Anda di halaman 1dari 8

MAKALAH

Dimensi Di susun guna untuk melengkapi tugas perkembangan peserta didik

Disusun oleh:

BUDI SOFIYANSYAH : 2011721082

M. SA’RONI : 2011721078

INSTITUT TEKNOLOGI DAN SAINS NAHDLATUN


ULAMA PASURUAN

S 1 PRODI BIOLOGI
Puji syukur kepada tuhan yang maha esa sehingga kami dapat menyelesaikn makalah
tentang dimensi Di susun guna untuk melengkapi tugas Biosel dalam mata pelajaran PPD.
Penyusun menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini terdapat kekurangan, karena
keterbataan kemampuan dan pengetahuan yang ada pada penyusun. Oleh karna itu,
penyusun sangat mengharapkan kritik dan saran dari pihak dosen yang bersifat membangun
demi kesempurnaan makalah ini.

DAFTAR ISI :
PEMBAHASAN :
1. Pengertian Sepiritaual..................................................................................... 1
2. Pengertian Intelektual..................................................................................... 1
3. Kecerdasan Sepiritual...................................................................................... 1
4. Kecerdasan Intelektual.................................................................................... 3
5. Dimensi Spritual dan Intelektual Peserta Didik............................................... 3
A. Dimensi Spiritual / Nurani (nalar hati)..................................................... 3
B. Dimensi Intelektual atau Pikiran (nalar otak)............................................ 4
6. Perkembangan Sepiritual Dan Intelektual Peserta Didik................................. 4
A. Tahap prima faith...................................................................................... 4
B. Tahap intuitive-projective........................................................................ 4
C. Tahap mythic-literalfaith.......................................................................... 4
D. Tahap synthetic-conventionalfaith........................................................... 4
E. Tahap individuative- reflectivefaith......................................................... 5
F. Tahap Conjunctive-faith........................................................................... 5
G. Tahap universalizing faith........................................................................ 5

KESIMPULAN.............................................................................................................. 6
1. Pengertia sepiritual

Didik Echoks dan Shadily dalam Desmiata berpendapat bahwa, kata spiritual berasal dari
bahasa Inggris yaitu ”spirituality”. Kata dasarnya “spirit” yang berarti roh, jiwa, semangat.
Sedangkan Ingersoll dalam Desmiata berpendapat bahwa, kata spiritual berasal dari kata latin
“spiritus” yang berarti, luas atau dalam (breath), keteguhan hati atau keyakinan (caorage),
energy atau semangat (vigor), dan kehidupan.
Dari kutipan diatas dapat diartikan bahwa spiritual adalah jiwa seorang manusia memiliki
semangat dan memiliki kepercayaan yang dalam terhadap diri sendiri, orang lain, tuhan dan
alam, yang terjadi karena pengalaman dan kesadaran dalam kehidupan diatas diri seseorang.
Sedangkan pendapat Fowler dalam Desmita (2009:279) menyebut spiritual atau kepercayaan
suatu yang universal, ciri dari seluruh hidup, tindakan pengertian diri semua manusia, entah
mereka menyatakan diri sebagai manusia yang percaya dan orang yang berkeagamaan atau
sebagai orang yang tidak percaya sebagai apapun
2. Pengertian intelektual
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) menjelaskan, kata ‘intelektual’ berkaitan dengan
kata ‘intelek’. Intelek berarti “istilah psikologi tentang daya atau proses pikiran yang lebih
tinggi yang berkenaan dengan pengetahuan; daya akal budi; kecerdasan berpikir. Kata intelek
juga berkonotasi untuk menyebut kaum terpelajar atau kaum cendekiawan.” Sedangkan kata
intelektual berarti suatu sifat cerdas, berakal, dan berpikiran jernih berdasarkan ilmu
pengetahuan.
Kata intelektual juga berkonotasi sebagai kaum yang memiliki kecerdasan tinggi atau juga
disebut kaum cendekiawan. Intelek berasal dari kosakata Latin: intellectus yang berarti
pemahaman, pengertian, kecerdasan. Dalam pengertian sehari-hari kemudian berarti
kecerdasan, kepandaian, atau akal. Pengertian intelek ini berbeda dengan pengertian taraf
kecerdasan atau intelegensi. Intelek lebih menunjukkan pada apa yang dapat dilakukan
manusia dengan intelegensinya; hal yang tergantung pada latihan dan pengalaman. Dari
pengertian istilah, intelektualisme adalah sebuah doktrin filsafat yang menitikberatkan
pengenalan (kognisi) melalui akal serta secara metafisik memisahkannya dari pengetahuan
indera serapan. Intelektualisme berkerabat dengan rasionalisme. Dalam filsafat Yunani Purba,
penganut intelektualisme menyangkal kebenaran pengetahuan indera serta menganggap
pengetahuan intelektual sebagai kebenaran yang sungguh-sungguh.
3. Kecerdasan spiritual
Kecerdasan spiritual dibutuhkan oleh setiap individu dalam menjalani kehidupan,
termasuk anak-anak dan remaja. Kecerdasan spritual merupakan inti yang dapat
menggerakan kecerdasan lainnya. Kecerdasan spiritual merepresentasikan motif dasar
individu dalam pencarian makna sebagai makhluk. Stephen Covey mengungkapkan bahwa.

