Anda di halaman 1dari 11

Sejarah Intelektual (Part 1)

??? Kenapa Sejarah Intelektual perlu dipelajari di Prodi Sejarah?


Sejarah Intelektual (Intelektus = pemikiran, kecerdasan).
Akal manusia itu dipakai untuk berpikir (baik itu untuk berpikir positif atau negatif).
Pemikiran positif terbagi menjadi tiga tingkatan, yaitu biasa/rendah, sedang, dan tinggi
(high idea). High idea itu misalnya : Tan Malaka dengan Madilognya dan Bung Hatta
dengan pemikiran Ekonomi Kerakyatannya.
Sejarah Intelektual fokus kajiannya pada hasil-hasil pemikiran manusia dari masa ke masa
(ingat dengan adanya periodesasi dalam sejarah). Sejarah intelektual : periode dan
tempat.
Dalam setiap periode pasti ada pemikiran spesifik, khusus, dan khas.
??? Kira-kira high idea itu apa saja?
High idea bisa saja ilmu pengetahuan, seni musik, seni tari, seni lukis, arsitektur, dan
...isme2 (paham-paham).

??? Istilah apa yang dipakai untuk Sejarah Intelektual?


1.Sejarah Mentalitas (Oleh Sartono Kartodirdjo).
Ada tiga fakta dalam sejarah : mentifact (berkaitan dengan mentalitas!) yang berupa ide-
ide, pemikiran-pemikiran, dan gagasan-gagasan; sosiofact yang berupa struktur sosial,
kelembagaan, organisasi; dan artefact yang berupa benda-benda.
Sosiofact sangat berpengaruh pada mentifact, misalnya pemikiran Marx berkembang
pada masa Kapitalisme, sehingga dia memikirkan Sosialisme (paham yang mengutamakan
kepentingan bersama).
2. Cultural History, apa hubungannya? IPTEK sebagai salah satu unsur budaya yang
universal karena hasil budaya selalu berkembang oleh pemikiran. Hasil budaya bisa
berupa material dan immaterial (sejarah Intelektual merupakan sesuatu yang abstrak).
3. Sosial Ideas (ide-ide yang berkembang di masyarakat).
Isme-isme merupakan bagian dari sosial ideas, sesuai dengan setting budaya
masyarakatnya.
4. History of Ideas (Sejarah Ide-ide)
Ingat, ide selalu berkembang dari waktu ke waktu, ide selalu ada pada setiap periode
sejarah. Istilah : ada konsekuensi, ada rasionalnya!

??? Apa yang dijelaskan dalam Sejarah Intelektual?


1. “Hasil pemikiran”. Misalnya : Kapitalisme (harus ada akumulasi modal dan modal yang
dikeluarkan harus menghasilkan untung) dan Nasionalisme (bangga kepada bangsa dan
cinta tanah air).
2. “Siapa tokohnya”. Misalnya : Nasionalisme oleh Soekarno -> bagaimana karakter dari
tokoh dan bagaimana sampai terpikir itu.
3. “Konsep/ide yang dikembangkan”. Misalnya : Sosialisme (kemakmuran itu milik
bersama, bukan hanya milik pribadi, berlawanan dengan Kapitalisme).
4. “Bagaimana pengaruhnya”. Misalnya : Bagaimana Komunisme bisa tersebar ke negara-
negara lain.

“Sejarah Mentalitas Oleh Sartono Kartodirdjo dalam Pendekatan Ilmu Sosial dalam
Metodologi Sejarah”
??? Apakah sebenarnya penggerak utama tingkah laku pelaku sejarah, atau yang
menyebarkan semangat suatu bangsa, atau mendasari watak suatu nation?
Jawabannya harus dicari dengan kata kunci seperti : Ideologi, mitos, etos, jiwa, ide-ide,
mentalitas, nilai-nilai, dan religi. -> memberi inspirasi serta membentuk pola sikap yang
radikal serta penuh dedikasi terhadap suatu ide.
Misalnya saja : Religi -> Weber => Etika Protestan. Bahwa kerja adalah anugerah dari
Tuhan, Keuntungan yang diperoleh juga merupakan anugerah dari Tuhan, sehingga
harus dimanfaatkan secara baik.

Unsur-unsur tersebut dapat digolongkan sebagai aspek ideasional dalam kebudayaan


atau mentalitas suatu kelompok. Sejarah mentalitas dan sejarah intelektual
mengembalikan proses sejarah pada mentifact, fakta yang menunjuk pada ide, pikiran,
nilai-nilai, dsb. Sejarah Mentalitas lebih mengutamakan bagaimana ide atau semangat itu
mempengaruhi sejarah tertentu. => ada kaitan antara ide dan aksi. Ide (=religi) dan aksi
(=perlawanan).

