Disusun oleh:
Kelompok 5
4 PAI-E
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
PURWOKERTO
2021
1
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul
hakikat intelegensi ini tepat pada waktunya. Adapun tujuan dari penulisan dari
makalah ini adalah untuk memenuhi tugas dari Ibu Novi Mayasari pada mata
kuliah psikologi pendidikan. Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk
menambah wawasan tentang hakikat intelegensi bagi para pembaca dan juga bagi
penulis.
Kami mengucapkan terima kasih kepada ibu Novi Mayasari, selaku dosen
mata kuliah psikologi pendidikan yang telah memberikan tugas ini sehingga dapat
menambah pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang studi yang kami
tekuni. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membagi sebagian pengetahuannya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah
ini. Kami menyadari, makalah yang kami tulis ini masih jauh dari kata sempurna.
Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun akan kami nantikan demi
kesempurnaan makalah ini.
Penyusun
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..............................................................................................i
DAFTAR ISI............................................................................................................ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.................................................................................................1
B. Rumusan Masalah............................................................................................2
C. Tujuan..............................................................................................................2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Intelegensi....................................................................................1
B. Sejarah Intelegensi…………………………………………………………..4
C. Pengukuran Intelegensi……………………………………………………..7
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan………………………………………………………………...14
B. Saran……………………………………………………………………….14
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Manusia diciptakan oleh Allah SWT dilengkapi dengan kecerdasan
(intelegensi) yang membuat manusia berbeda dengan makhluk ciptaan
Allah SWT yang lain seperti tumbuhan dan hewan. Bahkan tiap manusia
memiliki kecerdasan yang berbeda-beda antara individu yang satu dengan
yang lainnya. Manusia dapat mengembangkan kecerdasannya dengan cara
berfikir dan belajar secara terus menerus.
Kemampuan manusia untuk memecahkan suatu masalah, baik
cepat atau lambat serta kemampuan untuk belajar, merupakan beberapa hal
yang berkaitan dengan intelegensi dari individu yang bersangkutan. Pada
hakikatnya Intelegensi adalah kemampuan yang dibawa sejak lahir, yang
memungkinkan seseorang berbuat sesuatu dengan cara tertentu. Dalam hal
ini, William Stern menggunakan batasan sebagai berikut, bahwa
intelegensi adalah kesungguhan untuk menyesuaikan diri kepada
kebutuhan baru dengan menggunakan alat berfikir sesuai dengan
tujuannya.1
Intelegensi menyangkut kemampuan untuk belajar dan
menggunakan apa yang telah dipelajari dalam usaha penyesuaian terhadap
situasi-situasi yang kurang dikenal, atau dalam pemecahan masalah-
masalah. Inteligensi mempengaruhi penyesuaian diri seseorang terhadap
lingkungannya, orang lain dan dirinya sendiri. Semakin tinggi taraf
inteligensinya semakin baik penyesuaian dirinya dan lebih mampu
bereaksi terhadap rangsangan lingkungan atau orang lain dengan cara yang
dapat diterima. Hal ini jelas akan meningkatkan konsep dirinya, demikian
pula sebaliknya. Seseorang yang mempunyai tingkat pendidikan yang
1
Rohani, “Mengoptimalkan Perkembangan Kognitif Anak Melalui Kegiatan Bermain”,
RAUDHAH: Vol. IV, No. 2: Juli – Desember 2016, ISSN: 2338 – 2163, halaman 5
1
tinggi akan meningkatkan prestasinya. Jika prestisenya meningkat maka
konsep dirinya akan berubah.2
Status sosial seseorang mempengaruhi bagaimana penerimaan
orang lain terhadap dirinya. Penerimaan lingkungan dapat mempengaruhi
konsep diri seseorang. Penerimaan lingkungan terhadap seseorang
cenderung didasarkan pada status sosial ekonominya. Maka dapat
dikatakan individu yang status sosialnya tinggi akan mempunyai konsep
diri yang lebih positif dibandingkan individu yang status sosialnya rendah.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian intelegensi?