(1)
Pendapat tersebut menegaskan bahwa kecerdasan spiritual merupakan jembatan yang
menghubungkan, menyeimbangkan perkembangan dimensi-dimensi kecerdasan lain yang
secara fitrah telah diberikan oleh Yang Maha Pencipta. Selain itu Danah Zohar dan Ian
Marshall mendefinisikan kecerdasan spiritual sebagai kecerdasan untuk menghadapai
persoalan makna atau value, yaitu kecerdasan untuk menempatkan prilaku dan hidup kita
dalam konteks makna yang lebih luas dan kaya, kecerdasan untuk menilai bahwa tindakan
atau jalan hidup seseorang lebih bermakna dibandingkan dengan yang lain. Dalam ESQ,
kecerdasan spiritual adalah kemampuan untuk memberikan makna spiritual terhadap
pemikiran, prilaku dan kegiatan, serta mampu menyinergikan IQ, EQ, dan SQ dengan
komperhensif. Oleh karena itu, setiap individu perlu mengembangkan dan meningkatkan
kualitas kecerdasan spiritual sebagai salah satu kecakapan hidup yang harus dimiliki.
Kecerdasan spiritual berkembang bersama fungsi-fungsi kehalusan perasaan (afektif)
disertai kejernihan akal budi (kognitif). Kedua fungsi tersebut mendorong individu untuk
mengalami, mempercayai, bahkan meyakini dan menerima tanpa keraguan tentang adanya
kekuatan yang Mahaagung yang melebihi apapun termasuk dirinya. Proses inilah yang disebut
penghayatan keagamaan atau disebut juga pengalaman religi (the religious experiences).
Dalam hal ini, peserta didik dapat menjadikan SQ pedoman saat peserta didik berada
diujung masalah eksistensial yang paling menantang dalam hidup berada diluar yang
diharapkan dan dikenal, di luar aturan-aturan yang telah diberikan, melampaui pengalaman
masa lalu, dan melampaui sesuatu yang kitahadapi. SQ memungkinkan memungkinkan untuk
menyatukan hal-hal yang bersifat intrapersonal dan interpersonal serta menjembatani
kesenjangan antara diri sendiri dan orang lain. Dan peserta didik biasanya menggunakan
kecerdasan spiritual saat:
1. Siswa selaku peserta didik behadapan dengan masalah eksistensial seperti saat siswa
merasa terpuruk, khawatir, dan masalah masa lalu akibat penyakitdan kesedihan. SQ
menjadikan siswa sadar bahwa siswa mempunyai masalah eksistensial yang membuat siswa
mampu mengatasinya, atau setidak-tidaknya siswa dapat berdamai dengan masalah
tersebut, SQ memberikan siswa rasa yang dalam menyangkut perjuangan hidup.
2. Siswa menggunkannya untuk menjadi kreatif, siswa menghadirkannya ketika ingin
menjadi luwes, berwawasan luas, atau spontan secara kreatif.
3. Siswa dapat menggunakan SQ untuk menjadi cerdas secara spiritual dalam beragama, SQ
membawa siswa kejantung segala sesuatu, kekesatuan di balik perbedaan, ke potensi di balik
ekspresi nyata.
4. Siswa menggunakan SQ untuk mencapai perkembangan diri yang lebih utuh karena siswa
memiliki potensi untuk itu.
5. Kecerdasan spiritual memberi siswa suatu rasa yang dapat menyangkut perjuangan hidup.