Voltaire (1694-1778) menulis sejarah kebudayaan yang berjudul Essai Sur tes moers et
l’esprit des nations (karangan tentang adat istiadat dan jiwa bangsa-bangsa). Istilah
“jiwa” digunakan untuk mencakup konsep mentalitas, semangat, atau etos dari bangsa-
bangsa.
Istilah “jiwa” merupakan suatu abstraksi, mencakup totalitas karakteristik atau sifat-
sifat suatu bangsa yang terwujud sebagai suatu kepribadian atau perwatakannya.
Perwatakan suatu bangsa juga mencakup kompleksitas nilai-nilai, ideologi, sejarah dan
mitosnya, etos, dsb.

“Cakupan Sejarah Mentalitas”


Bidang garapannya adalah mentifact yang mencakup antara lain ide, ideologi, orientasi
nilai, mitos dan segala macam struktur kesadarannya.
Ideologi adalah sistem ide-ide yang menunjuk kepada nilai-nilai sehingga dapa berfungsi
sebagai tujuan kehidupan pada umumnya dan pada sistem politik khususnya. Lewat
sosialisasi politik, nilai-nilai yang terkandung didalamnya dapat dipolakan serta
dilembagakan sehingga seluruh bidang kehidupan mewujudkan gaya, etos, atau jiwa
tertentu. Misalnya : Kapitalis (individualis, profit oriented, demokratis) dan Sosialis
(kolektif, peran negara dominan,totaliter).

Konsep “Etos” sangat erat hubungannya dengan kepribadian atau mentalitas suatu
bangsa. Etos menunjuk kepada seluruh proses pembiasaan yang menghasilkan pemolaan
atau pelembagaan nilai-nilai dan terwujud sebagai sikap, watak, dan mentalitas. Apabila
proses pembiasaan itu berjalan secara intensif dan kontinu dari generasi ke generasi
maka tumbuhlah kelembagaan pada masyarakat yang kuat sehingga seluruh pribadinya
menunjuk kepada cap atau watak tertentu.

Dalam suatu masyarakat proses sosialisasi itu selalu dijalankan dan dilembagakan, dan
akhirnya mengendap sebagai tradisi. Pembiasaan : sosialisasi (istilah sosiologi),
enkulturasi (istilah antropologi, dan internalisasi (istilah ...).
Konsep kesadaran kolektif dimiliki oleh suatu kolektifitas, kelompok sosial, atau
komunitas pada saat tertentu dalam sejarahnya. => collective behaviour. Nasib bersama,
penderitaan dan penghinaan yang diderita merupakan identitas kolektif. Lazimnya
identitas itu bertumpu pada suatu ideologi atau nilai-nilai yang dihayati bersama
sehingga tumbuh identitas kolektif. => masuk dalam bidang mental serta mentifactnya.
Kehidupan rakyat serta kebudayaannya, meliputi folklore, folkbelief, folksong, folkways
(norma) yang ada diluar kebudayaan dominan. Folkbelief (kepercayaan rakyat) yang masih
hidup didaerah pedesaan dan lingkungan tradisional. Mitos, dongeng, cerita rakyat
sebagai fakta mental (mentifact) dapat diterima, namun substansinya tidak dapat begitu
saja diterima sebagai fakta historis sehingga sejarawan harus berhati-hati
menafsirkannya.

Kepribadian (personality) yang ditandai oleh adanya konsistensi, keherensi, serta


stabilitas. Merupakan totalitas sifat-sifat, sikap, nilai-nilai yang telah disintesakan
sebagai suatu kesatuan (sistem) yang berstruktur. Mentalitas/kepribadian individu
terbentuk oleh proses pembudayaan dan pengalaman dimasa lampau. Merupakan produk
internalisasi nilai-nilai, pembiasaan perilaku sebagai adaptasi kepada lingkungan, serta
segala aktivitas untuk mencapai tujuan hidup. Apabila nilai-nilai itu telah membudaya
dalam masyarakat, maka akan tampak watak tertentu yaitu suatu jiwa atau etos.
Kepribadian nasional juga merupakan suatu sintesis sebagai ciri, tendensi, serta sikap
sebab ada orientasi kepada nilai-nilai tertentu.

Dalam kehidupan suatu kelompok terdapat gaya hidup yang menunjukkan kompleks ciri-
ciri yang merupakan suatu sintesis sehingga tampak adanya koherensi dan konsistensi.
Gaya hidup terutama dimanifestasikan dalam hal-hal yang tampak (kasat mata) seperti
bentuk tempat tinggal, pakaian, dll; atau dalam unsur-unsur yang mencerminkan
mentalitas seperti pola bicara, dll. Dibelakang kelakuan lahiriah itu ada nilai-nilai yang
mendasari atau mentalitas.

“Pendekatan Teoritis”
Dalam perspektif filsafat fenomonologis, pada hakikatnya berbagai realitas kehidupan
manusia berakar atau berasal dari kesadaran.
Sejarah mentalitas dikaji untuk mengungkap mentifact selaku dasar atau pangkal proses
atau struktur dari berbagai segi kehidupan manusia.

