan-kemajuan dalam hidup. Bahkan, dengan pikirannya, manusia
mampu mengembangkan pengertian dan pemahamannya secara sistematis dan terstruktur, baik
secara Verbalis (kata atau perkataan), Konotatif (pengertian atau pemahaman), dan Denotatif
(kewajiban etis) untuk memajukan kehidupannya.
IV.Pikiran Sebagai Tenaga Keilmuan.
Pikiran (bah. Inggris mind), menunjuk pada isi dan ruang kesadaran atau keinsyafan
manusia. Pikiran sebagai sebuah substansi rohani yang berupa daya rasional, membuat manusia
mampu memiliki kesadaran, kemampuan kritis, bernalar, berprakarsa, berkehendak, serta
bertanggung jawab. Pikiran, sebagai salah satu fenomena eksistensial manusia, menjiwai kehidupan
dan perbuatan manusia, serta mempersatukan manusia dengan dunia dan sesamanya dalam sebuah
tatanan sosial yang beradab. Pikiran, karenanya, bukan hanya merupakan sebuah hasil berpikir yang
bersifat statis, tetapi juga merupakan sebuah proses yang penuh dinamika perubahan dan
perkembangan secara terus-menerus. Orang, karena itu, sering membedakan pikiran berdasarkan
dua sisinya, yaitu; sisi materi dan sisi rohani (dinamika kesadaran). Bagi mereka yang memandang
pikiran dari sisi materi, pikiran adalah sebuah bentuk energi material yang sedang bergerak,
sementara bagi mereka yang memandang pikiran dari sisi rohani melihat pikiran sebagai aktivitas
non material yang terus mendorong aktivitas-aktivitas mental dalam rangka mengkritisi,
memprediksi, dan mengambil keputusan-keputusan intelektual.
Sejauh ini, ada berbagai teori yang bersifat monistik, dualistik (dikhotomis), atau dialektis tentang
pikiran itu sendiri. Penganut aliran "Monisme" akan cenderung mengidentikkan pikiran dengan
proses-proses otak tertentu, misalnya; pencerapan, persepsi (kesan atau pemahaman), dan
kesadaran. Penganut aliran "Dualisme" (Dikhotomis), di sisi lain, akan cenderung memisahkan
pikiran dari keutuhan tubuh manusia, dengan menunjukkan berbagai ciri yang sungguh
membedakan atau mengkonfrontasikan pikiran (rohani) dari tubuh (materi) dimaksud.
Pikiran makin mendorong dan mengembangkan niat, rasa, atau semangat keingintahuan manusia
menjadi sebuah "tanaga ilmu". Melalui pikiran, manusia makin mengembangkan semangat "ingin
tahu"-nya kearah penemuan konsep-konsep, ide, gagasan, dan pembuktian-pembuktian hipotesisi
atasnya untuk menjadi teori atau pikiran keilmuan yang jelas. Manusia, melalui itu, mampu
menyingkap keberadaannya, bukan sekedar sebagai fakta, tetapi masalah dengan dinamika
personanya, yang harus dipecahkan, baik secara psikologis, biologis, teologis, antropologis,
sosiologis, ekonomis, paedagogis, ekologis, dan sebagainya. Bahkan, manusia mampu menciptakan
aneka hukum bagi pengembangan kehidupannya, seperti; hukum ekonomi (the Law of having),
hukum tindakan (the Law of doing), dan hukum budaya (The Law of Being).
Pikiran, dalam kedudukan sebagai "tenaga ilmu", berfungsi memberi dasar-dasar pemikiran
keilmuan, menentukan obyek dan prinsip-prinsip metodik keilmuan serta ciri khas masing-masing
cabang ilmu. Tenaga keilmuan tersebut, berfungsi pula untuk memperdalam serta memperluas
cakrawala pertimbangan-pertimbangan dan putusan-putusan teoretis sehingga mampu mendorong
perkembangan ilmu-ilmu khusus, maupun aplikasi atau penerapan keilmuan dengan pertimbangan-
pertimbangan nilai agar ilmu pengetahuan dapat bermanfaat bagi kesejahteraan dan kebahagiaan
manusia. Akhirnya, pikiran, baik sebagai "tenaga budaya" maupun "tenaga ilmu", merupakan
kekuatan strategis untuk menyingkapkan keluhuran atau keagungan manusia yang tiada
bandingnya, sehingga rasa "ingin tahu" manusia menemukan artinya yang strategis dan mendalam.
Manusia, dengan pikirannya, telah mendorong rasa keingintahuannya itu sehingga telah mampu
mengantarkannya memasuki dan menyelami segala seluk beluk alam pemikiran, baik yang bersifat
spekulatif - teoretis dalam rangka menghasilkan pikiran-pikiran keilmuan, maupun pikiran-pikiran
yang bersifat praktis operasional dalam rangka membangun kecakapan, menciptakan alat-alat untuk
membantu manusia dalam mempertahankan diri serta sekaligus mengembangkan hidupnya sebagai
makhluk beradab. Bahkan, manusia dengan pikiran telah balik menantang dan mendorong
pengembangan pikirannya itu, sedemikian rupa, sehingga mampu mendongkrak segala keterbatasan
kodratinya, dan menyumbang bagi kepenuhan diri sebagai makhluk budaya yang bisa mengusai
alam yang mendeterminasi dirinya.
Cara pengobatan pikiran atas "rasa ingin tahu" manusia itu, antara lain dengan mengembangkan
pengetahuan dan ketrampilan untuk mengolah tanah yang gersang menjadi lahan subur dan
produktif guna menunjang kehidupannya. Bahkan, dengannya, manusia mampu mengubah tanah
yang berbukit atau hutan rimba menjadi istana, menciptakan bangunan bertingkat, kapal, pesawat,
dan sebaginya untuk mengatasi keterbatasan kikinya yang tidak mampu berjalan mengantarkannya
secara cepat, mengelilingi pulau dan benua dalam waktu yang singkat.
Pikiran merupakan sebuah dharma kehidupan yang meluhurkan dan memampukan manusia
menyingkap realitas, supaya memungkinkan manusia berkomunikasi satu dengan yang lainnya serta
meningkatkan harkat kemanusiaan manusia. Manusia dengan pikirannya, mampu menciptakan
bahasa, baik untuk kepentingan komunikasi maupun untuk kepentingan penegasan eksistensi atau
jati diri. Meskipun demikian, pikiran manusia bukanlah sebuah lingkup pengada manusia yang
lengkap dan sempurna. Pikiran, sesungguhnya, merupakan sarana pengada yang memungkinkan
mengadanya berbagai macam tindakan dan hasil tindakan manusia yang mengisi alam
kebudayaannya. Pikiran mendorong manusia untuk mengetahui dan menghasilkan berbagai turunan
pengetahuan atau ilmu yang, seakan, tidak berkesudahan, berintikan pada penilaian mengenai
manusia dan kemampuan mengadanya di tengah alam kehidupannya secara nyata.
Pikiran lah yang membuat manusia menjadi makhluk yang bertanggungjawab dan karenanya, dapat
dimintakan pertanggungan jawabnya atas segala hal yang dilakukan. Manusia dibimbing secara
jelas dengan pikirannya untuk memahami, menilai, dan menyiasati secara jelas dan tertanggung
jawab kondisi konkretnya agar ia bertindak sesuai martabatnya. Konkritnya, dengan pikirannya,
manusia mampu melakukan transendensi terhadap realitas seperti apa adanya, dan makin menuju
kepada kemungkinan-kemungkinan yang terbayang melalui pengamatan terhadap realitas yang
dialaminya.
Sumber : Bahan Ajar Filsafat Ilmu oleh Prof. Dr. A. Watloly, S.Pak, M.Hum Terakhir
diperbaharui: Wednesday, 4 April 2012, 23:37

Evaluasi:

 Jelaskan arti dan hakikat mahasiswa sebagai pemikir sejati;


 berikan beberapa contoh pemikir sejati;
 Jelaskan hakikat pikiran sebagai pengobat rasa ingin tahu;
 Jelaskan hakikat pikiran sebagai tenaga keilmuan.
MAHASISWA SEBAGAI PEMIKIR DAN ILMUWAN

