Anda di halaman 1dari 34

MAKALAH ETIKA PROFESI

PERAN IQ, EQ, SQ, CQ, DAN AQ DALAM


PERKEMBANGAN PROFESI

Dibuat oleh :
Kelompok IV
Ahmad Rasul Warta (32117029)
A. Kharisma Ramadhan (32117037)
Firman Eko Putra (32117045)
2B D3 Teknik Listrik

PROGRAM STUDI TEKNIK LISTRIK


JURUSAN TEKNIK ELEKTRO
POLITEKNIK NEGERI UJUNG PANDANG
MAKASSAR
2019
KATA PENGANTAR

Penyusun mengucapkan banyak puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa

yang telah melimpahkan rahmat serta hidayah-Nya sehingga Makalah Mata Kuliah

Etika Profesi yang berjudul “PERAN IQ, EQ, SQ, CQ DAN AQ DALAM

PERKEMBANGAN PROFESI” ini dapat terselesaikan dengan baik. Dengan

segala daya upaya yang kami miliki, kami maksimalkan kemampuan kami untuk

menyusun makalah ini.

Penyusun juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang ikut

terlibat dalam penulisan Makalah ini. Makalah ini dibuat dengan tujuan

untuk melengkapi tugas-tugas Mata Kuliah Etika Profesi dengan harapan semoga

makalah yang telah kami buat ini dapat bermanfaat bagi kami dan para pembaca.

Penyusun menyadari Makalah ini masih jauh dari kata sempurna, jadi

penyusun mengucapkan mohon maaf atas kesalahan yang penyusun lakukan,

penyusun juga mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari semua pihak

demi kesempurnaan penulisan makalah yang lebuh baik kedepannya.

Makassar, 06 April 2019

Penyusun

i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ..................................................................................... I

DAFTAR ISI .................................................................................................... II

BAB I (PENDAHULUAN)

1.1 Latar Belakang .................................................................................. 1

1.2 Rumusan Masalah ............................................................................. 2

1.3 Tujuan ............................................................................................... 2

BAB II (PEMBAHASAN)

2.1 Hakikat Kecerdasan Manusia.............................................................. 3

2.2 Jenis-jenis Kecerdasan ........................................................................ 5

2.3 Korelasi dan Peranan Kecerdasan terhadap Profesionalisme

Tenaga Kerja dalam berbagai Profesi ................................................. 23

BAB III (PENUTUP)

3.1 Kesimpulan ......................................................................................... 30

3.2 Saran ................................................................................................... 30

DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 31

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Derasnya laju informasi, ilmu pengetahuan dan tekhnologi memicu dan
memacu setiap orang untuk menjadi cerdas. Banyak orang tua yang berburu
jasa kursus, pelatihan, bimbingan belajar dan lain sebagainya untuk
mencerdaskan anak mereka. Dalam hal ini, kecerdasan di definisikan sangat
sederhana, yakni jika anak 2 tahun telah mampu mengeja sederet kata
bahkan sederet kalimat dengan baik, maka Ia dikatakan sebagai anak yang
cerdas karena banyak anak lain pada usia tersebut belum mampu
melakukannya.
Menurut Daniel goleman (Emotional Intelligent: 1996) “ orang yang
mempunyai IQ tinggitetapi EQ rendah cenderung mengalami kegagalan
yang lebih besar dibanding dengan orang yang IQ-nya rata-rata tetapi EQ-
nyatinggi”. Artinya bahwa penggunaaan EQ atau sering disebut olahrasa
menjadi hal yang sangat penting yang dalam dunia kerja berperan dalam
kesuksesan karir seseorang, yakni 85% EQ dan 15% IQ. Jadi peran EQ
sangat siginifikan.
Kita perlu mengembangkan IQ menyangkut pengetahuan dan
keterampilan, namun kita juga harus menampilkan EQ yang sebaik-baiknya
karena EQ harus dilatih. Untuk meningkatkan EQ dan IQ agar dapat
membina hati nurani yang baik kita juga harus mengembangkan SQ yang
merupakan cerminan dari hubungan kita dengan Allah SWT. Kecerdasan
emosional (EQ) berpotensi mempengaruhi motivasi kerja karena
kecerdasan emosional berhubungan dengan kemampuan seseorang untuk
mengenali emosi diri, mengelola emosi diri, memotivasi diri, berempati, dan
membina hubungan dengan orang lain. Dimensi ini apabila dikuasai secara
baik oleh seseorang dapat mendorong komitmennya terhadap organisasi.
Hal ini dimungkinkan karena dimensi – dimensi yang terkandung dalam
kecerdasan emosional dapat menuntun seseorang untuk memahami

1
posisinya secara tepat di dalam dinamika organisasi atau masyarakat,
termasuk memotivasi diri, berempati dan membina hubungan dengan orang
lain.
Jadi perpaduan antara EQ, IQ, dan SQ sangat penting dalam meniti karir
agar menjadi lebih baik. Disamping itu, kita juga perlu mengembangkan AQ
(Adversity Quotient) yang dapat mengajarkan kepada kita bagaimana
menjadikan tantangan bahkan ancaman menjadi peluang, jadi yang ideal
memang kita perlu menyeimbangkan antara EQ, IQ, SQ dan AQ. Oleh
karena itu, dalam makalah ini kami akan dikaji tentang peran EQ, IQ, SQ,
AQ danjuga CQ dalam perkembangan profesi yang sangat besar
pengaruhnya terhadap dunia kerja khususnya dalam efektifitas kerja.

1.2. Rumusan Masalah


1. Bagaimana hakikat kercerdasan manusia?
2. Bagaimana bentuk-bentuk kecerdasan yang melekat pada manusia?
3. Bagaimana korelasi dan peranan kecerdasan terhadap profesionalisme
tenaga kerja pada berbagai profesi?

1.3. Tujuan

Adapun tujuan utama dari penulisan makalah ini yaitu, sebagai berikut :

1. Mengetahui hakikat kecerdasan manusia,


2. Mengetahui jenis-jenis kecerdasan yang ada pada manusia,
3. Mengetahui hubungan dan peran kecerdasan terhadap profesi.

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Hakikat Kecerdasan Manusia

Kecerdasan ialah istilah umum yang digunakan untuk menjelaskan sifat


pikiran yang mencakup sejumlah kemampuan, seperti kemampuan menalar,
merencanakan, memecahkan masalah, berpikir abstrak, memahami gagasan,
menggunakan bahasa, dan belajar. Kecerdasan erat kaitannya dengan
kemampuan kognitif yang dimiliki oleh individu. Kecerdasan dapat diukur
dengan menggunakan alat psikometri yang biasa disebut sebagai tes IQ. Ada
juga pendapat yang menyatakan bahwa IQ merupakan usia mental yang
dimiliki manusia berdasarkan perbandingan usia kronologis.

Terdapat beberapa cara untuk mendefinisikan kecerdasan. Dalam


beberapa kasus, kecerdasan bisa termasuk kreativitas, kepribadian, watak,
pengetahuan, atau kebijaksanaan. Namun, beberapa psikolog tak
memasukkan hal-hal tadi dalam kerangka definisi kecerdasan. Kecerdasan
biasanya merujuk pada kemampuan atau kapasitas mental dalam berpikir,
namun belum terdapat definisi yang memuaskan mengenai kecerdasan.
Peranan kecerdasan dalam hal ini bermanfaat dalam berbagai bidang atau
aspek kehidupan.

