Anda di halaman 1dari 26

INTELEGENSI

Makalah diajukan untuk memenuhi tugas


pada mata kuliah Psikologi Perkembangan

Dosen Pengampu :
Dr. Tina Hayati Dahlan, M.Pd & Dr. Rahayu Ginitasasi, M.Pd

Kelompok 1 (Satu)
Disusun Oleh :

Muhammad Khairul (2105370)


Shintia Anggraeni Agustin (2109832)
Siti Maria Ulfah (2013002)

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI PENDIDIKAN


SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat dan
karunia-Nyalah kami dapat menyelesaikan makalah Psikologi Perkembagan dengan
Judul “Intelegensi”. Adapun makalah ini diajukan untuk memenuhi salah satu tugas
dalam mata kuliah Psikologi Perkembangan.
Semoga materi ini dapat bermanfaat dan menjadi sumbangan pemikiran bagi
pihak yang membutuhkan, khususnya bagi penulis sehingga tujuan yang diharapkan
dapat tercapai. Amiin

Bandung, November
2021

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ...............................................................................................2

DAFTAR ISI............................................................................................................ 3

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ...............................................................................................4
B. Rumusan Masalah ..........................................................................................4
C. Tujuan ............................................................................................................5

BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Intelegensi ......................................................................................7
B. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Intelegensi...............................................8
C. Perkembangan Intelegensi...............................................................................9
D. Klasifikasi Intelegensi....................................................................................10
E. Multiple Intelegensi menurut Howard Gardner.............................................11

BAB III PENUTUP


A. Kesimpulan ....................................................................................................12
B. Saran ..............................................................................................................13

DAFTAR PUSTAKA ..............................................................................................14

3
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang yang telah diuraikan maka disusunlah beberapa rumusan
masalah yang akan dibahas pada bab-bab selanjutnya, yaitu:
1. Apa yang dimaksud dengan intelegensi?
2. Bagaimana perspektif teoretis tentang intelegensi?
3. Apa faktor-faktor yang mempengaruhi intelegensi?

C. Tujuan
Dari rumusan masalah diatas diharapkan bisa mencapai tujuan sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui pengertian intelegensi
2. Untuk mengetahui perspektif teoritis tentang intelegensi
3. Untuk mengetahui faktor-fakator yang mempengaruhi intelegensi

4
BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi Intelegensi
Inteligensi ialah kesanggupan untuk menyesuaikan diri kepada kebutuhan baru,
dengan menggunakan alat-alat berfikir yang sesuai dengan tujuannya. William Stern
berpendapat bahwa inteligensi sebagian besar tergantung dengan dasar dan turunan,
pendidikan atau lingkungan tidak begitu berpengaruh kepada inteligensi seseorang

Berikut beberapa pengertian intelegensi menurut para ahli:


1. Menurut Anastasi (1997):
Bukan kemampuan yang seragam, lebih merupakan komponen dari berbagai
fungsi, yang mencakup gabungan kemampuan yang diperlukan untuk bertahan
dan maju dalam suatu kebudayaan. Keseluruhan kemampuan individu untuk
berpikir dan bertindak secara terarah serta mengolah dan menguasai
lingkungannya secara terarah.
2. D.E. Thorndike:
Intelegensi adalah kemampuan dalam memberikan respon yang baik dari
pandangan kebenaran atau fakta.
3. David Weschler:
Intelegensi sebagai suatu kumpulan atau totalitas kemampuan seseorang untuk
bertindak dengan tujuan tertentu, berpikir secara rasional, serta menghadapi
lingkungannya dengan efektif.
4. Walters dan Gardner:
Intelegensi sebagai kemampuan atau serangkaian kemampuan-kemampuan yang
memungkinkan individu memecahkan masalah atau produk sebagai konsekuensi
eksistensi suatu budaya tertentu.
Berdasarkan pendapat para pakar di atas dapat di jelaskan bahwa inteligensi
adalah suatu kemampuan mental yang melibatkan proses berpikir secara rasional.

5
Inteligensi tidak dapat diamati secara langsung, melainkan harus disimpulkan dari
berbagai tindakan nyata yang merupakan manifestasi dari proses berpikir rasional.

Alfred Binet (dalam Kaplan, 2009) seorang tokoh utama perintis pengukuran
inteligensi bersama Theodore Simon mendefinisikan inteligensi sebagai sisi tunggal
dari karakteristik seseorang yang terdiri atas tiga komponen:
1. kemampuan untuk mengarahkan fikiran atau mengarahkan tindakan,
2. kemampuan untuk mengubah arah tindakan bila tindakan tersebut telah
dilaksanakan, dan
3. kemampuan untuk mengkritik diri sendiri (autocritism)

Chaplin membagi intelegensi pada 3 poin, yaitu:


a. Kapasitas : Keseluruhan kemampuan intelektual yang dimiliki oleh seseorang
(sulit terukur)
b. Potensi : Kemampuan intelektual seseorang yang seharusnya dapat ia tampilkan
dan dikembangkan secara maksimal.
c. Fungsi: Penampilan tingkah laku seseorang yang menggambarkan tingkat
kecerdasannya (bila fungsi berkembang max = potensi

B. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Intelegensi


1. Peran Konteks Lingkungan
Sebagaimana telah dinyatakan sebelumnya, intelegensi melibatkan adaptasi.
Menurut pandangan Sternberg, adaptasi itu mungkin dapat mengambil satu dari tiga
bentuk berikut: (a) memodifikasi respons agar dapat menghadapi secara sukses
kondisi-kondisi lingkungan yang spesifik, (b) memodifikasi lingkungan agar lebih
sesuai dengan kekuatan dan kebutuhan seseorang, atau (c) menyeleksi lingkungan
alternatif yang lebih kondusif untuk mencapai keberhasilan. Selain itu, perilaku bisa
lebih atau kurang adaptif dalam konteks-konteks budaya yang berbeda. Sebagai
contoh, belajar membaca merupakan suatu respons adaptif dalam masyarakat industri

