Anda di halaman 1dari 22

Sejarah Irak:

Dari Sumeria ke Irak Modern

Oleh Satrio Arismunandar

Republik Irak dengan ibukota Baghdad adalah negara Arab merdeka, yang terletak di
ujung timurlaut Teluk Arab. Luas wilayahnya mencapai 437.072 kilometer persegi. Irak
berbatasan dengan Turki di sebelah utara, dengan Iran di sebelah timur, dengan Suriah dan
Yordania di sebelah barat, dan dengan Arab Saudi dan Kuwait di sebelah selatan. Bisa
dibilang, Irak tak punya laut, kecuali sebuah celah sempit di ujung tenggara, dekat Kuwait
dan Iran. Dari tempat inilah, ekspor minyak Irak dikapalkan.
Berlokasi di bagian timur dari wilayah Bulan Sabit Subur (Fertile Crescent),
kawasan Irak ini secara historis dikenal sebagai Mesopotamia, yang artinya "tanah di antara
dua sungai." Sebutan ini mengisyaratkan dua aspek fisik utama dari negeri tersebut, yakni
lembah Sungai Tigris dan Eufrat. Wilayah Irak dapat dibagi menjadi tiga kawasan. Yakni,
daerah pegunungan Kurdistan di utara; kawasan tengah, antara Sungai Tigris dan Eufrat,
yang sistem pertanian dan irigasinya sudah maju; serta kawasan gersang dan gurun pasir di
bagian barat dan baratdaya.
Cuaca di Irak umumnya kering dan sangat jarang turun hujan. Suhu udaranya sangat
bervariasi. Pada musim panas, suhu udara bisa mencapai 34 derajat Celcius di bulan Juli.
Pada musim dingin, suhu bisa turun sampai rata-rata 13 derajat Celcius. Curah hujan rata-
rata tiap tahun di negeri ini cuma 175 mm. Namun di daerah pegunungan sebelah utara,
jumlah hujan yang turun jauh lebih banyak.

1
Sejarah Kuno

Seribu abad yang lalu, keluarga-keluarga manusia Zaman Palaeolithik berkumpul di


dan sekitar dataran rendah Mesopotamia yang subur. Air bersih yang melimpah mengalir
dari dataran tinggi Armenia dan Anatolia, lewat Sungai Tigris dan Eufrat. Sumberdaya air
ini menyediakan tumbuhan dan ikan, untuk kelompok manusia nelayan dan pemburu, yang
hidup berpindah-pindah tersebut.
Banjir pada musim semi dan kekeringan pada musim panas, yang silih berganti tiap
tahun, dan perubahan aliran Sungai Besar yang terus terjadi, membuat kehidupan di dataran
rendah itu cukup sulit. Sebagian besar penduduk tinggal di pegunungan dan kaki bukit
sekitar delta sungai.
Selama 90.000 tahun, suku-suku manusia awal tersebut memindahkan
permukimannya secara musiman, untuk berburu binatang atau mengumpulkan benih, buah-
buahan, kacang-kacangan, gandum liar, dan sebagainya. Sisa-sisa dari permukiman itu
menunjukkan, adanya pengembangan kebudayaan manusia secara perlahan. Manusia
Mesopotamia meninggalkan artifak-artifak di Gua Shanidar sekitar tahun 50.000 SM
(sebelum masehi), yang menunjukkan unsur-unsur kehidupan mereka. Mereka
meninggalkan bunga-bunga di makam orang mati, sebagai penghormatan yang menyentuh
bagi pendahulu manusia modern ini.
Selama seribu tahun, kelompok manusia ini mulai mempertukarkan bahan mentah.
Sekitar tahun 10.000 SM, sekelompok manusia di Shanidar dan Karim Shahir telah
mengembangkan ternak domba, yang mereka bawa ke pegunungan pada musim semi dan
musim gugur, agar bisa memperoleh rumput manis di sana. Berbagai peninggalan dari
zaman itu menunjukkan, penanaman tumbuhan pangan, termasuk gandum roti, telah terjadi
pada waktu itu.
Budidaya taman dan ladang, dan pemeliharaan ternak, menimbulkan perubahan pada
kebiasaan hidup mereka. Manusia awal tersebut lalu memilih berdiam di suatu tempat,
ketimbang berpindah-pindah mengikuti perilaku binatang yang bermigrasi secara musiman,
atau menelusuri keberadaan tanaman pangan.

2
Pada tahun 6.000 SM, di Zaman Neolithik, desa-desa yang permanen didirikan. Di
sana, manusia belajar berkebun, memelihara ternak, membangun rumah, merajut, bahkan
menciptakan benda-benda seni, lewat lukisan dan ukiran. Situs-situs purba di Jarmo,
Hassouna, Um al-Dabbaghlya, Matara dan Tel al-Suwan, menunjukkan bekas desa-desa
paling dini dalam sejarah manusia itu.
Daya tarik lembah Bulan Sabit Subur dengan airnya yang melimpah, terbukti mampu
memelihara populasi yang lebih besar. Manusia mulai belajar untuk mengendalikan irigasi
alamiah, yang dibentuk oleh pinggiran sungai dan arus kecil, dari banjir musiman yang terus
berubah dari Sungai Tigris dan Eufrat.

Sumeria, Fajar Peradaban

Orang Sumeria adalah penduduk pertama yang tinggal di wilayah Mesopotamia,


yang kini menjadi Irak modern. Wilayah ini dikenal sebagai tempat lahirnya peradaban.
Lebih dari 10.000 situs arkeologis di kawasan ini memberi gambaran yang menarik tentang
zaman kuno tersebut. Penulisan pertama kali dikenal di sana, yang dilakukan dengan tongkat
pada tablet-tablet tanah liat. Organisasi pertanian pada skala besar juga dimulai di
Mesopotamia, bersama dengan karya dari perunggu dan besi.
Sampai sekitar 200 tahun lalu, keberadaan Sumeria tidak diketahui. Para akademisi,
yang mencari jejak-jejak peradaban kuno Babylon dan Assyiria di Timur Tengah,
mengetahui keberadaan Babylon dan Assyria lewat referensi klasik Yunani dan Alkitab.
Mereka akhirnya mulai menemukan peradaban awal Sumeria, yang memberi pengaruh pada
peradaban kuno, bahkan sampai ke peradaban modern kemudian.
Sekarang diketahui bahwa orang Sumeria pertama muncul sekitar 4.800 SM, di
tempat yang dinamakan Al-Ubaid. Selama beberapa abad kemudian, mereka mendirikan
kota-kota lain, terutama di sepanjang separuh bagian selatan dari sistem sungai
Mesopotamia. Orang Sumeria bukanlah penduduk asli Mesopotamia, namun tentang asal-
usul mereka masih diperdebatkan oleh para akademisi.
Yang diketahui adalah, orang Sumeria sangat berbakat dan imajinatif. Bahasa
mereka secara linguistik tidak memiliki kaitan apapun dengan bahasa lain, baik bahasa kuno

