Anda di halaman 1dari 14

BAHAN PERKULIAHAN DARING FILSAFAT ILMU

Dosen Pengampu : H. Kuswari


Peserta perkuliahan : 1. Rombel A dan C smt II
2. Rombel A dsn C smt IV

PETUNJUK BELAJAR
1. Materi Perkuliahan untuk pertemuan sampai hari Jum’at tanggal 17 April 2020
2. Bahan perkuliahan terdiri dari Materi1 dan Materi 2
3. Disetiap akhir uraian materi, terdapat soal yang harus anda jawab, jawaban dikirim dalam
bentuk online di google classroom.
4. Menyusun makalah dengan sistematika di bagian akhir bahan perkuliahan ini, makalah
dikumpulkan secara of line ketika perkuliahan tatap muka di ruang kelas sudah bisa
dilaksanakan.

MATERI 1
TOPIK BAHASAN : PEMIKIR DAN ILMUWAN
SUB TOPIK BAHASAN : MAHASISWA SEBAGAI PEMIKIR DAN ILMUWAN
Kompetensi Standar : Mahasiswa memahami hakikat dirinya selaku pemikir dan ilmuwan
professional.

D. Kompetensi Dasar : Setelah menyelesaikan pembahasan topik ini, Anda diharapkan dapat:
a. menunjukan dalam skema proses berpikir dalam kerangka keilmu.
b. membedakan proses berpikir keilmuan dengan berpikir yang non keilmuan; • menjelaskan
beberapa ciri pemikiran keilmuan;
c. menjelaskan kelebihan dan kekurangan berpikir keilmuan.

Uraian MATERI

1. Berpikir dalam Kerangka Tugas Keilmuan.


Berpikir, secara filosofis, adalah sebuah tugas kemanusian dan tugas budaya yang makin
memperluas kesadaran (reasoning) manusia. Manusia, dengan berpikir, mampu mendongkrak
keterbatasan-keterbatasan kodrati manusia untuk melakukan penemuan-penemuan (invention)
serta karya-karya budaya dalam rangka memanusiakan diri dan lingkungannya menjadi pribadi
dan lingkungan yang manusiawi serta berbudaya. Berpikir, karena itu, bukan merupakan proses
kelana dalam berbagai hantu khayalan atau untuk mencari kepuasan yang sifatnya temporer.
Justru, berpikir merupakan proses yang mesti membuahkan pengetahuan, ilmu, “Spesialisme”,
teknologi, serta “Industrialisme”.

Bahkan, pada sisi tertentu, kemajuan pikiran telah memacu berkembangnya pengetahuan dengan
segala akan pinaknya, sebagaimana ditunjukkan di atas. Kenyatan itulah yang membuat ilmu,
“Spesialisme”, teknologi, dan “Industrialisme” dimaksud, telah menggejala luas dan makin
menguasai hidup manusia. Ilmu, pengetahuan dan teknologi seakan telah memberikan atribut
yang khas bagi manusia sebagai “manusia modern” yang hidupnya, seolah-olah, diabdikan
sepenuhnya untuk mengejar “kemajuan” dan “pertumbuhan” (progres). Mahasiswa bukan hanya
menghadapi pikirannya, tetapi mengolah, mengkritisi, dan menatanya sedemikian rupa dengan
pola penalaran yang logis maupun metode pemikiran yang khas untuk membangun dunia
keilmuannya yang khas.

Mahasiswa, dalam proses pembelajarannya di perguruan tinggi terarah sepernuhnya untuk


mengerjakan pikiran-pikiran keilmuannya, baik untuk kepentingan pengembangan ilmu secara
luas maupun untuk penerapan dalam memecahkan permasalahan kehidupan di dalam
lingkungannya.

Ilmu atau pengetahuan keilmuan mana, bukanlah pikiran yang statis dan final, karena pikiran
keilmuan itu sendiri segara akan memasuki sebuah dunia keilmua terus berkembang secara
multiplikatif. Umumnya, setiap perkembangan ide atau konsep merupakan berpikir itu sendiri.
Gerak pemikiran ini, dalam kegiatannya mempergunakan lambang yang merupakan abstraksi dari
obyek yang sedang dipikirkan. Bahasa adalah salah satu dari lambang tersebut yang berfungsi
menyatakan obyek-obyek tersebut dalam bentuk kata-kata. Hal yang sama juga dilakukan dalam
matematika. Kemampuan berpikir seorang bayi dimulai dengan belajar berbahasa (bahasa verbal)
kemudian dengan mengenal angka-angka (bahasa angka) yang dilanjutkan dengan belajar
berhitung. Proses berpikir itu kemudian dilakukan secara formal dalam bentuk pendidikan
prasekolah, Sekolah Dasar, dan sebagainya.

Gerak pemikiran tersebut, makin berkembang dengan adanya prestasi-prestai pemikiran yang
telah diarahkan serta diolah sedemikian rupa untuk menghasilkan teknologi yang makin menemui
puncak-puncak kejayaannya dalam bentuk teknoindustri, serta ”Industrialisme” yang mampu
memproduksi hasil-hasil, serta spesiespsesies pemikiran baru secara berlipat ganda. Meskipun
demikian, pikiran dan hal mengerjakan pikiran itu sendiri dengan segala turunannya yang
disebutkan di atas, kini, telah menjadi urusan banyak pihak dengan berbagai macam kepentingan,
baik yang bersifat luhur (positif), maupun buruk (negatif). Hal itu pun dilakukan dengan berbagai
macam media, baik berupa media teknologi informasi, teknologi genetika, bio-medis, maupun
teknologi persenjataan (hasil pemikiran itu sendiri), yang bukan hanya menguasai proses
pembelajaran secara formal, tetapi jauh lebih daripada itu, telah menguasai dan menggerogoti
otonomi berpikir, moralitas, serta hak-hak privat manusia, dan makin pula menimbulkan berbagai
arus kecemasan dalam diri dan kehidupan manusia, tanpa ketenangan.