Sejak dilakukan studi dan penelitian intensif, hal penting tentang


kecerdasan (intelligence) dicerminkan oleh berbagai kontroversi pengukuran.
Seperti juga pada barang lain, kontroversi ini tidak pernah berhenti, bahkan
sampai sekarang. Adapun definisi keceradasan adalah sebagai berikut :

a. Menurut David Wechsler (1939) kecerdasan sebagai kumpulan kapasitas


seseorang untuk bereaksi serah dengan tujuan, berpikir rasional dan
mengelola lingkungan secara efektif. Ia pula yang mengembangkan
peranti tes kecerdasan individual bernama Wechsler Intelligence Scale,
yang hingga saat ini masih digunakan dan dipercaya sebagai skala
kecerdasan universal. Sebelumnya, JL Stockton (1921) mengatakan

3
kecerdasan adalah kemampuan untuk mempengaruhi proses memilih yang
berprinsip pada kesamaan (similarities).
b. Menurut Gregory, kecerdasan adalah kemampuan atau keterampilan
untuk memecahkan masalah atau menciptakan produk yang berrnilai satu
atau lebih bangunan budaya tertentu.
c. Menurut Anita E. Woolfolk, kecerdasan adalah kemampuan untuk
belajar, keseluruhan pengetahuan yangdiperoleh dan kemampuan
beradaptasi dengan situasi baru atau lingkunagn pada umumnya.
d. Menurut H.H. Goddard (1946), kecerdasan adalah tingkat pengalaman
seseorang untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi dan
mengantisipasi msalah yang akan datang.
e. Menurut KBBI V, kecerdasan adalah daya reaksi atau penyesuaian yang
cepat tepat, baik secara fisik maupun mental terhadap pengalaman baru,
membuat pengalaman dan pengetahuan yang telah dimiliki siap untuk
dipakai apabila dihadapkan pada fakta atau kondisi baru.

Membahas pengertian kecerdasan dalam berbagai perspektif memang


cukup kompleks. Lebih-lebih dewasa ini bermunculan beragam
kecerdasan. Secara harfiah kecerdasan merupakan sesuatu yang abstrak dan
beragam yang kesemuanya akan membentuk suatu kesempurnaan dalam
perkembangan akal budi yang luhur jika dipahami sebagai karunia Tuhan
yang maha Esa.

Adapun ciri-ciri mendasar kecerdasan (intellegens) menurut beberapa


literatur antaralain sebagai berikut :

1. To judge well (dapat menilai)


2. To comprehend well (memahami secara menyeluruh).
3. To reason well (memberi alasan dengan baik).
Sedangkan ciri-ciri prilaku orang intellegen / cerdas antaralain sebagai
berikut :
1. Masalah yang dihadapi merupakan masalah baru bagi yang
bersangkutan.
2. Serasi tujuan dan ekonomis (efesien).

4
3. Masalah mengandung tingkat kesulitan.
4. Keterangan pemecahannya dapat diterima.
5. Sering menggunakan abstraksi.
6. Bercirikan kecepatan.
7. Memerlukan pemusatan perhatian.
Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi kecerdasan (intellegen)
anataralain :

1. Bawaan / biologis; kapasitas / batas kesanggupan. Faktor kecerdasan ini


ditentukan oleh sifat yang dibawa sejak lahir. Faktor bawaan atau biologis
juga menentukan batas kesanggupan seseorang dalam memecahkan
masalah.
2. Kematangan ; telah mencapai kesanggupan menjalankan fungsinya,
erat kaitan dengan umur. Dimana setiap organ dalam tubuh manusai akan
mengalami pertumbuhan dan perkembangan serta memiliki masa emas
atau masa optimal.
3. Pembentukan ; pengaruh dari luar. Segala keadaan yang ada diluar diri
seseorang atau lingkuangn yang akan mempengaruhi perkembangan
integensi seseorang.
4. Minat ; keinginan dari dalam jiwa. Faktor minat dan pembawaan yang
khasa mengarahkan ke perbuatan pada suatu tujuan dan ini merupakan
dorongan bagi perbuatan tersebut.
5. Kebebasan ; terutama dalam memecahkan masalah. Dalam hal ini,
manusia bisa memilih metode memecahkan masalah yang dihadapinya.
Selain kebebasan metode ada pula kebebasan dalam memilih masalah
yang akan lebih dahulu diselesaikan sesuai tingkatan prioritasnya.

2.2 Jenis-jenis Kecerdasan


2.2.1 Intelegent Quotient (IQ)

Kecerdasan pikiran atau mental (Intelligence Quotient (IQ) : Kemampuan


manusia untuk menganalisis, berpikir, dan menentukan hubungan sebab-

5
akibat, berpikir secara abstrak, menggunakan bahasa, memvisualisasikan
sesuatu dan memahami sesuatu. Intellegensi juga merupakan keseluruhan
kemampuan individu untuk berfikir dan bertindak secara logis, terarah,
serta mengolah dan menguasai lingkungan secara efektif (Marten Pali,
1993). IQ identik dengan kata rasional, logis, sistematis dan linear.

Kecerdasan intelektual atau sering disebut dengan istilah IQ (intelligence


quotient) sempat dimitoskan sebagai satu-satunya kriteria kecerdasan
manusia. Adalah Sir Francis Galton ilmuwan yang memelopori studi IQ
dengan mengembangkan tes sensori (1883). Galton berpendapat bahwa
makin bagus sensori seseorang makin cerdas dia. Dalam bukunya Heredity
Genius (1869) yang kemudian disempurnakan oleh Alfred Binet dan Simon.
Dengan kecerdasan intelektual atau rasional kita mampu memahami,
menganalisa, membandingkan, dan mengambil hikmah dari setiap masalah,
peristiwa, dan kejadian yang terjadi pada masa lalu, saat ini, dan masa yang
akan datang. Dalam kehidupan sehari-hari, pada umumnya kita menggunakan
cara berpikir seperti ini. Bahkan konon, perkembangan ilmu dan teknologi
yang sangat pesat sebagian besar terjadi karena berfungsinya secara optimal
cara berpikir rasional.

Konsep intellegensi yang awalnya dirintis oleh Alfred Bined 1964,


mempercayai bahwa kecerdasan itu bersifat tunggal dan dapat diukur dalam
satu angka. Adapun pengukuran / klasifikasi iq :

a. Very Superior : >129


b. Superior : 120 – 129
c. Brght normal : 110 – 119
d. Average : 90 – 109
e. Dull Normal : 80 – 89
f. Borderline : 70 – 79
g. Mental Defective : 69 and bellow

6
IQ pada umumnya mengukur kemampuan yang berkaitan dengan
pengetahuan praktis, daya ingat (memory), daya nalar (reasoning),
perbendaharaan kata, dan pemecahan masalah. Mitos ini dipatahkan oleh
Daniel Goleman yang memperkenalkan kecerdasan emosional atau disingkat
EQ (emotional quotient) dalam bukunya Working with Emotional
Intelligence (1990) dengan menunjukkan bukti empirik dari hasil
penelitiannya yang menunjukkan bahwa orang-orang yang IQnya tinggi tidak
terjamin hidupnya akan sukses. Sebaliknya orang yang memiliki EQ tinggi,
banyak yang menempati posisi kunci di dunia eksekutif. Asumsi ini diperkuat
oleh Danah Zohar, sarjana fisika dan filsafat di MIT (Massachussetts Institute
of Technology) yang memelopori munculnya kecerdasan spiritual atau
disingkat SQ (spiritual quotient) dalam bukunya Spiritual Intelligence – The
Ultimate Intelligence (2000).

Adapun manfaat IQ yaitu Untuk dapat berfikir kognitif; mengetahui


kemampuan bilanagan,mengingat dan ruang; Mengetahui seseorang dalam
menyelesaikan berbagai soal yang berhubungan dalam
menghitung,berimajinasi; dan Dapat mengukur kecenderungan seseorang.

2.2.2 Emotional Quotient (EQ)


Kecerdasan emosional atau hati (Emotional Quotient, EQ) : Kemampuan
untuk mengenal diri sendiri, kesadaran diri, kepekaan sosial, empati dan
kemampauan untuk berkomunikasi secara baik dengan orang lain. Termasuk
kepekaan mengenai waktu yang tepat, kepatutan secara sosial, keberanian
mengakui kelemahan, serta menyatakan dan menghormati perbedaan.

Emotional Quotient (EQ) merupakan kemampuan merasakan, memahami,


dan secara efektif menerapkan daya serta kepekaan emosi sebagai sumber
energi, informasi, koneksi dan pengaruh yang manusiawi (Cooper dan Sawaf,
dalam Armansyah, 2002). Peter Salovey dan Jack Mayer (dalam Armansyah,
2002) mendefenisikan kecerdasan emosional sebagai kemampuan untuk
mengenali perasaan, meraih dan membangkitkan perasaan untuk membantu

7
pikiran, memahami perasaan dan maknanya, dan mengendalikan perasaan
secara mendalam sehingga membantu perkembangan emosi dan intelektual.

