Anda di halaman 1dari 12

MODUL PERKULIAHAN

PENDIDIKAN KRISTEN
PROTESTAN

MORAL HIDUP MANUSIA

Fakultas Program Studi Tatap Muka Kode MK Disusun Oleh

09
MKCU Manajemen U001700004 Tim Dosen Agama Kristen

Abstract Kompetensi
Moral Hidup: Menghargai
Mahasiswa mampu menjelaskan
Kebertubuhan, kejasmanian sebagai hakekat hidup, kebertubuhan, dan
bagian dari iman serta kontroversi dan hak asasi manusia serta mampu
prinsip moral kristen. menguraikan dan menunjukkan
teknologi yang berkaitan tubuh
manusia dan menganalisa peran
moral hidup dalam kemanusian.
Materi
BAB VIII
MORAL HIDUP MANUSIA

8.1. Pengantar

Betapa penting tubuh manusia… tanpa tubuh sulit kita membayangkan bahwa seseorang itu ada

Manusia, binatang, dan tumbuhan adalah makhluk hidup. Makhluk hidup dibedakan dengan benda mati.
Menurut William Chang hidup dilukiskan sebagai “sesuatu” yang baik atau sebuah nilai yang mengandung
dinamika dan gerak1. Hidup adalah kemampuan untuk beraktivitas dari pihak subyek yang hidup dan cenderung
menyempurnakan diri terus menerus. Hal ini biasa dikenal dengan imanensi. Menurut Sgreccia, “pada tingkat
pertama kehidupan, tindakan imanen adalah kapasitas yang mengandung tiga dimensi: nutrisi, pertumbuhan,
dan perkembangbiakan2”.
Pandangan tentang „hidup‟ tidak serta merta seragam. Termasuk dalam pandangan agama-agama. Paling tidak
hal ini semakin menguatkan pendapat bahwa agama-agama, umumnya direfleksikan berdasarkan pola pikir
tertentu dan dalam budaya tertentu. Penganut Sikh menganggap kehidupan berawal saat konsepsi. Pemeluk
Yahudi berpendapat embrio yang berusia kurang dari 40 hari belum dianggap sebagai manusia seutuhnya.
Namun, pendapat ini masih diperdebatkan di kalangan mereka. Bagi orang Buddha, embrio baru menunjukkan
suatu "kesadaran" setelah minggu ketujuh atau 49 hari. Para ulama Islam berpandangan kehidupan manusia
dimulai setelah embrio berusia empat bulan, yaitu saat roh ditiupkan ke janin.

Sementara itu, secara umum ada lima pendapat besar yang pernah ada mengenai kapan kehidupan dimulai
berdasarkan sejarah ilmu kedokteran. Yang pertama adalah pendapat yang mengatakan bahwa kehidupan
manusia dimulai sejak konsepsi (pertemuan sperma dan ovum). Persatuan sel telur dan sel sperma akan
berkembang menuju kelahiran manusia.
Pendapat yang kedua adalah pendapat yang menganggap kehidupan dimulai saat adanya getaran syaraf
karena kematian merupakan berhentinya aktivitas syaraf-syaraf otak. Kemudian, pandangan yang ketiga adalah
pandangan yang menganggap kehidupan dimulai saat bergeraknya fetus untuk pertama kalinya. Namun, usia ini
menimbulkan kerancuan. Usia 4 bulan kehamilan, ketika gerakan fetus dirasakan oleh ibunya disebut dengan

1
Chang, William. Bioetika: Sebuah Pengantar. Kanisius, Yogyakarta, 2009, hal. 29
2
Chang, William. Bioetika: Sebuah Pengantar, hal. 30

2020 Pendidikan AGAMA KATOLIK Pusat Bahan Ajar dan eLearning


2 Tim Dosen Agama Kristen http://www.mercubuana.ac.id
quickening. Dalam embriologi modern, embrio yang berusia 10 minggu pun sebenarnya sudah sudah bisa
bergerak. Hanya saja belum bisa dirasakan oleh ibunya.
Pendapat yang keempat adalah mengenai viabilitas pre-natal human being. Pandangan ini menegaskan bahwa
kehidupan manusia dimulai bila janin dinilai telah mampu hidup di luar rahim ibunya sekitar usia 6-7 bulan
kehamilan. Pandangan yang terakhir mengenai kapan kehidupan manusia sebagai individu dimulai adalah pada
saat kelahiran. Pandangan ini menyatakan bahwa kemanusiaan baru muncul saat janin itu dilahirkan.