2. Bagaimana sejarah intelegensi?
3. Bagaimana pengukuran intelegensi?
4. Bagaimana teori multiple intelegensi?
C. Tujuan
1. Mengetahui pengertian intelegensi
2. Mengetahui sejarah intelegensi
3. Mengetahui pengukuran intelegensi
4. Mengetahui teori multiple intelegensi
5.
2
Destya, Damayanti,dkk “Pengaruh Intelegensi terhadap Keberhasilan Peserta Didik”,
Pandawa : Jurnal Pendidikan dan Dakwah Volume 2, Nomor 1, Januari 2020, halaman 7
2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Intelegensi
Alfred Binet, seorang tokoh utama perintis pengukuran intelegensi
yang hidup antara tahun 1857-1911, bersama Theodore Simon
mendefinisikan intelegensi sebagai kemampuan seseorang untuk berfikir
secara abstrak. Sedangkan H.H. Goddard pada tahun 1946 mendefinisikan
intelegensi sebagai tingkat kemampuan pengalaman seseorang untuk
menyelesaikan masalah-masalah yang langsung dihadapi dan untuk
mengantisipasi masalah-masalah yang akan datang.
Menurut Freeman, inteligensi mempunyai pengertian : 1)
inteligensi adalah adaptasi atau penyesuaian individu dengan keseluruhan
lingkungan, 2) inteligensi adalah kemampuan untuk belajar, dan 3)
inteligensi adalah kemampuan berpikir abstrak. Sedang menurut Robinson
dan Robinson, inteligensi didefinisikan sebagai: 1) kapasitas untuk belajar;
2) total pengetahuan yang dicapai seseorang; dan 3) kemampuan
beradaptasi secara sukses dengan situasi baru dan lingkungan pada
umumnya.3
Suryasubrata mendefinisikan intelegensi sebagai kapasitas yang
bersifat umum dari individu untuk mengadakan penyesuaian terhadap
situasi-situasi baru atau problem yang sedang dihadapi. Pengertian
intelegensi yang paling banyak dianut para ahli adalah apa yang
dikemukakan oleh Wechsler, yang mengatakan bahwa intelegensi
merupakan pembangkit atau kapasitas global individu untuk bertindak
bertujuan, berpikir rasional, dan berhubungan efektif dengan
lingkungannya.
“Intelligence is the aggregate or global capacity of an individual
to act purposively, to think rationally, and to deal effectively with his
environment”.
3
Purwanto,. (Intelegensi: Konsep dan Pengukurannya. Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, 2010
Vol. 16, No. 4) hal. 478.
3
Rudolf Amathauer berpendapat sedikit berbeda. Menurutnya,
intelegensi ialah suatu struktur khusus dalam keseluruhan kepribadian
seseorang, suatu keutuhan yang berstruktur yang terdiri atas kemampuan
jiwa-mental dan diungkapkan melalui prestasi, serta memberikan
kemampuan kepada individu untuk bertindak. Intelegensi hanya dapat
dikenal melalui ungkapan-ungkapan, yaitu terlihat melalui prestasi.4
B. Sejarah Intelegensi
Pada abad XV, di Cina telah berlangsung usaha untuk mengukur
kompetensi para pelamar jabatan sebagai pegawai negara. Untuk dapat
diterima sebagai pegawai, para pelamar harus mengikuti ujian tertulis
mengenai pengetahuan Confucian Classics dan mengenai kemampuan
menulis puisi dan komposisi karangan. Ujian ini berlangsung sehari
semalam di tingkat distrik. Kurang dari 7% pelamar yang biasanya lulus
ujian tingkat distrik tersebut kemudian harus mengikuti ujian berikutnya
yang berupa kemampuan menulis prosa dan sajak.