Pada tahun 1995an, berdasar berbagai hasil penelitian para pakar Psikologi
dan Neurologi, Daniel Goleman mempopulerkan konsep Kecerdasan
Emosional atau populer dengan singkatan EQ. Konsep ini menyatakan bahwa
kecerdasan emosional sama pentingnya dengan kecerdasan rasional atau
intelektual; bahkan dalam kehidupan sosial EQ bisa lebih berperan dibanding
IQ. Goleman mempopulerkan pendapat para pakar teori kecerdasan bahwa
ada aspek lain dalam diri manusia yang berinteraksi secara aktif dengan aspek
kecerdasan IQ dalam menentukan efektivitas penggunaan kecerdasan yang
konvensional tersebut. Ia menyebutnya dengan istilah kecerdasan emosional
dan mengkaitkannya dengan kemampuan untuk mengelola perasaan, yakni
kemampuan untuk mempersepsi situasi, bertindak sesuai dengan persepsi
tersebut, kemampuan untuk berempati, dan lain-lain. Jika kita tidak mampu
mengelola aspek rasa kita dengan baik, maka kita tidak akan mampu untuk
menggunakan aspek kecerdasan konvensional kita (IQ) secara efektif.
Penelitian tentang EQ dengan menggunakan instrumen BarOn EQ-i membagi
EQ ke dalam lima skala:

1. Skala intrapersonal: penghargaan diri, emosional kesadaran diri,


ketegasan, kebebasan, aktualisasi diri;
2. Skala interpersonal: empati, pertanggungjawaban sosial, hubungan
interpersonal;
3. Skala kemampuan penyesuaian diri: tes kenyataan, flexibilitas,
pemecahan masalah;
4. Skala manajemen stress: daya tahan stress, kontrol impuls (gerak hati);
dan
5. Skala suasana hati umum: optimisme, kebahagiaan (Stein dan Book,
dalam Armansyah, 2002).

8
Sedangkan Aspek EQ (Salovely& Goldman) terbagi menjadi lima,
diantara lain sebagi berikut :

a. Kemampuan mengenal diri (kesadarandiri).


b. Kemampuan mengelolaemosi (penguasaandiri).
c. Kemampuan memotivasi diri.
d. Kemampuan mengendalikan emosi orang lain.
e. Kemampuan berhubungan dengan orang lain (empati).

Moh Solihin menyimpulkan ciri-ciri perilaku cerdas emosi sebagai


berikut:
a. Menghargai emosi negative orang lain.
b. Sabarmeng hadapi emosi negative orang lain.
c. Sadar dan menghargai emosi diri-sendiri.
d. Emosi negative untuk membinan hubungaan.
e. Peka terhadap emosi orang lain.
f. Tidak bingung menghadapi emosi orang lain.
g. Tidak menganggap lucu emosi orang lain.
h. Tidak memaksa apa yang harus dirasakan.
i. Tidak harus membereskan emosi orang lain.
j. Saat emosional adalah saat mendengarkan.

Emotional Quotient (EQ) mempunyai peranan penting dalam meraih


kesuksesan pribadi dan profesional. EQ dianggap sebagai persyar atan
bagi kesuksesan pribadi. Alasan utamanya adalah masyarakat percaya
bahwa emosi-emosi sebagai masalah pribadi dan tidak memiliki tempat
di luar inti batin seseorang juga batas-batas keluarga.

Penting bahwa kita perlu memahami apa yang diperlukan untuk


membantu kita membangun kehidupan yang positif dan memuaskan,
karena ini akan mendorong mencapai tujuan-tujuan Profesional kita. Dr.
Daniel Goleman memberikan satu asumsi betapa pentingnya peran EQ
dalam kesuksesan pribadi dan profesional :

9
a. 90% prestasi kerja ditentukan oleh EQ
b. Pengetahuan dan teknis hanya berkontribusi 4%.

Dari banyak penelitian didapatkan hasil atau pendapat bahwa individu


yang mempunyai IQ tinggi menunjukkan kinerja buruk dalam pekerjaan,
sementara yang ber-IQ rendah justru sangat perprestasi. Hal ini
dikarenakan individu yang mempunyai IQ tinggi seringkali memiliki sifat-
sifat menyesatkan sebagai berikut :

1. Yakin tahu semua hal


2. Sering menggunakan fikiran untuk menalar bukan untuk merasakan
3. Meyakini bahwa IQ lebih penting dari EQ
4. Sering membuat prioritas-prioritas yang merusak kesehatan kita sendiri

Kemampuan akademik, nilai raport, predikat kelulusan perguruan


tinggi tidak bisa menjadi tolak ukur seberapa baik kinerja seseorang
sesudah bekerja atau seberapa tinggi sukses yang akan dicapai. Menurut
Mick Clelland tahun 1973 “Testing For Competenc E”, bahwa seperangkat
percakapan khusus seperti empati, disiplin diri, dan inisiatif akan
menghasilkan orang-orang yang sukses dan bintang-bintang kinerja.

Manfaat EQ antaralain : Dapat mengendalikan diri sendiri; Melatih diri


agar dapat menghadapi berbagai persoalan secara positif ; Dapat mengenali
emosi diri sendiri dan orang lain; dan Dapat mengenali emosi dan mampu
mengatasi emosi.

2.2.3 SPIRITUAL QUOTIENT (SQ)


Menurut beberapa pandangan ahli atau pakar, kecerdasan spiritual (SQ)
memiliki definisi sebagi berikut :
a. Menurut Agus N. Germanto dalam buku (Moh. Solihin, 20013:137)
Spiritual adalah inti dari pusat diri sendiri. Kecerdasan spiritual adalah
sumber yang mengilhami, menyemangati dan mengikat diri seseorang
kepada nilai-nilai kebenaran tanpa batas waktu.

10
b. Danar Zohar dan Ian Marshall (2007:4) menarik kesimpulan sebagai
berikut: SQ merupakan kecerdasan untuk menghadapi dan memecahkan
persoalan makna dan nilai, yaitu kecerdasan untuk mendapatkan perilaku
dan hidup kita dalam konteks makna yang lebih luas dan kaya, kecerdasan
untuk menilai bahwa tindakan atau jalan hidup seseorang lebih bermakna
dibandingkan dengan yang lain. SQ adalah landasan yang diperlukan
untuk memfungsikan IQ dan EQ secara efektif. Bahkan, SQ merupakan
kecerdasan tertinggi kita. Kecerdasan spiritual sering disebut SQ (Spiritual
Quotient) (penemunya DANAH ZOHAR dan LAN MARSHALL,
LONDON, 2000) (Moh. Solihin, 2013:137). Kecerdasan spiritual ini
digunakan oleh manusia sebagai kemampuan untuk berhubungan dengan
sang penciptanya atau dengan tuhannya. Melibatkan kemampuan,
menghidupkan kebenaran yang paling dalam yang artinya iialah
mewujudkan hal yang terbaik untuk dan paling manusiawi dalam batin.
c. Paul Edwar dalam Moh Solihin (2013:138) SQ adalah bukti ilmiah. Ini
adalah benar ketika anda merasakan keamanan (SECURE), kedamaian
(PEACE), penuh cinta (LOVED), dan bahagia (HAPPY). Ketika
dibedakan dengan suatu kondisi dimana anda merasakan ketidak amanan,
ketidak bahagiaan, dan ketidak cintaan. Dan juga dijelaskan menurut
Victor frank seorang psikologi bahwa pencarian manusia akan makna
hidup merupakan motivasi utamanya dalam hidup ini. Kearifan spiritual;
adalah sikap hidup arif dan bijak secara spiritual, yang cenderung lebih
bermakna dan bijak, bisa menyikapi segala sesuatu secara lebih jernih dan
benar sesuai hati nurani kita, kecerdasan spiritual “SQ”

Dalam sebuah penelitian yang dilakukan di Universitas California yakni


yang dilakukan oleh Neurolog V.S. Ramachandram bersamaan dengan
timnya telah menemukan adanya “Titik Tuhan” (God Spot) di dalam otak
manusia. Ia dan timnya menemukan titik tuhan itu ketika seseorang berbicara
atau terlibat dalam suatu pembicaraan mengenai topik-topik spiritual atau
keagamaan maka titik itu akan bercahaya.