8.2. Diskusi Awal Hidup Manusia


Secara umum, berdasarkan embriologi modern ini, kita bisa melihat bahwa kelahiran bayi pada usia 266 hari
tidak memberikan perbedaan apa-apa sebab organ-organnya sudah terbentuk sejak di dalam kandungan. Yang
berbeda hanyalah cara mendapatkan sari makanan yang semula tergantung dari ibu, sekarang tidak lagi 3.
Sementara organ-organ sudah berfungsi sejak semula. Oleh karena itu, kiranya kita bisa melihat lagi,
berdasarkan argumentasi medis sebenarnya kapan kehidupan itu dimulai.
Biologi juga menjelaskan, manusia berkembang dari tahap embrionik hingga saat kematian alamiahnya.
Mengacu pada embriologi, hidup manusia dimulai sejak pembuahan, sejak sperma dan ovum bertemu. “Sejak
pembuahan, kehidupan manusia baru sudah dimulai. Inilah awal hidup setiap kita sebagai pribadi unik 4”.
Pandangan tersebut pendapat dari kaum biologis, filsuf, dan moralis yang menganggap pembuahan sebagai
suatu saat yang tepat dan paling menentukan dalam transmisi hidup manusia. Pertemuan ovum dan
spermatozoid menjadi titik awal hidup manusia dalam bentuk yang paling sederhana.
Dari sana, muncul konsep prinsip hidup manusia yang disebut “jiwa”‟ Dengan konsep tersebutlah segala sesuatu
dapat ditentukan. Tanpa individualisasi, tak ada personalisasi. “Hanya hidup manusia yang memiliki
individualitas tak terubahlah yang dapat disebut person”5. Jadi, dari sudut pandang ini janin tidak perlu menanti
berminggu-minggu untuk “menjadi manusia”. Ia adalah human being sejak pembuahan. Dan janin sudah
merupakan manusia dalam proses bertumbuh kembang.
Salah satu pendukung dari kubu pro-life adalah Patrick Lee dan P. George. Mereka mengatakan bahwa terdapat
tiga poin utama dari Human Embryo:

1. Human Embryo berbeda dengan bermacam sel dari ayah maupun ibunya.
2. Embryo is Human. Artinya ia memiliki karakteristik genetik dari Human Being pada umumnya.
3. Embryo adalah organisme yang komplet, walaupun dia immature. Ia tidak seperti sperma dan ovarium
(the sex cells) yang belum komplet dan juga tidak dapat diperbandingkan dengan sel-sel somatik yang
merupakan bagian kecil dari organisme yang lebih besar6.

3
DR.CB.Kusmaryanto,SCJ, Tolak Aborsi,Budaya Kehidupan Versus Budaya Kematian, Kanisius, Yogyakarta,
2005, hal. 102
Moore, Keith L. And T.V.N. Persaud. The Developing Human: Clinically Oriented Embryology, Elsevier
Health Sciences, Oxford, 2007, hal. 3
5
Moore, Keith L. And T.V.N. Persaud. The Developing Human: Clinically Oriented Embryology, hal. 3
6
Cohen, Andrew I., Contemporary Debates in Philosophy. Blackwell, Oxford, 2006, hal. 14