(2)
4. Kecerdasan intelektual
Kecerdasan intelektual adalah ukuran kemampuan intelektual, analisis, logika, dan rasio
seseorang. IQ merupakan kecerdasan otak untuk menerima, menyimpan, dan mengolah
informasi menjadi fakta

Kecerdasan intelektual (bahasa Inggris: intelligence quotient, disingkat IQ)


adalah istilah umum yang digunakan untuk menjelaskan sifat pikiran yang mencakup
sejumlah kemampuan, seperti kemampuan menalar, merencanakan, memecahkan
masalah, berpikir abstrak, memahami gagasan, menggunakan bahasa,
dan belajar. Kecerdasan erat kaitannya dengan kemampuan kognitif yang dimiliki
oleh individu. Kecerdasan dapat diukur dengan menggunakan alat psikometri yang biasa
disebut sebagai tes IQ. Ada juga pendapat yang menyatakan bahwa IQ merupakan usia
mental yang dimiliki manusia berdasarkan perbandingan usia kronologis.
Orang sering kali menyamakan arti inteligensi dengan IQ, padahal kedua istilah ini
mempunyai perbedaan arti yang sangat mendasar. Menurut David
Wechsler, inteligensi adalah kemampuan untuk bertindak secara terarah, berpikir secara
rasional, dan menghadapi lingkungannya secara efektif. Secara garis besar dapat disimpulkan
bahwa inteligensi adalah suatu kemampuan mental yang melibatkan proses berpikir secara
rasional. Oleh karena itu, inteligensi tidak dapat diamati secara langsung, melainkan harus
disimpulkan dari berbagai tindakan nyata yang merupakan manifestasi dari proses berpikir
rasional itu. sedangkan IQ atau singkatan dari Intelligence Quotient, adalah skor yang
diperoleh dari sebuah alat tes kecerdasan. Dengan demikian, IQ hanya memberikan sedikit
indikasi mengenai taraf kecerdasan seseorang dan tidak menggambarkan kecerdasan
seseorang secara keseluruhan.
5. Dimensi Spritual dan Intelektual Peserta Didik
a. Dimensi Spiritual / Nurani (nalar hati)
Nurani juga dapat dipandang sebagai bantuan bagi keinginan seseorang atau
peserta didik. Nalar hati sering diidentikan dengan perasaan pribadi. Nurani memiliki
nilai lebih dalam sifat-sifat kemanusiaan. Peserta didik merupakan makhluk yang
memiliki energi spiritual. Sebagai makhluk spiritual, peserta didik memiliki jiwa dan
sangat pribadi. Dimana, didalamnya terkandung sikap yang suci untuk saling
mengasihi, membangun aspirasi dan harapan serta visi. Dimensi spiritual ini
merupakan nilai kemanusiaan sejati. Dengan nilai-nilai spiritual itu pun peserta didik
akan dapat mengenal diri sendiri. Satu hal yang tidak kalah penting dalam dimensi
spiritual adalah kesadaran, sesuatu yang diidentifikasikan sebagai penembus semua
lini kehidupan. Kesadaran peserta didik adalah hubungan mereka dengan dunianya,
sementara kemampuan berpikir merupakan alat untuk membuat keputusan.

