Anda di halaman 1dari 15

1

MODUL PERKULIAHAN
PENDIDIKAN AGAMA PROTESTAN

IMAN DAN ILMU

Abstract Kompetensi
Ilmu adalah hasil konkrit dari kodrat Mahasiswa mampu menjelaskan
manusia, sebagai makhluk yang pengertian ilmu dan latar belakangnya.
berfikir. Sering kali, pemikiran dan Menerapkan pemikiran akademis
keyakinan sistematik dalam menghayati iman

Fakultas Program Studi Tatap Muka Kode MK Disusun Oleh


MKCU PSIKOLOGI

02
U002100002 Lukman Medriavin Silalahi, A.Md., ST., MT ;
MKCU Parlindugan Hutabarat ; Solmeriana Sinaga,
M.Pd
IMAN DAN ILMU

Ilmu selalu menuntut pembuktian dan juga universalisasi, sementara iman menuntut
kepercayaan dan pengalaman hidup. Seorang pemikir kontemporer, Betrand Russel mengatakan,
“kepercayaan adalah kejahatan karena ia berarti menambahkan lebih banyak arti pada bukti
melebihi yang diperlukan. Kita seringkali menggunakan kepercayaan pada hal-hal yang meragukan,
belum pasti kebenarannya, atau paling tidak masih debatable statusnya. Kita tidak pernah
membicarakan kepercayaan pada tabel perkalian, misalnya. Maka, Iman adalah kejahatan, karena ia
berarti memercayai dalil ketika tidak ada alasan yang sahih untuk mempercayainya (Bertrand Russel,
dalam : “Bertuhan tanpa Agama”).”
Sebagai orang Kristen kita akan langsung mengambil ayatnya bahwa apa yang dikatakan
Russel itu tidak benar, “Memperoleh hikmat sungguh jauh melebihi memperoleh emas, dan mendapat
pengertian jauh lebih berharga dari pada mendapat perak (Amsal 16:16)”

2.1 Berfikir adan Kodrat Manusia

Apakah iman bertentangan dengan rasio atau akal budi, ataukah rasio adalah sesuatu yang
tidak bersangkut paut dengan iman? Pertanyaan ini pertanyaan klasik di dalam kekristenan, oleh
karena pertanyaan ini telah mempengaruhi agama Kristen selama berabad-abad lamanya. Dari
pertanyaan di atas muncul dua macam ekstrim yang berbeda, di mana ada yang memandang bahwa
orang Kristen harus menekankan iman sebagai satu-satunya pokok yang harus menjadi landasan
dalam kehidupan orang Kristen sehingga tidak menekankan rasio. Di lain pihak, ada yang menjadikan
rasio sebagai satu-satunya standar segala sesuatu, kalau tidak masuk akal maka itu bukan kebenaran,
seperti yang diungkapakan Immanuel Kant "gunakanlah rasiomu setinggi mungkin", bahkan Rene
Descartes berkata, "Cogito ergo sum, I think therefore I am. I am a thinking being", sehingga segala
sesuatu menjadi objek pikiran termasuk Allah, inilah pikiran era Rasionalisme.
Mahasiswa, bukan sekedar sebuah gelar intelektual, tetapi tanda keberadaan actual sebagai
pemikir sejati. Kesadaran diri dan pengembangan diri sebagai homo sapiens membuat para
mahasiswa bergerak dari sekedar sebuah "keberadaan kodrati" atau "keberadaan potensial" menjadi
"keberadaan aktual" sebagai pemikir sejati yang mampu menyumbang bagi pengembangan ilmu,
kebudayaan, dan kesejahteraan masyarakat. Melelui pengembangan diri sebagai pemikir sejati,
mahasiswa mampu menyumbang bagi pemenuhan keterbatasan kodratinya serta membudayakan diri
dan alam lingkungannya menjadi pribadi dan lingkungan yang bermartabat serta berbudaya. Pikiran
membuat mausia mampu melakukan transendensi diri sehingga mampu membebaskan diri dari
berbagai determinasi dan represi, baik yang bersifat alami, tradisi, provokasi, maupun "penyakit
peradaban" yang ingin membelenggu dan memperbudak manusia secara utuh dan sitematis.
Bagi seorang mahasiswa atau pemikir sejati, Homo Sapiens bukan sekedar sebuah tanda
keberadaan, tetapi tanda kekuatan dan kekuasaan (the Power). Bahkan, lebih daripada itu, bernilai