2020 Pendidikan AGAMA KATOLIK Pusat Bahan Ajar dan eLearning


3 Tim Dosen Agama Kristen http://www.mercubuana.ac.id
Kemudian, Sarah Franklin, sebagai salah satu kubu anti aborsi memberikan suatu analisis yang komprehensif
mengenai kemanusiaan fetus dengan mengatakan bahwa, tubuh perempuan hanyalah “inkubator”, sebagaimana
dalam banyak dibahas dalam istilah biologis yang digambarkan pasif, melainkan juga tunduk pada fetus. Dari
sana, dapat kita simpulkan bawa pre-natal human being, terutama dalam fase human embryo tidak berbeda jauh
dengan human being. Ia bukanlah bentuk individu dari non-human ataupun intermediate spesies. Embryo adalah
human being dalam beberapa tahap (awal) perkembangan manusia. Oleh karena itu, dari sinilah barangkali kita
dapat melakukan perdebatan secara rasional dalam problem status moral pre-natal human being.
Para pemikir abad pertengahan juga memberikan sumbangan terhadap apa yang disebut dengan paham
“kesucian kehidupan”. Frase ini adalah cara singkat untuk menunjukkan nilai kehidupan serta harkat yang
melekat padanya. Pemahaman nilai kehidupan ini dapat dipahami sebagai eksternal yaitu kehidupan adalah
pemberian Tuhan, atau pemahaman nilai kehidupan sebagai internal sejauh persona mempunyai nilai sendiri.
Leon R. Kass, ketua president’s Council on Bioethics mengatakan bahwa, “dalam arti yang seksama, kesucian
hidup manusia berarti bahwa hidup dalam dirinya sendiri merupakan sesuatu yang kudus atau suci. Transenden
dan disendirikan – seperti Tuhan sendiri. Dalam arti yang lebih sederhana dan lebih praktis, memandang hidup
sebagai suci berarti bahwa hidup itu tidak boleh dilanggar, dihina, ataupun dihancurkan7”. Akan tetapi secara
positif ini berarti bahwa hidup itu harus dilindungi, dibela, dan dilestarikan.
Paham kesucian hidup ini adalah sederhana dalam perumusannya, namun menjadi kompleks juga jika kita
mencoba menjelaskannya, seperti yang diungkapkan oleh Bonaventura yang mengaskan bahwa, “jejak Tuhan
Pencipta membekas pada ciptaan-Nya. Apa yang diciptakan itu mencerminkan Perbuatannya dan karenanya
harus dianggap berharga.” Jika kita melakukan aborsi maka kita sudah turut campur dalam kehendak Tuhan
atau proses penciptaan-Nya.
Dari beberapa pandangan di atas terlihat bahwa awal kehidupan manusia dalam teologi Kristiani disimpulkan
pada masa pembuahan (bertemunya sperma dan sel telur). Oleh karena manusia hanyalah penjaga dan
administrator hidupnya, maka manusia tidak berhak mengambil hidup being lain ataupun mengambil hidupnya
sendiri. Hal-hal eksternal yang sifatnya badaniah dalam kehidupan hanyalah tambahan dan tidak pernah menjadi
unsur penentu dalam menilai hidup. Nilai kesucian hidup berasal dari Ilahi. Oleh karena itu, kesucian itu ada
bersama dengan adanya kehidupan dan bertahan selama kehidupan itu ada.
Pandangan semacam ini tentu saja berimplikasi pada paham yang menentang adanya aborsi. Aborsi berarti
sebuah pelanggaran berat atas hak hidup manusia yang sudah dinilai kehidupannya sejak awal pembuahan.
Oleh karena itulah, paham ini tidak serta merta diterima. Salah satunya adalah kelompok yang menamakan diri
mereka sebagai pro-choice. Mereka memperbolehkan aborsi untuk alasan tertentu. Hal ini pun didasari pada
pandangan mereka tentang awal hidup manusia. Berikut adalah beberapa argumentasi yang mendasari
pemikiran tentang delayed animation:

7
Kusmaryanto. Stem Sel: Sel Abadi dengan Seribu Janji Terapi. Grasindo, Jakarta, 2005, hal. 74

2020 Pendidikan AGAMA KATOLIK Pusat Bahan Ajar dan eLearning


4 Tim Dosen Agama Kristen http://www.mercubuana.ac.id
1. Conceptus, zygote, dan embryo pada fase awal berupa segumpal sel-sel tanpa bentuk dan tidak stabil.
Bentukan itu masih merupakan benda mati (inanimate) yang masih jauh dari menyerupai bentuk
manusia. Bentukan itu bukan merupakan “makhluk” yang rasional, apalagi “makhluk” sosial.
2. Sukar sekali memberikan status person bagi bentukan seperti itu. Conceptus sampai embryo tidak
memiliki satu pun dari kriteria person.
3. Oleh karena itu, aborsi selektif atas indikasi tertentu secara moral dapat diterima, karena mengeluarkan
benda yang tidak hidup dan bukan personi dari tubuh seseorang tidak dapat dikatakan tindak
pembunuhan.
4. Bagi kubu ini, pro-choice berarti hak atau kebebasan untuk memilih. Artinya, seorang perempuan hamil
berhak memilih untuk memutuskan apakah ia ingin mengakhiri atau meneruskan kehamilan yang sudah
(terlanjur?) terjadi, karena alasan-alasan tertentu (misalnya pada kasus kehamilan akibat pemerkosaan).