3
maupun modern. Bahasa itu dilestarikan dan diketahui sekarang, berkat peninggalan tablet-
tablet tanah liat, yang bertatahkan tulisan tesebut. Ini merupakan bentuk tulisan pertama
yang dikenal umat manusia.
Untunglah, orang Sumeria adalah penulis yang menghasilkan banyak karya, serta
penyimpan dokumen yang cermat dan rinci. Tablet-tablet tanah liat itu secara meluas
menggambarkan keberadaan mereka. Dengan ditemukannya sistem penulisan, sebuah
kehidupan desa yang sederhana dapat berkembang menjadi sebuah peradaban yang
kompleks. Mereka mengembangkan sekolah-sekolah untuk kalangan elite terdidik, dan
untuk banyak tenaga penyalin, yang dibutuhkan untuk menyimpan catatan dan menulis surat
yang ingin mereka lakukan. Bukan hanya catatan bisnis yang ditulis, tetapi juga angka-
angka pertama, kalender, sastra, hukum, metode pertanian, catatan pribadi, peta, lelucon,
kutukan, praktik religius, dan ribuan daftar serta inventaris yang menyangkut kepentingan
manusia.
Tablet-tablet ini menunjukkan, orang Sumeria mendirikan negara-negara kota yang
hebat di Ur dan tempat lain. Mereka menyerap penduduk asli dan memperluas pengaruhnya
ke luar Mesopotamia, sampai ke Pantai Laut Tengah, Semenanjung Arab, Mesir dan India.
Peradaban mereka adalah peradaban kota, di mana para arsiteknya sudah terbiasa
dengan prinsip-prinsip arsitektur yang kita kenal sekarang. Para senimannya memiliki
keterampilan tertinggi dan standar kecanggihan. Para pekerja logamnya memiliki
pengetahuan metalurgi dan keterampilan teknis, yang hanya biasa ditandingi oleh sangat
sedikit orang kuno. Para pedagangnya melakukan perdagangan jarak jauh, yang difasilitasi
oleh pengembangan roda dan poros, dan kapal layar. Angkatan bersenjatanya terorganisasi
baik dan unggul. Pertaniannya produktif dan makmur. Memang, kemakmuran besar yang
diakumulasikan oleh peradaban mereka memungkinkan orang Sumeria untuk hidup relatif
mewah, selama 2.000 tahun atau lebih.
Berbagai negara kota, yang merangkum peradaban Sumeria, terus bangkit dan runtuh
dalam memberikan pengaruhnya selama dua milenium tersebut. Ur, Lagash, Kish, Eridu,
Lar Sa, Babylon, Erech, dan lain-lain –yang masing-masing diperintah oleh seorang raja—
selalu berkonflik. Dominasi mereka antara satu dengan yang lain, dan kepada rakyat di

4
sekitar mereka, berpindah sama seringnya dengan gejolak arus di sungai-sungai, di sisi mana
kota-kota mereka didirikan.

Hammurabi dan Nebuchadnezzar

Sistem pemerintahan di wilayah ini memang sejak dulu termasuk maju. Warga lain
yang tinggal di wilayah ini adalah orang Akkadia, Hittite, dan Assyria. Salah satu kota
utama di Mesopotamia kuno adalah Babylon, yang terkenal dengan taman gantungnya, yang
disebut sebagai salah satu dari tujuh keajaiban dunia kuno. Salah satu Raja Mesopotamia
kuno adalah Hammurabi, yang dikenal karena menetapkan undang-undang di negerinya
dalam bentuk aturan formal.
Periode ketika Hamurabi berkuasa (1792 – 1750 SM) sering dipandang sebagai salah
satu cahaya peradaban kuno. Koleksi hukum-hukum yang dirumuskan olehnya membentuk
sebuah kerangka, bagi hukum untuk memerintah masyarakat, seperti yang kita kenal
sekarang. Hukum ini memindahkan penentuan keadilan, dari selera mereka yang berkuasa
ke sebuah peraturan terkodifikasi, yang bisa diterapkan kepada seluruh masyarakat.
Kehidupan di Mesopotamia berubah cukup berarti di masa pemerintahan
Hammurabi. Bahasa Sumeria merosot dan menjadi kurang digunakan, dan memberi jalan
bagi lidah Semitik dari Timur Tengah. Orang Sumeria asli sendiri tampaknya sudah lenyap,
karena mereka telah bercampur dengan orang asing.
Perubahan yang paling signifikan adalah dalam konsep dan pengetahuan, dengan
mana penduduk Mesopotamia memandang dunia. Para pedagang datang ke Babylon dari
tempat jauh, seperti Mesir, di mana hari-hari cerah Kerajaan Tengah sudah berakhir. Dari
India ke timur, para pedagang membawa kain katun dan mengembangkan karya dari bulu.
Dari barat, pulau Kreta memulas karya pot yang indah, sementara wol yang bagus diimpor
dari Anatolia. Di Teluk Arab, pulau-pulau Bahrain menjadi sumber mutiara. Ini adalah awal
dari apa yang disebut dunia internasional yang sebenarnya, dengan Babylon sebagai
pusatnya.
Di dalam peradaban inilah, diperkirakan bapak tiga agama Samawi, Nabi Ibrahim,
dilahirkan dan dibesarkan di kota kuno Ur, kira-kira sebelum 1700 SM. Dengan lenyapnya

5
Dinasti Pertama Babylon, periode awal dunia Mesopotamia pun berakhir. Empat ratus tahun
kemudian, adalah periode yang masih dalam misteri. Sampai kemudian, sebuah kelompok
Indo-Eropa yang disebut orang Cassite trurun dari daerah dataran tinggi baratdaya Asia, dan
menaklukkan dataran rendah, serta menjalankan pemerintahan mereka di Babylon dan di
Assyria di utara. Dinasti Cassite dengan cepat mengadopsi banyak budaya dan institusi dari
dinasti sebelumnya. Namun dinasti ini hanya meninggalkan sedikit catatan, dan bertahan
sampai 1150 SM.
Pada pertengahan pertama milenium terakhir sebelum Masehi, dua kota Babylon dan
Nineveh telah menjulang maju, melebihi kota-kota lain di Mesopotamia. Tak lama sebelum
periode ini, Dinasti Cassite digulingkan di Babylon dan digantikan oleh Dinasti Kedua Isin.
Penguasa yang terpenting dari dinasti ini adalah Nebuchadnezzar I.
Nineveh adalah ibukota dari negara taklukan bertetangga Mitanni, yang disebut
Assyria. Nineveh hampir sama tuanya dengan Babylon, yakni dari milenium ketiga sebelum
Masehi. Orang Assyria telah memperluas pengaruhnya dari basis ini selama dua abad atau
lebih. Pada 1000 SM, Assyria di bagian lebih utara memulai ekspansi jarak-jauh dari
imperiumnya. Ini berlanjut sampai 612 SM, dan meluas ke Suriah, Palestina, mulut Sungai
Nil, dan Babylonia.
Orang Assyria terkenal bukan hanya karena kemampuan bertempurnya, tetapi juga
karena kecintaan mereka pada bangunan, dan organisasi politiknya. Mereka membangun
atau membangun-ulang kota-kota besar, seperti Assur, Nineveh, Nimrud, dan Dur
Sharrukin. Pada abad keenam sebelum Masehi, Raja Assyria Esarhaddin mewariskan
Babylonia ke salah satu anaknya, dan memberikan Assyria dan bagian besar dari imperium
itu ke anaknya yang lain, Ashurbanipal.
Raja Ashurbanipal inilah yang kemudian membangun sebuah perpustakaan besar di
Nineveh, yang mengoleksi sekitar 35.000 tablet tanah liat. Berkat tablet-tablet inilah,
masyarakat modern sekarang bisa mengetahui kejayaan Mesopotamia masa silam tersebut.
Sayangnya, perang saudara pecah di antara mereka, di mana Ashurbanipal yang
menang bersekutu dengan sebuah kelompok Semit, yang disebut orang Chaldea. Orang
Chaldea sudah bermukim di Babylon sejak 1000 SM. Pada akhirnya, orang Chaldea (atau
Neo-Babylonia) menundukkan kekuasaan Assyria. Mereka merebut Nineveh pada 612 SM