Perkembangan arus keilmuan pun, makin menunjukkan sebuah perkembangan yang


beranekaragam, bercabang-cabang, dan bahkan, menjurus pada spesialisasi yang terpecah-belah.
Spesialisasi, yang di samping telah membawa keuntungan bagi pemecahan masalah-masalah
kemanusiaan dan dunia, akhirnya telah terjebak menjadi “Spesialisme”, dalam arti sikap
spesialisasi yang tertutup untuk kepentingan (egoisme dan keangkuhan) spesialisasi dan kaum
spesialis itu sendiri. Pasar spesialisasi telah menjadikan manusia itu sendiri sebagai obyek
transaksi, uji-coba, lahan garapan, dan bukan semata-mata untuk menyembuhkan manusia.

Intinya, pengetahuan atau ilmu, sebagai produk pikiran manusia, membantu manusia untuk
makin mengenal dan menemukan dirinya serta serta makin menghayati hidupnya dengan
sempurna. Berbagai ragam pemikiran telah dan akan terus dikembangkan untuk memecahkan
masalah-masalah kehidupan manusia yang terus berkembang. Ilmu merupakan salah satu dari
buah pemikiran manusia untuk kepentingan-kepentingan kemanusiaan. Justru itu, ilmu bukan
untuk ilmu (ilmu qua ilmu), tetapi untuk manusia dan kemanusiaan itu sendiri.

2. Ciri pemikiran keilmuan


Pemikiran keilmuan bukanlah suatu pemikiran biasa. Pemikiran keilmuan adalah pemikiran yang
sungguh-sungguh, suatu cara berpikir yang penuh kedisiplinan. Seorang pemikir ilmuwan tidak
akan membiarkan ide dan konsep yang sedang dipikirkannya berkelana tanpa arah, namun
semuanya itu akan diarahkannya pada suatu tujuan tertentu, yaitu pengetahuan. Jadi, berpikir
keilmuan, secara filosofis, adalah berpikir sungguh-sungguh, disiplin, metodis, dan terarah kepada
pengetahuan.
a. Berpikir sungguh-sungguh. Artinya, berpikir dalam kerangka keilmuan membutuhkan
keseriusan serta curahan pemikiran yang mendalam dengan totalitas penghayatan untuk
membedah suatu pemikiran sampai mendapatkan kejelasan, kepastian, ketepatan, dan
keajekan-keajekan pemikiran yang sungguh mendasar bagi sebuah bangunan keilmuan.
Berpikir sungguh-sungguh dalam arti yang demikian, mengandaikan pula bahwa pemikir
ilmuwan, tidak sekedar bermai-main dengan pikirannya untuk mencari popularitas,
tetapi sebaliknya menjadi teladan atau prototype kebenaran dari pemikiran keilmuan itu
sendiri.
b. Berpikir disiplin. Artinya, berpikir keilmuan membutuhkan sikap bathin yang kuat
(komitmen diri) dalam mengawal pengembangan pemikiran sampai pada
pembuktian-pembuktian kebenaran pemikiran keilmuan, tanpa berdusta, memanipulasi,
atau menyimpang dari prinsip-prinsip kebenaran pemikiran keilmuan demi kepentingan
yang tidak tertanggung jawab. Berpikir disiplin menunjukkan pula sikap ketaatan dan
kesetiaan pada garis atau ciri pemikiran yang ditekuni sampai membuahkan hasilnya
sebagai ilmu, meskipun hal itu bertentangan dengan kebiasaan diri atau lingkungan utuk
menunjukkan kebenaran-kebenaran baru yang perlu dipedomani dalam membedah
misteri kehidupan yang dihadapi.
c. Berpikir metodis. Artinya, setiap pemikiran keilmuan mesti diproses dan dihasilkan
dengan cara-cara kerja yang tertanggung jawab, baik dari sisi rasio maupun teknis
analisis, pengujian, dan pembuktiannya. Dengannya, dapat menjadi acuan bagi public
dalam rangka pengujian dan pengembangan ilmu tersebut.
d. Berpikir yang terarah pada pengetahuan. Artinya, berpikir keilmuan harus dirahkan
sedemikiran rupa untuk menghasilkan sistem pemikiran yang tersusun secara sistematis
dan menjadi kerangka – kerangka pemikiran dasar bagi sebuah bangunan keilmuan.

Berpikir keilmuan, secara filosofis, karenanya, hendak mengatasi kekeliruan dan kesesatan
pikir serta mempertahankan pemikiran yang benar terhadap kekuatan fantasi dan omong
kosong

3. Kelebihan dan kekurangan pemikiran keilmuan.


Ilmu dan anak kandungnya yang disebut spesialisasi, mesti dilihat dalam kelebihan dan
kekurangan manusia, sehingga ilmu dan spesialisasi tersebut tidak seolah-olah didewa-dewakan
(tanpa cacat), juga sebaliknya tidak diabaikan dengan berbagai alasan yang keliru. Kepicikan
semacam itu, merupakan cermin keterbatasan memahami hakikat kedalaman, keluasan, dan
jangkauan (keterbatasan) pemikiran itu sendiri. Filsafat hendak menunjukkan bahwa mereka yang
ingin mendapatkan kepuasan dari berpikir, harus menganggap berpikir sebagai sebuah nilai
(value) dan petualangan yang mengasikkan, bukan sebagai suatu beban atau kuk yang
memperbudak diri dan kemanusiaan itu sendiri.