Dasar dari hak memilih ini adalah hak otonomi sebagai pasien, yaitu hak untuk mengambil keputusan sendiri,
menentukan, dan memberikan persetujuan tentang tindakan medis oleh dokter terhadap dirinya. Yang masih
kontroversial dalam hal ini adalah, apakah dengan menentukan pilihan untuk aborsi, seorang perempuan hamil
tidak mengabaikan atau tidak melanggar hak janin sendiri untuk hidup8.
Ada beberapa pendapat yang berusaha melanjutkan pandangan ini. Judith Jarvis Thomson misalnya
mengatakan, “walaupun tindakan aborsi tidak dapat diterima hal tersebut tidak serta-merta membuat fetus
memiliki hak untuk hidup. Seorang perempuan tidak memiliki kewajiban untuk mengandung 9”. Hal tersebut
hanya merupakan pilihan. Ia berupaya membedakan kewajiban kita terhadap orang lain dengan konsepsi
kewajiban (yang menurutnya tidak dapat diterima) mengenai perempuan secara umum memiliki kewajiban untuk
tidak melakukan aborsi.
Pertanyaan berikutnya, manakah yang benar di antara dua pendapat itu? untuk tidak jatuh pada penghakiman
sepihak ke masing-masing pandangan, marilah kita lihat beberapa pandangan tentang hubungan antara tubuh
dengan jiwa. Menurut Aristoteles, jiwa merupakan prinsip kehidupan yang menjadi penggerak sehingga sesuatu
dikatakan hidup. Hal ini memang tidak begitu mudah untuk disamakan dengan roh, jiwa, maupun nyawa.
Tentang roh, jiwa, dan nyawa penjelasannya lebih ke penjelasan teologis. Dalam moral hidup kali ini, kita akan
melihatnya dalam argumentasi yang lebih ilmiah secara filosofis.
Yang pertama-tama bisa dikatakan adalah argumen delayed animation dalam peristiwa quickening, yaitu saat
gerakan janin dirasakan oleh ibunya jelas sudah terbantahkan. Gerakan manusia bukan terjadi saat dirasakan
ibunya, tapi sejak usia embrio 10 bulan juga sudah terjadi. Hanya belum dirasakan. Berikutnya ada argumen
lain, seperti prinsip relasi, prinsip syaraf, dan prinsip kemandirian. Integralitas manusia kiranya bisa dijadikan
untuk menunjukkan bahwa martabat hidup manusia tidak ditentukan oleh hal-hal yang sifatnya parsial. Artinya,
manusia tidak bisa ditentukan kehidupannya dari hal-hal yang hanya dari sebagian dari keseluruhan hidupnya.

8
Jacobalis, Samsi. Pengantar tentang Perkembangan Ilmu Kedokteran, Etika Medis, dan Bioetika, Sagung seto,
Jakarta, 2005, hal. 233-234
9
Bonevac. Today’s Moral Issues: fourth edition, McGraw Hill, New York, 2001, hal. 313.

2020 Pendidikan AGAMA KATOLIK Pusat Bahan Ajar dan eLearning


5 Tim Dosen Agama Kristen http://www.mercubuana.ac.id
Relasi, organ, kemandirian, itu hanya sebagian dari totalitas atau keseluruhan diri manusia. Tentang totalitas
manusia ini, kita akan membahas beberapa pandangan tentang kaitan antara tubuh dan jiwa 10.
Pandangan pertama adalah pandangan dualistik. Ada ungkapan yang sangat „terkenal dari Plato, “tubuh adalah
penjara jiwa.” Plato memang dikenal dengan pandangan dualismenya. Pandangan ini membedakan adanya
tubuh dan jiwa. Tubuh adalah fana, kotor, dan dalam arti tertentu lebih rendah. Sedangkan jiwa bersifat abadi
dan suci. Jejak-jejak pemikiran ini tersisa di banyak pemikiran religius. Ketika manusia hidup, jiwanya sedang
menantikan pelepasan lewat kematian. Oleh karena itu, pada jaman dulu ada praktek-praktek yang menyiksa
tubuh dan menganggap tubuh sebagai biang keladi kedosaan agar jiwanya menjadi suci. Aliran gnosisme dalam
sejarah Gereja Katolik misalnya, meletakkan Yudas Iskariot sebagai seorang tokoh pembebasan bagi jiwa Yesus
dengan menyerahkannya pada para algojo untuk dieksekusi. Sementara, sampai sekarang Gereja Katolik
umumnya tetap melihat bahwa Yudas Iskariot ini sebagai sosok pengkhianat.
Dengan demikian, tubuh dan jiwa terlihat sebagai dua entitas yang sama sekali berbeda, bahkan bertolak
belakang. Apakah pandangan semacam ini dapat diterima? Marilah kita lihat pandangan berikutnya.
Pandangan kedua dikenal dengan pandangan unitarian. Menurut paham ini, tidak benar bahwa tubuh dan jiwa
itu dua hal yang sama sekali terpisah. Kehidupan selalu mengandaikan adanya jasmani dan prinsip
penggeraknya. Jasmani itu adalah tubuh, sedangkan jiwa prinsip penggeraknya. Manusia ada berkat tubuh dan
jiwanya. Tubuh tanpa jiwa bukan manusia. Jiwa tanpa tubuh juga bukan manusia. Manusia hidup berkat
kesatuan tubuh dan jiwanya. Ada pepatah lain mengatakan, mens sana in corpora sano. Di dalam tubuh yang
sehat terdapat jiwa yang sehat pula.
Oleh karena itu, praktek-praktek kesalehan dalam pandangan ini tentu saja bukan hanya sekedar menyiksa
tubuh (asketisme). Tetapi juga dengan tubuhnya dia melaksanakan semua praktek kesalehan. Dia berdoa
dengan tubuhnya. Dia berderma dengan tubuhnya. Juga seandainya dia berbuat jahat, dengan tubuhnya.
Pandangan semacam ini kemudian banyak berpengaruh di berbagai bidang ilmu. Sayangnya, di era post-
modernisme ini, keseimbangan itu dirasakan tidak ada lagi. Tubuh sebagai simbol sosial dirasa menjadi penipu
ulung. Tubuh tidak lagi mengekspresikan jiwa, sebaliknya sungguh-sungguh menjadi penjara jiwa dengan
melakukan sesuatu yang bertentangan dengan hati nuraninya.
Pandangan yang ketiga disebut dengan pandangan personalistik. Hal ini merupakan refleksi lebih lanjut dari
paham unitarianis. Tubuh manusia menjadi menjadi manusiawi karena dijiwai dengan unsur rohani. Itulah
sebabnya, dia menjadi manusia yang unik dan personal, berbeda dengan makhluk-makhluk lainnya. Dengan
demikian, perbuatan manusia bukan saja sebuah perbuatan yang sifatnya mekanistik dengan digerakkan oleh
insting, tetapi lebih dari itu, perbuatannya berubah menjadi sebuah tindakan yang bermuatan moral dan
kemudian manusia menjadi agent moral. Konsekwensinya, hidup manusia sebagai persona harus dihormati dan
dihargai secara penuh dan tidak dapat ditiadakan oleh yang lain.
Pertanyaannya sejak kapan dia mendapat penghargaan dan jaminan itu? dalam kasus ini akhirnya harus diakui
dan diterima secara logis bahwa sejak hidup dimulai dengan segala keunikannya dan personifikasinya, hidup

