Anda di halaman 1dari 147

NAMA : ANGELINA KARUNIA PUTRI

NIM : 06040123093

PRODI : PAI

Resume Buku

 Judul Buku : Pengantar Studi Islam


 Pengarang Buku : Dr. H. Didiek Ahmad Supadie, M.M.
Sarjuni, S.Ag.,M.Hum.
 Penerbit Buku : PT RAJAGRAFINDO PERSADA
 Kota Terbit : Depok
 Tahun Terbit : 2015
 Tebal Buku : 274 halaman

BAB I

Konsep Islam tentang Worldview

Secara umum, pandangan hidup (worldview) sering dianggap sebagai


filsafat hidup atau prinsip hidup yang dimiliki oleh individu, kelompok, atau
budaya. Setiap entitas, termasuk individu, memiliki pandangan hidup yang unik,
yang dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti budaya, filsafat, agama, dan
nilai-nilai sosial. Pandangan hidup ini memengaruhi cara orang melihat dunia dan
sikap mereka terhadap realitas. Hal ini dapat berkaitan dengan spektrum makna
yang luas atau sempit, mencakup hal-hal dari dunia fisik hingga dunia metafisika.
Istilah yang umum digunakan untuk mendeskripsikan pandangan hidup adalah
"worldview" dalam bahasa Inggris atau istilah serupa dalam bahasa Jerman seperti
"weltanschauung" atau "weltansicht."

Dalam konteks pemikiran Islam, terdapat beragam istilah yang digunakan


oleh pemikir Islam seperti "Islami nazariat," "al-Mabda'al-Islami," "Islam
Nadzariyat," dan lainnya, yang semuanya mengacu pada pandangan hidup Islam.
Beberapa definisi penting pandangan hidup mencakup pandangan bahwa itu
adalah motor perubahan sosial dan moral, merupakan dasar untuk pemahaman
realitas, dan berpengaruh pada aktivitas ilmiah dan teknologi. Pandangan hidup
juga dapat dihubungkan dengan konsep paradigma dalam sains, di mana
perubahan paradigma dapat dianggap sebagai revolusi dalam pandangan hidup.

Dalam konteks Islam, pandangan hidup Islam mengacu pada cara unik
Islam dalam melihat dunia, realitas, dan makna eksistensi. Beberapa pemikir
Islam menggunakan istilah seperti "Islami nazariat," "al-Mabda' al-Islami," atau
"ru'yat al-Islam lil wujud" untuk menggambarkan pandangan hidup Islam. Mereka
sepakat bahwa Islam memiliki perspektif unik tentang segala sesuatu. Pandangan
hidup Islam mencakup keyakinan dalam kesatuan Tuhan, akal, aqidah, dan
pandangan tentang realitas dan kebenaran. Pemikir-pemikir ini memiliki fokus
yang berbeda, misalnya, Maulana al-Mawdudi lebih berfokus pada aspek politik,
Sayyid Qutb lebih cenderung pada aspek ideologi, dan S.M. Naquib al-Attas lebih
menggali makna metafisis dan epistemologis dalam pandangan hidup Islam.
Pandangan hidup Islam adalah pandangan unik yang membedakan Islam dari
pandangan hidup lainnya, dan elemen dan karakteristiknya dapat beragam
tergantung pada pendekatan dan fokus pemikir yang mengembangkannya.

Bahwa pandangan hidup atau worldview adalah suatu sistem pemahaman


yang mencakup berbagai aspek kehidupan, termasuk konsep tentang Tuhan,
realitas, ilmu, etika, dan manusia. Terdapat perbedaan dalam definisi dan elemen-
elemen pandangan hidup antara berbagai pemikir. Dalam konteks Islam,
pandangan hidup mencakup aspek dunia dan akhirat, serta sangat terkait dengan
konsep wahyu dan agama.
Proses pembentukan pandangan hidup melibatkan akumulasi pengetahuan
dan pemahaman individu tentang berbagai aspek kehidupan. Pandangan hidup
dapat dibagi menjadi natural worldview (terbentuk secara alami) dan transparent
worldview (terbentuk melalui kesadaran berpikir). Pandangan hidup Islam
dijelaskan sebagai "quasi-scientific worldview," yang tidak bergantung pada
kerangka konsep ilmiah.

Struktur pandangan hidup melibatkan konsep tentang kehidupan, dunia,


ilmu pengetahuan, nilai, dan manusia. Struktur ini menjadi dasar pemahaman
individu terhadap segala hal, termasuk konsep dan teori yang dihasilkan dalam
kegiatan keilmuan. Pandangan hidup dapat digunakan untuk memahami
perkembangan ilmu pengetahuan dalam berbagai budaya, termasuk budaya Barat,
Timur, dan peradaban Islam.

BAB II

Manusia Makhluk Pencari Kebenaran

Manusia adalah makhluk yang secara mendasar mencari kebenaran. Mereka


memiliki dua jenis masalah: masalah segera (keseharian) dan masalah asasi
(fundamental tentang manusia, alam, dan Tuhan). Ada tiga teori kebenaran:

1. Teori Korespondensi: Kebenaran adalah kesesuaian antara pernyataan dan


kenyataan. Misalnya, jika Fulan adalah mahasiswa Unissula, pernyataan itu
benar karena sesuai dengan kenyataan bahwa Fulan adalah mahasiswa
Unissula.

2. Teori Konsistensi/Koherensi: Kebenaran adalah kesesuaian antara pernyataan


dan pernyataan lain yang telah diakui sebagai benar sebelumnya. Contohnya,
jika "A adalah ayah B" dan "A mempunyai putra," maka pernyataan kedua
adalah benar karena konsisten dengan yang pertama.

3. Teori Pragmatis: Kebenaran bergantung pada kegunaan, kemampuan


dikerjakan, dan hasil yang memuaskan dalam tindakan manusia. Jadi, suatu
pernyataan dianggap benar jika bermanfaat, dapat diaplikasikan, dan
menghasilkan konsekuensi yang memuaskan.

Cara Mencari Kebenaran adalah bahwa manusia mencari kebenaran melalui tiga
cara, yaitu ilmu pengetahuan, filsafat, dan agama.

1.Ilmu Pengetahuan

Ilmu pengetahuan adalah usaha manusia untuk mencapai kebenaran dengan


metode ilmiah yang melibatkan pengumpulan, pengamatan, pemilihan,
penggolongan, penafsiran, pengujian hipotesis, dan perumusan teori ilmu
pengetahuan. Namun, kebenaran yang ditemukan oleh ilmu bersifat nisbi
karena terbatas pada akal manusia dan proses empiris.

2. Filsafat

Filsafat adalah "ilmu istimewa" yang mencoba menjawab pertanyaan-


pertanyaan yang tidak dapat dijawab oleh ilmu pengetahuan biasa. Namun,
karena filsafat hanya menggunakan akal manusia, ia juga memiliki
keterbatasan dalam mencapai keseluruhan kebenaran. Kebenaran yang
ditemukan oleh filsafat juga bersifat nisbi.

3. Agama

Kebenaran agama dianggap mutlak karena berasal dari Allah. Manusia


memperoleh kebenaran agama melalui kitab suci dan apa yang dikatakan benar
oleh kitab suci dianggap sebagai kebenaran yang tak tergoyahkan.

Mencari kebenaran dengan metode ilmiah, filsafat mencoba menjawab


pertanyaan-pertanyaan yang tidak dapat dijawab oleh ilmu pengetahuan, dan
agama memberikan kebenaran mutlak yang berasal dari Allah. Kebenaran dalam
ilmu dan filsafat bersifat nisbi, sementara kebenaran agama dianggap mutlak.

Persamaannya adalah bahwa ketiganya berkompeten dalam mencari


kebenaran. Namun, mereka berbeda dalam proses pencapaian kebenaran, sifat
kebenaran yang dicapai, dan proses permulaan. Ilmu menggunakan metode ilmiah
dan eksperimen, menghasilkan kebenaran yang bersifat positif dan objektif.
Filsafat menggunakan pemikiran spekulatif, menghasilkan kebenaran yang
subjektif. Agama, dalam hal ini Islam, memiliki kebenaran yang bersifat mutlak
dan berasal dari Allah.

Mereka saling berkaitan, dan manusia membutuhkan ketiganya dalam


kehidupannya. Ilmu membutuhkan filsafat dan agama untuk memberikan
landasan, moral, dan makna. Filsafat membutuhkan ilmu dan agama untuk
menjaga batas kewenangan akal. Agama juga membutuhkan ilmu dan filsafat
untuk pemahaman yang lebih dalam dan kritis. Oleh karena itu, Islam dipilih
sebagai sumber kebenaran tentang masalah-masalah fundamental karena berasal
dari Allah dan dianggap sebagai agama samawi, yang dianggap sebagai satu-
satunya agama yang mampu memberikan jawaban tentang masalah-masalah
ultimate.

Kebenaran dalam Islam dapat dibagi menjadi tiga kategori: i'tiqadi (imani),
syar'iy, dan waqi'iy.

1. Kebenaran i'tiqadi (imani): Ini adalah kebenaran yang berkaitan dengan


keyakinan yang pasti dalam Islam, seperti keyakinan bahwa Allah Maha Tahu,
Maha Kasih Sayang, Hari Kiamat pasti akan tiba, dan bahwa syariat Allah akan
membawa rahmat bagi alam semesta.

2. Kebenaran syar'iy: Ini adalah kebenaran yang ditetapkan berdasarkan hukum


syariat, seperti larangan konsumsi babi, khamr, riba, zina, dan aturan-aturan
syariah lainnya.

3. Kebenaran waqi'iy (faktual): Kebenaran ini muncul dari observasi dan


formulasi atas fakta-fakta yang ada, seperti dalam ilmu pengetahuan dan sains.
Namun, penting untuk memastikan bahwa kebenaran waqi'iy ini tidak
bertentangan dengan kebenaran i'tiqadi dan syar'iy.

Seorang Muslim diharapkan untuk memastikan bahwa ilmu yang


dipelajari atau dipegangnya mengandung ketiga jenis kebenaran ini, sehingga
ilmu tersebut sesuai dengan prinsip-prinsip imani dan syariah dalam Islam.
BAB III

Konsep Agama dan Toleransi Beragama

Agama adalah suatu sistem kepercayaan dan praktik yang berkaitan


dengan hal-hal yang dianggap sakral dan supranatural. Terdapat berbagai definisi
dan elemen yang merujuk pada agama, termasuk keyakinan pada kekuatan gaib,
sistem keyakinan, ritus, upacara, dan komunitas religius. Emosi keagamaan adalah
inti dari agama, yang menciptakan keterkaitan antara manusia dan Tuhan atau
entitas supranatural. Agama adalah bagian dari sistem kebudayaan dan melibatkan
komponen seperti scripture (naskah suci), pemimpin agama, ritus, dan kelompok
religius. Emosi keagamaan menggerakkan jiwa individu dan dapat dipengaruhi
oleh sistem keyakinan. Agama adalah wujud dari kepercayaan, praktik, dan
pengalaman manusia dalam mencari makna dalam hubungannya dengan yang
sakral dan supranatural.

Syarat Agama dapat diuraikan sebagai berikut:

a. Akidah: Akidah atau keyakinan adalah sikap jiwa yang diwujudkan dalam
perkataan dan perbuatan. Ini mencakup iman (penerimaan) dan kufur (penolakan)
terhadap sesuatu yang dirasakan, dilihat, atau didengar.

b. Ibadah: Ibadah adalah aktivitas yang dilakukan demi sesuatu Dzat yang berhak
menerima ibadah. Ini berkaitan dengan keyakinan seseorang pada sesuatu yang
lebih tinggi daripada dirinya.

c. Syariah: Syariah adalah aturan yang diciptakan oleh Allah untuk mengatur
hubungan manusia dengan Allah, sesama manusia, dan alam. Syariah harus benar,
adil, luwes, konsisten, dan mencakup berbagai aspek kehidupan.

d. Nabi: Nabi adalah utusan Allah yang menerima wahyu untuk disampaikan
kepada manusia. Mereka harus laki-laki, berakhlak mulia, terpelihara dari
perbuatan tercela, diutus untuk manusia secara umum, dan dibantu dengan
mukjizat.
e. Kitab Suci: Kitab suci adalah kodifikasi firman Allah yang diturunkan melalui
Rasul-Nya. Kitab suci harus bersih dari pendapat manusia, ditulis oleh Nabi atau
atas perintahnya, mengandung ajaran kebaikan, tidak bertentangan dalam
ajarannya, dan tidak mengalami perubahan oleh tangan manusia.

Pengelompokan agama dapat dilakukan berdasarkan asal negara, sifat dan


kondisi masyarakat penganutnya, agama misionari vs. non-misionari, dan
sumbernya (agama alamiah vs. agama samawi). Agama Samawi adalah agama
yang berasal dari wahyu Allah kepada Rasul-Nya dan memiliki ciri-ciri seperti
berkembang secara revolusi, disampaikan melalui utusan Tuhan, monoteisme
mutlak, memiliki kitab suci yang bersih dari campur tangan manusia, dan ajaran
prinsipnya tetap. Dalam pandangan tertentu, Islam dianggap sebagai satu-satunya
agama Samawi murni, dengan Nabi Musa dan Nabi Isa yang juga dianggap
sebagai bagian dari Islam.

Fungsi Agama dalam Kehidupan Manusia:

1. Agama Sebagai Sumber Moral: Agama memberikan manusia pedoman moral,


membedakan antara baik dan buruk, dan menciptakan tatanan etika dalam
masyarakat.

2. Agama Sebagai Petunjuk Kebenaran: Agama memberikan jawaban atas


pertanyaan-pertanyaan filosofis dan kebenaran yang tidak dapat dijangkau oleh
ilmu dan akal manusia.

3. Agama Sebagai Sumber Informasi Metafisika: Agama memberikan


pengetahuan tentang hal-hal metafisika seperti kehidupan setelah mati, surga, dan
neraka.

4. Agama Pembimbing Manusia: Agama membimbing manusia dalam


menghadapi berbagai aspek kehidupan, mengatur perilaku, dan memberikan
arahan dalam mengatasi kesulitan.

Kerukunan dan Toleransi Beragama adalah konsep penting dalam menjaga


harmoni antar umat beragama, di mana kerukunan mengacu pada hubungan
harmonis antara berbagai unsur yang berbeda dalam masyarakat, sementara
toleransi mengacu pada pemberian kebebasan kepada individu atau kelompok
untuk menjalankan keyakinan mereka selama itu tidak mengganggu ketertiban
dan perdamaian sosial. Penting untuk memahami bahwa kerukunan dan toleransi
antar umat beragama memerlukan kesadaran, kehendak bersama, dan kerja sama
untuk mencapai tujuan bersama, sehingga ini tidak hanya konsep teoretis tetapi
juga refleksi dari kebersamaan dan keadilan sosial dalam komunitas beragama.

Teori-teori toleransi dan kerukunan beragama:

1. Sinkretisme: Teori ini berusaha untuk melebur berbagai agama menjadi satu
totalitas, dengan menganggap bahwa agama-agama memiliki dasar yang sama.
Namun, hal ini lemah karena hakikat dan kebenaran agama bersifat subjektif, dan
setiap agama memiliki dasar keyakinan yang berbeda.

2. Reconception: Teori ini bertujuan menciptakan satu agama baru yang


menampung kebutuhan semua manusia dengan meninjau kembali ajaran agama
yang dianut untuk mencari persamaan. Tujuannya adalah membentuk humanisme
universal.

3. Conversion: Teori ini mengusulkan saling tukar agama antara pemeluk agama
yang berbeda, karena setiap agama dianggap benar oleh pemeluknya.

4. Pluralisme Agama: Ini adalah paham yang menganggap semua agama sama dan
relatif. Setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim kebenaran mutlak.
Pluralisme agama mempromosikan kerukunan antar agama.

5. Agree in Disagreement: Teori ini mengusulkan bahwa pemeluk agama setuju


rukun dengan menjaga eksistensi semua agama. Mereka meyakini agamanya
benar, tetapi menghormati eksistensi agama lain dan hak asasi pemeluknya.

Prinsip-prinsip Islam tentang toleransi dan kerukunan beragama. Dalam


Islam, kerukunan dan toleransi antar umat beragama adalah bagian integral dari
ajaran. Sikap seorang Muslim terhadap pemeluk agama lain diatur oleh prinsip-
prinsip berikut:
- Keutamaan di sisi Allah adalah bagi mereka yang memberi manfaat kepada
sesama manusia.

- Orang yang mendengar ajaran agama dan mengikuti yang terbaik adalah orang-
orang berakal.

- Islam mendorong saling mencintai dan menghormati antar umat beragama untuk
menciptakan harmoni dalam pergaulan dan kemanusiaan.

BAB IV

Islam Sebagai Din dan Tamaddun

Islam, dalam bahasa Arab, memiliki akar kata "aslama," yang berarti
"menyerah, tunduk, patuh, dan taat." Orang yang masuk Islam disebut Muslim,
yang berarti mereka telah menyerahkan diri kepada Allah. Nama Islam tidak
berkaitan dengan individu, kelompok, atau wilayah tertentu. Ini adalah agama
yang namanya mengacu pada esensi ajarannya, bukan pada pendirinya.

Tidak seperti agama-agama lain yang dinamai setelah pendirinya, Islam


adalah agama yang nama risalahnya diberikan oleh Allah kepada Nabi
Muhammad Saw. Secara substansial, Islam adalah pemujaan hanya kepada Allah
dan ketaatan terhadap-Nya. Ini tidak dibatasi oleh institusi agama atau sikap
spiritual pribadi. Dalam Islam, menolak atau mengingkari seorang Nabi atau
Rasul sama dengan menolak seluruh pesan yang datang dari Allah.

Islam, istilah 'din' memiliki makna yang lebih mendalam daripada sekadar
agama. 'Din' berhubungan dengan konsep manusia yang memiliki utang kepada
Tuhan atas penciptaan dan pemeliharaan eksistensinya. Manusia tidak pernah bisa
melunasi utang ini sepenuhnya, tetapi melalui pengembalian diri kepada Tuhan,
yang mencakup taat pada perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya, manusia
dapat mendapatkan balasan berlipat ganda yang tidak hanya menutupi
kerugiannya, tetapi juga memberikan keuntungan besar dari eksistensinya. Oleh
karena itu, dalam Islam, 'din' dapat dipahami sebagai jalan pengembalian diri
kepada Tuhan yang memiliki makna yang lebih dalam daripada sekadar konsep
agama.

Islam dan "din." Sejarah menunjukkan bahwa dalam peradaban Barat,


konsep "din" biasanya membatasi diri pada aspek keagamaan dan tidak
memengaruhi aspek lain dalam kehidupan manusia. Ini mengarah pada pemisahan
yang jelas antara agama dan kehidupan publik, seperti gereja dan politik. Namun,
dalam Islam, Nabi Muhammad Saw. berhasil menggabungkan kehidupan
beragama dan bernegara dengan harmonis. Ketika beliau hijrah ke Madinah, kota
tersebut kemudian diberi nama Madinah, yang bermakna "kota" atau "city." Ini
menunjukkan hubungan erat antara "din" dan Madinah, tempat yang subur bagi
pelaksanaan "din."

Nabi Muhammad Saw. berhasil menyatukan berbagai kelompok agama di


bawah satu kepemimpinan dalam Madinah. Ini mencerminkan bahwa dalam
Islam, agama dan kehidupan kota tidak dapat dipisahkan. Hal ini memungkinkan
Islam untuk memiliki pengaruh dalam bidang keagamaan dan dunia sekuler, yang
diakui oleh sejarawan Michael H. Hart sebagai faktor penting dalam
memposisikan Nabi Muhammad sebagai salah satu tokoh paling berpengaruh
dalam sejarah dunia.

Islam sebagai Tamaddun

Islam sebagai tamaddun atau peradaban mengacu pada pengaruh luas yang
dimiliki Islam dalam perkembangan peradaban dunia. Istilah "tamaddun"
digunakan untuk merujuk pada peradaban dalam banyak budaya dan bahasa di
dunia Islam.

Selama berabad-abad, Islam memengaruhi berbagai aspek kehidupan,


termasuk ilmu, hukum, etika, seni, kebudayaan, ekonomi, dan lain-lain. Ini adalah
hasil dari perkembangan peradaban Islam yang mencerminkan keseimbangan
antara aspek rohani dan materi. Pengaruh Islam dapat dilihat di berbagai wilayah,
termasuk negara-negara Arab, Afrika, India, Cina, Indonesia, dan banyak lagi.
Selain itu, peradaban Islam tidak hanya bersejarah, tetapi masih relevan dalam
dunia modern. Contohnya adalah institusi ekonomi Islam seperti bank Islam,
asuransi Islam, dan pasar modal Islam. Islam sebagai tamaddun juga
mencerminkan kebebasan beragama, dengan prinsip "tidak ada paksaan dalam
beragama." Peradaban Islam memberikan penghormatan kepada rumah-rumah
ibadat agama lain dan mencita-citakan perdamaian di dunia. Walaupun tamaddun
Islam mungkin menghadapi tantangan dalam era modern, potensinya untuk
menjadi peradaban dunia yang relevan masih ada. Secara umum, Islam sebagai
tamaddun mencerminkan aspek integral agama dan peradaban yang berfokus pada
keseimbangan antara aspek rohani dan materi, serta toleransi terhadap beragam
keyakinan.

B. Karakteristik Islam

1. Karakteristik Umum:

Islam adalah agama yang dinyatakan melalui wahyu kepada para Nabi,
bersifat eksternal, universal, dan mencakup seluruh aspek kehidupan manusia,
mengakui pluralitas keyakinan dan agama, namun menolak pluralisme yang
menganggap semua agama setara, terbuka untuk berbagai pendekatan ilmiah
dalam pemahaman agama, terutama melalui Al-Qur'an.

2. Karakteristik Khusus:

Bidang Akidah:

Akidah Islam terperinci dan tidak mentolerir syirik, mempercayai hal-hal


gaib seperti Allah, Malaikat, dan hari Akhir, integritas antara teori dan praktik,
ilmu, iman, dan amal.

Bidang Ibadah dan Muamalah:

Ibadah mencakup semua aspek kehidupan manusia, baik yang telah diatur
oleh Allah maupun yang tidak, ibadah adalah konsekuensi dari tauhid, yang
dibagi menjadi tauhid teoretis dan praktis, konsep ibadah bersifat teosentris,
dengan manfaat yang juga bagi manusia.
Bidang Akhlak:

Akhlak Islam didasarkan pada ajaran Tuhan (Al-Qur'an dan Hadis) untuk
menentukan baik dan buruk, akhlak sejalan dengan fitrah manusia dan bersifat
universal, Mempromosikan keseimbangan, realisme, dan menjadikan iman
sebagai motivasi utama dalam perbuatan baik.

BAB V

Konsep Islam tentang Tuhan

Dalam bahasa Indonesia, terdapat satu kata, yaitu Tuhan, yang dijelaskan
dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2002: 1216) sebagai "Sesuatu yang
diyakini, dipuja, dan disembah oleh manusia sebagai Yang Maha Kuasa, Maha
perkasa, dan sebagainya." Bahasa Arab memiliki kata-kata rabbun dan ilahun
yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia sebagai Tuhan. Namun, keduanya
memiliki perbedaan mendasar dalam pengertian etimologis. Kata rabbun mengacu
pada pemilik atau pencipta, sementara kata ilahun lebih berkaitan dengan
sembahan. Ini menunjukkan perbedaan dalam pengertian Tuhan.

Kata tertua yang menunjukkan makna Tuhan adalah "deva" yang berasal
dari India dan merambah ke berbagai bahasa seperti Latin, Yunani, dan beberapa
bahasa Eropa modern. Meskipun ada berbagai nama Tuhan dalam berbagai
budaya, dalam bahasa Arab, Allah Swt. dianggap sebagai satu-satunya yang
benar-benar menyandang predikat sebagai rabbun dan ilahun.

Secara Terminologi menunjukkan bahwa Tuhan, mengacu pada kata


"ilahun," mencakup semua yang disembah oleh manusia, baik yang benar maupun
yang salah seperti berhala, batu, dan lainnya. Penyembahan ini juga melibatkan
sistem ritus dan pengagungan yang menunjukkan ketergantungan kepada sesuatu
yang dianggap mutlak. Oleh karena itu, Allah Swt. adalah satu-satunya yang
benar-benar berhak menyandang predikat sebagai rabbun dan ilahun dalam
pengertian yang sebenarnya.

Tentang Argumentasi Eksistensi Tuhan

Dalil naqli (Bukti Berdasarkan Al-Qur’an)

Al-Qur'an adalah kitab suci yang paling banyak memuat ayat-ayat yang
berhubungan dengan bukti eksistensi dan keesaan Tuhan. Kitab-kitab suci
lainnya, seperti Taurat dan Injil, tidak memiliki jumlah bukti eksistensi Tuhan
sebanyak Al-Qur'an. Hal ini bisa dijelaskan oleh konteks sosio-kultural yang
berbeda yang dihadapi oleh para nabi, seperti Nabi Musa dan Nabi Isa,
dibandingkan dengan Muhammad Saw.

Masyarakat yang dihadapi oleh Nabi Musa dan Nabi Isa sudah memiliki
keyakinan akan eksistensi Tuhan. Oleh karena itu, kitab Taurat dan Injil tidak
perlu memuat banyak bukti eksistensi Tuhan. Al-Qur'an, di sisi lain, memberikan
banyak ayat yang menguatkan bukti eksistensi Tuhan, yang sesuai dengan
kebutuhan masyarakat yang dihadapi oleh Muhammad Saw. Ini menjadikan Al-
Qur'an sebagai sumber utama bukti eksistensi dan keesaan Tuhan dalam Islam.

Dalil naqli atau bukti berdasarkan akal yang diuraikan adalah sebagai berikut:

1. Bukti Cosmological (Alam Semesta):

Bukti ini menyatakan bahwa alam semesta menunjukkan eksistensi Allah karena
segala yang ada saling tergantung satu sama lain dan akhirnya harus ada sesuatu
yang menggerakkan tanpa perlu digerakkan oleh yang lain. Ini mencapai titik satu
penggerak yang tidak tergantung pada yang lain, yaitu Allah.

2. Bukti Teleological (Maksud, Sasaran):

Bukti ini menunjukkan bahwa alam semesta memiliki maksud dan sasaran dalam
penciptaannya. Contohnya, struktur tubuh manusia yang sangat teratur dan
berfungsi dengan baik menunjukkan adanya rancangan atau tujuan dalam
penciptaannya.

3. Bukti Oniological (Kesempurnaan, Ideal):

Bukti ini mengatakan bahwa setiap kali kita membayangkan sesuatu yang
besar, kita akan selalu membayangkan sesuatu yang lebih besar. Akhirnya, kita
mencapai gambaran kesempurnaan mutlak yang hanya dapat dicapai oleh Allah.

Selain itu, konsep Tauhid dalam Islam mengacu pada keyakinan bahwa
Allah adalah Maha Esa dalam dzat dan sifat-Nya, dan tidak ada sekutu bagi-Nya
dalam kekuasaan dan ketuhanan. Syahadah tauhid (‫ه إال هللا‬HH‫هد أن ال إل‬HH‫ )أش‬adalah
pernyataan kesaksian tentang keesaan Allah, sementara Syahadah risalah (‫أشهد أن‬
‫ )محمدا رسول هللا‬mengacu pada keyakinan bahwa Muhammad adalah Rasul Allah
dan mengikuti ajarannya adalah kewajiban bagi setiap Mukmin.

Dalam Islam, menjadi Mukmin mengharuskan seseorang menjadi Muslim,


yang artinya mereka menyerahkan diri secara total kepada Allah, dengan
membarter kebebasan berkehendak mereka kepada iradah Allah. Ini adalah esensi
iman dan Islam dalam agama Islam.

Terdapat dua macam tauhid yaitu :

1. Tauhid Rububiyah adalah keyakinan bahwa Allah adalah satu-satunya


Tuhanyang menciptakan, memelihara, mengatur, dan memiliki penguasaan
mutlak atas segala ciptaan. Manusia adalah makhluk-Nya yang bergantung
pada-Nya dalam segala aspek kehidupan.
2. Tauhid Uluhiyah adalah keyakinan bahwa hanya Allah yang pantas untuk
disembah, diabdikan, dan diberikan penghormatan tertinggi. Ibadah harus
hanya ditujukan kepada-Nya, dan setiap tindakan dalam kehidupan harus
mencerminkan pengabdian total kepada Allah.
Selain itu, tauhid al-Asma dan al-Sifat adalah keyakinan bahwa nama-nama
dan sifat-sifat Allah adalah unik hanya untuk-Nya, dan tidak ada makhluk yang
dapat menandingi atau menyamai sifat-sifat-Nya. Ini mencakup keyakinan bahwa
sifat-sifat Allah tidak dapat dibandingkan dengan sifat makhluk, seperti sifat ilmu.

Pemahaman tentang Tauhid al-Asma dan al-Sifat

Dalam QS Al-A'raf [7]: 180, Allah menjelaskan bahwa hanya Dia


memiliki asmaul husna , yaitu nama-nama yang sempurna yang
mencerminkan sifat-sifat-Nya yang agung. Allah mengajarkan kepada kita untuk
berdoa dengan menyebut nama-nama-Nya yang mulia dan meninggalkan
pemikiran salah tentang-Nya. Orang-orang yang keliru dalam menyebut nama-
nama Allah akan mendapatkan ganjaran sesuai dengan perbuatan mereka. Tauhid
al-Asma dan al-Sifat adalah keyakinan bahwa Allah memiliki nama-nama dan
sifat-sifat yang khusus hanya milik-Nya dan tidak dapat disamakan dengan
makhluk-Nya. Sifat-sifat Allah adalah sempurna dan tidak ada kekurangan dalam-
Nya. Sebagai contoh, ilmu Allah jauh lebih luas dan sempurna daripada ilmu
manusia yang sangat terbatas. Oleh karena itu, sifat-sifat Allah tidak dapat
disamakan dengan sifat-sifat makhluk-Nya.

Allah menekankan bahwa tidak ada yang serupa dengan-Nya dalam QS


Asy-Syura [42]: 11, yang menunjukkan bahwa Dia adalah Maha Mendengar dan
Melihat yang tidak ada tandingannya.

Syarat bertauhid seseorang bisa dikatakan bertauhid secara benar apabila


sudah memenuhi syarat sebagai berikut, yaitu:

 Mengetahui, memahami dan menghayati makna la ilaha illa Allah dan


Muhammad Rasul Allah secara baik dan benar
 Meyakini bahwa yang diikrarkan itu benar
 Menerima secara utuh apa yang terkandung dalam kalimat syahadat dan
segala tuntutannya, termasuk ibadah, semata-mata hanya untuk Allah.
 Cinta Allah dan Rasulullah
 Pengikraran tauhid dilakukan dengan jujur dan benar, bukan atas
kepalsuan dan kebohongan

Teori tentang tauhid

Terdapat dua pandangan mengenai Teori Tauhid, yang dijelaskan oleh Haedar
Nashir dkk (1994:25):

1. Teori Kemestian (dalil talazum) menyatakan bahwa tauhid uluhiyah dan tauhid
al-asma' dan al-sifat adalah konsekuensi logis dari tauhid rububiyah. Artinya, jika
seseorang percaya bahwa Allah adalah Rabb, maka secara otomatis ia harus
percaya bahwa Allah juga adalah Tuhan yang harus disembah, diagungkan,
dipatuhi, dipuji, dan dihormati.

2. Teori Pencakupan (dalil tazamun) menyatakan bahwa iman pada tauhid


uluhiyah mencakup juga iman pada tauhid rububiyah dan tauhid al-asma' dan al-
sifat. Dengan kata lain, jika seseorang meyakini Allah sebagai Ilah (Tuhan), maka
ia sudah meyakini bahwa Allah adalah Rabb. Jika seseorang mengagungkan
sesuatu melebihi pengagungannya kepada Allah, itu berarti orang tersebut telah
menjadikan sesuatu itu sebagai Rabb, karena pengagungan tersebut tidak mungkin
terjadi tanpa pengakuan sebagai Rabb.

Pengertian syirik

Etimologi syirik berasal dari kata "syaraka," yang artinya sekutu atau syerikat.
Dalam terminologi agama, syirik merujuk pada tindakan menjadikan sesuatu
sebagai sekutu bagi Allah dalam aspek rububiyah dan uluhiyah (Al-Fauzan, tt:
74). Syirik bisa mengambil berbagai bentuk, tetapi umumnya terjadi dalam aspek
uluhiyah. Ini terjadi ketika seseorang mengimani Allah sebagai Tuhan, namun
juga mengagungkan sesuatu dengan kadar yang setara dengan pengagungan
kepada Allah, seperti menjadikan objek lain sebagai tuhan selain Allah. Selain itu,
syirik juga melibatkan tindakan memohon kepada selain Allah, mencintai sesuatu
melebihi cinta kepada Allah, atau meminta pertolongan kepada selain Allah, dan
semua tindakan ini dianggap sebagai syirik.

Menurut Al-Fauzan (tt.: 74-75), dalam Islam, syirik dianggap sebagai dosa
besar. Hal ini disebabkan karena syirik menyamakan Pencipta (Allah) dengan
makhluk, terutama dalam aspek ibadah. Dengan menyekutukan Allah, seseorang
sebenarnya menyerupakan-Nya dengan yang lain, yang merupakan salah satu
bentuk kezaliman yang paling besar, sebagaimana dinyatakan dalam QS Luqman
[31]: 13: " ‫( "ِإَّن الِّش ْر َك َلُظْلٌم َع ِظ يٌم‬Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah
benar-benar kezaliman yang besar).