1. Berpikir dalam Kerangka Tugas Keilmuan.


Berpikir, secara filosofis, adalah sebuah tugas kemanusian dan tugas budaya yang makin
memperluas kesadaran (reasoning) manusia. Manusia, dengan berpikir, mampu mendongkrak
keterbatasan-keterbatasan kodrati manusia untuk melakukan penemuan-penemuan (invention) serta
karya-karya budaya dalam rangka memanusiakan diri dan lingkungannya menjadi pribadi dan
lingkungan yang manusiawi serta berbudaya. Berpikir, karena itu, bukan merupakan proses kelana
dalam berbagai hantu khayalan atau untuk mencari kepuasan yang sifatnya temporer. Justru,
berpikir merupakan proses yang mesti membuahkan pengetahuan, ilmu, “Spesialisme”, teknologi,
serta “Industrialisme”.
Bahkan, pada sisi tertentu, kemajuan pikiran telah memacu berkembangnya pengetahuan dengan
segala akan pinaknya, sebagaimana ditunjukkan di atas. Kenyatan itulah yang membuat ilmu,
“Spesialisme”, teknologi, dan “Industrialisme” dimaksud, telah menggejala luas dan makin
menguasai hidup manusia. Ilmu, pengetahuan dan teknologi seakan telah memberikan atribut yang
khas bagi manusia sebagai “manusia modern” yang hidupnya, seolah-olah, diabdikan sepenuhnya
untuk mengejar “kemajuan” dan “pertumbuhan” (progres).
Mahasiswa bukan hanya menghadapi pikirannya, tetapi mengolah, mengkritisi, dan
menatanya sedemikian rupa dengan pola penalaran yang logis maupun metode pemikiran yang khas
untuk membangun dunia keilmuannya yang khas. Mahasiswa, dalam proses pembelajarannya di
perguruan tinggi terarah sepernuhnya untuk mengerjakan pikiran-pikiran keilmuannya, baik untuk
kepentingan pengembangan ilmu secara luas maupun untuk penerapan dalam memecahkan
permasalahan kehidupan di dalam lingkungannya.
Ilmu atau pengetahuan keilmuan mana, bukanlah pikiran yang statis dan final, karena
pikiran keilmuan itu sendiri segara akan memasuki sebuah dunia keilmua terus berkembang secara
multiplikatif. Umumnya, setiap perkembangan ide atau konsep merupakan berpikir itu sendiri.
Gerak pemikiran ini, dalam kegiatannya mempergunakan lambang yang merupakan abstraksi dari
obyek yang sedang dipikirkan. Bahasa adalah salah satu dari lambang tersebut yang berfungsi
menyatakan obyek-obyek tersebut dalam bentuk kata-kata. Hal yang sama juga dilakukan dalam
matematika. Kemampuan berpikir seorang bayi dimulai dengan belajar berbahasa (bahasa verbal)
kemudian dengan mengenal angka-angka (bahasa angka) yang dilanjutkan dengan belajar
berhitung. Proses berpikir itu kemudian dilakukan secara formal dalam bentuk pendidikan
prasekolah, Sekolah Dasar, dan sebagainya.
Gerak pemikiran tersebut, makin berkembang dengan adanya prestasi-prestai pemikiran
yang telah diarahkan serta diolah sedemikian rupa untuk menghasilkan teknologi yang makin
menemui puncak-puncak kejayaannya dalam bentuk tekno-industri, serta ”Industrialisme” yang
mampu memproduksi hasil-hasil, serta spesies-psesies pemikiran baru secara berlipat ganda.
Meskipun demikian, pikiran dan hal mengerjakan pikiran itu sendiri dengan segala turunannya yang
disebutkan di atas, kini, telah menjadi urusan banyak pihak dengan berbagai macam kepentingan,
baik yang bersifat luhur (positif), maupun buruk (negatif). Hal itu pun dilakukan dengan berbagai
macam media, baik berupa media teknologi informasi, teknologi genetika, bio-medis, maupun
teknologi persenjataan (hasil pemikiran itu sendiri), yang bukan hanya menguasai proses
pembelajaran secara formal, tetapi jauh lebih daripada itu, telah menguasai dan menggerogoti
otonomi berpikir, moralitas, serta hak-hak privat manusia, dan makin pula menimbulkan berbagai
arus kecemasan dalam diri dan kehidupan manusia, tanpa ketenangan.
Perkembangan arus keilmuan pun, makin menunjukkan sebuah perkembangan yang
beranekaragam, bercabang-cabang, dan bahkan, menjurus pada spesialisasi yang terpecah-belah.
Spesialisasi, yang di samping telah membawa keuntungan bagi pemecahan masalah-masalah
kemanusiaan dan dunia, akhirnya telah terjebak menjadi “Spesialisme”, dalam arti sikap spesialisasi
yang tertutup untuk kepentingan (egoisme dan keangkuhan) spesialisasi dan kaum spesialis itu
sendiri. Pasar spesialisasi telah menjadikan manusia itu sendiri sebagai obyek transaksi, uji-coba,
lahan garapan, dan bukan semata-mata untuk menyembuhkan manusia.
Intinya, pengetahuan atau ilmu, sebagai produk pikiran manusia, membantu manusia untuk
makin mengenal dan menemukan dirinya serta serta makin menghayati hidupnya dengan sempurna.
Berbagai ragam pemikiran telah dan akan terus dikembangkan untuk memecahkan masalah-
masalah kehidupan manusia yang terus berkembang. Ilmu merupakan salah satu dari buah
pemikiran manusia untuk kepentingan-kepentingan kemanusiaan. Justru itu, ilmu bukan untuk ilmu
(ilmu qua ilmu), tetapi untuk manusia dan kemanusiaan itu sendiri.
2. Ciri pemikiran keilmuan
Pemikiran keilmuan bukanlah suatu pemikiran biasa. Pemikiran keilmuan adalah pemikiran yang
sungguh-sungguh, suatu cara berpikir yang penuh kedisiplinan. Seorang pemikir ilmuwan tidak
akan membiarkan ide dan konsep yang sedang dipikirkannya berkelana tanpa arah, namun
semuanya itu akan diarahkannya pada suatu tujuan tertentu, yaitu pengetahuan. Jadi, berpikir
keilmuan, secara filosofis, adalah berpikir sungguh-sungguh, disiplin, metodis, dan terarah kepada
pengetahuan.

a. Berpikir sungguh-sungguh. Artinya, berpikir dalam kerangka keilmuan membutuhkan


keseriusan serta curahan pemikiran yang mendalam dengan totalitas penghayatan untuk
membedah suatu pemikiran sampai mendapatkan kejelasan, kepastian, ketepatan, dan
keajekan-keajekan pemikiran yang sungguh mendasar bagi sebuah bangunan keilmuan.
Berpikir sungguh-sungguh dalam arti yang demikian, mengandaikan pula bahwa pemikir
ilmuwan, tidak sekedar bermai-main dengan pikirannya untuk mencari popularitas, tetapi
sebaliknya menjadi teladan atau prototype kebenaran dari pemikiran keilmuan itu sendiri.
b. b. Berpikir disiplin. Artinya, berpikir keilmuan membutuhkan sikap bathin yang kuat
(komitmen diri) dalam mengawal pengembangan pemikiran sampai pada pembuktian-
pembuktian kebenaran pemikiran keilmuan, tanpa berdusta, memanipulasi, atau
menyimpang dari prinsip-prinsip kebenaran pemikiran keilmuan demi kepentingan yang
tidak tertanggung jawab. Berpikir disiplin menunjukkan pula sikap ketaatan dan kesetiaan
pada garis atau ciri pemikiran yang ditekuni sampai membuahkan hasilnya sebagai ilmu,
meskipun hal itu bertentangan dengan kebiasaan diri atau lingkungan utuk menunjukkan
kebenaran-kebenaran baru yang perlu dipedomani dalam membedah misteri kehidupan yang
dihadapi.
c. c. Berpikir metodis. Artinya, setiap pemikiran keilmuan mesti diproses dan dihasilkan
dengan cara-cara kerja yang tertanggung jawab, baik dari sisi rasio maupun teknis analisis,
pengujian, dan pembuktiannya. Dengannya, dapat menjadi acuan bagi public dalam rangka
pengujian dan pengembangan ilmu tersebut.
d. d. Berpikir yang terarah pada pengetahuan. Artinya, berpikir keilmuan harus dirahkan
sedemikiran rupa untuk menghasilkan sistem pemikiran yang tersusun secara sistematis dan
menjadi kerangka – kerangka pemikiran dasar bagi sebuah bangunan keilmuan.

Berpikir keilmuan, secara filosofis, karenanya, hendak mengatasi kekeliruan dan kesesatan pikir
serta mempertahankan pemikiran yang benar terhadap kekuatan fantasi dan omong kosong.
3. Kelebihan dan kekurangan pemikiran keilmuan.
Ilmu dan anak kandungnya yang disebut spesialisasi, mesti dilihat dalam kelebihan dan
kekurangan manusia, sehingga ilmu dan spesialisasi tersebut tidak seolah-olah didewa-dewakan
(tanpa cacat), juga sebaliknya tidak diabaikan dengan berbagai alasan yang keliru. Kepicikan
semacam itu, merupakan cermin keterbatasan memahami hakikat kedalaman, keluasan, dan
jangkauan (keterbatasan) pemikiran itu sendiri. Filsafat hendak menunjukkan bahwa mereka yang
ingin mendapatkan kepuasan dari berpikir, harus menganggap berpikir sebagai sebuah nilai (value)
dan petualangan yang mengasikkan, bukan sebagai suatu beban atau kuk yang memperbudak diri
dan kemanusiaan itu sendiri.
Sejarah umat manusia menunjukkan bahwa kekuatan fisik manusia boleh lemah dan hancur
tetapi pikiran manusia tetap hidup dan menang karena pikiran, pada dirinya, memiliki nilai-nilai
keluhuran. Daya pemikiran manusia akan menemukan jalan keluar dari kekacauan, kejahatan, dan
perbudakan penderitaan. Selalu ada saja para pemikir dan peneliti yang mengembangkan warisan
pemikiran sebelumnya atau berusaha menemukan pemikiran-pemikiran baru yang lebih memadai
baginya. Seorang filsuf, Gilbert Highet mengatakan: “Perjalanan pikiran manusia yang penting
inilah, telah membawa manusia keluar dari kebiadaban ke arah peradaban dan kebijkasanaan, dan
akan lebih lanjut membawa kita ke sana”.
Artinya, kelebihan pemikiran keilmuan adalah membantu manusia untuk menyingkap berbagai
misteri kehidupan secara luas dan mendalam. Pemikiran keilmuan sekaligus membantu manusia
untuk menangani dan menyiasati aneka realitas yang mendeterminasi kehidupannya, sehingga
menjadi realitas yang menunjang kemanusiaannya, dalam sebuah tugas peradaban. Pemikiran
keilmuan membantu menyingkap keluhuran manusia dalam menemukan jalan keluar dari berbagai
lingkaran kejagatan kebodohan dan kemiskinan.
Meskipun demikian, orang pun harus kritis dalam membangun pemikiran keilmuan, segingga tidak
mendewa-dewakan pemikiran dan lupa bahwa ilmu adalah buatan manusia, bukan ciptaan
malaekat. Ilmu, sebagai buatan manusui, tidak dapat menyelesaikan segala hal karema tidak semua
masalah kehidupan dapat dipecahkan dengan ilmu. Ilmu mengandung pengandaian-pengandaian
yang juga terbatas, baik dari sisi jangkauan pemikiran ilmuwan maupun dari sisi keterbatasan
metodenya atau kelengkapan keilmuannya.
Sumber : Bahan Ajar Filsafat Ilmu oleh Prof. Dr. A. Watloly, S.Pak, M.Hum Terakhir
diperbaharui: Wednesday, 4 April 2012, 23:37

Evaluasi:

 tunjukan dalam skema proses berpikir dalam kerangka keilmu.


 bedakan proses berpikir keilmuan dengan berpikir yang non keilmuan dalam bentuk skema;
 jelaskan beberapa ciri pemikiran keilmuan;
 jelaskan kelebihan dan kekurangan berpikir keilmuan.
PERGURUAN TINGGI SEBAGAI TEMPAT PESEMAIAN CALON PEMIKIR DAN
ILMUAN