10
Bdk. Chang, William. Bioetika: Sebuah Pengantar, hal. 8-10

2020 Pendidikan AGAMA KATOLIK Pusat Bahan Ajar dan eLearning


6 Tim Dosen Agama Kristen http://www.mercubuana.ac.id
manusia harus dihormati sedemikian rupa, sama dengan kita menghormati manusia pada umumnya. Sejak
kapan personfikasi itu terjadi, sejak pembuahan. Bahwa bentuknya belum lengkap, fungsinya belum sempurna,
belum bisa mandiri dan berelasi, itu sifatnya parsial atau sebagian saja dan tidak bisa dibenarkan sebagai
argumen untuk memperlakukan kehidupan baru itu dengan sewenang-wenang.
Kalau mau secara konsekwen melihat hal ini akhirnya kita harus berhati-hati dengan berbagai praktek reproduksi
buatan maupun pengaturan kelahiran yang berpotensi menghentikan kehidupan setelah terjadi pembuahan.
Bahwa tujuannya baik, itu bisa diterima. Tapi kalau caranya bertentangan dengan prinsip kebaikan, itu tentu saja
tidak bisa diterima.

8.3. Martabat Hidup Manusia


Manusia memiliki nilai intrinsik, maksudnya manusia mempunyai nilai/martabat bukan karena diberi nilai oleh
seseorang atau oleh sebuah instansi, melainkan manusia itu bermartabat manusia karena dia adalah manusia 11.
Nilai itu ada sejak keberadaan manusia dan berakhir dengan berakhirnya hidup seseorang. Konsekwensinya
adalah bahwa masing-masing manusia memiliki nilai yang tak terhingga, lepas dari penampilan eksternalnya
sehingga hidup manusiaa harus dihargai dan dipandang sebagai yang terpenting. Nilai intrinsik yang menyatu
dengan dengan diri manusia menjadikannya unik12, dari kata unus, yang berarti satu.
Helenisme (Pemikiran Yunani Kuno) memandang manusia bukanlah makhluk yang paling mulia di dunia, karena
ada makhluk surgawi yang lebih mulia.Yudaisme memandang manusia sangat istimewa karena dicipta menurut
gambar dan rupa Allah. Perjanjian Baru menilai manusia bukan sekedar puncak penciptaan (gambar dan rupa
Allah), tapi berkat penebusan Kristus, manusia diangkat menjadi anak-anak Allah.
Hidup manusia dipandang suci karena hidup dalam dirinya sendiri merupakan sesuatu yang suci, transenden
dan disendirikan13. Suci berarti hidup tidak boleh dilanggar-dihina-dihancurkan melainkan harus dilindungi,
dibela, dan dilestarikan14. Sanctity of life berarti hidup manusia itu berada dalam lingkup ilahi, sehingga orang
lain tidak boleh melanggarnya. Kesucian ini bukan sesuatu yang harus diperjuangkan, melainkan merupakan
batas di mana orang lain tak boleh melewatinya.
Hidup manusia itu suci sebab berasal usul dari Allah dan akan kembali kepada Allah, maka hidup manusia
merupakan sebuah anugerah yang sangat berharga sekali. Sebagai anugerah, manusia bukanlah pemilik
mutlak atas hidup. Manusia adalah administrator yang bertanggung jawab atas hidupnya. Manusia mempunyai
tugas untuk memelihara, melindungi, dan menjaga hidup badaniahnya ini demi kemuliaan Tuhan (lih. 1 kor 6:19-
20).
Tanggung jawab manusia untuk memelihara, melindungi, dan menjaga hidup manusia itu dilakukan dalam setiap
siklus hidup manusia mulai sejak adanya hidup manusia sampai kematian naturalnya. Pemeliharaan tubuh dan
kesehatan serta mempertahankan diri dan menyingkiri kehancuran sejauh mungkin merupakan wujud
pertanggungjawaban manusia sebagai adminstrator hidupnya. Tugas untuk menjalankan diri sebagai
11
Kateb, George, Human Dignity, Harvard University Press, Cambridge, 2011, hal. 3
12
Kateb, George, Human Dignity, hal. 114
13
Kusmaryanto, C.B., Tolak Aborsi, Kanisius, Yogyakarta, 2005, hal. 77-83
14
Leon R. Kass, Life, Liberty, and The Defense of Dignity, Encounter Books, California, 2004, hal. 231