Kezaliman ini terjadi ketika seseorang meletakkan sesuatu di tempat yang


tidak semestinya. Dengan menyembah selain Allah, seseorang sebenarnya
meletakkan ibadah di tempat yang tidak semestinya dan mengalihkan
penyembahan dari yang seharusnya hanya ditujukan kepada Allah. Inilah yang
dimaksud dengan kezaliman yang paling besar. Syirik besar dapat terlihat (zahir
jaliy) atau tersembunyi (batin khaliy). Syirik zahir jaliy adalah tindakan yang
dengan jelas menyembah sesuatu selain Allah, seperti penyembahan berhala.
Syirik kecil khafiy adalah syirik yang terjadi dalam hati dan niat seseorang,
misalnya riya' (pamer) atau menceritakan aib (cela) orang lain. Riya' adalah
tindakan melakukan ibadah dengan harapan mendapatkan pujian atau pengakuan
dari orang lain, seperti melakukan shalat atau sedekah dengan maksud untuk
mendapat pujian. Atau dengan cara melantunkan zikir, puji-pujian, atau membaca
Al-Qur'an dengan keras agar didengar oleh orang lain, dengan tujuan untuk
mendapat pujian dan pengakuan.

Pandangan hidup Muslim yang didasarkan pada akidah tauhid menekankan


beberapa aspek penting:

1. Manusia sebagai Hamba Allah: Akidah tauhid menempatkan manusia sebagai


hamba Allah yang harus mengabdi dan berbakti kepada-Nya.
2. Allah sebagai Standar Nilai: Akidah tauhid menetapkan Allah sebagai satu
satunya Dzat yang menentukan nilai ibadah, kebaikan, dan kebenaran.
3. Allah sebagai Tujuan Hidup: Akidah tauhid mengarahkan manusia untuk
menjadikan Allah sebagai titik tuju arah hidupnya dan memastikan bahwa
semua aktivitas hidupnya ditujukan kepada-Nya.
4. Pembebasan dari Perbudakan: Prinsip akidah tauhid membatalkan kedaulatan
hukum dan politik manusia, sehingga hanya Allah yang memiliki kedaulatan
tertinggi.

Jadi, akidah tauhid memberikan pandangan hidup kepada Muslim bahwa


mereka adalah hamba Allah, Allah adalah standar nilai, tujuan hidup, dan
pembebas dari segala bentuk perbudakan manusia atau yang lainnya.

BAB VI

Konsep Manusia dalam Al-Qur’an

Manusia dalam Al-Qur'an, menurut Quraish Shihab yang mengutip Alexis


Carrel, sulit dipahami karena keterbatasan manusia itu sendiri. Al-Qur'an
menggunakan istilah seperti basyar, al-insan, dan an-nas untuk merujuk kepada
manusia dengan konteks yang berbeda.

Kata "basyar" menunjukkan sifat biologis manusia, seperti makan, minum,


dan hubungan seksual. Kata "al-insan" mengaitkan manusia dengan khalifah
sebagai penanggung amanah, sifat-sifat psikologis, dan proses penciptaannya
yang terdiri dari unsur materi dan nonmateri.

Kata "an-nas" mengacu kepada manusia sebagai makhluk sosial dengan


karakteristik tertentu. Dalam ilmu mantiq, manusia dijelaskan sebagai "al-insanu
hayawanunnatiq," yaitu hewan yang berkata-kata dan berpikir.

Masalah manusia dibagi menjadi masalah segera (immediate problems)


dan masalah asasi (ultimate problems). Penciptaan manusia mencakup penciptaan
Adam dan Hawa, serta reproduksi manusia yang dijelaskan dalam Al-Qur'an.
Adam diciptakan dari komponen-komponen seperti tanah, air, dan roh, yang
membedakan manusia dari makhluk lain. Hawa, sebagai istri Adam, juga
diciptakan oleh Allah.

Reproduksi manusia dijelaskan dalam Al-Qur'an melalui tahapan sel


kelamin (gamet), pembuahan (conceptio), dan perkembangan janin dalam rahim.
Masa hamil minimal adalah selama enam bulan berdasarkan penafsiran ayat-ayat
Al-Qur'an.

Tujuan Penciptaan Manusia:

Pertanyaan mendasar yang harus kita tanamkan dalam hati kita adalah,
"Apa tujuan penciptaan manusia?" Semua tahu bahwa manusia diciptakan oleh
Allah untuk beribadah kepada-Nya, yang tidak terbatas pada ritual seperti shalat
dan puasa, tetapi juga mencakup pengabdian dan ketaatan kepada-Nya dalam
seluruh aspek kehidupan.

Pada Fungsi dan Kedudukan Manusia:

Manusia, dalam pandangan Islam, adalah khalifah atau pemimpin di bumi


yang diberikan tanggung jawab untuk mengatur dan mengelola sumber daya alam
untuk kepentingan manusia, selalu tunduk kepada Allah sebagai Hamba Allah,
dan harus menjauhi hal-hal yang dilarang-Nya.

Tentang Pandangan Islam tentang Alam Semesta:

Dalam pandangan Islam, alam semesta adalah ciptaan Allah, dan segala
sesuatu dalam alam ini patuh pada ketentuan Allah. Manusia memiliki peran unik
sebagai khalifah yang diberikan kebebasan berkehendak, sehingga ia dapat tunduk
atau tidak kepada aturan Allah. Alam semesta, meskipun memiliki kelebihan
dalam ketundukan pada aturan Allah, juga memiliki kelemahan dalam hal
ketidakberdayaan untuk menentukan sikapnya jika manusia merusak
ekosistemnya.

Pandangan Islam menekankan tauhid atau kepercayaan kepada Allah yang


Maha Esa dan menolak sakral atau memuja alam. Syirik, atau mensyarikatkan
Tuhan, dianggap sebagai dosa besar dalam Islam.

Dalam konteks Nabi Ibrahim, ia awalnya menganggap alam sebagai


Tuhan, tetapi kemudian menyadari kesalahannya dan menemukan kebenaran
tentang keesaan Allah. Ini menegaskan konsep tauhid dalam Islam. Semua ini
menunjukkan bahwa Islam mengajarkan untuk memandang alam secara objektif
dan tidak menyakralkannya, karena mensakralkan alam dapat mengarah pada
penyimpangan dalam kepercayaan.

Hubungan manusia dengan alam semesta sangat tergantung pada ideal dan
keyakinan religiusnya. Tanpa ideal dan agama, manusia cenderung egois dan
kebingungan dalam mengenali tugas moral dan sosialnya. Keyakinan religius
mengubah manusia menjadi mukmin sejati, memengaruhi cara pandangnya
terhadap dunia, dan mendorong pengorbanan yang ikhlas. Keyakinan non-religius
cenderung menciptakan dunia imajiner yang bertentangan dengan realitas kasat
mata. Manusia memiliki kecenderungan spiritual yang perlu ditumbuhkan dengan
baik. Kecenderungan ini merupakan bagian fitri dari manusia. Psikolog
menekankan bahwa manusia selalu membutuhkan sesuatu yang dianggap absolut,
baik itu Allah atau sesuatu yang lain, sehingga meningkatkan keyakinan religius
adalah kunci untuk memengaruhi manusia secara positif. Al-Qur'an Suci
menggambarkan keyakinan religius sebagai harmoni antara manusia dan alam
semesta.

Hukum yang Terkait dengan Alam Semesta adalah tentang bagaimana


keyakinan religius seseorang memengaruhi pandangan dan perilaku mereka
terhadap hidup. Orang yang memiliki keyakinan religius merasa bertanggung
jawab atas keterbelakangan diri mereka sendiri, tidak menyalahkan negara, dan
cenderung optimis. Mereka melihat dunia sebagai tempat yang tercerahkan oleh
cahaya kebenaran.

Di sisi lain, orang yang tidak memiliki keyakinan religius cenderung


merasa bahwa sistem dan hukum negara adalah zalim, dan mereka bisa merasa
penuh dengan rasa benci dan dendam. Mereka mungkin merasa bahwa dunia ini
seperti penjara yang menakutkan.

Keyakinan religius juga dapat memengaruhi pandangan seseorang tentang


upaya yang baik membawa hasil yang baik. Orang yang religius percaya bahwa
dunia mendukung orang yang berbuat untuk kebenaran, keadilan, dan integritas.

Selain itu, keyakinan religius dapat memberikan kepuasan mental dan


menghilangkan ketakutan terhadap masa depan. Manusia merasa yakin dengan
tugas mereka terhadap diri mereka sendiri, tetapi pertanyaan tentang apakah
perbuatan baik memiliki arti atau apakah kejujuran membantu mencapai tujuan
bisa menjadi sumber kecemasan.

Hukum Takwa menekankan pentingnya kehidupan sosial yang baik,


dengan penghormatan terhadap hukum dan hak individu, persahabatan, keadilan,
dan kebajikan. Keyakinan religius memainkan peran penting dalam menghargai
kebenaran, menginspirasi kebajikan, dan mendorong ketakwaan. Orang yang
sepenuhnya mengabdikan diri kepada Tuhan disebut akan mencapai derajat
takwa.

BAB VII

KONSEP ISLAM TENTANG WAHYU DAN KENABIAN

Nabi adalah seorang yang ditinggikan derajatnya oleh Allah SWT. Dengan
memberinya berita (wahyu). Sedangkan, kenabian itu artinya penunjukan atau
pemilihan Allah SWT, terhadap salah seorang daei hamba-Nya dengan
memberikannya sebuah wahyu. Secara etimologis Nabi berasal dari kata na-ba
artinya ditinggalkan, atau berasal dari kata na-ba-a artinya berita. Sedangkan,
menurut terminologis Nabi adalah manusia biasa yang mendapatkan
keistimewaan menerima sebuah wahyu dari Allah SWT. Kemudian setelah itu
diamanatkan untuk disampaikan kepada umat manusia. Nabi yang demikian
disebut dengan Rasul.

Urgensi Kenabian ada dua macam pendekatan yang pertama pendekatan


doktrinal, dari sudut pendekatan Tuhan sendiri, apakah sebenarnya yang
sebenarnya di kehendaki Tuhan untuk mengutus para Nabi itu. Dilihat dari sudut
pandangan firman, doktrin atau normatif, maka kedatangan atau kelahiran nabi-
nabi dalam realitas masyarakat merupakan nikmat yang diberikan Tuhan kepada
masyarakat agar kehidupan masyarakat dapat berjalan dengan seimbang.
Sedangkan pendekatan yang kedua adalah pendekatan pendekatan sosial historis.
Pendekatan sosial historis adalah dengan kehadiran para Nabi diperlukan dalam
realis kehidupan suatu masyarakat, sehingga Tuhan perlu mengutusnya untuk
masyarakat itu. Jika dilihat dan Konteks sosial, maka sejarah menjelaskan bahwa
pada saat kelahiran Nabi Muhammad SAW, keadaan masyarakat pada waktu itu
sedang dilanda krisis moral yang fundamental. Krisis moral tersebut telah
menghancurkan kehidupan masyarakat dalam berbagai aspek contohnya dalam
aspek sosial politik, ekonomi, budaya, dan juga agama. Dan Nabi Muhammad
SAW, sendiri menegaskan bahwa beliau sesungguhnya diutus untuk
menyempurnakan budi pekerti yang mulia masyarakatnya yang hampir berada
dalam jurang kehancuran.

Di antara tugas yang diamanatkan kepada Nabi untuk menyampaikan


risalah yang dibawanya adalah sebagai penyampai syariat rabbani kepada
manusia, menjelaskan makna nas yang diturunkan kepada umat, menuntun umat
kepada kebaikan dan mewanti-wanti mereka agar menghindari suatu keburukan,
serta mendidik manusia dengan metode rabbani. Tujuan kenabian disebutkan
bahwa seorang Nabi diutus Allah kepada manusia untuk menjadi saksi, sebagai
pembawa kabar gembira, pemberi peringatan, penyeru kepada agama Allah, dan
menjadi sebuah cahaya yang penerang bagi umatnya.
Dapat dipastikan bahwa nabi-nabi telah ditunjuk untuk membimbing
masyarakat ke arah jalan yang benar, serta memberikan kepada mereka sebuah
kebahagiaan dan juga kemerdekaan. Ada dua konsep secara khusus ditunjuk
sebagai yang sebenarnya dari misi para nabi. Konsep pertama adalah mengimani
Allah Yang Maha Esa, dan mendekatkan diri kepada-Nya atau bertauhid.
Sedangkan yang kedua adalah menegakkan keadilan dan derajat dalam
masyarakat manusia.

Mukjizat merupakan peristiwa yang terjadi di luar kebiasaan yang manusia


tidak sanggup melakukan atau mengadakannya. Mukjizat hanya di tangan para
Nabi dan Rasul. Seorang Rasul memperlihatkan mukjizat kepada umatnya seizin
Allah, sebagai bukti kebenarannya. Mukjizat yang diberikan oleh Allah kepada
para Nabi dan Rasul sesuai dengan sifat risalah yang diemban oleh para Nabi dan
Rasul yang bersangkutan. Risalah-risalah yang terdahulu sebelum diturunkan
hanya kepada kaum atau umat tertentu dan bersifat sementara, Oleh karenanya
mukjizat yang diperlihatkan oleh Nabi mereka sejenis atau mirip dengan apa yang
sedang populer di kalangan kaum atau umat yang bersangkutan, dan mukjizat itu
sendiri bersifat sementara juga.

BAB VII

KONSEP ISLAM TENTANG KEHIDUPAN

Hidup adalah pertalian antara roh dan badan serta hubungan interaksi
antara keduanya. Hidup juga dapat diartikan suatu sifat yang dengan sifat itu
sesuatu menjadi berpengetahuan dan memiliki kekuatan (Rohiman, 1996: 221).
Jadi, hidup merupakan kenikmatan dari Allah, sebab dengan adanya hidup, maka
seseorang dapat merasakan kenikmatan dan tanpa kehidupan maka tidak seorang
pun dapat menikmati arti kehidupan di dunia serta merasakan pembalasan baik
dan buruk di akhirat nanti. Allah menciptakan kehidupan dunia selain sebagai
tempat kehidupan juga sebagai tempat kematian, sedangkan dalam akhirat
dijadikan Allah sebagai tempat pembalasan yang kekal bagi setiap amal perbuatan
yang telah manusia lakukan semasa didunia.

Sedangkan kehidupan di dunia menurut Islam adalah untuk menguji siapa


di antara manusia yang terbaik amalnya. Kehidupan dunia ini adalah ladang yang
harus digarap dengan amal saleh. Sebab kalau tidak, kehidupan ini akan berakhir
dengan kesia-siaan, dan di akhirat kita tidak akan memperoleh sesuatu apa pun
kalau di dunia ini kita tidak beramal yang baik. Namun amal yang baik saja tidak
cukup bagi Islam. Sebab amal yang baik itu harus amal yang di atas dasar iman
kepada Allah SWT.

Allah menciptakan manusia dengan tujuan yang mulia, dan sama sekali
bukan untuk main-main sebagaimana yang telah disebutkan dalam sebuah firman
Allah, dalam Q.S Ali Imran : 191 dan Q.S Sad : 27. Yang pada dasarnya tujuan
hidup manusia adalah memperoleh kebahagiaan baik di dalam dunia maupun di
dalam akhirat kelak. Sementara kewajiban dan tugas manusia menurut A l-Quran
adalah mengabdi dan beribadah kepada Allah. Manusia diciptakan Allah, tidak
lain adalah agar mengabdikan dirinya kepada-Nya.

Kehidupan setelah kematian merupakan awal dimulainya perjalanan ke


dalam kehidupan yang kekal. Dalam alam barzakh alam perantara, yaitu antara
dunia fisik dan dunia rohani (spiritual). Sebagian orang menyamakan antara alam
barzakh dengan alam kubur. Namun secara spiritual, alam barzah dapat juga
merujuk pada salah satu alam gaib yang terletak antara alam dunia yang bersifat
fisik dan alam yang bersifat spiritual (Mulyadi, 2007:42).

Hari akhir adalah berakhirnya alam kita sekarang, di mana segala sesuatu
yang ada di alam menjadi binasa dan mati kecuali Dzat Allah Kemudian Allah
membangkitkan manusia dari kematiannya (alam kubur) ke alam lain, yaitu alam
akhirat untuk diperlihatkan atau untuk mempertanggungjawabkan semua amal
perbuatan dan kemudian perhitungan amal baik dan buruknya yang pada akhirnya
akan diberikan balasan yang sesuai dengan perbuatan amalannya tersebut, yaitu
amal baik akan memperoleh sebuah kenikmatan atau surga, sedangkan amal
perbuatan yang buruk akan memperoleh siksaan atau memperoleh neraka.

Urgensi iman kepada hari akhir iman kepada Allah sangat berkaitan erat
dengan iman kepada hari akhir. Bahkan sering di dalam Al-Quran dan hadist
disebutkan kedua hal tersebut mewakili rukun-rukun yang lainnya. Dan kesadaran
tentang adanya hari akhir banyak mempengaruhi perilaku manusia di dalam dunia.
Dengan menyadari sepenuhnya tentang adanya keberadaan kehidupan akhirat,
seseorang akan selalu bertindak baik. Karena apa yang dilakukan seseorang di
dalam kehidupannya didunia akan memiliki konsekuensi jangka panjang, yakni
balasan yang akan diterimanya di akhirat kelak.

Setelah kematian, manusia akan masuk ke dalam alam kubur (barzakh),


untuk kemudian dibangkitkan pada hari kebangkitan (qiyamah). Dihimpun di
padang mahsyar, lalu dihitung (hisab) dan kemudian ditentukan nasib dari kita
untuk masuk surga (bila lebih banyak amal baik) atau masuk neraka (bila lebih
banyak amal buruknya). Implikasinya adalah bahwa tidak akan sama akibat dari
yang dihadapi orang yang beramal sholih dengan seseorang yang lebih cenderung
berbuat maksiat. Setiap perbuatan akan memiliki konsekuensi dan akan
diperlihatkan di akhirat.

Al-Qur'an dan hadis menyebutkan bahwa manusia yang amal kebaikannya


lebih banyak akan memperoleh hidup yang sempurna di akhirat dengan mendapat
tempat di surga. Surga adalah tempat yang dijanjikan bagi orang-orang yang
bertakwa. Adapun untuk mencapainya adalah dengan beribadah kepada Allah
semata. Sebaliknya bagi mereka yang amal buruknya lebih banyak, maka akan
mengalami hidup sengsara dan mendapat tempat di neraka. Bila neraka adalah
tempat kehidupan yang menyengsarakan dengan segala macam siksaannya, maka
kehidupan surga adalah kebalikannya, yakni sebuah kehidupan yang sempurna,
semuanya serba baik, nyaman, tentram dan bahagia. Penghuni surga adalah orang-
orang yang beriman dan beramal saleh, mereka dijamin kekal di dalamnya (QS
Al-Baqarah [2]: 82).
BAB IX

Konsep Islam Tentang Qada’ dan Qadar

Menurut bahasa atau secara etimologi qada berasal dari kata qada yang
berarti perintah, sebagaimana tertera dalam ayat 23 surah Al-Isra’. Sedangkan
Qadar, disebut dalam Al-Qur'an dalam bentuk yang bermacam- macam dan
banyak pula artinya. Namun pada umumnya qadar mengandung pengertian,
kekuasaan Allah untuk menentukan ukuran, susunan, dan aturan terhadap sesuatu,
sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur'an surah Al-Ra'd [13] ayat 8, surah Al-Hijr
[15] ayat 21, dan surah Al-Qamar [54] ayat 49. Dengan demikian, bila kita
katakan bahwa segala sesuatu terjadi dengan qada’ dan qadar Allah, berarti segala
sesuatu terjadi dengan kehendak Allah dan ketetapan hukum Allah yang telah
ditentukan sebelumnya dan berjalan sesuai dengan aturan yang dibuat oleh Allah.

Sedangkan pengertian qada’ menurut istilah (terminologi), mencakup


pengertian antara lain :

a. Qada keputusan Allah Swt., tentang segala sesuatu atau rencana yang telah
diputuskan (Umar Hasyim, 1985).
b. Qada adalah hukum Allah yang telah Dia tentukan untuk alam semesta ini,
dan Dia jalankan alam ini sesuai dengan konsekuensi hukum-Nya dari sunah-
sunah yang Dia kaitkan antara akibat dengan sebab-sebabnya, semenjak Dia
menghendakinya sampai selama-lamanya. Maka setiap apa yang terjadi di
alam ini adalah berdasarkan takdir yang mendahuluinya.

Qadar dalam pengertian istilah (terminologi) ialah perwujudan dari


ketentuan-ketentuan Allah SWT, yang telah ada sejak zaman azali. Qadar dapat
diartikan pula, suatu peraturan umum yang telah ditetapkan Allah untuk menjadi
dasar alam ini, di mana terdapat hubungan antara sebab dan akibat.

Dalam suatu pendapat berkenaan dengan qadar Muhammad Saleh al-


Uthaimi menjelaskan bahwa qadar itu ada empat peringkat. Pertama ilmu,
mempercayai bahwa Allah SWT, itu mengetahui segala sesuatu. Baik yang sudah
terjadi maupun yang akan terjadi dan bagaimana kejadian tersebut bisa terjadi.
Yang kedua adalah kitabah, mempercayai Allah SWT, telah menulis segala
sesuatu yang terjadi sampai hari kiamat di Lauhul Mahfudz. Ketiga adalah
masyi’ah, kita mempercayai bahwa Allah SWT, telah menentukan segala sesuatu
baik di langit maupun di bumi sesuai dengan masyi’ah-Nya (kehendak-Nya).dan
segala sesuatu bisa terjadi jika Allah menghendaki begitupun sebaliknya.
Keempat al-khalq, mempercayai bahwa sesungguhnya Allah SWT, pencipta dari
segala sesuatu.

Beriman kepada qada’ dan qadar Allah adalah rukun keenam dari rukun
iman. Segala sesuatu yang terjadi pada alam semesta dan jiwa manusia, yang baik
maupun yang buruk, semua sudah ditakdirkan oleh Allah dan ditulis sebelum
diciptakannya makhluk. Dan tidak ada seorangpun yang dapat lari dari takdir yang
telah ditetapkan Allah. Maka segala perbuatan adalah terjadi atas kemampuan dan
kemauannya.

Allah telah menetapkan segala sesuatu dalam hidup dan sejarah manusia,
tetapi di samping itu manusia tetap dimintai pertanggung jawaban atas apa yang
telah dilakukannya selama hidup didunia. Di samping itu manusia juga harus
berikhtiar tidak hanya berpasrah diri terhadap apa yang telah ditetapkan oleh
Allah. Dan kesalahan dalam memahami sebuah takdir dapat berakibat buruk bagi
diri dan terhadap kehidupan manusia.

BAB X

Konsep Islam Tentang Akhlak

Kata "akhlak" (akhlaq) berasal dari bahasa Arab, merupakan bentuk jamak
dari "khulud yang menurut bahasa berarti budi pekerti, perangai, tingkah laku,
atau tabiat. Kata tersebut mengandung segi persesuaian dengan kata "khald yang
berarti kejadian. Ibnu 'Athir menjelaskan bahwa khuluq itu adalah gambaran batin
manusia yang sebenarnya (yaitu jiwa dan sifat-sifat batiniah), sedang khalq
merupakan gambaran bentuk jasmaninya (raut muka, warna kulit, tinggi rendah
badan, dan lain sebagainya). Kata khuluq sebagai bentuk tunggal dari akhlak,
tercantum dalam Al-Qur'an surah Al-Qalam [68]: 4, yang artinya: "Sesungguhnya
engkau (Muhammad) berada di atas budi pekerti yang agung".

Secara terminologis, terdapat beberapa definisi akhlak yang dikemukakan


oleh para ahli. Ahmad Amin mendefinisikan akhlak sebagai "kehendak yang
dibiasakan". Imam Al-Ghazali menyebutkan bahwa akhlak adalah "sifat yang
tertanam dalam jiwa yang menimbulkan perbuatan-perbuatan dengan mudah
tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan". Sedangkan Abdullah Darraz
mengemukakan bahwa akhlak adalah "suatu kekuatan dalam kehendak yang
mantap yang membawa kecenderungan kepada pemilihan pada pihak yang benar
(akhlak yang baik) atau jahat (akhlak yang buruk)”. Akhlak standarnya adalah Al-
Qur'an dan Sunnah. Sedangkan etika standamya pertimbangan akal pikiran, dan
moral standarnya adat kebiasaan yang umum berlaku di masyarakat.

Dapat disimpulkan akhlak adalah tabiat atau sifat seseorang yakni keadaan
jiwa yang telah terlatih, sehingga dalam tersebut benar-benar telah melekat sifat-
sifat yang melahirkan perbuatan-perbuatan dengan mudah dan spontan, tanpa
pikiran dan diangan-angankan terlebih dahulu. Hubungan akhlak dalam
kehidupan akhlak merupakan amal sholih yang tidak lain adalah akhlak islamiyah.
Oleh karena itu, akhlak menjadi sesuatu hal yang sangat penting dan tidak dapat
terpisahkan dari kehidupan manusia. Urgensi akhlak tidak saja dirasakan oleh
manusia itu sendiri dalam kehidupan individual, tetapi juga dalam kehidupan
berkeluarga dan bermasyarakat, bahkan dalam kehidupan bernegara.

BAB XI

Konsep Islam Tentang Ilmu

Istilah “ilmu” ekuivalen dengan science, dalam Bahasa Ingg dan Prancis,
wissenschaft (Jerman) dan wetenschap (Belanda) berarti “tahu”. Istilah “ilmu”
sendiri berasal dan Bahasa Arab alima yang juga berarti “tahu”. Jadi, secara
etimologi adalah berpengetahuan. Namun secara terminologis terdapat perbedaan
antar definisi yang dikemukakan oleh para tokoh ilmuwan pada umumnya dengan
definisi yang dikemukakan oleh ilmuwan Islam.

Proses Pencapaian Ilmu dalam Islam memiliki dua aspek: pasif, yang
mengacu pada manusia sebagai penerima ilmu, dan aktif, yang mengacu pada
manusia sebagai pencari ilmu. Ada ilmu pengenalan (ilmu makrifat) yang lebih
pasif dan ilmu pengetahuan yang lebih aktif. Ilmu pengenalan adalah fard 'ayn,
yang wajib bagi setiap Muslim.

Ilmu berbeda dari informasi, karena ilmu melibatkan pemahaman dan


makna. Informasi adalah langkah awal menuju ilmu. Ilmu memerlukan
pemahaman yang benar dan pengenalan akan kedudukan suatu hal dalam konteks
yang lebih luas. Kewajiban menuntut ilmu dalam Islam adalah penting. Menuntut
ilmu fard 'ayn adalah wajib bagi setiap Muslim. Ilmu dapat diklasifikasikan
menjadi ilmu fard 'ayn dan ilmu fard kifayah. Ilmu fard 'ayn berkaitan dengan
keyakinan, perbuatan yang wajib, dan perbuatan yang dilarang.

Ilmu fard kifayah berkaitan dengan ilmu-ilmu yang diperlukan dalam


masyarakat, seperti ilmu syariah dan ilmu bukan syariah yang mendukung
kehidupan sehari-hari. Masyarakat Islam memiliki tanggung jawab bersama untuk
menuntut ilmu fard kifayah. Pengembangan ilmu dalam Islam harus
mempertimbangkan pandangan hidup Islam, sumber dan metode ilmu, serta
keterkaitan dengan nilai-nilai agama. Ilmu tidak harus mengikuti model sekuler
Barat. Proses sekularisasi telah memisahkan agama dari ilmu di Barat, yang
menghasilkan masalah dalam nilai-nilai dan tujuan ilmu.

Dalam konteks pengembangan ilmu dalam perspektif Islam. Dalam


pandangan Islam, aksiologi ilmu sangat terkait dengan nilai-nilai moral dan etika
yang berakar pada ajaran agama. Pandangan hidup Islam yang didasarkan pada
tauhid memandang bahwa segala aktivitas manusia, termasuk pengembangan
ilmu, harus selaras dengan nilai-nilai Islam. Oleh karena itu, ilmu dalam Islam
harus diperkaya dengan nilai-nilai kebenaran, keadilan, kasih sayang,
kebijaksanaan, dan moralitas yang sesuai dengan ajaran agama.

Pengembangan ilmu dalam perspektif Islam harus memberikan perhatian


yang serius pada etika dan moralitas, serta menjadikan nilai-nilai tersebut sebagai
landasan aksiologis dalam setiap disiplin ilmu. Hal ini mencakup tanggung jawab
moral ilmuwan dalam penggunaan ilmu mereka, serta pengaruh positif yang dapat
diberikan ilmu terhadap masyarakat dan lingkungan.

Dalam rangka implementasi konsep-konsep kontemporer Islam seperti


yang diuraikan oleh Syed Muhammad Naquib al-Attas dan Isma'il Raji al-Faruqi,
ilmuwan Muslim diharapkan untuk mengintegrasikan pandangan dunia tauhid,
metode berpikir yang integral, serta nilai-nilai etika dan moralitas Islam dalam
pengembangan ilmu pengetahuan. Ini akan membantu menciptakan ilmu yang
tidak hanya berlandaskan pada pengetahuan, tetapi juga pada nilai-nilai yang
mempromosikan kesejahteraan dan keadilan dalam masyarakat.

Dalam kesimpulan, pemahaman dan penguasaan terhadap ilmu


pengetahuan dalam konteks Islam memerlukan landasan ontologis, epistemologis,
dan aksiologis yang konsisten dengan pandangan dunia tauhid, metode berpikir
integral, serta nilai-nilai etika dan moralitas Islam. Dengan demikian, ilmu
pengetahuan dalam perspektif Islam dapat menjadi sarana untuk mencapai tujuan
yang lebih luas, yaitu mencari ridha Allah dan memberikan manfaat kepada umat
manusia.
NAMA : ANGELINA KARUNIA PUTRI

NIM : 06040123093

PRODI : PAI

Resume Buku

 Judul Buku : Studi Islam dalam Ragam Dimensi dan Pendekatan


 Pengarang Buku : Prof. Dr. Muhaimin, M.A.
Prof. Dr. Abdul Mujib, M.Ag.
Dr. Jusuf Mudzakkir, M.Si.
 Penerbit Buku : PT Kharisma Putra Utama
 Kota Terbit : Jakarta
 Tahun Terbit : 2017
 Tebal Buku : 370 halaman

BAB I

Pengertian Studi Islam

Studi Islam, juga dikenal sebagai Islamic Studies, adalah upaya untuk
mempelajari segala hal yang terkait dengan agama Islam. Ini melibatkan
pemahaman mendalam tentang ajaran, sejarah, dan praktik-praktik Islam, baik
dalam konteks umat Islam maupun dari sudut pandang ilmiah (Islamologi) oleh
non-Muslim. Studi Islam dapat membantu pemahaman dan pengembangan agama
Islam, tetapi juga telah menjadi objek kritik oleh orientalis Barat. Pada akhirnya,
pendekatan yang objektif dan rasional semakin relevan dalam menghadapi
tantangan modern.

Urgensi Studi Islam

Studi Islam menjadi sangat penting dalam menghadapi tantangan kehidupan


dunia dan budaya modern. Umat Islam saat ini berada dalam situasi problematis,
di mana mereka perlu menghasilkan pemikiran yang cemerlang untuk mengatasi
berbagai masalah sosial, budaya, dan kehidupan modern. Studi Islam yang
objektif dan rasional dapat membantu umat Islam beradaptasi dengan dunia
modern dan mengatasi kondisi mereka yang sering kali marginal dan lemah di
banyak aspek kehidupan.

Tujuan Studi Islam

Setiap usaha pasti memiliki tujuan, dan setiap individu yang terlibat dalam
suatu usaha harus mengarahkan upayanya untuk mencapai tujuan tersebut secara
efisien. Studi Islam, yang merupakan upaya mendalam untuk memahami Islam
dan aspek-aspek yang terkait dengannya, juga memiliki tujuan yang jelas. Dengan
tujuan ini, studi Islam menjadi suatu usaha yang sadar dan sistematis.

1. Memahami Hakikat Agama Islam: Studi Islam bertujuan untuk memahami


esensi dari agama Islam dan hubungannya dengan agama-agama lain dalam
budaya manusia. Ini dilandaskan pada keyakinan bahwa Islam diturunkan untuk
membimbing perkembangan agama dan budaya manusia.

2. Mendalami Isi Ajaran Islam: Tujuan studi ini adalah memahami dengan
mendalam isi ajaran agama Islam dan bagaimana ajaran ini berkembang dalam
budaya dan peradaban Islam sepanjang sejarah.

3. Mengeksplorasi Sumber Ajaran Islam: Studi Islam ingin memahami sumber


ajaran Islam yang abadi dan dinamis, serta bagaimana ajaran ini relevan sepanjang
sejarah.

4. Mempelajari Prinsip dan Nilai Agama Islam: Tujuan terakhir adalah memahami
prinsip-prinsip dan nilai-nilai dasar agama Islam, serta bagaimana ajaran ini
membimbing dan mengarahkan perkembangan budaya dan peradaban manusia
pada zaman modern.

Melalui tujuan-tujuan ini, studi Islam berusaha menjadi relevan dalam


pembaruan dan pengembangan kurikulum pendidikan Islam serta dalam
menghadapi tantangan kehidupan sosial, budaya, dan agama dalam dunia
yang semakin global.