“Perspektif Realisme Simbolik”


Teori ini bertolak dari pandangan bahwa segala realitas yang mengingkari kehidupan
manusia, benda, lembaga, aksi, interaksi, baik proses maupun struktur menunjuk kepada
atau mencerminkan nilai-nilai yang ada pada manusia. Aksi dan interaksi dalam pola
kelakuan manusia menunjuk kepada nilai tertentu, sehingga kelakuan manusia
merupakan lambang yang mencerminkan nilai yang mendasarinya. Realisme yang kita
hadapi hanya lambang-lambang yang semuanya mewakili nilai dalam kesadaran manusia.
Pengetahuan mentalitas bangsa sangat dibutuhkan untuk memahami proses-proses
sejarah serta perilaku para aktor sejarah. Simbol-simbol itu juga yang menunjuk kepada
ide, nilai, kepercayaan; atau unsur kesadaran manusia.

“Sejarah Intelektual” Sartono Kartodirdjo dalam Pendekatan Ilmu Sosial dalam


Metodologi Sejarah
Terdapat tiga jenis fakta sejarah, yaitu : artifact (benda), socifact (hubungan sosial),
dan mentifact (kejiwaan) menyangkut semua fakta yang terjadi dalam jiwa, pikiran atau
kesadaran manusia.

Kesadaran adalah realitas primer. Realitas tersebut terutama adalah segala sesuatu yang
diciptakan oleh manusia, yaitu segala bentuk kebudayaannya. Semua fakta yang nampak
sebenarnya merupakan ekspresi dari apa yang terjadi dalam mental orang, antara lain
pikiran, ide, kepercayaan, dan segala macam unsur kesadaran.

Kesadaran merupakan prinsip hidup utama dari homo sapiens dan merupakan realitas
primer. Realitas tersebut adalah segala sesuatu yang diciptakan oleh manusia berupa
kebudayaan. Semua fakta yang tampak sebenarnya bersumber pada ekspresi atau mental
orang (pikiran, ide, kepercayaan, angan-angan dan segala macam unsur kesadaran.
Kesadaran sangat penting peranannya sebagai faktor penggerak atau pencipta fakta-
fakta sejarah lainnya (revolusi, perang, pemberontakan, gerakan, dll) sehingga perlu
dikaji mentifact dalam segala bentuknya yang kesemuanya menjadi objek studi sejarah
mentalitas/intelektual/ide-ide.

Namun tidak semua bentuk kesadaran meninggalkan bekasnya (dokumen, monumen)


sebab banyak mentifact musnah terbawa mati karena tida tercatat/tidak berbekas.
Kehadiran bekas tertulis mendorong sejarawan menginterpretasikan berbagai simbol
melalui pengetahuan kebudayaan, sebab realitas simbol dari suatu masyarakat
sebenarnya menunjuk kepada mentalitas atau jiwa masyarakat. Sebagai contoh, setiap
bahasa sebenarnya merupakan koleksi simbol-simbol yang hanya dapat diketahui artinya
lewat Filologi, tetapi juga diperlukan pengetahuan tentang kebudayaannya untuk dapat
menginterpretasikan berbagai makna kata-kata sebagai simbol dari pikiran, ide-ide, nilai-
nilai, dsb.

Jika ada peninggalan tertulis :


Kajian bidang sejarah intelektual cukup dipermudah dengan adanya dokumentasi
berbagai mentifact. Sebagai contoh tulisan hasil sastra telah mencakup bidang etis,
estetis, dan ideasional, sekaligus merupakan tuangan gagasan pendidikan. Cerita
pewayangan juga mencakup konsep kekuasaan, etika, kepribadian, ketataprajaan.
Dengan metodologi kontekstual serta Hermeneutik (ilmu tafsir) dapat diketahui bahwa
berbagai karya sastra , misal : novel, penuh khasanah nilai-nilai yang berlaku dalam
masyarakat dimana cerita mempunyai skenario. Contoh nilai-nilai dalam novel :
mentalitas golongan sosial, jiwa jaman, sikap dan gaya hidup, diskriminasi ras,
otoriatarianisme dan feodalisme, nasionalisme, konflik antara kaum adat dengan kaum
modernis, sehingga banyak kode/lambang/simbol didapat oleh sejarah intelektual dari
naskah-naskah cerita tersebut.

“Mentalitas sebagai sifat kelompok”


Mentalitas dari sekelompok manusia menunjukkan watak tertentu yang dimanifestasikan
sebagai sikap atau gaya hidup tertentu. Mentalitas masyarakat tradisional menganut
prinsip senioritas. Mentalitas feodal mengutamakan prinsip hirarki. Keduanya lebih
berorientasi pada status. Sebaliknya mentalitas masyarakat industial berorientasi pada
hasil kerja.

Mentalitas sering bertalian erat dengan etos masyarakat, berupa keseluruhan nilai yang
menentukan gaya hidup kelompok. Sejarah peradaban perlu mencakup sejarah
mentalitas masyarakatnya, jika tidak maka akan sulit memahami gejala-gejalanya.
Perkembangan teknologi juga sangat tergantung pada etos masyarakatnya, sehingga
seluruh peradaban material perlu dikaitkan dan diterapkan dengan kulturnya, khususnya
nilai-nilai.