Dalam ujian ke dua ini hanya kurang dari 10% dari sisa peserta
yang dapat lulus. Akhirnya barulah ujian tingkat akhir diadakan di Peking
di mana diantara para peserta terakhir ini hanya lulus sekitar 3% saja. Para
lulusan ini dapat diangkat menjadi mandarin dan boleh bekerja sebagai
pegawai negara. Dengan demikian, dari ketiga tahap ujian tersebut, hanya
5 diantara 100.000 pelamar saja yang pada akhirnya dapat mencapai status
mandarin.5
Tidak jelas jenis pekerjaan kantor apa saja yang dapat dipegang
oleh para lulusan yang telah berstatus mandarin itu. Apabila status
mandarin itu merupakan semacam lisensi untuk bekerja dimana saja pada
jenis pekerjaan apa saja, tentulah mata ujian yang berupa pengetahuan
sastra dan kemampuan menulis prosa tidak merupakan prediktor prestasi
yang cukup baik. Diferensiasi kemampuan pada jenis pekerjaan yang
berbeda tidaklah dapat dilakukan dengan hanya mengujikan satu bidang
4
Umi Rohmah,. (Tes Intelegensi Dan Pemanfaatannya Dalam Dunia Pendidikan. Jurnal
Cendekia, 2011 Vol. 9, No. 1) hal. 127.
5
Umi Rohmah,. (Tes Intelegensi Dan Pemanfaatannya Dalam Dunia Pendidikan. Jurnal Cendekia,
2011 Vol. 9, No. 1) hal. 128-129.
4
kemampuan saja. Apabila pekerjaan yang dapat dimasuki oleh para
mandarin itu memang pekerjaan yang menuntut pengetahuan luas
mengenai sastra dan kemampuan mengarang, maka sebenarnya apa yang
dilakukan oleh para penguasa Cina waktu itu dapat dikatakan telah sesuai
dengan prinsip pengukuran yang berkembang lebih akhir dan masih
dipegang sampai sekarang ini. Baru pada awal abad XIX ujian semacam
itu mulai dihilangkan sejalan dengan pesatnya kemajuan universitas-
universitas.6
a. Rintisan Cattel
Awal perkembangan pengukuran mental berpusat pada kemampuan
yang bersifat umum yang dikenal sebagai tes intelegensi. Usaha
pengukuran intelegensi berkembang dalam kurun waktu yang kurang
lebih serempak di Amerika Serikat dan Perancis. Di Amerika, usaha
pertama tersebut dimulai oleh tokoh pencetus istilah “tes mental”
James Mckeen Cattel (1860-1944), yang menerbitkan bukunya
“Mental Tes and Measurements” di tahun 1890.
Tes yang dirancang Cattel sarat dengan ukuran aspek sensori–
motor (indera–gerak) dan fisiologis. Hal ini disebabkan oleh
pergaulan Cattel dengan seorang ahli biologi Inggris yang bernama
Francis Galton (1822-1911). Menurut Galton, semakin tinggi
intelegensi seseorang maka tentu semakin baik fungsi Kreativitas dan
Intelegensi, indera dan fungsi geraknya. Studi untuk menguji validitas
rangkaian tes Cattel dengan menggunakan nilai sekolah sebagai
kriterianya ternyata tidak menunjukkan adanya validitas yang
memuaskan. Baru setelah diadakan modifikasi-modifikasi terhadap
isinya, tes tersebut dapat dijadikan bagian dari penelitian dan
pengukuran intelegensi biologis.
b. Skala Binet-Simon
Pada awalnya, Alfred Binet melakukan usaha pengukuran
intelegensi dengan mengukur lingkaran tempurung kepala anak-anak
(metode kraniometri). Namun metode ini pada akhirnya ditinggalkan
6
Azwar Saifuddin,. Pengantar Psikologi Intelegensi. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2004) hal. 90-91.
5
oleh Binet. Pada tahun 1905, Binet dan temannya, Theodore Simon
mencetuskan skala intelegensi yang pertama yang dikenal dengan
nama Skala Binet-Simon. Skala ini mengalami beberapa kali revisi.
Revisi pertama tahun 1908, yakni dengan adanya penambahan jumlah
soal tesnya. Kemudian pada tahun 1911 juga terjadi revisi lagi. Pada
revisi ini terjadi pembuangan tes membaca dan menulis yang diyakini
terlalu banyak tergantung pada latihan khusus.