Sejarah umat manusia menunjukkan bahwa kekuatan fisik manusia boleh lemah dan hancur
tetapi pikiran manusia tetap hidup dan menang karena pikiran, pada dirinya, memiliki nilai-nilai
keluhuran. Daya pemikiran manusia akan menemukan jalan keluar dari kekacauan, kejahatan, dan
perbudakan penderitaan. Selalu ada saja para pemikir dan peneliti yang mengembangkan warisan
pemikiran sebelumnya atau berusaha menemukan pemikiran-pemikiran baru yang lebih memadai
baginya. Seorang filsuf, Gilbert Highet mengatakan: “Perjalanan pikiran manusia yang penting
inilah, telah membawa manusia keluar dari kebiadaban ke arah peradaban dan kebijkasanaan,
dan akan lebih lanjut membawa kita ke sana”
Artinya, kelebihan pemikiran keilmuan adalah membantu manusia untuk menyingkap berbagai
misteri kehidupan secara luas dan mendalam. Pemikiran keilmuan sekaligus membantu manusia
untuk menangani dan menyiasati aneka realitas yang mendeterminasi kehidupannya, sehingga
menjadi realitas yang menunjang kemanusiaannya, dalam sebuah tugas peradaban. Pemikiran
keilmuan membantu menyingkap keluhuran manusia dalam menemukan jalan keluar dari
berbagai lingkaran kejagatan kebodohan dan kemiskinan.

Meskipun demikian, orang pun harus kritis dalam membangun pemikiran keilmuan, sehingga
tidak mendewa-dewakan pemikiran dan lupa bahwa ilmu adalah buatan manusia, bukan ciptaan
malaikat. Ilmu, sebagai buatan manusia, tidak dapat menyelesaikan segala hal karema tidak
semua masalah kehidupan dapat dipecahkan dengan ilmu. Ilmu mengandung
pengandaian-pengandaian yang juga terbatas, baik dari sisi jangkauan pemikiran ilmuwan
maupun dari sisi keterbatasan metodenya atau kelengkapan keilmuannya.

Sumber :
1. The Liang Gie, 1996, Filsafat Ilmu, Liberty, Yogyakarta.
2. Keraf Gorys, 1992, Argumentasi dan Narasi, Gramedia, Jakarta, hal. 2-7
3. Watloly, A. Tanggung Jawab Pengetahuan, Kanisius, Yogyakarta, 2001.
4. ---------------; Memandang Pikiran dan Ilmu serta Cara mengerjakannya (belum diterbitkan).

EVALUASI :
1. bedakan proses berpikir keilmuan dengan berpikir yang non keilmuan dalam bentuk skema;
2. jelaskan beberapa ciri pemikiran keilmuan;
3. jelaskan kelebihan dan kekurangan berpikir keilmuan.
MATERI 2

TOPIK BAHASAN : HAKIKAT FILSAFAT DALAM PENGEMBANGAN ILMU


SUB TOPIK BAHASAN : Memahami Hakikat Filsafat dalam Tugas keilmuan
Standar Kompetensi : Mahasiswa memahami hakikat filsafat
Kompetensi Dasar : Setelah mempelahari topik ini, Anda diharapkan dapat:
a. menjelaskan arti filsafat secara filosofis;
b. membedakan pandangan filosofis tertentu dalam membedah arti filsafat;
c. menunjukkan dua penyebab dasar perbedaan pemikiran di antara filsuf tentang arti filsafat;
d. menyimpulkan makna perbedaan pemikiran filosofis tentang arti filsafat dalam tugas keilmuan;

Uraian MATERI

I. Memahami Arti filsafat Secara Filosofis


Inti filsafat adalah berpikir, dan berpikir adalah sebuah tindakan manusia yang bersifat
eksistensial, utuh dan menyejarah. Meskipun demikian, usaha mendekati arti filsafat secara
filsafati (filosofis), bukan sekedar mengandaikan sebuah pengertian yang langsung dan lurus.
Sekurang-kurangnya, terdapat sebuah peta pemahaman yang luas dan berliku-liku di dalam upaya
memahami arti filsafat itu sendiri secara filosofis.
Filsuf rasionalis akan mendekati arti filsafat itu dari sudut rasio. Menurut mereka, filsafat adalah
sebuah proses berpikir rasional, baik dalam rangka mengembangkan pemikiran-pemikiran yang
bersifat spekulatif (teoretis) maupun praktis teknologis (praktis). Filsuf spekulatif, di sisi lain,
memandang filsafat sebagai upaya spekulatif untuk menyajikan suatu pandangan sistematis dan
lengkap tentang seluruh realitas. Filsuf naturalis, di sisi lain, akan meletakkan sudut pandang
filosofisnya pada alam untuk menjelaskan fenomena-fenomena (gejala) dan fakta alam (cosmos)
dari aspek keberadaan (eksistensi) fenomena tersebut. Filsuf bahasa akan menjelaskan arti filsafat
dari sisi analisis kebahasaan untuk mencapai kejelasan makna kata dan konsep-konsepnya. Para
mistikus dan Futurolog (peramal) akan menunjuk pada arti filsafat sebagai kemampuan membaca
logika alam atau tanda-tanda untuk menentukan atau meramalkan arah kecenderungan hari esok.
Filsuf kritis akan memandang filsafat sebagai sebuah penyelidikan kritis atas realitas atau
pengandaian-pengandaian dan pernyataan – pernyataan yang diajukan oleh berbagai bidang
pengetahuan. Filsuf idealis, sebaliknya, akan mengartikan filsafat sebagai hal yang ideal yang
terlepas dari yang real (nyata).

Demikianlah, dalam sepanjang sejarah peradaban manusia dan perkembangan filsafat sepanjang
zaman, telah bermunculan beraneka definisi mengenai filsafat. Jelasnya, bila kita hendak
memperlajari filsafat, ada dua hal yang patut diperhatikan; pertama, filsafat sebagai metode, dan
kedua, filsafat sebagai suatu pandangan.