6
namun umumnya tidak relevan dalam budaya-budaya tertentu lainnya.(Oommen,
2014)
Sternberg telah mengidentifikasi tiga keterampilan umum yang secara
khusus bersifat adaptif dalam budaya Barat. Keterampilan pertama adalah
memecahkan masalah praktis, seperti mengidentifikasi secara persis apa bentuk
masalah yang dihadapi dalam suatu situasi tertentu, bernalar secara logis mengenai
suatu masalah, dan menghasilkan berbagai kemungkinan solusi terhadap masalah
yang dihadapi. Keterampilan kedua adalah kemampuan verbal, seperti kemampuan
berbicara dan menulis secara jelas, mengembangkan dan menggunakan
perbendaharaan kata secara luas, serta memahami dan belajar dari bahan bacaan yang
baru saja dibaca. Keterampilan ketiga adalah kompetensi sosial, seperti kemampuan
berelasi secara efektif dengan orang lain, peka terhadap kebutuhan dan harapan orang
lain, serta kepemimpinan.

2. Peran Pengetahuan Sebelumnya


Perilaku intelegen kadangkala melibatkan kemampuan menangani situasi
baru secara berhasil. Ketika dihadapkan pada suatu tugas atau persoalan baru, orang
harus merujuk pada pengalaman sebelumnya (prior knowledge) dan
mempertimbangkan jenis-jenis respons yang sebelumnya efektif dalam menangani
situasi yang serupa. Kemampuan menggeneralisasikan pengalaman-pengalaman
sebelumnya secara tepat meningkatkan kemampuan mereka untuk beradaptasi secara
cepat dan mengatasi tantangan-tantangan baru.
Dalam kesempatan-kesempatan lain, intelegensi melibatkan kemampuan
menangani situasi yang familiar secara cepat dan efisien. Sebagai contoh, cobalah
menyelesaikan latihan berikut ini: seberapa cepatkah Anda dapat menyelesaikan soal
ini? 4/5 = x/30
Apabila Anda mampu memberikan jawaban yang benar dengan cepat dan
mudah, maka kemampuan Anda memecahkan soal yang melibatkan perbandingan
menunjukkan otomatisasi yakni kemampuan merespons secara cepat, efisien, dan

7
dengan usaha mental yang minimal. Otomatisasi merupakan hasil dari kemampuan
melakukan tugas-tugas tertentu secara berulangkali, artinya otomatisasi merupakan
hasil dari pengalaman dan dalam kebanyakan kasus, otomatisasi dapat meningkatkan
performa.

3. Peran Proses Kognitif


Terdapat sejumlah proses kognitif yang terlibat dalam perilaku intelegen:
menafsirkan situasi-situasi baru secara adaptif, memisahkan informasi yang penting
dari detil-detil yang tidak penting, mengidentifikasi berbagai kemungkinan strategi
pemecahan masalah, menemukan kaitan di antara gagasan-gagasan yang tampaknya
tidak berkaitan, menggunakan umpan balik secara efektif, dan sebagainya.
Prosesproses kognitif yang berbeda dapat lebih atau kurang penting dalam konteks
yang berbeda, dan seorang individu dapat berperilaku secara lebih atau kurang
inteligen, tergantung proses-proses kognitif spesifik yang diperlukan pada saat itu.
Hingga kini, penelitian tidak mendukung ataupun menolak pernyataan bahwa
intelegensi memiliki komponen triarchic sebagaimana dideskripsikan oleh Sternberg.
Aspek-aspek tertentu dari teori Sternberg dideskripsikan dalam istilah-istilah umum
sehingga sulit dikonfirmasi ataupun dibantah melalui penelitian. Selain itu, Sternberg
sendiri mengetahui bahwa sebagian besar data yang mendukung teorinya lebih
banyak dikumpulkan oleh tim penilitiannya sendiri, kurang didukung oleh orang luar
yang mungkin bersikap lebih objektif atau lebih kritis. Meskipun demikian, tidak
dapat diingkari teori tersebut mengingatkan bahwa kemampuan siswa bertindak
secara intelegen cenderung bervariasi tergantung pengetahuan spesifik, keterampilan
dan proses-proses kognitif yang disyaratkan tugas tersebut. Meskipun demikian guru
tidak akan selalu harus mengejar dengan cara yang sesuai dengan kelebihan siswa.
Dalam beberapa contoh, guru seharusnya menyajikan tugas-tugas yang mendorong
siswa mengatasi dan karenanya memperkuat area-area lemah mareka.