(3)
b. Dimensi Intelektual atau Pikiran (nalar otak)
Pikiran juga dapat dipandang sebagai bantuan bagi keinginan seseorang atau
peserta didik. Pikiran biasanya berupa kesadaran menggunakan pikiran, meski
kadang-kadang tidak sama dengan apa yang diinginkan oleh nalar hati. Dalam
kehidupan sehari-hari istilah pikiran sering dianggap identik dengan istilah penalaran,
kecerdasan, intelegensi. Tetapi bisa pula diartikan bahwa pikiran adalah hasil kegiatan
berfikir. Kegiatan berfikir menggunakan sarana atau alat yang disebut akal dan otak.
Dengan demikian yang dimaksud dengan perkembangan pikiran adalah kemampuan
berpikir manusia. Pada masa anak-anak pikiran telah nampak perkembangannya
tahap demi tahap.
6. Perkembangan Sepiritual Dan Intelektual Peserta Didik
Teori Fowler dalam Desmita mengusulkan tahap perkembangan spiritual dan
keyakinan dapat berkembang hanya dalam lingkup perkembangan intelektual dan
emosional yang dicapai oleh seseorang. Dan ketujuh tahap perkembangan agama itu
adalah:
A. Tahap prima faith. Tahap kepercayaan ini terjadi pada usia 0-2 tahun yang ditandai
dengan rasa percaya dan setia anak pada pengasuhnya. Kepercayaan ini tumbuh dari
pengalaman relasi mutual. Berupa saling memberi dan menerima yang diritualisasikan
dalam interaksi antara anak dan pengasuhnya.
B. Tahap intuitive-projective, yang berlangsung antara usia 2-7 tahun. pada tahap ini
kepercayaan anak bersifat peniruan, karena kepercayaan yang dimilikinya masih
merupakan gabungan hasil pengajaran dan contoh-contoh signitif dari orang dewasa,
anak kemudian berhasil merangsang, membentuk, menyalurkan dan mengarahkan
perhatian sepontan serta gambaran intuitif dan proyektifnya pada ilahi.
C. Tahap mythic-literalfaith, Dimulai dari usia 7-11 tahun. pada tahap ini, sesuai
dengan tahap kongnitifnya, anak secara sistematis mulai mengambil makna dari
tradisi masyarakatnya. Gambaran tentang tuhan diibaratkan sebagai seorang pribadi,
orangtua atau penguasa, yang bertindak dengan sikap memerhatikan secara
konsekuen, tegas dan jika perlu tegas.
D. Tahap synthetic-conventionalfaith, yang terjadi pada usia 12-akhir masa remaja
atau awal masa dewasa. Kepercayaan remaja pada tahap ini ditandai dengan
kesadaran tentang simbolisme dan memiliki lebih dari satu cara untuk mengetahui
kebenaran. Sistem kepercayaan remaja mencerminkan pola kepercayaan masyarakat
pada umumnya, namun kesadaran kritisnya sesuai dengan tahap operasional formal,
sehingga menjadikan remaja melakukan kritik atas ajaran-ajaran yang diberikan oleh
lembaga keagamaan resmi kepadanya. Pada tahap ini, remaja juga mulai mencapai