6
di bawah pemimpinnya Nabopolazzar. Akhirnya, Chaldea menghabisi sisa-sisa pasukan
musuhnya bersama dengan sekutu Mesirnya, pada 605 SM.
Nebuchadnezzar II, putra Nabopolazzar, naik tahta pada waktu ini. Selama
pemerintahannya (605 – 562 SM), sebuah Babylon baru diciptakan di pinggiran sungai
Eufrat. Tembok-tembok yang besar dibangun untuk menjaga kota. Jika orang berjalan
melewati gerbang yang besar itu, jalan-jalan masuk ke kota akan membawanya ke prosesi
menakjubkan, ke kelompok-kelompok istana dan kuil yang dramatis. Gerbang yang paling
terkenal adalah Ishtar, yang membawa orang ke Jalan Suci.
Di satu arah, Jalan Suci menjurus ke kuil-kuil dari batu bata besar, termasuk
Etemenanki yang terkenal. Kuil ini dibangun untuk menghormati Madruk, dewa Babylon.
Ke arah lain, terdapat istana. Di dalam kawasannya, terdapatlah salah satu dari Tujuh
Keajaiban Dunia, yakni Taman Gantung. Nebuchadnezzar menikah dengan istri asal Mede
untuk merekat aliansi politik. Ia membangun taman itu untuk mengobati rasa kangen-rumah
istrinya, yang berasal dari daerah pegunungan dan penuh hutan. Istrinya bosan dengan
suasana Babylon yang datar, dan kurang bergunung-gunung.
Nebuchadnezzar mencoba menghidupkan kembali Babylonia seperti kondisi
sebelum dirusak oleh orang Cassite dan Assyria. Maka para seniman, tukang, akademisi dan
rohaniwan, semua dikerahkan untuk membangun kembali keagungan Babylon. Namun,
dengan segala kemegahan itu, Babylon tidak memiliki kekuatan militer untuk bertahan
menghadapi musuh-musuh kuat di perbatasan. Tak lama setelah Nebuchadnezzar
meninggal, kota itu direbut oleh aliansi suku-suku dari barat pada 539 SM, yang menjadikan
Babylon sebagai ibukota imperium mereka.
Orang Persia merebut Babylon, dan Irak pun menjadi bagian dari Imperium
Achaemenid. Penguasaan ini hanya bertahan sampai 331 SM. Kemudian, imperium ini
ditaklukkan oleh Iskandar Agung dari Macedonia pada 324 SM. Sesudah kematian dini
Iskandar Agung pada usia 32 tahun, pada 323 SM, imperium ini kemudian dibagi-bagi di
antara para jenderalnya.
Babylonia dan Assyria jatuh ke tangan Seleucis I, yang berkuasa dari 301 – 281 SM.
Di bawah Dinasti Seleucis, pengaruh Helenistik masuk ke negeri ini. Pengaruh ini
berlangsung terus di bawah orang Arsacid (atau Parthia), yang berkuasa dari 250 SM sampai

7
224 sesudah Masehi. Selama periode ini, orang Parthia membangun kota Ctesiphon sebagai
ibukotanya. Ctesiphon terletak tak jauh dari Baghdad, yang waktu itu belum dikenal.
Selama dua abad kekuasaannya, orang Parthia terus dikepung oleh Romawi. Kaisar
Trajan Optimus menyerbu, dan pada tahun 110, untuk periode yang singkat, sempat
menguasai wilayah yang sekarang menjadi Irak modern. Bagaimanapun, kekuasaan Romawi
cuma bertahan satu dasawarsa. Wilayah Irak diperebutkan antara Parthia dan Romawi
selama 400 tahun. Sampai Parthia kemudian ditaklukkan oleh orang Sassanid (Persia), dan
Irak dimasukkan ke dalam Imperium Sassanid pada abad kedua. Selama empat abad
kemudian, wilayah itu selalu menjadi bagian dari pergolakan politik dan religius yang kasar.

Masuknya Islam dan Kejayaan Baghdad

Pada tahun 637, Irak menerima masuknya Islam. Orang Arab dan kekuatan Islam
menyapu, dari dataran rendah dan gurun ke tempat yang dinamai al-Qadisiyyah. Di sinilah,
kekuatan Arab menjejaki sisa-sisa Sassanid, mengejar raja mereka sampai sejauh
Afganistan, di mana akhirnya ia terbunuh. Hanya dalam waktu empat tahun, orang Sassanid
disingkirkan dari panggung sejarah.
Masuknya Islam di bawah imperium Arab menghidupkan kembali peradaban besar
di Irak. Orang Arab-lah yang pertama kali menyebut negeri ini "Irak". Berbagai khalifah
silih berganti memimpin imperium ini, sampai tahun 750, ketika sebuah dinasti berdiri di
Irak, yakni kekhalifahan Abbasiyah. Khalifah pertama dari dinasti ini, al-Saffah, memulai
kekhalifahannya di Kufa. Ia kemudian memindahkan kekhalifahan ke sebuah kota yang
diberi nama baru, Hashimiya, di mana ia wafat pada tahun 754.
Putranya, al-Mansur, tiga tahun sesudah menjadi Khalifah, melakukan sebuah
ekspedisi. Ia menyeberangi Sungai Tigris dan menemukan sebuah desa kecil. Ia bertanya
pada penduduk setempat, "Apa nama tempat ini?" Mereka menjawab, "Baghdad."
"Demi Allah," ujar Khalifah al-Mansur. "Inilah kota yang kata mendiang ayahku
harus kubangun, di mana aku harus tinggal, dan di mana para keturunanku sepeninggalku
harus tinggal pula. Raja-raja tidak menyadari keberadaannya sebelum dan sesudah Islam,
sampai rencana Allah dan perintah-Nya untukku dipenuhi. Demi Allah, aku akan