4. Nature dan Nurture dalam Intelegensi

8
Seberapa besarkah peran nature (bawaan) dan nurture (pola asuh) terhadap
perkembangan intelegensi? Pertanyaan-pertanyaan ini telah menjadi sumber
perdebaan selama bertahun-bertahun, khususnya ketika ditemukan perbedaan di
antara berbagai kelompok ras atau etnis. Salah satu hasil penelitian yang cukup
konsisten menemukan bahwa pada umumnya para siswa Afrika-Amerika
memperlihatkan skor IQ yang lebih rendah dibandingkan para siswa Eropa-Amerika.
Dalam buku yang dipublikasikan secara luas The Bell Curve, Herensten dan Murray
(1994) menyatakan bahwa perbedaan ini sebagaian besar terkait faktor keturunan
dengan perkataan lain secara genetik orang-orang Eropa-Amerika lebih beruntung
dibandingkan orang-orang Afrika-Amerika.
Dewasa ini sebagian besar ahli sepakat bahwa setiap perbedaan kelompok
dalam hal IQ mungkin berkaitan dengan perbedaan lingkungan dan secara lebih
khusus, lingkungan ekonomi yang mempengaruhi kualitas gizi baik sebelum maupun
setelah kelahiran, ketersediaan buku dan mainan yang menstimulasi, akses terhadap
kesempatan untuk memperoleh pendidikan, dan sebagainya (Brooks – Gunn,
Klebanov & Duncan, 1996, Byrnes 2003, Loyd 1998). Selain itu, akhir-akhir ini
sejumlah kelompok kian lama kian memperlihatkan kesamaan dalam IQ rata-rata
suatu tren yang dapat dihubungkan hanya dengan kondisi-kondisi lingkungan yang
lebih layak (Neisser et al. 1996).
Lambat-laun, para psikolog semakin menyadari bahwa tidaklah mungkin
memisahkan pengaruh keturunan dan lingkungan. Keduanya saling berinteraksi
dalam mempengaruhi perkembangan kognisi dan inteligensi anak dengan caranya
sendiri-sendiri. Pertama, gen mensyaratkan dukungan lingkungan yang layak agar
dapat bekerja. Dalam kondisi lingkungan yang sangat miskin misalnya, lingkungan
yang kurang memiliki gizi yang cukup dan kurang stimulasi, keturunan hanya
memberikan pengaruh kecil atau bahkan sama sekali tidak berperan bagi
pertumbuhan intelektual anak-anak, namun dalam lingkungan yang lebih baik,
keturunan dapat memberikan pengaruh yang lebih berarti. Kedua, keturunan
cenderung mempengaruhi seberapa rentan dan tahan anak terhadap kondisi

9
lingkungan tertentu. Sebagai contoh beberapa siswa (seperti mereka yang memiliki
hambatan bawaan) mungkin membutuhkan lingkungan belajar yang tenang dan
terstruktur agar dapat menguasai keterampilan pemahaman bacaan yang bagus,
sementara siswa lainnya mungkin dapat menguasai keterampilan membaca yang baik
apapun kualitas lingkungannya. Dan ketiga, anakanak cenderung mencari kondisi
lingkungan yang sesuai dengan kemampuan bawaannya (Flynn, 2003, Halpern &
LaMay,2000 Scarr & McCart 1983). Sebagai contoh, anak-anak yang memiliki
kemampuan penalaran numerik yang bersifat bawaan dapat mengikuti kelas-kelas
matematika tingkat lanjut dan dengan cara-cara lain lagi terus mengembangkan
talenta bawaannya itu. Anak-anak yang memiliki kemampuan berhitung rata-rata
memiliki kecenderungan yang lebih kecil untuk mencari tantangan semacam ini dan
sebagai akibatnya memiliki kesempatan lebih sedikit untuk mengembangkan
keterampilan-keterampilan matematikanya.

C. Perkembangan Inteligensi
Beberapa psikolog berpendapat bahwa inteligensi merupakan suatu
kemampuan tunggal dan umum yang dimiliki seseorang dalam taraf yang bebeda-
beda dan diterapkan keberbagai jenis tugas. Meskipun pengukuran-pengukuran
intelegensi yang bermancam-macam memberikan hasil yang tidak persis sama, hasil-
hasil itu berkolerasi satu sama lain, induvidu yang memperlihatkan skor tinggi disatu
pengukuran cenderung memperlihatkan skor yang tinggi pula di pengukuran lainnya.
Sebagai contoh seorang siswa yang memiliki perbedaharaan kata yang luar biasa
banyaknya barangkali memperlihatkan skor yang sedang pada tes yang mengukur
analisis desain geometris. Bahkan dua tes yang memiliki jenis isi yang berbeda,
misalnya tes yang mengukur perbendaharaan kata dan tes nonverbal yang mengukur
kemampuan menganalisis desain-desain geometris cenderung berkolerasi satu sama
lain. Dengan demikian tidak semua psikolog berpendapat bahwa inteligensi
merupakan suatu kemampuan tunggal yang dimiliki orang-orang dalam berbagai taraf

10
yang berbeda. Melainkan, beberapa psikolog berpendapat bahwa orang dapat lebih
atau kurang intelegen dalam berbagai jenis tugas.

1. Teori Uni Faktor


Teori ini dipandang sebagai teori yang tertua. Alfred Binet termasuk salah
satu ahli psikologi yang mengatakan bahwa inteligensi bersifat monogenetik, yaitu
berkembang dari satu faktor satuan atau faktor umum. Menurut Binet, inteligensi
merupakan sisi tunggal dari karakteristik yang terus berkembang sejalan dengan
proses kematangan seseorang. Binet menggambarkan inteligensi sebagai sesuatu yang
fungsional sehingga memungkinkan orang lain untuk mengamati dan menilai tingkat
perkembangan individu berdasar suatu kriteria tertentu. Jadi untuk melihat apakah
seseorang cukup cerdas atau tidak, dapat diamati dari cara dan kemampuannya untuk
melakukan suatu tindakan dan kemampuannya untuk mengubah arah tindakannya itu
apabila perlu.