BAB II

Pendekatan dan Metode dalam Studi Islam

1. Pendekatan Historis: Pendekatan ini melibatkan peninjauan permasalahan dari


sudut sejarah, mencari jawaban, dan menganalisisnya dengan metode analisis
sejarah. Sejarah memungkinkan pemahaman masa kini dengan pandangan dari
masa lalu.
2. Pendekatan Filosofis: Pendekatan ini melihat suatu permasalahan dari sudut
pandang filsafat dan mencoba menjawabnya dengan metode analisis spekulatif.
Filsafat membantu menjembatani kesenjangan antara masalah agama dan ilmu
pengetahuan modern.

3. Pendekatan Ilmiah: Metode ilmiah digunakan untuk meninjau dan menganalisis


permasalahan atau objek studi dengan obyektivitas dan keterbukaan. Hal ini
melibatkan pemahaman berdasarkan data empiris dan rasional.

4. Pendekatan Doktriner: Pendekatan ini berpusat pada keyakinan bahwa agama


Islam bersifat suci dan doktrin-doktrinnya berasal dari Ilahi. Ini
mempertimbangkan ajaran Islam yang berkembang pada masa salaf sebagai yang
baku. Selain itu, terdapat metode khusus yang digunakan dalam studi Islam

5. Metode Problem Solving: Metode ini mengajak untuk menghadapi masalah


dengan mencari solusinya dalam kerangka ilmu pengetahuan. Ini memfokuskan
pada keterampilan praktis daripada pengembangan intelektual

6. Metode Empiris: Metode ini memungkinkan pemeluk Islam memahami ajaran


dengan melalui aplikasi dalam kehidupan nyata, yang kemudian menghasilkan
sistem norma baru.

7. Metode Deduktif: Dalam metode ini, kaidah-kaidah logis dan filosofis disusun
dan diterapkan pada masalah furu', menjadi penentu dalam masalah furu' tanpa
mempertimbangkan paham mazhab.

8. Metode Induktif: Metode ini menyusun kaidah hukum yang diterapkan pada
masalah furu' setelah disesuaikan dengan paham mazhabnya. Ini memungkinkan
fleksibilitas dalam menghadapi masalah furu'.

Semua pendekatan dan metode tersebut dapat digunakan bersamaan untuk


mendapatkan pemahaman yang lebih komprehensif tentang Islam.

BAB III
Penamaan Islam dan Implikasinya Dalam Kehidupan Manusia

Semua tradisi keagamaan di dunia, kata islam sendiri terdapat dalam Al-
Quran, dan orang-orang Islam teguh menggunakan istilah itu untuk mengenal
sistem keimanan mereka. Nama islam itu khusus pemberian dari Allah dan telah
menjadi nama Rasul terakhir. Agama islam dibawa oleh nabi Muhammad bukian
agama baru, karena semu8a agama yang diturunkan oleh Allah, memiliki nama
islam, yang intinya adalah ‘ menyerahkan diri kepada -Nya. Para nabi dan Rasul
sebelumnya juga beragama islam sebagaimana dinyatakan dalam Al-Qur’an.
Islam merupakan agama universal, karena berasal dari zat yang mengatur,
menguasai, dan memelihara alam semesta.

Kehadiran Nabi Muhammad adalah penyempurna agama islam di sekitar


Jazirah Arab namun mampu menjangkau semua lapisan bangsa Arab dan Non
Arab, serta tidak tergantung kepada satu ras, bahasa, tempat, ataupun masa dan
kelompok manusia. Pertama islam berasal dari kata al-salamu, al-salmu, dan al-
silmu yang berarti: menyerahkan diri, pasrah, tunduk, dan patuh. Dengan
demikian mengandung sikap penyerahan diri, pasrah, tunduk, dan patuh manusia
terhadap Tuhan-Nya. Menjalankan islam bagi umat manusia adalah sama nilainya
dengan berjalan mengikuti alam dan hukum-hukumnya sendiri yang ditetapkan
oleh Allah. Dilihat dari segi sejarahnya, nabi Muhammad melalui dakwah islam-
Nya telah berhasil menyelamatkan dunia yang hampir tenggelam dalam
kebiadaban. Karena agama yang di bawah oleh rasul sebelumnya hanya berhasil
menyatukan elemen dari satu ras atau bangsa, sedangkan islam telah berhasil
menyatukan banyak ras dari berbagai elemen yang berbeda dari umat yang
berbeda.

Universal, Autentisitas dan Dinamika Islam

Dari semua pengertian umum dapat disimpulkan bahwa islam adalah


penyerahan diri kepada Allah atau Tuhan Yang Maha Esa dengan bentuk dan
segala realisasinya. Dalam menghadapi ajaran islam, manusia terbagi menjadi dua
kelompok, yaitu:
1. Mereka yang beriman
Orang yang beriman akan memilih dan menerima islam itu dengan penuh
kesadaran, dan mengakui segala keterbatasan dengan penuh kesadaran.
2. Mereka yang tidak beriman
Orang yang tidak beriman tidak akan menerima islam itu dengan penuh
kesadaran, dan mengakui segala keterbatasan dengan penuh kesadaran

Nabi Muhammad telah membakukan agama islam secara sempurna,


sehingga akan terjamin autentisitas sekaligus perkembangan sesuai dengan
tuntutan perkembangan zaman dan tempat. Sistem pembakuan ajaran islam
tersebut adalah sebagai berikut:

1. Membukukan secara autentik sumber dasar pokok dan prinsip ajaran islam
sebagai wahyu dari Allah yang tertuang dalam Al-Qur,an.
2. Memberikan penjelasan contoh dan teladan pelaksanaan ajaran islam secara
operasional, dalam kehidupan sosial budaya umatnya.
3. Memberikan metode atau cara untuk mengembangkan ajaran agama islam
secara terpadu dalam kehidupan sosial budaya umatnya.

Al-Qur’an sebagai sumber dasar dari As- Sunnah merupakan sumber


operasionalnya. Pada dasarnya segenap daya dan kemampuan intelektual manusia
untuk memahami dan mengambil kebijaksanaan serta menetapkan hukum dalam
suatu masalah. Itulah kehidupan islam yang universal dan dinamis yang dibawa
oleh nabi Muhammad.

BAB IV

Al-Qur’an

Secara etimologi Al-Qur’an berasal dari kata “qara’ah, yaqra’u, qira’atan,


atau qur’anan yang artinya mengumpulkan, dan menghimpun huruf-huruf dan
kata-kata dari satu bagian kebagian lain secara teratur.
Ada beberapa pendapat tentang asal kata Al-Qur’an, di antaranya adalah:

a. Menurut Al-Syafi’i bahwa Al-Qur’an ditulis dan dibaca tanpa hamzah {Al-
Qur’an} dan tidak diambil dari kata lain. Nama yang khusu diberikan kepada
nabi Muhammad untuki kitab suci yang diberikan, sebagaimana kitab Zabur,
Injil, Taurat dipakai khusu kepada nabi Zabur, Musa dan Isa.
b. Al-Fara’ berpendapat bahwa lafal Al-Qur’an tidak memakai hamzah dan
diambil dari kata qara’in jama’ dari qarinah, yang berarti indikator {petunjuk).
Hal ini disebabkan karena surat-surat dan ayat-ayat Al-Qur’an serupa satu sama
lain.
c. Al-Asy’ari berpendapat bahwa Al-Qur’an tidak memakai hamzah dan diambil
dari kata qarana, yang artinya menggabungkan. Hal ini disebabkan karena
surat-surat dan ayat-ayat Al-Qur’an dihimpun dalam satu mushaf.
d. Al-Zajjaj berpendapat bahwa lafad Al-Qur’an itu berhamzah mengikuti wazan
fu’lan yang diambil dari lafad al-qar’u yang berarti menghimpun. Hal ini
disebabkan karena surat-surat dan ayat-ayat Al-Qur’an merupakan kitab suci
yang menghimpun intisari ajaran dari kitab-kitab sebelumnya.
e. Al-Lihyani berpendapat bahwa lafad AlQur’an itu berhamzah diambil dari kata
qara’ah yang berarti membaca, Namun berbentuk masdar menurut beliau
dengan makna isim maf’ul, jadi Al-Qur’an artinya maq’ru yang dibaca.
f. Subhi al-Shahih menyamakan kata Al-Qur’an dengan al-qara’ah.

Sedangkan pengertian Al-Qur’an dalam segi terminologi ada tiga, yaitu:

a. Muhammad Salim Muhsin, a. Al-Qur'an merupakan wahyu Allah yang


diberikan kepada Nabi Muhammad SAW, ditulis dalam mushaf-mushaf, dan
disampaikan kepada kita melalui jalan yang mutawatir. Membacanya
dianggap sebagai ibadah dan menjadi penentang bagi yang tidak percaya.
b. Abdul Wahab Khalaf mendefinisikan Al-Qur'an sebagai wahyu Allah SWT
yang disampaikan melalui Jibril kepada Nabi Muhammad SAW. Isi Al-Qur'an
dalam bahasa Arab dijamin kebenarannya, dan Al-Qur'an berfungsi sebagai
hujah kerasulannya, undang-undang bagi seluruh manusia, serta panduan
dalam beribadah. Al-Qur'an terkumpul dalam mushaf, dimulai dari surat al-
Fatihah hingga surat an-Nas, dan disampaikan kepada kita melalui jalan
mutawatir.
c. Muhammad Abduh mendefinisikan Al-Qur'an sebagai kalam mulia yang
diturunkan oleh Allah kepada Nabi yang paling sempurna, yaitu Muhammad
SAW. Ajarannya mencakup seluruh ilmu pengetahuan, dan Al-Qur'an
dianggap sebagai sumber yang mulia. Esensi Al-Qur'an hanya dapat dipahami
oleh orang yang memiliki jiwa suci dan kecerdasan.

Ketiga definisi Al-Qur'an tersebut saling melengkapi. Definisi pertama


menjelaskan sifat Al-Qur'an sebagai wahyu, definisi kedua menguraikan cara
turunnya wahyu dan fungsi Al-Qur'an, serta definisi ketiga menyoroti isi Al-
Qur'an sebagai sumber ilmu pengetahuan yang membutuhkan pemahaman yang
mendalam.

Terkait nama-nama Al-Qur'an, terdapat banyak nama yang digunakan


untuk menggambarkan sifat dan karakteristiknya, seperti Al-Qur'an itu sendiri,
Al-Furqan (pembeda), al-Kitab al-Dzikir (pengingat), al-Tanzil (yang diturunkan),
an-Nur (cahaya), hudan (petunjuk), syifa' (obat), rahmah (kasih sayang),
maw'idhah (pemberi mauidhah), dan mubarak (diberkati). Beberapa ulama
berpendapat bahwa ada banyak nama untuk Al-Qur'an, tetapi penggunaan yang
berlebihan dalam memberi nama mungkin dapat mencampuradukkan nama
dengan sifat-sifatnya.

Al-Qur’an diturunkan kepada nabi Muhammad untuk disampaikan kepada


para umatnya. Di antara lain fungsi Al-Quran ,yaitu:

a. Bukti kerasulan Muhammad dan kebenaran ajarannya


b. Petunjuk aqidah atau kepercayaan yang harus dianut oleh manusia.
c. Petunjuk mengenai akhlak dengan jalan menerangkan norma-norma
keagamaan dan susila yang harus diikuti oleh manusia.
d. Petunjuk syariat dan hukum dengan jalan menerangkan dasar-dasar hukum
yang harus diikuti oleh manusia.
Lebih dari itu Al-Qur’an juga sebagai hujjah umat islam sebagai sumber
nilai objektif, universal, dan abadi. Karena diturunkan dari Dzat yang maha tinggi
Al-Qur’an dapat dibenarkan sebab merupakan sumber berbagai aturan tentang
hukum, sosial ekonomi, kebudayaan, pendidikan, moral dan sebagainya.
Demikian Al-Qur’an berfungsi sebagai hakim yang memutuskan mengenai
perselisihan di kalangan pemimpin. sekaligus sebagai kreator yang mengoreksi
ide, kepercayaan, undang-undang yang salah dilingkungan masyarakat. Oleh
karena itu Al- Qur’an merupakan penguat kitab-kitab terdahulu yang dianggap
positif dan memodifikasi ajaran-ajaran yang usang dengan ajaran-ajaran islam
yang baru yang dianggap positif.

Bukti-Bukti Autentisitas Al-Qur’an atas dasar kemahakuasaan dan


kemahatahuaan-Nya, serta berkat usaha yang dilakukan oleh makhluknya
terutama oleh manusia. Dapat diketahui melalui berbagai pendekatan antara lain,

a. Dilihat dari ciri-ciri dan sifat Al-Qur’an itu sendiri, autentisitasnya bisa dilihat
dari aspek-aspek berikut, yaitu:
1. Keunikan redaksi Al-Qur’an
2. Kemukjizatan Al-Qur’an
b. Autensitas Al-Qur’an dilihat dari sejarahnya, bisa dilihat dari aspek-aspek
berikut, yaitu:
1. Hafalan para sahabat
2. Kepingan naskah-naskah yang diperintah oleh nabi
3. Kepingan naskah-naskah yang ditulis oleh mereka yang pandai menulis
dalam bentuk mushaf pada masa pemerintahan khalifah Abu Bakar.
c. Bukti-bukti autentisitas Al-Qur’an juga bisa dilihat dari segi-segi pengakuan-
pengakuan pihak cendekiawan non muslim atas kebenaran Al-Qur’an, bisa
dilihat dari aspek-aspek berikut, yaitu:
1. George Sale
2. G Margoliouth
3. Goethe
4. Josep Charles Mardus
5. Laura Vaccaia Vaglieri

Metodologi Penafsiran Al-Qur’an

Tafsir berasal dari kata fassara, menerangkan arti etimologi tafsir dengan
al-idhah yang berarti penjelasan dan al-bayan yang artimya keterangan, makna
tersebut berarti menjelaskan atau membuka yang tertutup. Sedangkan secara
terminologis tafsir, berarti penjelasan tentang kallamullah (Al-Qur’an) karena itu
yang dimaksud dalam ilmu tafsir.

Fungsi dari ilmu tafsir mengacu pada asumsi bahwa dalam Al-Qur’an
banyak menggunakan ungkapan yang sesuain dengan tingkat kepandaian
manusia, Dan Al-Qur’an tidak dapat dipahami maksudnya hanya dengan
mendengarkan, karena itu dibutuhkan tafsir Al-Qur’an untuk mengeluarkan
hukum-hukum dan ilmu pengetahuan yang tergantung di dalamnya .Dengan
begitu, maka tafsir berfungsi untuk mengetahui apa saja yang disyariatkan oleh
Allah kepada hambanya, baik berkaitan dengan perintah dan larangan sebatas
kepada manusia, juga mengenai aqidah, ibadah dan lain-lain.

Syarat- syarat mufassir, ada beberapa syarat antara lain, yaitu:

a. Mempunyai kemurnian ijtihad dan konsisten terhadap ajaran agama


b. Mempunyai kemurnian dan ketulusan dalam menafsirkan Al-Qur’an.
Berpegang teguh pada Sunnah Nabi, atsar para sahabat, dan pada generasi
yang setelahnya.
c. Mempunyai kemampuan disiplin ilmu tafsir, ilmu bahsa, ilmu isytiqaq, ilmu
ma’ani, ilmu ushul fiqih, ilmu azbabul nuzul dalam cerita Al-Qur’an.
Sumber-sumber penafsiran Al-Qur’an biasanya menggunakan beberapa
acuan atau sumber-sumber penafsiran dalam menafsirkan Al-Qur’an di mana
sumber tersebut digunakan untuk penjelas penafsiran, sehingga penafsiran
mempunyai maksud asli ayat yang ditafsirkan. Sumber penafsiran paling tidak ada
8 macam, yaitu Al-Qur’an, Hadist- hadist nabi Muhammad, riwayat para sahabat
dan para tabi’in, kaidah-kaidah bahasa Arab, cerita dari ahli kitab, teori dan ilmu
pengetahuan sertapendapat para mufassir terdahulu.
Aliran-aliran dalam ilmu tafsir mengacu pada sumber penafsiran, ada tiga
macam yaitu:
a. Tafsir bi al- Ma’tsur yaitu tafsir yang penjelasannaya diambil dari ayat-ayat
Al-Qur’an sendiri, dari Hadist nabi, atsar para sahabat atau dari perkataan
para tabi’in.
b. Tafsir bi al-Ra’yi, yaitu tafsir dirayah atau tafsir yang diambil dengan cara
ijtihad dan pemikiran para mufassir setelah mengetahui bahasa Arab serta
metodenya, dalil hukum, serta problem dalam azbabul nuzul, nasikh mansukh
dan sebagainya.
c. Tafsir bi al-Isyari yaitu, modele tafsir yang penjelasannya diambil dari takwil
ayat-ayat Al-Qur’an yang isinya diambil dari ayat Al-Qur’an , sehingga yang
dikutip hanya isyarat berdasarkan pengalaman suluknya.

Metode dalam ilmu tafsir yang berkembang dalam penafsiran Al-Qur’an,


terdapat empat macam:

a. Tahlili, yaitu metode penafsiran Al-Qur’an yang dilakukan dengan cara


menjelaskan ayat Al-Qur’an dalam berbagai aspek dengan menjelaskan
maksud yang terkandung di dalamnya sehingga kegiatan mufassir hanya
menjelaskan per ayat, per surat, makna lafad, sesuai dengan asbabul nuzul
yang berkenaan dengan ayat yang di tafsirkan.
b. Ijmali yaitu, metode penafsiran Al-Qur’an yang dilakukan dengan cara
memperjelas maksud Al-Qur’an secara global tidak terperinci sesuai tafsir
tahlili, hanya sah penjelasannya di tulis secara global.
c. Muqarin yaitu, metode penafsiran Al-Qur’an yang dilakukan dengan cara
membandingkan dengan mengkaji perbedaan-perbedaan antara unsur-unsur
yang dibandingkan, baik dengan menemukan unsur yang benar ataupun
kurang benar dengan tujuan memperoleh tujuan yang lebih tepat mengenai
masalah yang dibahas dalam penggabungan unsur-unsur yang berbeda itu.
d. Maudhu’i yaitu, , metode penafsiran Al-Qur’an yang dilakukan dengan cara
mencari topik tertentu yang akan dicarikan penjelasannya dalam Al-Qur’an
yang berhubungan dengan topik ini.
Corak penafsiran dan ilmu tafsir tidak lepas dari keahlian para mufassir dalam
menafsirkan Al-Qur’’an, karena itu dalam ilmu tafsir ditemukan macam corak
penafsiran, seperti:
a. Corak kalami yaitu, mengacu pada penjelasan ilmu kalam.
b. Corak fiqih
c. Corak tasawuffi
d. Corak ilmi
e. Corak falsafi
f. Corak adabi
g. Corak ijtima’i
h. Corak lughowi
i. Corak tarikhi
j. Corak qiyasi

Berbagai corak penafsiran tersebut merupakan khazanah dan kekayaan


ilmu dalam Islam, mengingat isi kandungan Al-Qur’an memuat berbagai macam
masalah hidup dan kehidupan, sehingga dapat ditafsirkan menurut dimensi
keahlian mufassir masing-masing.

BAB V

Pengertian Istilah-Istilah Al-Hadist, As-Sunnah, Atsar dan Hadist Qudsi

As-Sunnah menurut pengertian secara bahasa (etimologi) artinya tradisi


yang bisa dilakukan, atau jalan yang dilalui baik yang terpuji ataupun yang
tercela. As-Sunnah juga lawan arti dari bid’ah (mengada-ada tradisi atau tata cara
agama). Dan juga bisa berarti jalan hidup, oleh karena itu Sunnah nabi berarti
jalan hidupnya, dan Sunnah Allah adalah jalan atau hukum Allah yang telah
ditetapkan.

Sedangkan Al-Hadist adalah ucapan, perbuatan maupun taqrir Nabi


Muhammad sebatas beliau diangkat menjadi nabi/rasul. Menurut pendapat ulama’
Hadist, bahwa al-Hadist adalah ”segala sesuatu yang dinukilkan kepada Nabi
SAW, berupa perkataan, perbuatan, taqrirnya, ataupun selain dari itu. Definisi al-
Hadist yang lebih rinci dan jelas adalah segala sesuatu yang dinisbatkan atau
disandarkan kepada Nabi Muhammad, baik perkataan, perbuatan, maupun taqrir
atau selain itu. Dengan definisi tersebut berarti semua Hadist yang ada itu dinilai
sahih, tetapi adapula yang termasuk daif dan maudhu’, hal tersebut bukan
dikarenakan adanya kelemahan Nabi Muhammad, tetapi karena kesalahan atau
kelemahan para perawi yang menyandarkan atau menisbatkan kepada beliau,
singga timbullah usaha kritik sanad dan matan Hadist. Dengan adanya kritik
tersebut akan ditemukan mana Hadist yang makbul (dapat diamalkan dan diterima
sebagai hujjah) dan mana pula yang mardud (ditolak atau tidak bisa diamalkan
dan dijadikan hujjah).

Sedangkan Atsar adalah perkataan sahabat tabi’in dan ulama’ salaf.


Sedangkan perbedaan antara Hadist Qudsi dan Al-Qur’an menurut Dr. Syu’ban
Muhammad Ismail, adalah sebagai berikut:

1. Al-Qur’an tiada lain wahyu yang jelas, yakni Al-Qur’an itu diturunkan
kepada malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad yang berada dalam kondisi
sadar, sedangkan Hadist Qudsi bisa jadi diwahyukan melalui ilham dan
impian.
2. Al-Qur’an merupakan mukjizat, sehingga tidak ada satu orang pun yang dapat
menandinginya, ia terjaga dari perubahan dan penggantian atau terjaga
kemurniannya, sedangkan Hadist Qudsi tidak demikian.
3. Membaca Al-Qur’an merupakan ibadah, sedangkan Hadist Qudsi tidak
demikian.
4. Al-Qur’an tidak boleh diriwayatkan hanya dengan makna saja, namun Hadist
Qudsi diperbolehkan.
5. Lafad Al-Qur’an berasal dari Allah, sedangkan Hadist Qudsi berasal dari
Nabi Muhammad.

Kedudukan As-Sunnah dalam Syariat Islam

Umat islam mengakui bahwa Hadist Nabi Muhammad itu dipakai


pedoman hidup yang utama setelah Al-Qur’an. Ajaran-ajaran islam yang tidak
ditegaskan cara pengamalannya dan atau tidak dikhususkan dalam Al-Qur’an,
maka hendaknya dicarikan penyelesaiannya dalam As-Sunnah atau Al-Hadist.
Hal tersebut juga dikarenakan Al-Qur’an sampai kepada umat islam dengan
jalan mutawattir dan tidak ada keraguan sedikit pun. Sedangkan Al-Hadist
sampai kepada umat islam tidak semuanya mutawattir, tetapi kebanyakan
diterima dengan periwayatan tunggal, kebenarannya ada yang qath’i dan
zhanni, karena masih banyak Hadist yang tidak sampai kepada umat islam.

Kehujjahan As-Sunnah, Nabi Muhammad adalah seorang Rasul yang


maksum(terjaga dari perbuatan zina, hina, dosa dan maksiat). Sehingga
Sunnah beliau selalu terpelihara oleh Allah dari segala apa saja yang
menurunkan citranya sebagai Rasul. Sebagian para ulama’ mendudukan Nabi
Muhammad ke dalam dua posisi yaitu:

1. Manusia biasa atau al-Basyar.


2. Sebagai Rasulullah.

Oleh karena itu, as-Sunnah Nabawi dapat dibagi ke dalam dua macam:

a. Tawqify, yaitu yang kandungannya diterima oleh Rasulullah dari wahyu, lalu
beliau menjelaskan dengan kata-katanya sendiri.
b. Taufiqy, yaitu yang disimpulkan oleh Rasulullah menurut pemahamannya
terhadap Al-Qur’an, karena beliau memiliki tugas untuk menjelaskan Al-
Qur’an atau menyimpulkannya dalam bentuk ijtihad.

Fungsi As-Sunnah Terhadap Al-Qur’an, yaitu antara lain:

1. Menetapkan dan memperkuat hukum-hukum yang telah ditentukan oleh Al-


Qur’an .
2. Memberikan perincian dan penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an yang masih
mujmal, memberikan batasan terhadap hal-hal yang masih belum terbatas
dalam Al-Qur’an, memberikan kekhususan ayat-ayat Al-Qur’an yang bersifat
umum, dan memberikan penjelasan terhadap hal-hal yang masih rumit dalam
Al-Qur’an.
3. Menetapkan hukum atau aturan-aturan yang tidak dapat didapati dalam Al-
Qur’an.
4. Ketetapan Hadist itu bisa mengubah hukum dalam Al-Qur’an.

Sistem Pembukuan As-Sunnah

Semua ulama’ dalam islam sepakat akan pentingnya Sunnah dalam


berbagai disiplin ajaran islam, termasuk tafsir, fiqih, akhlak, dan sebagainya.
Sebagai akibat penundaan penulisan As-Sunnah, maka terjadilah kasus-kasus
yang sangat membahayakan dalam perkembangan yang berkaitan dengan As-
Sunnah, akibatnya itu semisal:

1. Hilangnya sejumlah Hadist penting.


2. Penyebaran kebohongan dan kedustaan As-Sunnah.
3. Periwayatan cenderung dengan makna.
4. Perbedaan antara sesama muslim.
5. Penyebaran Ra’yu.

Metode Takhrij Al-Hadist (Suatu Metode Penelitian Hadist)

1. Memerhatikan sahabat yang meriwayatkannya jika disebutkan.


2. Memerhatikan lafal pertama dari matan Hadist.
3. Memerhatikan salah satu lafal Hadist.
4. Memerhatikan tema Hadist.
5. Memerhatikan tentang sifat khusus sanad atau matan Hadist.

BAB VI

Ijtihad dan Dinamika Pemikiran Islam


Secara etimologi ijtihad berakar dari kata jahada yang berarti (yang sulit
yang susah). Dan mempunyai arti kekuatan dan kesanggupan. Sedangkan arti
ijtihad menurut terminologinya adalah pengerahan segenap kesanggupan oleh
seseorang ahli fiqih atau mujtahid untuk memperoleh pengertian menurut hukum
syara.

Para ulama membagi hukum melakukan ijtihad dengan tiga bagian, yaitu:

1. Wajib ain, yaitu mereka dimintai fatwa hukum mengenai suatu peristiwa iyu
lenyap tanpa ada kepastian hukumnya, dan dia sendiri yang mengalami
peristiwa dan ingin mengetahui hukumnya.
2. Wajib kifayah, yaitu bagi orang yang dimintai fatwa hukum mengenai suatu
peristiwa yang tidak dikhawatirkan lenyap peristiwa itu.
3. Sunnah, yaitu apabila melakukan ijtihad mengenai masalah-masalah yang
belum terjadi atau akan terjadi.

Syarat- Syarat Mujtahid

1. Al-Waqi’.
2. Mujtahid.
3. Mujtahid Fih.
4. Dalil Syara.

Wilayah Ijtihad dalm pandangan ulama salaf terbatas dengan masalah-masalah


fiqhiyah. Masalah hukum terbagi menjadi 2 kemungkinan yang perlu diamati
yaitu:

a. Masalah Qath’iyah.
b. Masalah Amaliyah.
c. Kaidah-kaidah yang pasti.
d. Masalah Zhanniyah.

Sebab-Sebab Yang Menimbulkan Perbedaan Hasil Ijtihad

a. Lafal yang memiliki arti lebih dari satu


b. Lafal yang berbentuk hakiki.
c. Berbeda pandangan.
d. Berbeda dalam menentukan asumsi.
e. Inakurasi.

BAB VII

Studi Sejarah Islam

Sejarah adalah suatu penalaran kritis dan usaha yang cermat untuk
mengetahui suatu kebenaran; suatu penjelasan yang cerdas tentang sebab-sebab
dan asal usul sesuatu; sesuatu pengetahuan yang mendalam tentang bagaimana
dan mengapa peristiwa-peristiwa itu terjadi, oleh karena itu sejarah berakar dalam
filsafat, dan ia pantas dipandang menjadi bagian dari filsafat. Ibnu Khaldun,
sejarah mempunyai tujuan praktis, yaitu untuk menangkap isyarat-isyarat yang
dipantulkan oleh 'ibar (contoh moral) dalam kejadian sejarah. Tetapi untuk
menangkap isyarat-isyarat itu tidak akan berhasil tanpa bantuan ilmu lain. yaitu
'ilm al-'umran (Ilmu Kultur). Ilmu ini bertugas mencari pengertian tentang sebab-
sebab yang mendorong manusia bertindak, di samping melacak pemahaman
tentang akibat-akibat dari tindakan itu, yaitu seperti yang tercermin pada
peristiwa-peristiwa.