2021 PENDIDIKAN AGAMA PROTESTAN


2 TIM DOSEN AGAMA PROTESTAN
Biro Bahan Ajar eLearning dan MKCU
http://pbael.mercubuana.ac.id/
pada dirinya sebagai "tenaga budaya". Mahasiswa sebagai pemikir, hendak membuktikan bahwa
manusia, dengan pikirannya, bukan saja mampu mengetahui rahasia alam, tetapi mampu
menguasainya dan"menanganinya". Manusia, dengan pikirannya, sebagai "tenaga budaya" mampu
membangun berbagai sistem berpikir, sistem pengetahuan, dan sistem keilmuan yang mampu
menempatkannya sebagai aktor zaman. Manusia, dengan pikirannya, mampu membudayakan diri dan
alam lingkungannya menjadi manusia dan alam lingkungan yang berbudaya. Hanya manusia berpikir
lah yang mampu membangun sebuah "keberadaan" yang khas manusiawi bagi diri dan
lingkungannya.
Jadi, Homo sapiens adalah tanda kesadaran manusia akan otonomi dan kreatifitas dirinya
yang melahirkan kemampuan manusia untuk bernalar, mencerap, mengamati, mengingat,
membayangkan, menganalisis, memahami, merasa, membangkitkan emosi, menghendaki, melakukan
sintesis, abstraksi, serta mengadakan suatu perhitungan menuju ke masa depan. Homo sapiens
merupakan sebuah keberadaan aktif yang memungkinkan dunia obyektif direfleksikan dalam konsep,
putusan intelektual, serta memungkinkan manusia mengorganiser pikirannya darai taraf-taraf
hipoteisis (dugaan-dugaan sementara) menuju taraf pembuktian untuk menjadi teori, ilmu, teknologi,
industri, dan sebagainya, serta membuat manusia mampu memecahkan masalah-masalah kehidupan
secara efektif dan sitematis.
Sebagaimana diketahui, salah satu ciri fundamental manusia sebagai Homo sapiens ialah
"ingin tahu". Namun, suasana atau semangat "ingin tahu" itu sendiri akan menjadi beku dan mati
tanpa hasil budaya apa pun, bila tidak ada pikiran yang mampu membimbing manusia untuk
mengobati kerinduan "rasa ingin tahu" itu. Bahkan, kesadaran berpikir itu sendirilah yang telah
memunculkan "rasa ingin tahu" dimaksud sebagai tanda kesadaran (existencial consciousness) yang
khas bagi manusia. Pikiran mampu mengobati "rasa ingin tahu", sehingga manusia tidak digerogoti
atau terus dicemaskan oleh sebuah "keingintahuan" yang statis (kekanak-kanakan).
Pikiran mampu menangani "rasa ingin tahu" manusia sedemikian rupa sehingga manusia
mendapat sebuah titik pangkal kesadaran untuk makin melangkah menuju tahap kedewasaan dan
kematangan hidup. Manusia, melalui pikirannya, tidak hanya menterapi "rasa ingin tahu"-nya secara
psikologis, tetapi mampu menempatkannya pada sebuah realitas pembelajaran (diskursus) untuk
mengisi ruang keinginannya itu dengan kompetensi; pengetahuan, keilmuan, ketrampilan, etika,
moralitas, dan spiritualitas. Pikiran mampu menangani "rasa ingin tahu" manusia dan
menempatkannya sebagai "tenaga budaya" dalam melakukan berbagai karya budaya. Pikiran juga
mampu menangani "rasa ingin tahu" manusia dan menempatkanya sebagai "tenaga ilmu" dalam
mengerjakan berbagai karya keilmuan yang terus menyingkap misteri ketidaktahuan yang
mencemaskan menjadi alam penaklukkan yang mengasikkan.
Jelasnya, melalui pikiran, manusia mampu memahami dan "mengolah diri" sedemikian rupa
sehingga makin halus, makin peka, dan makin terbuka. Pikiran sebagai "tenaga budaya" membuat
manusia juga mampu berinspirasi, beraspirasi, dan bertransformasi secara aktual dan dinamis utuk

2021 PENDIDIKAN AGAMA PROTESTAN


3 TIM DOSEN AGAMA PROTESTAN
Biro Bahan Ajar eLearning dan MKCU
http://pbael.mercubuana.ac.id/
menciptakan perubahan dan kemajuan-kemajuan dalam hidup. Bahkan, dengan pikirannya, manusia
mampu mengembangkan pengertian dan pemahamannya secara sistematis dan terstruktur, baik
secara Verbalis (kata atau perkataan), Konotatif (pengertian atau pemahaman), dan Denotatif
(kewajiban etis) untuk memajukan kehidupannya.
Pikiran (bah. Inggris mind), menunjuk pada isi dan ruang kesadaran atau keinsyafan manusia.
Pikiran sebagai sebuah substansi rohani yang berupa daya rasional, membuat manusia mampu
memiliki kesadaran, kemampuan kritis, bernalar, berprakarsa, berkehendak, serta bertanggung jawab.
Pikiran, sebagai salah satu fenomena eksistensial manusia, menjiwai kehidupan dan perbuatan
manusia, serta mempersatukan manusia dengan dunia dan sesamanya dalam sebuah tatanan sosial
yang beradab. Pikiran, karenanya, bukan hanya merupakan sebuah hasil berpikir yang bersifat statis,
tetapi juga merupakan sebuah proses yang penuh dinamika perubahan dan perkembangan secara
terus-menerus. Orang, karena itu, sering membedakan pikiran berdasarkan dua sisinya, yaitu; sisi
materi dan sisi rohani (dinamika kesadaran). Bagi mereka yang memandang pikiran dari sisi materi,
pikiran adalah sebuah bentuk energi material yang sedang bergerak, sementara bagi mereka yang
memandang pikiran dari sisi rohani melihat pikiran sebagai aktivitas non material yang terus
mendorong aktivitas- aktivitas mental dalam rangka mengkritisi, memprediksi, dan mengambil
keputusan-keputusan intelektual.

2.2 Berfiki sebagai Kodrat Manusia


Dari kemampuan manusia untuk berfikir muncullah pengetahuan dan ilmu. Dua hal tersebut
adalah dua hal yang berbeda, meskipun ada hubungannya. Dengan mempelajari hakekat ilmu dan
pengetahuan, kita tidak akan terbenam dalam suatu ilmu yang spesifik sehingga makin menyempit
dan eksklusif tetapi juga membuka perspektif (wawasan) yang luas, sehingga kita dapat menghargai
ilmu-ilmu lain, dapat berkomunikasi dengan ilmu-ilmu lain secara interdisipliner. Demikian halnya
dengan ilmu agama yang akan kita kaji berikutnya.
Pengetahuan (knowladge) dalam filsafat ilmu biasanya dibedakan antara common sense dan
ilmu (science). Di sini, kita bisa merujuk pada apa yang ditulis oleh Ernest Nagel yang menunjukkan
perbedaan antara common sense dengan ilmu (science). Berikut ini adalah beberapa hal yang
menunjukkan perbedaan ilmu dengan common sense1:
Dalam common sense informasi tentang suatu fakta jarang disertai penjelasan tentang
mengapa dan bagaimana. Common sense cukuplah sebuah pengetahuan yang tidak terlalu perlu diuji
kecuali selain sebagai sebuah kenyataan. Kita tidak terlalu berkepentingan untuk mencari hubungan
sebab dan akibatnya. Sedangkan, science memerlukan uraian yang sistematik dan dapat dikontrol
dengan sejumlah fakta sehingga dapat dilakukan pengorganisasian dan pengklarifikasian berdasarkan
prinsip- prinsip atau dalil-dalil yang berlaku hingga dapat dikatakan sebagai sebuah ilmu.