Mentalitas suatu masyarakat sering diwujudkan dalam sifat-sifat atau watak


kepribadian tokoh-tokoh sebagai anggotanya. Mereka dapat dianggap sebagai model
mentalitas kelompoknya, atau sebagai orang yang berani jauh melampaui standar umum
yang berlaku dalam masyarakatnya. Tulisan biografi akan sangat membantu mempelajari
mentalitas masyarakatnya.

Ada korelasi antara ide (jalan pikiran) dengan lokasi sosial penduduknya. Struktur
pikiran khususnya dan struktur kesadaran pada umumnya perlu dipahami dalam
hubungan dalam latar belakang sosio-kultural masyarakat dimana si pemikir hidup.
Ideologi Karl Marx sebagai contohnya, disatu pihak mencerminkan aliran-aliran pikiran
yang berpengaruh pada masanya, dan dipihak lain itu mencoba membenarkan suatu
tujuan perjuangan atau kepentingan kelas sosial tertentu.

Sejarah intelektual mencoba mengungkapkan latar belakang sosio-kultural para


pemikirnya. Pandangan historis sebaiknya lebih mendorong suat relativisme dalam
menghadapi berbagai ideologi beserta doktrin-doktrinnya. Namun tidak semua pemikiran
ditentukan oleh masyarakat sepenuhnya. Dalam hal ini ideologi dapat didefinisikan
sebagai bentuk pemikiran untuk melegitimasikan suatu pembenaran posisi sosial
kelompok itu.

Disamping ideologi : bermacam-macam mentifact hanya dapat diungkapkan makna atau


identifikasinya apabila ditempatkan dalam suatu konteks sosio-kultural. Perlu dilacak
bagaimana ikatan kultural pemikir tercermin dalam bentuk pemikirannya, baik arti-arti
maupun strukturnya, etos hidup atau pandangan dunia, kosmologi serta etosnya yang
membentuk alam pikirannya.
Pendekatan kontekstual membantu mencari korelasi berbagai aspek kehidupan
masyarakat (ekonomi, politik, organisasi sosial, dll) yang bisa teridentifikasi dalam
biografi.

“Sejarah intelektual (Crane Brinton)”


Dalam arti luas, pokok masalah dalam sejarah intelektual adalah data apa yang saja yang
ditnggalkan oleh aktivitas pikiran-pikiran manusia. Bahan-bahan yang terpenting adalah
karya para filsuf, seniman, penulis, ilmuwan yang tercatat dalam karya-karya mereka, dan
tercatat dalam sejarah khusus dari disiplin yang spesifik (filsafat, kesustraan, dll).

Dalam arti sempit, sejarah intelektual mencoba menceritakan siapa yang


menghasilkannya dan bagaimana hasil pemikirannya.

Dalam arti yang lebih luas, sejarah intelektual mencoba mencari dan mengerti
penyebaran karya manusia (ide-ide) pada masyarakat tertentu, dan mencoba memahami
hubungan antara ide/pemikiran dan kecenderungan/kepentingan, serta faktor-faktor
nonintelektual (=sosiokultural) pada umumnya.

“Cara Kerja” :
Sejarawan intelektual berkepentingan dengan berbagai ide, mengelompokkan iden
dengan afiliasinya. Akan tetapi perhatian utama adalah memikirkan apa yang akan terjad
dengan ide-ide tersebut dalam masyarakat. Sejarawan intelektual berkonsentrasi dalam
memberikan tekanan tentang apa yang diartikan ide-ide itu oleh para ahli, dan apa arti
ide-ide tersebuit bagi banyak orang.

Contoh sejarawan intelektual adalah George Sarton, Willian Dilthey, Max Webber.
Contoh-contoh :
o Herodotus : kepercayaan agama orang-orang Mesir.
o Thucydides : sifat nasional orang Athena & Sparta.
o Machiaveli : pengaruh kepercayaan agama dari orang Romawi terhadap hasil-hasil
kerja politiknya.
o Max Weber : Etika Protestan dan Semangat Kapitalisme (The Protestant Ethic (=etos)
and Spirit (=semangat) of Capitalism).

“Perdebatan” :
Secara formal sejarah intelektual dianggap tidak cukup ilmiah, sebab bila dibandingkan
dengan sifat materi yang konkrit dari sejarah kelembagaan ekonomi, dan sosial maka
materi sejarah intelektual kelihatannya samar-samar dan susah ditetapkan sebagai bagian
dari kehidupan nyata. Sejarah intelektual telah mendapat suatu pengakuan akademis
dan telah terbukti sebagai jembatan yang sangat efektif antara sejarawan, dan mereka
yang mempraktekkan ilmu-ilmu sosial. Sejarawan intelektual selalu mencoba menjadi
seorang pemikir daripada seorang pencerita.