1. Periodesasi Sejarah Islam


Di kalangan ahli sejarah terdapat perbedaan pandangan tentang kapan
dimulainya sejarah Islam yang telah berusia lebih dari empat belas abad ini. Di
satu pihak menyatakan bahwa sejarah Islam (muslim) dimulai sejak Nabi
Muhammad SAW. diangkat sebagai Rasul, dan berada di Mekkah atau tiga
belas tahun sebelum hijrah ke Madinah. Di lain pihak menyatakan, bahwa
sejarah Islam itu dimulai sejak lahirnya negara Madinah yang dipimpin oleh
Nabi SAW. Atau tepatnya setelah Nabi SAW. berhijrah ke Madinah yang
sebelumnya bernama Yastrib.
Pihak pertama berargumentasi bahwa sejak Nabi SAW berada di Mekkah
itu telah lahir masyarakat muslim meskipun belum berdaulat dan tiga belas
(13 tahun) periode Mekkah tersebut haruslah dipandang sebagai masa
penggemblengan dan lahirnya masyarakat pendukung negara Madinah, baik
mereka yang berasal dari penduduk Mekkah sendiri maupun dari Madinah. Di
samping itu masyarakat berdaulat di Mekkah. Karena itulah periode Mekkah
dan periode Madinah tidak dapat dipisahkan, sedangkan pihak kedua
berargumentasi bahwa masyarakat yang mandiri dan berdaulat baru terbentuk
di Madinah, di mana beliau di samping berfungsi sebagai Rasul Allah
sekaligus juga berperan sebagai kepala negara berdasarkan konstitusi yang
dikenal dengan sebutan Piagam Madinah. Pada saat itu Nabi SAW. dan kaum
muslimin (para sahabat) tidak lagi dikejar-kejar dan dianiaya, dan atau
menjadi subjek penghinaan, tetapi justru mereka menjadi orang-orang yang
diharapkan mampu memberi perlindungan terhadap siapa pun. Orang- orang
yang meminta perlindungan dan menyatakan nonmuslim, sehingga sejak itu
kaum muslimin berperan sebagai pembawa perubahan dalam masyarakat.
Karena itu kaum muslimin mulai membuat sejarah.
Timbulnya perbedaan dari kedua belah pihak tersebut disebabkan karena
perbedaan tinjauan tentang unit sejarah. Pihak pertama melihat it sejarah
adalah masyarakat. Masyarakat muslim telah ada sejak Nabi SAW.
menyampaikan seruannya. Malah jumlah mereka sedikit atau bahwa unit.
banyak tidak menjadi soal. Di samping itu, meskipun mereka belum ber-
daulat, tetapi sudah terikat dalam satu organisasi yang memiliki corak ter-
sendiri. Sedangkan pihak kedua melihat bahwa niat sejarah itu adalah nega-
sehingga sejarah Islam mulai dihitung sejak lahirnya negara Madinah.
Periodesasi sejarah islam secara garis besarnya dibagi ke dalam empat
bagian, yaitu:
a. Periode Praklasik (610-650 M), yang meliputi 3 (tiga) fase, yaitu: fase
Peran pembentukan agama (610-622 M), fase pembentukan negara (622-
622 M), dan fase praekspansi (632-650 M).
b. Periode Klasik (650-1230 M), yang meliputi 2 (dua) fase, yaitu: fase
ekspansi, integrasi dan puncak kemajuan (650-1000 M), dan fase
disintegrasi (1000-1250 M).
c. Periode Pertengahan (1250-1800 M), yang meliputi 2 (dua) fase, yaitu:
fase kemunduran (1250-1500 M), dan fase tiga kerajaan besar (1500- 1800
M).
d. Periode Modern (1800 M-dan seterusnya), yang merupakan zaman
kebangkitan umat Islam.
2. Peristiwa Penting Yang Terjadi Pada Masa Periode
a. Periode Praklasik (610-650 M)
1) Fase Pembentukkan Agama (610-622 M)
Pada fase ini Nabi SAW. melakukan kegiatan pembentukkan akidah dan
pemantapannya serta pengalaman ibadah dikalangan umat islam. Setelah Nabi
SAW. menerima wahyu pertama dan wahyu-wahyu berikutnya, lalu
berikutnya memperkenalkan islam kepada masyarakat di Mekkah berdasarkan
wahyu tersebut.
2) Fase Pembentukkan Negara (622-632 M)
Sebelum Nabi SAW. hijrah ke Yasrib (Madinah) didahului dengan usaha
memengaruhi para peziarah Kabah di Mekkah agar mereka man masuk Islam.
Di antara mereka banyak yang berasal dari kabilah Kharaj dan Aus (dari
Yastrib/Madinah). Ternyata sebagian mereka menyambut baik atas seruan dan
ajakan Nabi SAW. tersebut, yang pada gilirannya menyatakan diri masuk
Islam, serta diikuti dengan perjanjian kesetiaan mereka kepada agama Islam
dan Nabi SAW. Perjanjian ini terkenal dengan ama "perjanjian Aqabah" pada
perjanjian Aqabah ini diikuti oleh 12 orang.
3) Fase Pra-Ekspansi (632-650 M), yang Merupakan Fase Ekspansi Pertama
(pendahuluan), yang Pada Dasarnya Dapat Dibagi ke Dalam 4 Fase, Yaitu:
Pertama: Fase konsolidasi. Abu Bakar sebagai khalifah Islam peng- anut
Rasulullah SAW. (632 M) harus menghadapi suku-suku bangsa Arab yang
tidak mau lagi tunduk kepada Madinah, mereka menganggap bahwa perjanjian
yang mereka buat dengan Nabi SAW. dengan sendirinya tidak mengikat lagi
setelah beliau wafat. Selanjutnya mereka mengambil sikap menentang
terhadap Abu Bakar (ingkar kepada pemerintah Islam) tidak mau membayar
dinar karena itu Abu Bakar menyelesaikannya dengan perang Riddah
(melawan kaum Separatis) di bawah komando Khalid bin Walid, dan
kemenangan berada di pihak Abu Bakar (umat Islam).
Kedua, Fase pembuka jalan. Di mana setelah selesai perang dalam negeri
tersebut (konsolidasi), Abu bakar mulai mengirim kekuatan-kekuat an ke luar
Arabia. Khalid bin al-Walid memimpin tentara yang dikirim ke Irak (wilayah
Bizantium) dan dapat menguasai al-Hirah di tahun 634 M. Bersamaan dengan
itu ke Suria (Iran) dikirim tentara di bawah pimpinan tiga Jenderal: Amr Ibnu
al 'Ash, Yazid Ibnu Abi Sofyan dan Syurahbil Ibnu Hasanah, dan ditunjang
oleh pasukan Khalid, sehing dapat menguasai kota Ajnadin dan Fihl.
Ketiga, Fase pemerataan jalan. Di mana usaha-usaha yang telah dirin- tis
oleh Abu bakar untuk membuka jalan ekspansi, kemudian dilanjutkan oleh
khalifah kedua, Umar bin Khatab (634-664 M). Pada zaman Umar inilah
gelombang ekspansi pertama terjadi, kota Damaskus jatuh di tahun 635 M dan
setahun Bizantium kalah di pertempuran Yarmuk, daerah Suria jatuh ke
bawah kekuasaan Islam. Dengan memakai Suria sebagai basis, kemudian
ekspansi diteruskan ke Mesir di bawah pimpinan Sa'ad Ibnu Abi al-Waqas.
Babilon di Mesir dikepung Islam tahun 640 M, sementara itu tentara
Bizantium di Heliopolis dikalahkan dan Alexandria kemudian menyerah pada
tahun 641 M. Dengan demikian Mesir jatuh pula ke tangan Islam tempat
perkemahan Amr Ibnu al-Ash terletak di luar tembok Babilon, menjadi ibu
kota dengan al-Fustat.
Keempat, Fase jalan buntu, yaitu pada zaman Usman bin Affan (644- 656)
sebagai khalifah ketiga, dan pada zaman Ali bin Abi Thalib (656-661 M)
khalifah keempat. Pada zaman Usman, meskipun Tripoli, Ciprus, beberapa
daerah lain dikuasai, tetapi gelombang ekspansi pertama (rintisan-rintisan
ekspansi) berhenti sampai di sini, karena di kalangan umat Islam mulai terjadi
perpecahan menyangkut masalah pemerintahan dan dalam kekacauan yang
timbul itu Usman mati terbunuh. Selanjutnya diganti oleh Ali bin Abi Thalib,
tetapi mendapat tantangan dari pihak pendukung Usman, terutama Muawiyah
Gubernur Damaskus: dari Golongan Thalhah dan Zubeir di Mekkah dan kaum
Khawarij dan Ali, sebagaimana Usman, juga terbunuh.
b. Periode Klasik (650-1250 M)
Pada periode klasik ini merupakan zaman Harun Nasution22 telah
membagi periode klasik ini ke dalam dua (2) kemajuan umat Islam yaitu :
1) Fase Ekspansi, Integrasi, dan Puncak Kemajuan (650-1000 M)
Pada zaman ini daerah Islam meluas melalui Afrika Utara sampai
Spanyol di Barat, dan melalui Persia sampai ke India di Timur. Daer daerah
tersebut tunduk kepada kekuasaan khalifah yang pada mulang berkedudukan
di Madinah, kemudian di Damsyik (Damaskus) dan terletak di Baghdad. Di
zaman ini juga terjadi integrasi, yaitu integrasi dalam bidang bahasa. Bahasa
Al-Qur'an (bahasa Arab) dipakai di mana-mana, dan telah menggantikan
bahasa Yunani dan bahasa Persia sebagai bahasa administrasi Selain itu,
bahasa Arab juga menjadi bahasa ilmu pengetahuan, filsafat dan diplomasi.
Integrasi juga terjadi di bidang kebudayaan. Kebudayaan yang ada mulai dari
Spanyol di Barat sampai ke India di Timur dan mulai dari Sudan di Selatan
sampai ke Kaukus di Utara adalah kebudayaan Islam dengan bahasa Arab
sebagai alatnya.
2) Fase Disintegrasi (1000-1250 M)
Fase ini di mana pertentangan intern umat Islam di kalangan
pemerintahan, baik di masa Bani Umaiyah maupun Abbasiyyah, muncul
dalam bentuk pemisahan diri dari pemerintah pusat dan memproklamirkan diri
sebagai khalifah sendiri, di masa ini keutuhan umat Islam dalam bidang politik
mulai pecah, kekuasaan khalifah menurun dan akhirnya Baghdad dapat
dirampas dan dihancurkan oleh Hulagu pada tahun 1253 M. M. Khalifah
sebagai lambang kesatuan umat islam, telah hilang.
c. Periode Pertengahan (1250-1800 M)
Periode pertengahan ini juga di bagi ke dalam dua (2) fase, yaitu:
1) Fase Kemunduran (1250-1500 M)
Pada masa ini desentralisasi dan disintegrasi bertambah meningkat
Perbedaan antara Sunni dan Syi'ah, demikian juga antara Arab dan Persia
bertambah tampak. Dunia Islam, pada zaman ini, terbagi dua, yaitu: Bagian
Arab yang Utara terdiri dari Arabia, Irak, Suria, Palestina, Mesir dan Afrika ,
dengan Mesir sebagai pusat; dan Bagian Persia y Balkan, yang terdiri atas
Asia Kecil, Persia dan Asia Tengah, dengan Iran sebagai Pusat.
2) Fase Tiga Kerajaan Besar (1500-1700 M) yang Dimulai dengan Zaman
Kemajuan (1500-1700 M). Kemudian Zaman Kemunduran (1700-1800 M).
Tiga Kerajaan Besar Tersebut lalah Kerajaan Us (Ottoman Empire) di Turki,
Kerajaan Safawi di Persia, dan Kerajaa Mughal di India
Di masa kemajuan, ketiga kerajaan besar tersebut mempunyai k an
masing-masing, terutama dalam bentuk literatur dan arsitek. M masjid dan
gedung-gedung indah yang didirikan di zaman ini dapat dilihat di Istambul, di
Tibriz, Isfahan, serta kota-kota lain di Iran dan Delhi. Kemajuan umat Islam di
zaman ini lebih banyak merupakan kemajuan di periode klasik.
d. Periode Modern (1800 M-dan seterusnya) Periode ini merupakan zaman
kebangkitan umat Islam, ekspedis
Napoleon di Mesir yang berakhir pada tahun 1801 M yang berakibat jatuh
nya Mesir ke tangan Barat, membuka mata dunia Islam terutama Turk dan
Mesir, akan kemunduran dan kelemahan umat Islam dibanding dengan
kemajuan dan kekuatan Barat yang baru bangun dari tidurnya tahun 1000 M.
Atas dasar itulah, maka raja-raja dan para pemuka Islam mulai berpikir
bagaimana meningkatkan mutu dan kekuatan umat Islam kembali, serta
mencari jalan untuk mengembalikan balance of power yang telah pincang dan
membahayakan kehidupan umat Islam.
Ciri-ciri umat Islam pada periode modern ini adalah keadaan yang berbalik
dengan pada periode klasik. Dalam arti, bahwa pada periode ini umat Islam
sedang menaik sementara Barat sedang dalam kegelapan sedang pada periode
modern ini sebaliknya, umat Islam sedang dalam kegelapan sementara Barat
sedang mendominasi dunia Islam, dan umat Islam ingin belajar dari Barat
tersebut.
BAB VIII

Studi Akidah dan Akhlak

Akidah adalah bentuk masdar dari kata "aqada, ya'qidu 'aqdan- aqidatan"
yang berarti simpulan, ikatan, sangkutan, perjanjian, dan kokoh. Sedang secara
teknis akidah berarti iman, kepercayaan, dan keyakinan. Dan tumbuhnya
kepercayaan tentunya di dalam hati, sehingga yang dimak- sud akidah adalah
kepercayaan yang menghujam atau simpul di dalam hati.

Ibnu Taimiyah dalam bukunya "Akidah al-Wasithiyah" menerangkan


makna akidah dengan suatu perkara yang harus dibenarkan dalam hati, dengannya
jiwa menjadi tenang sehingga jiwa itu menjadi yakin serta mantap tidak
dipengaruhi oleh keraguan dan juga tidak dipengaruhi oleh syakwasangka. Sedang
Syekh Hasan al-Banna dalam Bukunya al-aqa`id menyatakan akidah sebagai
sesuatu yang seharusnya hati membenarkannya sehingga menjadi ketenangan
jiwa, yang menjadikan kepercayaan bersih dari kebimbangan dan keraguan.

Pengertian akhlak secara etimologis berasal dari kata khulng dan jamaknya
akhlak yang berarti budi pekerti, etika, moral. Secara etimo logis, akhlak berarti
character, disposition, dan moral constitution. Al- Ghazali berpendapat bahwa
manusia memiliki citra lahiriah yang disebut dengan khalq, dan citra batiniah
yang disebut dengan khulq Khalq merupa kan citra fisik manusia, sedang khulq
merupakan citra psikis manusia. Berdasarkan kategori ini, maka khulq secara
etimologi memiliki arti gambaran atau kondisi kejiwaan seseorang tanpa
melibatkan unsur lahirnya.

Ilmu akhlak adalah ilmu yang mempelajari tingkah laku yang boleh atau
tidak boleh dilakukan seseorang, namun psikologi adalah ilmu yang hanya
mempelajari tingkah laku. Berdasarkan definisi tersebut, ilmu moral dan psikologi
mempunyai persamaan dan perbedaan. Persamaannya adalah keduanya
mempelajari perilaku psikologis manusia. Bedanya, ilmu akhlak mempelajari
tingkah laku yang dinilai baik dan buruknya, sehingga ada akhlak yang terpuji
(mahmudah) dan hina (mazmumah), sedangkan ilmu psikologi mempelajari
tingkah laku tanpa berusaha menilai baik dan buruknya (devaluasi).

BAB IX

Studi Tentang Ibadah dan Syariah

Secara estimologis, Syariah berarti jalan yang lurus (thariqah mustaqimah)


yang diisyaratkan dalam QS. al-Jatsiyah ayat 18. Atau jalan yang dilalui air untuk
diminum, atau juga tangga atau tempat naik yang bertingkat-tingkat. Sedangkan
makna terminologi, syariah mempunyai beberapa pengertian yang dikemukakan
oleh beberapa ahli sebagai berikut

Al-Tahanawi dalam Bukunya al-Kasysyaf Ishthilahat al-Funun


menjelaskan bahwa syariah adalah hukum-hukum yang diadakan oleh Allah SWT
yang dibawa oleh salah satu Nabi-Nya, termasuk Nabi Muhammad, baik hukum
yang berkaitan dengan cara berbuat yang disebut dengan "far'iyah atau amaliyah
yang untuknya dihimpun Ilmu Fikih, maupun yang berkaitan dengan kepercayaan
yang disebut dengan "ashliyah atau itiqdiyah” yang untuknya dihimpun Ilmu
Kalam. Sedang Muhammad Sallam Madkur dalam al-Madkhal li al-Fiqh al-
Islami menerangkan bahwa Syariah adalah hukum yang ditetapkan oleh Allah
melalui Rasul-Nya, agar mereka mentaati hukum itu atas dasar iman, baik yang
berkaitan dengan akidah, amaliyah maupun akhlak.

ciri khas syariah yaitu:

1. Syari' atau pembuat hukum adalah Allah sedang peran manusia adalah hanya
menginterpretasikan syariah itu melalui berbagai metode istinbath.
2. Adanya syariah tidak terlepas dari pembawanya yaitu Rasul, karena itu fungsi
Rasul hanya pembawa syariah dan menyampaikan kepada umatnya.
3. Isi syariah mencakup semua dimensi asasi kehidupan, baik berkaitan dengan
kepercayaan (i'tiqod, aqidah, atau ashliyah), tingkah perbuata Camali, ibadah,
far'iyah), maupun kode etik, kepercayaan, dan perbuatan (akhlak).
BAB X

Studi Filsafat dalam Islam

Kata filsafat dapat diambil dari bahasa Arab falsafah atan filsafat. Orang
Arab sendiri mengambilnya dari bahasa Yunani philosophia, yang merupakan
kata majemuk dari philos dan shophia. Philos artinya cinta dalam arti seluas-
luasnya, yaitu ingin dan karena ingin itu selalu berusaha mencapai yang
diingininya itu. Sedangkan shophia berarti "kebijaksanaan". Bijaksana berarti
"pandai", yakni mengerti dengan mendalam. Dengan demikian dari segi bahasa
dapat diambil pengertian bahwa filsafat berarti ingin mengerti dengan mendalam,
atau cinta kepada kebijaksanaan.

Dalam bahasa Arab dikenal kata hikmah dan hakim, kata ini bisa
diterjemahkan dengan arti filsafat dan filosof. Kata hukkam al-Islam bisa berarti
falasifat al-Islam. Hikmah adalah perkara tertinggi yang bisa dicapai oleh manusia
dengan melalui alat-alat tertentu, yaitu akal dan metode- metode berpikirnya.

Ilmu filsafat dan agama


Manusia adalah makhluk berpikir dan mencari jawaban tentang sebuah
kebenaran. Cara manusia mencari dan menemukan kebenaran itu ada tiga macam,
yaitu dengan agama, filsafat, dan dengan ilmu pengetahuan. Antara satu dengan
lainnya mempunyai titik persamaan, titik perbedaan, dan titik singgung.
Titik persamaan antara ketiga-tiganya adalah bahwa baik agama, filsafat
maupun ilmu setidak-tidaknya bertujuan atau berurusan dengan hal yang sama,
yaitu kebenaran, agama, dengan wataknya sendiri, memberikan jawaban atas
segala persoalan asasi yang dipertanyakan manusia. Bak tentang Tuhan, manusia,
maupun alam. Filsafat, dengan wataknya sendiri, berusaha mencari kebenaran
baik tentang alam, manusia yang belum atau tidak dapat dijawab oleh ilmu, dan
ilmu pengetahuan, dengan wataknya atau metodenya sendiri pula, mencari
kebenaran tentang alam dan termasuk di dalamnya manusia.
NAMA : ANGELINA KARUNIA PUTRI

NIM : 06040123093

PRODI : PAI

Resume Buku

 Judul Buku : Studi Islam Kajian Islam Kontemporer


 Pengarang Buku : Dr. Hasani Ahmad Said, M.A.
 Penerbit Buku : PT Raja Grafindo Persada
 Kota Terbit : Jakarta
 Tahun Terbit : 2016
 Tebal Buku : 294 halaman

BAB I

Studi Islam dan Ulumul Qur’an Menyoalkan Perdebatan Munasabah Al-


Qur’an

Studi terhadap Al-Qur’an telah berjalan cukup panjang. Al-Qur’an ialah


wahyu Allah yang berisi nilai-nilai universal kemanusiaan, di turunkan untuk
dijadikan petunjuk, bukan hanya untuk sekelompok manusia melainkan untuk
ratusan manusia hingga hari akhir. Al-Qur’an sendiri menyatakan dirinya sebagai
mukjizat. Salah satu persoalan yang diributkan akhir-akhir ini adalah tentang
Munasabah Al-Qur’an.

Sejarah penafsiran tidak terlepas dari corak penafsiran yang telah dihasilkan
oleh setiap generasi dalam sejarah tertentu, terdapat macam-macam ekspresi dan
karakter. Jangan kan pada zaman ini pada zaman Nabi pun sudah ada terjadinya
perbedaan dalam memahami isi Al-Qur’an.
Munasabah Al-Qur’an diuraikan oleh Lois Ma’lum, secara harfiyah kata
munasabah diambil dari kata nasaba-yunasibu-munasabatan yang berarti dekat,
menyerupai atau mendekatkan. Lahirnya pengetahuan tentang korelasi
(munasabah) berawal dari kenyataan bahwa sistematika Al-Qur’an terdapat
dalam Mushaf Ustmani sekarang tidak berdasarkan pada kronologis turunnya.

Dari uraian yang saya baca munasabah itu digunakan sebagai alat bantu untuk
memahami kitab-kitab Allah. Upaya-upaya itu, terlihat begitu besar akan
pentingnya kajian munasabah terhadap kajian Al-Qur’an, terlepas ada beberapa
kalangan yang berusaha kerja ingin merekonstruksi Al-Qur’an, dari kajian Al-
Qur’an .

Jadi untuk upaya perdebatan nasikh-mansukh, ingin mengubah susunan ayat


dan surat Al-Qur’an secara kronologis, mengoreksi bahasa Al-Qur’an ataupun
mengubah redaksi ayat-ayat tertentu, bahkan bukan hanya sampai di situ menebar
isu persoalan otentisitas Al-Qur’an. Yang jelas bukan untuk melunturkan
keimanan atau memurtadkan keyakinan, karena upaya mereka terbukti sampai
sekarang tidak berhasil. Justru sebaliknya, animo untuk mengkaji Al-Qur’an dan
keyakinan akan kitab suci Al-Qur’an semakin tinggi.

BAB II

Wacana Pemahaman Hadis Misoginis Menggali Akar Sosio-Kultural

Kajian masalah hadist misoginis menjadi topik yang masih hangat, seiring
dengan pembahasan hak-hak asasi manusia tidak hanya berimplikasi pada
permasalahan wanita itu sendiri, tetapi masuk pada permasalahan ekonomi,
politik, ekonomi, hukum bahkan berimbasan pada pembahasan agama, termasuk
islam, hingga pada relung-relung keyakinan pribadi pada setiap orang, yang tak
ayal menimbulkan perdebatan.

Pemahaman terhadap hadis-hadis misoginis masih banyak menyisakan


persoalan, bahkan terkadang memicu perdebatan. Perbedaan laki-laki dan
perempuan sampai sekarang masih menyimpan beberapa masalah. baik dari segi
substansi kejadian maupun peran yang diemban dalam masyarakat. Perbedaan
anatomi biologis antara keduanya cukup jelas. Akan tetapi, efek yang timbul
akibat perbedaan itu menimbulkan perdebatan, karena ternyata perbedaan jenis
kelamin secara biologis (seks) melahirkan seperangkat konsep budaya.
Interpretasi budaya terhadap perbedaan jenis kelamin inilah yang disebut dengan
gender.

Salah satu implikasi yang tidak terelakkan adalah isu ini berusaha
membongkar dogma-dogma agama, menentang sebagian ayat-ayat Al- Qur'an,
menghujat hadis-hadis dan melawan setiap ide penerapan hukum Islam dengan
alasan ketidaklayakan hukum itu dalam membentengi hak- hak wanita, bahkan
jelas-jelas dianggap meminggirkan wanita.

Dalam kamus ilmiah populer terdapat tiga ungkapan yaitu: "misogin"


berarti: benci akan perempuan, membenci perempuan, "misogini" berarti, "benci
akan perempuan, perasaan benci akan perempuan" sedang "misoginis" artinya
"laki-laki yang benci kepada perempuan". Namun secara terminologi istilah
misoginis juga digunakan untuk doktrin-doktrin sebuah aliran pemikiran yang
secara zahir memojokkan dan merendahkan derajat perempuan, seperti yang
terdapat dalam beberapa teks hadis di atas. Sedang dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia diartikan orang yang membenci wanita.

Istilah hadis sebagaimana diketahui adalah sesuatu yang disandarkan


kepada Rasulullah Saw. baik ucapan, perbuatan maupun taqrir. Istilah hadis
kemudian dikaitkan dengan istilah misoginis.

Istilah "misoginis" yang membenci perempuan masih menimbulkan


banyak perdebatan panjang. Fungsi Rasulullah Saw. diutus Allah adalah tidak lain
mengangkat harkat dan martabat manusia termasuk kaum perempuan. Banyak
contoh yang dilakukan Rasulullah Saw. dalam konteks semacam hal itu seperti
pembatasan perkawinan, perbudakan dan sebagainya. Adanya teks-teks hadis
yang "misoginis" merupakan respons atas masyarakat pada saat itu yang
berbudaya patriarkhi dan menindas perempuan. Bukankah perempuan pada masa
Jahiliyah tidak dihargai sama sekali. Kelahiran anak perempuan merupakan aib
dan oleh sebab itu di antara mereka ada yang mengkubur hidup-hidup perempuan
dengan harapan tidak menanggung beban malu. Seiring dengan fajar Islam yang
ditandai dengan diutusnya Rasulullah Saw. secara pelan-pelan bentuk penindasan
atas perempuan dihilangkan.

Oleh karena itu, untuk menjembatani adanya yang pro dan kontra maka
penulisan istilah misoginis di sini ditulis dalam tanda kutip. Secara luas, kajian
atas hadis-hadis "misoginis" perlu dikembangkan untuk memperlihatkan wajah
Islam yang sesungguhnya.

Dari uraian di atas, dapat diambil kesimpulan, bahwa wanita boleh uki ber
menjadi kepala negara harus memenuhi syarat-syarat yang disebut di atas.
menjadi kepala negara yang penting adalah bahwa wanita yang diusung Dalam hal
ini tentu saja selama masih ada kaum pria yang lebih mampu, mampu, maka
sebaiknya jabatan itu diserahkan kepada pria. Persoalannya adalah, mimpi siapa
antara pria dan wanita yang lebih layak dan pantas untuk menjadi terben top
leader.

Dalam berbagai literatur diungkap tentang bagaimana Islam mengentaskan


berbagai ketidakadilan terutama jika dikaitkan dengan persoalan kaum perempuan
dari penindasan. Dari keterangan di atas terlihat banyak kesalahpahaman dalam
menjelaskan persoalan hadis-hadis misoginis yang tak jarang akhirnya terjadi
penuduhan yang tidak baik dan bahkan tidak menutup kemungkinan saling tuduh
dan justifikasi kafir. Bahkan, yang lebih parah lagi sampai saling serang
disebabkan ketidakluasan dan luwesan dalam pemahaman.

BAB III

Fiqih Waris Perspektif Gender


Isu-isu jender merupakan tema yang sering diperbincangkan oleh
kelompok feminisme Muslim, apalagi bila hal itu menyangkut untuk membedakan
antara laki-laki dan perempuan. Discours yang menghangat yang sering dijadikan
polemik adalah bertalian dengan penyetaraan bagian waris antara laki-laki dan
peremuan. Teks agama dalam hal ini Al-Qur'an yang mengusung pembagian 2:1,
dianggap tidak relefan dengan kondisi zaman. Sehingga, banyak tafsir yang
berupaya mengungkap "misteri" dalam hukum waris. Sebagian ulama
menganggap pembagian waris sudah final, tetapi sebagian yang lain masih perlu
adanya reformulasi penafsiran.

Di antara ayat-ayat yang mendapat banyak penafsiran berkaitan dengan


hukum waris adalah dalam surat An-Nisa (4): 11 yang berbunyi "yushikumullahu
fi auládikum li al-dzakari mitslu hadzdzi al-untsayayn". Tulisan ini berupaya
menghidangkan perdebatan itu, selanjutnya merumuskan langkah-langkah menuju
pembagian waris yang berkeadilan.

Problematika perempuan adalah problematika kemanusiaan yang pada


masa Rasulullah pun sudah ditemukan sebuah kenyataan bahwa perempuan pada
masa pra-Islam sudah mengalami berbagai praktik.

Penindasan dan diskriminasi. Seperti dalam halnya dalam pembagian


warisan Perempuan dianggap tidak pantas untuk menerima harta warisan atau
harta pusaka dan tidak termasuk sebagai ahli waris bahkan dianggap sebagai harta
waris yang berhak dimiliki oleh ahli waris laki-laki. Di sini tampak jelas terlihat
adanya kesetaraan jender' menjadi but pertanyaan besar terutama dalam sistem
pembagian warisan dalam hukum Islam yaitu komposisi pembagian 1: 2. Aspek-
aspek yang melatarbelakangi pembagian tersebut, sehingga laki-laki mendapat
bagian dua kali lipat dari pembagian anak perempuan.

Contoh lainnya, adalah hukum kewarisan sebagaimana bahasan dalam


makalah ini. Pada masa pra-Islam, perempuan sama sekali tidak berhak mendapat
bagian waris. Ketika Islam datang, perempuan mendapat bagian kendati cuma
satu banding dua. Jadi, Al-Qur'an memang diturunkan sebagai respons atau
jawaban untuk mengangkat martabat perempuan.

Jika ayat tentang waris itu dilihat sepintas dalam konteks saat ini, maka
terkesan Allah Swt. membeda-bedakan laki-laki dan perempuan. "Padahal kalau
kita lihat konteks historis masa lalunya, itu dalam rangka mengangkat martabat
perempuan. Pertanyaannya, apakah saat ini ayat itu juga harus dipahami satu
banding dua? Ini masih debat. Ada yang bilang ayat ini tidak bisa ditafsirkan lain.
Ada juga yang bilang ayat ini sudah tidak relevan lagi.Meskipun kebenaran dan
kebaikan yang disampaikan oleh Al-Qur'an bersifat universal dan abadi akan
tetapi proses verbalisasinya berkaitan erat dengan kondisi masyarakat Arab pada
masa turunnya. Dalam nada yang lebih berani Ibnu Khaldun mengatakan bahwa
Al-Qur'an diturunkan dalam bahasa Arab dan disesuaikan dengan gaya retorika
mereka agar dapat dipahami." Rekaman dialog antara ayat-ayat Al-Qur'an dengan
masyarakat Arab terutama yang berkaitan erat dengan persoalan personal mereka
adalah indikasi kuat bagi adanya relevansi proses pembahasaan kebenaran mutlak
Al-Qur'an dengan kondisi lokal bangsa Arab pada masa turunnya.

Selain itu juga, laki-laki dan perempuan diciptakan oleh Allah Swt. dengan
pembagian tugas yang sama, yaitu untuk mengabdi kepada Allah Swt,
sebagaimana firman-Nya dalam QS Al-Dzâriyât (51): 56, "Dan Aku tidak
menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku".

Laki-laki dan perempuan memiliki potensi dan peluang yang sama untuk
menjadi hamba yang terbaik. Dan dalam kapasitas sebagai hamba Allah Swt, laki-
laki dan perempuan akan mendapat penghargaan sesuai kadar pengabdiannya.

Asas "keadilan berimbang", dalam hukum waris Islam menentukan laki-


laki dan perempuan sama-sama berhak tampil sebagai ahli waris, dengan porsi
yang berbeda. Berdasarkan nash yang qath'i, maka adil dan berimbang yang
dimaksudkan dalam hukum waris Islam adalah bagian laki-laki sama dengan
bagian dua orang perempuan (porsi 2 : 1 antara laki-laki dan perempuan).
Perbedaan porsi tersebut tidak disebabkan persoalan jender, melainkan
atas perbedaan tugas dan tanggung jawab yang dibebankan kepada laki- laki lebih
besar dibandingkan dengan yang dibebankan kepada perempuan dalam konteks
masyarakat Islam, sesuai teori standar konvensional yang menyebutkan: "Semakin
besar dan berat beban yang dipikul seorang laki- laki, maka semakin besar pula
hak yang akan diperolehnya", disebabkan biaya yang harus dikeluarkannya untuk
mengemban tanggung jawab dimaksud lebih besar.

BAB IV

Menyingkapi Dimensi Rohani Manusia

Manusia secara fisik tak ubahnya seperti belalang kecil yang hinggap di
pohon-pohon. Tetapi dalam diri yang kecil itu terdapat arsy Tuhan, yang luasnya
lebih luas dari bumi dan langit, begitu ungkapan Jalaludin Rumi. Manusia juga
bisa diibaratkan bayang-bayang Tuhan, karena manusia adalah makhluk yang
paling sanggup menyerupai Tuhan, punya roh, memiliki arsy Tuhan. Dalam Al-
Qur'an disebutkan, setelah secara fisik alam raya dan manusia dermadian) ‫وَنَفْح ُت‬
‫ ِفيِه ِم ن ُروحى‬:tercipta, kemudian Allah berfirman Aku tiupkan roh-Ku dalam diri
manusia)" (QS Al-Hijr [15]: 29).

Lewat roh inilah kemudian manusia mampu menangkap dan menyerap


sifat-sifat Tuhan. Karena itu, makhluk Tuhan yang paling mendekati sifat- sifat
Tuhan adalah manusia. Dan tujuan akhirnya kemudian adalah tentu menjelma
menjadi Insan Kamil sebagai Makhluk Multidimensi. Nah, untuk mencapai
manusia sebagai insan kamil itulah sejatinya perlu pengetahuan tentang
pembersihan dan me-manage hati, roh, akal, dan nafsu sebagai komponen yang
menyatu dalam dimensi rohani manusia.proses selanjutnya, embrio tersebut
berubah menjadi segumpal daging (mulghah). Kelima, proses ini merupakan
kelanjutan dari mullghah. Dalam hal ini bentuk embrio sudah mengeras dan
menguat sampai berubah menjadi tulang belulang ('idzaam). Keenam, proses
penciptaan manusia selanjutnya adalah menjadi daging (lahmah). Ketujuh, proses
peniupan roh. Pada fase ini, embrio sudah berubah menjadi bayi dan mulai
bergerak. Kedelapan, setelah sempurna kejadiannya, akhirnya lahirlah bayi
tersebut ke atas dunia65 kali.

Kata insan digunakan Al-Qur'an untuk menunjuk kepada manusia dengan


seluruh totalitasnya, jiwa dan raga. Bahkan, lebih jauh Bintu Syathi yang sampai
pada derajat yang membuatnya pantas menjadi khalifah di muka menegaskan
bahwa makna kata insan inilah bumi, menerima beban taklif dan amanat
kekuasaan.

M. Quraish Shihab memaparkan bahwa, kata basyar terambil dai alar kata
yang bermakna penampakan sesuatu dengan baik dan indah. Dar akar kata yang
sama lahir kata basyarah yang berarti kulit. Fu'ad 'Abdul Bagi menyebutkan
bahwa, Al-Qur'an menggunakan kata basyar sebanyak 36 kali dalam bentuk
tunggal dan sekali dalam bentuk mutsanna untuk menunjuk manusia dari sudut
lahiriahnya serta persamaannya dengan manusia seluruhnya. Dengan demikian,
kata basyar dalam Al-Qur'an menunjak pada dimensi material manusia yang suka
makan, minum, tidur dan jalan-jalan." Dari makna ini lantas lahir makna-makna
lain yang lebih memperkaya definisi manusia. Dari akar kata basyar lahir makna
bahwa proses penciptaan manusia terjadi secara bertahap sehingga mencapai
tahap kedewasaan.

Secara komprehensif, Umar Shihab memaparkan bahwa proses penciptaan


manusia terbagi ke dalam beberapa fase kehidupan sebagai berikut. Pertama, fase
awal kehidupan manusia yang berupa tanah. Manusia berasal dari tanah
disebabkan oleh dua hal: (1) manusia adalah keturunan Nabi Adam as, yang
diciptakan dari tanah; (2) sperma atau ovum yang menjadi cikal bakal manusia
bersumber dari saripati makanan yang berasal dari tanah. Kedua, saripati makanan
yang berasal dari tanah tersebut menjadi sperma atau ovum, yang disebut oleh Al-
Qur'an dengan istilah nutfah. Ketiga, kemudian sperma dan ovum tersebut
menyatu dan menetap di rahim sehingga berubah menjadi embrio
(alaqah). Keempat, proses selanjutnya, embrio tersebut berubah menjadi segumpal
daging (mulghah). Kelima, proses ini merupakan kelanjutan dari mullghah. Dalam
hal ini bentuk embrio sudah mengeras dan menguat sampai berubah menjadi
tulang belulang ('idzaam). Keenam, proses penciptaan manusia selanjutnya adalah
menjadi daging (lahmah). Ketujuh, proses peniupan roh.

Pada fase ini, embrio sudah berubah menjadi bayi dan mulai bergerak.
Kedelapan, setelah sempurna kejadiannya, akhirnya lahirlah bayi
tersebut ke atas dunia.

Jadi, roh bersifat Ilahiyah dan senantiasa tunduk kepada kesucian. Puncak
kesucian itu sendiri ialah Tuhan yang maha suci. Dengan demikian, puncak
kerinduan roh ialah bertemu dengan zat yang maha suci. Dari itu, kaum sufi
mengatakan bahwa roh adalah lokus cinta Ilahi, sedangkan kalbu lokus ma'rifat
dan sirr (lapisan hati terdalam) lokus musyahadah (penyaksian akan Tuhan),

Imam Ghazali mengurai bahwa manusia memiliki dua dimensi khalq dan
khulg, bentuk lahir dan bentuk batin. Bentuk lahir manusia terlihat ada yang
cantik, ganteng, ada juga sebagian yang kurang menarik. Di balik bentuk lahir
(khalq) tersebut tersimpan bentuk batin manusia. Itulah bentuk roh (khulq).
Menurut ayat tadi bentuk roh tersebut dapat berupa babi, kera, anjing dan lain
sebagainya, tergantung kualitas akhlaknya. Karena itu, pada hari akhirat nanti
manusia dibangkitkan dalam bentuk nuhnya, dalam perwujudan amal dan
akhlaknya.