1
BDK. Negel. Emest, The Strukture of Science(Camridge:Hacket Publishing Company, 1961), 1-14.

2021 PENDIDIKAN AGAMA PROTESTAN


4 TIM DOSEN AGAMA PROTESTAN
Biro Bahan Ajar eLearning dan MKCU
http://pbael.mercubuana.ac.id/
Penelitian ilmiah bertujuan untuk mendapatkan prinsip-prinsip yang mendasar dan berlaku
umum tentang suatu hal. Ilmu selalu disempurnakan dan diperbarui dengan kaidah-kaidah keilmiahan
yang berlaku dengan menggunakan teori ilmu yang sudah dihasilkan sebelumnya. Sedangkan
pengetahuan tidak membutuhkan penyempurnaan dari pengetahuan yang sebelumnya. Data-data
dalam pengetahuan bisa bersifat sangat subjektif karena adanya nuansa emosional orang yang
mengetahuinya.
Bahasa-bahasa yang digunakan dalam pengetahuan biasanya masih samar dan bisa berarti
ganda. Sedang ilmu pengetahuan merupakan konsep-konsep yang tajam yang harus dapat diverifikasi
secara empirik. Perbedaan yang mendasar terletak pada prosedurnya. Ilmu prosedur pengambilan
datanya menggunakan metode ilmiah. Sebagi contol ilmu-ilmu alam alam atau (sains) menggunakan
metode pengamatan, eksperimen, dan verifikasi. Sedangkan unrtuk pengetahuan, cara
mendapatkannya hanya melalui panca indera.
Ilmu pengetahuan, kerangka konseptual atau teori yang saling berkaitan yang memberi tempat
pengkajian dan pengujian secara kritis dengan metode ilmiah oleh ahli-ahli lain dalam bidang yang
sama dengan demikian bersifat sistematik, objektif, dan universal. Sedangkan pengetahuan
merupakan hasil pengamatan yang bersifat tetap, karena tidak memberikan tempat bagi pengkajian
dan pengujian secara kritis oleh orang lain, dengan demikian tidak bersifat sistematik dan tidak
objektif serta tidak universal. Namun, harus juga dicatat bahwa pengetahuan bisa menjadi ilmu sejauh
dibawa masuk dalam metode yang memenuhi kaidah-kaidah ilmiah.
Hal yang kemudian bisa dibahas di sini adalah kaidah apakah yang dituntut agar sebuah
pengetahuan dapat dikatakan sebagai sebuah ilmu sehingga disebut sebagai ilmiah. Setidaknya ada 3
ciri agar sebuah pengetahuan dapat disebut sebagai ilmu, yaitu sistematis, dapat
dipertanggungjawabkan, dan objektif.
Ilmu bersifat sistematis artinya memiliki sistem tertentu dan menguraikan serta menjelaskan
suatu hal berdasarkan sistem itu yang diakui ilmiah. Itulah teori. teori digunakan sebagai sarana untuk
menjelaskan gejala dalam kehidupan sehari-hari. Teori bersifat abstrak. Sehingga, sifatnya lebih
deduktif. Sistematisasi itu umumnya dilihat dalam beberapa tahapan, yaitu persepsi, observasi,
hipotesis, hukum, dan sampai pada teori.
Persepsi sehari-hari (bahasa sehari-hari) merupakan apa yang kita lihat dalam keseharian.
Hal-hal yang sifatnya keseharian yang berupa pengetahuan ini kemudian diobservasi agar dihasilkan
makna. Dari observasi ini akan dihasilkan konsep ilmiah.
Observasi adalah konsep ilmiah. Dalam observasi, harus ada fokus dan konsentrasi untuk
mengilmiahkannya. Oleh karena itulah di dalam observasi ini diperlukan definisi-definisi yang jelas
sebagai batasan pembahasan. Setelah berhasil membatasi istilah-istilah dalam definisi, beberapa
istilah yang menjadi variabel tersebut kemudian digabung sebagai proposisi. Proposisi yang masih
harus diuji kebenarannya disebut hipotesis. Contohnya begini, jumlah tayangan iklan berpengaruh

2021 PENDIDIKAN AGAMA PROTESTAN


5 TIM DOSEN AGAMA PROTESTAN
Biro Bahan Ajar eLearning dan MKCU
http://pbael.mercubuana.ac.id/
langsung pada tingkat konsumsi pemirsanya. Benar tidaknya proposisi ini masih harus diuji dan masih
merupakan hipotesa.
Jika hipotesa itu telah diuji kebenarannya secara deduktif (dari pernyataan umum ke
pengamatan- pengamatan yang khusus), barulah bisa disebut sebagai sebuah hukum kebenaran yang
ilmiah. Keseluruhan hukum yang berhasil dibuktikan kebenarannya dan tidak bertentangan satu sama
lain serta dapat menjelaskan suatu fenomena barulah disebut sebagai teori. Sampai di sini, suatu ilmu
yang sistematik sudah tercapai. Contoh yang paling banyak ditolak tapi harus dipakai (setidaknya
untuk sementara ini, termasuk yang menertawakannya) adalah teori evolusi.
Kita lihat misalnya bagaimana teori evolusi juga digunakan dalam bidang komunikasi.
Contohnya adalah pembahasan tentang asal-usul bahasa dalam buku Ilmu Komunikasi karangan
profesor Deddy Mulyana.2 Di sana diuraikan bahwa bahasa manusia berevolusi dari sejak munculnya
homosapiens dari sampai sekarang. Di bidang psikologi, teori evolusi juga banyak yang
menggunakannya. Misalnya, kita bisa membaca dari buku why men don't listen and women can't read
maps karangan Allan & Barbara Pease.3 Dari sana juga diuraikan bahwa manusia secara psikologis,
termasuk juga dalam cara komunikasinya sangat dipengaruhi oleh latar belakang evolusinya. Banyak
hal bisa dijelaskan dengan teori evolusi ini.
Ilmu yang ilmiah itu bersifat mandiri atau milik orang banyak (intersubjektif). Dengan kata
lain, tidak bolehlah sebuah ilmu diklaim hanya berhak digunakan oleh sekelompok orang dari bidang
tertentu.Apapun hasil dan teorinya, terbuka untuk dikaji dalam berbagai bidang ilmu untuk tujuan
bidang masing-masing. Dalam contoh tentang teori di atas, teori evolusi terbuka secara objektif untuk
dikaji dalam berbagai bidang ilmu lebih lanjut.
Demikianlah perbedaan antara ilmu dengan pengetahuan sebagai kommon sense. Ilmu itu
kemudian diterapkan dalam tekhnik. Sedangkan pengetahuan yang lebih luas dan mencakup ilmu,
bisa diekspresikan dalam seni dan kebudayaan. Dalam berbagai bentuk inilah agama akhirnya
bersinggungan.
2.3 Hubungan Sinkronisasi antara Iman dan Akal
2.3.1 Rasio/ Akal
Merupakan suatu kesulitan pada saat iman dengan akal disatukan, akan tetapi ini merupakan
suatu tanggung jawab kekristenan, yaitu bagaimanakah iman dan akal dapat disinkronisasikan?
Tujuannya, supaya iman kekristenan tidak rontok oleh perkembangan ilmu pengetahuan, demikian
juga oleh kaum intelektual Kristen akan dapat memposisikan sains dalam naungan iman Kristen.
Seorang filsuf yang hidup pada abab 17-18, Immanuel Kant, membagi rasio ke dalam tiga
bagian yaitu:
1. Akal : murni, yaitu akal yang mempelajari, menganalisa, menguraikan sesuatu hal yang bersifat
materi, yaitu segala sesuatu yang masuk akal.