1. Hakikat dan Fungsi Perguruan Tinggi.


Perguruan tinggi adalah tempat pesemaian bibit-bibit pemikir, intelektual, dan profesional
dengan berbagai macam jenis dan arus pemikiran keilmuan yang terus berubah dan berkembang.
Fungsi utama Perguruan Tinggi adalah membentuk kompetensi para mahasiswa sebagai calon
pemikir, ilmuwan, dan profesional yang mampu menampilkan pemikirannya secara akademis
(filosofis–logis). Mahasiswa, dengan sarana berpikir filosofis-logis, akan dibimbing agar mampu
menggarap dan mengembangkan alam pemikirannya sedemikian rupa, sesuai bidang akademisnya,
menjadi pengetahuan, dan melalui pengetahuan akan terbentuk ilmu–ilmu, yang kemudian akan
terus berkembang. Pikiran-pikiran keilmuan yang dikembangkan di perguruan tinggi itulah yang
kemudian menghasilkan pikiran-pikiran teknologi yang akan melahirkan teknologi sebagai sebuah
kekuatan yang menentukan dalam kehidupan manusia modern. Pikiran-pikiran teknologis itu
kemudian berkembang menjadi pikiran-pikiran industrial yang mampu manciptakan berbagai
pemikiran sistemik (input, out put, dan out come) yang sinergis dalam membangun sebuah
kehidupan masyarakat modern itu sendiri. Akhirnya, pikiran itu sendirilah yang telah mendorong
lahirnya berbagai pemikiran kritis dalam rangka tugas menyiasati, baik ilmu pengetahuan,
teknologi, dan industri yang cendrung mengorbankan manuisia dan kemanusiaan itu sendiri.
Berpikir secara filosofis-logis, artinya, berpikir secara kritis, rasional, obyektif, dan normatif
karena harus menaati prinsip-prinsip berpikir yang sehat dan lurus, bukan berdasarkan kemauan
atau dorongan emosi belakah. Studi Filsafat ilmu, dalam sebuah kedudukan kurikuler di Perguruan
Tinggi, bermaksud mengorientasikan sebuah pola pemikiran yang bersifat kritis, radikal, sistimatis,
logis, holistik, komprehensif-integratif, dan eksistensialistik. Ciri berpikir tersebut merupakan
fondasi filosofis yang kokoh dalam menyanggah serta memekarkan setiap setiap arus pemikiran
yang menjadi lahan pengembangan diri para intelektual muda. Hal mana, begitu penting dan
strategis bagi para mahasiswa dalam membangun kompetensi dirinya selaku pemikir, ilmuwan,
calon profesional yang mampu memahami dan mengerjakan pikirannya secara tepat, sehat, dan
benar dalam bidang keilmuan yang ditekuninya.
Prinsipnya, perguruan tinggi harus mampu membimbing mahasiswa untuk dapat
membangun pikiran-pikiran keilmuannya secara filosofis untuk makin menemukan eksistensi
“ilmuan pemikir”, bukan sekedar ilmuan “foto kopi”.
Pengalaman menunjukkan bahwa masih ada mahasiswa dan out put perguruan tinggi yang
belum dapat mengerjakan pikirannya secara tepat dan benar, karena belum terlatih secara matang
dalam membangun dan menguji pikiran-pikirannya secara kritis, terbuka, dan terstruktur. Mereka,
karenanya, cenderung menghafal, memfotokopi, dan mengikuti secara buta berbagai warisan
pemikiran serta berbagai rumusan formal dari norma apa pun tanpa sebuah pertimbangan kritis.
Bahkan, banyak yang hanya mengikuti kuliah Filsafat ilmu secara formalistik untuk mengejar target
pencapaian sistem kredit semester (SKS) yang harus ditempuh, tanpa berusaha membangun sebuah
kompetensi pemikiran yang memadai dengan melakukan transfer of knowledge secara efektif dan
sistimatis.
2. Tujuan Filsafat Ilmu di Perguruan Tinggi.
Studi filsafat ilmu di Perguruan tinggi bertujuan agar mahasiswa dibimbing untuk
memahami, betapa luas dan dalamnya hakikat serta tanggungjawab pikiran dan pengetahuan
manusia. Perguruan tinggi, secara filosofis, berfungsi dalam rangka pencerdasan budi atau
intelektual dan budaya masyarakat. Perguruan tinggi, karena itu, berusaha menumbuhkan kesadaran
dalam diri mahasiswa dan masyarakat bahwa pikiran, pengetahuan, dan ilmu adalah salah satu
fenomena eksistensi manusi yang tidak dapat dipisahkan dari nilai dan panggilan tugas
kemanusiaan yang diembannya.
Bagi Filsafat ilmu, nilai dan panggilan tugas kemanusiaan telah begitu lekat (inheren), baik
di dalam pikiran atau pengetahuan, termasuk dalamnya, bidang ilmu dan teknologi sedang yang
ditekuni oleh para mahasiswa sesuai bidang minat dan profesinya di perguruan tinggi. Usaha
tersebut, bertumpuh pada manusia sebagai subyek, sehingga mampu mendongkrak segala
keterbatasan kodratinya, dan menyumbang bagi kepenuhan diri sebagai makhluk budaya yang bisa
mengusai alam yang mendeterminasi dirinya.
Mengingat mata kuliah Filsafat ilmu ini disajikan pada semester – semester awal maka
diharapkan, baik secara substantif maupun metodis, perkuliahan dimaksud dapat memberikan dasar-
dasar pengetahuan dan ketrampilan berpikir yang baik bagi mahasiswa untuk sejak dini dapat
terlatih membangun pendekatan filosofis-logis itu di dalam membangun kompetensi keilmuannya.
Sasarannya pada upaya memperkenalkan prinsip-prinsip dasar studi filsafat yang membimbing
mahasiswa untuk membongkar dan menggali berbagai realitas kekayaan tentang dunia
kemanusiaannya yang penuh daya misteri, serta membentuk dasar-dasar pemahaman filosofis yang
berhubungan teknik atau seni dalam membangun atau mengerjakan pikiran dalam membangun
tugas keilmuan.
Tegasnya, filsafat ilmu hendak menunjukkan bahwa filsafat adalah ilmu berpikir atau seni
mengolah pikir untuk menghasilkan karya-karya keilmuan dan karya budaya yang berguna. Melalui
itu, mahasiswa dibimbing untuk memahami bagimana pikiran sebagai daya intelektual manusia
telah menjadi kekuatan peradaban dan budaya yang telah menghasilkan kemajuan-kemajuan besar
dalam hidup dan menjadikannya sebagai master budaya.
Melalui studi Filsafat ilmu, mahasiswa dibimbing untuk membangun kemampuan
filosofisnya dalam mengolah pikir guna mengkritisi berbagai pemikiran keilmuan yang digeluti
serta makin terbimbing untuk menghasilkan karya-karya keilmuan dan karya budaya yang berguna,
sesuai bidang keahliannya. Inti pembangunan ilmu bettumpuh pada tiga dimensi keilmuan, yaitu:
pertama; dimensi kritis, dengan tujuan untuk membangun otonomi diri serta kemampuan nalar
dalam menilai dan mempertanyakan berbagai kemungkinan (klaim-klaim kebenaran bersifat
keilmiahan, ideologis, yuridis, maupun religius) dalam rangka pengembangan dan penegasan
eksistensi (pilihan hidup);
kedua; dimensi kreatif, dengan tujuan untuk mengolah budi (kecerdasan), mampu melakukan
imajinasi teori, mengubah fakta menjadi permasalahan dan terobosan penyelesaiannya dalam
berbagai lakon aktual;
ketiga; dimensi kontemplatif untuk menajamkan kepekaan, mampu mengenal kekuatan dan
kelemahan, serta menasihati dan membimbing diri (menangani diri) sehingga memiliki sebuah
jangkar keberadaan dan fondasi eksistensi yang kokoh sebagai pribadi (personal), maupun sebagai
bangsa dan masyarakat (daerah) yang beradab dan bermartabat.
3. Pikiran membangun kekuatan logika dalam keilmuan.
Secara umum, dapat dikatakan bahwa sebetulnya, masing-masing ilmu memiliki “logika”-
nya sendiri, dan itulah yang disebut prinsip dasar dan metode berpikirnya. Metode itu ditemukan
dan dikembangkan bersama dengan mengadakan refleksi atas obyeknya untuk mencapai pemikiran-
pemikiran baru yang lebih jelas. Bahwa, lajunya perkembangan pikiran atau ilmu dan pengetahuan
manusia dewasa ini, terutama yang berhubungan dengan informasi ilmiah, telah begitu maju pesat.
Kegandrungan yang begitu luas–mendalam terhadap ilmu telah membawa berbagai macam
perubahan tata nilai dalam kehidupan manusia.
Meskipun demikian, kegandrungan terhadap ilmu telah membawa pula berbagai
konsekuensi logisnya yang semulanya, tidak dapat dipikirkan atau dibayangkan oleh ilmu itu
sendiri, dimana kejahatan pun makin diilmukan dengan logika-logika keilmuan yang bersifat
irasional. Pengilmiahan atau “pengilmuan kejahatan” dimaksud untuk mendapatkan justifikasi
logis, yang hampir tak terbantahkan secara keilmuan, atas berbagai kecenderungan bias (penjahat
berdasi) yang makin mendeterminasi alam pemikiran dan kehidupan secara luas.
“Pengilmuan kejahatan” dibangun dengan logika-logikanya yang di-”rasionalisasi”-kan”
sedemikian rupa (bukan berdasarkan kebenaran rasional tetapi pembenaran secara irasional) untuk
menjadi alat pembohongan atau alat merekayasa kepalsuan dan kebohongan menjadi kebenaran dan
kesalehan untuk mencapai tingkat keabsahan, baik pada tataran formal (misalnya, pada lembaga-
lembaga yang berkompeten baik secara politis maupun yuridis), maupun secara sosial dalam
kehidupan aktual masyarakat. Bahkan, para ”tukang” maupun “majikan” logika-logika irasional
dimaksud, seakan, telah mampu memutarbalikkan kejahatan menjadi kesalehan dalam sebuah
kekuasaan yang irasional (The Logic of Power).
Kini The Logic of Power, telah berkembang luas, dalam kehidupan masyarakat aktual kita.
Bahkan, ia seakan, telah menjadi semacam kekuatan intelektual baru (the new intelectual forces)
sehingga mampu meyakinkan pikiran dan pandangan banyak umat manusia dengan berbagai
implikasi yang sungguh memprihatinkan dan mencemaskan. Hukum dasar logika irasional
dimaksud adalah melakukan affirmasi atau pembenaran-pembenaran logis atas nafsu kekuasaan dan
kejahatan manusia, dengan cara menegasi atau menyingkirkan prinsi-prinsip kebenaran logis (The
Power of Logic) dalam usaha membangun dan mempertahankan kebenaran-kebenaran logis atas
dasar pemikiran yang sehat dan rasional. Ciri utama The Logic of Power adalah logika penindasan,
pembodohan, dan penguasaan, bukan logika pembebasan dan pendewasaan hidup. Manusia,
akhirnya, makin terbelenggu menjadi “tidak akil balik” (tidak matang atau dewasa) di dalam banyak
“sangkar emas” yang dibuatnya sendiri. The Logic of Power, karenanya, harus makin diatasi
dengan The Power of Logic untuk memulihkan alam pemikiran dan pengetahuan manusia, serta
menunjukkan adanya harapan-harapan baru dalam membangun alam pemikiran dan keilmuan
sebagai kekuatan peradaban yang khas manusiawi. Perkembangan kesadaran itulah yang makin
menantang orang, terutama para ilmuawan untuk selalu melakukan percermatan ulang serta
pengkajian-pengkajian kritis, dan analisis sedalam-dalamnya atas berbagai pemikiran keilmuan
serta berusaha mengembangkan pemikiran-pemikiran baru yang lebih brilian dengan norma berpikir
yang benar.
Posisi mahasiswa sebagai kaum pemikir, karenanya, menjadi sangat relevan dalam
membangun dan memperluas arus kesadaran dimaksud. Melalui itu, berbagai kekeliruan, konflik,
dan kesesatan hidup akibat derasnya The Logic of Power dalam masyarakat, makin teratasi dengan
sebuah kekuatan pencerahan baru.
Sumber : Bahan Ajar Filsafat Ilmu oleh Prof. Dr. A. Watloly, S.Pak, M.Hum Terakhir
diperbaharui: Wednesday, 4 April 2012, 23:37