Ruh juga seperti tubuh juga berada dalam berbagai keadaan. Ada
ungkapan yang menarik dari Sayyidina Ali mengatakan: "Sesungguhnya tubuh
mengalami enam keadaan: sehat, sakit, mati, hidup, tidur dan bangun. Demikian
pula roh. Hidupnya adalah ilmunya, matinya adalah kebodohannya, sakitnya
adalah keraguannya, dan sehatnya adalah keyakinannya, tidurnya adalah
kelalaiannya dan bangunnya adalah penjagaannya".

Seperti tubuh, roh pun memerlukan makanan. Mulla Shadra tidak


menyebutkan makanan. Ia menyebutkan rezeki. Setiap yang hidup perlu rezeki,
dan rezeki arwah ialah cahaya-cahaya ilahiyah dan ilmu-ilmu rabbaniyah.
Mandikan roh dengan makanan rohani, proses penyucian batin seperti istighfar,
mengendalikan hawa nafsu dan menjauhi kemaksiatan.

Dengan demikian, roh merupakan motor penggerak dalam pendekatan diri


ke Tuhan. Bahkan, menurut kaum sufi roh adalah penggerak ke arahkebaikan
pada umumnya. Kecintaan roh kepada Tuhan telah melahirkan suatu hasrat dan
daya yang terarah pada satu titik, yakni Tuhan sebagai kebaikan mutlak

Al-Qur'an menggunakan kata nafs mengacu kepada berbagai pengertian,


di antaranya bermakna "Jiwa" manusia (QS Al-Syams [91]: 7), "nyawa atau roh
(QS Al-An'am [6]: 93). "Totalitas manusia" (QS Al- Maidah [5]: 32), dan lain-
lain. Dan tidak jarang kata nafs digunakan dalam pengertian qalb, roh, dan aql.
Jadi, keempat term yang menjadi objek kajian kita sering digunakan Al-Qur'an
dengan makna yang tumpang tindih.

Kalangan sufi menempatkan makna nafs sebagai bagian dalam manusia


yang lebih dekat dan berhubungan langsung dengan aspek fisiknya. Oleh karena
itu, antara nafs dan fisik terdapat saling memengaruhi. Akan tetapi, dibalik nafs
yang berhubungan langsung dengan organ-organ fisik terdapat nafs yang diartikan
oleh kaum sufi sebagai ego yang menjadi segala sumber syahwat (keinginan) dan
ghadab (kemarahan), atau kejahatan pada umumnya. Nafs dalam pengertian ini
dirujuk oleh kaum sufi kepada hadis. "Musuhmu yang paling berbahaya ialah nafs
mu yang terdapat pada antara dua sisimu" (HR Baihaqi).

Dua pengertian di atas kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa


Indonesia menjadi nafs dan/atau hawa nafsu. Nafsu adalah dorongan dalam untuk
melakukan sesuatu tindakan, dan jika dorongan itu ke arah negatif, maka disebut
dengan hawa nafsu. Al-Qusyairi (w. 465 H./1703 M.), salah seorang pemuka
sufisme, menempatkan nafs sebagai akhlak buruk sebagai imbalan roh yang
menjadi sumber akhlak yang terpuji. Hubungan antara keduanya laksana
hubungan antara setan dan Malaikat."
Bagi kaum sufi, nafs yang dikatakan sebagai sumber kebejatan dapat
diredam dan ditundukkan, sehingga dapat dikuasai. Al-Ghazali mengumpamakan
nafsu itu laksana seekor kuda binal. Kuda itu berbahaya bagi penunggangnya,
karena dapat mencederakan penunggangnya. Akan tetapi, kuda memiliki manfaat
yang besar sebagai kendaraan pembawa beban berat. Oleh sebab itu kuda binal
jangan dibunuh, tetapi harus dilatih dan dijinakkan. Dengan demikian, kuda itu
akan bermanfaat bagi pemiliknya.

Sehubungan dengan itu didasarkan kepada kitab suci, kaum sufi. Dari
uraian di atas, bisa dikatakan bahwa manusia tidak terlepas dari empat dimensi di
atas. Kemudian, hati, oh, nafsu, dan akal akan membawa kepada manusia yang
sesungguhnya. Dalam artian bahwa dengan empat dimensi itu, manusia akan
menjadi posisi/kedudukan yang terhormat, juga sebaliknya, bisa dalam posisi
tersungkur atau hina. Al-Qur'an menggambarkan mengenai penciptaan manusia
sebaik-baik ciptaan ( ahsani taqwim). Akan tetapi, posisi yang Allah berikan yang
dalam posisi terbaik itu, bisa juga berbalik 180 derajat karena ulah manusia, yang
kemudian digambarkan oleh Al-Qur'an sebagai sehina-hinanya manusia. Bahkan,
manusia akan terlempar ke dasar kerak neraka. Tepatlah kiranya, dua potensi yang
Allah gambarkan dalam QS Al-Syams yakni Allah mengilhamkan kejelekan atau
ketakwaan. Maka pertanyaannya tinggal pilih yang mana? Maka, dalam hal ini
keempat dimensi di atas yang akan membawa manusia ke lembah
ketakwaan atau kejelekan.

BAB V

Ekonomi Syahriah

Krisis keuangan yang dewasa ini menimpa sejumlah besar negara- negara
yang dulu diasumsikan kuat dan kebal (immune) telah memberikan bukti nyata
akan perlunya memandang dan mengkaji ulang praktik bisnis dan perbankan dari
aspek yang lebih. Baik dari sisi transaksi komersial, maupun yang lainnya. Maka
dipandang perlu untuk merumuskan perbankan yang bernuansa syariah. Indonesia
salah satu negara yang berpenduduk Muslim terbesar di dunia, merupakan negara
lahan subur dan pesat untuk perkembangan dan pembumian perbankan syariah.

Di tengah-tengah ramainya bank konvensial di Indonesia, di saat krisis


ekonomi, ternyata perbankan syariah tidak terkena dampak yang begitu serius.
Maka layaklah kiranya perlu disorot bagaimana rekam jejak perbankan syariah di
Indonesia. Tulisan ini berupaya mengurai perbankan syariah dari sisi sejarah,
peluang dan upaya membumikan perbankan syariah di Indonesia. Perbankan
Syariah' beberapa tahun belakangan ini sedang naik daun, dipicu dengan besarnya
keinginan masyarakat untuk mendapatkan kehalalan dalam berbenturan dengan
perbankan.

Sedikitnya ada beberapa faktor yang menjadi pemicu perkembangan


perbankan syariah sekaligus menjadi pembeda antara perbankan syariah dan
perbankan konvensional yaitu: pasar (market), bagi hasil, pinjaman bank syariah
atas dasar kemitraan, seperti prinsip bagi hasil (mudhanabak), prinsip penyertaan
modal (musyarakah), prinsip jual beli (murabahah), dan prinsip sex (ijarah), dan
prinsip laba di bawah pengawasan Dewan Pengawas Syariah

Bank Syariah dirasakan lebih adil dan lebih memberikan kenyamanan


kepada nasabahnya. Hal ini disebabkan karena prinsip-prinsip dasar yang berjalan
di bank-bank syariah banyak terletak pada pelayanan nasabahd antaranya:
pertama, prinsip keadilan, yakni imbalan atas dasar bagi hasil dan margin
keuntungan ditetapkan atas kesepakatan bersama antara bank dan nasabah, Kedar,
prinsip kesetaraan, yakni nasabah penyimpan dan pengguna dana dan bank
memiliki hak, kewajiban, beban terhadap risiko dan keuntungan yang berimbang,
dan ketiga prinsip ketenteraman, bahwa produk bank syariah mengikuti prinsip
dan kaidah muamalah Islam (bebas riba dan menerapkan sistem zakat harta).

Sesuai dengan fakta sejarah, kebenaran positivistik dan sekularistik yang


ditawarkan oleh ilmu ekonomi konvensional ternyata banyak menimbulkan
ketimpangan yang menyebabkan terjadinya krisis kemanusiaan. Ilmu yang diakui
sebagai bebas nilai (value free) ini berpretensi untuk melanggengkan
ketidakadilan yang diciptakan oleh para pemilik modal.

Kebangkitan kembali ilmu ekonomi Islam merupakan sebuah jawaban atas


kebutuhan terhadap ilmu ekonomi yang lebih humanis. Dengan memuat nilai-nilai
ajaran Islam (Al-Qur'an dan Hadis), ilmu Ekonomi Islam diyakini akan mampu
menyejahterakan umat manusia dengan lebih baik. Kaum mustadh'afin yang
selama ini termarginalkan oleh ilmu ekonomi konvensional akan terangkat harkat
dan derajatnya.

Namun demikian, perkembangan ilmu ekonomi Islam sendiri dirasa belum


seimbang. Di satu sisi, walaupun ditemukan beberapa penyimpangan dalam
praktiknya perkembangan institusi ekonomi Islam sangat pesat. Sedangkan di sisi
lain, penggalian teori-teori ekonomi Islam masih kurang dan membuat
perkembangannya relatif lambat. Keadaan ini tentu menjadi tantangan sekaligus
peluang bagi eksistensi ilmu ekonomi Islam saat ini dan perkembangnnya di masa
mendatang. Amartya Sen, Johan Galtung, Joseph Stiglitz, Muhammad Yunus dan
sederet ekonom humanis lainnya sebagaimana diungkapkan oleh A. Riawan
Amin, telah memperkenalkan prinsip-prinsip dan praktik ekonomi berbasiskan
pada nilai-nilai social equity dan humanisme, maka prinsip-prinsip perbankan dan
ekonomi syariah sudah saatnya pula untuk menampilkan rekam jejak, sistem dan
peluang kontribusinya bagi dunia perbankan, keuangan dan bisnis secara luas,
akademis dan observable.

Menurut Antonio" dalam Ratnawati," terdapat empat perbedaan mendasar


antara bank konvensional dengan bank syariah. Pertama dari segi akad dan
legalitas. Akad yang dilakukan bank syariah memiliki konsekuensi duniawi dan
ukhrawi karena akad yang dilakukan berdasarkan hukum Islam. Kedua, mengenai
struktur organisasi. Bank syariah dapat memiliki struktur organisasi yang sama
dengan bank konvensional, tetapi unsur yang membedakan adalah keharusan
adanya Dewan Pengawas Syariah yang bertugas mengawasi operasional bank dan
produk-produknya agar sesuai dengan garis syariah. Ketiga, mengenai bisnis dan
usaha yang dibiayai. Pada bank syariah, bisnis dan usaha yang dilaksanakan tidak
terlepas dari saringan syariah. Keempat, mengenal lingkungan kerja dan corporate
culture. Sifat amanah dan shidiq harus melandasi setiap karyawan sehingga
tercipta profesionalisme yang berdasarkan Islam, dan dalam hal reward dan
punishment diperlukan prinsip keadilan yang sesuai dengan syariah.

Dari kenyataan tersebut, terlihat bahwa prinsip syariah menjadi aturan


dasar yang membentuk pola dan mengatur hubungan bank syariah baik intern
(pengaturan manajemen usaha) maupun ekstern (pengaturan hubungan dengan
nasabah/masyarakat). Berkaitan dengan pengaturan hubungan dengan nasabah
terdapat lima prinsip dasar perbankan syariah dalam melakukan transaksi yaitu
prinsip titipan atau simpanan (depository).prinsip bagi hasil (profit sharing),
prinsip jual beli (sale and purchase), prinsip sewa (operational lease and financial
lease) dan prinsip jasa (fee-based service).

Menurut ketentuan yang tercantum di dalam Peraturan Bank Indonesia


Nomor 2/8/PBI/2000, Pasal 1, Bank Syariah adalah "bank umum sebagaimana
yang dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
dan telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 yang melakukan
kegiatan usaha berdasarkan p syariah, termasuk unit usaha syariah dan kantor
cabang bank asing yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah.
Adapun yang dimaksud dengan unit usaha syariah adalah unit kerja di kantor
pusat bank konvensional yang berfungsi sebagai kantor induk dari kantor cabang
syariah.

Tingginya respons terhadap perbankan syariah dipicu oleh ketidakpuasan


terhadap konsep dan operasi perbankan konvensional. Penyerahan risiko usaha
terhadap salah satu pihak dinilai melanggar norma keadilan, di mana risiko
penghimpunan dana sepenuhnya ditanggung oleh bank, sebaliknya risiko kredit
sepenuhnya ditanggung oleh debiter Dalam jangka panjang sistem perbankan
konvensional juga berpotens menyebabkan penumpukan kekayaan pada segelintir
orang yang memili kapital besar. Menurut Khursid Ahmad, yang dikenal sebagai
bapak Ekonom Islam, ada empat tahapan perkembangan dalam wacana pemikiran
ekonomi Islam.

Tahapan Pertama, dimulai pada pertengahan dekade 1930-an ketika


sebagian ulama, yang tidak memiliki pendidikan formal dalam bidang ins
ekonomi namun memiliki pemahaman terhadap persoalan sosio-ekonomi pada
masa itu, mencoba untuk menuntaskan persoalan bunga. Tahapan kedua dimulai
pada akhir dasawarsa 1960-an. Pada tahap ini para ekono Muslim yang pada
umumnya dididik dan dilatih di perguruan tinggi terkemuka di Amerika Serikat
dan Eropa mulai mencoba mengembangkan aspek-aspek tertentu dari sistem
moneter Islam. Tahapan ketiga ditanda dengan adanya upaya konkret untuk
mengembangkan perbankan da lembaga keuangan non-riba baik dalam sektor
swasta maupun dalasektor pemerintah. Tahapan keempat yang ditandai dengan
pengembangan pendekatan yang lebih integratif dan sophisticated untuk
membangun keseluruhan teori dan praktik ekonomi Islam terutama lembaga
keuangan dan perbankan yang menjadi indikator ekonomi umat.

Pertanyaan yang muncul adalah bagaimana membumikan perbankan


syariah di Indonesia yang notabene masyarakatnya majemuk yang terdiri dari
berbagai agama dan kepercayaan. Secara Filosofis, di zaman pasca- modernisme
ada hal yang menarik untuk dikembangkan yaitu sifat menghargai manusia
sebagai individu-individu dengan segala keunikan dan keberagamannya. Dengan
menyadari itu, pasca-modernisme memberikan hak untuk menyuarakan
pendapatnya dan terus menjalankan sifat emansipatorisnya.

Jadi, kita harus bisa memegang kedua-duanya. yang universal dan yang
lokal. Hal ini pun bisa diterapkan dalam rangka membumikan perbankan syariah
di bumi nusantara tercinta. Produsen harus bisa memanusiakan konsumen karena
mereka mempunyai hak dan peran penting dalam memenangkan persaingan pasar.
Melalui gerakan humanisasi konsumen, maka sisi gelap modernisme seperti yang
dikatakan oleh Anthony Giddens dalam bukunya The Consequences of Modernity
(1990) perihal kapitalisme liberal yang mensyaratkan kompetisi tiada akhir akan
pertarungan pasar dan industrialisme yang mensyaratkan inovasi tiada henti untuk
memenangkan persaingan pasar bebas" bisa terobati oleh konsep humanisasi
konsumen pada perbankan syariah.

Pendekatan-pendekatan yang bisa dipakai dalam membumikan perbankan


syariah di masyarakat kita melalui beberapa cara berdasarkan sistem nilai yang
dianut oleh masyarakat. Untuk memudahkan langkah- langkah tersebut saya akan
membagi konsumen berdasarkan agama dan keyakinan. Hal ini dilakukan karena
perbankan syariah identik kepada salah satu bahasa agama yaitu Islam. Oleh
karena itu, pendekatan-pendekatan yang dipakai di sini ada dua; pertama,
pendekatan terhadap konsumen dari kalangan Muslim dan kedua, pendekatan
terhadap konsumen dari kalangan non-Muslim.

Pendekatan-pendekatan yang bisa dilakukan dalam proses membumikan


perbankan syariah bagi masyarakat Muslim Indonesia di antaranya
adalahPertama: sosialisasi yang intensif dan komprehenshif melalui bahasa yang
bisa dimengerti oleh masyarakat Muslim. Apabila anda s peneliti yang ingin
menguasai medan atau lapangan penelitian, maka langkah pertama yang harus
ditangani adalah masalah komunikasi dengan responden, hal ini juga sama
bagaimana perbankan syariah bisa diterima oleh masyarakat Muslim melalui
pendekatan budaya dan bahasa mereka Secara teoretis tidak dapat diragukan
bahwa perbankan syariah merupakan sistem perbankan yang merujuk pada aturan
hukum-hukum Islam.

Namun mesti diingat satu hal, sekalipun masyarakat tahu bahwa kata
syariah itu biasanya merujuk pada Islam, namun mereka sekarang mulai kritis
tentang politisasi atau komersialisasi simbol-simbol agama melalui sebuah merek
Tantangan berikutnya adalah masalah wawasan yang mereka miliki perihal
perbankan syariah itu sendiri, hal ini disebabkan karena selama puluhan tahun
masyarakat dijejali dan dininabobokan oleh sistem perekonomian yang non-
syariah, sehingga dengan sendirinya mereka sudah merasa nyaman dengan sistem
perbankan konvensional dan ragu untuk pindah ke sistem perbankan syariah.
Kedua, melibatkan tokoh agama lokal dan organisasi-organisasi massa
Langkah ini penting untuk memberdayakan para tokoh agama di daerah agar
melek terhadap permasalahan ekonomi dan keuangan. Apabila ada anggota
masyarakat atau konsumen yang masih ragu dan belum tahu tentang sistem
perbankan ini, maka biasanya dalam masalah Fiqhiyyah sering bertanya kepada
tokoh agama setempat.

Ketiga; kurikulum pendidikan ekonomi yang meliputi perbankan syariah


di sekolah-sekolah Islam. Pertumbuhan penduduk yang semakin meningkat maka
dengan sendirinya pertumbuhan anak didik di Indonesia pun akan semakin
meningkat. Hal ini menjadi pasar potensial sekaligus amal untuk memberikan
pendidikan dini kepada anak didik perihal perbankan syariah sehingga di
kemudian hari mereka tidak asing lagi untuk memilih produk perbankan syariah.

Keempat: pendekatan yang persuasif dengan melakukan kerja sama yang


konkret melalui pemberdayaan sumber daya umat. Hal ini demi memberikan
timbal balik yang positif akan peran penting adanya perbankan syariah. Secara
politis akan memperkuat pengaruh brand atau merek perbankan syariah terhadap
konsumen sehingga konsumen tidak lari ke produk lain atau dengan kata lain
menciptakan pelanggan sejati Contoh konkret: memberdayakan ekonomi santri di
pesantren melalui karya nyata yang berkelanjutan dan sistematis.

Adapun pendekatan-pendekatan yang bisa dipakai dalam proses


membumikan perbankan syariah bagi masyarakat non-Muslim di Indonesia di
antaranya adalah: Pertama; universalisme nilai-nilai perbankan syariah, Melalui
pendekatan ini produsen harus bisa memberikan pemahaman yang jelas dan
akurat perihal perbankan syariah kepada warga non-Muslim Hal yang paling
penting adalah bahwa perbankan syariah bukan hanya diperuntukkan bagi
masyarakat Muslim saja, tetapi non-Muslim pun bisa menikmatinya.

Apabila masyarakat non-Muslim ingin menikmati layanan perbankan


syariah maka perlu diatur secara jelas teknis transaksinya (jab-qabul) yang
disesuaikan dengan nilai-nilai yang dianut oleh pribadi konsumen. Sistem
ekonomi syariah, atau adakalanya disebut ”Ekonomi Islam", Semakin populer
bukan hanya di negara-negara Islam tapi bahkan juga di negara-negara Barat. Ini
ditandai dengan makin banyaknya beroperasi bank-bank yang menerapkan konsep
syariah. Ini membuktikan bahwa nilai-nilai Islam yang diterapkan dalam
perekonomian bisa diterima di berbagai kalangan, karena sifatnya yang universal
dan tidak eksklusif

Kedua: selain penerapan kurikulum bagi anak didik Muslim, maka sistem
perbankan syariah pun sangat perlu diperkenalkan kepada anak didik non-Muslim.
Hal ini bisa memberikan khazanah keilmuan dan secara ekonomis akan merekrut
pangsa pasar di masa depan.

Ketiga; konsep Islam sebagai rahmatan lil al-diamin bisa diciptakan di sini
melalui kerja sama dengan warga non-Muslim untuk bersinergi melalui
pemberdayaan ekonominya. Secara politis melalui visi dan misinya. perbankan
syariah tidak hanya terfokus kepada pemberdayaan umat Islam saja, tapi perlu
masuk ke ranah non-Muslim sehingga keuniversalan nilai- nilai perbankan syariah
bisa diterima oleh semua pihak. Bila kondisi ini bisa tercipta, maka hal ini akan
ikut membantu menciptakan suasana harmonis antar agama dan keyakinan.
Sehingga tidak ada lagi konflik antar agama dan keyakinan.

Melalui upaya dan pendekatan-pendekatan yang bisa dilakukan secara


persuasif, berkesinambungan dengan asas humanisasi konsumen dan
universalisme nilai-nilai perbankan itu sendiri, maka diharapkan perkembangan
perbankan syariah bisa melebihi sistem perbankan konvensional yang selama ini
sudah mendarah daging di benak masyarakat

Sistem ekonomi Islam berbeda dari kapitalisme, sosialisme, maupun


negara kesejahteraan (welfare state). Berbeda dari Kapitalisme, karena Islam
menentang eksploitasi oleh pemilik modal terhadap buruh yang miskin, dan
melarang penumpukan kekayaan. Kecelakaanlah bagi setiap yang mengumpulkan
harta dan menghitung-hitung. Orang miskin dalam Islam tidak dihujat sebagai
kelompok yang malas dan yang tidak suka menabung atau berinvestasi. Ajaran
Islam yang paling nyata menjunjung tinggi upaya pemerataan untuk mewujudkan
keadilan sosial, jangan sampai kekayaan hanya beredar di kalangan orang-orang
kaya saja di antara kamu.

Disejajarkan dengan Sosialisme, Islam berbeda dalam hal kekuasaan


negara, yang dalam sosialisme sangat kuat dan menentukan. Kebebasan
perorangan yang dinilai tinggi dalam Islam jelas bertentangan dengan ajaran
sosialisme.

Akhirnya ajaran ekonomi kesejahteraan (welfare state) yang berada di


tengah-tengah antara kapitalisme dan sosialisme memang lebih dekat ke ajaran
Islam. Bedanya hanyalah bahwa dalam Islam etika benar-benar dijadikan
pedoman perilaku ekonomi sedangkan dalam welfare state tidak demikian, karena
etika welfare state adalah sekuler yang tidak mengarahkan pada "integrasi
vertikal" antara aspirasi materi dan spiritual."

Demikian dapat disimpulkan bahwa dalam Islam pemenuhan kebutuhan


materiil dan spiritual benar-benar dijaga keseimbangannya, dan pengaturan oleh
negara, meskipun ada, tidak akan bersifat otoriter. State intervention, directed
primarily at reconciling the possible social conflict between man's ethical and
economic behaviors cannot lead the society onto "road to serfdom" but will guide
it gently along the road to human freedom and dignity.

Ajaran agama Islam dalam perilaku ekonomi manusia dan bisnis Indonesia
makin mendesak penerapannya bukan saja karena mayoritas bangsa Indonesia
beragama Islam, tetapi karena makin jelas ajaran moral ini sangat sering tidak
dipatuhi. Dengan perkataan lain penyimpangan demi penyimpangan dalam Islam
jelas merupakan sumber berbagai permasalahan ekonomi nasional

Dari ulasan di atas, ada setidaknya tiga hal strategis yang dapat dilakukan
guna menyusun langkah selanjutnya bagi pengembangan ilmu ekonomi Islam di
masa mendatang.
Pertama, revitalisasi tradisi lama yang meliputi Al-Qur'an dan Hadis
beserta pemikiran ekonom Muslim klasik. Al-Qur'an dan Hadis merupakan
sumber utama yang tidak bisa diragukan lagi bagi ilmu ekonomi Islam. Begitu
juga tidak dapat dipungkiri bahwa jauh sebelum ada Adam Smith, Keynes,
Friedman, dan ekonom Barat lainnya, telah banyak pemikiran ilmu ekonomi Islam
yang dilahirkan oleh ulama klasik semacam Abu Ubaid, Abu Yusuf Al-Ghazali.
Ibnu Khaldun, Ibnu Taimiyah, dan sebagainya. Tradisi lama ini tidak boleh serta-
merta ditinggalkan dalam pengembangan ilmu ekonomi Islam

Kind, pembaruan dan pengembangan tradisi lama. Tradisi lama yang


disebutkan sebelumnya tentunya mempunyai konteks yang berbeda dengan
kenyataan yang kita alami saat ini. Oleh karena itu, diperlukan penyesuaian agar
relevan dengan kondisi yang melingkupi kita di sini dan saat ini. Penyesuaian itu
tentu dilakukan harus dalam kerangka maqasid ayarak. Ketiga, penyikapan
terhadap ilmu ekonomi konvensional.

Tindakan ini juga dimaksudkan untuk memberikan sumbangsih kepada


perkembangan ilmu ekonomi Islam. Sikap yang diserukan tidak bersif reaksioner
dan tidak menentang pemikiran ilmiah progresif yang ada di Barat. Ini
dimaksudkan untuk menciptakan fondasi ilmu ekonomi Islam yang kuat dalam
perspektif ilmiah. Di sini harus mampu dibedakan antara yang baik dan buruk.
Tentunya perlu diingat ungkapan "jangan terima semuanya dan jangan
tolak semuanya".

BAB VI

Filsafat Dalam Pendekatan Agama

Dalam studi filsafat, ada satu kajian yang dikenal dengan filsafat
ketuhanan. Filsafat ketuhanan adalah pemikiran tentang Tuhan dengan pendekatan
akal budi, maka dipakai pendekatan yang disebut filosofis. Bagi orang yang
menganut agama tertentu (terutama agama Islam, Kristen, Yahudi), akan
menambahkan pendekatan wahyu di dalam usaha memikirkannya. Jadi, filsafat
ketuhanan adalah pemikiran para manusia dengan pendekatan akal budi tentang
Tuhan.

Usaha yang dilakukan manusia ini bukanlah untuk menemukan Tuhan


secara absolut atau mutlak, namun mencari pertimbangan kemungkinan-
kemungkinan bagi manusia untuk sampai pada kebenaran tentang Tuhan.Agama
biasanya dikaitkan dengan moral. Kaitan ilmu dan moral telah lama menjadi
bahan pembahasan para pemikir antara lain Merton, Popper, Russel, Wilardjo,
Slamet Iman Santoso, dan Jujun Suriasumantri." Pertanyaan umum yang sering
muncul berkenaan dengan hal tersebut adalah: apakah itu bebas dari sistem nilai?
Apakah sebaliknya, apakah itu terikat pada sistem nilai? Ternyata pertanyaan
tersebut tidak mendapatkan jawaban yang sama dari para ilmuwan.

Ada dua kelompok ilmuwan yang masing-masing punya pendirian


terhadap masalah tersebut. Kelompok pertama menghendaki ilmu harus bersifat
netral terhadap sistem nilai. Menurut mereka tugas ilmuwan adalah menemukan
pengetahuan ilmiah. Ilmu ini selanjutnya dipergunakan untuk apa, terserah pada
yang menggunakannya, ilmuwan tidak ikut campur. Kelompok kedua sebaliknya
berpendapat bahwa netralitas ilmu hanya terbatas pada metafisik keilmuan,
sedangkan dalam penggunaannya, bahkan pemilihan objek penelitian, maka
kegiatan keilmuan harus berlandaskan asas-asas moral.

Hubungan antara ilmu dengan moral oleh Jujun S. dikaji secara hati- hati dengan
mempertimbangkan tiga dimensi filosofis ilmu. Pandangan Jujun S. mengenai hal
tersebut adalah sebagai berikut:

1. Untuk mendapatkan pengertian yang benar mengenai kaitan antara ilmu dan
moral maka pembahasan masalah ini harus didekati dari segi-segi yang lebih
terperinci yaitu segi ontologi, epistemologi, dan aksiologi
2. Menafsirkan hakikat ilmu dan moral sebaiknya memperhitungkan faktor
sejarah, baik sejarah perkembangan ilmu itu sendiri, maupun penggunaan ilmu
dalam lingkup perjalanan sejarah kemanusiaan

3. Secara ontologis dalam pemilihan wujud yang akan dijadikan objek . kaidah
moral yang berasaskan tidak mengubah kodrat manusia, tidak merendahkan
martabat manusia, dan tidak mencampuri masalah kehidupan

4. Secara epistemologis, upaya ilmiah tercermin dalam metode keilmuan yang


berporoskan proses logiko-hipotetiko-verifikatif dengan kad moral yang
berasaskan menemukan kebenaran, yang dilakukan dengan penuh kejujuran, tanpa
kepentingan langsung tertentu dan berdasarkan kekuatan argumentasi an sich.

5. Secara aksiologis ilmu harus digunakan dan dimanfaatkan untuk kemaslahatan


manusia dengan jalan meningkatkan taraf hidup dan dengan memerhatikan kodrat
manusia, martabat manusia, dan keseimbangan/kelestarian alam. Upaya ilmiah ini
dilakukan dengan penggunaan dan pemanfaatan pengetahuan ilmiah secara
komuni universal.

Ternyata keterkaitan ilmu dengan sistem nilai khususnya moral tidak


cukup bila hanya dibahas dari tinjauan aksiologi semata. Tinja ontologis dan
epistemologi diperlukan juga karena asas moral juga mewarnai perilaku ilmuwan
dalam pemilihan objek telaah ilmu mau dalam menemukan kebenaran ilmiah.
Oleh sebab itu, setiap agama wahyu mempunyai cara untuk menangani masalah
itu. Agama Islam, misalnya, mengenai ijma' dan qiyas. Nah, dalam usaha manusia
seperti itu, untuk memahami wahyu Allah secara tepat, untuk mencapai kata
sepakat tentang arti salah satu bagian wahyu, filsafat dapat saja membantu.
Karena jelas bahwa jawaban atas pertanyaan itu harus diberikan dengan memakai
nalar (pertanyaan tentang arti wahyu tidak dapat dipecahkan dengan mencari
jawabannya dalam wahyu saja, karena dengan demikian pertanyaan yang sama
akan muncul kembali, dan seterusnya). Karena filsafat adalah seni pemakaian
nalar secara tepat dan bertanggung jawab, filsafat dapat membantu agama dalam
memastikan arti wahyunya.
Kedua, secara spesifik, filsafat selalu dan sudah memberikan pelayanan itu
kepada ilmu yang mencoba mensistematiskan, membetulkan dan memastikan
ajaran agama yang berdasarkan wahyu, yaitu ilmu teologi Maka secara
tradisional-dengan sangat tidak disenangi oleh para filsuf- filsafat disebut ancilla
theologiae (abdi teologi). Teologi dengan sendirinya memerlukan paham-paham
dan metode-metode tertentu, dan paham. paham serta metode-metode itu dengan
sendirinya diambil dari filsafat, Misalnya, masalah penentuan Allah dan
kebebasan manusia (masalah kehendak bebas) hanya dapat dibahas dengan
memakai cara berpikir filsafat. Hal yang sama juga berlaku dalam masalah
"theodicea", pertanyaan tentang bagaimana Allah yang sekaligus Maha Baik dan
Maha Kuasa, dapat membiarkan penderitaan dan dosa berlangsung (padahal ia
tentu dapat mencegahnya). Begitu pula Christologi (teologi kristiani tentang
Yesus Kristus) mempergunakan paham-paham filsafat Yunani dalam usahanya
mempersatukan kepercayaan pada hakikat Nabi Yesus Kristus dengan
kepercayaan bahwa Allah hanyalah satu.

Ketiga, filsafat dapat membantu agama dalam menghadapi masalah-


masalah baru, artinya masalah-masalah yang pada waktu wahyu diturunkan belum
ada dan tidak dibicarakan secara langsung dalam wahyu. Itu terutama relevan
dalam bidang moralitas. Misalnya masalah bayi tabung atau pencangkokan ginjal.
Bagaimana orang mengambil sikap terhadap dua kemungkinan itu: Boleh atau
tidak? Bagaimana dalam hal ini ia mendasarkan diri pada agamanya, padahal
dalam Kitab Suci agamanya, dua masalah itu tak pernah dibahas? Jawabannya
hanya dapat ditemukan dengan cara menerapkan prinsip-prinsip etika yang
termuat dalam konteks lain dalam Kitab Suci pada masalah baru itu. Nah, dalam
proses itu diperlukan pertimbangan filsafat moral.

Filsafat juga dapat membantu merumuskan pertanyaan-pertanyaan kritis


yang menggugah agama, dengan mengacu pada hasil ilmu Dari uraian di atas
dapat diketahui bahwa agama dan filsafat adalah dua pokok persoalan yang
berbeda. Agama banyak berbicara tentang hubungan antara manusia dengan Yang
Maha Kuasa. Dalam agama samawi (Yahudi, Nasrani dan Islam), Yang Kuasa itu
disebut Tuhan atau Allah, sedangkan dalam agama ardi Yang Kuasa itu
mempunyai sebutan yang bermacam-macam, antara lain Brahma, Wisnu dan Siwa
dalam agama Hindu, Budha Gautama dalam agama Budha, dan sebagainya.
Semua itu merupakan bagian dari ajaran agama dan setiap ajaran agama itulah
yang menjadi objek pembahasan filsafat agama. Filsafat seperti yang
dikemukakan bertujuan menemukan kebenaran. Jika kebenaran yang sebenarnya
itu mempunyai ciri sistematis, jadilah ia kebenaran filsafat.