“Tipe-tipe sejarah Intelektual” :


Pertama, sejarah intelektual yang mencoba mengembangkan “fakta” tentang siapa
menulis apa dan bilamana, dalam bentuk apa di publikasikan, dan fakta-fakta tentang
apa yang dihasilkan dalam media budaya selain dengan kata-kata, khususnya jika media
itu digunakan untuk propaganda. Contoh karya Charles H. Haskins, The Renaissance of
The Twelfth Century (1927) dan Studies in Medieval Culture (1929).
Untuk seorang sejarawan intelektual, tedapat banyak persoalan mengenai “fakta” yang
harus dijelaskan, seperti : siapa yang menulis, persoalan publikasi, otentitas memoar, dll.
Adanya usaha untuk mengembangkan fakta-fakta ke masalah demografi, tingkat literacy
pada masyarakat tertentu karena adanya pengaruh yang nyata, serta dilakukan analisa
terhadap hubungan antara kata-kata dan tindakan-tindakan.

Kedua, Sejarah Pemikiran. Berhubungan dengan Kartografi ide-ide (pemetaan ide-ide),


istilah yang menurut Arthur O. Lovejoy, yang diidentifikasikan sebagai cluster of idea
(pengelompokan ide). Tugas utama sejarawan intelektual adalah menganalisa elemen-
elemen yang terpilih adari pengelompokan ide. Sebagai contoh “kontrak sosial” dapat
diterapkan untuk membedakan penggunaan yang berbeda-beda, efek-efek emosional
yang berbeda dari kata-kata dan ungkapan-ungkapan tertentu pada waktu dan tempat
tertentu.

Ketiga, studi hubungan antara apa yang dikatakan orang dan apa yang dilakukannya.
“melakukan” mempunyai kompleksitas yang nyata, tetapi “mengatakan” adalah
penyederhanaan dari apa yang dikerjakan dalam jaringan otak. Perdebatan menunjukkan
ada banyak macam interpretasi terhadap apa yang sebenarnya terjadi.

Sejarawan intelektual mencoba menilai sifat dari efek-efek suatu ide atau kumpulan ide-
ide yang menyebabkab manusia berhadapan dengan persoalan penilaian. Sejarawan tidak
dapat menhindari menjadi pengembara, meskipun ia berusaha menjadi pembuat peta.
Contoh karya Rosseau :
Sekelompok orang berpendapat bahwa dengan karya itu Rosseau mengusahakan suatu
kekuasaan yang berdaulat yang kekuasaannya mutlak, dan pengaruhnya terhadap
aktivitas politik pasti untuk membenarkan arbitrasi mereka totalitarisme demokrasi.
Kelompok lain menganggap bahwa Rosseau menginginkan kemauan umum diwakili oleh
suatu imperativ moral yang dicita-citakan dan pengaruh yang sebenarnya adalah untuk
memajukan kebebasan demokrasi dan liberal.

“Tipe-tipe penelitian” :
Sejarah Intelektual dapat menerima pendekatan sejarah perbandingan yang mencoba
membedakan dengan jelas elemen-elemen yang umum atau yang unik dalam ide-ide dan
sikap-sikap yang kelihatan pada waktu dan tempat yang berbeda.
Sejarah kesusastraan dan eksperimen-eksperimen yang nyata, dan kelompok-kelompok
yang hidup dalam masyarakat dibawah pengaruh pemikiran utopia. Suatu unsur dari
sejarah intelektual yang memberi ketenangan tentang ide-ide yang sugestif dalam
pengertian rakyat.

Sejarah intelektual harus berusaha mendapat sumber bahan yang mempengaruhi


pendapat dan sikap lapisan masyarakat tertentu yang ada hubungannya dengan ide-ide
yang sedang dibahas, yang mungkin merupakan ciri khas dari kebudayaannya. Penemuan
alat pencetak dan perkembangan media massa telah mempermudaj pengumpulan data.
Sejarah intelektual dapat menyempurnakan observasi dan eksperimentasi dengan
memberi bahan-bahan yang essensial untuk mengerti perkembangan melalui waktu dan
bahan-bahan yang dapat dibandingkan.

Sejarah Intelektual bagian 2


Lail Cloudy Fighting!!!

Sejarah Intelektual (Ankersmith) bagian pertama


o Historiografi pada jaman Fajar Budi (enlightment/pencerahan) menaruh perhatian besar
terhadap alam pikiran manusia pada masa silam. Para ahli sejarah melihat sejarah sebagai
proses perkembangan terus menerus, khususnya perkembangan dan kemajuan dalam
bidang akal budi dan moral. Historisme awal tidak hanya memperhatikan permainan
politik antara neraga-negara Eropa, tetapi juga tertarik pada hasil-hasil budi manusia
pada masa silam.
=> bahwa biasanya orang-orang fokus pada hanya menulis sejarah politik, namun juga
pada hasil-hasil budi manusia