Evaluasi:

 Jelaskan kedudukan dan fungsi Perguruan Tinggi;


 Tunjukkan beberapa contoh aktivitas mahasiswa di perguruan tinggi sebagai ilmuwan;
 Jelaskan kedudukan dan fungsi filsafat ilmu di perguruan tinggi;
 Berikan salah satu manfaat filsafat ilmu dalam membangun kekuatan logika keilmuan.
Memahami Hakikat Filsafat dalam Tugas Keilmuan
I. Memahami Arti filsafat Secara Filosofis
Inti filsafat adalah berpikir, dan berpikir adalah sebuah tindakan manusia yang bersifat
eksistensial, utuh dan menyejarah. Meskipun demikian, usaha mendekati arti filsafat secara filsafati
(filosofis), bukan sekedar mengandaikan sebuah pengertian yang langsung dan lurus. Sekurang-
kurangnya, terdapat sebuah peta pemahaman yang luas dan berliku-liku di dalam upaya memahami
arti filsafat itu sendiri secara filosofis.
Filsuf rasionalis akan mendekati arti filsafat itu dari sudut rasio. Menurut mereka, filsafat
adalah sebuah proses berpikir rasional, baik dalam rangka mengembangkan pemikiran-pemikiran
yang bersifat spekulatif (teoretis) maupun praktis teknologis (praktis). Filsuf spekulatif, di sisi lain,
memandang filsafat sebagai upaya spekulatif untuk menyajikan suatu pandangan sistematis dan
lengkap tentang seluruh realitas. Filsuf naturalis, di sisi lain, akan meletakkan sudut pandang
filosofisnya pada alam untuk menjelaskan fenomena-fenomena (gejala) dan fakta alam (cosmos)
dari aspek keberadaan (eksistensi) fenomena tersebut. Filsuf bahasa akan menjelaskan arti filsafat
dari sisi analisis kebahasaan untuk mencapai kejelasan makna kata dan konsep-konsepnya. Para
mistikus dan Futurolog (peramal) akan menunjuk pada arti filsafat sebagai kemampuan membaca
logika alam atau tanda-tanda untuk menentukan atau meramalkan arah kecenderungan hari esok.
Filsuf kritis akan memandang filsafat sebagai sebuah penyelidikan kritis atas realitas atau
pengandaian-pengandaian dan pernyataan – pernyataan yang diajukan oleh berbagai bidang
pengetahuan. Filsuf idealis, sebaliknya, akan mengartikan filsafat sebagai hal yang ideal yang
terlepas dari yang real (nyata).
Demikianlah, dalam sepanjang sejarah peradaban manusia dan perkembangan filsafat
sepanjang zaman, telah bermunculan beraneka definisi mengenai filsafat. Jelasnya, bila kita hendak
memperlajari filsafat, ada dua hal yang patut diperhatikan; pertama, filsafat sebagai metode, dan
kedua, filsafat sebagai suatu pandangan.
Penganut paham pertama, hanya membatasi arti filsafat sebagai kemampuan untuk
memperoleh pengertian tentang pengalaman hidup yang diletakkan pada kemampuan teknis-
aplikatif untuk mewujudkan pengetahuan tersebut dalam praktik kehidupan yang nyata.
Kecenderungan tersebut telah menimbulkan kesulitan yang telah menjerumuskan filsuf dalam
kedudukan sebagai “orang pintar” yang hanya dihubungkan dengan “orang trampil” dalam
menjalankan hidup secara praktis- temporer. Paham seperti ini muncul kuat di lingkungan para
Sofis (para relativis klasik/kuno) yang minatnya hanya diarakhan kepada penyelesaian masalah-
masalah sesaat (insidental). Para Sofis tidak akan mempedulikan apakah kepintaran atau
pengetahuannya itu bertahan dalam diskusi-diskusi kritis yang mendalam atau bertahan dalam ujian
dan zaman yang terus berkembang dengan kategorti-kategori kebenaran serta kepastian yang luas
dan utuh. Mereka hanya berpuas diri dengan cara membangun perbedaan ide untuk mencapai
kepentingan atau kenikmatan sesaat.
Penganut paham kedua, sebaliknya menunjuk bahwa filsafat itu sendiri merupakan sebuah
pandangan yang luas tentang kehidupan yang sifatnya total dan menyeluruh tentang kehidupan.
Filsafat menunjuk, buka sekedar pada sebuah kebijaksanan teknis operaif, tetapi kebijaksanaan atau
kearifan sebagai upaya penjelajahan yang luas mendalam, dalam rangka menggumuli segala realitas
serta menyingkap berbagai daya misteri. Bagi mereka, filsafat bukan sekedar sebuah pikiran sebatas
ide, tetapi upaya manusia dengan rasio untuk memahami, menyelami, mendalami, menerangi, dan
menembusi dasar–dasar terakhir segala hal, sejauh dijangkau oleh pikiran manusia.
II. Pandangan Para Filsuf Tentang Arti dan Hakikat Filsafat
Menurut tradisi Yunani kuno, istilah Philosophia digunakan pertama kali oleh Pythagoras.
Ketika dijaukan pertanyaan apakah ia seorang yang bijaksana, dengan rendah hati Pythagoras
menjawab bahwa ia hanyalah philosopher, yakni orang yang mencintai pengetahuan, akan tetapi
kebenaran kisah itu sangat di ragukan karena pribadi maupun kegiatan Phytagoras telah bercampur
dengan berbagai legenda. Lepas dari semuanya, Phytagoras mengemukakan bahwa manusia dapat
dibagi ke dalam tiga tipe, yaitu; pertama, mereka yang mencintai kesenangan, kedua; mereka yang
mencintai kegiatan, dan ketiga; mereka yang mencintai kebijaksanaan.
Sejak masa Scrotes dan Plato, istilah phylosophia sudah cukup populer dalam pengertian lain.
Ketika itu, Socrates lebih mengartikan filsafat sebagai konstruksi (bangunan) moral dalam
hubungan dengan kebenaran dan kepastian hidup. Plato, di sisi lain, mengartikan filsafat sebagai
interpretasi atau evaluasi terhadap apa yang penting atau yang berarti bagi hidup, dan
mengarahkannya untuk mencapai ide-ide abadi. Aristoteles, bahkan menunjukkan kedudukan arti
filsafat secara lebih mendasar. Ia, seterusnya berusaha membangun arti filsafat itu sendiri pada
konteks kebenaran-kebenaran sosial yang berhubungan dengan pertautan antara pengetahuan dan
kehidupan nyata. Ada pula pihak lain yang beranggapan bahwa filsafat adalah cara atau seni
berfikir yang kompleks, suatu pandangan atau teori yang tidak memiliki kegunaan praktis. Justru
itu, mungkin adalah baik bila, sebelum kita menarik kesimpulan tentang arti filsafat, sebaiknya kita
melihat sekilas pendapat beberapa filsuf terkemuka mengenai pengertian filsafat.

1. Plato : Plato adalah filsuf pertama yang memiliki sebuah pandangan teoretis yang lebih luas
dan lengkap tentang filsafat. Plato memiliki berbagai gagasan tentang filsafat. Plato antara
lain, mengatakan bahwa filsafat adalah ilmu pengetahuan yang berusaha meraih kebenaran
yang asli dan murni. Filsafat, karena itu, berusaha menemukan kenyataan-kenyataan atau
kebenaran-kebenaran asli, murni, dan mutlak. Plato, mengatakan juga bahwa filsafat adalah
penyelidikan tetang sebab dan azas yang paling akhir dari segala sesuatu yang ada. Ia
menjelaskan bahwa filsafat atau kebijaksanaan sejati adalah pengetahuan mengenai
“hakikat” (arrete) dari sesuatu yang diperoleh melalui kontemplasi, bukan melalui aksi.
Akibatnya, kaum Platonian (pengikut fanatik Plato) telah menyamakan filsafat sebagai
pengetahuan tentang “pengertian” saja. Praktisnya, urusan filsafat di sini hanya usaha
mencari kebenaran hakiki, tanpa usaha mempraktikkan kebenaran tersebut dalam kehidupan
nyata.

Plato adalah filsuf pertama yang mulai menggunakan pendekatan rasionalistik di dalam
mengemukakan gagasan-gagasannya tentang filsafat. Baginya, hakikat filsafat itu, bukan
terletak pada kenyataan atau penampakan lahirian yang terbatas, tetapi pada keluhuruan ide
yang bersifat mendasar dan absolut. Kejelasan filsafat adalah pada rasio, karena rasio lah
yang mampu menunjukkan letak kejelasan dan ketepatan suatu pemikiran, bukan pada
dorongan-dorongan sensasi bendawi atau inderawi. “Rasionalisme” Plato, akhirnya,
berkembang menjadi “Idealisme”, yaitu, pengabstraksian konsep pada tataran ide. Baginya,
kebenaran filosofis bukan pada penampakan-penampakan tetapi pada idenya yang lengkap.