Penganut paham pertama, hanya membatasi arti filsafat sebagai kemampuan untuk memperoleh
pengertian tentang pengalaman hidup yang diletakkan pada kemampuan teknis-aplikatif untuk
mewujudkan pengetahuan tersebut dalam praktik kehidupan yang nyata. Kecenderungan
tersebut telah menimbulkan kesulitan yang telah menjerumuskan filsuf dalam kedudukan sebagai
“orang pintar” yang hanya dihubungkan dengan “orang trampil” dalam menjalankan hidup secara
praktistemporer. Paham seperti ini muncul kuat di lingkungan para Sofis (para relativis
klasik/kuno) yang minatnya hanya diarakhan kepada penyelesaian masalah-masalah sesaat
(insidental). Para Sofis tidak akan mempedulikan apakah kepintaran atau pengetahuannya itu
bertahan dalam diskusi-diskusi kritis yang mendalam atau bertahan dalam ujian dan zaman yang
terus berkembang dengan kategorti-kategori kebenaran serta kepastian yang luas dan utuh.
Mereka hanya berpuas diri dengan cara membangun perbedaan ide untuk mencapai kepentingan
atau kenikmatan sesaat. Sikap para Sofis itulah yang diserang oleh Socrates dengan memasukkan
dimensi kritik moral di dalam manunjukkan arti dan hakikat filsafat itu sendiri.

Kenyataan itu pula yang kemudian diserang lagi oleh Plato (mantan siswa Socrates) di dalam
dialog-dialognya.

Penganut paham kedua, sebaliknya menunjuk bahwa filsafat itu sendiri merupajan sebuah
pandangan yang luas tentang kehidupan yang sifatnya total dan menyeluruh tentang kehidupan.
Filsafat menunjuk, buka sekedar pada sebuah kebijaksanan teknis operaif, tetapi kebijaksanaan
atau kearifan sebagai upaya penjelajahan yang luas mendalam, dalam rangka menggumuli segala
realitas serta menyingkap berbagai daya misteri. Bagi mereka, filsafat bukan sekedar sebuah
pikiran sebatas ide, tetapi upaya manusia dengan rasio untuk memahami, menyelami,
mendalami, menerangi, dan menembusi dasar–dasar terakhir segala hal, sejauh dijangkau oleh
pikiran manusia.

II. Pandangan Para Filsuf Tentang Arti dan Hakikat Filsafat


Menurut tradisi Yunani kuno, istilah Philosophia digunakan pertama kali oleh Pythagoras. Ketika
dijaukan pertanyaan apakah ia seorang yang bijaksana, dengan rendah hati Pythagoras menjawab
bahwa ia hanyalah philosopher, yakni orang yang mencintai pengetahuan, akan tetapi kebenaran
kisah itu sangat di ragukan karena pribadi maupun kegiatan Phytagoras telah bercampur dengan
berbagai legenda. Lepas dari semuanya, Phytagoras mengemukakan bahwa manusia dapat dibagi
ke dalam tiga tipe, yaitu; pertama, mereka yang mencintai kesenangan, kedua; mereka yang
mencintai kegiatan, dan ketiga; mereka yang mencintai kebijaksanaan.

Sejak masa Scrotes dan Plato, istilah phylosophia sudah cukup populer dalam pengertian lain.
Ketika itu, Socrates lebih mengartikan filsafat sebagai konstruksi (bangunan) moral dalam
hubungan dengan kebenaran dan kepastian hidup. Plato, di sisi lain, mengartikan filsafat sebagai
interpretasi atau evaluasi terhadap apa yang penting atau yang berarti bagi hidup, dan
mengarahkannya untuk mencapai ide-ide abadi. Aristoteles, bahkan menunjukkan kedudukan arti
filsafat secara lebih mendasar. Ia, seterusnya berusaha membangun arti filsafat itu sendiri pada
konteks kebenaran-kebenaran sosial yang berhubungan dengan pertautan antara pengetahuan
dan kehidupan nyata. Ada pula pihak lain yang beranggapan bahwa filsafat adalah cara atau seni
berfikir yang kompleks, suatu pandangan atau teori yang tidak memiliki kegunaan praktis. Justru
itu, mungkin adalah baik bila, sebelum kita menarik kesimpulan tentang arti filsafat, sebaiknya
kita melihat sekilas pendapat beberapa filsuf terkemuka mengenai pengertian filsafat.
1. Plato :
Plato adalah filsuf pertama yang memiliki sebuah pandangan teoretis yang lebih luas dan
lengkap tentang filsafat. Plato memiliki berbagai gagasan tentang filsafat. Plato antara lain,
mengatakan bahwa filsafat adalah ilmu pengetahuan yang berusaha meraih kebenaran yang
asli dan murni. Filsafat, karena itu, berusaha menemukan kenyataan-kenyataan atau
kebenarankebenaran asli, murni, dan mutlak. Plato, mengatakan juga bahwa filsafat adalah
penyelidikan tetang sebab dan azas yang paling akhir dari segala sesuatu yang ada. Ia
menjelaskan bahwa filsafat atau kebijaksanaan sejati adalah pengetahuan mengenai
“hakikat” (arrete) dari sesuatu yang diperoleh melalui kontemplasi, bukan melalui aksi.
Akibatnya, kaum Platonian (pengikut fanatik Plato) telah menyamakan filsafat sebagai
pengetahuan tentang “pengertian” saja. Praktisnya, urusan filsafat di sini hanya usaha
mencari kebenaran hakiki, tanpa usaha mempraktikkan kebenaran tersebut dalam
kehidupan nyata.

Plato adalah filsuf pertama yang mulai menggunakan pendekatan rasionalistik di dalam
mengemukakan gagasan-gagasannya tentang filsafat. Baginya, hakikat filsafat itu, bukan
terletak pada kenyataan atau penampakan lahirian yang terbatas, tetapi pada keluhuruan ide
yang bersifat mendasar dan absolut. Kejelasan filsafat adalah pada rasio, karena rasio lah
yang mampu menunjukkan letak kejelasan dan ketepatan suatu pemikiran, bukan pada
dorongan-dorongan sensasi bendawi atau inderawi.