Kritik ideologi sangat dibutuhkan agama dalam dua arah. Pertama


terhadap pandangan-pandangan saingan, terutama pandangan-pandang- an yang
mau merusak sikap jujur, takwa dan bertanggung jawab. Fisafat tidak sekadar
mengutuk apa yang tidak sesuai dengan pandangan kita sendiri, melainkan
mempergunakan argumentasi rasional. Agama sebaiknya menghadapi ideologi-
ideologi saingan tidak secara dogmatis belaka, jadi hanya karena berpendapat lain,
melainkan berdasarkan argumentasi yang objektif dan juga dapat dimengerti
orang luar.

Arah kedua menyangkut agamanya sendiri. Filsafat dapat


mempertanyakan, apakah sesuatu yang oleh penganut agama dikatakan sebagai
termuat dalam wahyu Allah, memang termasuk wahyu itu. Jadi filsafat dapat
menjadi alat untuk membebaskan ajaran agama dari unsur-unsur ideologis yang
menuntut sesuatu yang sebenarnya tidak termuat dalam wahyu, melainkan hanya
berdasarkan sebuah interpretasi subjektif. Maka filsafat membantu pembaruan
agama. Berhadapan dengan tantangan-tantangan zaman, agama tidak sekadar
menyesuaikan dirinya. melainkan menggali jawabannya dengan berpaling
kembali kepada apa yang sebenarnya diwahyukan oleh Allah.

BAB VII

Studi Islam dan Pendidikan Berbasis Al Quran


Secara etimologis, kata tafsir berasal dari bahasa Arab, fassara-yufassiru-
tafsîran. Derivasi ini mengandung pengertian: menyingkap (al-Kasyfu),
memperjelas (idzhâr) atau menjelaskan. Tuntutan bagi terjadinya Al-Qur'an yang
salih likulli zaman wa makan, Quraish Shihab mengistilahkan dengan
"membumikan Al-Qur'an". Dalam bahasa Nasr Hamid Abû Zayd dikenal
tekstualitas Al-Qur'an (mafhum al-nas) atau meminjam Shahrur "al-qira'ah al-
mu'asirah" (pembacaan dengan cara baru) mulai timbul ketika adanya
kesenjangan di antara keadaan, hubungan, dan peristiwa dalam masyarakat,
sempitnya terhadap pemahaman Al-Qur'an, dan lain-lain. Ketika kesenjangan
tersebut telah mencapai tingkat yang sedemikian rupa, maka tuntutan perubahan
yang mengupayakan membaca ulang teks semakin mendesak.

Dalam Al-Qur'an sendiri telah memberi isyarat bahwa permasalahan


pendidikan sangat penting, jika Al-Qur'an dikaji lebih mendalam maka kita akan
menemukan beberapa prinsip dasar pendidikan, yang selanjutnya bisa kita jadikan
inspirasi untuk dikembangkan dalam rangka membangun pendidikan yang
bermutu. Ada beberapa indikasi yang terdapat dalam Al- Qur'an yang berkaitan
dengan pendidikan antara lain; menghormati akal manusia, bimbingan ilmiah,
fitrah manusia, penggunaan cerita (kisah) untuk tujuan pendidikan dan
memelihara keperluan sosial masyarakat.

Metode dalam Al Quran yang terus di lakukan perkembangan antara lain :

1. Metode Al-Hikmah
Dalam bahasa Arab Al-hikmah artinya ilmu, keadilan, falsafah,
kebijaksanaan, dan uraian yang benar. Al-hikmah berarti mengajak
kepada jalan , Allah dengan cara keadilan dan kebijaksanaan, selalu
mempertimbangkan berbagai faktor dalam proses belajar baik
mengajar, faktor subjek, objek, sarana, media dan lingkungan
pengajaran. Pertimbangan pemilihan metode dengan memerhatikan
audiens atau peserta didik diperlukan kearifan agar tujuan
pembelajaran tercapai dengan maksimal.
2. Metode Mauizhah Hasanah
Terdiri dari dua kata "al-Mauizhah dan Hasanah". Al-mauizhah
dalam tinjauan etimologi berarti "wejangan, pengajaran, pendidikan,
sedangkan hasanah berarti baik. Bila dua kata ini digabungkan
bermakna pengajaran yang baik. Mauizhah adalah uraian yang
menyentuh hati yang mengantar kepada kebaikan.
3. Metode Mujadalah
Metode ini lebih menekankan kepada pemberian dalil, argumentasi
dan alasan yang kuat. Para siswa berusaha untuk menggali potensi
yang dimilikinya untuk mencari alasan-alasan yang mendasar dan
ilmiah dalam setiap argumen diskusinya. Para guru hanya bertindak
sebagai motivator, stimulator, fasilitator atau sebagai instruktur. Sistem
ini lebih cenderung ke "Student Centre" yang menekankan aspek
penghargaan terhadap perbedaan individu para peserta didik
(individual differencies) bukan "Teacher Centre". Metode ini biasanya
digunakan dalam diskusi- diskusi ilmiah untuk mencari kebenaran dari
beberapa pendapat yang berbeda, seperti dalam dunia perkuliahan.
Oleh karena itu pendidikan merupakan salah satu sendi dalam beragama.
Ajaran Islam bisa bertahan sampai saat ini salah satunya karena ada proses
pendidikan di samping dakwah tentunya. Para da'i yang menyebar ke seluruh
penjuru dunia tersebut menggunakan Al-Qur'an sebagai pedoman baik dari segi
orientasi, tujuan, cara atau metode penyampaian, media dan alat bahkan materi
yang terkandung dalam penyampaiannya pun diambil dari Al- Qur'an.
Al-Qur'an sebagai sumber segala sumber pedoman menjadikannya inspirator
yang sangat kental dalam setiap gerak pemikiran umat Islam. Dalam berbagai
bidang masyarakat Muslim yang religius akan selalu merujuk kepada wahyu
sebagai firman Tuhan yang disampaikan melaluinya nabi-Nya. Dalam hal ini
salah satu unsur penting di dalamnya adalah dengan pendidikan.

BAB VIII

Studi Islam dan Potret Tafsir Nusantara


Quraish Shihab berpendapat, masalah korelasi antara ayat-ayat Al-Qur'an
ini layak mendapat perhatian khusus. Hal itu setidaknya dilatarbelakangi oleh dua
hal. Pertama, salah satu isu tentang Al-Qur'an yang sering terdengar sumbang.
Kedua, terjadinya penafsiran Al-Qur'an yang bersifat parsial. Implikasi dari model
penafsiran seperti ini, seperti terlihat dalam sejarah Islam, telah melahirkan
konflik, khususnya dalam bidang teologi yang cenderung tidak berkesudahan.
Seperti golongan Sunni dan Muktazilah. Kedua golongan itu seperti diketahui
mempunyai kesimpulan yang bertentangan secara diametral padahal mereka
sama- sama mendasarkan diri pada Al-Qur'an bahkan pada ayat yang sama. Jadi
melalui pembahasan tentang korelasi ayat-ayat ini akan didapatkan suatu
pemahaman terhadap Al-Qur'an sebagai keutuhan yang saling terkait.

Selanjutnya Quraish Shihab menjelaskan, ulama terdahulu pada umumnya


menempuh satu di antara tiga cara berikut dalam menjelaskan hubungan antara
ayat sebagai berikut:

1. Mengelompokkan sekian banyak ayat dalam satu kelompok tema- tema,


kemudian menjelaskan hubungannya dengan kelompok ayat- mayat
berikutnya. Contoh tafsir al-Manar dan al-Maraghi.
2. Menemukan tema sentral dari satu surah lalu mengembalikan uraian
kelompok ayat-ayat kepada tema sentral itu. Contoh Tafsir Mahmud
Shaltut.
3. Menghubungkan ayat dengan ayat sebelumnya dengan menjelaskan
keserasiannya.
Dalam pengantar Tafsir al-Mishbah, M. Quraish Shihab mengemukakan
paling sedikit enam macam keserasian hubungan bagian-bagian Al-Qur'an.
keserasian yang dimaksud adalah :
a. Keserasian kata demi kata dalam satu surah
b. Keserasian kandungan ayat dengan fashilat (penutup ayat tersebut)
c. Keserasian hubungan ayat dengan ayat berikutnya
d. Keserasian uraian awal/mukaddimah satu surah dengan penutupnya
e. Keserasian penutup surah dengan uraian awal (mukaddimah) surah
sesudahnya
f. Keserasian tema surah dengan nama surah

M. Quraish Shihab mempunyai perhatian besar terhadap kajian munasabah.


Hal ini terlihat dari karya terbesarnya yakni Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan dan
Keserasian Al-Qur'an. Kemudian, setelah penulis melakukan penelaahan awal
terhadap produk tafsir Indonesia yang lebih dulu ada, yang dalam tulisan ini
diistilahkan dengan segi tiga emas tafsir Nusantara. Segi tiga yang dimaksud
adalah tafsir Marah Labid, Tafsir al-Azhar dan Tafsir Kementerian Agama. Ketiga
tafsir Indonesia ini, kendati terdapat uraian yang mencoba mengurai dan
mengaitkan ayat dengan surah yang terdapat dalam Al-Qur'an, namun
persentasenya tidaklah terlalu banyak. Meskipun dalam karya Tafsir Kementerian
Agama, uraian munasabah lebih kuat dibanding dengan tafsir Marah Labid dan
Tafsir Al-Azhar. Namun demikian, tampaknya kajian munasabah tidaklah menjadi
prioritas utama seperti yang dilakukan oleh M. Quraish Shihab dalam Tafsirnya.

BAB IX

Studi Islam dan Tafsir Kontemporer Atas Pemikiran Nasr Hamid Abu Zayd
dan Muhammad Arkoun

Islam yang diyakini secara normatif sebagai rahmatan li al-âlamîn, dalam


realitas empirisnya ternyata jauh dari apa yang diidealkan itu. Hal inilah yang
mendorong para sarjana-sarjana Muslim kontemporer untuk melakukan
perenungan kembali khazanah intelektual yang mereka warisi dari ulama-ulama
klasik (at-turats). Metode inipun lantas menarik perhatian sarjana-sarjana Muslim
kontemporer untuk diaplikasikan dalam membaca, memahami dan menafsirkan
at-turats. Dari sekian banyak sarjana Muslim kontemporer dalam tulisan ini akan
diungkap dua sosok yang cukup banyak mendapat sorotan dunia akademik yang
tidak jarang pemikirannya menuai banyak kritik.
Nasr Hamid Abû Zayd, salah seorang sarjana Muslim Mesir yang
kontroversial, berpendapat bahwa pada dasarnya "teks" tidak memiliki wewenang,
kuasa atau otoritas apa pun selain otoritas epistemologis (as-sulthah al-
ma'rifiyyah). Yakni otoritas yang diupayakan sebuah teks dalam posisinya sebagai
teks untuk dimanifestasikan dalam wilayah epistemologi tertentu. Seluruh teks
berusaha memunculkan otoritas epistemologinya secara baru dengan asumsi
bahwa ia memperbarui teks-teks yang mendahuluinya. Akan tetapi, otoritas
tekstual ini tidak akan bermetamorfosis menjadi otoritas kultural sosiologis,
kecuali melalui kelompok yang mengadopsi teks tersebut dan mengubahnya
menjadi kerangka ideologi.

Dalam pada itu—dan ini juga berlaku terhadap interpretasi teks Al-Qur'an-
perlu dibedakan, bahwa teks-teks yang memiliki otoritas tertentu adalah
disusupkan oleh pemikiran manusia, otoritas tersebut tidak muncul dari dalam
teks itu sendiri. Sehingga "pembebasan dari kekuasaan teks" (at-tuharrir min
sulthah an-nash) sebenarnya berarti pembebasan dari otoritas mutlak dan
hegemoni yang mempraktikkan pemaksaan dan penguasaan dengan menyelipkan
indikasi-indikasi dan makna-makna di luar masa, ruang, dan kondisi ke dalam
teks. Paparan ini sesungguhnya merupakan ajakan untuk memahami, menganalisis
dan melakukan interpretasi berdasarkan analisis bahasa terhadap teks tersebut
dalam kompleksitas konteksnya," yang pada gilirannya akan melahirkan
kontekstualisasi makna teks.

BAB X

Studi Islam dan Analisis Sosiologis-Antropologis : Meneguhkan Tradisi


Pesantren di Nusantara

Dunia pesantren selalu menjadi bidang yang menarik untuk dikaji, baik
dari konteks kelembagaan, perilaku santri, maupun kehidupan tokohnya. Banyak
orang terkenal dan hebat yang lahir di pesantren, dan ini bukanlah suatu
kebetulan. Fokus yang ada pada pesantren akhir-akhir ini nampaknya merupakan
penyimpangan dari tradisi fundamental pesantren yang sangat ahli dalam
pengembangan tradisi akademik dan pengembangan masyarakat. Hal ini mungkin
menunjukkan bahwa fenomena yang patut diungkap memang ada di pesantren.
Ditambah lagi dengan munculnya perubahan sosial dan modernisasi di segala
bidang, termasuk modernisasi di bidang pendidikan, hal ini tentunya berdampak
pada eksistensi lembaga pendidikan Islam tradisional seperti pesantren. Dalam
keadaan seperti ini, keberadaan, dinamika dan peran pesantren tradisional, dan
pada saat yang sama tradisi pesantren, akan terkena dampak langsung atau tidak
langsung.

Islam dapat berkembang pesat dan diterima oleh banyak masyarakat salah
satu faktornya karena adanya pesantren. Pesantren merupakan salah satu bentuk
kebudayaan asli yang berada di Indonesia. Namun tentang kehadiran pesantren
seacra pasti di Indonesia pertama kalinya, dimana, dan siapa pendirinya tidak
diperoleh keterangan secara pasti. Ada pendapat yang mengatakan, pesantren
pertama kali didirikan oleh Syeikh Maulana Ibrahim. Beliau adalah seorang
ulama’ yang berasaldari Gujarat, India agaknya sulit bagi beliau untuk mendirikan
peantren karena sebelumnya di Indonesia telah berkembang perguruan Hindu-
Budha dengan sistem biara asrama sebagai tempat belajar mengajar. Dan
mempunyai persamaan pendidikan yang ada di India.

Dalam pandangan Alwi Shihab, bahwa Syeikh Maulana Malik Ibrahim


atau lebih dikenal dengan Sunan Gresik (w. 1419 H.) merupakan orang pertama
yang membangun pesantren sebagai tempat mendidik dan menggembleng para
santri." Bahkan dari hasil penelusuran sejarah pula, ditemukan sejumlah bukti
kuat yang menunjukkan bahwa cikal bakal pendirian pesantren pada periode awal
ini terdapat di daerah sepanjang pantai utara Jawa, seperti Gresik (Giri), Surabaya
(Ampel Denta). Tuban (Bonang), Kudus, Lasem, Cirebon, dan sebagainya.

Meski begitu, tokoh yang dianggap berhasil mendirikan dan


mengembangkan pesantren dalam arti yang sesungguhnya adalah Raden Rahmat
atau Sunan Ampel. Ia mendirikan pesantren di Kembang Kuning. Yang pada
waktu didirikan hanya memiliki tiga orang santri, yaitu: Wiryo Suroyo, Abu
Hurairah, dan Kyai Bangkuning. Kemudian ia pindah ke Denta, Surabaya, dan
mendirikan pesantren di sana, dan akhirnya beliau dikenal dengan sebutan Sunan
Ampel. Sunan Ampel diambil menantu oleh penguasa Tuban bernama Ario Tejo.
Di sini dapat disimpulkan adanya hubungan yang mesra antara ulama dan umara.

a. Tradisi Pesantren : Refleksi Atas Sistem Pendidikan Pesantren


Terkait dengan problem pendidikan pesantren dalam interaksinya dengan
perubahan sosial akibat modernisasi ataupun globalisasi, kalangan internal
pesantren sendiri sebenarnya sudah melakukan pembenahan. Salah satu
bentuknya adalah pengembangan model pendidikan formal dalam hal ini
sekolah, mulai dari tingkat dasar bahkan hingga perguruan tinggi.
Adapula yang memperbarui sistem pendidikannya dengan menciptakan
model pendidikan modern yang tidak lagi terpaku pada sistem pengajaran
klasik dan materi-materi kitab kuning. Sementara itu, tidak semua pesantren
melakukan pengembangan sistem pendidikannya dengan memperluas cakupan
wilayah garapannya atau memperbarui model pendidikannya. Tetapi di balik
itu semua, masih banyak pesantren yang mempertahankan sistem pendidikan
tradisional dan konvensional dengan membatasi pada pengajaran kitab-kitab
klasik dan pembinaan moral keagamaan semata.
Dan ada tiga hal yang harus dilakukan agar tradisi khas pesantren tetap
terjaga. Pertama, pesantren harus menjaga dan memosisikan sebagai lembaga
pengkaderan ulama. Kedua, pesantren sebagai lembaga pengembangan ilmu
pengetahuan khususnya yang berbasis agama islam, bahkan memungkinkan
menerima keilmuan dibidang umum termasuk sains. Ketiga pesantren mampu
menempatkan dirinya sebagai transformator, motivator, dan innovator akhlak.

Salah satu khazanah lembaga pendidikan yang penting diapresiasi adalah


tradisi pendidikan pesantren yang telah terbukti mampu melahirkan sistem
pendidikan yang secara terus-menerus bertahan di tengah masyarakat. Sejarah
permulaan dan perkembangan tradisi intelektual dan keilmuan Islam Nusantara
sejauh ini telah mengundang perhatian sejumlah sarjana dan pengamat yang
menekuninya. Dalam berbagai karyanya, masing-masing inlelektual itu
memberikan analisis dan penilaian atas masalah ini. Walaupun berbeda rumusan
karena perbedaan pendekatan yang digunakan, hasil kajian mereka agaknya
memperlihatkan kecenderungan yang sama dalam mempertimbangkan dua faktor
penting.

Pertama, kontak ulama Nusantara dengan ulama Timur Tengah sebagai


bagian dari proses internasionalisasi Islam. Kedua, interaksi budaya Islam dengan
budaya lokal sebagai konsekuensi logis dari proses Nusantara. Kedua aktor ini
berperan dalam membentuk dan mewarnai Islamisasi corak keilmuan Islam
Nusantara seperti tercermin dalam tradisi pesantren.

BAB XI

Studi Islam dan Tafsir Ahkam

Sejalan dengan lajunya perkembangan masyarakat, berkembang pesat pula


porsi peranan akal (ijtihad) dalam penafisran ayat-ayat Al-Qur'an. Tafsir ayat
ahkam menjadi tawaran dalam menjawab problematika yang muncul di
masyarakat. Dari pendapat di atas, betapa banyaknya ayat- ayat Al-Qur'an yang
berbicara tentang hukum. Belum lagi kemajuan dan perkembangan zaman terus
pesat, dibarengi pula dengan peliknya persoalan hukum yang terjadi di masyarakat
dan sudah barang tentu memerlukan jawaban dari nur Al-Qur'an. Sementara yang
menghidupkan dan menjawab semua problematika hukum Islam itu adalah Al-
Qur'an itu sendiri, tentu dibarengi dengan interpretasi yang mumpuni.

Secara terminologis, tafsir adalah ilmu yang membahas tentang apa yang
dimaksud oleh Allah dalam Al-Qur'an sepanjang kemampuan manusia. Pengertian
senada diberikan Muhammad Badruddin al-Zarkasyi (745-749 H/1344-1391 M)
yang mendefinisikan ilmu tafsir adalah ilmu untuk memahami kitabullah (Al-
Qur'an yang diturunkan kepada Nabi-Nya Muhammad Saw. serta menerangkan
makna hukum dan hikmah (yang terkandung di dalamnya). Kata tafsîr dalam Al-
Qur'an disebut satu kali, yaitu dalam QS Al-Furqân (25): 33, sedang kata yang
sering disepadankan dan disejajarkan dengan tafsîr ialah ta'wîl disebut dalam Al-
Qur'an sebanyak 17 kali.

Berkembanglah manhaj (pendekatan) tafsir dari manhaj atsari ke manhaj


ra'yi, dan berkembang pula tariqah (metode) tafsir. Itu semua kemudian
melahirkan corak-corak tafsir. Corak-corak penafsiran yang dikenal selama ini
yaitu: corak sastra kebahasaan, corak penafsiran ilmiah, corak fikih/ hukum, corak
tasawuf, corak sastra budaya kemasyarakatan, dan corak filsafat dan
teologi (kalam).

Tafsir Ahkam menjadi tawaran di antara banyak solusi yang disodorkan,


sebagai penyederhanaan dan mempermudah dalam kajia Al Quran Dari namanya,
al-Ahkâm, model tafsir ini berbicara tentang hukum, tepatnya ayat-ayat yang
berkaitan dengan hukum Islam. Pengetahuan yang mendalam terhadap ayat-ayat
hukum dalam Al-Qur'an pada gilirannya akan melahirkan tafsir hukum yang
fleksibel, sesuai dengan perkembangan zaman. salah satu corak tafsir yang akan
diangkat dalam kajian ini adalah tafsir dengan corak hukum. Dalam kajian ini,
lebih diperkenalkan dengan istilah tafsir ahkam. Agar lebih menarik, titik tekan
kajian pada tulisan ini lebih mengantarkan kepada kajian hukum Islam
kontemporer.

Pokok permasalahan yang akan ditelisik melalui rangkaian studi ini adalah
mengenai tafsir ahkam sebagai salah satu corak penafsiran Al-Qur'an atau dengan
kata lain alat corak penafsiran hukum dikaitkan dengan permasalahan dan upaya
kontekstualisasi studi hukum Islam dalam penafsiran kontemporer yang
berkembang di masyarakat saat ini.

Dan Istilah ayat al-ahkam terdiri atas dua kata yaitu "ayat" dan "ahkam",
ayat adalah bentuk jamak dari ayat yang secara harfiyah berarti tanda. Kata ayat
kadang juga diartikan dengan pengajaran, urusan yang mengherankan dan
sekelompok manusia. Adapun yang dimaksud "ayat" dalam hal ini adalah ayat-
ayat Al-Qur'an yaitu bagian tertentu dari Al-Qur'an yang tersusun atas satu atau
beberapa jumlah (kalimat) walau dalam bentuk takdir (prakiraan) sekalipun, yang
memiliki tempat permulaan dan tempat berhenti yang bersifat mandiri dalam
sebuah surat.13 Sementara istilah kata hukum dalam bahasa Arab adalah bentuk
tunggal, adapun bentuk jamaknya adalah al-ahkâm.

Juga dapat disimpulkan bahwa ayat hukum (ayat al-ahkam) adalah ayat-
ayat Al- Qur'an yang berisikan khitab (titah/doktrin) Allah yang berkenaan dengan
thalab (tuntutan untuk melakukan dan/atau meninggalkan sesuatu). Secara lebih
sederhana dipahami bahwa ayat-ayat hukum adalah ayat-ayat Al-Qur'an yang
mengandung masalah-masalah hukum. Dari sini dapat dipahami bahwa tafsir
ahkam atau tafsir ayat al-ahkam (tafsir ayat-ayat hukum) adalah tafsir Al-Qur'an
yang berorientasi kepada pembahasan ayat-ayat hukum. Pembatasan ayat-ayat
hukum yang terdapat di dalam Al-Qur'an sebagai ciri khas dari tafsir ahkam
dengan metode tafsir lainnya.

BAB XII

Studi Islam dan Kajian Tikrar Al Quran dalam Surah Al-Rahman

Orientalis mengklaim bahwa sistematika Al-Qur'an sangat kacau, banyak


hal yang tak perlu dan sia-sia di dalamnya, mereka memberi contoh, ziyadah, naqs
dan tikrar atau pengulangan ayat-ayat dalam Al-Qur'an. Akan tetapi, hal ini telah
dibantah oleh banyak ulama Islam. Tidak sedikit jawaban yang dilontarkan
mengenai masalah ini, disertai dengan bukti- bukti yang valid berangkat dari dasar
bahwa tak ada hal yang sia-sia dalam Al-Qur'an. Begitu juga dengan persoalan
tikrâr atau pengulangan ayat-ayat dalam Al-Qur'an. Diperoleh banyak fungsi dan
hikmah dari bentuk ini, satunya adalah ta'kid dan tajdid bagi sebelumnya. Sebagai
contoh, pengulangan kisah-kisah dalam Al-Qur'an mengenai nabi-nabi dan umat
terdahulu.

Dari salah satu al-i`jaz yang terdapat dalam Al-Qur'an adalah pengulangan
yang terjadi pada ayat-ayatnya atau yang lebih dikenal dalam al-tikrâr. Hikmah
dari pengulagan ini antara lain keindahan dalam berbahasa dan cabang ilmu Al-
Qur'an al-tikrar. Hikmah dari pengulangan antara lain adalah penugasan
perkataan, keindahan dalam bebahasa dan kecakapan dalam retorika. Al-tikrar
dalam Al-Qur'an juga masuk dalam pembahasan mutasyabih Al-Qur'an, karena
ilmu Mutasyabih Al-Qur'an terbagi menjadi dua: pertama, mutasyabih yang
khusus pada tata letak dan susunan kalimat, contohnya: Taqdim wa Ta'khir, dzikr
wa al-hazdf dan masih banyak lagi yang semisal dengannya. Kedua, adalah
mutasyabih dengan jenis pengulangan kata yang sering kita jumpai dalam Al-
Qur'an.

Dari perbedaan seputar wawasan tikrar, jelaslah bahwa tikrar sebagai


bagian dari alat bantu memahami kitab Allah yang digunakan oleh para mufasir
dalam magnum opus tafsir-tafsir yang ada. Menarik untuk dilakukan penelitian
sekaligus menjawab anggapan bahwa sistem penulisan, penyusunan ayat dan surat
dalam Al- Qur'an dikesankan banyak sekali berita atau ayat yang berulang-ulang.
tidak sistematis dan koheren. Pengulangan dalam Al-Qur'an dikarenakan Al-
Qur'an adalah kitab cahaya dan hidayah, dan dalam memberi hidayah terkadang
suatu permasalah perlu disampaikan secara berulang. Berbeda dengan buku ilmiah
yang mana penjelasan suatu permasalahan hanya perlu sekali saja dan tidak perlu
diulang.

NAMA : ANGELINA KARUNIA PUTRI

NIM : 06040123093

PRODI : PAI

Resume Buku

 Judul Buku : Pengantar Studi Islam


 Pengarang Buku : Drs. Junaidi Rosyid, M.Ag
 Penerbit Buku : UINSA Press
 Kota Terbit : Surabaya
 Tahun Terbit : 2014
 Tebal Buku : 354 halaman

BAB I
Konsep Dasar Studi Islam
Studi Islam secara etimologi adalah terjemah dari Bahasa Arab Dirasah
Islamiyah. Sedangkan studi Islam di barat dikenal dengan istilah Islamic Studies.
Maka Studi Islam secara harfiah adalah suatu ilmu atau kajian mengenai hal-hal
yang berhubungan dengan Islam. Makna ini sangat umum sehingga dibutuhkan
spesifikasi yang lebih mendalam tentang studi Islam dalam kajian yang sistematis
dan terpadu.
Studi Islam secara sederhana dapat dikatakan sebagai usaha untuk
memahami dan mempelajari hal-hal yang berkaitan dengan agama Islam secara
mendalam, baik ajaran, sejarah maupun praktik-praktik dalam pengamalannya
secara nyata di dalam kehidupan sehari-hari.
Tujuan studi Islam bagi umat Islam adalah untuk mempelajari ajaran islam
sedangkan bagi non muslim hanya sekedar kursus ilmiah, bahkan mungkin hanya
untuk mencari kelemahan umat Islam.
Adapun pengertian Islam secara terminologi sebagaimana yang
dirumuskan para ahli, ulama dan cendekiawan bersifat sangat beragam tergantung
dari sudut pandang yang digunakan, Salah satu rumusan definisi Islam adalah
wahyu Allah yang disampaikan kepada nabi Muhammad SAW sebagaimana
terdapat dalam al-qur'an dan sunnah, berupa undang-undang serta aturan-aturan
hidup, sebagai petunjuk bagi seluruh umat manusia, untuk mencapai kesejahteraan
kedamaian hidup didunia dan akhirat."
Secara harfiyah Atho Mudzhar mengatakan bahwa objek kajian agama
Islam adalah substansi ajaran-ajaran Islam, seperti kalam, fiqih, dan tasawuf.
Dalam aspek ini, agama lebih bersifat penelitian budaya. Hal mi mengingat bahwa
ilmu-ilmu ke lslaman semacam ini merupakan salah satu bentuk doktrin yang
dirumuskan oleh penganutnya yang bersumber dari wahyu Allah melalui proses
penalaran dan perenungan. Ketika seseorang mempelajari bagaimana ajaran Islam
tentang sholat, zakat, haji, tentang konsep keesaan Allah, tentang argumen adanya
Tuhan, tentang aturan etika dan nilai moral dalam Islam, berarti ia sedang
mempelajari lslam sebagai gejala budaya.
Menurut Muhammad Nurhakim, memang Islam dipahami dari sisi ajaran,
doktrin dan pemahaman masyarakat dengan asumsi dapat diketahui tradisi dan
kekuatan masyarakat setempat. Setelah itu, pemahaman yang telah menjadi input
bagi kaum orientalis diambil sebagai dasar kebijakan oleh para penguasa kolonial
yang tentunya lebih menguntungkan mereka dibanding rakyat banyak di wilayah
jajahannya. Hasil studi ini sesungguhnya lebih menguntungkan kaum penjajah.
Atas dasar masukan ini para penguasa kolonial dapat mengambil kebijakan daerah
koloni dengan mempertimbangkan budaya lokal. Atas masukan ini, para penjajah
mampu me membuat peta kekuatan sosial masyarakat terjajah sesuai dengan
kepentingan dan keuntungannya
Menurut Muhammad Nur hakım, memang tidak semua aspek agama.
khususnya Islam dapat menjadi objek studi. Dalam konteks khusus studi Islam,
ada beberapa aspek tertentu dari Islam yang dapat menjadi objek studi, yaitu:
1. Islam sebagai doktrin dari Tuhan yang kebenarannya bagi para pemeluknya
sudah final, dalam arti absolut, dan diterima secara apa adanya.
2. Sebagai gejala budaya yang berarti seluruh apa yang menjadi kreasi manusia
dalam kaitannya dengan agama, termasuk pemahaman orang terhadap doktrin
agamanya.
3. Interaksi sosial yaitu realitas umat Islam.

Metode-metode yang digunakan untuk memahami Islam itu suatu saat


mungkin di pandang tidak cukup lagi, sehingga diperlukan adanya pendekatan
baru yang harus terus digali oleh para pembaharu Dalam konteks penelitian,
pendekatan-pendekatan (approaches) ini tentu saja mengandung arti satuan dari
teori, metode, dan teknik penelitian. Terdapat banyak pendekatan yang digunakan
dalam memahami agama. Diantaranya adalah pendekatan teologis normative,
antropologis, sosiologis, psikologis, histories, kebudayaan, dan pendekatan
filosofis. Adapun pendekatan yang dimaksud di sini (bukan dalam konteks
penelitian), adalah cara pandang atau paradigma yang terdapat dalam satu bidang
ilmu yang selanjutnya digunakan dalam memahami agama. Dalam hubungan ini,
Jalaluddin Rahmat, menandasakan bahwa agama dapat diteliti dengan
menggunakan berbagai paradigma. Realitas keagamaan yang diungkapkan
mempunyai nilai kebenaran sesuai dengan kerangka paradigmanya. Karena itu
tidak ada persoalan apakah penelitian agama itu penelitian ilmu social, penelitian
filosofis, atau penelitian legalistic
Pendekatan-pendekatan tersebut dimaksudkan bukanlah sebagai
pendekatan pendekatan yang dilaksanakan secara terpisah satu dengan yang
lainnya, melainkan merupakan satu kesatuan sistem yang dalam pelaksanaannya
secara serempak yang satu melengkapi lainnya (complement) atau merupakan
system pendekatan system (systemic approach).
Dalam hubungannya dengan Studi Islam, metodologi berarti membahas
kajian-kajian seputar berbagai macam metode yang bisa digunakan dalam Studi
Islam. Adapun metode studi Islam yang dipakai adalah sebagai berikut:

Metode Ilmu Pengetahuan

Metode ilmu pengetahuan atau metode ilmiah yaitu cara yang harus dilalui
oleh proses ilmu sehingga dapat mencapai kebenaran. Oleh karenanya maka
dalam sans-sains spekulatif mengindikasikan sebagai jalan menuju proposist-
proposisi mengenai yang ada atau harus ada, sementara dalam sams-sains
normative mengindikasikan sebagai jalan menuju norma-norma yang mengatur
perbuatan atau pembuatan sesuatu.
1. Metode Diakronis
Suatu metode mempelajari Islam menonjolkan aspek sejarah. Metode ini
memberi kemungkinan adanya studi komparasi tentang berbagai penemuan dan
pengembangan ilmu pengetahuan dalam Islam, sehingga umat Islam memiliki
pengetahuan yang relevan, hubungan sebab akibat dan kesatuan integral Metode
diakronis disebut juga metode sosio historis, yakni suatu metode pemahaman
terhadap suatu kepercayaan, sejarah atau kejadian dengan melihat suatu kenyataan
yang mempunyai kesatuan yang mutlak dengan waktu, tempat, kebudayaan,
golongan, dan lingkungan di mana kepercayaan, sejarah atau kejadian itu muncul.
2. Metode Sinkronis-Analistis
Suatu metode mempelajari Islam yang memberikan kemampuan analisis
teontis yang sangat berguna bagi perkembangan keimanan dan mental intelek
umat Islam. Metode ini tidak semata-mata mengutamakan segi aplikatif praktis,
tetapi juga mengutamakan telaah teoritis.