o Perhatian untuk tradisi intelektual dipicu oleh Hegel yang merajai alam pikiran pada abad
ke-19.
o Sesudah PDII perhatian untuk sejarah intelektual agak dikesampingkan dalam
keseluruhan penelitian sejarah, karena perhatian dipusatkan pada kejadian sosio-
ekonomis.
o Dewasa ini sejarah intelektual diberi tempat terhormat lagi dalam keseluruhan pengkajian
sejarah. Para ahli menjadi sadar bahwa struktur alam pikiran manusia kadang-kadang
lebih lama bertahan daripada struktur-struktur sosio ekonomis. Alam pikiran itu
kadang-kadang secara tidak langsung mempengaruhi perbuatan manusia daripada
struktur-struktur dalam “lantai bawah” (kejadian sosio-ekonomi.
o Secara intelektual, orang Eropa dewasa ini merupakan anak cucu Fajar Budi dan
Romantic, tetapi secara material ditopang oleh struktur tunjangan sosial yang baru
berasal dari kurun waktu sesudah PDII.
o Konsekuensinya :
Pertama, sejarah intelektual atau sejarah alam pikiran harus diberikan tempat tersendiri
di dalam keseluruhan pengkajian sejarah dengan macam-macam cabangnya. Otonomi dan
daya tahan struktur-struktur alam pikiran membuktikan bahwa tidak dapat disamakan
dengan garis perkembangan sosio-ekonomis semata-mata.
Menurut Karl Mannhein (1893-1947) konteks sosial merupakan satu-satunya kunci untuk
memahami system intelektual yang dikembangkan dalam konteks itu. Pengetahuan akibat
penelitian intelektual selalu berdasarkan kesosialan dan hanya dapat diteliti secara
memadai dengan sarana-sarana sosiologi, sehingga lahirlah istilah sosiologi pengetahuan.
Sejarah alam pikiran merupakan suatu arus otonom didalam kejadian histories. Struktur-
struktur intelektual sendiri mempunyai kemampuan untuk melahirkan struktur-struktur
intelektual baru.
Mendekati masa silam dari sudut sejarah intelektual juga dimaksudkan untuk
mengetahui kaitan struktur-struktur intelektual.
o Kedua, bila kita mempelajari masa silam dengan harapan agar hasil penelitian historis ada
gunanya bagi orientasi di masa kini maka yang paling banyak memenuhi harapan adalah
penelitian sejarah alam pikiran.
Dalam sistem-sistem intelektual itu seing terdapat sebuah unsur universal, sehingga
ratusan tahun sesudah dikembangkan, masih merupakan titik pangkal yang berguna,
bahkan mutlak perlu diperhatikan dalam diskusi-diskusi mengenai hubungan-hubungan
antara manusia dan masyarakat.
Varian-Varian dalam Sejarah Intelektual :
Objek penelitian sejarah intelektual adalah segala sesuatu yang oleh budi manusia
tercapai tercapai pada masa silam. Bagaimana pola-pola pemikiran manusia pada masa
silam, bagaimana mereka mengalami dunia ini, sarana-sarana konseptual mana yang yang
mereka miliki untuk mengatur kenyataan yang mengelilingi mereka, adalah beberapa
kenyataan yang mengelilingi mereka, adalah beberapa pertanyaan penting yang dipelajari
dalam sejarah intelektual.
#Varian pertama :
o Objek sejarah intelektual terletak antara dua bidang penelitian lain, yaitu sejarah filsafat
dan sejarah ilmu pengetahuan di satu pihak dan sejarah mentalitas dan sosiologi
pengetahuan di lain pihak.
o Dalam kalangan sejarah intelektual, perhatian utama dicurahkan kepada sejarah teori
politik, karena bagian dari sejarah intelektual membuka untuk lebih memahami
perkembangan sejarah politik dan institusional di Eropa.
#Varian kedua :
o Sering juga dibedakan antara sejarah intelektual di satu pihak dan sejarah ide-ide di lain
pihak.
o Sejarah intelektual menyusun kembali pembekalan intelektual dalam suatu kurun waktu
tertentu, yaitu : pendapat-pendapat yang umum berlaku pada suatu periode tertentu,
bagaimana kompleks ide-ide saling berkaitan, bagaimana alam pikiran mempengaruhi seni
bangun atau sastra.
o Dalam sejarah intelektual, ide-ide itu merupakan cirri khas bagi suatu kurun waktu-waktu
tertentu, seolah-olah dipandang “dari luar”.
o Selanjutnya aspek-aspek yang beraneka ragam dalam suatu lingkungan kebudayaan dapat
diterangkan dengan ide-ide itu.
#Varian ketiga :
o Dalam sejarah ide-ide, ide-ide lebih diteliti “dari dalam”, misalnya : dilacak bagaimana satu
ide berkembang dari abab ke abad, bagaimana ide itu menyesuaikan diri, memperoleh
bentuk dalam berbagai keadaan sejarah tanpa kehilangan identitasnya, sehingga kita
mengenalnya kembali. Ide lalu dapat disamakan dengan konsep maupun pernyataan-