“Rasionalisme” Plato, akhirnya, berkembang menjadi “Idealisme”, yaitu, pengabstraksian


konsep pada tataran ide. Baginya, kebenaran filosofis bukan pada penampakan-penampakan
tetapi pada idenya yang lengkap.

Menurut Plato, ada beberapa hal yang merupakan sifat kebijaksanaan filosofis, yaitu:

pertama; kebijaksaanan atau pengetahuan filosofis harus tahan menghadapi ujian kritis.
Konsekueninya, semua jenis pengetahuan atau kebijaksanaan yang belum diuji sampai
dasarnya, harus ditolak alias “omong kosong” , palsu, dan “asal bunyi” (asbun).

kedua; motode yang digunakan adalah dialektik, di mana filsafat berkembang dengan
pendapat atau pengendaian-pengandaian yang diuji secara kritis, diragukan sampai pada
kesimpulan atau pemikiran yang tidak dapat diragukan atau disangsikan lagi. Pendeknya, bagi
filsafat, tidak ada sesuatu pun yang diandaikan tanpa pertanggungjawaban akal.

ketiga; filsafat harus menerobos masuk sampai kepada “kenyataan sejati”, yaitu kenyataan
essensi atau hakikat ideal dari realitas. Kenyataan sejati adalah kodrat terdalam dari realitas,
yaitu ide di balik relitas (bukan sekedar realitas yang tampak). Aspek yang tampak itu akan
bergonta-ganti dan hilang (sifat sementar), sedangkan ide itu selalu bersifat tetap (abadi).
Melalui sistem ide, filsafat akan tetap hidup (aktif) yang berusaha menggugat dan
mempertanyakan secara radikal sampai mencapai kenyataan, sebab, atau prinsip-prinsip
tertinggi dan universal dari kenyataan.

Plato, dalam hal ini, berada pada posisi selaku idealis-universal. “Idealisme” Plato, akhirnya
terjebak sendiri di dalam sikapnya yang ambivalen. Alasannya, di satu sisi ia mengatakan ada
kebenaran melalui dialog kritik, tetapi di sisi lain ia mengatakan bahwa hal ini ada di luar
pengetahuan, sehingga ia jatuh dalam intuisi lansung.

2. Aristoteles.
Murid Plato ini mengatakan bahwa filsafat adalah ilmu pengetahuan yang senantiasa berupaya
mencari prinsip dan penyebab utama (causa prima) dari realitas yang ada. Ia pun mengatakan
bahwa filsafat adalah pengetahuan yang berupaya mempelajari “ada” ( being asteing ) atau
peri ada sebagaimana adanya ( being such ). Aristoles adalah filsuf besar 21 yang berjasa
dalam mewariskan sejumlah pemikiran dan karya filsafat besar. Beberapa karya filsafatnya,
antara lain; Metafisika, Logika, Etika dan Estetika. Ia merumuskan hakikat filsafat sebagai
berikut:
• pertama; hakikat filsafat berhubungan langsung dengan ada sebagai “pengada” atau “ada”
sebagai sebab dan prinsip pertama dari kenyataan tertinggi. Aristoteles, dalam hal ini, berada
pada posisi selaku seorang realis, atau penganut aliran realisme (kenyataan).
• kedua; filsafat harus berurusan dengan upaya membangun (aksi) hidup kekinian, bukan
sekedar berenung atau berkontemplasi.
• ketiga; filsafat harus mendorong pada aksi-praksis, bukan sekedar penalaran spekulatif,
tetapi harus mendorong pada pengalaman dan pengamalan.

3. Rene Descartes :
Descartes adalah seorang filsuf Prancis yang memelopori lahirnya sejarah filsafat modern
dengan mengembangkan aliran filsafat ”Rasionalisme”. Descartes, dengan
“Rasionalisme”-nya, hendak menegaskan sebuah pendirian filosofis bahwa inti dari filsafat
itu adalah rasio itu sendiri. Rasio atau pikiran, bagi Descartes, merupakan dasar bagi segala
klaim (tuntutan) kebenaran, kesahihan (keabsahan), ketepatan (validitas), dan obyektifitas
filsafat itu sendiri. Konsekuensinya, segala klaim filosofis yang berada di luar tatanan rasio,
harus disangkal kebenarannya dan patut ditolak keberadaannya sebagai kepalsuan, sesat
pikir, kebohongan, dan perasaan subyektif yang menyesatkan.

Descartes termasur dengan argumennya: je pense, donc je suis atau yang dalam bahasa Latin
“ cogito ergosum “ (aku berfikir maka aku ada). Dalil tersebut menunjukkan sebuah klaim
keberadaan manusia dari sisi rasio, sebagai satu-satunya subyek pengada yang meng-ada-kan
manusia. Descartes mengajarkan bahwa filsafat selalu berhubungan dengan
kategori-kategori pemikiran rasional dalam menuntun manusia untuk menentukan dan
memperjuangkan kebenaran-kebenaran yang bersifat “jelas dan terpilah” (clear and distinct)
di dalam hidupnya. Melalu ketegori-ketegori pemikiran rasional dimaksud, manusia akan
dituntun keluar dari godaan-godaan pemikiran yang bersifat emosional atau dorongan
perasaan yang membuat manusia tidak dewasa atau matang di dalam mengambil keputusan
intelektual. Hukum, karena itu, harus mendasari diri pada logika-logika rasional, bukan pada
etika atau perasaan semata. “Rasionalisme” Rene Descartes, meskipun sangat membantu
dalam meletakkan prinsip-prinsip kebenaran yang universal, misalnya di dalam hukum dan
sebuah proses yuridis, namun dengan demikian, telah mencabut hakikat hukum itu sendiri
dari intinya, yaitu manusia dan kemanusiaan itu sendiri. Logika hukum pun, akhirnya,
mengabdi pada logika-logika tautologis (kebahasaan) semata, bukan pada etika dan moralitas
kemanusiaan itu sendiri (bd. aliran Logika Positivisme).
Uraian di atas menunjukkan secara tegas bahwah filsafat merupakan kegiatan berfikir
manusia yang berusaha mencapai kebijakan atau kearifan. Kearifan merupakan buah pikir
yang dihasilkan filsafat dari usah mencari hubungan antara 22 pengetahuan dan impilikasinya
(baik yang tersurat maupun yang tersirat). Filsafat berusaha merangkum dan membuat garis
besar dari masalah dan peristiwa pelik dari pengalaman umat manusia. Filsafat, dengan kata
lain, bukan saja berusaha menemukan pikiran (tesis), kontra pikiran atau pikiran tandingan
(antitesis), tetapi juga sampai kepada bagaimana merangkum pikiran-pikiran (sintetis), baik
yang sejalan maupun yang bertabrakan untuk menyiasati pokok yang ditelaahanya.