2
Deddy Mulyana, Ilmu Komunikasi: Sebuah Pengantar ( Bandung: Rosdakarya ,2010), 263.
3
Allan & Barbara Pease, Why
2021 PENDIDIKAN AGAMA PROTESTAN
6 TIM DOSEN AGAMA PROTESTAN
Biro Bahan Ajar eLearning dan MKCU
http://pbael.mercubuana.ac.id/
2. Akal praktis, adalah bagian yang menyangkut masalah etika yang tidak bisa diuraikan oleh
akal, seperti bagaimanakah manusia harus bermoral, bagaimana manusia harus berkehendak?
Pada aspek ini adalah aspek yang tidak bisa diuraikan dengan akal murni.
3. Akal kritis, yaitu bagian mengenai segala sesuatu di luar diri manusia, seperti bagaimana
keberadaan Allah itu? Pada aspek ini juga tidak bisa diuraikan dengan akal mumi. Menurut
Immanuel Kant, yang paling rendah nilainya adalah akal mumi, di mana hanya bisa
menguraikan hal-hal yang ada di bawah manusia, hal• hal yang masuk akal. Etika, atau
perilaku manusia, tidak bisa diuraikan dalam laboratorium atau dianalisis dengan akal
mumi, apalagi tentang hal-hal yang transenden yang berada di luar manusia yaitu Allah.
Sejalan dengan pemikiran Imanuel Kant tersebut, Rasul Paulus berkata bahwa, "Sebab di
dalamnya nyata kebenaran Allah, yang bertolak dari iman dan memimpin kepada iman, seperti
ada tertulis: orang benar akan hidup oleh iman" (Roma 1:17). Di sini nyata, bahwa orang
percaya akan hidup oleh iman yang memimpin kepada kebenaran Allah yaitu Injil dan
imanlah yang menjadi dasar berpijak yaitu keyakinan kepada kebenaran Allah, sehingga iman
adalah hal yang penting dalam sebuah keyakinan.
2.3.2 Peranan akal
Rasio hanya dapat menerima hal-hal yang bisa dilogikakan, sehingga di luar akal maka
tidak bisa lagi diterima oleh karena tidak masuk akal, dan itu bukan berarti bahwa hal-hal yang tidak
masuk akal tidak ada. Ini semua karena ketidakmampuan akal untuk bisa mengerti segala
sesuatu, seperti Allah ada, lalu di manakah peranan akal? Segala sesuatu yang dapat dimengerti,
dianalisis, dan dibuktikan oleh akal pikiran manusia, disebut "science" (istilah Inggris). Istilah sains
berasal dari bahasa latin, yaitu "Scio", yang berarti I Know, {saya tahu}. Jadi segala sesuatu
yang saya tahu, yang bisa diuraikan dengan akal saya, maka itu disebut "Science" dalam bahasa
Indonesia adalah "sains'. Science inilah yang kemudian disistemkan sehingga disebut sebagai ilrnu
pengetahuan, seperti: biologi, geologi, antropologi, dll. Hampir semua bidang keilrnuan diakhiri
dengan kata "logi",yang berasal dari kata "logos"yang artinya ilmu.
Akal adalah salah satu substansi dari diri manusia, karena manusia adalah makluk yang dapat
berpikir, berkehendak, dan berperasaan. Aspek rasio ini adalah suatu pemberian Tuhan yang luar
biasa kepada manusia untuk kemuliaan Tuhan semata. Itulah sebabnya Firman Tuhan berkata,
"Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan
segenap akal budimu. Itulah hukum yang pertarna dan terutama" (Mat. 22:37,38). Dengan apa yang
dikatakan Tuhan Yesus di atas, rnaka prinsipnya adalah bahwa salah satu cara memuliakan Allah
adalah rnernaksimalkan rasio atau akal budi yang telah diberikan Allah bagi kita, untuk mau
rnengerti wahyu Allah.
Rasio adalah aspek dari pribadi manusia yang hanya bisa memahami hal-hal yang ada di
bawah manusia dan manusia itu sendiri. Tetapi ketika berhadapan dengan Allah, maka rasio tidak
akan mungkin menguraikannya. Akal seperti ini adalah "akal murni" bagi Immanuel Kant, rasiolah

2021 PENDIDIKAN AGAMA PROTESTAN


7 TIM DOSEN AGAMA PROTESTAN
Biro Bahan Ajar eLearning dan MKCU
http://pbael.mercubuana.ac.id/
yang paling rendah nilainya. Ketika seseorang mendewakan rasio, maka dia sebenarnya berada di
dalam kekeliruan yang luar biasa, sebab rasio bukanlah standar dalam menemukan kebenaran.
2.3.3 Pengetahuan Manusia Ortodoksi Kitab Suci
Ada dua sumber pengetahuan kita – pengalaman, eksperimen dan kepercayaan. Dalam
pengenalan realita ada tahapan. Tahap awal ialah pengalaman melalui indra. Kita mengalami terang
dan gelap, panas dan dingin, kita melihat benda – pohon, binatang, tanah, langit, kita mencium,
mendengar. Kesan ini diolah oleh otak kita dan membentuk konsep realitas, benda dan peristiwa. Ini
proses generalisasi dan abstraksi, sehingga kita tahu.
Sumber lain pengetahuan kita adalah kepercayaan. Tidak mungkin saya mengetahui segala
sesuatu, maka saya terima pengetahuan orang lain. Saya terima, karena saya percaya, bahwa orang ini
tahu dan mau menyampaikan kebenaran, orang ini dapat dipercaya (kredibilitas). Ilmu pada umumnya
berpangkal dari fakta, yang dianalisis dan dibandingkan, guna menyusun generalisasi berbentuk dalil.
Berarti sains memakai metode induktif.
Hal ini berbeda dengan agama. Agama berpangkal pada Kitab Suci, yaitu wahyu ilahi. Kitab
Suci kebanyakan bersifat normatif, lalu metode, yang dipergunakan dalam agama bersifat deduktif.
Karena kodrat Tuhan melebihi akal-budi manusia, Tuhan menyatakan kodratNya kepada manusia
melalui wahyu. Selain itu, Tuhan mewahyukan aturan yang seharusnya berlaku antara manusia dan
manusia dan antara manusia dan Tuhan, antara Tuhan dan semesta alam. Bukan hanya kodrat Allah
melampauiakal-budi manusia, tetapi cara kerja-Nya juga melampaui. Karena tidak terdapat komparasi
sepadan (tertium comparationis) serta kemampuan ungkapan manusia terbatas, seringkali harus
dipergunakan analogi, metafora, gambar, puisi dsb.