Menurut Plato, ada beberapa hal yang merupakan sifat kebijaksanaan filosofis, yaitu:

pertama; kebijaksaanan atau pengetahuan filosofis harus tahan menghadapi ujian kritis.
Konsekueninya, semua jenis pengetahuan atau kebijaksanaan yang belum diuji sampai
dasarnya, harus ditolak alias “omong kosong”, palsu, dan “asal bunyi” (asbun).

kedua; motode yang digunakan adalah dialektik, di mana filsafat berkembang dengan
pendapat atau pengendaian-pengandaian yang diuji secara kritis, diragukan sampai pada
kesimpulan atau pemikiran yang tidak dapat diragukan atau disangsikan lagi. Pendeknya,
bagi filsafat, tidak ada sesuatu pun yang diandaikan tanpa pertanggungjawaban akal.

ketiga; filsafat harus menerobos masuk sampai kepada “kenyataan sejati”, yaitu kenyataan
essensi atau hakikat ideal dari realitas. Kenyataan sejati adalah kodrat terdalam dari realitas,
yaitu ide di balik relitas (bukan sekedar realitas yang tampak). Aspek yang tampak itu akan
bergonta-ganti dan hilang (sifat sementar), sedangkan ide itu selalu bersifat tetap (abadi).
Melalui sistem ide, filsafat akan tetap hidup (aktif) yang berusaha menggugat dan
mempertanyakan secara radikal sampai mencapai kenyataan, sebab, atau prinsip-prinsip
tertinggi dan universal dari kenyataan.
2. Aristoteles. Murid Plato ini mengatakan bahwa filsafat adalah ilmu pengetahuan yang
senantiasa berupaya mencari prinsip dan penyebab utama (causa prima) dari realitas yang
ada. Ia pun mengatakan bahwa filsafat adalah pengetahuan yang berupaya mempelajari
“ada” ( being asteing ) atau peri ada sebagaimana adanya ( being such ). Aristoles adalah
filsuf besar yang berjasa dalam mewariskan sejumlah pemikiran dan karya filsafat besar.
Beberapa karya filsafatnya, antara lain; Metafisika, Logika, Etika dan Estetika. Ia
merumuskan hakikat filsafat sebagai berikut:

 pertama; hakikat filsafat berhubungan langsung dengan ada sebagai “pengada” atau “ada”
sebagai sebab dan prinsip pertama dari kenyataan tertinggi. Aristoteles, dalam hal ini,
berada pada posisi selaku seorang realis, atau penganut aliran realisme (kenyataan).
 kedua; filsafat harus berurusan dengan upaya membangun (aksi) hidup kekinian, bukan
sekedar berenung atau berkontemplasi.
 ketiga; filsafat harus mendorong pada aksi-praksis, bukan sekedar penalaran spekulatif,
tetapi harus mendorong pada pengalaman dan pengamalan.

3. Rene Descartes : Descartes adalah seorang filsuf Prancis yang memelopori lahirnya sejarah
filsafat modern dengan mengembangkan aliran filsafat ”Rasionalisme”. Descartes, dengan
“Rasionalisme”-nya, hendak menegaskan sebuah pendirian filosofis bahwa inti dari filsafat
itu adalah rasio itu sendiri. Rasio atau pikiran, bagi Descartes, merupakan dasar bagi segala
klaim (tuntutan) kebenaran, kesahihan (keabsahan), ketepatan (validitas), dan obyektifitas
filsafat itu sendiri. Konsekuensinya, segala klaim filosofis yang berada di luar tatanan rasio,
harus disangkal kebenarannya dan patut ditolak keberadaannya sebagai kepalsuan, sesat
pikir, kebohongan, dan perasaan subyektif yang menyesatkan.