pernyataan singkat.
o Cpntoh telaah mengenai sejarah ide-ide oleh Arthur O. Lovejoy, The Great ChainnOf
Being (1936). Ide yang di teliti adalah konsep, bahwa dalam kenyataan segala kemungkinan
terwujud dalam suatu harmoni yang sempurna. Selanjutnya ide-ide ini dianalisis menurut
unsur-unsur yang logis, kemudian dilacak dalam tulisan Plato, Spinoza, Leibniz, dan lain-
lain. Ternyata ide itu memainkan peranan yang tak terduga dalam sejarah alam pikiran
Barat.
o Karya Freidreich Meinecke, Die Idee der staatsrason (1924) melukiskan konflik antara
kekuasaan dan etika dalam pandangan Machiavelli sampai abad ke-19.
o R. Kosseleck dkk menulis sebuah kamus ide-ide dasar dalam sejarah. Terdapat sekitar 150
ide dasar, dipaparkan arti dan perubahan dalam arti semenjak tahun 1750-1850. kurun
waktu ini dipilih karena sejumlah pengertian sosial dan politik telah berubah di dunia
barat akibat pengaruh modernisasi.
*Kosseleck menemukan tiga macam perubahan pokok, yaitu :
- pengertian sosial dan politik memperoleh arti sehingga dapat dipergunakan dalam
kalangan yang makin luas di masyarakat.
- pengertian-pengertian kehillangan sifatnya yang statis dan diselaraskan dengan
perkembangan sejarah.
- konsep-konsep sesudah tahun 1750 dapat dipakai untuk maksud-maksud politik dan
ideologis.
Ankersmith (bagian 2)
o Asal usul metodologis :
Cara kerja seorang peneliti sejarah intelektual tidak berbeda jauh dari cara kerja
seorang sejarawan. Metodologi sejarah : Heuristik, Kritik, Interpretasi, dan
Historiografi.
Asal usul pembaruan metodologis diajukan oleh Q. Skinner, J.G.A. Pocock, dan M.
Faucault.
# Q. Skinner
Skinner mengkritik dua aspek dalam sejarah intelektual tradisional, yaitu :
o Kontekstualisme, yaitu usaha untuk mengerti konsep-konsep politis dan filsafati dari
keadaan sosio-ekonomis dan historis yang meliputinya pada waktu konsep itu dilahirkan.
o Pandangan dasar dalam kontekstualisme bahwa suatu filsafat (politik) selalu bertujuan
membenarkan secara teoritis, hubungan sosial-ekonomi yang sedang terjadi, sehingga
seorang filsuf politik membela pendapat tertentu.
o Menurut Skinner, harus dibedakan antara penelitian mengenai apa yang dimaksudkan
seorang filsuf ketika menulis sesuatu dan mengapa ia membela pandangan tertentu.
o Seorang sosiolog pengetahuan dan kontekstualis, menerima sebagai data apa yang
sebetulnya merupakan tugas seorang peneliti sejarah intelektual, yakni apa yang
dimaksudkan pengarang ketika ia menulis sebuah teks filsafat politik.
o Menurut tekstualisme, setiap teks filsafat politik mengandung sebuah jawaban dasar.
Andaikata teks itu tidak dengan serta merta menyajikan suatu jawaban maka sang
peneliti harus mencari jawaban dari teks tersebut.
o Menurut Skinner, kesalahan tekstualisme adalah berusaha memeras teks dan menyajikan
lebih banyak daripada apa yang terkandung dalam teks itu. Sikap itu disebabkan karena
dogma “pertanyaan-pertanyaan abadi” uang sepanjang sejarah berpengaruh dalam alam
pikiran politik.
o Menurut Skinner, tiada pertanyaan-pertanyaan abadi. Setiap kurun waktu mempunyai
pertanyaan-pertanyaan sendiri yang khas dalam bidang filsafat politik. Dari seorang
filsuf politik yang hidup pada abad ke-15, tidak dapat diharapkan agar ia memberi
jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan yang baru muncul pada abad ke-18. Kritik
Skinner terhadap tekstualisme berasal dari sudut pandang pengkajian sejarah.
o Skinner menolak setiap usaha dari para peneliti sejarah intelektual untuk menempatkan
seorang filsuf diluar kerangka waktunya sendiri. Antitekstualisme yang diperjuangkan
Skinner mengandung suatu penolakan terhadap sejarah ide-ide yang meneliti
perkembangan sebuah ide dari masa ke masa tanpa memperhatikan bahwa ide itu diberi
wujud tertentu oleh pertanyaan-pertanyaam yang khas bagi suatu periode tertentu
dalam sejarah.
#J.G.A. Pocock :
o Yang ditekankan tentang bahasa. Secara tradisional penggunaan bahasa dianggap kurang
penting, fokusnya adalah : kenyataan historis dan penafsirannya.
o Bahasa dan pengistilahannya merupakan wahana linguistik yang netral yang dipakai oleh
seorang pengarang untuk mengungkapkan penafsirannya. Tetapi menurut Pocock,
bahasa dan peristilahan yang dipakai oleh seorang filsuf politik merupakan faktor yang