2020 Pendidikan AGAMA KATOLIK Pusat Bahan Ajar dan eLearning


7 Tim Dosen Agama Kristen http://www.mercubuana.ac.id
administrator hidup ini haruslah dijalankan secara kreatif dan bertanggungjawab. Kreatif sebab pemeliharaan itu
harus dijalankan dengan membuat kreasi dan inovasi yang baru sehingga manusia mendapatkan cara-cara baru
untuk memelihara dan mempertahankan hidupnya. Akan tetapi, inovasi dan kreasi baru itu harus dijalankan
secara bertanggung jawab dan jangan sampai mendegradasikan martabat hidup manusia. Segala macam teknik
dan inovasi haruslah mengabdi kepada martabat hidup manusia dan bukan menghancurkannya.
Penilaian berdasarkan martabat hidup manusia ini menjadi penting sebab teknik bukanlah netral tanpa muatan
nilai. Setiap hasil teknologi dan ilmu mengandung muatan nilai yang senantiasa harus dinilai berdasarkan
kaidah-kaidah martabat manusia dan perwahyuan Allah. Oleh karena itu, tidak semua hal yang bisa dibuat
secara teknis, bisa juga dibuat secara moral. Untuk itu marilah kita lihat, prinsip-prinsip apa saja yang bisa
dipegang demi membela kehidupan kita.

8.5. Prinsip-prinsip dasar moral hidup manusia


1. Totalitas dan Integritas15
Prinsip ini menampilkan suatu prinsip moral bahwa bagian itu ada untuk bagian keseluruhan sebab yang utama
adalah kebaikan keseluruhan dari orang tersebut. Thomas Aquinas pernah mempergunakannya untuk
melegitimasi pemotongan anggota badan yang telah mati. Dalam Summa Theologiae, II-II, q 65, dia
mengatakan, “anggota tubuh manusia bisa dibuang apabila dengan tindakan itu bisa menguntungkan seluruh
tubuh. . akan tetapi, kalau anggota tubuh itu sehat maka tidak boleh dibuang karena akan mengakibatkan
kerusakan atau kerugian bagi seluruh tubuh.”
Prinsip ini juga biasa dikenal dengan istilah pars pro toto yakni adanya bagian-bagian itu adalah untuk
keseluruhan sehingga dapat dibenarkan untuk mengurbankan bagian tubuh demi kebaikan dan keutuhan
seluruh pribadi manusia. Hal ini berkenaan dengan eksistensi manusia sebagai makhluk yang utuh dan integral
(menyatu). Keutuhan dan integritas manusia ini sangat penting artinya sebab ketiadaan integritas manusia
secara biologis akan menjadikan ketiadaan manusia. Keutuhan dan integritas manusia itu secara biologis diatur
oleh otak manusia. Oleh karena itu, ketiadaan otak atau kematian otak (total brain death) berakibat matinya
manusia. Tubuh manusia yang tanpa integritas itu bukan lagi manusia tapi mayat manusia.
Agar prinsip totalitas ini bisa diterapkan secara benar, maka dibutuhkan kondisi sebagai berikut:

 Membiarkan organ tubuh itu dan tidak memotongnya akan menyebabkan kerusakan yang serius dan
menyebabkan kematian orang itu.
 Apa bila ada harapan yang masuk akal bahwa hanya dengan amputasi organ tubuh itulah maka
kerusakan serius (kematian) bisa dihindarkan.