2. Teori Dwifaktor (The Two-Factor Theory) Charles Spearman


Di awal tahun 1900-an, Charles Spearman berpendapat bahwa intelegensi
terdiri dari (a) kemampuan bernalar yang sifatnya alamiah dan tunggal (faktor umum
atau faktor general) yang digunakan untuk menyelesaikan berbagai tugas, serta (b)
sejumlah kemampuan khusus (faktor-faktor spesifik) yang digunakan untuk
menyelesaikan tugas-tugas spesifik. Menurut perspektif Spearman, performa seorang
siswa dalam setiap tugas yang diberikan tergantung pada faktor umum dan faktor-
faktor spesifik yang dilibatkan untuk menyelesaikan tugas tersebut. Sebagai contoh,
hasil pengukuran dari berbagai keterampilan bahasa (pengenalan kata, pengetahuan
mengenai makna kata, pemahaman bacaan, dan sebagainya) semuanya memiliki
korelasi yang tinggi. Hal ini disebabkan karena semua aspek itu mencerminkan
intelegensi umum dan faktor khusus yang sama yaitu kemampuan verbal. Pengukuran
keterampilan bahasa cenderung kurang memiliki korelasi dengan pemecahan masalah
matematika. Dua pengukuran tersebut melibatkan kemampuan spesifik yang berbeda.

11
3. Fluid and Crystallized Intelligences Menurut Cattel
Raymond Cattel menemukan bukti untuk dua komponen yang berbeda dari
inteligensi umum (G). Pertama, anak-anak berbeda dalam hal fluid intellegence, yaitu
kemampuan memperoleh pengetahuan secara cepat dan beradaptasi terhadap situasi
baru secara efektif. Kedua, anak-anak berbeda dalam hal crystallized intellegence
(intelegensi terkristalisasi), yaitu pengetahuan dan ketrampilan yang terakumulasi
dari berbagai pengalaman, sekolah dan budaya. Dua komponen ini bisa lebih atau
kurang releven untuk menangani jenis-jenis tugas tertentu. Fluid intellegence
berkaitan dengan tugas-tugas yang lebih baru, khususnya tugas-tugas yang
membutuhkan pengambilan keputusan yang cepat dan bersifat nonverbal.
Crystallized intellegence lebih diperlukan untuk menangani tugas-tugas yang sudah
sering (atau rutin) dihadapi, khususnya yang sangat dipengaruhi oleh bahasa dan
pengetahuan yang sebelumnya telah dimiliki. Menurut Cattel, fluid intellegence
umumnya tergantung pada faktor-faktor biologis yang diturunkan; sementara
crystallized intellegence tergantung pada fluid intellegence dan pengalaman, dan
sebagai akibatnya dipengaruhi oleh keturunan maupun lingkungan.
Bertolak dari pembagian Cattel, dalam perkembangan selanjutnya para ahli
lain
berpendapat bahwa intelegensi dapat terdiri dari tiga lapisan. Menurut teori
kemampuan kognitif Cattel-Horn-Carrol, stratum yang paling atas adalah inteligensi
umum (G). Di bawah ini terdapat sepuluh kemampuan yang lebih spesifik dan
mencakap fluid dan/atau crystallized intellegence dalam taraf yang berbeda-beda,
termasuk kemampuan bernalar secara umum, kecepatan pemrosesan, pengetahuan
dunia secara umum, pengetahuan kuantitatif, serta efektivitas dalam memproses input
visual dan auditoris. Selanjutnya, dibawah kemampuan-kemampuan ini, yakni di
stratum yang paling bawah, terdapat lebih dari tujuh puluh kemampuan yang sangat
spesifik, misalnya: kecepatan membaca, pengetahuan mekanik, angka dan kekayaan
asosiasi dalam memori, dan sebagainya. Jelasnya, teori Cattel-Horn-Carroll terlalu

12
kompleks untuk dideskripsikan secara terperinci; meskipun demikian harus disadari
bahwa para psikolog lambat-laun mulai beranggapan bahwa teori ini bermanfaat
untuk memprediksi prestasi siswa di berbagai bidang.

4. Intelegensi Majemuk Menurut Gardner


Howard Gardner menyatakan bahwa orang memiliki kemampuan yang
berbeda-beda, atau disebut juga inteligensi majemuk (multiple intellegence), yang
relatif independen satu sama lain, yaitu meliputi:
a. intelegensi Bahasa (kemampuan berbahasa secara efektif),
b. intelegensi Logika Matematika (kemampuan bernalar secara logis, khususnya
dalam bidang matematika dan sains),
c. intelegensi Spasial (kemampuan memperhatikan detil-detil pada hal-hal yang
dilihat, membayangkan, dan memanipulasi objek-objek visual dalam pikiran),
d. intelegensi Musik (kemampuan menciptakan, memahami, dan menghargai
musik),
e. intelegensi Kinestetis-Ragawi (kemampuan menggunakan tubuh secara
terampil),
f. intelegensi Interpersonal (kemampuan memperhatikan aspek-aspek yang halus
dan tidak kentara dari perilaku orang lain,
g. inteligensi Intrapersonal (kesadaran terhadap perasaan, motif, dan hasrat sendiri),
h. inteligensi Naturalis (kemampuan mengenali pola-pola di alam dan perbedaan-
perbedaan di antara berbagai bentuk kehidupan dan objek-objek alami).
i. intelegensi Eksistensial yang digunakan untuk menangani isu-isu yang bersifat
filosofis dan spiritual (misalnya, siapakah kita ini? mengapa kita akan mati?).

Gardner manyajikan bukti untuk mendukung adanya intelegensi majemuk.