Descartes termasur dengan argumennya: je pense, donc je suis atau yang dalam bahasa Latin “
cogito ergosum “ (aku berfikir maka aku ada). Dalil tersebut menunjukkan sebuah klaim
keberadaan manusia dari sisi rasio, sebagai satu-satunya subyek pengada yang meng-ada-kan
manusia. Descartes mengajarkan bahwa filsafat selalu berhubungan dengan kategori-kategori
pemikiran rasional dalam menuntun manusia untuk menentukan dan memperjuangkan kebenaran-
kebenaran yang bersifat “jelas dan terpilah” (clear and distinct) di dalam hidupnya. Melalu ketegori-
ketegori pemikiran rasional dimaksud, manusia akan dituntun keluar dari godaan-godaan pemikiran
yang bersifat emosional atau dorongan perasaan yang membuat manusia tidak dewasa atau matang
di dalam mengambil keputusan intelektual. Hukum, karena itu, harus mendasari diri pada logika-
logika rasional, bukan pada etika atau perasaan semata. “Rasionalisme” Rene Descartes, meskipun
sangat membantu dalam meletakkan prinsip-prinsip kebenaran yang universal, misalnya di dalam
hukum dan sebuah proses yuridis, namun dengan demikian, telah mencabut hakikat hukum itu
sendiri dari intinya, yaitu manusia dan kemanusiaan itu sendiri. Logika hukum pun, akhirnya,
mengabdi pada logika-logika tautologis (kebahasaan) semata, bukan pada etika dan moralitas
kemanusiaan itu sendiri (bd. aliran Logika Positivisme).
Uraian di atas menunjukkan secara tegas bahwah filsafat merupakan kegiatan berfikir manusia yang
berusaha mencapai kebijakan atau kearifan. Kearifan merupakan buah pikir yang dihasilkan filsafat
dari usah mencari hubungan antara pengetahuan dan impilikasinya (baik yang tersurat maupun yang
tersirat). Filsafat berusaha merangkum dan membuat garis besar dari masalah dan peristiwa pelik
dari pengalaman umat manusia. Filsafat, dengan kata lain, bukan saja berusaha menemukan pikiran
(tesis), kontra pikiran atau pikiran tandingan (antitesis), tetapi juga sampai kepada bagaimana
merangkum pikiran-pikiran (sintetis), baik yang sejalan maupun yang bertabrakan untuk menyiasati
pokok yang ditelaahanya.
III. Memahami Perbedaan Pendapat di kalangan Filsuf Tentang Arti Filsafat
Inti filsafat adalah usaha manusia dengan pikiran, pengetahuan, maupun nilai atau cita rasa
kemanusiaannya untuk mencari serta mendapatkan dasar-dasar pertanggunjawaban pikiran tentang
realitas yang sesungguhnya. Baginya, realitas (penampakan fisik, pandangan, teori keilmuan, norma
adat, tradisi, ideologi, ajaran) atau keyakinan apa pun, harus dipahami secara luas (ekstensif), utuh
(eksistensial), mendalam (intensif), dan hakiki (essensial). Inti filsafat itulah yang mampu
membimbing orang guna mendapatkan sebuah pertanggungjawaban yang kuat mendasar tentang
realitas dimaksud, sehingga tuntutan (claim) kebenaran, obyektivitas, validitas, dan kesahihan-nya
pun akan mampu bertahan dalam menghadapi ujian kritis tanntangan zaman. Para filsuf, berusaha
mencari dan mengungkapkan hal dimaksud dalam rangka menolong tugas-tugas kemanusiaan
bersama, agar dengannya manusia memperoleh pegangan di dalam upaya membangun hidupnya.
Uraian sebelum pembahasan ini, secara gamblang menunjukkan betapa terdapat perbedaan
pemikiran di kalangan para filsuf tentang arti dan hakikat filsafat itu sendiri. Kenyataan tersebut,
sekurang-kurangnya, disebabkan oleh dua hal yang menjadi titik perbedaan, yaitu perbedaan sudut
pandang dan perbedaan minat akademis.
Pertama, perbedaan sudut pangdang (ponit of view). Maksudnya, setiap filsuf, pada dirinya
memiliki sudut pandang atau cara pandang yang berbeda (yang merupakan spesifikasi dirinya) di
dalam memahami sebuah realitas, teristimewa di dalam memahami filsafat itu sendiri. Plato,
sebagai pencetak aliran pemikiran “Idealisme”, telah menjadikan ide (pikiran atau gagasan) sebagai
basis pemikiran filsafatnya dalam membangun klaim-klaim kebenaran, kesahihan, validitas, dan
obyektifitas filosofis. Konsekuensinya, klaim-kalim lain di luar ide, ditolak sebagai kepalsuan dan
kesesatan berpikir. Plato cenderung meletakkan atau membangun pemikiran dari sistim ide atau
gagasan-gagasan di balik kenyataan yang dihadapi, bukan pada aspek penampakan atau kenyataan
fisik yang dihadapi. Alasannya, hanya dunia ide itulah yang menjamin adanya kebenaran,
obyektivitas, validitas, dan kesahihan sebuah kenyataan. Menurut Plato, hal-hal yang tidak dibawah
dalam dunia ide muda diragukan, serta mudah hilang dan rusak tanpa bekas, hanya ide lah yang
bersifat luhur kekal dan tak berubah.
Rene Descartes, sebagai pendiri aliran pemikiran “Rasionalisme”, telah menjadikan rasio sebagai
sudut pandang dan basis pemikiran filosofisnya dalam membangun klaim-klaim kebenaran
filosofisnya. Menurutnya, hanya rasio lah yang mampu menjamin terwujudnya klaim-klaim
kebenaran filosofis, lepas dari selera atau kehendak subyektif dan emosionalitas yang buta. Sudut
pandang rasio akan mampu memberi arah dan pedoman pemikiran yang jelas dan tegas, karena
rasio selalu bersikap kritis untuk mencari kebenaran–kebenaran yang murni dan obyektif. Filsuf
Realis, misalnya Aristoleles, sebaliknya meletakkan sudut pandang filosofisnya pada hal-hal yang
nyata dan bersentuhan dengan pengalaman manusia secara langsung, bukan ide-ide yang abstrak.
Filsuf Pragmatis, misalnya John Dewey, dengan aliran pemikiran “Pragmatisme”-nya, justru akan
meletakkan pandangan filosofisnya pada kenyataan makna atau kegunaan (pragma) yang mendasari
segala sesuatu. Akibatnya, bagi mereka, hanya sesuatu yang berguna atau bermakna itulah yang
benar, obyektif, valid, maupun sah, selain dari itu tidak. Filsuf materialis, misalnya Marksisme
Ortodoks dengan aliran “Materilisme”-nya justru melihat materi (kenyataan fisik) sebagai jaminan
kebenaran, obyektifitas, validitas, dan kesahihan. Bagi mereka, hanya materi sajalah yang menjadi
dasar pembuktikan bahwa hal itu benar, obyektif, valid atau tepat, dan sah untuk diakui atau
diyakini, selain itu tidak. Filsuf empirs, misalnya, John Locke, David Hume, dan sebaginya, akan
meletakkan sudut pandang pemikirannya pada aspek pengalaman (empiris) sebagai basis
pengembangan pemikiran filsafatnya. Hal yang sama juga berlaku bagi filsuf lainnya dengan sudut
pendekatannya yang khas.
Kedua; minat akademis. Selain perbedaan sudut pandang, setiap filsuf memiliki pula perbedan
minat akademis dalam mengartikan dan memaknakan filsafat dengan caranya yang berbeda.
Misalnya, seorang filsuf yang menaruh minat akademis pada ilmu –ilmu ekonomi akan
mengembangkan filsafat untuk kepentingan ilmu ekonomi. Filsafat, dalam hal ini, akan diartikan
sebagai upaya untuk memperluas dan mengembangkan kekuasaan ekonomi (produksi, konsumsi,
dan keuntungan). Demikian pula halnya dengan filsuf yang menaru minat akademis pada ilmu-ilmu
fisika yang akan mengartikan filsafat sebagai upaya pemikiran yang kritis (rasional) untuk
menjelaskan dan menangani gelaja-gejala fisik –alami, dari sisi hukum sebab-akibat. Filsuf yang
menaru minat akademis pada ilmu teologi, sebaliknya akan mengartikan filsafat sebagai upaya
pemikiran yang kritis (rasional) untuk menjelaskan tentang hakikat Sang Supranatural dalam
penghadapanNya dengan manusia, dalam sebuah hukum ilahi. Perbedaan yang sama akan dijumpai
pula dalam berbagai penganut mina akademis lainnya.
Perbedaan minat akademis itulah yang akhirnya membawa kepada pembentukan ilmu secara khusus
serta berbagai aliran besar dalam sejarah pemikiran filsafat, dengan klaim-klaim (tuntutan)
kebenarannya yang bersifat sektoral, deterministik, dan partikularis atau terlepas pisah. Akibatnya,
muncul berbagai macam ilmu yang berbeda-beda dengan tuntutan (claim) kebenaran, obyektivitas,
dan validitas, atau kesahihan, baik terhadap baik obyek-obyek yang partikular maupun yang sama.
Kenyataan di atas menunjukkan betapa sulitnya mengartikan filsafat secara filosofis. Alasannya,
para filsuf akan berfilsafat dengan perbedaan sudut pandang maupun minat akademisnya yang
berbeda-beda tentang filsafat itu sendiri. Kesulitan tersebut, kemudian makin menambah kecemasan
para filsuf untuk berusaha mencari sebuah cara pemecahan sederhana untuk dapat mendekati
pengertian filsafat secara filosofis. Phytagoras, seorang filsfus Yunani kuno, akhirnya menenukan
sebuah solusi dengan mendekati arti filsafat, bukan secara filosofis, tetapi secara etimologis.
Menurut Phyitagoras, istilah filsafat berasal dari kata Yunani Philosophia. Akar katanya; Philos atau
philia = cinta, persahabatan atau tertarik pada, dan Sophia berarti kebijaksanaan atau kearifan. Jadi,
Phiolosophia, secara harafiah, artinya “cinta kebijaksanaan” (lover of wisdom). Sudut pendekatan
etimologis ini menunjukkan bahwa sejak semula, yakni dari zaman Yunani Kuno, kata filsafat
dipahami sebagai cinta kearifan atau cinta kebijaksanaan. Meskipun demikian, cakupan pengertian
sophia ini ternyata begitu luas dan padat. Sophia, pada awalnya, tidak hanya berarti kearifan,
melainkan meliputi pula prinsip-prinsip kebenaran pertama, pengatahuan luas, kebajikan
intelektual, pertimbangan akal sehat sampai pada pengertian yang lebih bersifat teknologis, yaitu
kepandaian pengrajin, dan kecerdikan dalam memutuskan soal-soal praktis.
Inti persoalannya, mengapa filsafat itu tidak hanya berpusat pada sophia atau kearifan saja, tetapi
harus disertai dengan philos atau philia (cinta)? Mengapa filsafat harus bermain dengan api cinta?
Pertanyaan filosofis di atas, justru hendak membimbing kedalam sebuah pemaknaan filosofis yang
sifatnya hakiki dan mendalam tentang arti dan hakikat filsafat itu sendiri.
Bagi Phytagoras dan para filsuf (khusunya filsuf Yunani Kuno), nama filsafat itu sendiri
menunjukkan bahwa manusia tidak pernah secara sempurna memiliki pengertian yang sifatnya total
dan menyeluruh tentang kebijaksanaan atau kearifan yang menjadi inti hakiki dari arti filsafat itu
sendiri. Sophia atau kebijaksanaan (kearifan), bukanlah sebuah pemikiran atau pengetahuan yang
bersifat datar sebagai penjelasan-penjelasan diskriptif biasa. Sophia, bukan sekedar informasi atau
fakta yang jelas, lengkap, sempurna, dan selesai atau berakhir pada dirinya. Justru, Sophia
(kebijkasanaan atau kearifan) itu merupakan sebuah upaya penjelajahan dalam menggumuli segala
realitas serta menyingkap berbagai daya misteri. Tujuannya, bukan sekedar untuk menunjukkan
sebuah pikiran sebatas ide, tetapi lebih daripada itu, berusaha memahami, menyelami, mendalami,
menerangi, dan menembusi dasar–dasar terakhir segala hal, secara khusus, tentang eksistensi, dasar,
serta tujuan manusia.
Sophia, karenanya, merupakan sebuah hutan luas yang penuh daya misteri. Begitu luas Sophia itu,
sehingga tidak mampun dijangkau oleh pikiran manusia yang biasa. Manusia, untuk itu, perlu
dibimbing oleh “api cinta” (philos atau philia), untuk mengejar, menjangkau, dan mewujudkan
sophia dimaksud. Sophia atau kearifan itu sesungguhnya hanya dimiliki oleh Sang Tuhan dengan
pikiran atau pengetahuan nya yang tidak terbatas. Pythagoras, seorang filsuf klasik, membenarkan
hal itu dengan menjelaskan bahwa manusia bukanlah citra kepenuhan dari kearifan atau kebijaksaan
itu sendiri. Menurutnya, manusia harus selalu merendahkan diri di hadapan kearifan dan
kebijaksanaan itu sendiri sebagai seorang pencinta kearifan atau pencinta kebijaksanaan. Manusia
bukan pemilik mutlak dan “penguasa kearifan” tetapi “pencinta kearifan” atau “pencinta
kebijkasanaan” itu sendiri. Manusia adalah pencinta kearifan yang mencarinya dengan api cinta
yang terus membara, bukan berdasarkan kemauan atau keinginan biasa yang bersifat sementara.
Manusia (filsuf) bukanlah philosophos tetapi philosopher, artinya, orang yang mencintai hikmat.
Sebagai pencinta hikmat, filsuf selalu merasa terbakar oleh adanya api kerinduan atau api cinta
yang membara untuk terus mencari, mengejar, dan memperoleh hikmat atau kebijaksanaan
dimaksud. Tugas, keinginan, atau kerinduan mencari hikmat bukanlah tugas sesaat atau seketika
saja. Tugas mencari hikat atau kebijaksanaan adalah tugas abadi sebagai api kerinduan yang terus
mekar. Filafat merupakan sebuah “pengejaran abadi” untuk memperoleh kearifan yang tidak pernah
berakhir dalam hidup. Justru itu, meskipun ia terbatas, manusia selalu berusaha dengan penuh
kesabaran, kesetiaan, dan kerendahan hati untuk terus berguru mencari hikmat dan mengabdi pada
sang hikmat. Hal itu dilakukan di dalam setiap jalan hidupnya dengan segala keterbatasan,
keraguannya, kecemasan, kerinduan, dan pertapaan atau kontemplasinya yang mendalam. Jelasnya,
melalui proses itu, jadilah filsafat sebagai upaya manusia untuk memenuhi hasratnya, demi
kecintaannya akan hikmat atau kebijaksanaan yang “memekarkan diri” itu.
IV. Memahami berbagai latar pemikiran tentang Arti Filsafat dalam pengembangan, pikiran,
pengetahuan, dan Ilmu.
Berbagai latar perbedaan pemikiran filosofis tentang arti filsafat, pada dirinya, mengandung
berbagai tuntutan (claim kebenaran) dalam pengembangan pikiran, pengetahuan, dan ilmu. Orang
tentu memiliki perbedaan, sesuai pembatasan cudut pandang maupun minat akademisnya yang
berbeda dalam memahami setiap obyek pemikiran. Perbedaan mana, adalah sah dan penting untuk
melakukan pendalaman analisi, dan pembuktian-pembuktian dengan perangkat metodologis
maupun alat analisisnya yang khas untuk mengingkap hal-hal yang sifatnya detail tentang hal
dimaksud. Masing-masing tuntutan (claim) memiliki kebenaran dan keabsahan pada dirinya
masing-masing, sejauh diterima dan terbukti kebenarannya dalam bidang keahliannya. Kenyataan
tersebut menunjukkan hakikat kekayaan pemikiran, pengetahuan, dan ilmu dalam mendekati
hakikat realitas secara sempurna.
Kebenaran ilmu-ilmu empiris, seperti: biologi, fisika, atau geografi memiliki kedudukan yang sama
dengan kebenaran ilmu-ilmu normatif, seperti: ilmu hukum atau etika, juga hal yang sama dengan
ilmu-ilmu kerohanian, seperti: kebudayaan atau teologi. Orang, karena itu harus makin
mengembangkan keahlian dalam bidang keilmuannya dengan mempertajam daya eksplorasi dan
analisis, serta pembuktiannya atas setiap pemikiran atau obyek keilmuannya.
Konsekuensinya, orang harus terbuka terhadap kemajemukan kebenaran, dan tidak menutup diri
dengan memutlakkan klaim kebenarannya sendiri sebagai hal yang mutlak satu-satunya. Orang
harus bersedia untuk mengkomunikasikan setiap pemikirannya secara terbuka, baik dalam bentuk
ide, pengetahuan, atau ilmu agar dapat menyumbang bagi pengembangan alam pemikiran,
pengetahuan, dan ilmu secara lebih utuh dan lengkap.
Sumber : Bahan Ajar Filsafat Ilmu oleh Prof. Dr. A. Watloly, S.Pak, M.Hum Terakhir
diperbaharui: Wednesday, 4 April 2012, 23:37
Evaluasi:

 jelaskan arti filsafat secara filosofis;


 tunjukkan perbedakan pandangan filosofis tertentu dalam membedah arti filsafat;
 berikan dua penyebab dasar perbedaan pemikiran di antara filsuf tentang arti filsafat;
 berikan kesimpulan Anda tentang makna perbedaan pemikiran filosofis tentang arti filsafat
dalam tugas keilmuan
Kedudukan Filsafat dalam Pengembangan Pikiran, Pengetahuan, dan Ilmu.
I. Filsafat Sebagai “ibu ilmu” (The Mother of Sciences).
Pemunculannya sejak abad ke-5 Sebelum Masehi, filsafat telah menunjukkan supremasinya dalam
pentas pemikiran dan keilmuan dunia sebagai “ibu ilmu” (the mother of sciences). Sebagai ibu,
filsafat telah menunjukkan diri sebagai kekuatan yang mengandung benih-benih pemikiran
keilmuan, melahir dan menyusui bayi ilmu, dan terus membina perkembangan ilmu menjadi cabang
dan ranting-ranting keilmuan, serta mendewasakan ilmu sebagai ilmu yang otonom dan mandiri.