Beberapa tes baru ditambahkan pada level-level usia tertentu dan
dilakukan pula perluasan soal sampai mencakup pada level usia mental
dewasa. Revisi yang paling terkenal dilakukan oleh Terman pada tahun
1916. Revisi ini dikenal sebagai revisi Stanford dan hasilnya dikenal
dengan nama Stanford-Binet. Sejak itu, skala Stanford-Binet menjadi
skala standar dalam psikologi klinis, psikiatri dan konseling
pendidikan.
c. Skala Wechsler
Tiga puluh empat tahun setelah diterbitkannya tes intelegensi yang
pertama oleh Binet Simon atau dua tahun setelah munculnya revisi
Stanford-Binet, David Wechsler mmperkenalkan versi satu tes
intelegensi yang dirancang khusus untuk digunakan orang dewasa. Tes
tersebut terbit pada tahun 1939 dan dinamai Wechsler Bellevue
Intellegent Scale (WBIS), disebut juga skala W-B. Alasan Wechsler
mengembangkan skala W-B adalah kenyataan bahwa tes intelegensi
yang digunakan untuk orang dewasa saat itu hanya merupakan
perluasan dari tes intelegensi untuk anak-anak dengan menambahkan
soal yang sejenis yang lebih sukar. Isi tes yang seperti itu, menurut
Wechsler seringkali tidak menarik minat dan perhatian orang dewasa.
Pada tahun 1949 Wechsler menerbitkan pula skala intelegensi untuk
digunakan pada anak-anak. Sejalan dengan perkembangan tes
intelegensi individual yaitu yang dikenakan pada subjek secara
individual, mulai pula dirasakan perlunya tes intelegensi yang
6
dikenakan pada sekelompok individu secara serentak atau tes
kelompok. Contohnya army alpha dan army beta.7
C. Pengukuran Intelegensi
7
Umi Rohmah,. (Tes Intelegensi Dan Pemanfaatannya Dalam Dunia Pendidikan. Jurnal Cendekia,
2011 Vol. 9, No. 1) hal. 129-131.
7
bahasa, matematika, dan sebagainya. Tes-tesinteligensi biasanya mengacu
pada konsep inteligensi sebagai inteligensi umum. Terdapat bermacam-
macam tes inteligensi yang dapat digunakan, di antaranya tes Stanford-
Binet dan Wechler.
Tes pertama yang merupakan tes inteligensi moderen
dikembangkan oleh ahli psikologi Perancis Alfred Binet pada tahun 1881.
Pada saat itu pemerintah Perancis mengeluarkan Undangundang yang
mewajibkan semua anak masuk sekolah. Pemerintah meminta Binet untuk
membuat tes guna mendeteksi anak-anak yangterlambat intelektualnya
(Atkinson, Atkinson, Smith dan Bem, t.th: 152). Tes-tes inteligensi
kemudian banyak mengacu pada tes yang telah dikembangkan oleh Binet.
Tes inteligensi Binet mengalami beberapa kali revisi. Revisi terakhir
adalah revisi yang dikerjakan bersama Terman dari Universitas Stanford
yang dikenal dengan tes inteligensi Stanford-Binet. Tes terdiri dari 17
subtes yang dikelompokkan dalam empat area teoretik yaitu penalaran
verbal, penalaran kuantitatif, penalaran abstrak-visual, dan ingatan jangka
pendek.
Wechler menyusun tes inteligensi karena beberapa kelemahan yang
terdapat pada tes intekegensi Stanford-Binet. Kelemahan itu: 1) tes
Stanford-Binet tidak dapat digunakan untuk mengukur inteligensi orang
dewasa; 2) tes Stanford-Binet terlalu tergantung pada kemampuan bahasa
(Atkinson, Atkinson, Smith dan Bem, t.th: 157). Wechler menyusun tiga
tes inteligensi yaitu 1) the Wechler Preschool and Primary Scale of
Intelligence (WPPI). Tes ini digunakan untuk mengukur inteligensi anak
prasekolah atau pada umur 4 – 5 tahun, 2) the Wechler Intelligence Scale
for Children (WISC). Tes ini digunakan untuk mengukur inteligensi anak-
anak umur 5 – 15 tahun, dan 3) the Wechler Adult Intelligence Scale
(WAIS). Tes ini digunakan untuk orang dewasa diatas umur 15 tahun.