Sebagai contoh, ia mendeskripsikan orang yang sangat terampil dalam suatu bidang,
misalnya dalam membuat komposisi musik, namun agaknya memiliki kemampuan
rata-rata dalam bidang-bidang lainnya. Ia juga memperlihatkan bahwa orang yang

13
mengalami cedera otak kadangkala kehilangan kemampuan yang hanya berkaitan
dengan satu intelegensi.
Terlepas dari benar tidaknya manusia memiliki delapan intelegensi yang
berbeda, yang pasti benar adalah bahwa mereka terdorong untuk memikirkan suatu
topik melalui beberapa cara, mungkin dengan menggunakan kata-kata, gambar,
gerakan tubuh dan sebagainya.

5. Teori Triarchic Menurut Sternberg


Ketika berspekulasi mengenai hakikat inteligensi, Robert Sternberg membuat
tiga perbedaan makanya disebut triarchic. Pertama-tama ia menyatakan bahwa orang
dapat lebih atau kurang inteligen dalam tiga bidang yang berbeda.
a. Intelegensi analitis (analytical intelligence) melibatkan kemampuan memahami,
menganalisis, membedakan dan mengevaluasi jenis- jenis informasi dan
persoalan-persoalan yang biasanya ditemukan dalam lingkungan akademik dan
tes-tes intelegensi.
b. Intelegensi kreatif (creative intellegence) melibatkan imajinasi, penemuan, dan
sintesa gagasangagasan dalam konteks situasi-situasi baru.
c. Inteligensi praktis (practical intellegence) melibatkan kemampuan menerapkan
pengetahuan dan keterampilan secara efektif untuk mengelola dan merespon
berbagai persoalan hidup dan situasi sosial sehari-hari.

6. Teori Multifaktor (Multiple factor Theory)


Teori multifaktor dikembangkan oleh Edward Lee Thorndike (1916).
Menurut teori ini, inteligensi terdiri dari hubungan-hubungan neural antara stimulus
dan respon. Hubungan-hubungan neural khusus inilah yang mengarahkan tingkah
laku indivivu. Pada dasarnya teori Thorndike menyatakan bahwa inteligensi terdiri
atas berbagai kemampuan spesifik yang ditampakkan dalam wujud perilaku
intelegen. Thorndike mengemukakan empat atribut inteligensi, yaitu: Tingkatan,
Rentang, Daerah dan Kecepatan.

14
7. Teori Hirearki
Model Hirearki dicetuskan oleh Vernon. Dalam menjelaskan teori
inteligensinya, teori ini menempatkan satu faktor kognitif umum (g) dipuncak
hierarki, kemudian dibawahnya terdapat dua faktor inteligensi utama (mayor) yaitu
verbal eduacitional (v:ed) dan practical-mechanical-spatial (k:m). Setiap kelompok
mayor tersebut kemudian terpecah ke dalam beberapa faktor kelompok minor.
Sebagai contoh, v:ed terdiri dari kemampuan seperti kefasihan verbal, kemampuan
numerik, dan mungkin kreativitas. Beberapa faktor kelompok kecil di bawah k:m
adalah pemahaman mekanik, kemampuan psikomotorik, serta hubungan spasial yang
kemudian terpecah lagi menjadi bermacammacam faktor spesifik pada tingkat
hierarki yang paling rendah. Dalam model hirarki kemampuan mental Vernon apabila
semakin tinggi posisi faktor dalam diagram maka semakin luas rentang perilakunya.

8. Teori Primary Mental Ability


Teori ini dikembangan oleh L.L. Thurstone berdasarkan analisis faktor dengan
mengkolerasikan 60 tes, yang akhirnya disusun menjadi kecakapan-kecakapan
primer. Thurstone menjelaskan mengenai organisasi inteligensi yang abstrak atau
biasa disebut dengan “Primary-Mental Ability”. Thurstone berpendapat bahwa
inteligensi terdiri dari faktor yang jamak (multiple factors), mencakup tujuh
kemampuan mental utama (primary mental abilities), yaitu:
 Verbal meaning (V): Memahami gagasan dan arti kata, yang diukur dengan tes
kosa kata.

 Number (N): Kecepatan dan akurasi melakukan perhitungan aritmatika.

 Space(S): Kemampuan visualisasi hubungan yang berbentuk dalam tiga


dimensi, seperti dalam mengenali gambar dalam orientasi berbeda.

 Perceptual speed (P): Kemampuan untuk membedakan detail visual, serta


menetapkan persamaan dan perbedaan antara obyek dalam gambar secara cepat.

15
 Word fluency (W): Kecepatan dalam memikirkan kata-kata, seperti dalam
membuat puisi atau dalam memecahkan anagram.

 Memory(M): Kemampuan untuk menghafal kata-kata, angka, huruf, dan


sejenisnya, dengan cara menulis.

 Inductive reasoning (I) aturan dari informasi: Kemampuan untuk menurunkan


yang diberikan, seperti dalam menentukan aturan dari serangkaia angka dari
hanya sebagian dari rangkaian angka tersebut.

D. Klasifikasi Intelegensi
Howard Gardner menyampaikan bahwasannya setiap kecerdasan mempunyai
ciri-ciri yang dapat dikelompokan dalam satu kategori kecerdasan tertentu. Jika
dihubungkan dengan jenis inti, maka dapat dilihat sebagai berikut:
a. Kecerdasan Linguistik (word smart)
Kecerdasan linguistik yaitu keahlian dalam penggunaan kata dan pengolahan
kata-kata secara efektif, baik secara lisan maupun tulisan. Beberapa individu yang
pandai mengolah kata secara lisan (misalnya: penyiar, motivator, pendakwah, MC,
dan lain sebagainya). Beberapa individu lain yang pandai dalam mengolah tulisan
(misalnya: penulis buku, pengarang, dan lain sebagainya). Namun, ada juga sebagian
individu yang dapat memahami keduanya.

b. Kecerdasan Spasial (picture smart)


Kecerdasan spasial merupakan kemampuan untuk menangkap dunia ruang-
spasial dengan tepat. Individu yang memiliki kecerdasan kategori ini mempunyai
imajinasi yang kuat, dan sangat mudah mengingat gambar ataupun grafik.
Kebanyakan individu yang memiliki kecerdasan ini mempunyai keahlian
menggambar. Pada umumnya individu yang mempunyai keahlian picture smart
adalah seniman. Keunggulan yang dimiliki oleh individu picture smart, terletak pada
matanya bukan hanya pada imajinasinya saja. Mata mereka biasanaya lebih peka atau
jeli dalam menangkap hal-hal yang kurang terlihat oleh orang lain.