1. Filsafat sebagai ibu yang mengandung benih-benih pemikiran keilmuan, mengandaikan


bahwa filsafat sebagai ilmu berpikir selalu mengembangkan gagasan-gagasannya, baik
dalam alam kesadaran kritis (rasio) maupun dalam pengalaman nyata untuk mencermati
permasalahan lingkungan, baik yang menyenangkan maupun yang mencemaskan. Pikiran-
pikiran tersebut, tidak dibiarkan berkelana tanpa arah, tetapi memelihara dan membinanya di
dalam kandungannya menjadi benih-benih pemikiran keilmuan. Filsafat terus membina
benih-benih pemikiran itu menjadi bayi keilmuan yang matang dan siap diluncurkan
(dilahirkan) dalam dunia keilmuan secara nyata.
2. Sebagai ibu yang melahirkan bayi–bayi ilmu, filsafat membidani sendiri proses kelahiran
bayi ilmu dari kandungannya, sehingga membentuk cabang-cabang dan ranting keilmuan
baru yang bersifat khusus. Filsafat, dalam hal ini, tidak ingin mati dengan fosil-fosil
pemikiran yang hanya bersifat hantu khayalan. Filsafat berusaha membedah dan melahirkan
atau meluncurkannya dalam kesegaran pemikiran keilmuan yang mempengaruhi sejarah
keilmuan dan menyumbang bagi tugas kebudayaan. Filsafat memiliki hubungan bathiniah
dengan ilmu sebagai hubungan ibu kandung dan anak kandung yang sah dalam sebuah tanah
air manusia sebagai makhluk berpikir (Homo Sapiens).
3. Sebagai ibu kandung yang menyusui ilmu, filsafat memberikan gizi pemikiran dalam
berbagai proses diskursus dan ujian-ujian kritis, dengan cara melakukan kritik, koreksi, dan
penyempurnaan yang membangun dan menumbuhkan taraf kamatangannya sebagai ilmu-
ilmu atau cabang dan ranting keilmuan yang mandiri. Filsafat, karena itu, tidak akan
memperlakukan ilmu sebagai budak penguasaan filsafat, tetapi mendorong proses
pertumbuhan dan perkembangan ilmu secara otonom. Filsafat berusaha membangun
diskursus-diskursus keilmuan, membuka dan membentangkan penemuan-penemuannya
dalam bentuk ilmu baru untuk diuji, baik dalam proses uji logis (pola penalaran), uji
material (materi pemikiran), serta uji metode, guna ferifikasi dan validasi keilmuan secara
kritis dan terbuka. Bahkan, filsafat berperan pula sebagai ibu menyusui, mengasuh, dan
mengasah pertumbuhan serta ketajaman ilmu dalam sebuah proses komunikasi antar ilmu
dan lintas ilmu. Melalui itu, ilmu atau kegiatan keilmuan dapat bertumbuh dan berkembang
secara sehat, sehingga terhindar dari bahaya sesat pikir, keliru pikir, atau salah pikir.
4. Sebagai ibu yang mendewasakan ilmu, filsafat tidak akan pernah mengikat atau
membelenggu ilmu di dalam pagarnya. Filsafat terus mendorong kemandirian ilmu-ilmu
sehingga ilmu-ilmu mampu mengembangkan pemikiran serata metode-metode yang khas
dalam percaturan keilmuan secara global. Filsafat pula yang terus berperan membidani
kelahiran benih-benih pemikiran, pengetahuan, dan keilmuan untuk kepentingan praktis,
baik dalam bentuk teknologi, industri demi pemenuhuan kebutuhan hidup manusia, maupun
upaya klinis dalam penanggulangan dampak negatif pembangunan.

II. Prinsip-Prinsip Filosofis dalam mengerjakan Ilmu (kegiatan keilmuan).


Jelas bahwa filsafat sebagai “ibu ilmu” atau induk ilmu bermaksud menunjukkan sebuah hal
mendasar dalam mencari pemikiran keilmuan dan mengerjakan ilmu (keilmuan). Intinya, ilmu,
termasuk ilmuwan dan lembaga keilmuan, segala prestasi kemajuannya harus dilihat dalam
kelebihan dan kekuarangan manusia sebagai Homo Sapiens. Bagi filsafat, manusia itu selalu tahu
diketidaktahuan-nya, Konsekuensinya, semakin banyak yang makin diketahui, baik melalui
kegiatan keilmuan maupun seni budaya, namun, semakin banyak pula misteri ketidaktahuan yang
seakan terus mendangkalkan pengetahuan, kekaguman, dan terus menantang rasa “ingin tahu”
manusia. Bahkan, semakin banyak penemuan dalam rangka pemecahan masalah-masalah
kehidupan, namun makin banyak pula “kecemasan mekar” yang terus mengerogoti manusia.
Dewasa ini, fenomena “ketidaktahuan filosofis” ini, telah berkembang luas dan makin mengancam
eksistensi manusia secara utuh.
Sesungguhnya, akar semua persoalan di atas, terletak pada kecenderungan pengembangan pikiran
atau pengetahuan yang tidak utuh (tidak akumulatif). Pemikiran, ilmuwan, dan profesional, telah
memisahkan antara kebenaran-kebenaran logis dari kebenaran-kebenaran etis (nilai) dan moral.
Filsuf kritis menjelaskan bahwa banyak pemikir, dengan dalih sebagai “majikan kebenaran”,
berusaha membangun berbagai bentuk “sesat pikir” untuk menciptakan kebingungan, pembodohan,
kebodohan atau ketidaktahuan, serta melalukan berbagai kepalsuan, kebohongan, pembusukan
kebenaran, dan penghancuran peradaban manusia.
Socrates, bapak filsuf itu, mengatakan di dalam sebuah nasihatnya bahwa; Kenali lah dirimu
sendiri (Gnoti Seauton). Menurut Socrates, hanya manusia yang mengenal dirinya sendirilah yang
kuat dan berguna, karena mereka akan mengenal kekuatan dan kelemahannya sendiri, dan tidak
akan membiarkan diri ditipu atau dikuasai oleh kejahatan, baik akibat kebodohan atau karena
“kepintaran” yang menyesatkan itu. Socrates, karena itu, menegaskan bahwa: hanya manusia itu
sendiri lah yang tahu bahwa ia tidak tahu. Bagi Socrates, pikiran hendaknya makin membuat orang
untuk mengenal dirinya sendiri sehingga tahu menegur dan menasihati diri sendiri, bukan
sebaliknya membuat orang menjadi lupa diri. Konsekuensinya, semakin semakin tinggi dan luas
pikiran serta pengetahuan seorang manusia, semakin tinggi pula penguasaan diri dan kesadaran diri
“rendah hati” dalam ketekunan mengemban tugas kemanusiaannya sebagai makluk beradab. Pikiran
harus dikembalikan pada kesegaran eksistensi manusia. Tegasnya, pikiran atau pengetahuan harus
selalu ditempatkan dalam keutuhanya sebagai salah satu fenomena manusia untuk memanusiakan
manusia. Pikiran bukanlah ego mandiri yang berada pada dirinya sendiri dan melayani kepentingan
pikiran itu sendiri. Pikiran tidak dapat berpikir dari dalam dirinya sendiri, tetapi manusialah yang
berpikir dengan pikirannya itu sendiri dalam keutuhan konteks kemanusiaannya.
Menurut Socrates, manusia, dengan pikiran atau pengetahuannya, seolah melangkah maju
dari upaya menyingkap misteri satu menuju misteri-misteri lain, yang kian mekar, di dalam
hidupnya. Manusia, dengan pikiran atau pengetahuannya, seola bergerak dari satu ketidaktahuan
menuju ketidaktahuan baru dalam hidupnya. Kenyataan itulah yang membuat ilmu pengetahuan
makin terus berkembang dalam tatanan filosofis, agar mampu memburu dan membunuh naga-naga
ketidaktahuan dan kejahatan baru (kejahatan profesional) yang bertumbuh berbarengan dengan
perkembangan pikiran, pengetahuan, dan keilmuan manusia.
Gonti Seauton, dalam hal ini, menunjukkan sebuah kepentingan kemanusiaan yang bersifat
fundamental dalam hal memahami dan mengerjakan pikiran, yang merupakan salah satu ciri
keberadaan yang khas manusia itu. Intinya pada analisis diri dan pemahaman diri untuk mencapai
pengetahuan dan tingkah laku yang lebih baik. Manusia, melalui pengetahuannya itu, memperoleh
kekuatan, tanggungjawab, kesadaran bathin, kematangan pemikiran atau intelektual, dan rasa
percaya diri untuk membangun dirinya sebagai mahkluk beradab yang makin matang (dewasa),
tahu diri, dan berendah hati.
Manusia, di samping membutuhkan kerendahan hati, juga membutuhkan kesabaran, ketekunan,
kesabaran, dan keteguhan bathin untuk menegur dan mendidik diri. Ia butuh kedisiplinan, tanggung
jawab, dan optimisme hidup di dalam mengejar pengetahuan atau kearifan dimaksud. Filsafat,
karena itu, hendak menunjukkan bahwa manusia bukan hanya bertugas mengisi “ingin tahu”-nya
dengan pikiran dan ketrampilan-ketrampilan teknologis (praktis operasional) yang sempit atau
terbatas. Justru sebaliknya, filsafat ingin melampauinya dan menempatkan perjuangan manusia
yang berpengetahuan itu pada inti pergumulan dan tugas memanusiakan manusia sebagai makhluk
beradab dan berbudaya di dalam keutuhan eksistensinya. Manusia, secara eksistensial bersifat
“multi dimensi”, dan karenanya, pengembangan pikiran dan pengetahuannya pun, hendaknya
merupakan sebuah tugas eksistensial yang utuh dalam kepelbagaian dimensinya itu. Kepentingan
teknis di dalam pengetahuan atau kepintaran manusia itu penting, misalnya kegiatan-kegiatan
rekayasa dan manipulatif (teckno engginering) untuk membangun kehidupan manusia secara nyata.
Meskipun demikian, kepintaran pengetahuan itu bila hanya diorientasikan untuk sekedar mengejar
keuntungan atau kenikmatan semata maka hal sebaliknya akan menyeret manusia ke dalam
kebodohan dan tindakan-tindakan tak beradab.
Kecenderungan demikian, justru, tidak akan memanusiakan manusia dengan pikiran atau
pengetahuan sehingga manusia akan semakin pintar berbuat baik dan benar, tetapi sebaliknya,
menyeret, membelenggui, dan menindas manusia di dalam arus kejahatan yang pada dirinya
menghancurkan tata nilai, cita rasa kemanusiaan, maupun citra peradaban itu sendiri. Akibatnya,
orang berilmu dan pintar sekalipun akan menjadi semakin egois, angkuh. Bahkan mungkin,
semakin pintar (profesional) dalam berbuat kejahatan dan merasa serba-bisa di dalam perbudakan
hawa nafsu. Konsekuensinya, meskipun terjadi banyak peningkatan Sumber daya Manusia (SDM),
sebagaimana yang dilakukan di Indonesia, namun, semakin bertumbuh mekar kejahatan dan
semakin tidak teratasi masalah-masalah hidup yang dihadapi, baik di dalam konteks hidup
bernegara maupun bermasyarakat. Semuanya ini diakibatkan oleh adanya kecenderungan untuk
menghilangkan daya kritis dan sifat kontemplatif dari pikiran atau pengetahuan itu sendiri, yang
dianggap menghambat keinginan atau nafsu-nafsu kemanusiaan yang ingin memperalat pikiran dan
pengetahuan untuk hanya mengejar kenikmatan atau keuntungan sesaat itu sendiri.
Filsafat ingin menunjukkan adanya dimensi kritis untuk semakin terbuka dan berendah diri
dalam menguji serta memurnihkan pikiran atau pengetahuan itu sendiri dari goan-godaan kejahatan
sehingga manusia akan semakin memiliki ketajaman bathin (berpikir dengan hati) dalam hal
mengembangkan pikiran atau pengetahuannya untuk membentuk diri atau kepribadian secara utuh.
Melalui itu, orang akan terbuka pada teguran nurani, koreksi, kritikan, dan tuntutan-tuntutan
perbaikan sehingga orang mampu membangun ketegori pikiran dan pengetahuannya di dalam
tatanan nilai yang menjadi inti pergumulan kemanusiaan itu sendiri.
Intinya, filsafat hendak menunjukkan bahwa pikiran atau pengetahuan itu selalu punya
empat dimensi yang salig bertautan, yaitu: pertama, dimensi aktif untuk terus mengembangkan
pengetahuan dan keingintahuan manusia dalam sebuah konstelasi peradaban yang luas dan luhur
guna membangun kehidupan secara nyata; kedua; dimensi kreatif, dengan tujuan untuk mengolah
budi (kecerdasan), mampu melakukan imajinasi teori, mengubah fakta menjadi permasalahan dan
terobosan penyelesaiannya dalam berbagai lakon aktual; ketiga, dimensi kritis, untuk membangun
kesadaran diri, otonomi diri, serta kemampuan nalar dalam menilai dan mempertanyakan berbagai
kemungkinan (klaim-klaim kebenaran bersifat keilmiahan, ideologis, yuridis, maupun religius)
dalam rangka pengembangan dan penegasan eksistensi (pilihan hidup); keempat, dimensi
kontemplatif untuk mengontrol dan mengendalikan pikiran atau pengetahuan itu sendiri sehingga
tidak terjebak dalam permainan arus keinginan dan kejahatan.
III. Makna Mempelajari Filsafat
Sesuai pembahasan di atas, disimpulkan bahwa tujuan mempelajari filsafat ilmu adalah:

1. membuat manusia akan lebih menjadi manusia. Maksudnya, dengan belajar filsafat maka
manusia akan makin setia mendidik dan membangun dirinya atas dasar kesadaran maupun
tanggung jawab kemanusiaannya untuk menemukan jati dirinya yang khas. Manusia,
melalui itu dituntun untuk mengatasi permasalahan-permasalahan hidupnya dalam sebuah
proses penemuan yang luas-mendalam, tepat, arif, dan bijaksana. Tugas mengatasi
permasalahan hidup manusia itu adalah utuh, karena mencakup aspek-aspek jasmani dan
rohani. Maksudnya, sifat yang khusus bagi seorang filsuf ialah bahwa ia sadar akan apa saja
yang termasuk dalam kehidupan manusia, tetapi juga bagaimana mengatasi dunia itu sendiri.
Filsuf, dalam hal ini, harus sanggup melepaskan diri atau menjaukan diri sebentar dari
keramaian hidup serta kepentingan subyektif untuk menjadikan hidupnya sendiri sebagai
obyek penyelidikannya, termasuk kepentingan dan keinginan subyektifnya. Melalui cara
demikian, filsuf mencapai keobyektifan dan kebebasan hati sehingga dimungkinkan
penilaian yang obyektif dan benar tentang manusia dan dunia dengan segala sifatnya itu.
Bagi filsafat, sifat keobyektifan adalah ciri seorang dewasa yang matang kerohaniannya.
Konsekuensinya, seorang filsuf akan semakin memiliki kebijaksanaan bila ia semakin
mempunyai sikap obyektif terhadap dunia ini.
2. melatih orang untuk memandang dengan luas. Jadi, dengan belajar filsafat maka orang
disembuhkan dari “kecenderungan kepicikan” yaitu dari “Akuisme” dan “Akusentrisme”
yang membelenggu sehingga orang tidak dapat berpikir sehat luas, dan obyektif. “Akuisme”
atau “Akusentrisme”, di samping merupakan sebuah belenggu, juga merupakan sebuah
musuh peradaban, karena hanya menempatkan manusia sebatas obyek bagi dirinya sendiri.
Filsafat, dalam hal ini, mengajarkan orang, bukan untuk menghancurkan ke-aku-annya,
tetapi menumbuhkan dan mengembangkannya secara kritis dengan berbagai referensi diri
yang lain di luar dirinya sendiri.
3. membimbing orang untuk dapat berpikir sendiri sehingga orang akan memiliki kemandirian
dan kreativitas intelektual (pemikiran) di dalam menghadapi dan menyiasati realitasnya.
Orang dilatih dan dididik untuk harus berpikir secara mandiri, terutama dalam lapangan
kerohanian. Orang dibimbing untuk harus mempunyai pendapat sendiri jika perlu dapat
dipertahankannya untuk terus menyempurnakan cara berpikirnya, sehingga makin mencapai
kematangan dan kedewasaan. Prinsip itu perlu terus dikembangkan hingga orang dapat
bersikap kritis dalam mencari kebenaran dalam apa yang dikatakan orang, baik dalam buku
– buku pengetahuan maupun dalam surat– surat kabar, majalah, pidato, dan sebagainya.

IV. Filsafat dan Ilmu Lain


Pemahaman tentang arti dan hakikat filsafat itu sendiri akan menjadi lebih jelas bila dilihat
dalam posisi perbandingan dengan ilmu lain. Filsafat, dalam hal ini, lebih merupakan sebuah
pemikiran yang universal, menyeluruh, dan mendasar, sementara ilmu lainnya lebih merupakan
pemikiran yang lebih spesifik atau khusus, karena dibatasi pada obyek dan sudut pandang
pemikirannya yang khas. Obyek penelitian filsafat mencakup segala sesuatu, sejauh bisa dijangkau
oleh pikiran manusia. Filsafat berusaha menyimak dan menyingkap seluruh kenyataan dan
menyelidiki sebab-sebab dasariah dari segala sesuatu. Filsafat, karenanya, ingin mengkritisi dan
menembusi berbagai sekat pemikiran ilmu-ilmu lainnya, serta berusaha mencapai sebab terahkir
dan mutlak (absolut) dari segala yang ada.
Titik berangkat filsafat yang pertama adalah kegiatan manusia, dalam hal ini, secara khusus,
kegiatan pengetahuan dan kehendak manusia yang merupakan kegiatan pertama yang secara
langsung dialami oleh manusia. Manusia, di dalam kegiatannya yang pertama dimaksud, menjadi
sadar akan eksistensinya sendiri dan eksistensi orang atau hal lainnya. Filsafat, karena itu, berusaha
mendalami, menyingkap, dan menjelaskan kesadaran eksistensi diri manusia dan sesama yang lain,
secara luas dan mendalam sampai ke akar-akar realitasnya yang fundamental. Proses penelitian
filsafat itu melai dari bentuk-bentuk pengatahuan biasa yang dimiliki individu dalam kehidupan
sehari-harinya, warisan budaya masa lalu, dan juga hasil penelitian dan pemikiran ilmu-ilmu
lainnya yang bersifat khusus. Jenis-jenis pengatahuan khusus tersebut, sungguh membantu filsafat,
tetapi juga membatu bentuk-bentuk pengetahuan khusus dan ilmu lain tersebut untuk makin
memantapkan dan menyempurnakan prinsip-prinsip dasarnya.
Filsafat berusaha menerangi dunia dengan rasio manusia, dan karennya, filsafat lebih
merupakan “kebijaksanaan duniawi”, bukan “kebijaksanaan ilahi” yang sempurna dan mutlak
abadi. Filsafat, karena itu, berbeda dengan ilmu teologi. Teologi berusaha melihat Allah dan
kegiatannya di dalam dunia berdasarkan wahyu adikodrati.
Filsafat tidak hanya berupaya memuaskan pencaharian manusia akan kebenaran, melainkan ia juga
berusaha menerangi dan menuntun arah atau orientasi kehidupan manusia secara kritis dan jelas,
bukan dengan spekulasi-spekulasi yang absurd, hambar, dan penuh hayalan yang sia-sia.
Filsafat tidak pernah akan menerima secara buta berbagai pemikiran, keyakinan, egoisme keilmuan,
atau pandangan-pandangan kepribadian yang bersifat individual semata. Justru, filsafat berusaha
menguji, mengkritisi, dan berusaha mengajukan pertanyaan-pertanyaan secara baru dan
menjawabnya secara baru pula, berdasarkan aktualitas dan tuntutan dinamika perkembangan yang
dihadapi. Filsafat, karena itu, tidak akan pernah menjadikan dirinya sebagai kebenaran ideologis
yang serba-sempurna dan serba-oke, yang membelenggui manusia. Justru, filsafat tetap adalah
sebuah program pencerahan dalam rangka otonomi, emansipasi, dan perkembangan manusia.
Dewasa ini, tanggungjawab filsafat semakin diakui, baik sebagai pangkalan pengembangan
keilmuan maupun sebagai titik pangkal pengintegrasian ilmu-ilmu dalam sebuah pendekatan yang
bersifat multi dan interdisipliner. Melalui itu, ilmu-ilmu dan spesialisasi tidak tertutup dalam kapsul
egoisme keilmuan atau spesialisasinya masing masing, tetapi terbuka untuk saling menyapa dan
membangun tugas bersama demi manusia dan kemanusiaan yang menjadi sumber dan norma, serta
causa ontologis (penyebab ada) bagi ilmu-ilmu itu sendiri.

Sumber : Bahan Ajar Filsafat Ilmu oleh Prof. Dr. A. Watloly, S.Pak, M.Hum Terakhir
diperbaharui: Wednesday, 4 April 2012, 23:37

Evaluasi:

 Jelaskan arti filasafat sebagai “ibu ilmu”;


 Tunjukkan prinsip-prinsip filosofis yang penting dalam keilmuant;
 Jelaskan makna mempelajari filsafat dalam sebuah tugas keilmuan;
 Tunjukkan kedudukan filsafat dalam pengembangan pikiran, pengetahuan, ilmu.

Anda mungkin juga menyukai