8
membangunnya. Ini pasti akan menjadi kota yang paling berkembang di dunia, dan tak akan
pernah menjadi puing-puing."
Pada 758, al-Mansur menetapkan rencana pembangunan kota baru itu. Seratus ribu
pekerja –arsitek, insinyur, tukang kayu, buruh, tukang gali, dan ahli-ahli lain—dipanggil.
Berdasarkan rencana al-Mansur, mereka membangun kota yang berbentuk bundar, dengan
garis tengah hampir 2,4 kilometer. Ditengahnya ada alun-alun besar, yang berisi istana,
disertai masjid. Jalan-jalan besar dibangun, dengan lebar lebih dari 8 meter.
Selama berabad-abad, Baghdad menjadi pusat peradaban. Bukan hanya kemakmuran
dunia terpusat di sini, tetapi juga sumber intelektualnya. Waktu itu, kejayaan Roma telah
ambruk. Roma menjadi kota yang dipenuhi rumput liar, dengan penduduk 50.000 petani,
dan jalan-jalannya yang kosong hanya dilalui ternak. London dan Paris hanyalah desa biasa.
Constantinople, ibukota Byzantium, hanyalah kota kelas dua. Di satu-satunya imperium lain
yang dikenal, Imperium Romawi Suci yang didirikan Charlemagne, bahkan orang
terhormatnya sulit menulis namanya sendiri, dan tak ada yang lain.
Di bawah dinasti Abbasiyah, setiap orang diharapkan menjadi terdidik. Universitas-
universitas besar didirikan di Baghdad dan Nippur. Karya klasik Yunani diterjemahkan ke
bahasa Arab, dan kemudian diterjemahkan kembali ke bahassa Latin dan bahasa-bahasa
Barat lainnya. Sains dan matematika berkembang. Tipografi angka Arab menjadi diterapkan
secara universal, dan itu masih berlangsung sampai sekarang. Karya sastra pun maju pesat,
dengan salah satu karya yang sangat terkenal, "Kisah Seribu Satu Malam."
Selama 786 - 809, di bawah kekuasaan Khalifah kelima dan paling terkenal, Harun
al-Rashid, Baghdad mencapai puncak kejayaannya. Uang dan kemakmuran mengalir dari
berbagai provinsi dan daerah yang tergantung padanya. Jika dibandingkan dengan kondisi
sekarang, penghasilan senilai US $ 100.000 per tahun (sekitar Rp 900 juta dengan kurs
Februari 2003) bagi kalangan kelas menengah di Baghdad waktu itu dianggap biasa saja.
Rumah-rumah didinginkan dengan es, yang dibawa dari pegunungan Zagros. Alat-alat
makan dibuat dari perak. Bahan pakaian ada dari semua jenis.
Pertanian pun tumbuh subur. Delta sungai Tigris dan Eufrat dikeringkan, dan kanal-
kanal baru digali. Tanaman gandum, beras, barley dan kurma melimpah. Dengan tambahan

9
bahan pangan eksotik yang diimpor dari berbagai provinsi, memasak telah berkembang
menjadi seni.
Karena melek huruf berlaku umum, dan bukan keistimewaan eksklusif dari kalangan
elite, standar hidup pun tinggi. Ada 27.000 tempat pemandian umum. Kedokteran dan
farmasi adalah spesialisasi Baghdad. Ada 800 dokter, yang mendapat izin praktik.
Perpustakaan-perpustakaan menterjemahkan pengetahuan dari berbagai penjuru dunia ke
bahasa Arab.
Namun, sebagaimana terjadi pada dinasti-dinasti besar lain, kejayaan ini pelan-pelan
surut. Pada abad ke-9 dan ke-10, kerajaan ini mengalami disintegrasi, sampai ke tahap di
mana suku-suku keturunan Turki yang nomadik mulai menyusup, dan mengganggu distrik-
distrik di pinggiran. Pengaruh kekhalifahan mulai surut, sampai hanya sebatas Baghdad dan
wilayah-wilayah sekitarnya yang berdekatan.
Periode kekhalifahan Abbasiyah membawa masuk pengaruh Shiah, dan Baghdad
tetap di bawah penguasa Shiah, sampai pertengahan abad ke-11. Dinasti Abbasiyah masih
bertahan sampai 1258, ketika orang Mongol (Tartar) di bawah Hulagu Khan, cucu Gengis
Khan, menyerbu dari timur. Mereka merebut kota dan membantai sampai sejuta orang. Di
Baghdad, Hulagu dengan sengaja menghancurkan sisa-sisa dari proyek awal bangunan-
bangunan kanal. Kekhalifahan Abbasiyah hancur oleh orang Mongol pada abad ke-13.
Orang Turki kemudian mengusir orang Mongol dari wilayah itu, setelah perang
sengit bertahun-tahun. Dalam mendirikan Imperium Utsmaniyah di luar batas-batas Irak,
para penakluk meninggalkan tanah yang sepi dan reruntuhan, yang sudah bersih dari sisa-
sisa kemakmuran dan kejayaan yang dikumpulkan selama berabad-abad lalu. Daerah Bulan
Sabit Subur itu telah merosot menjadi provinsi-provinsi yang tidak menarik, yang
tergantung pada belas kasihan gubernur-gubernur Utsmaniyah.
Irak terus menjadi bagian dari Imperium Utsmaniyah, dan hanya dengan sedikit
perkembangan, sampai berakhirnya abad ke-19. Pada Perang Dunia I, yang pecah pada
1914, Turki bersekutu dengan Jerman dan Austria, dalam konflik global melawan Inggris
dan Perancis. Tak lama sebelum itu, gerakan kemerdekaan Arab sebenarnya sudah
memperoleh momentum. Para pemimpin Arab di berbagai bagian dunia Arab berjanji

10
membantu Inggris, untuk melakukan revolusi melawan Utsmaniyah Turki. Janji ini muncul
setelah Inggris setuju, untuk mengakui kemerdekaan Arab seusai perang nanti.

Revolusi dan Partai Ba'ath

Imperium Utsmaniyah runtuh ketika pasukan Inggris menyerbu Mesopotamia pada


1917 dan menduduki Baghdad. Selama Perang Dunia I (1914-1918), Irak diduduki oleh
pasukan Inggris, terutama di provinsi Basra dan Baghdad. Pada akhir perang, Inggris
menduduki Mosul. Pada 1920, sebagai bagian dari perjanjian perdamaian seusai Perang
Dunia I, negara Sekutu yang menang perang membagi wilayah provinsi-provinsi Arab --
bekas Imperium Utsmaniyah-- di antara mereka sendiri.
Irak diduduki berdasarkan mandat dari Liga Bangsa-bangsa, dan administrasi
pemerintahannya tetap dijalankan oleh Inggris. Liga Bangsa-bangsa sendiri merupakan
organisasi internasional, yang dibentuk sesudah Perang Dunia I, berdasarkan ketentuan
Perjanjian Versailles. Mandat ini adalah suatu bentuk pemerintahan tidak langsung, di mana
para menteri dan pejabat Arab diawasi secara ketat oleh para penasihat Inggris, namun
nasihat-nasihat itu harus dijalankan.
Walau wilayah Irak ini pernah disatukan beberapa kali oleh sejumlah kekuatan luar
di waktu-waktu lalu, Irak belum pernah menjadi satu negara yang merdeka. Tahun 1920 ini
adalah cikal bakal pembentukan negara Irak modern. Tahun 1921, Emir Faisal ibn Hussein
dari dinasti Hasyim, Arab, dinobatkan oleh kekuatan Inggris menjadi Raja Irak.
Inggris menciptakan basis sosial bagi monarki, dengan memformalkan kepemilikan
penuh oleh pemimpin-pemimpin suku yang "layak" terhadap wilayah, yang sebelumnya
secara adat adalah milik sukunya. Faisal adalah putra Sharif Hussain dari Makkah.
Sedangkan saudaranya, Abdullah, diangkat menjadi Emir untuk wilayah tetangga
Transjordan, yang sekarang menjadi kerajaan Yordania.
Oleh Inggris, Irak diperkenalkan pada konstitusi dan sistem parlemen dua kamar.
Mandat Inggris berakhir tahun 1932, ketika Liga Bangsa-bangsa mengakui Irak sebagai
negara merdeka. Namun Inggris masih mempertahankan kehadiran militernya di Irak, dan
tetap memiliki pengaruh ekonomi dan politik yang kuat di sana. Inggris juga sudah