Metode Induksi: Generalisasi (Dalil Deduksi


Alam)

Tujuan mengenal alam raya mengenal Tuhan, mengenal kehendak Tuhan


dalam relasi dengan Tuhan dan di antara
manusia (perintah)

Bahasa yang Eksak deskripsi: analogi, metafora, alegori, gambar,


digunakan puisi

Sumber wahyu agama kristen adalah Alkitab. Bagian pertama (Perjanjian Lama) Alkitab
diambil alih dari Agama Yahudi. Bagian yang khas Agama kristiani, adalah bagian terakhir, yang
sering disebut Perjanjian Baru. Alkitab ditulis oleh banyak orang dan banyak waktu. Namun
demikian, kita percaya semua pengarang menulisnya di bawah pengaruh wahyu ilahi. Alkitab adalah
buku rohani, bukan buku pengetahuan!

2021 PENDIDIKAN AGAMA PROTESTAN


8 TIM DOSEN AGAMA PROTESTAN
Biro Bahan Ajar eLearning dan MKCU
http://pbael.mercubuana.ac.id/
2.3.4 Sains dan Kristianisme
Seperti sudah saya ungkapkan di atas, agak sulit sebenarnya mencari kesatuan sikap antara
menerima ilmu sepenuhnya atau agama. Ada juga yang berusaha untuk mencampurkannya begitu
saja. Dalam hal ini kita akan terlebih dahulu melihat refleksi gereja katolik dalam ajaran sosialnya
baru kemudian akan kita lihat refleksi sitematis iman Kristen dengan ilmu.
Pertama-tama, harus diketahui bahwa Gereja memiliki banyak dokumen berkaitan dengan
ilmu. Dokumen-dokumen tersebut juga dalam kompendium ASG. Maka, saya kira cukuplah untuk
mengutip beberapa kutipan yang diperlukan untuk memberikan penjelasan sederhana berkaitan
dengan ilmu dan pengetahuan. Ajaran sosial Gereja ini memang banyak membahas tentang moralitas
Gereja berkaitan dengan realitas sosial. Namun demikian, di dalamnya diuraikan dengan sangat baik,
bahwa realitas sosial itu tidak bisa dipisahkan dari lingkungan dan ilmu ilmiahnya.
Dalam awal-awal penjelasan kompendium, dijelaskan begini:
Perspektif ini bermuara pada sebuah pendekatan yang benar terhadap hal-hal duniawi beserta
otonominya, yang secara kuat ditekankan oleh ajaran Konsili Vatikan II: “Bila yang kita
maksudkan dengan ‘otonomi hal-hal duniawi’ ialah bahwa makhluk ciptaan dan masyarakat
itu sendiri memiliki hukum-hukum serta nilai-nilainya sendiri yang mesti disingkapkan secara
bertahap, dimanfaatkan dan dikelola manusia, maka memang sangat pantaslah menuntut
otonomi itu. Dan hal itu ... selaras juga dengan kehendak Sang Pencipta. Sebab berdasarkan
kenyataannya sebagai ciptaan segala sesuatu dikaruniai kemandirian, kebenaran dan
kebaikannya sendiri, lagi pula menganut hukum-hukum dan mempunyai tata susunannya
sendiri. Dan manusia wajib menghormati itu semua, dengan mengakui metode-metode yang
khas bagi setiap ilmu pengetahuan dan bidang teknik.” (art. 45).
Kata otonomi menjadi kata kunci untuk memahami ilmu dan pengetahuan. Artinya, ilmu dan
pengetahuan manusia memiliki kekhasan yang tidak serta merta diintervensi oleh dogma-dogma
religius. Dengan demikian, ada pengakuan dan penghormatan yang sangat khusus terhadap ilmu
dariGereja, bahkan untuk hal-hal yang sepertinya bertentangan dengan Kitab Suci. Di sana diakui juga
bahwa pengetahuan manusia bersifat sangat bertahap. Jadi, tidak serta-merta atau dalam waktu yang
singkat manusia bisa memahami diri dan lingkungannya secara utuh. Butuh proses yang panjang.
Dalam studi tentang Kitab Suci, pengetahuan yang bertahap ini juga berpengaruh pada apa yang
ditulis dalam Kitab Suci. Seandainya Kitab Suci ditulis mulai dari tahun 2000an Masehi, mungkin
bahasa dan keakiratannya akan berbeda.
Hal kedua yang bisa kita pahami adalah apa yang tertulis di sini,
“Ajaran sosial Gereja membuka dirinya untuk menerima segala macam sumbangsih dari
semua cabang ilmu pengetahuan, apa pun sumbernya, dan memiliki sebuah matra lintas-ilmu
yang penting. “Agar satu-satunya kebenaran tentang manusia semakin nyata dikonkretkan
dalam peristiwa-peristiwa sosial, ekonomi dan politik yang memang bermacam ragam dan
tiada hentinya berubah, maka ajaran sosial itu menjalin dialog dengan pelbagai ilmu
pengetahuan tentang manusia. (art. 76).
Di sini dikatakan bahwa kajian lintas ilmu, khususnya ilmu sosial sangat diperlukan untuk
mengkonkretkan ajaran Gereja di hadapan kenyataan masyarakat. Dalam penjelasan berikutnya,
tampak bahwa ilmu-imu yang diperlukan untuk membangun magisterium Gereja adalah ilmu pada
umumnya, bukan hanya humaniora.