Menurut Abror (1993: 56), skala Wechler dibagi menjadi dua kelompok
subtes yaitu tes verbal dan tes perbuatan (performance). Tes verbal terdiri
dari enam macam yaitu tes informasi, tes pemahaman umum, tes penalaran
berhitung, tes analogi, tes lamanya mengingat angka, dan tes
8
perbendaharaan kata sebanyak 40 buah kata yang disusun menurut urutan
kesulitan. Tes perbuatan terdiri dari lima macam, yaitu tes simbol-angka
yang meminta subjek untuk menjodohkan simbol dengan angka, tes
menyempurnakan gambar, tes potongan balok, tes menyusun gambar, dan
tes pemasangan objek.
Inteligensi ditetapkan dalam ukuran yang disebut intelligence
quotient (IQ). Ukuran IQ adalah nisbah atau rasio antara umur kecerdasan
(mental age, disingkat MA) dengan umur kalender (chronological age,
disingkat CA). MA diperoleh dari tes psikologi dan CA dihitung dari
tanggal kelahiran peserta tes. IQ dihitung dengan rumus berikut :
MA
IQ= X 100
CA
9
Dari data tersebut inteligensi A dapat dihitung sebagai berikut: (1)
CA = 5 tahun, (2) MA = 6 tahun + 3/6 tahun = 6,5 tahun, (3) IQ =
(MA/CA) x 100 = (6,5/5) x 100 = 130.
IQ dapat diinterpretasikan dengan membandingkan antara CA
dengan MA. Individu dengan inteligensi normal mempunyai MA yang
sama dengan CA. Mereka yang mempunyai MA di atas CA mempunyai
inteligensi di atas rata-rata, sedang yang mempunyai MA di bawah CA
mempunyai inteligensi di bawah rata-rata.
IQ juga dapat diinterpretasikan dengan membandingkan dengan
skor kelompok norma. Asumsinya, pada populasi, inteligensi mempunyai
distribusi normal. Pada sampel yang representatif, inteligensi mempunyai
distribusi normal sebagaimana populasinya. Sebagai sebuah distribusi
normal, inteligensi dapat dibagi-bagi dalam daerah-daerah kurva normal.
Skor seseorang dalam tes inteligensi dapat diinterpretasikan mengacu
kepada daerah-daerah dalam kurva normal. Penggolongan daerah-daerah
dapat mengikuti klasifikasi IQ yang dibuat oleh Woodworth dan Marquis
sebagai berikut:8
Skor IQ Kategori
Di atas 140 Luar biasa (genius)
120 – 139 Cerdas sekali (very superior)
110 – 119 Cerdas (superior)
90 – 109 Sedang (average)
80 – 89 Bodoh (dull average)
70 – 79 Anak pada batas (border line)
50 – 69 Debil (moron)
30 – 49 Ambisil (embicile)
Di bawah 30 Ideot
8
Purwanto,. (Intelegensi: Konsep dan Pengukurannya. Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, 2010
Vol. 16, No. 4) hal. 482-484.
10
D. Teori Multiple Intelegensi
11
Ketiga, kecerdasan spasial, yaitu kemampuan mempersepsi dunia
spasial-visual secara akurat dan mentransformasikan persepsi dunia
spasial-visual tersebut. Kecerdasan ini meliputi kepekaan pada warna,
garis, bentuk, ruang, dan hubungan membayangkan, mempresentasikan
ide secara visual atau spasial, dan mengorientasikan diri secara tepat dalam
matriks spasial.
12
keterbatasan diri); kecerdasan akan suasana hati, maksud, motivasi,
temperamen, dan keinginan, serta kemampuan berdisplin diri, memahami
dan menghargai diri.
9
Mushollin,. Penerapan Teori Multiple Intelligences Howard Gardner Dalam Pembelajaran
Pendidikan Agama Islam, Jurnal Tadris, 2009 Vol. 4, No. 2) hal. 230-231.
13
BAB II
PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
14
DAFTAR PUSTAKA
15