11
Moh Solihin (2013:138) Buku yang digunakan oleh peneliti untuk meneliti
titik tuhan ialah buku yang berjudul “Seratus Tokoh yang paling berpengaruh
dalam sejarah”. Dengan penulis Michael H. Hart Membuat peringkaat 6
teratas : 1) Nabi Muhammad SAW, 2) Isaac Newton, 3) Nabi Isa (Yesus),
4)Budha (Sidharta Ghautama), 5) Khong Hu Chu, 6) St Paul.

Hampir dari data tersebut ternyata adalah tokoh-tokoh agama, pemimpin/


penggerak spiritual. Jadi manusia yang menentukan arah sejarah adalah
mereka yang memiliki kualitas spiritual.

Menurut Nggermanto dalam buku Moh Solihin (2013:138) ciri-ciri orang


ber SQ tinggi adalah:

a. Memiliki Prinsip dan visi yang kuat


 Memiliki Prinsip
Prinsip adalah suatu pernyataan fundamental (hal yang
mendasar) yang dijadikan oleh seseorang sebagai sebuah pedoman
untuknya berpikir untuk bertindak. Kemunculan prinsip merupakan
suatu akumulasi dari pengalaman yang dimaknai oleh seseorang
yang menjadikan itu sebagai pedomannya. Prinsip itu kemudian
akan menjadi roh dri sebuah perubahan atau kearah tertentu. Dalam
bukunya Moh Solihin (2013:139) menyatakan bahwa ada tiga
prinsip utama bagi orang yang tinggi spiritualnya, yakni:
1. Prinsip Kebenaran; Suatu yang paling nyata dalam kehidupan ini
adalah kebenaran. Sesuatu yang tidak benar tunggulah saatnya
nanti pasti akan sirna.
2. Prinsip Keadilan; Keadilan adalah memberikan sesuatu sesuai
dengan hak yang seharusnya diterima, tidak mengabaikan, tidak
mengurang-ngurangi.
3. Prinsip Kebaikan; Kebaikan adalah memberikan sesuatu lebih
dari hak yang seharusnya.

12
 Memiliki Visi yang kuat
Moh Solihin (2013:140) visi adalah cara pandang sebagaimana
memandang sesuatu dengan visi yang benar. Dengan visi kita bisa
melihat bagaimana sesuatu dengan apa adanya, jernih dari sumber
cahaya kebenaran.
b. Mampu melihat kesatuan dalam keanekaragaman
Moh Solihin (2013:140) menyatakan bahwa para siswa menuntut
suasana belajar yang menyenangkan. Guru menginginkan semangat
dan hasil belajar yang optimal. Semua pihak berbeda tetapi sama-sama
menginginkan kebaikan.
c. Mampu memaknai semua kehidupan
Semua yang terjadi di alam raya ini ada maknanya. Semua
kejadianpada diri kita dan lingkungan ada hikmahnya, semua
diciptakan ada tujuannya. Dalam sakit, gatal, jatuh, kekurangan dan
penderitaan lainnya banyak pelajaran yang mempertajam kecerdasan
spiritual kita. Demikian juga ketika kita berhasil kita bersyukur dan
tidak lupa diri.
d. Mampu mengelola dan bertahan dalam kesulitan dan pendengaran.
Banyak yang telah membuktikan bahwa semua orang yang sukses
dan kini besar telah melewati lika-liku dan ujian yang besar didalam
kehidupannya. Menurut J.J Reuseu dalam Moh Solihin (2013:140)
menjelaskan bahwa jika tubuh banyak berada didalam kemudahan dan
kesenanga, maka aspek jiwa akan rusak. Orang yang tidak mengalami
kesulitan atau sakit, jiwanya tidak tersentuh. Penderitaan dan
kesulitanlah yang menumbuhkan dan mengembangkan dimensi
spiritual.

Adapun manfaat SQ Dapat menyelesaikan masalah menggunakan


berbagai sarana spiritual; Melatih diri untuk melihat segala sesuatu
menggunakan mata hati; Menjadikan seseorang lebih cerdas dalam kaitannya
dengan agama; dan Dapat mengatasi berbagai persoalan yang berhubungan
makna kehidupan.

13
2.2.4 CRETIVITY QUOTIENT (CQ)

Kreativitas adalah potensi seseorang untuk memunculkan sesuatu yang


penemuan penemuan baru dalam bidang ilmu dan teknologi serta semua
bidang dalam usaha lainnya. Guil Ford mendiskripsikan 5 ciri kreativitas :

a. kelancaran : kemampuan memproduksi banyak ide.


b. keluwesan : kemampuan untuk mengajukan bermacam-macam
pendekatan jalan pemecahan masalah.
c. keaslian : kemampuan untuk melahirkan gagasan yang orisinal sebagai
hasil pemikiran sendiri.
d. penguraian : kemampuan menguraikan sesuatu secara terperinci.
e. Perumusan kembali : Kemampuan untuk mengkaji kembali suatu
persoalan melalui cara yang berbeda dengan yang sudah lazim.

Kreatifitas juga merupakan kemampuan untuk mencipta dan berkreasi,


tidak ada satupun pernyataan yang dapat diterima secara umum mengenai
mengapa suatu kreasi itu timbul. Kreativitas sering dianggap terdiri dari dua
unsur :

a. Kepasihan yang ditunjukkan oleh kemampuan menghasilkan sejumlah


besar gagasan dan ide-ide pemecahan masalah secara lancar dan cepat.
b. Keluwesan yang pada umumnya mengacu pada kemampuan untuk
menemukan gagasan atau ide yang berbeda-beda dan luar biasa untuk
memecahkan suatu masalah.

Manusia yang menjadi lebih kreatif akan menjadi lebih terbuka pikirannya
terhadap imajinasinya, gagasannya sendiri maupun orang lain. Sekalipun
beberapa pengamat yang memiliki rasa humor merasa bahwa kebutuhan
manusia untuk menciptakan berasal dari keinginan untuk “hidup di luar
kemampuan mereka”, namun penelitian mengungkapkan bahwa manusia
berkreasi adalah karena adanya kebutuhan dasar, seperti : keamanan, cinta
dan penghargaan. Mereka juga termotivasi untuk berkreasi oleh
lingkungannya dan manfaat dari berkreasi seperti hidup yang lebih

14
menyenangkan, kepercayaan diri yang lebih besar, kegembiraan hidup dan
kemungkinan untuk menunjukkan kemampuan terbaik mereka.

Kebiasaan, waktu, dibanjiri masalah, tidak ada masalah, takut gagal,


kebutuhan akan sebuah jawaban sekarang, kegiatan mental yang sulit
diarahkan, takut bersenang-senang, kritik orang lain. Hal-hal tersebut akan
berpengaruh bagi perkembangan kreatifitas seseorang. Adapun beberapa cara
memunculkan gagasan kreatif yaitu :

1. Kuantitas gagasan.

Teknik-teknik kreatif dalam berbagai tingkatan keseluruhannya


bersandar pada pengembangan pertama sejumlah gagasan sebagai suatu
cara untuk memperoleh gagasan yang baik dan kreatif. Akan tetapi,
bila masalahnya besar dimana kita ingin mendapatkan pemecahan baru
dan orisinil maka kita membutuhkan banyak gagasan untuk dipilih.

2. Teknik brainstorming

Merupakan cara yang terbanyak digunakan, tetapi juga merupakan


teknik pemecahan kreatif yang tidak banyak dipahami. Teknik ini
cenderung menghasilkan gagasan baru yang orisinil untuk menambah
jumlah gagasan konvensional yang ada.