3. Metode Problem Solving hill al-musykilat


Metode mempelajari Islam yang mengajak pemeluknya untuk berlatih
menghadapi berbagai masalah dari satu cabang ilmu pengetahuan dengan
solusinya. Metode merupakan cara penguasaan ketrampilan dari pada
pengembangan mental-intelektual, sehingga memiliki kelemahan, yakni
perkembangan pemikiran umat Islam mungkin hanya terbatas pada kerangka yang
sudah tetap dan akhirnya bersifat mekanistis.

4. Metode Empiris
Suatu metode mempelajari Islam yang memungkinkan umat Islam
mempelajari ajarannya melalui proses realisasi, dan internalisasi norma dan
kaidah Islam dengan satu proses aplikasi yang menimbulkan suatu interaksi
sosial, kemudian secara deskriptif proses interaksi dapat dirumuskan dan suatu
norma baru.
5. Metode Deduktif (al-Manhaj al-Istinbatsyyah)
Suatu metode memahami Islam dengan cara menyusun kaidah secar logis
dan filosofis dan selanjutnya kaidah itu diaplikasikan untuk menuntukan masalah
yang dihadapi Metode ini dipakai untuk sarana meng-istinbatkan hukum-hukum
syara', dan kaidah-kaidah itu benar bersifat penentu dalam masalah-masalah furu
tanpa menghiraukan sesuai tidaknya dengan paham mazhabnya.
6. Metode Induktif (al-Manhaj al-Istiqraryvalıy)
Suatu metode memahami Islam dengan cara menyusun kaidah hukum
untuk diterapkan kepada masalah-masalah furu yang disesuaikan dengan
madzhabnya terlebih dahulu Metode pengkajiannya dimulai dari masalah-masalah
khusus, perlu dianalisis, kemudian disusun kaidah hukum dengan catatan setelah
terlebih dahulu disesuaikan dengan paham mazhabnya.

Bab II
Al-Qur’an dan Hadist
Secara etimologis Qur’an berasal dari bahasa Arab yaitu qara’a. Yang
artinya bacaan. Dari segi bahasa dapat diartikan suatu pendapat yang paling
mendekati kebenaran.
Secara terminologi Al-Qur’an adalah lafal bahasa Arab yang diturunkan
kepada Nabi Muhammad, yang di nukil secara mutawattir, termaktub di antara
dua sisi awal dan akhir, diawali dengan surat al-Fatihah dan diakhiri dengan surat
An-Nas.

Sejarah Turun dan Pembukuan Al-Qur'an


Alqur'an Pada Masa Rasulullah Saw. Al-Qur'an diturunkan secara
berangsur-angsur berupa beberapa ayat dari sebuah atau berupa sebuah surat yang
pendek secara lengkap Dan penyampaian Al-Qur'an secara keseluruhan memakan
waktu kurang lebih 23 tahun, yakni 13 tahun waktu Nabi masih tinggal di Mekkah
sebelum hijriyah dan 10 tahun waktu Nabi sesudah hijrah ke Madinah.
Wahyu ilahi yang diturunkan sebelum hijrah tersebut disebut ayat
Makiyah merupakan 19/30 darı Al-Qur'an, surat dan ayat-ayatnya pendek- pendek
dan gaya bahasanya singkat padat (jaz) karena sasaran yang pertama-tama dan
utama pada periode Mekkah ini adalah orang-orang Arab asli (suku Quraisy dan
suku-suku Arah lainnya) yang sudah tentu mereka paham benar akan bahasa
Arab. Mengenai isi surat ayat Makkiyah pada pada umumnya berupa
ajakan/seruan untuk bertauhid yang murni atau Ketuhanan Yang Maha Esa secara
murni dan juga pembinaan mental dan akhlak.
Al-Qur'an mulai diturunkan kepada Nabi Muhammad pada malam Qadar
tanggal 17 Ramadhan pada waktu Nabi telah berusia 41 tahun bertepatan dengan
tanggal 6 Agustus 610 M. Wahyu yang pertama-tama diterima oleh Nabi adalah
ayat 1-5 surat Al-Alaq, pada waktu Nabi sedang berada di gua Hira, sedang
wahyu yang terakhir adalah surat Al-Maidah 3. pada waktu Nabi sedang berwukuf
di Arafah melakukan Haji Wada pada tanggal 9 Djulhujah tahun kesepuluh
Hijriyah 7 Maret 632 M. Antara wahyu pertama dan wahyu terakhir yang diterima
Nabi berselang kurang lebih 23 tahun.
Secara garis besar, hukum-hukum yang terkandung dalam Al-Qur'an dapat
dikelompokkan dalam tiga hal. Pertama, hukum-hukum yang berkenaan dengan
tiqad (keyakinan), yaitu hukum-hukum yang berhubungan dengan iman kepada
Allah SWT. Malaikat malaikat-Nya dan Rasul-rasul-Nya Inilah yang menjadi
pembahasan ilmu kalam (Ushül al-din). Kedua, hukum-hukum yang berkenaan
dengan akhlaq (etika), yaitu hukum-hukum yang berhubungan dengan perilaku
hati yang mengajak manusia untuk berakhlaq mulia dan berbudi luhur. Ini adalah
pembahasan ilmu akhlaq. Ketiga, hukum-hukum yang berkenaan dengan
amaliyyah (tindakan praktis), yaitu hukum-hukum yang berhubungan dengan
semua tindakan yang dilakukan oleh manusia secara nyata, meliputi ucapan serta
perbuatan yang berhubungan dengan perintah, larangan dan penawaran yang
terdapat dalam Al-Qur'an. Hal inilah yang menjadi pembahasan ilmu fiqh.
Keempat, mentakhsis hukum dengan asbab al-nuzül ayat, menurut orang-orang
yang memiliki pandangan bahwa yang dijadikan standar hukum adalah khushús
al-sababi spesifikasi latar belakang turunnya ayat). bukan umim al-Halzh
(keumuman cakupan teks ayat) Kelima. Mengetahui bahwa sebab turunnya ayat
tidak keluar dari cakupan keumuman hukumnya walaupun ada keterangan yang
mentakhshish keumuman ayat. Sehingga tatkala sebab turunnya ayat diketahui,
maka rakhshish hanya berlaku pada selain kasus yang melatarbelakangi turun
turunnya ayat. Karena tercakupnya kasus ketika ayat turun dalam keumuman
redaksi lafazh merupakan sesuatu yang qath' (pasti), dan mengeluarkannya dari
cakupan keumuman berdasarkan ijtihad adalah tidak diperbolehkan Keenam,
mengetahui perihal apa dan tentang siapa ayat diturunkan Ketujuh, secara
psikologis, dapat memudahkan penghafalan dan menancapkan kefahaman bagi
orang yang mendengarkan ayat sekaligus mengetahui latar belakang turunnya.
Karena sebab dan hukum terkait dengan peristiwa yang melatarbelakanginya
Sedangkan suatu peristiwa terkait dengan tokoh pelaku, dimensi ruang dan
waktunya. Hal-hal inilah yang menjadi faktor kuatnya ingatan, serta kemudahan
mengingatnya saat mengingat kaitan peristiwanya.
Hukum dalam perspektif Islam merupakan bagian integral yang tida
terpisahkan dari totalitas sistem ajaran Islam. Konsep hukum Islam dala
pandangan Nirwan Syafrin, dianggap memiliki keunikan. Dikatakan un karena
bersumber secara langsung kepada Allah. Dalam konsep Islam hanya Allah yang
berhak memutuskan atau menetukan sesuatu. Oleh karena it para ulama telah
sepakat bahwa hadis tidak dapat menasakhkan Al Quran.Ulama telah sepakat
bahwa Al Quran bisa dibuat dalil. Berijtihad hukum dan wajib diamalkan Seperti
yang dikatakan Abdul Wahhab Khallaf sebagai berikut: "Alasan bahwa Al Quran
adalah hujjah bagi umat manusia dan bahwa hukum yang dikandungnya adalah
undang-undang yang wajib ditaati talah karena Al Quran itu datang dari Allah dan
diturunkan kepada manusia dengan jalan yang pasti yang tidak diragukan
keabsahannya Sedang bukti atau alasan kalau Al Quran datang dari Allah SWT,
ialah bahwa Al Quran itu jaz atau membuat orang tidak mampu mendatangkan
atau membuat yang seperti Al Quran 'jaz tidak berpengaruh kecuali dengan tiga
syarat", yaitu:
1. Tantangan, artinya harus ada perlawanan.
2. Adanya ungkapan dari penantang.
3. Tidak ada penghalang untuk melakukan perlawanan
Ketika Nabi mengatakan pada kaum Quraisy bahwa beliau telah diutus
oleh Allah dengan bukti turunnya Al Quran yang langsung dari-Nya.
Pada umumnya, para ulama mendefinisikan al-hadist dengan al-sunnah.
Sunnah secara etimologi berarti cara atau jalan hidup yang biasa di praktekkan,
baik ataupun buruk. Sedangkan secara terminologi, sunnah adalah segala sesuatu
yang dinisbatkan (disandarkan) kepada Nabi saw., baik perkataan (qauli),
perbuatan (fi'i), sikap/ketetapan (taqriri) maupun sifat fisik dan psikis Rasulullah
saw., baik beliau sebelum menjadi nabi maupun sesudahnya.
Sunnah adalah sumber hukum Islam (pedoman hidup kaum Muslimin)
yang kedua setelah Al-Qur'an. Bagi mereka yang telah beriman terhadap Al-
Qur'an sebagai sumber hukum Islam, maka secara otomatis harus percaya bahwa
Sunnah juga merupakan sumber hukum Islam setelah al-Qur'an.

Bab III
Ijtihad
Pada umumnya, para ulama mendefinisikan al-hadist dengan al-sunnah.
Sunnah secara etimologi berarti cara atau jalan hidup yang biasa dipraktekkan,
baik ataupun buruk. Sedangkan secara terminologi, sunnah adalah segala sesuatu
yang dinisbatkan (disandarkan) kepada Nabi saw., baik perkataan (qauli),
perbuatan (fi'i), sikap/ketetapan (taqriri) maupun sifat fisik dan psikis Rasulullah
saw., baik beliau sebelum menjadi nabi maupun sesudahnya.
Sunnah adalah sumber hukum Islam (pedoman hidup kaum Muslimin)
yang kedua setelah Al-Qur'an. Bagi mereka yang telah beriman terhadap Al-
Qur'an sebagai sumber hukum Islam, maka secara otomatis harus percaya bahwa
Sunnah juga merupakan sumber hukum Islam setelah al-Qur'an.
Secara etimologis, ijtihad berarti bekerja-keras, bersungguh-sungguh atau
mencurahkan segala kemampuan sampai pada batas yang maksimal Secara teknis,
ijtihad meliputi tiga dimensi pengertian Pengertian menurut kata kerja, menurut
kata benda, dan menurut kata sifat, Pertama, pengertian menurut kata kerja, ijtihad
adalah "mencurahkan kemampuan maksimal oleh seorang ahli hukum (faqih)
untuk meng-istinbath-kan ketentuan-ketentua hukum syara yang rincı dari dalil-
dalilnya, yakni menyangkut perbuatan manusia dengan manusia lain dan alam
(muamalat). Kedua, pengertian menurut kata benda, jtihad adalah hasil kerja
intelektual seorang ahl hukum dalam menyimpulkan ketentuan-ketentuan hukum.
Pengertian menurut kata sifat, jtihad adalah kata yang menunjukkan sifat seorang
mujtahid, yaitu "kecakapan yang dengannya seorang ahli hukum mampu
menyimpulkan suatu ketentuan hukum syara' darı dalil-dalilnya."
Dilihat dari asal katanya, ijtihad berasal dari kata "al jahdu" dan "al juhdu
yang berarti "daya upaya" dan "usaha keras", adapun definisi Ijtihad menurut
istilah mempunyai dua pengertian arti luas dan arti sempit, ijtihad dalam arti luas
tidak hanya mencakup pada bidang fiqh saja, akan tetapi juga masuk ke aspek-
aspek kajian islam yang lain, seperti tasawuf dan aqidah.
Sementara itu Dasar Ijtihad sebagai salah satu sumber hukum dari sumber-
sumber hukum syari'ah merupakan sebuah pernyataan yang didasarkan pada dalil-
dalil yang menunjukkan kevalidannya, baik dalil yang bersifat isyarat ataupun
jelas eksplisit. Di antara dalil-dalil yang menunjukan hal tersebut. didasarkan
pada dalil naqlı al-Qur'an, di antaranya Allah berfirman. "Apabila mereka
menyerahkannya kepada Rasul dan ulil amri di antara mereka, tentulah orang-
orang yang ingin mengetahui kebenarannya akan dapat mengetahuinya (secara
resmi) dari mereka (Rasul dan ulil amri)," Kemudian firman-Nya, "Sesungguhnya
Kami telah menurunkan al-Kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya
kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan
kepadamu." Ayat ini menjustifikasi eksistensi ijtihad dengan cara qiyas.
Kemudian firman-Nya, "Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-
tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan Al-Qur'an dan al sunnah).
Kedua, thad Qiyasi, yang atin fitibad yang dilakukan untuk menggali dan
menemukan huk terhadap permasalahan atau suatu kejadian yang tidak ditem
dalilnya secara tersurat dalam nash-baik garhi juga tidak ada ijma yang telah
menetapkan hukumnya. Ketiga ijtihad Istishlali, yaitu ijtihad yang dilakukan
untuk menggunakan, menemukan, dan merumuskan hukum syar'i dengan ca
menetapkan kaidah kulli untuk kejadian yang ketent hukumnya tidak terdapat
dalam nash-baik qath 'imaupun zam dan tidak memungkinkan mencari kaitannya
dengan nash yay ada, juga belum diputuskan dalam ijma. Berijtihad merupakan
penggalian hukum yang dilakukan pad masa Rasulullah SAW, dan oleh para
sahabat dan genera setelahnya, sebagai ciri khas yang selaras dalam
menyimpulkan suatu hukum syar'ı yang ditetapkan di dalam Islam. Ada dua syarat
saja bagi seorang mujtahid untuk bisa berijtihad Pertama menguasai pengetahuan-
pengetahuan ilmu syara (agama), yang memungkinkan seorang mujtahid bertindal
proporsional dalam meneliti suatu persoalan, yaitu ia be mendahulukan apa yang
mesti didahulukan, dan mengakhirka apa yang mesti diakhirkan, Kedaa, seorang
mujtahid mestila seorang yang adil dan menjauhi kemaksiatan-kemaksiatan yang
tercela. Selanjutnya ia menjelaskan bahwa syarat yang (adit) adalah merupakan
syarat diterimanya fatwa, bukan syarat sahnya ijtihad. Oleh karena itu, jika
seseorang mendalam ibnya, tetapi ia tidak menggambarkan keadilan dirinya, maka
ia berijtihad untuk dirinya saja, tidak untuk yang lainnya dalam Ijtihad memiliki
pengertian mengerahkan segala kemampuan untuk mencapai tujuan Ijtihad
merupakan sumber hukum ketiga setelah Al-qur'an dan Al-hadits yang
mendapatkan legitimasi dari keduanya.
Ijtihad mempunyai dua pengertian, yakni (1) umum (tidak terbatas) dan
(2) khusus dan terbatas. Dalam pengertian umum. ijtihad mengacu kepada
penalaran (upaya pemikiran) untuk menentukan pilihan ketika seseorang tidak
memiliki pegangan yang meyakinkan sehubungan dengan pelaksanaan ibadah
ataupun muamalah tertentu, sehingga ia harus mempunyai sangkaan kuat yang
dapat dijadikannya pegangan dalam kegiatan tersebut. Ijtihad dalam perspektif
pemikiran merupakan keharusan individual (fardu ain) yang menyangkut
kepentingan diri-sendiri.
Ijtihad terbagi menjadi 3 bagian dilihat dari segi dalil yang dijadikan
pedoman. Yang pertama, Ijtihadbayani, yaitu ijtihad untuk menjelaskan hukum-
hukum syara' darı nash-nash syari.

BAB IV
Akidah dan Syari’ah
Secara etimologi aqidah berasal dari kata al-Aqd yaitu ikatan, pengesahan,
menjadi kokoh,, kuat, penguatan dengan kuat dan penetapan. Aqidah artinya
ketetapan yang tidak ada keraguan bagi seseorang yang mengambil keputusan.
Sedangkan pengertian aqidah dalam agama adalah berkaitan dengan keyakinan
bukan perbuatan. Seperti aqidah dengan Allah dan kepada Rasul.
Aqidah Islamiyah merupakan keimanan yang teguh dan pasti bersifat
kepada Allah dengan segala pelaksanaan kewajiban, bertauhid dan taat kepada-
Nya , beriman kepada malaikat-malaikat-Nya, Rasul-rasul-Nya, Kitab-Nya, hari
akhir, Qadha dan Qadar. Sebagaimana seperti yang telah shahih dalam prinsip
agama (Ushuluddin, perkara-perkara ghaib, , beriman kepada yang menjadi
konsesus, dan Salafus sahih, serta seluruh berita-berita qat’i (pasti), baik secara
ilmiah maupun secara amaliyah yang ditetapkan menurut Al-Qur’an dan As-
Sunnah yang sahih dan ijma’.
Aqidah adalah dasar, fondasi untuk mendirikan bangunan. Semakin tinggi
bangunan yang didirikan harus semakin kokoh pula fondasi yang dibuat. Klau
fondasinya lemah bangunan itu cepat ambruk. Tiada bangunan tanpa fondasi.
Jika ajaran Islam kita di bagi dalam sistematika Aqidah Ibadah Akhlak dan
Muamalat, atau Aqidah Syariah dengan Akhlak atau Iman Islam dan Ihsan, maka
keiga aspek tersebut tidak dapat dipisahkan. Seseorang yang memiliki aqidah
yang kuat, pasti akan melaksanakan aqidah dengan tertib, memiliki akhlak yang
mulia dan bermuamalat dengan baik. Ibadah seseorang tidak akan diterima oleh
Allah kalau tidak di landasi dengan aqidah.

Ruang Lingkup Aqidah Islam

Menurut Hasan al-Banna sistematika ruang lingkup aqidah adalah

1. Ilahiyat
Yaitu pembahasan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan Ilahi
seperti wujud Allah dan sifat-sifat Allah dan lain-lain.
2. Nubuwat
Yaitu pembahasan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan nabi
dan rasul, termasuk pembahasan kitab Allah , mukjizat dan lain
sebagainya.
3. Ruhaniyat
Yaitu pembahasan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan alam
metafisik seperti malaikat, jin, iblis, syaiton, ruh dan lain sebagainya.
4. Sam’iyyat
Yaitu segala pembahasan tentang berbagai sesuatu yang hanya dapat
diketahui lewat dali naqli berupa Al-Qur’an dan As-Sunnah . Seperti alam
akhirat, azab kubur, tanda-tanda kiamat, surga dan neraka dan lain
sebagainya.

Rukun Iman

Iman itu memiliki rasa, manis dan hakikat.

Adapun rasa imam, maka Nabi Saw, menjelaskan dengan sabda-Nya “ Yang
merasakan nikmatnya iman adalah orang yang ridha kepa Allah SWT sebagai
Tuhan-Nya, Islam sebagai agama, dan Muhammad Saw sebagai Rasul.”

Adapun manisnya iman, maka Nabi menjelaskan dengan sabdanya “ Ada tiga
perkara jika terdapat pada diri seseorang, niscaya dia merasakan nikmatnya iman
bahwa Allah SWT dan Rasul-Nya Saw lebih dicintainya dari apapun selain
keduanya, dia tidak mencintai seseorang kecuali Allah SWT. Dan dia benci akan:
1. Kembali kepada kekafiran sebagaimana dia benci dilemparkan dalam api
neraka.
2. Hakikat imam bisa didapatkan oleh orang yang memiliki hakikat agama.
Berdiri tegak memperjuangkan agam dalam ibadah, dakwah, berhijrah,
menolong, berjihad, dan berinfak.

Prinsip Aqidah Islam

Aqidah Islam prinsipnya adalah iman kepada Allah SWT, iman kepada
malaikat-Nya, iman kepada kitab-kitab-Nya, iman kepada Rasul-Nya, iman
kepada hari akhir, dan iman kepada Qadha dan Qadar. Dasar-dasar ini telah
ditunjukkan oleh Kitabullah dan sunah Rasul-Nya.

Syari’ah
Istilah Syari’ah berasal dari bahasa Arab yaitu syara’aa yang berarti
sesuatu yang dibuka secara lebar kepadanya. Bisa diartikan jalan menuju mata air,
jalan lurus dan jalan terang untuk diikuti, jalan yang jelas yang membawa kepada
kemenangan.
Dalam pengertian terminologis, syari’at merujuk pada perintah-perintah,
larangan-larangan, tuntunan dan petunjuk yang dialamatkan Allah kepada
manusia agar mendapatkan bimbingan didunia dan kebahagiaan di akhirat. Tujuan
dari syariat adalah supaya manusia mampu mengalahkan dorongan hawa, yaitu
nafsu dan keinginan yang tak terkendali, sehingga tetap berada dalam jalan
kebaikan dan kebenaran.

Hubungan Aqidah Dengan Syariat

Istilah aqidah jika disebutkan secara umum berarti menyangkut pokok-


pokok dan hukum-hukum syariat dan keharusan dalam mengamalkannya. Oleh
karena itu perkara-perkara keimanan dan pokok-pokok serta hukum-hukum
syariat yang pasti adalah aqidah. Dengan demikian maka aqidah dan syariat
merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dalam satu kesatuan.
Sebagaimana telah diketahui bahwa iman itu meliputi keimanan dan amalan.
Keyakinan inilah yang di sebut dengan syariat. Karena memang iman itu, jika
disebutkan secara mutlak maka ia mencakup keyakinan amalan.

Sumber Syari’ah Islam

Ada dua sumber syari’ah dipahami sebagai Hukum Ilahi yaitu Al-Qur’an
dan As-Sunnah. Menurut Muslim, Al-Qur’an adalah firman Allah yang tidak
dapat di ubah, sebagian besa aturan-aturan, nilai-nilai moral dalam Al-Qur’an
mengharuskan umat muslim mengikuti masih Ijmali, hanya 80 ayat Al-Qur’an
yang mengandung konsep hukum. As-Sunnah adalah kehidupan dan contoh dari
Nabi Muhammad, pentingnya As-Sunnah merupakan sumber syariat.
Syari’ah Islam merupakan ketentuan dan hukum yang ditetapkan oleh
Alllah atas hamba-hamba-Nya yang diturunkan melalui Rasul-Nya, Muhammad
SAW untuk mengatur hubungan manusia dengan tuhannya dengan dirinya sendiri
dan dengan sesama.

BAB V

Akhlak dan Tasawuf

Secara etimologi akhlak berasal dari bahasa Arab bentuk jama dari
akhlaqa. Bentuk tunggal dari khulqu yang memiliki beberapa artinya perangai,
budi, dan adab. Namun akar kata akhlaq dari akhlaqa bukan akhlaq tetapi ikhlaq.
Dari segi terminologi, terdapat beberapa pengertian akhlaq, yaitu akhlak
adalah sifat yang tertanam dalam jiwa yang mendorongnya untuk melakukan
perbuatan tanpa memerlukan pemikiran dan pemahaman. Menurut pengertian lain
akhlak adalah sifat yang tertanam dalam jiwa, yang dengan lahiriah macam-
macam perbuatan, baik atau buruk tanpa memerlukan pertimbangan dan
pemikiran.

Menurut Abudin Nata, ada lima ciri yanng terdapat dalam perbuatan akhlaq, yaitu

1. Akhlaq adalah perbuatan yang telah tertanam kuat dalam jiwa seorang,
sehingga telah menjadi kepribadiannya.
2. Akhlaq adalah perbuatan yang dilakukan dengan cara yang mudah dan
tanpa pemikiran.
3. Akhlak adalah perbuatan yang timbul dari dalam diri pelakunya tanpa ada
paksaan ataupun tekanan dari luar.
4. Akhlak adalah perbuatan yang dilakukan dengan sesungguhnya, bukan
main-main atau karena sandiwara.
5. Akhlak adalah perbuatan yang dilakukan dengan ikhlas semata-mata
karena Allah, bukan karena ingin dipuji orang lain.

Ruang Lingkup Akhlaq

1. Menyelidiki sejarah etika dan teori lama dan baru tentang tingkah laku
manusia.
2. Menerangkan mana akhlaq yang baik dan yang buruk
3. Menegaskan arti dari tujuan hidup yang sebenarnya sehingga manusia
akan aktif mengerjakan kebaikan dan menjauhi perbuatan tercela.

Pokok-pokok yang dibahas dalam ilmu akhlaq pada intinya adalah


perbuatan manusia. Perbuatan tersebut ditentukan kriterianya apakah baik atau
buruk berdasarkan tolak ukur agama Islam. Jadi ruang lingkup akhlak meliputi
akhlak dengan etika itu sama, hanya bedanya pafda tolak ukur yang digunakan
untuk menilai baik atau buruk manusia tersebut. Namun jika akhlaq menggunakan
tolak ukur agama, sedangkan etika tolak ukurnya melalui akal (rasional).

Kedudukan Akhlak Dalam Syariat

Agama Islam memiliki ajaran yang mencakup seluruh aspek kehidupan


manusia, yang mencakup aspek jasmani, ruhani, lahir dan batin. Secara gari besar,
dasar-dasar ajaran Islam itu meliputi: aqidah, syahri’ah dan akhlaq. Dasar-dasar
tersebut sudah menjadi satu kesatuan yang utuh.

Akhlak dan Ihsan adalah dua kesatuan yang beda pada suatu sistem yang
lebih besar yang disebut dengan akhlakul karimah. Dengan arti lain, akhlaq adalah
perilaku yang mencerminkan struktur pada pola perilaku manusia dalam segala
aspek kehidupan.

Akhlaq Sebagai Ilmu Pengetahuan

Dengan demikian jelaslah nilai kegunaan akhlaq itu, selain untuk


mengendalikan tindakan lahir juga mengendalikan tindakan batin. Karena
tindakan lahir tidak akan terjadi jika tidak ada instruksi dari batin atau hati. Maka
tindakan batin juga termasuk yang diatur oleh akhlaq. Nilai kegunaan akhlaq
dapat disimpulkan bahwa, memberikan dasar-dasar berperilaku terpuji sesuai
dengan norma-norma agama.

Pengertian Tasawuf
Kata tasawuf diambil dari kata safa yang artinya bersih, disebut safa
karena kesucian batin seorang sufi memiliki iman yang kuat, jiwa yang bersih dan
seorang sufi senantiasa memilih barisan terdepan dalam shalat berjamaah.

Lahirnya Ajaran Tasawuf

Istilah tasawuf yang sama sekali tidak dikenal di zaman sahabat bahkan
tidak dikenal di zaman tiga generasi yang utama. Ajaran ini baru ada sesudah
zaman tiga generasi. Kemudian Ibnu Timiyah menjelaskan bahwa ajarannya
pertam kali muncul di kota Bashrah, Iraq yang dimulai dengan timbulnya sikap
zuhud dan ibadah yang tidak terdapat di kota-kota islam lainnya.

Orang-orang yang menisbatkan diri kepada aliran ini mulai mencari


kelonggaran dengan mendengarkan nyanyian dan melakukan tari-tarian, sehingga
orang-orang awam yang cenderung kepada akhirat tertarik kepada mereka karena
menampakkan sifat zuhud, dan orang-orang yang cinta dunia pun tertarik kepada
mereka karena melihat gaya hidup yang suka bersenang-senang.

Pembagian Tasawuf

Dilihat dari pembagiannya tasawuf itu sendiri dibagi menjadi dua yaitu,
tasawuf akhlaqi dan tasawuf filsafati.

Tasawuf akhlaqi adalah tasawuf yang membahas pada teori-teori, perilaku,


budi pekerti atau perbaikan akhlaq. Dengan metode tersebut tasawuf seperti ini
berupaya untuk menghindari akhlaq madzmumah dan menciptakan akhlaq
mahmudah. Sedangkan tasawuf filsafati adalah tasawuf yang ajarannya antara visi
mistis dan visi rasional pengagasnya. Tasawuf ini didasarkan kepada teori-teori
tasawuf dan filsafat atau yang bermakna mistik metafisis, karakter umum sari
ttasawuf ini.

Sumber Tasawuf
Adakalanya bersumber dari Al-Qur’an dan Sunnah nabi, bersumber dari
luar islam, bersumber dari ajaran Nasrani, bersumber dari ajaran Yunani,
bersumber dari ajaran Hindu-Budha.

BAB VI

Sejarah Pra Islam dan Islam Klasik

Keadaan Geografis Bangsa Arab Sebelum Islam

Semenanjung Arab adalah semenanjung yang terletak di sebelah barat


daya Asia Wilayahnya memiliki luas 1745,900 kilometer persegi Semenanjung ini
dinamakan jazirah karena tiga sisinya berbatasan dengan air, yakni di sebelah
timur berbatasan dengan teluk Oman dan teluk Persi, di sebelah selatan berbatasan
dengan Samudra Hindia dan teluk Aden, di sebelah barat berbatasan dengan laut
merah. Hanya di sebelah utara, jazirah ini berbatasan dengan daratan atau padang
pasir Irak dan Syina.

Secara geografis, daratan jazirah Arab didominası padang pasir yang luas,
serta memiliki iklim yang panas dan kering Hampir loma per enam daerahnya
terdiri dari padang pasir dan gunung batu Luas padang pasir ini diklasifikasikan
Ahmad Amun sebagai berikut:

1. Sahara langit, yakni yang memanjang 140 ml dari utara ke selatan dan 180
mil dari timur ke barat Sahara ini disebut juga sahara Nufud Di daerah ini,
jarang sekali ditemukan lembah dan mata ait. Angin disertai debu telah
menjadi ciri khas suasana di tempat ini. Hal itulah yang menyebabkan
daerah ini sulu dilalui.
2. Sahara Selatan, yakni yang membentang dan menyambung Sahara Langit
ke arah timur sampai selatan Persia Hampir seluruhnya merupakan dataran
keras, tandus, dan pasır bergelombang Daerah ini juga disebut dengan
daerah sepi (al-Ruh al-Khali. Sahara Harrat, yakni suatu daerah yang
terdiri dari tanah liat berbatu 3 hitam. Gugusan batu-batu hitam itu
menyebar di seluruh sahara ini.

Pembagian Bangsa Arab

Bangsa Arab adalah bangsa tertua yang hidup setelah banjir (Nabi Nuh
AS). Mereka berasal dari keturunan Yaqzhan atau Qathan, Bangsa Arab adalah
bangsa yang memiliki kelebihan fisik dan keberanian yang handal. Para ahli
sejarah membagi bangsa Arab menjadi tiga bagian, yaitu: Arab Ba'idah (yang
punah) Arab Aribah ( leluhur asli bangsa Arab) dan Arab Musta ribah
(Campuran).

1. Arab Ba'idah
Arab Ba'idah adalah nenek moyang bangsa Arab yang jejak sejarahnya secara
rinci telah hilang tertekan zaman, karena sudah jauh masanya, sementara tidak
ada alat-alat ilmu pengetahuan yang bisa digunakan untuk menyelidiki bekas-
bekas peninggalan mereka. Mereka antara lain adalah kaum 'Ad, Tsamud,
Thusam, dan Jurium pertama.
2. Arab "aribah
Arab aribah, mereka adalah keturunan Saba'. Nama aslinya "Abdu Syams bin
Yasjub bin Ya'rib bin Qathan, Dinamai Saba' karena dia gemar berperang dan
menawan musuh. Menawan bahasa Arabnya Saba'. Anaknya banyak, antara
lain: Himyar, kahlan, Umar, Asy'ar, dan Amilah, Seluruh kaum Tubba di
Yaman berikut raja-rajanya adalah keturunan Saba. Mereka semua berasal dari
keturunan Hamyar bin Saba', kecuali Imran dan Mauzriqia, Keduanya adalah
anak-anak Amir bin Hartsalı binUmru' Al- Qais bin Tsalah bin Mazin bin Al-
Uzd dan Al-Uzd adalah anak Kahlan binSaba Mereka di sebut "Aribah, karena
tinggal di pedalaman, bekas temp tinggal Arab Ba'idah, dan mewarisi tradisi-
tradisnya.

3. Arab Mustaribah
Arab Mustaribah yaitu menjadi arab atau peranakan di sebut demi karena
waktu jurhum dari suku bangsa Qarhan mendiarni Mekkah, tinggal bersama
nabi Ismail dan ibunya Siti Hajar, Nabi Ismail yang b keturunan Arab,
mengawini wanita suku Jurkum. Arab Musta ribah sen juga disebut Bani
Ismail bin Ibrahim ismail (Adnaniyyun)."