jauh lebih penting. Bahasa dan peristilahan dalam filsafat politik merupakan sebuah
objek historis yang dapat dan harus diteliti.
o Seorang sejarawan intelektual tidak hanya berurusan dengan ide-ide, melainkan juga
dengan bahasa dan terminology yang mereka pakai untuk mengungkapkan ide-ide.
Sarana-sarana konseptual dan terminology mengarahkan ide-ide mereka ke suatu
pemikiran tertentu.
o Misalnya : pengistilahan “country” dan “court”.
Konsep court mencakup modernisasi Negara Inggris dan masyarakatnya sesudah 1988,
ide tentang pembebasan.
Country : kadang diartikan “Negara” dan kadang diartikan “desa”. Jadi harus mengkaji
tentang asal muasal kata itu diluncurkan.
#M. Faucault :
o Penulis sebuah teks bukanlah pengarangnya, melainkan prinsip yang memberi kesatuan,
keberkaitanm dan penataan kepada arti-arti yang terkandung dalam kata-kata yang
dipergunakan dalam teks itu. Dengan kata lain, bahasa dan arti kata yang diutamakan,
sedangkan maksud pengarang dinisbikan.
o Bagi Faucault, masa silam pada hakikatnya merupakan suatu lautan manusia yang
ngomong-ngomong dan berbicara, lautan kata dan bahasa yang dipakai dalam keadaan
yang beraneka ragam
Yang ingin dilakukan adalah membuat struktur didalam lautan omongan manusia pada
masa silam.
o Konsep episteme yang dipakai oleh Faucault memiliki tiga sifat utama :
1) Episteme menentukan bagaimana kita melihat dan mengalami kenyataan.
2) Episteme selalu dikaitkan dengan larangan, penyangkalan, dan pengesampingan.
3) Dalam episteme bagaimana diungkapkan suatu hubungan tertentu antara bahasa dan
kenyataan.
*persamaan antara Pocock dan Faucault adalah tetap mengutamakan “bahasa”.
Perkembangan Pemikiran :
Barat -> dimulai zaman “Yunani”, lalu ekspansi Alexander The Great ke Timur (=Persia).
Kelak mengadopsi sedikit demi sedikit budaya Persia.
Masa antara Yunani dan Romawi disebut Helenistik (Hellas artinya menyerupai).
Ide dasarnya dari Yunani ( kebebasan berpikir; rasional : menggunakan akal; sistematis :
berurutan, misalnya Silogisme -> menarik kesimpulan; kesemestaan : alam + manusia; dan
abstrak) + mengadopsi dari Persia.
“Romawi” :
Dasar pemikiran yang disebutkan diatas masih dikembangkan, namun orang-orang
Romawi menambahkan pemikiran yang tidak abstrak kemudian
dikonkritkan/aplikatif/operasional. Misalnya : Colosseum.
Lalu akan stagnant ketika abad pertengahan karena pemikiran bersifat dogmatis. Abad
pertengahan : Theos = ketuhanan, dogmatis, kepercayaan. => didasari oleh wahyu Ilahi.
Lalu mengalami pergeseran pada masa “Renaissance”, dibangkitkan lagi bebas dalam
pemikiran.
Islam -> mengeksplore ajaran dalam Al-Qur’an -> mendorong Islam menuju kejayaan ->
berkembang abad ke-8.
Timur : Persia, India (berkembang karena lingkungan alam, sentralnya Gunung Himalaya),
dan Cina. => dasarnya pada harmoni/keseimbangan, bersifat simbolik.
Kecerdasan seseorang dipengaruhi oleh kemampuan nala terhadap permasalahan di
sekitar kita, bisa masalah sosial, ekonomi, politik, etc juga dalam kemampuan
menggunakan panca indra secara empiris.
Intelektual = kemampuan nalar (permasalahan disekitar, pemikiran low dan high) +
empiric. Misalnya : orang Yunani yang memikirkan tentang kosmos dan antropos
(manusia)
Teknologi :
- bukan hanya hal-hal yang bersifat “wah” saja, tapi juga hal-hal kecil yang berguna.
- Merupakan penerapan dari pengetahuan ilmiah kea lam.
- Merupakan pengetahuan sistematis tentang seni industrial atau penerapan pengetahuan
ilmiah untuk industri. Bisa diartikan sebagai ilmu terapan (applied science), dibagi empat
: teknologi fisik, teknologi biologis, teknologi sosial, dam teknologi pikir.
Science (ilmu) itu mengalami perkembangan sejak dari masa pra sejarah. Zaman batu :
palaeolitikum, , mesolitikum, neolitikum.
Batu yang digunakan pada zaman batu tersebut disebut “alat”.
??? kenapa disebut “alat”?
Karena mempunyai kegunaan. Kecerdasan mereka berkembang karena terbukti dengan
penggunaan alat dan bisa memilih batu mana yang bisa dijadikan alat. Selain itu juga
dengan adanya teknik menanam.
Ilmu :
1. Purba : zaman batu
2. 1500-600SM : kemampuan menulis, sehingga bisa meyebar.
3. Zaman Yunani : mengajarkan konsep-konsep berpikir logis, pidato.
4. Zaman Romawi : lebih menyumbang di bidang militer.
5. Abad pertengahan : tidak banyak perkembangan ilmu

Anda mungkin juga menyukai