3. Sinektik

Suatu metode atau proses yang menggunakan metafora dan analogi


untuk menghasilkan gagasan kreatif atau wawasan segar ke dalam
permasalahan, maka proses sinektik mencoba membuat yang asing
menjadi akrab dan juga sebaliknya.

4. Memfokuskan tujuan

Membuat seolah-olah apa yang diinginkan akan terjadi besok, telah


terjadi saat ini dengan melakukan visualisasi yang kuat. Apabila prose
itu dilakukan secara berulang-ulang, maka pikiran anda akan terpusat

15
ke arah tujuan yang dimaksud dan terjadilah proses auto sugesti ke dalam
diri maupun keluar.

Tentu saja untuk keberhasilannya perlu pembelajaran dan pelatihan


intensif bagaimana menggunakan kekuatan bawah sadar Anda itu,
dengan mengaktifkan Nur Ilahi untuk mendapatk an imajinasi yang
kuat, agar kreativitas selalu muncul saat dibutuhkan, membangun
Prestasi dan Citra yang membanggakan.

SDM sebagai pelaksana suatu profesi dengan tingkat kecerdasan


kreativitas (CQ) yang tin ggi, adalah mereka yang kreatif, mampu
mencari dan menciptakan terobosan-terobosan dalam membatasi berbagai
kendala atau permasalahan yang muncul dalam lembaga profesi yang
mereka geluti. Seorang pelaksana profesi yang ingin mencapai nilai-
nilai profesional, haruslah mempunyai CQ yang tinggi, yaitu mampu
menghasilkan ide-ide baru (orisinil) dalam meningkatkan daya saing
dalam dunia kerjanya dan lebih luas lagi daya saing di era globalisasi.
Seorang pelaksana profesi haruslah bersikap fleksibel, komunikatif dan
aspiratif, serta tidak dapat diam, selalu menginginkan perubahan-
perubahan kearah kehidupan yang lebih baik, reformatif dan tidak statis.

Prof. Dr. dr. H. Dadang Hawari, psikiater, mengemukakan bahwa


SDM d engan CQ yang tinggi mampu merubah bentuk. Dari suatu
ancaman (Threat) menjadi tantangan (Challenge) dan dari tantangan
menjadi peluang (Opportunity). Daya kreativitas tipe ini dapat
membangkitkan semangat, percaya diri (Self Confidence) dan
optimisme masyarakat dan bangsa untuk menghadapi masa depan yang
lebih baik, daya kreativitasnya bersifat rasional, tidak sekedar angan-
angan belaka (Wish Ful Thinking), dan dapat di aplikasikan serta di
implementasikan.

16
2.2.5 ADVERSITY QUOTIENT (AQ)

Kecerdasan adversitas pertama kali diperkenalkan oleh Paul G. Stoltz yang


disusun berdasarkan hasil riset lebih dari 500 kajian di seluruh dunia.
Kecerdasan adversitas ini merupakan terobosan penting dalam pemahaman
tentang apa yang dibutuhkan untuk mencapai kesuksesan. Stoltz mengatakan
bahwa sukses tidaknya seorang individu dalam pekerjaan maupun
kehidupannya ditentukan oleh kecerdasan adversitas, dimana kecerdasan
adversitas dapat memberitahukan: (1) seberapa jauh individu mampu
bertahan menghadapi kesulitan dan kemampuan untuk mengatasinya; (2)
siapa yang akan mampu mengatasi kesulitan dan siapa yang akan hancur; (3)
siapa yang akan melampaui harapan- harapan atas kinerja dan potensi mereka
serta siapa yang akan gagal; dan (4) siapa yang akan menyerah dan siapa yang
akan bertahan.

Kecerdasan adversitas adalah kemampuan yang dimiliki individu untuk


dapat mengatasi suatu kesulitan, dengan karakteristik mampu mengontrol
situasi sulit, menganggap sumber-sumber kesulitan berasal dari luar diri,
memiliki tanggung jawab dalam situasi sulit, mampu membatasi pengaruh
situasi sulit dalam aspek kehidupannya, dan memiliki daya tahan yang baik
dalam menghadapi situasi atau keadaan yang sulit.

1. Dimensi-dimensi Kecerdasan Adversitas

Adapun imensi-dimensi Kecerdasan Adversitas Menurut Stoltz, memiliki


empat dimensi yang biasa disingkat dengan CO2RE yaitu:

a. Control (C)

Dimensi ini bertujuan untuk mengetahui seberapa banyak atau


seberapa besar kontrol yang dirasakan oleh individu terhadap suatu
peristiwa yang sulit. Individu yang memiliki tingkat kecerdasan
adversitas yang tinggi merasa bahwa mereka memiliki kontrol dan
pengaruh yang baik pada situasi yang sulit bahkan dalam situasi yang
sangat di luar kendali. Individu yang memiliki skor tinggi pada dimensi

17
control akan berpikir bahwa pasti ada yang bisa dilakukan, selalu ada
cara menghadapi kesulitan dan tidak merasa putus asa saat berada
dalam situasi sulit.

b. Origin dan Ownership (O2)

Dimensi ini mempertanyakan dua hal, yaitu apa atau siapa yang
menjadi penyebab dari suatu kesulitan dan sampai sejauh manakah
seseorang mampu menghadapi akibat-akibat yang ditimbulkan oleh
situasi sulit tersebut.

 Origin
Dimensi ini mempertanyakan siapa atau apa yang menimbulkan
kesulitan. Dimensi ini berkaitan dengan rasa bersalah. Individu yang
memiliki kecerdasan adversitas tinggi menganggap sumber-sumber
kesulitan itu berasal dari orang lain atau dari luar. Individu yang
memiliki tingkat origin yang lebih tinggi akan berpikir bahwa ia
merasa saat ini bukan waktu yang tepat, setiap orang akan
mengalami masa-masa yang sulit, atau tidak ada yang dapat
menduga datangnya kesulitan.
 Ownership
Dimensi ini mempertanyakan sejauh mana individu bersedia
mengakui akibat yang ditimbulkan dari situasi yang sulit. Individu
yang memiliki kecerdasan adversitas tinggi mampu bertanggung
jawab dan menghadapi situasi sulit tanpa menghiraukan
penyebabnya serta tidak akan menyalahkan orang lain.

c. Reach (R)

Dimensi ini merupakan bagian dari kecerdasan adversitas yang


mengajukan pertanyaan sejauh mana kesulitan yang dihadapi akan
mempengaruhi bagian atau sisi lain dari kehidupan individu. Individu
yang memiliki kecerdasan adversitas tinggi memperhatikan kegagalan

18
dan tantangan yang mereka alami, tidak membiarkannya
mempengaruhi keadaan pekerjaan dan kehidupan mereka.

d. Endurance (E)

Dimensi keempat ini dapat diartikan ketahanan yaitu dimensi yang


mempertanyakan berapa lama suatu situasi sulit akan berlangsung.
Individu yang memiliki kecerdasan adversitas tinggi memiliki
kemampuan yang luar biasa untuk tetap memiliki harapan dan optimis.