16
c. Kecerdasan Matematis (logic smart)
Kecerdasan matematis merupakan keahlian dalam berhitung ataupun
menganalisis bilangan, serta memiliki pola pemikiran yang logis dan rasional.
Individu yang dikategorikan sebagai logic smart yaitu individu yang mencari jawaban
atas setiap pertanyaan secara ilmiah.

d. Kecerdasan Kinestetik (body smart)


Kecerdasan kinestetik (body smart) yaitu keahlian yang dimiliki tubuh dalam
bergerak untuk menampilkan sebuah perasaan ataupun ide. Individu yang memiliki
kecerdasan ini lebih cenderung tidak bisa berdiam diri. Selain aktif individu ini
memiliki potensi dalam bidang olahraga dan kegiatan yang berkaitan dengan fisik.
Potensi lain yang terdapat dalam kecerdasan ini yaitu mampu menirukan kemampuan
orang lain yang memiliki kecerdasan yang sama.

e. Kecerdasan Musik (music smart)


Kecerdasan musik (music smart) yaitu sebuah keahlian dalam pengembangan,
mengekspresikan, serta merasakan setiap alunan musik dan suara.

f. Kecerdasan Interpersonal (people smart)


Kecerdasan interpersonal (people smart) yaitu sebuah keahlian dalam diri yang
memiliki sensitifitas pada perasaan, tujuan, motivasi, sifat, serta tempramen kepada
seseorang. Selain itu ciri khas dalam kecerdasan ini adalah setiap individu dapat
menempatkan diri dalam kondisi serta tempat yang berbeda.

g. Kecerdasan Intrapersonal (self smart)

17
Kecerdasan intrapersonal (self smart) merupakan sebuah pengembangan dalam
setiap individu yang memahami akan dirinya sendiri sebelum bertindak baik potensi
yang ia miliki ataupun potensi yang kurang dalam dirinya. Individu yang memiliki
kecerdasan ini dapat mengambil makna dalam kehidupannya. Alangkah baiknya
kecerdasan ini dikembangkan dalam setiap diri individu dikarekan membantu dalam
menghadapi persoalan dalam kehidupan.

h. Kecerdasan Naturalis (nature smart)


Kecerdasan naturalis (nature smart) adalah kemahiran dalam memahami
lingkungan alam dengan baik, dapat membuat distingsi konsekuensial lain dalam
alam natural, mengerti dan menikmati alam, dan mempergunakan setiap kemahiran
yang dimiliki secara efisien.

E. Multiple Intelegence menurut Howard Gardner

Kecerdasan kerapkali dipahami sebagai kecakapan memahami sesuatu serta


kecakapan berpendapat. Dapat dipahami bahwa dalam hal ini kecerdasan sebagai
kemampuan intelektual yang menonjolkan logika ketika menyelesaikan masalah.
Kecerdasan tersebut biasanya diukur dari kemahiran menjawab soal tes standar (tes
IQ) di tempat yang telah disediakan. Menurut Thomas R. Hoerr, tes tersebut hanya
mengukur kemampuan secara sempit dikarenakan lebih menonjolkan pada
kecerdasan linguistik dan matematis-logis. Dengan demikian pengukuran tersebut
menentukan kemahiran anak di bidang pendidikan namun, belum tentu di dunia
nyata, karena kemahiran seseorang di dunia nyata tidak hanya kemahiran linguistik
dan matematis-logis.
Kebanyakan masyarakat belum sepenuhnya memahami mengenai kecerdasan
yang beragam. Banyak orangtua yang masih berpandangan bahwa seorang anak dapat
dikatakan cerdas apabila nilai-nilai disekolah mendapatkan nilai yang tinggi. Di sini

18
orangtua masih memiliki satu sudut pandang saja belum dapat melihat dari berbagai
sudut pandang.
Pada dasarnya Rasulullah Saw. telah memberi contoh dalam membentuk
generasi pilihan yang mengintensifkan tiga kecerdasan yaitu emosional, spiritual, dan
intelektual.
Pembelajaran dapat dikatakan efisien manakala seluruh bagian yang terlibat
dalam proses pembelajaran saling mendukung satu sama lain, sehingga anak akan
mendapatkan pemahaman dari hasil yang dipelajarinya. Teori kecerdasan majemuk
lebih memprioritaskan pembelajaran yang menyenangkan serta memiliki
kebermaknaan karena menghargai seluruh kecerdasan anak. Teori ini pun dapat
memaksimalkan kecerdasan anak menjadi lebih berkembang.