II. Memahami Perbedaan Pendapat di kalangan Filsuf Tentang Arti Filsafat


Inti filsafat adalah usaha manusia dengan pikiran, pengetahuan, maupun nilai atau cita rasa
kemanusiaannya untuk mencari serta mendapatkan dasar-dasar pertanggunjawaban pikiran
tentang realitas yang sesungguhnya. Baginya, realitas (penampakan fisik, pandangan, teori
keilmuan, norma adat, tradisi, ideologi, ajaran) atau keyakinan apa pun, harus dipahami secara
luas (ekstensif), utuh (eksistensial), mendalam (intensif), dan hakiki (essensial). Inti filsafat itulah
yang mampu membimbing orang guna mendapatkan sebuah pertanggungjawaban yang kuat
mendasar tentang realitas dimaksud, sehingga tuntutan (claim) kebenaran, obyektivitas, validitas,
dan kesahihan-nya pun akan mampu bertahan dalam menghadapi ujian kritis tanntangan zaman.
Para filsuf, berusaha mencari dan mengungkapkan hal dimaksud dalam rangka menolong
tugas-tugas kemanusiaan bersama, agar dengannya manusia memperoleh pegangan di dalam
upaya membangun hidupnya.

Uraian sebelum pembahasan ini, secara gamblang menunjukkan betapa terdapat perbedaan
pemikiran di kalangan para filsuf tentang arti dan hakikat filsafat itu sendiri. Kenyataan tersebut,
sekurang-kurangnya, disebabkan oleh dua hal yang menjadi titik perbedaan, yaitu perbedaan
sudut pandang dan perbedaan minat akademis.

Pertama, perbedaan sudut pangdang (ponit of view). Maksudnya, setiap filsuf, pada dirinya
memiliki sudut pandang atau cara pandang yang berbeda (yang merupakan spesifikasi dirinya) di
dalam memahami sebuah realitas, teristimewa di dalam memahami filsafat itu sendiri. Plato,
sebagai pencetak aliran pemikiran “Idealisme”, telah menjadikan ide (pikiran atau gagasan)
sebagai basis pemikiran filsafatnya dalam membangun klaim-klaim kebenaran, kesahihan,
validitas, dan obyektifitas filosofis. Konsekuensinya, klaim-kalim lain di luar ide, ditolak sebagai
kepalsuan dan kesesatan berpikir. Plato cenderung meletakkan atau membangun pemikiran dari
sistim ide atau gagasan-gagasan di balik kenyataan yang dihadapi, bukan pada aspek penampakan
atau kenyataan fisik yang dihadapi. Alasannya, hanya dunia ide itulah yang menjamin adanya
kebenaran, obyektivitas, validitas, dan kesahihan sebuah kenyataan. Menurut Plato, hal-hal yang
tidak dibawah dalam dunia ide muda diragukan, serta mudah hilang dan rusak tanpa bekas, hanya
ide lah yang bersifat luhur kekal dan tak berubah.

Rene Descartes, sebagai pendiri aliran pemikiran “Rasionalisme”, telah menjadikan rasio sebagai
sudut pandang dan basis pemikiran filosofisnya dalam membangun klaim-klaim kebenaran
filosofisnya. Menurutnya, hanya rasio lah yang mampu menjamin terwujudnya klaim-klaim
kebenaran filosofis, lepas dari selera atau kehendak subyektif dan emosionalitas yang buta. Sudut
pandang rasio akan mampu memberi arah dan pedoman pemikiran yang jelas dan tegas, karena
rasio selalu bersikap kritis untuk mencari kebenaran–kebenaran yang murni dan obyektif. Filsuf
Realis, misalnya Aristoleles, sebaliknya meletakkan sudut pandang filosofisnya pada hal-hal yang
nyata dan bersentuhan dengan pengalaman manusia secara langsung, bukan ide-ide yang abstrak.
Filsuf Pragmatis, misalnya John Dewey, dengan aliran pemikiran “Pragmatisme”-nya, justru akan
meletakkan pandangan filosofisnya pada kenyataan makna atau kegunaan (pragma) yang
mendasari segala sesuatu. Akibatnya, bagi mereka, hanya sesuatu yang berguna atau bermakna
itulah yang benar, obyektif, valid, maupun sah, selain dari itu tidak. Filsuf materialis, misalnya
Marksisme Ortodoks dengan aliran “Materilisme”-nya justru melihat materi (kenyataan fisik)
sebagai jaminan kebenaran, obyektifitas, validitas, dan kesahihan. Bagi mereka, hanya materi
sajalah yang menjadi dasar pembuktikan bahwa hal itu benar, obyektif, valid atau tepat, dan sah
untuk diakui atau diyakini, selain itu tidak. Filsuf empirs, misalnya, John Locke, David Hume, dan
sebaginya, akan meletakkan sudut pandang pemikirannya pada aspek pengalaman (empiris)
sebagai basis pengembangan pemikiran filsafatnya. Hal yang sama juga berlaku bagi filsuf lainnya
dengan sudut pendekatannya yang khas.