2. Tipe-tipe Individu

Lebih lanjut Stoltz menjelaskan teori kecerdasan adversitas dengan


menggambarkan konsep pendakian “gunung”, yaitu menggerakkan tujuan
hidup ke depan, apapun tujuannya. Terkait dengan pendakian, ada tiga tipe
individu, yaitu:

a. Individu yang berhenti (quitters)


Individu yang berhenti (quitters) adalah individu yang
menghentikan pendakian, memilih keluar, menghindari kewajiban,
mundur, dan berhenti. Quitters dalam bekerja memperlihatkan sedikit
ambisi, motivasi yang rendah dan mutu dibawah standar.
b. Individu yang berkemah (campers)
Menurut Stoltz, individu yang memiliki kecerdasan adversitas
sedang (campers) merupakan individu yang mulai mendaki, namun
karena bosan, individu tersebut mengakhiri pendakiannya dan mencari
tempat yang rata dan nyaman sebagi tempat persembunyian dari situasi
yang tidak bersahabat. Campers dengan penuh perhitungan melakukan
pekerjaan yang menuntut kreativitas dan resiko yang tidak terlalu sulit,
tetapi biasanya dengan memilih jalan yang relatif aman. Mereka merasa
puas dengan mencukupi dirinya, mengorbankan kesempatan untuk
melihat atau mengalami suatu kemajuan, tidak mau mengembangkan
diri, dan tidak merasa bersalah untuk berhenti berusaha. Dalam dunia

19
kerja, campers masih menunjukkan sejumlah inisiatif, sedikit semangat,
dan beberapa usaha.
c. Individu yang mendaki (climbers)

Climbers atau si pendaki adalah sebutan bagi individu yang


memiliki kecerdasan adversitas tinggi. Climbers adalah pemikir
yang selalu memikirkan kemungkinan-kemungkinan, dan tidak
pernah membiarkan umur, jenis kelamin, ras, cacat fisik atau mental,
atau hambatan lainnya menghalanginya. Climbers menjalani
hidupnya secara lengkap. Climbers selalu menyambut tantangan-
tantangan yang ada. Climbers sering merasa sangat yakin pada
sesuatu yang lebih besar daripada diri mereka. Keyakinan ini
membuat mereka bertahan saat menghadapi situasi yang sulit.
Climbers sangat gigih, ulet dan tabah. Mereka terus bekerja keras.
Saat mereka menemui jalan buntu, mereka akan mencari jalan lain.
Saat merasa lelah mereka akan melakukan introspeksi diri dan terus
bertahan. Mereka memiliki kematangan dan kebijaksanaan untuk
memahami bahwa kadang-kadang manusia perlu mundur sejenak
supaya dapat bergerak maju lagi. Climbers bersedia mengambil
resiko, menghadapi tantangan, mengatasi rasa takut,
mempertahankan visi, memimpin, dan bekerja keras sampai
pekerjaannya selesai.

Tipe tipe individu di atas menjelaskan cara tiap - tiap orang


merespon situasi sulit untuk menuju kesuksesan. Dimana tipe -tipe
individu tersebut dapat berubah dari tipe yang satu ke yang lainnya
sesuai dengan kemampuan beradaptasi individu.

20
3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kecerdasan Adversitas
Stoltz menjelaskan bahwa ada beberapa faktor yang dapat
mempengaruhi kecerdasan adversitas antara lain:

1) Bakat

Bakat menggambarkan penggabungan antara keterampilan,


kompetensi, pengalaman dan pengetahuan yakni apa yang diketahui
dan mampu dikerjakan oleh seorang individu.

2) Kemauan

Kemauan menggambarkan motivasi, antusiasme, gairah,


dorongan, ambisi, dan semangat yang menyala – nyala.

3) Kecerdasan

Menurut Gardner terdapat tujuh bentuk kecerdasan, yaitu


linguistik, kinestetik, spasial, logika matematika, musik,
interpersonal, dan intrapersonal. Individu memiliki semua bentuk
kecerdasan sampai tahap tertentu dan beberapa di antaranya ada
yang lebih dominan.

4) Kesehatan

Kesehatan emosi dan fisik juga mempengaruhi individu dalam


mencapai kesuksesan.

5) Karakteristik kepribadian

Karakteristik kepribadian seorang individu seperti kejujuran,


keadilan, ketulusan hati, kebijaksanaan, kebaikan, keberanian dan
kedermawanan merupakan sejumlah karakter penting dalam
mencapai kesuksesan.

6) Genetika

Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor genetik merupakan


salah satu faktor yang mendasari perilaku dalam diri individu.

21
7) Pendidikan

Pendidikan mempengaruhi kecerdasan, pembentukan kebiasaan


yang sehat, perkembangan watak, keterampilan, hasrat, dan kinerja
yang dihasilkan individu.

8) Keyakinan

Keyakinan merupakan ciri umum yang dimiliki oleh sebagian


orang-orang sukses karena iman merupakan faktor yang sangat
penting dalam harapan, tindakan moralitas, kontribusi, dan
bagaimana kita memperlakukan sesama kita.

Menurut Anthony dkk ada beberapa faktor yang mempengaruhi


kemampuan indvidu untuk dapat berhasil beradaptasi meskipun
dihadapkan pada keadaan yang sulit, yaitu:

a. Kepribadian
Orang yang mampu beradaptasi dengan keadaan yang sulit
adalah orang yang adaptable. Mereka berusaha untuk melihat
suatu masalah dari berbagai sisi.
b. Keluarga
Orang yang mampu beradaptasi dengan keadaan yang sulit
memiliki hubungan yang baik dengan salah satu atau kedua
orangtua yang mendukungnya.
c. Kemampuan untuk belajar dari pengalaman (learning experience)
Orang yang mampu beradaptasi dengan keadaan sulit
berpengalaman dalam memecahkan masalah – masalah sosial.
Mereka menghadapi perubahan yang terjadi pada diri mereka,
mencari solusi, dan belajar bahwa mereka memiliki keahlian
untuk mengendalikan semua hal - hal buruk yang menimpa
mereka.

22
2.3 Korelasi dan Peranan Kecerdasan terhadap Profesionalisme Tenaga
Kerja dalam berbagai Profesi

Penilaian tentang kinerja individu karyawan semakin penting ketika


perusahaan akan melakukan reposisi karyawan. Artinya bagaimana
perusahaan harus mengetahui factor-faktor apa saja yang mempengaruhi
kinerja. Hasil analisis akan bermanfaat untuk membuat program
pengembangan SDM sacara optimum. Pada gilirannya kinerja individu akan
mencerminkan derajat kompetisi suatu perusahaan.

Oleh karena itu, agar mempunyai kinerja yang baik, seseorang harus
mempunyai keinginan yang tinggi untuk mengerjakan serta mengetahui
pekerjaannya. Kinerja individu dapat ditingkatkan apabila ada kesesuaian
antara pekerjaan dan kemampuan. Kinerja individu dipengaruhi oleh
kepuasan kerja. Kepuasan kerja itu sendiri adalah perasaan individu terhadap
pekerjaannya. Perasaan ini berupa suatu hasil penilaian mengenai seberapa
jauh pekerjaannya secara keseluruhan mampu memuaskan kebutuhannya.

Dalam peranan kecerdasan pertama-tama kita perlu pahami dulu bahwa


kecerdasan emosi (EQ) bukanlah lawan dari kosien kecerdasan (IQ). EQ
justru melengkapi IQ seperti halnya kecerdasan akademik dan ketrampilan
kognitif. Penelitian menunjukkan bahwa sebenarnya kondisi emosi
mempengaruhi fungsi otak dan kecepatan kerjanya (Cryer dalam Kemper).
Penelitian bahkan juga menunjukkan bahwa kemampuan intelektual Albert
Einstein yang luar biasa itu mungkin berhubungan dengan bagian otak yang
mendukung fungsi psikologis, yang disebut amygdala. Meskipun demikian,
EQ dan IQ berbeda dalam hal mempelajari dan mengembangkannya. IQ
merupakan potensi genetik yang terbentuk saat lahir dan menjadi mantap
pada usia tertentu saat pra-pubertas, dan sesudah itu tidak dapat lagi
dikembangkan atau ditingkatkan. Sebaliknya, EQ bisa dipelajari,
dikembangkan dan ditingkatkan pada segala umur.

IQ dan EQ para partisipan diuji dan dianalisis secara mendalam; kemudian


mereka diorganisasi ke dalam beberapa kelompok kerja, dan masing-masing

23
kelompok diberi pelatihan mengenai satu bentuk kompetensi EQ, seperti
manajemen-diri dan ketrampilan sosial; sebagai kontrol adalah satu
kelompok yang terdiri atas orang-orang ber-IQ tinggi. Ketika dilakukan
evaluasi nilai-tambah ekonomi yang diberikan kompetensi EQ dan IQ,
hasilnya sangat mencengangkan. Kelompok dengan ketrampilan sosial tinggi
menghasilkan skor peningkatan laba 110%, sementara yang dibekali
manajemen-diri mencatat peningkatan laba 390%, peningkatan $ 1.465.000
per tahun. Sebaliknya, kelompok dengan kemampuan kognitif dan analitik
tinggi, yang mencerminkan IQ, hanya menambah laba 50%; artinya, IQ
memang meningkatkan kinerja, tapi secara terbatas karena hanya merupakan
kemampuan ambang. Kompetensi berbasis EQ jelas jauh lebih mendorong
kinerja.