15
William E. May, Catholic bioethics and the gift of human life, Our Sunday Visitor Publishing, Huntington,
2000, hal. 297

2020 Pendidikan AGAMA KATOLIK Pusat Bahan Ajar dan eLearning


8 Tim Dosen Agama Kristen http://www.mercubuana.ac.id
Apabila pemotongan organ itu atau menjadikan organ itu tidak berfungsi sebagaimana mestinya akan
mengurangi resiko bagi orang itu, baik secara substansial ataupun menghilangkannya secara total. Pemotongan
organ yang masih sehat pun bisa dibenarkan apabila itulah satu-satunya jalan untuk menghindarkan penyakit itu
dan menyebarnya penyakit. Dengan kata lain, tidak ada lagi cara yang tersedia untuk menjaga kesehatannya
selain dengan memotong organ yang masih sehat itu. Misalnya, indung telur yang kena kanker ganas
sedangkan saluran telurnya tidak kena. Ada perkiraan kalau hanya saluran telur yang diangkat maka ada
kemungkinan bahwa sudah ada bibit kanker yang ada di tuba. Maka untuk kebaikan orang itu secara
keseluruhan yakni untuk menghindarkan penyakit itu secara total, maka saluran telur itupun boleh diangkat.
Operasi untuk menyelamatkan nyawa orang yang sakit merupakan penggunaan keahlian medis dan akal budi
manusia secara mulia dan terhormat. Akan tetapi, pemotongan anggota badan yang sehat merupakan mutilasi
yang tidak dapat dibenarkan sebab hal itu merusak integritas tubuh manusia yang diciptatakan oleh Allah
menurut gambar dan rupaNya sendiri (merusak kodrat manusia).

2. Prinsip double effect


Prinsip double effect ini dikembangkan dari tulisan santo Thomas Aquinas (1224-1274), summa theologiae II-
II.64.a7. ketika dia bicara tentang legitimate defense (pembelaan diri yang sah). Di situ dia berkata, “tidak ada
sesuatupun hal yang bisa menghalangi terjadinya dua efek dari sebuah perbuatan, meskipun hanya yang satu
yang dimaksudkan sedangkan yang lainnya tidak dimaksudkan. Perbuatan itu dinilai berdasarkan apa yang
dimaksudkan dan bukan apa yang tidak dimaksudkan, sebab yang tidak dimaksudkan hanyalah aksidental
(kebetulan)….. akan tetapi, sebuah tindakan moral bisa menjadi tidak benar walaupun intensinya baik jika
tindakan itu tidak proporsional dengan tujuannya,”
Secara singkat, prinsip double effect bisa diringkaskan sebagai berikut: apakah seseorang boleh melakukan
perbuatan yang dimaksudkan untuk mencapai kebaikan jika sudah bisa diramalkan bahwa akan terjadi efek
yang tidak baik? Sebuah tindakan untuk berbuat atau tidak berbuat bisa dibenarkan hanya bila efek jahat itu
dibuat demi alasan-alasan yang baik dan efek jahat itu tidak dimaksudkan oleh tindakan itu dan efek jahat itu
secara proporsionl lebih kecil dari efek baiknya.
Untuk bisa menerapkan dengan tepat prinsip-prinsip double effect diperlukan prasyarat yang harus diterapkan
bersama-sama:

a. Perbuatan (aksi) itu dari dirinya sendiri harus bersifat baik atau sekurang-kurangnya indifferent.
b. Yang menjadi intensinya adalah efek baik itu sendiri dan bukan effek jahatnya.
c. Efek yang baik itu bukan dihasilkan dari cara yang jahat atau yang berefek jahat
d. Harus ada alasan yang kuat (berat) secara proporsional untuk menghalalkan efek yang jahat itu.

Prinsip double effect ini banyak diterapkan dalam kasus-kasus medis misalnya pemberian pain killer. Kalau ada
orang sakit parah dengan kesakitan yang luar biasa maka diperkenankan untuk memberikan pain killer (obat
untuk mengatasi rasa sakit) meskipun obat itu mengakibatkan memperpendek umur. Tujuan dari pemberian

2020 Pendidikan AGAMA KATOLIK Pusat Bahan Ajar dan eLearning


9 Tim Dosen Agama Kristen http://www.mercubuana.ac.id
obat-obatan itu adalah untuk mengurangi rasa sakit sedangkan akibat buruknya (memperpendek umur) tidaklah
dimaksudkan.
Yang kedua misalnya dalam kasus amputasi (pembuangan anggota badan terentu). Ada seorang wanita yang
mengandung dan kena kanker rahim ganas dalam keadaan gawat. Kalau tidak diambil kandungannya kangker
akan menjalar dan menewaskan ibunya. Dalam hal ini dibenarkan untuk mengangkat rahim meskipun di
dalamnya ada janinnya. Intensi dari tindakan itu bukanlah pembunuhan janin melainkan menyelamatkan nyawa
ibunya sedangkan kematian bayi hanyalah effek samping yang tak terhindarkan dari perbuatan itu. Meskipun hal
itu mengakibatkan kematian bayi tetapi effek buruk (kematian bayi) itu masih kecil nilainya dari kematian ibu.
Kasus yang serupa bisa kita terapkan dalam kasus pengangkatan rahim atau indung telur yang kena kangker
atau sakit serius untuk menyelamatkan nyawa ibu. Sedangkan kalau rahim atau indung telur sehat maka tidak
dibenarkan.