1. Teori Kecerdasan Majemuk


Kecerdasan majemuk dicetuskan oleh seorang tokoh bernama Howard Gardner,
untuk memperkenalkan bahwa setiap individu memiliki lebih dari satu kecerdasan.
Teori ini diperkenalkan pada tahun 1983, dalam buku Howard Gardner yang berjudul
Frames of Mind. Dalam teori ini memanfaatkan beberapa aspek diantaranya, aspek
kognitif dan perkembangan psikologi, antropologi, dan sosiologi.
Faktor awal yang mendasari Gardner terhadap pemikirannya yang gelisah.
Gardner berpendapat bahwa dalam dunia pendidikan beranggapan tes kecerdasan atau
tes IQ merupakan ukuran dalam mengukur kecerdasan dan itu merupakan sebuah
kekeliruan. Menurut Gardner, tidak hanya tes IQ saja melainkan perlu ditinjau dari
kemampuan menyelesaikan masalah dalam hidup, kemampuan menemukan
perasoalan-persoalan baru serta cara penyelesaiannya, dan kemampuan untuk
menghasilkan karya dan memberikan penghargaan dalam buadaya seseorang.
Gardner melakukan penelitian terhadap otak manusia dan mewawancara korban
stroke, prodigies, dan individu dengan autisme. Dilakukannya penelitian ini agar
kecerdasan tersebut berkembang sepenuhnya, tidak hanya bawaan, ataupun bakat.
Kriteria yang digunakan Gardner yaitu:

19
a. Letak dalam otak
Jenis Kecerdasan Wilayah Primer dalam Otak
Lobus temporal kiri dan lobus bagian depan
Linguistik
(termasuk Broca & Wernicke)
Musikal Lobus temporal kanan
Matematis Logis Lobus bagian depan kiri dan parietal kanan
Lobus bagian depan, lobus temporal (terutama
Interpersonal
hemisfer kanan), sistem limbik
Spasial Bagian belakan hemisfer kanan
Lobus bagian depan, lobus parietal, sistem
Intrapersonal
limbik
Kinestetik Serebelum, basal ganglia, motor korteks
Wilayah-wilayah lobus parietal kiri yang
Naturalis penting untuk membedakan “makhluk hidup”
dengan “benda mati”
Tabel 1. Sistem Neurologis dalam Otak yang Merupakan Wilayah
Primer Tiap Jenis Kecerdasan

b. Tiap kecerdasan memiliki waktu kemunculan dan perkembangan


Kecerdasan Kemunculan Perkembangan
Meledak pada masa anak-anak terus berlanjut
Linguistik
hingga usia lanjut
Berkembang paling awal, yang genius kadang
Musikal
mengalami krisis perkembangan
Usia 9 – 10 tahun dan peka artistik sampai
Spasial
tua
Memuncak pada masa remaja dan awal
Matematis - Logis
dewasa, menurun setelah 40 tahun
Interpersonal Masa kritis tiga tahun pertama
Pembentukan batas diri dan orang lain masa 3
Intrapersonal
tahun pertama
Muncul secara dramatis pada sebagian anak
Naturalis dapat dikembangkan melalui sekolah/
pengalaman
Bervariasi, bergantung pada komponen
Kinestetis
kekuatan, fleksibilitas, dominan gimnastik
Tabel 2. Kemunculan Perkembangan pada Tiap Jenis Kecerdasan

20
c. Sejarah evolusioner dan kenyataan logis evolusioner
d. Dukungan temuan psikometrik
e. Dukungan penelitian psikologi eksperimental
f. Tiap kecerdasan memiliki rangkaian cara kerja dasar
g. Kemudahan menyandikannya ke dalam sistem simbol
Kecerdasan Sistem Simbol
Linguistik Simbol Fenotis/mis
Musikal Notasi musik, kode morse
Matematis - Logis Simbol matematis
Interpersonal Simbol sosial, ekspresi, gerak isyarat
Spasial Simbol Ideografis (tulisan cina)
Intrapersonal Simbol diri (dalam mimpi & karya seni)
Kinestetis Bahasa isyarat, Braille
Naturalis Klasifikasi, peta habitat
Tabel 3. Sistem Simbol pada Tiap Jenis Kecerdasan

Kedelapan kriteria tersebut merupakan cara mengidentifiksi tujuh kecerdasan


secara terpisah. Pada tahun 1999 ditambah dengan kecerdasan naturalis dalam
Gardner’s Intelligences Reframed.
Menurut Gardner, kecerdasan dapat didefinisikan suatu kemahiran yang dapat
menyelesaikan permasalahan secara utuh baik kompleks atau spesifik di dunia.
Ditambahkannya untuk menentukan kadar profil kecerdasan setiap individu dilihat
dari komponen inti dan ciri-ciri, karena setiap orang memiliki jenis kecerdasan yang
berbeda.
Di dalam lingkungan sekitar, kecerdasan dapat diketahui secara berurutan atau
berbarengan dalam suatu kegiatan atau banyak kegiatan. Konsep ini pun
“menghapus” sebuah mitos yang kental bahwa anak yang cerdas atau tidak cerdas,

21
dikarenakan menurut konsep ini semua anak dilahirkan dengan kecerdasannya
masing-masing.
Jadi, menurut penulis dengan merujuk beberapa pemahaman di atas,
mengartikan bahwa kecerdasan majemuk merupakan kecerdasan yang beragam yang
dimiliki setiap manusia. Sebuah kecerdasan tidak hanya dipandang kecerdasan IQ
saja, tetapi masih banyak kecerdasan lain yang menonjol sesuai dengan kemahiran
setiap orang yang berbeda-beda.