11
mengamankan kontrak yang menguntungkan bagi eksplorasi dan eksploitasi minyak, yang
diberikan kepada Iraq Petroleum Company, sebuah konglomerat yang menggabungkan
kepentingan minyak Inggris, Belanda, Perancis, dan Amerika Serikat.
Pada tahun 1941, sekelompok perwira Irak memimpin gerakan perlawanan yang
berusia pendek melawan Inggris. Aksi ini diredam Inggris, yang berujung pada pendudukan
Inggris yang kedua kalinya, sampai berakhirnya Perang Dunia II. Pada Maret 1945, Irak
menjadi anggota-pendiri Liga Arab, yang termasuk Mesir, Transjordan, Lebanon, Arab
Saudi, Suriah dan Yaman. Pada Desember 1945, Irak menjadi anggota Perserikatan Bangsa-
Bangsa (PBB).
Antara tahun 1941 dan 1958, pemerintahan di Irak dipegang secara bergantian
sampai 24 kabinet. Sebagian besar kabinet itu merupakan kombinasi dari individu-individu
dan elite yang sama, dan sering diketuai oleh politisi kawakan pro-Inggris, Nuri al-Said.
Pada sebagian besar periode ini, partai-partai oposisi yang murni dilarang. Artinya, hanya
sedikit peluang bagi pengembangan tradisi demokrasi. Banyak rakyat Irak percaya,
kebutuhan yang paling mendesak bagi negeri itu adalah kemerdekaan nasional, yang disusul
dengan pembangunan ekonomi dan reformasi sosial. Namun justru hal-hal ini yang ditolak
oleh monarki, dan Inggris yang menjadi sponsornya.
Monarki Irak membuat beberapa blunder dalam kebijaksanaan luar negeri, pada
1950-an, yang akhirnya ikut memberi andil bagi kejatuhan monarki. Kesalahan besar dalam
kebijaksanaan luar negeri itu terjadi tahun 1955, ketika Nuri al-Said mengumumkan, Irak
bergabung dengan Pakta Baghdad yang disponsori Inggris. Pakta Baghdad, yang merupakan
pakta pertahanan bersama Turki, Iran dan Pakistan ini merupakan tantangan langsung
terhadap Presiden Mesir Gamal Abdel Nasser.
Sesudah Perang Dunia II, Irak memang dihadapkan pada pilihan, antara berpihak
pada kekuatan Barat atau Uni Soviet. Pakta Baghdad, yang berarti mendukung Barat,
membentuk garis pertahanan di selatan perbatasan Uni Soviet. Menanggapi manuver itu,
Nasser melakukan kampanye media, yang menantang legitimasi monarki Irak, dan
menyerukan kepada korps perwira militer untuk menggulingkan monarki. Serangan
gabungan Inggris-Perancis-Israel ke Sinai, Mesir, tahun 1956 semakin mengasingkan rezim
Nuri al-Said dari barisan oposisi Irak yang terus tumbuh.

12
Akhirnya, kudeta terjadi pada 14 Juli 1958. Raja Faisal II, Putra Mahkota Irak
Abdillah, dan Perdana Menteri Nuri al-Said tewas dalam kudeta tersebut. Kudeta oleh para
perwira Brigade ke-19 ini menempatkan Brigadir Abdul al-Karim Kassem sebagai Perdana
Menteri, yang berkuasa atas Dewan Kedaulatan yang baru dibentuk. Pertarungan kekuasaan
kemudian terjadi antara dua tokoh kudeta, Perdana Menteri Kassem dan Deputi Perdana
Menteri, mantan Kolonel Abdul as-Salam Muhammad Aref. Deputi Perdana Menteri
dipecat, dan pada Maret 1959, Kassem mengumumkan mundurnya Irak dari Pakta Baghdad.
Sebuah kudeta militer pada Februari 1963, menjatuhkan pemerintahan Jenderal
Kassem. Kudeta itu muncul dari aliansi antara para perwira militer nasionalis dan Partai
Ba'ath (Partai untuk Pencerahan). Basis ideologi partai ini adalah sosialisme, nasionalisme
Arab, dan sekularisme. Kolonel Aref menjadi Presiden di pemerintahan yang baru, dan
kabinet baru pun dibentuk, dengan Brigadir Ahmad Hasan al-Bakr sebagai Perdana Menteri.
Pada 17 Juli 1968, Jenderal Ahmad Hasan al-Bakr, yang waktu itu menjabat Perdana
Menteri, menjadi Presiden melalui suatu kudeta tak berdarah. Kudeta ini menempatkan
Partai Ba'ath di kekuasaan. Tanggal 17 Juli ini kemudian dijadikan Hari Kemerdekaan Irak.
Presiden saat ini, Saddam Hussein, yang berasal dari Partai Ba'ath, berkuasa di Irak
menggantikan al-Bakr pada Juli 1979.

Pemerintahan di Irak

Presiden adalah Kepala Negara di Irak. Presiden menunjuk seorang Perdana Menteri
yang menjadi Kepala Pemerintahan. Perdana Menteri memimpin sebuah Kabinet, yang
dikenal sebagai Dewan Menteri. Sebagai Kepala Negara, Presiden juga bertindak sebagai
Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata, serta Ketua Dewan Komando Revolusi (RCC).
RCC terdiri dari delapan tokoh Partai Ba'ath terkemuka, termasuk Ketua dan Wakil Ketua,
dan memiliki tugas menetapkan kebijaksanaan pemerintah. Sedangkan Dewan Menteri
mengawasi pelaksanaan kebijaksanaan tersebut, agar betul-betul dilaksanakan pemerintah.
Majelis Nasional adalah badan legislatif Irak, dan 250 anggotanya dipilih oleh
rakyat. Tugas badan ini adalah membuat undang-undang, dari legislasi yang diberikan oleh