Dalam kurun waktu yang lama Kecerdasan Intelektual (IQ) sering


dijadikan patokan standar kualitas manusia. Skor Kecerdasan Intelektual (IQ)
yang tinggi berarti memiliki kecerdasan yang baik dan dapat meraih
kesuksesan dengan baik pula. Memang Kecerdasan Intelektual (IQ) sangat
berperan penting bagi setiap orang dalam menggapai kesuksesan. Tetapi, jika
Kecerdasan Intelektual (IQ) menjadi tolak ukur satu-satunya, maka akan
melahirkan generasi yang cerdas secara intelektual tetapi tidak punya nurani.
Bahkan cenderung membentuk manusia-manusia robot yang menjalankan
tugas secara rasional dan teknis tanpa mempertimbangkan aspek emosional.
Kecerdasan Intelektual (IQ) adalah syarat perlu bagi setiap orang tetapi tidak
mencukupi untuk dijadikan faktor kesuksesan seseorang. Sementara itu,
seringkali kita mendapatkan seseorang yang memiliki nilai akademik tidak
terlalu baik tetapi memiliki prestasi yang meyakinkan di perusahaannya.
Kecerdasan Intelektual (IQ) yang diberi sentuhan Kecerdasan Emosional
(EQ), meliputi sikap empati, mengungkapkan dan memahami perasaan,
mengendalikan amarah, kemandirian, kemampuan menyesuaikan diri,
disukai kemampuan memecahkan masalah antar pribadi, ketekunan,
kesetiakawanan, keramahan dan sikap hormat, akan menjadi kekuatan
seseorang dalam menyelesaikan masalah dengan pertimbangan aspek

24
emosional. Bagi seorang manajer keterpaduan antara Kecerdasan Intelektual
(IQ) dan Kecerdasan Emosional (EQ) mutlak diperlukan.

Seseorang dengan modal Kecerdasan Intelektual (IQ) dan Kecerdasan


Emosional (EQ) saja seringkali mengalami kelebihan beban (overload) dan
tak mampu lagi menampung beban yang ditanggungnya. Pada kondisi
demikian, kecerdasan spiritual (SQ) sangat dibutuhkan sebagai sumber nilai
untuk merespon dan mencari solusi melalui dimensi alternatif. Jika
kecerdasan intelektual (IQ) berperan memberi solusi intelektual – teknikal
dan Kecerdasan Emosional (EQ) berperan meratakan jalan dalam
membangun relasi sosial, maka SQ mempertanyakan mengenai makna,
tujuan dan filsafat hidup seseorang. Tanpa disertai kedalaman spiritual,
kepandaian dan popularitas seseorang tidak akan memberi makna,
ketenangan dan kebahagiaan hidup.

Seseorang dapat mencapai kesuksesan dengan Kecerdasan Intelektual (IQ)


dan Kecerdasan Emosional (EQ), tetapi ia akan mengalami kehampaan dalam
hidupnya kalau tanpa memiliki Kecerdasan Spiritual (SQ). Secara
neurobiologis, baik IQ, EQ dan SQ memiliki struktur biologisnya. IQ dalam
otak besar, EQ dalam otak bagian dalam (otak kecil), sedangkan SQ terletak
pada sebuah titik yang disebut titik Tuhan (God Spot) yang terletak di bagian
kanan depan. God spot ini akan terlihat lebih terang jika seseorang sedang
menjalani aktivitas spiritual.

Akan tetapi, Kecerdasan Spiritual (SQ) yang dikenalkan oleh Danah Zohar
dan Ian Marshal belum menyentuh aspek ketuhanan dalam kaitannya dengan
nilai-nilai agama. Aktivitas spiritual tersebut dapat juga dilakukan oleh
seorang Atheis dalam bentuk kontemplasi atau perenungan tentang makna
hidup atau sering juga disebut meditasi. Pada tahun 2001, Ary Ginanjar
Agustian memberikan sentuhan spiritualitas Islam pada IQ, EQ, dan SQ
dalam bukunya, “Rahasia sukses membangun kecerdasan emosi dan spiritual
berdasarkan 6 rukun Iman dan 5 rukun Islam”. Ary Ginanjar Agustian
menyatakan bahwa Kecerdasan Intelektual (IQ) baru sebagai syarat perlu

25
tetapi tidak cukup untuk meraih kesuksesan. Sementara Kecerdasan
Emosional (EQ) yang dipahami hanya sebatas hubungan antar manusia.
Sementara Kecerdasan Spiritual (SQ) sering dipahami sebagai sikap
menghindar dari kehidupan dunia. Hal ini mengakibatkan lahirnya manusia
yang berorientasi pada dunia dan di sisi lain ada manusia yang lari dari
permasalahan dunia untuk menemukan kehidupan yang damai. Dalam Islam
kehidupan dunia dan akhirat harus terintegrasi dalam pikiran, sikap dan
perilaku seorang muslim.
Selain itu adanya kecerdasan kreativitas erat kaitannya dengan kecerdasan
intelektual. Dimana kreativitas biasanya berasal dari hal-hal abstrak yang
disusun secara sistematis hingga membentuk suatu yang bernilai lebih. Jadi,
keceradan kreativitas menurut kami lebih kepada kecerdasan intelektual.
Akan tetapi, kecerdasan ini memiliki nilai lebih dibanding nilai intelektual itu
sendiri. Biasanya kecerdasan intelektual memiliki sumber yang telah ada dan
ilmiah, sedangkan kreativitas bisa berasal dari sesuatu yang belum ada
menjadi sesuatu yang ada dan memiliki gebrakan baru pada bidang tertentu.
Adapun kecerdasan adversitas erat kaitannya dengan kecerdasan
emosional mapupun kecerdasan spiritual. Menurut beberapa ahli, kecerdasan
adversitas erat kaitannya dengan semangat memecahkan masalah. Olehnya
itu, dalam proses pemecahan dibutuhkan kontrol emosi yang baik serta
dengan menggunakan metode pendekatan kepada sang pencipta. Hal ini
menjadi penting, sebab ketika dihadapkan dengan masalah, cara
menghadapinya akan berpengaruh pada hasil kinerja seseorang. Ketika
seseorang mampu mengontrol emosi, maka dia akan mampu memotivasi
dirinya agar bisa keluar dari peliknya permasalahan. Sebagai manusia yang
penuh kekurangan tetntunya ketika jalan itu telah berusaha kita cari namun
belum kita dapatkan, maka kecerdasan spiritual harus dioptimalkan. Didalam
berbagai agama kita diarhakan untuk instropeksi diri dan menyerahkan
urusan kepada sang pencipta agar diberi jalan keluar yang terbaik dari suatu
permasalahan.

26
Kecerdasan seseorang dinilai tak hanya dilihat dari intellectual quotient
(IQ), tetapi juga harus ada keseimbangan dengan emotional quotient (EQ),
dan spiritual quotient (SQ). IQ yang tinggi bukanlah penentu kesuksesan.
Menurut penelitian orang yang ber-IQ tinggi cenderung mengalami kesulitan
dalam bergaul, berinteraksi, mengembangkan diri dan bersikap baik. Oleh
karena itu, IQ tinggi harus dibarengi dengan EQ yang tinggi. Dengan EQ kita
justru akan mendalami kecerdasan intelektual kita dalam berbuat dan
berperilaku. Beberapa pakar kecerdasan menemukan tiga tingkatan alam
dalam otak manusia, yaitu alam sadar (IQ), alam pra sadar (EQ) dan sebuah
unsur terdalam otak yang biasa disebut God Spot yaitu sebuah titik terang
yang berada di alam bawah sadar manusia (SQ).