Kedua; minat akademis. Selain perbedaan sudut pandang, setiap filsuf memiliki pula perbedan
minat akademis dalam mengartikan dan memaknakan filsafat dengan caranya yang berbeda.
Misalnya, seorang filsuf yang menaruh minat akademis pada ilmu –ilmu ekonomi akan
mengembangkan filsafat untuk kepentingan ilmu ekonomi. Filsafat, dalam hal ini, akan diartikan
sebagai upaya untuk memperluas dan mengembangkan kekuasaan ekonomi (produksi, konsumsi,
dan keuntungan). Demikian pula halnya dengan filsuf yang menaru minat akademis pada
ilmu-ilmu fisika yang akan mengartikan filsafat sebagai upaya pemikiran yang kritis (rasional)
untuk menjelaskan dan menangani gelaja-gejala fisik –alami, dari sisi hukum sebabakibat. Filsuf
yang menaru minat akademis pada ilmu teologi, sebaliknya akan mengartikan filsafat sebagai
upaya pemikiran yang kritis (rasional) untuk menjelaskan tentang hakikat Sang Supranatural
dalam penghadapanNya dengan manusia, dalam sebuah hukum ilahi. Perbedaan yang sama akan
dijumpai pula dalam berbagai penganut mina akademis lainnya.

Perbedaan minat akademis itulah yang akhirnya membawa kepada pembentukan ilmu secara
khusus serta berbagai aliran besar dalam sejarah pemikiran filsafat, dengan klaim-klaim (tuntutan)
kebenarannya yang bersifat sektoral, deterministik, dan partikularis atau terlepas pisah.
Akibatnya, muncul berbagai macam ilmu yang berbeda-beda dengan tuntutan (claim) kebenaran,
obyektivitas, dan validitas, atau kesahihan, baik terhadap baik obyek-obyek yang partikular
maupun yang sama.

Kenyataan di atas menunjukkan betapa sulitnya mengartikan filsafat secara filosofis. Alasannya,
para filsuf akan berfilsafat dengan perbedaan sudut pandang maupun minat akademisnya yang
berbeda-beda tentang filsafat itu sendiri. Kesulitan tersebut, kemudian makin menambah
kecemasan para filsuf untuk berusaha mencari sebuah cara pemecahan sederhana untuk dapat
mendekati pengertian filsafat secara filosofis. Phytagoras, seorang filsfus Yunani kuno, akhirnya
menenukan sebuah solusi dengan mendekati arti filsafat, bukan secara filosofis, tetapi secara
etimologis. Menurut Phyitagoras, istilah filsafat berasal dari kata Yunani Philosophia. Akar
katanya; Philos atau philia = cinta, persahabatan atau tertarik pada, dan Sophia berarti berarti
kebijaksanaan atau kearifan. Jadi, Phiolosophia, secara harafiah, artinya “cinta kebijaksanaan”
(lover of wisdom). Sudut pendekatan kebijaksanaan atau kearifan. Jadi, Phiolosophia, secara
harafiah, artinya “cinta kebijaksanaan” (lover of wisdom). Sudut pendekatan etimologis ini
menunjukkan bahwa sejak semula, yakni dari zaman Yunani Kuno, kata filsafat dipahami sebagai
cinta kearifan atau cinta kebijaksanaan. Meskipun demikian, cakupan pengertian sophia ini
ternyata begitu luas dan padat. Sophia, pada awalnya, tidak hanya berarti kearifan, melainkan
meliputi pula prinsip-prinsip kebenaran pertama, pengatahuan luas, kebajikan intelektual,
pertimbangan akal sehat sampai pada pengertian yang lebih bersifat teknologis, yaitu kepandaian
pengrajin, dan kecerdikan dalam memutuskan soal-soal praktis.

Inti persoalannya, mengapa filsafat itu tidak hanya berpusat pada sophia atau kearifan saja, tetapi
harus disertai dengan philos atau philia (cinta)? Mengapa filsafat harus bermain dengan api cinta?
Pertanyaan filosofis di atas, justru hendak membimbing kedalam sebuah pemaknaan filosofis
yang sifatnya hakiki dan mendalam tentang arti dan hakikat filsafat itu sendiri.

Bagi Phytagoras dan para filsuf (khusunya filsuf Yunani Kuno), nama filsafat itu sendiri
menunjukkan bahwa manusia tidak pernah secara sempurna memiliki pengertian yang sifatnya
total dan menyeluruh tentang kebijaksanaan atau kearifan yang menjadi inti hakiki dari arti filsafat
itu sendiri. Sophia atau kebijaksanaan (kearifan), bukanlah sebuah pemikiran atau pengetahuan
yang bersifat datar sebagai penjelasan-penjelasan diskriptif biasa. Sophia, bukan sekedar
informasi atau fakta yang jelas, lengkap, sempurna, dan selesai atau berakhir pada dirinya. Justru,
Sophia (kebijkasanaan atau kearifan) itu merupakan sebuah upaya penjelajahan dalam
menggumuli segala realitas serta menyingkap berbagai daya misteri. Tujuannya, bukan sekedar
untuk menunjukkan sebuah pikiran sebatas ide, tetapi lebih daripada itu, berusaha memahami,
menyelami, mendalami, menerangi, dan menembusi dasar–dasar terakhir segala hal, secara
khusus, tentang eksistensi, dasar, serta tujuan manusia.