13
RCC. Keanggotaan di Majelis Nasional didominasi oleh Komando Regional Partai Ba'ath
Irak.
Karena berbagai alasan, sebelum revolusi, tak ada satu pun partai demokratis liberal
yang mampu menggalang semacam dukungan massal, ataupun membangun mesin partai
yang efektif, di bawah mandat dan monarki (1920-1958). Partai-partai yang ada cenderung
seperti organisasi longgar, yang berpusat di sekitar tokoh-tokoh kenamaan. Setelah
pertengahan 1920-an, sebagian besar peserta terkemuka Irak dalam revolusi Arab, bersama
dengan Faisal sendiri, berdamai dengan Inggris sebagai penguasa mandat.
Mereka menjadi tergantung pada Inggris untuk mempertahankan status quo atau
posisi mereka sendiri di dalamnya. Selama mereka berkuasa, tampaknya tak mungkin
memunculkan sistem demokratis pluralistis yang efektif. Tidak ada partai oposisi murni
yang bisa berkuasa lewat pemilihan umum. Akibatnya, demokrasi konstitusional menjadi
sangat kehilangan kredibilitasnya pada akhir 1950-an, dan militer dipandang sebagai wahana
yang bisa diterima untuk memprakarsai perubahan.
Merupakan suatu keanehan dalam politik Irak, bahwa gerakan kemerdekaan
berfungsi hampir sepenuhnya di bawah tanah, dan banyak anggotanya berada di bawah
pengaruh partai komunis, yang didirikan tahun 1934. Partai komunis mengorganisasikan
hampir seluruh demonstrasi dan pemogokan massal tahun 1940-an dan awal 1950-an.
Sesudah naiknya Gamal Abdul Nasser ke kekuasaan di Mesir pada 1952, kaum
nasionalis pan-Arab dan Ba'athis juga mulai memperoleh pengaruh, terutama di kalangan
populasi Sunni. Sebelum naiknya Nasser, sebagian karena faktor keragaman etnis dan
komunal di Irak, pan-Arabisme gagal membuat banyak kemajuan, sementara nasionalisme
Irak memiliki daya tarik yang jauh lebih besar.
Bahkan pada akhir 1950-an, tak ada partai Nasseris yang cukup kuat di Irak.
Sedangkan Partai Ba'ath, yang didirikan di Suriah, dibawa ke Baghdad oleh para guru
sekolah Suriah di awal 1950-an. Partai ini hanya memiliki 300 anggota pada tahun 1955,
tahun ketika Saddam Hussein bergabung dengan Partai Ba'ath.

14
Penduduk, Agama, dan Etnis di Irak

Jumlah penduduk Irak keseluruhan sekitar 24 juta (perkiraan tahun 2003), di mana
74 persennya tinggal di perkotaan. Lebih dari 24 persen populasi tinggal di Kegubernuran
Baghdad. Masyarakat Irak terdiri dari berbagai unsur, yang sebelumnya tak pernah
digabungkan dalam satu negara merdeka. Dulu, dan juga sekarang, populasi Irak terbagi
dalam berbagai kategori yang tumpang tindih, mencakup asal-usul sosial dan etnis, sekte
religius, pekerjaan, latar belakang daerah dan kesukuan.
Islam, yang dianut oleh mayoritas penduduk (95 persen), adalah agama resmi di Irak.
Sekitar seperempat dari penganut Islam ini adalah dari etnis Kurdi, yang mayoritas beraliran
Sunni. Sisanya yang tiga perempat adalah orang Arab. Komunitas agama lain adalah Kristen
(3,6 persen), Sabaean dan Yazidi (1,4 persen). Bahasa Arab juga menjadi bahasa resmi Irak.
Tetapi sesuai dengan keragaman etnis yang ada, bermacam bahasa digunakan di Irak.
Seperti, bahasa Kurdi, Assyria, Persia, Turki dan Turkmen.
Warga Arab Muslim di Irak sendiri terbagi dalam dua aliran: Sunni dan Shiah. Shiah
adalah komunitas religius tunggal yang terbesar di negeri itu. Sensus Irak memang tidak
memberi rincian afiliasi sektarian. Namun, karena Muslim Sunni dan Shiah tinggal di
bagian-bagian wilayah yang berbeda di Irak (tidak termasuk Baghdad dan Basra, di mana
dua komunitas Muslim itu bercampur), dimungkinkan untuk membuat semacam
generalisasi. Komunitas Shiah merupakan 52 persen dari total populasi Muslim, dan yang
lebih penting lagi, merupakan 70 persen dari populasi Muslim Arab di Irak.
Wilayah selatan Irak didominasi penganut Shiah. Sementara di bagian tengah, barat,
dan utara negeri itu sebagian besar adalah penganut Sunni. Tempat-tempat suci utama bagi
penganut Shiah Dua Belas Imam –yang merupakan agama negara di Republik Islam Iran,
tetangga Irak—terletak di wilayah Irak. Yakni, di kota Najaf, Karbala, Samarra, dan
Kadhimain, salah satu distrik Baghdad. Tempat-tempat suci tersebut merupakan pusat utama
untuk belajar agama, sekaligus merupakan kediaman tradisional bagi para pemimpin
spiritual komunitas Shiah Dua Belas Imam, yang tersebar di seluruh dunia.
Karena Imperium Utsmaniyah pada dasarnya adalah institusi Sunni, fasilitas-fasilitas
pendidikan negara yang ada di Irak sebagian besar adalah untuk penganut Sunni. Dan

15
sebagai konsekuensinya, warga Shiah tidak terdorong untuk masuk, dan tidak direkrut ke
dalam, dinas-dinas pemerintahan. Lebih jauh, sebelum Perang Dunia I, sebagian besar warga
Shiah terkonsentrasi di wilayah-wilayah yang jauh dari pusat-pusat pemerintahan. Yakni, di
kota-kota suci, yang keberadaannya cukup independen dari pusat. Maka, ketika negara baru
dibentuk tahun 1920, sangat sedikit warga Shiah yang memasuki dinas pemerintahan.
Situasi ini baru berubah dengan adanya perluasan pendidikan (sekuler) yang pesat pada
tahun 1940-an, 1950-an dan 1960-an.
Sebagai konsekuensi, akibat "keterlambatan start" ini, warga Shiah jadi kurang
terwakili secara politik. Kecenderungan ini terus berlangsung, dan dikombinasikan dengan
faktor-faktor lain. Seperti, negara yang semakin represif, yang memperkuat identitas
komunal, sikap rezim yang eksklusif sejak 1968, serta terus merosotnya hubungan Irak
dengan Iran.
Dalam konteks terakhir ini, perlu dijelaskan bahwa walau warga Shiah Irak dan Iran
berasal dari sekte yang sama, warga Shiah Irak lebih merasa dirinya sebagai orang Irak
Arab. Sedangkan warga Shiah Iran lebih merasa dirinya sebagai orang Iran. Meskipun ada
semacam kedekatan karena persamaan kepercayaan, hubungan antar-Shiah tidak selalu
mulus. Hal ini disebabkan adanya persaingan religius tertentu, antara tokoh Shiah di kota
suci Qom dan Mashhad (Iran), dengan mereka yang di Najaf dan Karbala (Irak).
Populasi di Irak juga terbagi dalam garis etnis, yakni terutama terdiri dari Arab (72
persen) dan Kurdi (23 persen). Sedangkan sisanya, yang 5 persen, terdiri dari orang
Turkoman, Assyria, Armenia, dan kelompok-kelompok etnis lain yang lebih kecil.
Komunitas Kurdi ini juga terdapat di Iran, Suriah, dan Turki. Etnis Kurdi membentuk
mayoritas populasi yang kompak di bagian utara dan baratlaut Irak.
Sebagian besar warga Kurdi berasal dari suku-suku yang semi-nomaden. Namun
kendala-kendala di persimpangan perbatasan negeri, dan faktor-faktor ekonomi lain telah
mendorong mereka untuk menetap. Sedangkan, penyediaan pendidikan yang lebih luas,
perpindahan ke daerah perkotaan, dan berbagai perkembangan politik, cenderung
mengurangi ikatan-ikatan kesukuan. Secara umum, pembagian-pembagian etnis dan
sektarian menjadi kurang penting dalam dekade-dekade menjelang revolusi 1958. Sementara