Dalam sebuah organisasi setiap orang adalah pemimpin, minimal


pemimpin untuk dirinya sendiri. Aspek IQ, EQ dan SQ dianggap perlu
dimiliki oleh seseorang. Bahkan, ada satu lagi yang juga perlu dimiliki
seseorang yakni adversity quotient (AQ) karena di situlah kecerdasan
seseorang dalam menghadapi masalah dan kesulitan diuji, terlebih jika orang
tersebut adalah pemimpin. Seorang pemimpin yang berlandaskan pada IQ
saja, maka visi misi serta orientasi kerjanya sebatas pada hal-hal yang sifatnya
materialistis, matematis dan pragmatis dengan mengeyampingkan hal-hal
yang berbau spiritualitas dan sentuhan hati nurani karena tujuan utamanya
sebatas mencari kepuasan materiil dan duniawi. Pemimpin yang
menggunakan nilai EQ akan menggunakan hatinya dalam memimpin. Namun
pendekatan EQ ini sasaran akhirnya cenderung masih tetap sama dengan
pendekatan IQ yakni sebatas mengejar kepuasan materiil atau duniawi.
Artinya masih mengabaikan hubungan dengan Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Pemimpin yang mendalami dan menerapkan nilai SQ dipadukan dengan EQ,
tujuan utamanya semata-mata mencari ridho Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Visi misinya jauh ke depan, tidak sebatas akhirnya kehidupan dunia saja
tetapi sampai pada kehidupan akhirat dimana semua perilaku di dunia akan
dipertanggungjawabkan kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Oleh karena
itu, pengukuran kinerja tidak hanya bersadarkan hasil tetapi kriteria proses

27
untuk mencapai hasil tersebut juga diperhatikan. Kinerja dapat berupa produk
akhir (barang/jasa) atau berbentuk perilaku, kecakapan, kompetensi, sarana
dan keretampilan spesifik yang mendukung pencapaian organisasi. Nilai-nilai
AQ menjadi pelengkap dari keseluruhan aspek. Dengan AQ yang tinggi,
pemimpin akan mampu menghadapi rintangan atau halangan yang
menghadang dalam mencapai tujuan. Ada empat dimensi dalam AQ, antara
lain: dimensi control, origin and ownership, reach dan endurance. Dimensi
control terikait dengan EQ yakni sejauh mana seseorang mampu mengelola
kesulitan yang akan datang. Dimensi kedua tentang origin sangat terkait
dengan SQ yakni berasal dari dirinya, atau sejauhmana seseorang
menyalahkan dirinya ketika ia mendapati bahwa kesalahan tersebut berasal
dari dirinya, atau sejauhmana seseorang menyalahkan orang lain atau
lingkungan yang menjadi sumber kesulitan atau kegagalannya. Dan yang
lebih penting adalah sejauhmana kesediaan untuk bertanggung jawab atas
kesalahan atau kegagalan tersebut (dimensi ownership).
Analisis SWOT merupakan suatu teknik yang dapat digunakan untuk
menelaah tingkat keberhasilan pencapaian cita-cita/karier. Adapun arti kata
dari SWOT adalah, sebagai berikut :
a. “S” Strenght (Kekuatan), adalah sebuah potensi yang ada pada diri
sendiri yang mendukung cita-cita / karier.
b. “W” Weakness (Kelemahan), adalah seluruh kekurangan yang ada
pada diri sendiri dan kurang mendukung cita-cita/ karier.
c. “O” Opportunity, (Peluang), adalah segala sesuatu yang dapat
menunjang keberhasilan cita-cita/karier.
d. “T” Traits (Ancaman), adalah segala sesuatu yang dapat menggagalkan
rencana cita- cita/karier yang berasal dari diri sendiri atau lingkungan.

Pemecahan masalah dapat dilakukan dengan Zero Mind Proces;


melepas belenggu mental, maka emosi terkendali, akal/logika berpikir terjadi
ketenangan batin, berserah diri kepada Tuhan. Maka potensi energi dan
nilai spiritual muncul dan bangkit, tercipta dalam bentuk aplikasi nyata.

28
Adapun langkah-langkah yang dibutuhkan dalam pengambilan keputusan
yang tepat, antara lain :

a. Keputusan Spiritual
b. Masalah Kebebasan
c. Keputusan Memilih
d. Timbul Emosional
e. Keputusan Persepsi

29
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan yang telah dipaparkan di bab sebelumnya, dapat


disimpulkan bahwa :

1. Kecerdasan adalah kemampuan/daya reaksi atau penyesuaian yang cepat


dan tepat, baik secara fisik maupun mental terhadap suatu masalah dengan
peritimbangan-pertimbangan tertentu yang bersifat abstrak.
2. Kecerdasan terdiri atas beberapa macam antaralain kecerdasan intelektual
(IQ) yang erat kaitannya dengan keilmiahan; kecerdasan emosional (EQ)
yang erat kaitannya dengan kontrol dan mawas diri; kecerdasan spiritual
(SQ) yang berkaitan dengan hakikat manusia sebagai makhluk; kecerdasan
kreativitas (CQ) yang berkaitan dengan kemampuan bereksplorasi dan
berinovasi; serta kecerdasan adversitas (AQ) yang berkaitan dengan
motivasi seseorang.
3. Kecerdasan baik IQ, EQ, SQ, CQ maupun AQ berpengaruh terhadap
profesionalisme kerja seseorang dan kesemua kecerdasan tersebut harus
dioptimalkan agar menajadi manusia yang sesuai fitrahnya. Dimana semua
jenis kecerdasan penting diasah dan harus berjalan beriringan dan sesuai
kadarnya masing-masing.
3.2 Saran

Melihat perkembangan teknologi di era millenium, kecerdasan perlu


mengalami pergeseran kearah optimalisasi EQ – SQ sebab dengan kedua jenis
kecerdasn tersebut mampu membendung manusia dari kerusakan akibat
dampak dari perkembangan zaman. Selain itu, revolusi industri 4.0 telah
mengakibatkan pergeseran besar-besaran terhadap tenaga kerja manusia di
berbagai profesi sehingga dibutuhkan manusia yang lebih kreatif guna
menghadapi dampak otomasi industri yang makin hari menyebabkan tenaga
kerja manusia di bidang fisik bergeser.

30
DAFTAR PUSTAKA

Amalina, Lina Nur. 2018. Makalah Peran IQ, EQ, SQ, CQ, AQ dalam
Pengembangan Profesi Guru.
https://linanalbio.blogspot.com/2018/03/makalah-peran-iq-eq-sq-cq-aq-
dalam.html Diakses pada hari Jumat, 05 April 2019 pukul 15.53 Wita.

Amanda, Shinta. 2017. Apa yang dimaksud dengan Adversity quotient?


https://www.dictio.id/t/apa-yang-dimaksud-dengan-adversity-
quotient/8970/2 . Diakses pada hari Jumat, 05 April 2019 pukul 15.54
Wita.

Andaria, Dian. 2014. Makalah Peranan Kecerdasan.


http://dianandaria.blogspot.com/2014/06/makalah-peranan-
kecerdasan.html . Diakses pada hari Jumat, 05 April 2019 pukul 15.53
Wita.

Kurniawan, Agung. 2013. CQ (Cretivity Quotient) Kecerdasan Kreativtas.


http://agungpriacool.blogspot.com/2013/01/cq-cretivity-quotient-
kecerdasan.html . Diakses pada hari Jumat, 05 April 2019 pukul 15.42
Wita.

Widiastuti. 2011. Efeftivitas Kecerdasan Terhadap Kinerja.


https://widiastutidyah.wordpress.com/2011/01/20/makalah-efektivitas-
kecerdasan-terhadap-kinerja/ . Diakses pada hari Jumat, 05 April 2019
pukul 15.43 Wita.

Yahya, Rizky Amaliah. 2016. Efeftivitas Kecerdasan Terhadap Kinerja.


http://irmajhe.blogspot.com/2016/11/peran-iq-eq-sq-cq-dan-aq-
dalam.html . Diakses pada hari Jumat, 05 April 2019 pukul 15.45 Wita.

31

Anda mungkin juga menyukai