(4)
pengalaman bersatu dengan yang transenden melalui simbol dan upacara keagamaan
yang dianggap sakral. Simbol-simbol identik kedalaman arti itu sendiri. Allah
dipandang sebagai “pribadi lain” yang berperan penting dalam kehidupan mereka.
Lebih dari itu, Allah dipandang sebagai sahabat yang paling intim, yang tanpa syarat.
Selanjutnya muncul pengakuan bahwa allah lebih dekat dengan dirinya sendiri.
Kesadaran ini kemudian memunculkan pengakuan rasa komitmen dalam diri remaja
terhadap sang khalik
E. Tahap individuative- reflectivefaith, yang terjadi pada usia 19 tahun atau pada
masa dewasa awal, pada tahap in8i mulai muncul sintesis kepercayaan dan tanggung
jawab individual terhadap kepercayaan tersebut. Pengalaman personal pada tahap ini
memainkan peranan penting dalam kepercayaan seseorang. Menurut Fowler dalam
Desmita (2009:280) pada tahap ini ditandai dengan:
a. Adanya kesadaran terhadap relativitas pandangan dunia yang diberikan
orang lain, individu mengambil jarak kritis terhadap asumsi-asumsi sistem nilai
terdahulu.
b. Mengabaikan kepercayaan terhadap otoritas eksternal dengan munculnya
“ego eksekutif” sebagai tanggung jawab dalam memilih antara prioritas dan komitmen
yang akan membantunya membentuk identitas diri.
F. Tahap Conjunctive-faith, disebut juga paradoxical-consolidationfaith, yang dimulai
pada usia 30 tahun sampai masa dewasa akhir. Tahap ini ditandai dengan perasaan
terintegrasi dengan simbol-simbol, ritual-ritual dan keyakinan agama. Dalam tahap ini
seseorang juga lebih terbuka terhadap pandangan-pandangan yang paradoks dan
bertentangan, yang berasal dari kesadaran akan keterbatasan dan pembatasan
seseorang.
G. Tahap universalizing faith, yang berkembang pada usia lanjut. Perkembangan
agama pada masa ini ditandai dengan munculnya sistem kepercayaan transcidental
untuk mencapai perasaan ketuhanan, serta adanya desentralisasi diri dan
pengosongan diri. Peristiwa-peristiwa konflik tidak selamanya dipandangan sebagai
paradoks, sebaliknya, pada tahap ini orang mulai berusaha mencari kebenaran
universal. Dalam proses pencarian kebenaran ini, seseorang akan menerima banyak
kebenaran dari banyak titik pandang yang berbeda serta berusaha menyelaraskan
perspektifnya sendiri dengan perspektif orang lain yang masuk dalam jangkauan
universal yang paling tua.

Para ahli psikologi sepakat bahwa perkembangan pikiran terjadi paling pesat
pada masa 3 samapai 6 tahun. Pada masa ini, pikiran anak-anak pada umumnya benar-
benar telah jalan, misalnya ketika anak sedang berbicara dengan temannya. Dalam
pembicaraan itu bisa terjadi tanya jawab yang dilakukan secara bersama, apa yang

(5)
dilakukan anak memerlukan kerja pikiran, supaya pembicaraannya masuk akal
dan tidak dikritik oleh teman-teman. Pada usia dasar (6-12 tahun) anak sudah dapat
mereaksi rangsangan intelektual atau melaksanakan tugas-tugas belajar yang
menuntut kemampuan intelektual atau kemampuan kognitif (seperti membaca,
menulis, dan menghitung).

Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan yang ada pada bab sebelumnya maka dapat ditarik beberapa
kesimpulan sebagai berikut :
Bahwa spiritual adalah jiwa seorang manusia memiliki semangat dan memiliki
kepercayaan yang dalam terhadap diri sendiri, orang lain, tuhan dan alam, yang terjadi karena
pengalaman dan kesadaran dalam kehidupan
Sedangkan intelektual berarti suatu sifat cerdas, berakal, dan berpikiran jernih berdasarkan
ilmu pengetahuan. Intelektual inteligensi dijalankan oleh nalar (otak) atau kognitif seseorang.
Sedangkan Spiritual inteligensi dijalankan oleh nalar (hati). Dari kedua kecerdasan tersebut
memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing dan saling berhubungan satu sama lain
dalam aplikasi di kehidupan dan dunia pendidikan. Memiliki kecerdasan intelektual tinggi
tanpa adanya kecerdasan spiritual akan membawa dampak yang buruk. Selain itu, adanya
kecerdasan spiritual yang baik tanpa ada kecerdasan intelektual yang baik akan berdampak
yang buruk pula.

https://rudijunti20.blogspot.com/2016/12/dimensi-spiritual-dan-intelektual.html
http://jongkojoyosudrajat.blogspot.com/2019/10/doa-with-loa.html

(6)

Anda mungkin juga menyukai