16
itu, gerakan kemerdekaan nasional bertindak sebagai faktor pemersatu yang krusial, dan
membantu melampaui berbagai pembagian etnis dan sektarian tersebut.
Selama dan sesudah Perang Dunia II, para anggota kelas menengah Irak yang sedang
tumbuh memperluas investasinya di bidang manufaktur, perdagangan dan real estat. Proses
ini dipercepat pada 1950-an, ketika minyak mulai memberi dampak besar pada ekonomi.
Walau pendapatan dari minyak waktu itu masih kecil, pendapatan itu sudah memadai untuk
membiayai perluasan birokrasi, sistem pendidikan dan pelayanan lain. Pembelanjaan
pemerintah yang meningkat ini memberi dampak perangsang yang menyeluruh pada
ekonomi.
Modal swasta terus terkonsentrasi di tangan sejumlah 25 keluarga, yang banyak di
antaranya telah mengontrol beberapa macam bisnis. Di antara mereka saja, keluarga-
keluarga ini mengontrol lebih dari separuh dari seluruh perusahaan swasta komersial dan
kekayaan industri Irak. Jauh di bawah mereka, baik dalam status maupun kekayaan, terdapat
pemilik properti kecil dan menengah, tokoh religius dan tokoh masyarakat lokal, pedagang
eceran dan grosir, pemilik bengkel dan toko reparasi, pengolah, pedagang kecil, dan
sebagainya.
Termasuk juga di tingkatan bawah, terdapat kaum cendekiawan yang baru muncul,
terdiri dari kalangan profesional, ahli hukum, perwira militer, dan pegawai negeri.
Kelompok yang terakhir ini, bersama dengan bagian-bagian besar kaum miskin perkotaan,
sangat menyadari sifat eksklusif dari sistem politik yang ada. Mereka menjadi inti dari
gerakan kemerdekaan pada tahun 1940-an dan 1950-an.
Permulaan dari sebuah kelas pekerja juga muncul, khususnya di perusahaan-
perusahaan milik asing yang besar, seperti perusahaan kereta api, Pelabuhan Basra dan Iraq
Petroleum Company. Karena hubungannya yang dekat dengan gerakan kemerdekaan, buruh
yang terorganisasi ini berkembang menjadi kekuatan politik yang efektif, pada tahun-tahun
menjelang revolusi.

17
Ekonomi dan Minyak Bumi

Pendapatan nasional bruto (GNP) Irak mencapai 35 milyar dollar AS, dan
pendapatan per kapitanya 2.924 dollar AS (1993). Sektor pertanian diswastakan pada 1987,
namun upaya ini terhambat oleh kurangnya tenaga kerja, salinasi, manajemen dan perawatan
yang tidak memadai, migrasi ke perkotaan, dan dislokasi yang disebabkan oleh konflik-
konflik bersenjata dan program landreform sebelumnya. Pertanian memberi sumbangan
sampai 25 persen dari produk domestik bruto (GDP), dan mempekerjakan 13 persen dari
angkatan kerja. Tanaman pokok utama termasuk gandum, barley, dan beras.
Pemerintah telah membatalkan program kolektivisasi pertanian dan peternakan pada
1981, dan membolehkan peran yang lebih besar bagi perusahaan swasta di sektor pertanian.
Bank Koperasi Pertanian, yang dimodali senilai hampir 1 milyar dollar AS pada 1984,
mentargetkan pinjaman berbunga rendah ke petani-petani swasta untuk mekanisasi, proyek-
proyek pangan dari ternak, dan pengembangan perkebunan buah-buahan. Peternakan
penghasil bahan pangan dari ternak, dibangun.
Impor tenaga kerja asing dan masuknya kaum perempuan ke sektor-sektor, yang
secara tradisional biasa diisi buruh laki-laki, telah membantu mengkompensasi kurangnya
tenaga kerja di sektor industri dan pertanian. Sebuah upaya untuk mengeringkan daerah
rawa di selatan Irak, dan memperkenalkan perkebunan beririgasi di kawasan itu, terbukti
gagal total. Upaya ini ternyata malah menghancurkan sebuah kawasan produksi pangan
yang alamiah. Sedangkan konsentrasi garam dan mineral di tanah, akibat upaya pengeringan
tersebut, membuat tanah itu tak cocok untuk pertanian.
Menurut perkiraan 1989, industri memberi sumbangan 41 persen dari GDP dan
mempekerjakan 8 persen dari angkatan kerja. Sektor industri Irak termasuk terbelakang,
meskipun mendapat prioritas tinggi oleh pemerintah. Dana investasi baru umumnya
dialokasikan untuk proyek-proyek yang sangat tergantung pada bahan mentah lokal, dan
digunakan baik untuk substitusi impor maupun untuk memperoleh valuta asing. Industri
utama, di luar sektor perminyakan, adalah tekstil, bahan konstruksi, dan pemrosesan
makanan.

18
Sumber terbesar valuta asing Irak adalah minyak bumi, yang pertama kali ditemukan
pada 1927. Pada 1950-an, di bawah monarki Irak, pendapatan melimpah dari minyak
memberi posisi ekonomi yang besar pada negara. Dewan Pembangunan pemerintah tiap
tahun menyerap 70 persen dari pendapatan itu, dan menginvestasikannya terutama pada
pembangunan infrastruktur. Kebijaksanaan inilah yang menuntut penundaan konsumsi, dan
mungkin menjurus ke situasi, di mana unsur-unsur Angkatan Bersenjata Irak akhirnya
menggulingkan monarki pada Juli 1958.
Rezim baru ini segera membubarkan Dewan Pembangunan, dan menggantinya
dengan Badan Perencanaan dan sebuah Kementerian Perencanaan. Juga ada pergeseran
besar dalam investasi, dari infrastruktur dan pertanian ke industri. Kementerian Industri
diberdayakan untuk mempromosikan proyek-proyek sektor publik, dan untuk mengawasi
serta memberi lisensi pada kegiatan-kegiatan sektor swasta.
Pada Februari 1963, terjadi kudeta baru yang dipimpin para perwira berideologi
Ba'ath. Rezim baru ini bergerak pada awal 1964, dengan menasionalisasi seluruh bank, serta
dua-pertiga dari perusahaan komersial dan industri besar. Dengan langkah-langkah ini,
saham negara dalam hal-hal yang menyangkut manufaktur besar, meningkat menjadi 62
persen dari keluaran bruto, 46 persen dari lapangan kerja, dan 55 persen dari upah.
Namun Irak belum melakukan nasionalisasi di sektor perminyakan, karena belum
memiliki keterampilan untuk mengambil alih ladang-ladang minyak atau melakukan
eksplorasi minyak sendiri. Produksi dan ekspor minyak tetap di tangan konsorsium
perusahaan minyak internasional, yang dikenal sebagai IPC (Iraq Petroleum Company).
Penghasilan dari minyak juga terlalu vital bagi ekonomi, untuk mengambil risiko
berhentinya aliran minyak yang mungkin terjadi akibat nasionalisasi. Walau rezim Kassem
pada 1960 telah mencabut sebagian besar konsesi minyak IPC, tidak ada tindakan yang
diambil sampai 1972-1975, ketika nasionalisasi penuh diberlakukan.
Pada tahun 1970-an, Irak adalah produsen minyak nomor dua terbesar Arab, sesudah
Arab Saudi. Nasionalisasi yang dilakukan bertepatan dengan peningkatan besar pertama
pada harga minyak dunia. Dengan sektor minyak di bawah kepemilikan negara, saham
negara pada GDP meningkat menjadi 78 persen, pada 1978. Jika sektor minyak ini tidak
diperhitungkan, saham negara menjadi sekitar 23 persen.