2. Poin-poin Kunci dalam Teori Kecerdasan Majemuk


Dalam teori kecerdasan majemuk, ada beberapa hal yang harus diperhatikan:
a. Setiap individu mempunyai delapan kecerdasan dalam dirinya, tetapi setiap
individu berbeda. Ada yang tinggi setiap jenis kecerdasan, adapula yang
lebih menonjol dari beberapa kecerdasan, adapula yang sama rata setiap
jenis kecerdasan.
b. Setiap individu dapat memaksimalkan setiap kecerdasan yang dimiliki
sampai pada tingkat kemahiran karena kecerdasan dapat distimulasi, dipupuk
seoptimal mungkin melalui pengayaan, dukungan yang positif, dan
bimbingan.
c. Setiap jenis kecerdasan pada dasarnya bekerja secara berkesinambungan
dengan pelik. Misalnya, melempar bola (kinestetik), orientasi diri di
lapangan (spasial), mengajukan protes ke wasit (linguistik dan
interpersonal).
d. Ada banyak proses untuk menjadi cerdas dalam setiap jenis. Individu yang
cerdas linguistik mungkin tidak mahir dalam bidang menulis, namun mahir
bercerita dan berbicara secara mengagumkan.

3. Pembelajaran dengan Implementasi Kecerdasan Majemuk


Dalam pengimplementasian kecerdasan majemuk, bahwa setiap individu
memiliki struktur otak yang sama, tetapi tingkat inteligensi yang berbeda dikarenakan

22
proses pengasahan ada yang baik dan tidak. Maka dari itu kecerdasan ini perlu
pengembangan karena setiap individu telah memilki potensi inteligensi yang berbeda
diantaranya; kecerdasan linguistik, kecerdasan spasial, kecerdasan matematis,
kecerdasan kinestetis, kecerdasan musik, kecerdasan interpersonal, kecerdasan
intrapersonal, dan kecerdasan naturalis.
Dalam menyempurnakan sebuah kelebihan dan kekurangan setiap individu,
memerlukan sebuah upaya kerjasama dalam keterkaitan kedelapan kecerdasan diatas
untuk hasil yang optimal.
Pada kesimpulannya untuk memfasilitasi perkembangan anak dalam proses
pembelajaran yang bertujuan seoarang anak menjadi bijaksana dan saling menghargai
perlu adanya pengaplikasian Kecerdasan Mejemuk.

23
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Bahwa Tuhan YME menciptakan setiap manusia dibekali dengan potensi untuk
bisa menjalani hidupnya dengan baik dan sejahtera. Tidak ada manusia yang
ditakdirkan menderita dan tidak bahagia. Setiap manusia memiliki tugas dan peran
yang berbeda sesuai dengan kadarnya masing-masing. Sayang hanya sebagian kecil
orang yang sungguh-sungguh mengenali dirinya.
Dalam pengimplementasian kecerdasan majemuk, bahwa setiap individu
memiliki struktur otak yang sama, tetapi tingkat inteligensi yang berbeda dikarenakan
proses pengasahan ada yang baik dan tidak. Maka dari itu kecerdasan ini perlu
pengembangan karena setiap individu telah memilki potensi inteligensi yang berbeda
diantaranya; kecerdasan linguistik, kecerdasan spasial, kecerdasan matematis,
kecerdasan kinestetis, kecerdasan musik, kecerdasan interpersonal, kecerdasan
intrapersonal, dan kecerdasan naturalis.
Dalam menyempurnakan sebuah kelebihan dan kekurangan setiap individu,
memerlukan sebuah upaya kerjasama dalam keterkaitan kedelapan kecerdasan diatas
untuk hasil yang optimal.
Sebuah perbedaan setiap anak dapat diterima dan dikembangkan, jika bertumpu
pada konsep Multiple Intelligences sebagaimana pernyataan Howard Gardner :
“kita semua begitu berbeda karena pada hakikatnya kita memiliki kombinasi
inteligensi yang berbeda. Jika kita sadari hal ini, setidaknya kita lebih
berpeluang untuk mampu mengatasi secara tepat berbagai problem yang kita
hadapi dalam hidup di dunia.”
Pada kesimpulannya untuk memfasilitasi perkembangan anak dalam proses
pembelajaran yang bertujuan seoarang anak menjadi bijaksana dan saling menghargai
perlu adanya pengaplikasian Kecerdasan Mejemuk.

24
Disinilah peran orangtua dibutuhkan, karena orangtua adalah gerbang
utama dalam pembentukan seorang anak, sehingga lebih memahami
keberagaman kecerdasan anak untuk pengembangan Kecerdasan Majemuk.

B. Saran
Penulis menyadari dalam penulisan makalah, masih jauh dari kesempurnaan.
Karena itu penulis sangat mengharapkan saran dari berbagai pihak agar bersama
kita bisa memajukan pendidikan bangsa melalui karya tulis.

25
DAFTAR PUSTAKA

Habibah, Nur. 2021. Tes Intelegensi. Modul Praktikum. Digunakan sebagai Pegangan
Praktikum Mata Kuliah Tes Intelegensi. Umsida Pres: Sidoarjo. 2021

Jamine, Juli. 2007. Profesinal’s Guide: Teaching With Multiple Intelegences, terj.
Purwanto Panduan Praktis Mengajar Berbasis Multiple Intelegences, Bandung:
Nuansa
Oommen, A. (2014). Factors Influencing Intelligence Quotient. Journal of Neurology
& Stroke, 1(4), 1–5. https://doi.org/10.15406/jnsk.2014.01.00023

Rofiah, Nurul Hidayati. 2016. Menerapkan Multiple Intellegences dalam


Pembelajaran di Sekolah Dasar, Jurnal Dinamika Pendidikan Dasar Vol 8, No
1

Rahmah, Siti. 2008. Teori Kecerdasan Majemuk Howard Gardner Dan


Pengembangan Pada Metode Pembelajaran Pendidikan Agama Islam Untuk
Anak Usia Sekolah Dasar, Jurnal Pendidikan Agama Islam Vol. V, No. 1

26

Anda mungkin juga menyukai