2021 PENDIDIKAN AGAMA PROTESTAN


9 TIM DOSEN AGAMA PROTESTAN
Biro Bahan Ajar eLearning dan MKCU
http://pbael.mercubuana.ac.id/
Berkenaan dengan hal ini, Magisterium telah berulang kali menekankan bahwa Gereja
Katolik sama sekali tidak menentang kemajuan, tetapi sebaliknya ia menganggap “ilmu
pengetahuan dan teknologi merupakan hasil yang menakjubkan dari kreativitas manusia yang
dianugerahkan oleh Allah, karena keduanya telah menyediakan bagi kita aneka rupa peluang
yang mencengangkan, dan kita semua dengan penuh terima kasih memperoleh manfaat dari
keduanya”. (art. 456).

2.3.5 Refleksi Kristen


Setiap orang Kristen seharusnya berani mengambil sikap tegas menguji segala sesuatu,
apalagi menyangkut ajaran iman atau perilaku yang diklaim benar. Kemudian, bertindak berdasarkan
hasil pengujian merupakan kewajiban bagi semua orang Kristen. Perhatikanlah nasihat rasul Paulus,
“Ujilah segala sesuatu dan peganglah yang baik” (1 Tesalonika 5:21). Rasa takut untuk menguji
segala sesuatu yang datang dengan memakai jubah Kekristenan dan mengatasnamakan Roh Kudus,
tidaklah menunjukkan spiritualitas yang tinggi tetapi justru menunjukkan kelemahan. Mudah tertipu
tidak sama dengan spiritualitas (kerohanian). Seseorang berdosa tidak hanya karena menolak
kebenaran sejati, tetapi juga karena menerima yang palsu. Karena itu penolakan penggunaan rasio
untuk menguji kebenaran bukanlah bentuk spritualitas yang tinggi.
Satu pelajaran penting dalam kitab Amsal yang tidak boleh diabaikan adalah bahwa kita harus
menggunakan pikiran (rasio) kita untuk memahami dan melakukan apapun. Perhatikan ayat-ayat
berikut: “Baiklah orang bijak mendengar dan menambah ilmu dan baiklah orang yang berpengertian
memperoleh bahan pertimbangan -- untuk mengerti amsal dan ibarat, perkataan dan teka-teki orang
bijak” (Amsal 1:5-6). “Permulaan hikmat ialah: perolehlah hikmat dan dengan segala yang kau
peroleh perolehlah pengertian” (Amsal 4:7). “Hati orang berpengertian mencari pengetahuan, tetapi
mulut orang bebal sibuk dengan kebodohan” (Amsal 15:14). Ini berarti bahwa kita perlu melatih
pikiran dan mengembangkannya. Sebagai orang Kristen, kita memiliki kesempatan dan keharusan
menggunakan pikiran dan penalaran kita untuk melayani Tuhan. Kita perlu mendisiplin pikiran kita
seperti halnya para atlit melakukan latihan. Kita harus menjaga pikiran kita dan melatihnya sehingga
tetap baik, tajam dan sehat untuk digunakan. Karena itu kita perlu memperhatikan nasihat yang
mengatakan “Apakah orang yang mempunyai hikmat menjawab dengan pengetahuan kosong, dan
mengisi pikirannya dengan angin?” (Ayub 15:2).
Pemazmur mengingatkan kita “Ajarlah kami menghitung hari-hari kami sedemikian, hingga
kami beroleh hati yang bijaksana” (Mamur 90:12). Pada saat seseorang menjadi cukup dewasa untuk
menyadari betapa singkatnya hidup ini, maka ia mulai sadar betapa berharganya seandainya ia telah
belajar lebih awal untuk menjadi bijaksana dalam kehidupan. Paulus menasihati, “Karena itu,
perhatikanlah dengan saksama, bagaimana kamu hidup, janganlah seperti orang bebal, tetapi seperti
orang arif, dan pergunakanlah waktu yang ada, karena hari-hari ini adalah jahat. Sebab itu janganlah
kamu bodoh, tetapi usahakanlah supaya kamu mengerti kehendak Tuhan” (Amsal 5:15-17).
Pertanyaan penting untuk dipertimbangkan adalah “Mengapa kita perlu melatih pikiran dan
mengembangkan kapasitas berpikir kita? Apa manfaatnya bagi keyakinan dan kehidupan kita?”

2021 PENDIDIKAN AGAMA PROTESTAN


10 TIM DOSEN AGAMA PROTESTAN
Biro Bahan Ajar eLearning dan MKCU
http://pbael.mercubuana.ac.id/
Menjawab pertanyaan tersebut, saya memberikan lima alasan untuk penggunaan pikiran kita,
yaitu:
1. Kapasitas berpikir kita merupakan bagian dari gambar Allah di dalam diri kita. Alkitab
menyatakan bahwa Allah adalah Pencipta segala sesuatu. Alkitab menyatakan “Hanya
Engkau adalah TUHAN! Engkau telah menjadikan langit, ya langit segala langit dengan
segala bala tentaranya, dan bumi dengan segala yang ada di atasnya, dan laut dengan segala
yang ada di dalamnya. Engkau memberi hidup kepada semuanya itu dan bala tentara langit
sujud menyembah kepada-Mu” (Nehemia 9:6; Bandingkan Kejadian 1). Tujuan penciptaan
untuk kemuliaanNya (Roma 11:36; Kolose 1:16). Saat Tuhan menciptakan, semua yang
diciptakannya itu baik dan sempurna (Kejadian 1:12,18,21,25,31). Manusia pun diciptakan
oleh Allah. Manusia pada waktu diciptakan sempurna tanpa cacat atau cela sedikitpun dalam
seluruh keberadaannya. Manusia adalah mahluk ciptaan yang berpribadi. Manusia adalah
mahluk mulia yang luar biasa, dikaruniakan hikmat dan kuasa atas seluruh ciptaan kerena Ia
adalah “gambar” dan “rupa” Allah (Kejadian 1:26). Tidak heran jika Pemazmur dalam
kekagumannya berkata, “Apakah manusia, sehingga Engkau mengingatnya? Apakah anak
manusia sehingga Engkau mengindahkannya?” (Mazmur 8:5; 144:3; Bandingkan Ayub
7:17,18). Kata “gambar” diterjemahkan dari kata Ibrani “tselem” yang berarti gambar yang
dihias, suatu bentuk dan figur yang representatif yaitu suatu gambar dalam pengertian yang
konkret atau nyata. Kata “rupa” dalam bahasa Ibrani adalah “demuth” yang mengacu pada
arti kesamaan tapi lebih bersifat abstrak atau ideal. Jadi, menyatakan bahwa manusia adalah
gambar dan rupa Allah berarti menjelaskan bahwa manusia dalam hal tertentu merupakan
refleksi yang nyata dari Allah yang hidup, yang cerdas dan bermoral. Jadi kita melihat bahwa
rasionalitas manusia menggambarkan rasionalitas Pencipta. Penggunaan pikiran atau akal
budi kita merupakan tindakan yang memuliakan Allah. Matius 22:37 mencatat, Jawab Yesus
kepadanya: "Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu
dan dengan segenap akal budimu”. Kata Yunani untuk “akal budi” disini adalah “nous” yang
berarti “rasio atau pikiran”.
2. Kepercayaan kita, yaitu iman Kristen adalah iman yang dipikirkan. Iman Kristen bukanlah
tidak masuk akal. Tidak satupun yang irasional dari kepercayaan yang diwariskan kepada
kita. Iman selalu melibatkan unsur-unsur pengetahuan (fakta-fakta), ketaatan (kebenaran) dan
tindakan kehendak (percaya). Kita mendengar, memproses, dan merespon Tuhan (firman)
dengan menggunakan pikiran kita. Ketika seseorang mengambil keputusan untuk menjadi
Kristen, tidaklah berarti ia menjadi tidak logis. Sebagai orang Kristen justru kita seharusnya
logis dalam pemikiran, menaruh perhatian dengan berpegang pada kebenaran yang sungguh-
sungguh dan bukan yang salah, terutama mengenai Tuhan dan apa yang dikatakanNya di
dalam Alkitab.5 Kecerobohan yang disebabkan oleh suatu pemikiran yang tidak logis
tidaklah merefleksikan kerohanian, tetapi merupakan sesuatu yang bertentangan dengan