19
Pada 1977, terdapat sekitar 400 perusahaan sektor publik, yang mempekerjakan
80.000 orang. Mereka menyerap sekitar 60 persen dari seluruh investasi industri dan
komersial. Total lapangan kerja di pemerintahan pada 1977 mencapai 410.000 atau hampir
separuh dari angkatan kerja terorganisasi Irak. Jika kepada pegawai negeri dan karyawan
sektor publik ini ditambahkan 130.000 anggota angkatan bersenjata, 120.000 pensiunan, dan
ribuan guru sekolah, jelas bahwa seperlima atau mungkin bahkan seperempat penduduk Irak
tergantung secara langsung pada pemerintah, untuk nafkah hidup dan peluang kehidupan di
masa depan.

Perang dan Dampaknya pada Ekonomi

Pada 1980, produksi minyak mencapai 3,4 juta barrel per hari, dan memberi
sumbangan sebesar 21 milyar dollar AS ke anggaran negara. Sayangnya, perang Iran-Irak
yang berkepanjangan (1980-1988), dan kemudian Perang Teluk melawan koalisi yang
dipimpin Amerika Serikat (1991), menghancurkan industri minyak Irak. Perang Iran-Irak
membebani ekonomi Irak dengan utang luar negeri sebesar lebih dari 40 milyar dollar AS.
Kerugian ekonomi akibat perang itu sendiri mencapai 100 milyar dollar AS, yang memaksa
pemerintah menerapkan kebijaksanaan pengencangan ikat pinggang.
Invasi Irak ke Kuwait tahun 1990, yang melahirkan Perang Teluk, terbukti
berdampak buruk bagi aktivitas ekonomi Irak. Sejak usainya Perang Teluk itu, Irak dikenai
embargo ekonomi dan militer oleh Dewan Keamanan PBB, lewat resolusi yang disponsori
Amerika Serikat. Kebijaksanaan pemerintah, untuk mengalihkan pendapatan negara ke para
pendukung kunci rezim, dan pada saat yang sama terus mempertahankan kekuatan
keamanan dalam negeri dan pasukan militer yang besar, semakin melemahkan keuangan
negara. Hal ini membuat rakyat Irak umumnya menderita kesulitan dalam kehidupan sehari-
hari.
Implementasi program PBB "minyak-untuk-pangan" pada Desember 1996, sempat
meningkatkan kondisi rata-rata warga Irak. Sejak 1999, Irak dibolehkan mengekspor
minyaknya sebanyak yang dibutuhkan, untuk membiayai kebutuhan kemanusiaan, termasuk
pangan, obat-obatan, dan suku cadang infrastruktur. Tetapi, 28 persen dari penghasilan

20
minyak itu harus diberikan untuk Dana Kompensasi PBB dan pengeluaran administratif
PBB lainnya.
Ekspor minyak berfluktuasi, karena rezim Baghdad kadang-kadang memulai atau
menyetop ekspor. Namun secara umum, ekspor minyak telah mencapai tiga-perempat dari
tingkatan ekspor minyak sebelum Perang Teluk. Sementara GNP dan standar kehidupan
rakyat tetap di bawah tingkatan sebelum Perang Teluk. Irak melakukan perdagangan minyak
diam-diam dengan negeri-negeri tetangga dan lewat Teluk Persia. Perdagangan ilegal ini
menghasilkan hampir 2 milyar dollar AS untuk rezim Irak pada tahun 2000. Merosotnya
GDP Irak pada 2001, sebagian besar disebabkan oleh melemahnya ekonomi global dan
jatuhnya harga minyak dunia.
Pada tahun 2003, Irak masih dikenai embargo ekonomi dan militer, dan hanya bisa
mengekspor minyak secara terbatas untuk memenuhi kebutuhan pokok. Meskipun memiliki
sumberdaya air dan tanah yang melimpah, Irak menjadi pengimpor pangan murni. Di bawah
program PBB, Irak mengimpor gandum, bahan pangan dari ternak, dan produk pangan
lainnya dalam jumlah besar.
Bagaimanapun juga kondisi ekonomi Irak, potensi minyak bumi dan gas alamnya
yang luar biasa, menjadikan Irak sangat menarik bagi kekuatan-kekuatan besar yang ingin
menguasainya. Irak diduga memiliki 220 milyar barrel cadangan minyak bumi, ditambah
110 trilyun kaki-kubik gas alam. Tak heran, jika siapa yang berkuasa di Baghdad menjadi
persoalan yang sangat penting bagi kekuatan-kekuatan besar ini. ***

Referensi:

Hirsch, E.D, Jr., Joseph F. Kett, dan James Trefil. 1993. The Dictionary of Cultural
Literacy. Boston: Houghton Mifflin Company.
Richards, Alan, dan John Waterbury. 1991. A Political Economy of the Middle East. Cairo:
The American University in Cairo Press.
Slugglet, Peter dan Marion Farouk-Sluglett. 1991. The Middle East: The Arab World and
It's Neighbours. London: Times Books.
--, 1995. The Non-Aligned Movement: Towards the Next Millennium. Volume II: The
Nations. Jakarta: PT. Bimantara Citra dan Media Indonesia.

21
Biodata Penulis:

* Satrio Arismunandar adalah anggota-pendiri Aliansi Jurnalis Independen atau AJI (1994), Sekjen AJI
(1995-97), anggota-pendiri Yayasan Jurnalis Independen (2000), dan menjadi DPP Serikat Buruh Sejahtera
Indonesia (SBSI) 1993-95. Pernah menjadi jurnalis Harian Pelita (1986-88), Kompas (1988-1995), Majalah
D&R (1997-2000), Harian Media Indonesia (2000-Maret 2001), Produser Eksekutif Divisi News Trans TV
(Februari 2002-Juli 2012), dan Redaktur Senior Majalah Aktual – www.aktual.co (sejak Juli 2013). Alumnus
Program S2 Pengkajian Ketahanan Nasional UI ini sempat jadi pengurus pusat AIPI (Asosiasi Ilmu Politik
Indonesia) 2002-2011.

Kontak Satrio Arismunandar:


E-mail: satrioarismunandar@yahoo.com; arismunandar.satrio@gmail.com
Blog pribadi: http://satrioarismunandar6.blogspot.com
Mobile: 081286299061

22

Anda mungkin juga menyukai