3. Proportionate dan Disproportionate


Prinsip moral ini dulu dikenal dengan nama ordonary dan extraordinary. Kedua Istilah itu mempunyai muatan
yang sama sehingga bisa dipergunakan keduanya.
Prinsip ini berasal muasal dari Domingo Banes, seorang teolog dominikan, ketika mengomentari buku Summa
Theologiae ll-ll.65.1 mengenai amputasi (pemotongan anggota badan) pada tahun 1595. Dia bertanya, jika
tangan seseorang itu terkena penyakit yang akan menjalar dan membahayakan hidup manusia, apakah dia
wajib untuk mengamputasi tangan yang sakit itu atau tidak? Pertanyaan ini menjadi penting sebab waktu itu
belum ada anastesi untuk mengurangi sakit. Banes menyatakan bahwa walaupun manusia itu mempunyai
kewajiban untuk menjaga dan memelihara hidupnya tetapi hal itu hanya bisa diwajibkan dengan
mempergunakan sarana ordinary (makan,obat-obatan yang biasa, dan kesakitan yang biasa) sedangkan sarana
extraordinary tidaklah wajib. Jadi dalam kasus pemotongan tangan itu, karena amputasi tangan itu menimbulkan
sakit yang luar biasa, maka amputasi itu tidaklah wajib.
Pembedaan kewajiban ini berdasarkan pada hukum umum bahwa kewajiban hanya boleh dikenakan apabila hal
itu adalah hal-hal yang biasa dan yang bisa dicapai. Sedangkan hal-hal yang luar biasa yang pencapaiannya
sulit tidak boleh dikenakan sebagai kewajiban umum kepada semua orang. Tentu hal-hal yang luar biasa boleh
diwajibkan pada sekelompok orang tertentu tetapi tidak boleh diwajibkan kepada semua orang.

4. Prinsip Minus Mallum


Yang dimaksud dengan prinsip minus mallum adalah pilihan yang harus dijatuhkan kepada suatu pilihan yang
paling sedikit nilai tidak baiknya. Dalam situasi tertentu orang terpaksa harus memilih di antara dua atau lebih
pilihan yang mengandung nilai atau konsekwensi kejahatan.
Untuk bisa menerapkan dengan baik prinsip ini, harus dilihat faktor-faktor sebagai berikut:

2020 Pendidikan AGAMA KATOLIK Pusat Bahan Ajar dan eLearning


10 Tim Dosen Agama Kristen http://www.mercubuana.ac.id
 Secara objektif orang terpaksa harus memilih dari antara dua atau lebih pilihan. Dengan kata lain,
kemungkinan untuk tidak memilih dari semua pilihan itu tidak ada atau tidak memilihpun mempunyai nilai
atau konsekwensi jahat.
 Semua pilihan itu mempunya nilai (inherent) dan/atau dampak yang jahat/tidak baik.
 Dalam situasi demikian maka orang harus memilih suatu pilihan yang mempunyai nilai/konsekwensi
kejahatan yang paling minimum.

2020 Pendidikan AGAMA KATOLIK Pusat Bahan Ajar dan eLearning


11 Tim Dosen Agama Kristen http://www.mercubuana.ac.id
Daftar Pustaka

Utama:

1. Norman L. Geisler, Etika Kristiani, Penerbit (Bahasa Indonesia): Departemen Literatur SAAT

2. R.C. Sproul, Etika dan Sikap Orang Kristen, Gandum Mas,

3. Drie Brotosudarmo, Etika Kristen Untuk Perguruan Tinggi, Penerbit Andi,Yogyakarta

Pendukung:

1. Dr. J. Verkuyl, ETIKA KRISTEN BAGIAN UMUM, BPK Gunung Mulia, Jakarta

2. Franz Magnis-Suseno, S.J., Etika Dasar: Masalah-Masalah Pokok Filsafat Moral, Kanisius

3. Dr. Kees Bertens, Etika, Gramedia

2020 Pendidikan AGAMA KATOLIK Pusat Bahan Ajar dan eLearning


12 Tim Dosen Agama Kristen http://www.mercubuana.ac.id

Anda mungkin juga menyukai