2021 PENDIDIKAN AGAMA PROTESTAN


11 TIM DOSEN AGAMA PROTESTAN
Biro Bahan Ajar eLearning dan MKCU
http://pbael.mercubuana.ac.id/
kerohanian itu. Justru orang-orang Kristen yang irasional dan tidak logis menyatakan
kurangnya rasa kasih kepada Allah, dasar dari segala pemikiran dan kelogisan.
3. Rasio kita adalah sahabat iman kita. Iman dan rasio saling berhubungan, keduanya tidaklah
bertentangan dan tidak dapat dipisahkan. Perhatikan contoh berikut dalam Ibrani 11:17-19,
“Karena iman maka Abraham, tatkala ia dicobai, mempersembahkan Ishak. Ia, yang telah
menerima janji itu, rela mempersembahkan anaknya yang tunggal, walaupun kepadanya
telah dikatakan: "Keturunan yang berasal dari Ishaklah yang akan disebut keturunanmu.
Karena ia berpikir, bahwa Allah berkuasa membangkitkan orang-orang sekalipun dari antara
orang mati. Dan dari sana ia seakan-akan telah menerimanya kembali. Perhatikanlah frase
“Karena iman maka Abraham...” dalam ayat 17, dan frase “karena ia berpikir...” dalam ayat
19. Disini kita melihat keselarasan antara iman dan berpikir yang tidak kontradiktif dalam
diri Abraham. Pikiran yang benar tentang Allah, mengantarkan Abraham melakukan
tindakan-tindakan iman. Dan kita tahu bahwa Abraham mendapat predikat sebagai “bapa
orang beriman” dan “sahabat Allah” (Galatia 3:7,9; Yakobus 2:23). Karena itu, berkaitan
dengan iman dan akal ini, saya setuju dengan apa yang dikatakan Peter Kreeft, & Ronald K.
Tacell, “Akal budi itu berkaitan dengan kebenaran; melaluinya kita dapat mengenal
kebenaran: memahaminya, menemukannya, atau membuktikannya. Iman juga berkaitan
dengan kebenaran; melaluinya seseorang dapat menemukan kebenaran... iman dan akal itu
berperan menjadi jalan menuju kebenaran”.
4. Pikiran kita berperan penting dalam menentukan apa yang benar. Manusia merasa dan
berpikir, karena Allah merancangnya demikian. Perasaan atau emosi kita diekspresikan
dalam sukacita, kemarahan, penyesalan, dan perasaan-perasaan lainnya. Emosi merupakan
sesuatu yang baik, kita marah terhadap kejahatan, kita sedih terhadap kemiskinan dan
penderitaan, serta lain sebagainya. Tetapi, emosi harus tetap dijaga dalam konteks dan
ekspresi yang benar. Yang harus diingat, emosi tidak dapat menentukan kebenaran atau
memutuskan kebenaran dari kesalahan. Merasa baik misalnya, tidak mengindikasikan bahwa
sesuatu itu benar, dan merasa buruk tidak mengindikasikan kesalahannya. Emosi adalah
bagian dari jiwa yang menghargai dan merespon kepada hidup. Menghargai emosi untuk
mengidentifikasi kebenaran adalah seperti meminta telinga kita untuk mencium sebuah
bunga. Telinga itu tidak dapat melakukannya karena telinga tidak diciptakan untuk mencium.
Emosi tidak memiliki muatan dan informasi dimana kita dapat mengevaluasi kebenaran atau
kesalahan. Kapasitas pikiran kitalah yang melakukan fungsi ini.
Kekristenan yang benar mengajarkan kita untuk tidak membuat keputusan atau mengambil
tindakan berdasarkan perasaan. Mengambil keputusan dan bertindak berdasarkan bagaimana
kita merasa bisa membawa kepada bahaya, karena emosi tidak dapat mengenali benar atau
salah lebih daripada kemampuan pikiran untuk mengenalinya. Emosi memang
mempengaruhi pikiran, tetapi seharusnya tidak menjadi faktor penentu. Ketika kebenaran