Sophia, karenanya, merupakan sebuah hutan luas yang penuh daya misteri. Begitu luas Sophia itu,
sehingga tidak mampun dijangkau oleh pikiran manusia yang biasa. Manusia, untuk itu, perlu
dibimbing oleh “api cinta” (philos atau philia), untuk mengejar, menjangkau, dan mewujudkan
sophia dimaksud. Sophia atau kearifan itu sesungguhnya hanya dimiliki oleh Sang Tuhan dengan
pikiran atau pengetahuan nya yang tidak terbatas. Pythagoras, seorang filsuf klasik, membenarkan
hal itu dengan menjelaskan bahwa manusia bukanlah citra kepenuhan dari kearifan atau
kebijaksaan itu sendiri. Menurutnya, manusia harus selalu merendahkan diri di hadapan kearifan
dan kebijaksanaan itu sendiri sebagai seorang pencinta kearifan atau pencinta kebijaksanaan.
Manusia bukan pemilik mutlak dan “penguasa kearifan” tetapi “pencinta kearifan” atau “pencinta
kebijkasanaan” itu sendiri. Manusia adalah pencinta kearifan yang mencarinya dengan api cinta
yang terus membara, bukan berdasarkan kemauan atau keinginan biasa yang bersifat sementara.
Manusia (filsuf) bukanlah philosophos tetapi philosopher, artinya, orang yang mencintai hikmat.

Sebagai pencinta hikmat, filsuf selalu merasa terbakar oleh adanya api kerinduan atau api cinta
yang membara untuk terus mencari, mengejar, dan memperoleh hikmat atau kebijaksanaan
dimaksud. Tugas, keinginan, atau kerinduan mencari hikmat bukanlah tugas sesaat atau seketika
saja. Tugas mencari hikat atau kebijaksanaan adalah tugas abadi sebagai api kerinduan yang terus
mekar. Filafat merupakan sebuah “pengejaran abadi” untuk memperoleh kearifan yang tidak
pernah berakhir dalam hidup. Justru itu, meskipun ia terbatas, manusia selalu berusaha dengan
penuh kesabaran, kesetiaan, dan kerendahan hati untuk terus berguru mencari hikmat dan
mengabdi pada sang hikmat. Hal itu dilakukan di dalam setiap jalan hidupnya dengan segala
keterbatasan, keraguannya, kecemasan, kerinduan, dan pertapaan atau kontemplasinya yang
mendalam. Jelasnya, melalui proses itu, jadilah filsafat sebagai upaya manusia untuk memenuhi
hasratnya, demi kecintaannya akan hikmat atau kebijaksanaan yang “memekarkan diri” itu.

IV. Memahami berbagai latar pemikiran tentang Arti Filsafat dalam pengembangan, pikiran,
pengetahuan, dan Ilmu.

Berbagai latar perbedaan pemikiran filosofis tentang arti filsafat, pada dirinya, mengandung
berbagai tuntutan (claim kebenaran) dalam pengembangan pikiran, pengetahuan, dan ilmu.
Orang tentu memiliki perbedaan, sesuai pembatasan cudut pandang maupun minat akademisnya
yang berbeda dalam memahami setiap obyek pemikiran. Perbedaan mana, adalah sah dan
penting untuk melakukan pendalaman analisi, dan pembuktian-pembuktian dengan perangkat
metodologis maupun alat analisisnya yang khas untuk mengingkap hal-hal yang sifatnya detail
tentang hal dimaksud. Masing-masing tuntutan (claim) memiliki kebenaran dan keabsahan pada
dirinya masing-masing, sejauh diterima dan terbukti kebenarannya dalam bidang keahliannya.
Kenyataan tersebut menunjukkan hakikat kekayaan pemikiran, pengetahuan, dan ilmu dalam
mendekati hakikat realitas secara sempurna.

Kebenaran ilmu-ilmu empiris, seperti: biologi, fisika, atau geografi memiliki kedudukan yang sama
dengan kebenaran ilmu-ilmu normatif, seperti: ilmu hukum atau etika, juga hal yang sama dengan
ilmu-ilmu kerohanian, seperti: kebudayaan atau teologi. Orang, karena itu harus makin
mengembangkan keahlian dalam bidang keilmuannya dengan mempertajam daya eksplorasi dan
analisis, serta pembuktiannya atas setiap pemikiran atau obyek keilmuannya.

Konsekuensinya, orang harus terbuka terhadap kemajemukan kebenaran, dan tidak menutup diri
dengan memutlakkan klaim kebenarannya sendiri sebagai hal yang mutlak satu-satunya. Orang
harus bersedia untuk mengkomunikasikan setiap pemikirannya secara terbuka, baik dalam bentuk
ide, pengetahuan, atau ilmu agar dapat menyumbang bagi pengembangan alam pemikiran,
pengetahuan, dan ilmu secara lebih utuh dan lengkap.

Sumber :
Watloly, A., 2001; Tanggung Jawab Pengetahuan, Kanisius, Yogyakarta, hal 2-23.
-------------; Memandang Pikiran dan Ilmu serta Cara mengerjakannya (belum diterbitkan) hal 4-30.

EVALUASI
1. jelaskan arti filsafat secara filosofis;
2. tunjukkan perbedakan pandangan filosofis tertentu dalam membedah arti filsafat;
3. berikan dua penyebab dasar perbedaan pemikiran di antara filsuf tentang arti filsafat;
Sistematika Makalah
Matakuliah Filsafat Ilmu

Bab I. Pendahuluan
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Penulisan

Bab II. Pembahasan


A. Pengertian Filsafat
1. Ruang lingkup Filsafat
2. Komponen Filsafat
3. Objek Kajian Filsafat
B. Pengertian Ilmu
1. Cara mendapatkan Ilmu
2. Jenis-Jenis Ilmu
3. Kegunaan Ilmu

Bab III. Penutup


A. Kesimpulan
B. Saran

Anda mungkin juga menyukai