2021 PENDIDIKAN AGAMA PROTESTAN


12 TIM DOSEN AGAMA PROTESTAN
Biro Bahan Ajar eLearning dan MKCU
http://pbael.mercubuana.ac.id/
dan kesalahan diidentifikasi, perasaan dapat dan harus menemani keputusan. Orang Kristen
harus mengikuti teladan Yesus dan juga rasul Paulus yang menggunakan emosi mereka
dengan baik dengan menaruhnya pada tempatnya. Kemampuan atau kapasitas pikiran kita
harus digunakan untuk membuat keputusan-keputusan mengenai kebenaran dan moral.
Pikiran yang terlatih dalam firman Allah memimpin kita dalam jalan Allah “FirmanMu itu
pelita bagi kakiku dan terang bagi jalanku” (Mazmur 119:105). Lukas mencatat, bagaimana
pikiran murid-murid yang telah dicerahkan dapat mengerti Kitab Suci, “Ia berkata kepada
mereka: ‘Inilah perkataan-Ku, yang telah Kukatakan kepadamu ketika Aku masih bersama-
sama dengan kamu, yakni bahwa harus digenapi semua yang ada tertulis tentang Aku dalam
kitab Taurat Musa dan kitab nabi-nabi dan kitab Mazmur.’ Lalu Ia membuka pikiran mereka,
sehingga mereka mengerti Kitab Suci” (Lukas 24:44-45).
5. Rasio tidak bertentangan dengan Kebenaran sejati. Thomas Aquinas menyatakan,
sebagaimana yang dikutip oleh Peter Kreeft, & Ronald K. Tacell, “mustahil kebenaran itu
dipertentangkan dengan prinsip-prinsip yang dapat diketahui atau dikenal oleh akal pikiran
manusia”. Apabila akal digunakan secara benar, pastilah tidak bertentangan dengan
kebenaran. Filsuf Kristen, Arthur F. Holmes menyatakan, “segala kebenaran adalah
kebenaran Allah, dimanapun ia ditemukan”. Selanjutnya Holmes menyatakan, “Jika Allah
adalah Pencipta yang kekal dan yang maha bijaksana dari segala sesuatu, sebagaimana
ditegaskan oleh orang Kristen, maka hikmatNya yang kreatif itu merupakan sumber dan
norma semua kebenaran mengenai segala sesuatu. Dan karena Allah dan hikmatNya
senantiasa tidak berubah, maka kebenaran itu tidak berubah dan bersifat universal”. Dengan
demikian, apabila ada pernyataan kebenaran yang dianggap keliru dan bertentangan dengan
akal, sedangkan kita mengetahui bahwa kebenaran itu tidak bertentangan dengan akal, maka
hanya ada dua kemungkinan, yaitu: (1) pernyataan itu bukan kebenaran; atau (2) pikiran kita
yang keliru atau salah memahaminya. Sekali lagi, Arthur F. Holmes menyatakan, “kebenaran
itu tidak relatif, tapi absolut, artinya tidak berubah dan universal”. Karena akal tidak
bertentangan dengan kebenaran, maka belasan abad yang lalu Augustinus menggunakan
kebenaran-kebenaran logika dan matematika seperti A = A atau 2 + 2 = 4 untuk
menunjukkan satu Kebenaran universal dan yang tidak berubah, dan menjelaskan bahwa
kebenaran-kebenaran yang lebih rendah itu didasarkan kepada Kebenaran yang lebih tinggi,
yang ia identifikasikan sebagai Allah.

Penutup
Iman dan akal budi adalah aspek yang tidak bertentangan, oleh karena iman adalah
suatu keyakinan terhadap sesuatu yang tidak bisa dijangkau oleh rasio (irrasional). Dan akal
budi adalah suatu bagian dari manusia yang diciptakan Tuhan untuk meneliti, menguraikan,

2021 PENDIDIKAN AGAMA PROTESTAN


13 TIM DOSEN AGAMA PROTESTAN
Biro Bahan Ajar eLearning dan MKCU
http://pbael.mercubuana.ac.id/
menganalisa segala sesuatu yang bisa dilogikakan. Sehingga pada saat akal berhadapan dengan yang
bersifat metafisik, maka itu bukan berarti tidak ada, atau bukan kebenaran. Seperti Allah yang tidak
mungkin dimengerti oleh rasio karena rasio terbatas adanya. Disinilah kelemahan sains karena hanya
bersifaf hipotesa, asumsi belaka. Oleh karena kebenaran-kebenaran yang dirumuskan dalam sains
adalah berisi elemen presaposisi-presaposisi atau asumsi, sehingga tidak ada kemutlakan pada sains.
Iman kekristenan adalah iman rasional, bukan iman yang tidak beralasan atau iman
buta- buta, tetapi iman yang didasarkan pada wahyu Allah yang merupakan sumber kebenaran
(Alkitab). Sebab segala sesuatu yang dijelaskan oleh Alkitab adalah suatu kebenaran mutlak, yang
tidak mungkin dibantah oleh pikiran-pikiran manusia atau sains itu sendiri. Alkitab bukan hanya
berisi tentang etika, yaitu bagiamana harus bermoral, bersikap, tetapi juga buku ilmiah yang lebih
tinggi dari hasil penelitian para ilmuwan kaliber dunia. Ini terbukti dengan apa yang dikatakan Alkitab
tentang penciptaan dunia, di mana hasil dari penelitian sains yang benar, betul- betul mendukung
kebenaran Alkitab. Dan akhimya, "Sebab segala sesuatu adalah dari Dia, dan oleh Dia, dan
kepada Dia: Bagi Dialah kemuliaan sampai selama-lamanya!" (Rm. 11:36).

2021 PENDIDIKAN AGAMA PROTESTAN


14 TIM DOSEN AGAMA PROTESTAN
Biro Bahan Ajar eLearning dan MKCU
http://pbael.mercubuana.ac.id/
Daftar Pustaka

Alkitab Perjanjian Lama Dan Baru, Lembaga Alkitab Indonesia Kompendium Ajaran Sosial
Gereja
Yance Z. Rumahuru, ‘Agama sebagai Fondasi Perkembangan Masyarakat dan Perubahan
Sosial: Studi
Kasus Orang Hatuhaha di Negeri Pelauw Maluku Tengah’ (2013) HARMONI Vol. 12 (1),
144. Frans Magnis Suseno, SJ, Etika Dasar Masalah-Masalah Pokok Filsafat Moral,
Kanisius Artikel
Hermanto Suanglangi, Iman Kristen dan Akal Budi, Jurnal Jaffray: Jurnal Teologi dan Studi
Pastoral diambil dari https://media.neliti.com/media/publications/104198-iman
kristen-dan-akal-budi- 430d86d8.pdf
Pdt. Samuel T. Gunawan, SE M.Th, Apakah Iman Dan Akal Itu Kontras, diambil dari
http://artikel.sabda.org/apakah_iman_dan_akal_itu_kontras

2021 PENDIDIKAN AGAMA PROTESTAN


15 TIM DOSEN AGAMA PROTESTAN
Biro Bahan Ajar eLearning dan MKCU
http://pbael.mercubuana.ac.id/

Anda mungkin juga menyukai