Sistem Politik atau Pemerintahan Bangsa Arab sebelum Islam

Sebagaimana telah disinggung di atas bahwa sebagian besar dari Arab


adalah daerah gersang dan tandus, kecuali daerah Yaman yay terkenal subur.
Ditambah lagi dengan kenyataan luasnya daerah di tenga Jazirah Arab, bengisnya
alam, sulitnya transportasi, dan merajalelanya badui yang merupakan faktor-faktor
penghalang bagi terbentuknya sebuah negara kesatuan serta adanya tatanan politik
yang benar. Mereka tidak mungkin menetap, Mereka hanya bisa loyal ke
kabilahnya. Oleh karena itu mereka tidak akan tunduk ke sebuah kekuatan politik
di luar kabilahnya yang menjadikan mereka tidak mengenal konsep negara.

Kehidupan Sosial dan Budaya Masyarakat Bangsa Arab mempunyai akar


panjang dalam sejarah. Mereka termasuk ras atau rumpun bangsa kaukasoid,
sebagaimana ras-ras yang mendiami daerah Mediteranian, Nordic, Alpine dan
Indic. Bangsa Arab hidup berpindah-pindah (nomad). Demikian ini karena
kondisi tanah tempat mereka hidup terdiri dari gurun pasir kering dan minim turun
hujan. Perpindahan mereka dari satu tempat ke tempat lain mengikuti tumbuhnya
steps (padang rumput) yang muncul secara sporadis di sekitar oasis atau genangan
air setelah turun hujan. Padang rumput diperlukan badui Arab untuk kebutuhan
makan binatang ternak seperti kuda, onta dan domba. Akibat tradisi peperangan
ini, kebudayaan mereka tidak berkembang Karena itu, bahan-bahan sejarah Arab
pra Islam langka didapatkan di dunia Arab dan dalam bahasa Arab. Ahmad
Shalabi menyebutkan, sejarah mereka hanya dapat diketahui dari masa kira-kira
150 tahun menjelang lahirnya agama Islam. Pengetahuan itu diperoleh melalui
syair-syair yang beredar di kalangan para perawi syair. Dengan begitulah sejarah
dan sifat masyarakat Arab dapat diketahui, yang antara lain bersemangat tinggi
dalam mencari nafkah, sabar menghadapi kekerasan alam, dan juga dikenal
sebagai masyarakat yang cinta kebebasan.
Dengan kondisi alami yang seperti tidak pernah berubah itu. masyarakat
badui pada dasarnya tetap berada dalam fitrahnya. Kemurniannya terjaga, jauh
lebih murni dari bangsa-bangsa lain. Dasar- dasar kehidupan mereka mungkin
dapat disejajarkan dengan bangsa-bangsa yang masih berada dalam taraf
permulaan perkembangan budaya, Bedanya dengan bangsa lain, hampir seluruh
penduduk badui adalah penyair.

Kondisi Perekonomian

Perdagangan merupakan unsur penting dalam perekonomian masyarakat


Arab pra Islam. Kemajuan perdagangan bangsa Arab pra Islam dimungkinkan
antara lain karena pertanian yang telah maju ditandai dengan adanya kegiatan
ekspor-impor, pengadaan transaksi dengan Hindia, Afrika, dari Persia, Komoditas
ekspor Arab selatan dan Yaman adalah dupa, kemenyan, kayu gaharu, minyak
wangi, kulit binatang, buah kismis, dan anggur. Sedangkan yang mereka impor
dari Afrika adalah kayu, logam, budak; dari Hindia adalah gading, sutra, pakaian
dan pedang, dari Persia adalah intan.

Faktor-faktor yang mendorong kemajuan perdagangan Arab pra Islam


sebagaimana dikemukakan Burhan al-Din Dallu adalah sebagai berikut:

1. Kemajuan produksi lokal serta kemajuan aspek pertanian.


2. Adanya anggapan bahwa pedagang merupakan profesi yang paling bergengsi.
3. Terjalinnya suku-suku ke dalam politik dan perjanjian perdagangan lokal
maupun regional antara pembesar Hijaz di satu pihak dengan penguasa Syam,
Persia dan Ethiopia di pihak lain.
4. Letak geografis Hijaz yang sangat strategis di jazirah ArabMundurnya
perekonomian dua imperium besar, Byzantium dan Sasaniah, karena
keduanya terlibat peperangan terus menerus
5. Jatuhnya Arab selatan dan Yaman secara politis ke tangan orang Ethiopia
pada tahun 535 Masehi dan kemudian ke tangan Persia pada tahun 257 M.
6. Dibangunnya pasar lokal dan pasa musiman di Hijaz, seperti Ukaz, Majna, Zu
al-Majaz, pasar bani Qainuna, Dumat al-Jandal, Yanmamah dan pasar Wahat.
7. Terblokadenya lalu lintas perdagangan Byzantium di utara Hijaz dan laut
merah.
8. Terisolasinya perdagangan orang Ethiopia di laut merah karena diblokade
tentara Yaman pada tahun 575 M²
Dengan posisi Mekkah yang sangat strategis sebagai pusat perdagangan
bertaraf internasional, walaupun kenyataan yang tidak dapat dipungkiri adalah
pada mulanya para pedagang Quraish merupakan pedagang eceran, tetapi dalam
perkembangan selanjutnya orang-orang Mekkah memperoleh sukses besar,
sehingga mereka menjadi pengusaha di berbagai bidang bisnis.

Keberagamaan Masyarakat Arab sebelum Islam

Penduduk Arab menganut agama yang bermacam-macam. Paganisme,


Yahudi, dan Kristen merupakan ragam agama orang Arab pra Islam. Pagan adalah
agama mayoritas mereka. Ratusan berhala dengan bermacam-macam bentuk ada
di sekitar Ka'bah. Setidaknya ada empat sebutan bagi berhala- hala itu: shanam,
wathan, nushub, dan hubal. Shanam berbentuk manusia dibuat dari logam atau
kayu. Wathan juga dibuat dari batu. Nushub adalah batu karang tanpa suatu
bentuk tertentu. Hubal berbentuk manusia yang dibuat dari batu akik. Dialah dewa
orang Arab yang paling besar dan diletakkan dalam Ka'bah di Mekah. Orang-
orang dari semua penjuru jazirah datang berziarah ke tempat itu. Beberapa kabilah
melakukan cara-cara.

Salah satu corak beragama yang ada sebelum Islam datang selain tiga
agama di atas adalah Hanifiyah, yaitu sekelompok orang yang mencari agama
Ibrahim yang murni yang tidak terkontaminasi oleh nafsu penyembahan berhala-
berhala, juga tidak menganut agama Yahudi ataupun Kristen, tetapi mengakui
keesaan Allah. Mereka berpandangan bahwa agama yang benar di sisi Allah
adalah Hanifiyah, sebagai aktualisasi dari millah Ibrahim, Gerakan ini menyebar
luas ke pelbagai penjuru Jazirah Arab khususnya di tiga wilayah Hijaz, yaitu
Yathrib, Thaif, dan Mekah.
Masa klasik Islam dimulai dengan hijrah Nabi Muhammad saw. dari
Mekkah ke Medinah di tahun 622 M., yaitu masa dimana ketika nabi Muhammad
SAW diutus menjadi Rasul. Diteruskan dengan masa pengganti dari pada Nabi
Muhammad (Khulafaurrosyidin). Masa pergantian ini merupakan sejarah awal
demokrasi dalam Islam. Berkembangnya dinasti Islam yang menjadikan
perkembangan Islam lebih tampak karena pada masa ini banyak ide-ide batu
muncul dalam mengatur pemerintahan apakah dalam bidang administrasi,
pendidikan, sosial, kebudayaan dan penggajian pertama bagi pegawai.

BAB VII

Sejarah Islam Abad Pertengahan dan Islam Modern

Puncak kejayaan Abbasiyah, dianggap sebagai puncak peradaban islam.


Karena masa Abbasıyah muncul sedemikian banyak produk budaya yang
menghantarkan umat islam mencapai puncak kejayaan

Islam Abad pertengahan ditengarat dengan masa kemundorn Islam


pertama, munculnya tiga kerajaan besar, Keraja Uthmani di Turki, Kerajaan
Safawi di Iran dan Kerajaan Mughal di India

Masa kemunduran Islam di ketahui dengan adanya penyerangan bangsa


Mongol atas kerajaan-kerajaan Islam. penyerangan Timur Lenk, dan berdirinya
kerajaan Mamaluk di Mesir menggantikan dinastı Fatimiyah di Baghdad.

Munculnya tiga kerajaan besar Islam merupakan babak baru sejarah Islam
pada abad pertengahan. Kerajaan Uthmani di Turki, Kerajaan Safawi di Iran dan
Kerajaan Mughal di India. Masa modern Islam abad pertengahan merupakan
Zaman Kebangkitan Islam. Ekspedisi Napoleon di Mesir yang berakhir di tahun
1801 M. membuka mata dunia Islam, terutama Turki dan Mesir, akan
kemunduran dan kelemahan umat Islam di samping kemajuan dan kekuatan Barat.

Pada era Islam Masa Modern atau Islam Pada abad ke-19 dan 20 atau yang
lebih dikenal dengan era modern diwarnai dengan kemerdekaan negara-negara
Islam. Tumbuhnya nasionalisme, munculnya tokoh pembaharuan pemikiran baik
di bidang politik, pembaharuan aqidah dan pendidikan.

BAB VIII

Islam di Asia Tenggara

Sejarah Masuknya Islam Di Filipina

Dalam bukunya yang berjudul Islam Sebagai Kekuatan International. Dr.


Hamid mencantumkan bahwa Islam di Philipina merupakan salah satu kelompok
minoritas di antara negara negara yang lain. Dari statsitk demografi pada tahun
1977. Masyarakat Philipina berjumlah 44.300.000 jiwa. Sedangkan jumlah
masyarakat Muslim 2.348.000 jiwa. Dengan presentase 5,3% dengan unsur
dominan komunitas Mindanao dan mogondinao.

Sejarah masuknya Islam di Filipina tidak dapat dilepaskan dari kondisi


sosio cultural wilayah tersebut sebelum kedatangan Islam. Filipina adalah sebuah
Negara kepulauan yang terdiri dari 7107 pulau dengan berbagai suku dan
komunitas etnis. Sebelum kedatangan Islam. Filipina adalah sebuah wilayah yang
dikuasai oleh kerajaan-kerajaan. Islam dapat masuk dan diterima dengan baik oleh
penduduk setempat setidaknya karena ajaran Islam dapat mengakomodasi
berbagai tradisi yang telah mendarah daging di hati mereka.

Para ahli sejarah menemukan bukti abad ke-16 dan abad ke-17 dari
sumber-sumber Spanyol tentang keyakinan agama penduduk Asia Tenggara
termasuk Luzon, yang merupakan bagian dari Negara Filipina saat ini. sebelum
kedatangan Islam. Sumber-sumber tersebut memberikan penjelasan bahwa sistem
keyakinan agama yang sangat dominan ketika Islam datang pada abad ke-14 sarat
dengan berbagai upacara pemujaan untuk orang yang sudah meninggal. Hal ini
jelas sekali tidak sejalan dengan ajaran Islam yang menentang keras penyembahan
berhala dan politeisme. Namun tampaknya Islam dapat memperlihatkan kepada
mereka bahwa agama ini memiliki cara tersendiri yang menjamin arwah orang
yang meninggal dunia berada dalam keadaan tenang, yang ternyata dapat mereka
terima.

Masa Kolonial Spanyol

Kedatangan orang-orang Spanyol ke Filipina pada tahun 1521 M selain


untuk menjajah juga bertujuan untuk menyebarkan agama Kristen Dengan
kekerasan, persuasi atau menundukkan secara halus dengan hadiah-hadiah, orang-
orang Spanyol dapat memperluas kedaulatannya hampir ke seluruh wilayah
Filipina. Namun, pada tahun 1565 M ketika Spanyol menaklukkan wilayah utara
Filipina dengan mudah dan tanpa perlawanan berarti untuk melakukan perluasan
wilayah serta mengubah keyakinan penduduknya dengan mudah menjadi
penganut Katholik. Tidak demikian halnya dengan wilayah selatan. Tentara
kolonial Spanyol harus bertempur mati-matian melawan kesultanan Islam di
wilayah selatan Filipina, yakni Salu, Manguindanau dan Buayan. Rentetan
peperangan yang panjang antara Slan dan Spanyol basilnya tidak tampak kecuali
bertambahnya ketegangan antara orang Kristen dan orang Islam Filipina. Sejak
Spanyol mendapatkan perlawanan dari tiga kesultanan Islam: Sulu,
Manguindanao, dan Bayan, Iskan tidak berkembang kecuali di kepulauan Sulu
dan Mindanao sebelah barat. Selama masa kolonial, Spanyol menerapkan politik
devide and rule (pecah belah dan kuasai) serta mision-sacre (misi suci
Kristenisasi) terhadap orang-orang Islam, Bahkan orang-orang Islam di-
stigmatisasi (julukan terhadap hal-hal yang buruk) sebagai "moor" (moro).
Artinya orang yang buta huruf, jahat, tidak bertuhan dan huramentados (tukang
bunuh). Sejak saat itu julukan Moro melekat pada orang-orang Islam yang
mendiami kawasan Filipina Selatan tersebut. Tahun 1578 M terjadi perang besar
yang melibatkan orang Filipina sendiri.

Masa Imperialisme Amerika Serikat

Pada tahun 1896, Presiden Mc. Kinley dari AS memutuskan m menduduki


Filipina untuk mengkristenkan dan membudayakan rakya diri sebagai seorang
sahabat yang baik dan dapat dipercaya. Hal yang menjanjikan kebebasan
beragama, kebebasan mengungkapkan pendapat, kebebasan mendapatkan
pendidikan bagi Bangsa Moro I pada kepanjian Traktat Bates tersebut. Spanyol
harus menyanda membiarkan hukum adapt Moro dan Islam selama tidak
bertentangan dengan Konstitusi Amerika Serikat. Ketika orang-orang Phillipina
mulai dilatih untuk mempersiapkan pemerintahan yang independent, para Sultan,
Datuk, dan pemuka agama mengajukan petisi kepada Amerika Serikat, agar tidak
menyertakan wilayah mereka dalam satu negara yang akan dimerdekakan. Akan
tetapi, petisi itu diabaikan, sehingga wilayah- wilayah mereka menjadi bagian dari
Filipina yang merdeka dari Amerika Serikat pada tahun 1946.

ISLAM DI PHATTANI

Thailand adalah sebuah Negara di wilayah Asia Tenggara yang terbentuk


Monarki Konstitusi. Islam masuk di Thailand diperkirakan sekitar abad ke-10 atau
ke-11 dibawa oleh pedagang Arab dan India. Islam penah berkuasa di wilayah
Pattani sejak berdirinya Kerajaan Islam Patani abul ke-14. Namun, sejak berada
dalam kekuasaan Kerajaan Siam, hingga sekarang umat Islam menjadi minoritas
dan terdiskriminasi oleh pemerintahan Thailand.

Muslim Thailand sebagian besar tersebar di empat provinsi bagian selatan,


yaitu Pattani, Yala, Narathiwat dan Satun. Mereka kerap memperoleh problem
dan kekerasan oleh pemerintah. Hingga saat ini muslim Thailand terus berjuang
untuk memperoleh hak-haknya. Wilayah Patani pada awalnya mencakup suatu
wilayah kesultanan yang cukup luas, Patani yang dimaksud merujuk pada sebuah
Negeri Patani Besar (Patani Raya) meliputi wilayah-wilayah Narathiwat
(Teluban). Yala Ahler) dan sebagian Senggora (Songkhla, daerah-daerah Sebayor
dan Tibor) bahkan Kelantan, Kuala Trengganu dan Pethalung (Petaling). Dengan
cakupan wilayah yang cukup luas tersebut Patani pada awalnya memiliki jarak
perdagangan dan ideologi ke-Islaman cukup panjang yang dapat. Bahwa proses
Islamisasi di Malaysia yang dalam mengembangkan ajaran Islam adalah ulama
atau pedagang dat jastrah Arab, yang pada tahun 1980-an Islam di Malaysia
mengala perkembangan dan keangkuhan yang ditandai dengan semaraknya
kegiatan dakwah dan kajian Islam oleh kaum intelektual dan setiap tahun
menyelenggarakan kegiatan Internasional yaitu Musabagh Tilawatil A Quran
yang selalu diikuti oleh Qari dan Qariah Indonesia Negara Malaysia yang
menganut agama resmi Islam menjamin agama-agama lais dan oleh pemerintah
diupayakan menciptakan ketentraman bagi masyarakat, walaupun pemegang
jabatan adalah pemimpin-pemimpin muslim, tidak berarti Islam dapat dipaksakan
oleh semua pihak, sebagai konsekuensi semua masyarakat termasuk non muslim
harus mengharga dan menjunjung tinggi konstitusi negara kebangsaan Malaysia.

ISLAM DI MALAYSIA

Proses masuknya Islam di Malaysia Sejarah masuknya Islam di Malaysia


tidak bisa terlepas dari kerajaan Melayu, jauh sebelum datangnya Inggris di
kawasan tetiche Sebab kerajaan ini dikenal dalam sejarah sebagai Kerajaan Islam,
dan oleh pedagang Gujarat melalui daerah kerajaan tersebut mendakwahkan
Islam. Malaysia pada sekitar abad kesembilan. Dari sini kemudian dipahami
bahwa Islam sampai ke Malaysia belakangan ketimbang sampainya Islam
Indonesia yang sudah terlebih dahulu pada abad ketujuh Berdasarkan keterangan
ini, maka asal usul masuknya Islam ke Malaysia berdasar pada yang dikemukakan
Azyumardi Azra bahwa Islam datang dari India, yakni Gujarat dan Malabar.

Sejarah Islam Di Indonesia

Menurut Hamka dalam Hasjmy." agama Islam masuk ke Indonesia secara


berangsur-angsur dan dimulai pada abad ketujuh Maschi, Agama Islam datang ke
Indonesia dengan dibawa oleh saudagar-saudagar Islam Saudagar-saudagar
tersebut bukan hanya dari Arab saja, melainkan ada yang berasal dari Persia dan
Gujarat.Muhammad Said membuat kesimpulan, sumber-sumber sejarah Arab
mengatakan bahwa di Sumatra sejak abad sembilan. Pada abad tersebut di
berbagai bandar sudah banyak pendatang Arab yang beragama Islam Sebaliknya,
menurut sumber-sumber orang luar (Arab dan Tionghoa) Islam masuk ke
Indonesia pada abad pertama Hijriyalı yakni sekitar abad tujuh sampai dengan
abad kedelapan.
Teori Makkah merupakan suatu teori yang dihasilkan dari koreksi dan
kritik Hamka. Teori yang ketiga adalah teori Persia, teori ini lebih memfokuskan
pada kebudayaan yang hidup dalam masyarakat Islam Indonesia yang dirasakan
memiliki persamaan dengan Persia. Dalam teori Persia dijelaskan bahwa Islam
masuk ke Indonesia pada abad ketiga belas dengan dibawa oleh saudagar dari
Gujarat. Jika kita melihat, teori Gujara dan Persia itu mempunyai kesamaan.
Perbedaan dalam kedua teori ini terletak pada ajarannya. Dalam teori Gujarat
dijelaskan bahwa Islam mempunyai kesamaan ajaran dengan mistik India.
Namun, dalam teori Persia memandang bahwa adanya kesamaan ajaran sufi
Indonesia dengan ajaran sufi Persia (Suryanegara, 1996:74-93)

Sejarahwan T. W. Arnold dalam karyanya "The Preaching of Islam juga


menguatkan temuan bahwa agama Islam telah dibawa oleh mubaligh mubaligh
Islam asal jazirah Arab ke Nusantara sejak awal abad ke-7 M. Setelah abad ke-7
M. Islam mulai berkembang di kawasan ini, misal. menurut laporan sejarah negeri
Tiongkok bahwa pada tahun 977 M, seorang. Jalur Penyebaran Islam di
Indonesia. Menurut Wahab mengatakan bahwa Islam masuk ke Indonesia dengan
proses damat Islam berkembang di Indonesia melalui beberapa jalur di antaranya
Jalur perdagangan lembaga pendidikan, dan pondok pesantren.

1. Jalur Perdagangan
Suryanegara menjelaskan bahwa kedatangan Islam di Indonesia kembangkan
melalui jalur perdagangan dan daerah yang pertama di datang oleh Islam adalah
Sumatra dan Jawa Hal ini didasarkan pada perdagangan Arab dan dunia timur
yang berlangsung sejak abad ke sebelum Masehi Selain itu adanya berita dan Cina
bahwa di Sunata Barat terdapat seorang pembesar Arab yang menjadi kepala Arah
Kam pada tahun 674 Maschu.
2. Jalan Pendidikan
Wahab menyebutkan bahwa agama Islam selain dikembangkan melaraskan
jalan perdagangan juga melalui jalan pendidikan Ini dibuktikan denga adanya
lembaga pendidikan, lembaga tersebut sekarang masih ada, seperti pondok
pesantren, masjid, surau dan sebagainya Adanya pondok pesantren membuat
agama Islam melakukan pembaharuan dalam masyarakat, kehidupan beragama.
Menurut Anshari "Kedatangan Islam ke Indonesia ini membawa kecenderungan
peradaban yang tinggi dalam membentuk kepribadian Indonesia.
3. Pondok Pesantren
Rachidni Wahab, Sarah Menurut Wahab, kehidupan pondok pesantren zaman
sekarang dengan pondok pesantren zaman dahulu telah mengalami perubahan
dalam sistem pendidikannya atau keadaan lainnya. Dalam pendidikan zaman
dahulu para santri diwajibkan tinggal di asrama pondok, hal inilah yang
menyebabkan adanya jalinan kasih sayang yang kuat di antara para murid dan
pendidik." Dari sini kita dapat menyimpulkan bahwa Islam dibawa dan disebarkan
bukan dengan kekerasan, melainkan dengan perdamaian dan hal itu pulalah yang
membawa Islam mudah diterima oleh rakyat Indonesia.

BAB IX
Islam dan Gender

Pengertian Gender

Membicarakan masalah gender, sasarannya tidak saja pembedaan laki-laki


dan perempuan, melainkan masalah kemanusiaan atau memperjuangkan hak-hak
kemanusiaan. Pembedaan itu juga mengacu pada dua konsep jenis kelamin (seks)
dan gender itu sendiri. Konsep yang harus dipahami untuk membahas perempuan
dari segi seks dan gender, yaitu: (1) seks merupakan pembagian jenis kelamin
manusia yang ditentukan secara biologis, secara permanen tidak bisa
dipertukarkan; (2) gender adalah sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun
perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural. Berbeda dengan
pendapat Susilastuti, keberadaan gender, baik aliran dan tempat munculnya
merupakan adanya prasangka gender yang cenderung menomor duakan kaum
perempuan. Perempuan dinomor duakan karena adanya anggapan bahwa secara
universal laki-laki berbeda dengan perempuan. Perbedaan itu tidak hanya terbatas
pada kriteria biologis, melainkan juga sampai pada kriteria sosiokultural.
Selanjutnya. menurut Haris, gender berkaitan dengan budaya. Oleh karena itu,
gender pada gilirannya merupakan suatu fenomena yang melintas budaya. Gender
merupakan produk budaya yang dibangun atas dasar ide fungsional yang terdapat
dalam kategori masyarakat, yaitu perempuan dan laki-laki.

Perempuan dalam Konsep Islam

Perempuan Sebagai Individu

Al-qur'an menyoroti perempuan sebagai individu, Dalam fal i terdapat


perbedaan antara perempuan dalam kedudukannya sebagai individu dengan
perempuan sebagai anggota masyarakat. Al-qur'an memperlakukan baik individu
perempuan dan laki-laki adalah sama, karena hal ini berhubungan antara Allah
dan individu perempuan dan laki-laki tersebut, sehingga terminology kelamin
(sex) tidak diungkapkan dalam masalah ini. Pernyataan-pernyataaan al-Qur'an
tentang posisi dan kedudukan perempuan dapat dilihat dalam beberapa ayat
sebagaimana berikut:
1. Perempuan adalah makhluk ciptaan Allah yang mempunyai kewajiban
sama untuk beribadat kepada-Nya sebagaimana termuat dalam (Adz
Dzariyat: 56).
2. Perempuan adalah pasangan bagi kaum laki-laki termuat dalam (An
naba":8).
3. Perempuan bersama-sama dengan kaum laki-laki juga akan
mempertanggung jawabkan secara individu setiap perbuatan dan
pilihannya termuat dalam (Maryam: 93-95).
Sama halnya dengan kaum laki-laki Mukmin, para perempuan mukminal
yang beramal saleh dijanjikan Allah untuk dibahagiakan selama hidup di dunia
dan abadi di surga. Sebagaimana termuat dalam (An-Nahl 97)Pengungkapan
masalah kaum perempuan dengan menggunakan analisis gender sering
menghadapi perlawanan (resistance), baik dari kalangan kaum laki-laki ataupun
kaum perempuan sendiri. Hal ini bisa jadi disebabkan pertama, mempertanyakan
status kaum perempuan pada dasarnya adalah mempersoalkan sistem dan struktur
yang telah mapan, kedua, mendiskusikan soal gender berarti membahas hubungan
kekuasaan yang sifatnya sangat pribadi, yakni menyangkut dan melibatkan
individu kita masing-masing .
Konsep Islam menyumbangkan suatu sistem sosial yang adil terhadap
kaum perempuan. Islam memandang perempuan adalah sama dengan laki-laki
dari segi kemanusiaannya. Islam memberi hak-hak kepada perempuan
sebagaimana yang diberikan kepada kaum laki-laki dan membebankan kewajiban
yang sama kepada keduanya. Ajaran Islam tidak secara skematis membedakan
faktor-faktor perbedaan laki-laki dan perempuan, tetapi lebih memandang kedua
insan tersebut secara utuh. Antara satu dengan lainnya secara biologis dan sosio
kultural saling memerlukan dan dengan demikian antara satu dengan yang lain
masing-masing mempunyai peran.
Islam, sebagaimana termuat dalam Al-qur'an memperlakukan baik
individu perempuan dan laki-laki adalah sama, karena hal ini berhubungan antara
Allah dan individu perempuan dan laki-laki tersebut. Dalam perspektif
normativitas Islam, tinggi rendahnya kualitas seseorang hanya terletak pada
tinggi-rendahnya kualitas pengabdian dan ketakwaannya kepada Allah swt. Allah
memberikan penghargaan yang sama dan setimpal kepada manusia dengan tidak
membedakan antara laki-laki dan perempuan atas semua amal
yang dikerjakannya.

BAB X

Islam dan HAM

Pengertian HAM

Menurut Teaching Rigth yang diterbitkan oleh Perserikatan Bangsa


Hangsa (PBB) Hak Azasi Mantasia adalah hak-hak yang melekat pada setiap
manusia yang tampaknya manusia mustahil dapat hidup sebagai manusa Hak
hidup misalnya, adalah untuk memperoleh dan melakukan segala sesuatu yang
dapat membuat seseorang tetap, karena tanpa hak tersebut eksistensinya sebagai
manusia akan lalang.
Senada dengan pengertian diatas yang menyatakan Hak Azasi Manusia
yang dikemukakan oleh Jhon Locke. Menurut locke, HAM adalah hak-hak yang
diberikan langsung oleh Tuhan Yang Maha Esa, pencipta sebagai sesuatu yang
bersifat kodratı, karena sifatnya yang demikian maka tidak ada kekuasaan apa pan
di dunia yang mencabut hak azasi manusia adalah hak dasar setiap manusia atau
lembaga kekuasaan.

HAM tertuang dalam Undang-undang (UU) No. 39 Thn 1999 tentang


HAM. Dalam salah satu bunyipasalnya (pasal 1) secara tersurat dijelaskan bahwa
"Hak azasi mausta adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan
keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan YME dan merupakan anugerahnya
yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dijunjung oleh negara hukum
pemerintah dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan
martabat manusia.

Sejarah Lahirnya HAM

Pada umumnya para pakar HAM berpendapat bahwa HAM dimulai


dengan lahirnya magna sharta Piagam ini antara lain menerangkan bahwa raja
yang semula memiliki kekuasaan absolut (raja yang menciptakan hukum, tetapi ia
sendiri tidak terikat dengan hukum) menjadi dibatas kekuasaannya dan mulai
dapat diminta pertanggungjawabannya di muka hukum. Dari program inilah lahir
doktrin bahwa raja tak kebal hukum serta bertanggungjawab kepada hukum.

HAM dalam Islam

Dengan mendasarkan Pertanyaan mengenai hubungan HAM dalam Islam


harus dirunut secara sejarah dialektika HAM dalam Islam. Menurut Anas hak
asasi manusia atau lebih dikenal manusia modern sebagai HAM telah lebih dahulu
diwacanakan oleh Islam sejak empat belas abad silam. Hal ini memberi kepastian
bahwa pandangan Islam yang khas tentang HAM sebenarnya telah hadir sebelum
deklarasi universal IIAM PBB pada 18 Shafar 1369 Hijriyah atau bertepatan
dengan 10 Desember 1948 Masehi. Secara internasional umat Islam yang
terlembagakan dalam Organisasi Konferensi Islam (OKI) pada 5 Agustus 1990
mengeluarkan deklarasi tentang HAM dari perspektif Islam. Deklarasi yang juga
dikenal sebagai "Deklarasi Kaito" mengandung prinsip dan ketentuan tentang
HAM berdasarkan syari'ah

HAM dalam Islam telah dibicarakan sejak empat belas tahun yang lalu. Ini
dibuktikan oleh adanya Piagam Madinalı (mitsaq Al-Madinahi) yang terjadi pada
saat Nabi Muhammad berhijrah ke kota Madinah. Dalam Dokumen Madinah atau
Piagam Madinah itu berisi antara lain pengakuan dan penegasan bahwa semua
kelompok di kota Nabi itu, baik umat Yahudi umat Nasrani maupun umat Islam
sendiri, adalah merupakan satu bangsa Dari pengakuan terhadap semua pihak
untuk bekerja sama sebagai satu bangsa, di dalam piagam itu terdapat pengakuan
mengenai HAM bag masing-masing pihak yang bersepakat dalam piagam itu.
Secara langsung dapat kita lihat bahwa dalam piagam Madinah itu HAM sudah
mendapatkan pengakuan oleh Islam. Sejarah HAM dimulai dari magna charta di
inggris pada tahun 1252 yang kemudian kemudian berlanjut pada bill of rights dan
kemudian berpangkal pada DUHAM PBB.

Dalam Islam, konsep mengenai HAM sebenarnya telah mempunyai


tempat tersendiri dalam pemikiran Islam. Perkembangan wacana demokrasi
dengan Islam sebenarnya yang telah mendorong adanya wacana HAM dalam
Islam. Karena dalam demokrasi, pengakuan terhadap hak asasi manusia mendapat
tempat yang spesial. Berbagai macam pemikiran tentang demokrasi dapat dengan
mudah kita temukan di dalamnya konsep tentang penegakan HAM. Ada tiga
prinsip utama dalam pandangan normatif hak asasi manusia, yaitu berlaku secara
universal, bersifat non- diskriminasi dan imparsial.

BAB XI

Islam Pluralisme dan Multikulturisme

Pengertian Pluralisme
Agama turun untuk menjadi pegangan bagi penganutnya. Dalam bahasa
al-Qur'an pegangan ini disebut petunjuk (huažm). Manusia sebagai penganut
agama tentu syarat dengan konteks waktu, konteks tempat. konteks masalah,
konteks kebutuhan, konteks tuntutan dan sejenisnya. Konsekuensinya, agamapun
penuh dengan konteks, penuh dengan historisitas, sesuai dengan konteks umat
penerima agama, baik dari sisi ajaran maupun sarana atau cara yang digunakan
untuk menyampaikan ajaran. Karena itu, isi maupun cara menyampaikan ajaran
agama sangat tergantung pada konteks penganut agama tersebut. Betapa besar
pengaruh historisitas atau konteks penganut agama terhadap isi agama, dapat
dibuktikan dengan Islam yang turun di Arab. Dapat dibuktikan seluruh isi al-
Qur'an dan sunah Nabi Muhammad SAW merupakan jawaban terhadap
persoalan-persoalan masyarakat Arab di masa itu. Bisa juga, ajaran agama Islam
tidak seperti yang kita kenal sekarang andaikan Nabi Muhammad SAW tidak
hidup di Arab.

Pemahaman terhadap ajaran agamapun sangat dipengaruhi oleh komeks


penganutnya, baik bersifat positif maupun negatif terbukti sepanjang sejarah
muslim dikenal sejumlah mazab (aliran-aliran) baik dalam bidang fiqh maupun
bidang-bidang lainnya seperti teologi, tafsir. Bahkan ketika Nabi masih hidup
sudah ada perbedaan pendapat (mazab atau aliran), dalam memahami sumber
ajaran Islam, dan nabi sendiri mengakui keberadaannya.

Wacana tentang pluralisme masih begitu penting karena masih terkait


dengan hal penting dan sensitif yaitu masalah teologis. Tidak semua umat
beragama sepakat mengatakan ada kebenaran lain di luar agamanya. Pluralisme
adalah suatu paham keagamaan di mana ada interaksi beberapa kelompok-
kelompok yang menunjukkan rasa saling menghormati dan toleransi satu sama
lain juga merupakan suatu paham yang mentoleransi adanya ragam pemikiran,
agama, kebudayaan, peradaban dan lain-lain

Menurut konsepnya, pada dasarnya seluruh agama pada awalnya datang


dari Tuhan yang satu sebagai agama samawi Namun dalam perkembangannya
terjadilah perubahan karena campur tangan manusia. Salah satu faktor penyebab
terjadinya pluralitas agama dari sumbernya Yang Satu adalah karena diakibatkan
oleh perkembangan cara manusia berkomunikasi terutama dalam Transformasi
bahasa dan makna tulisan.

Selain merupakan agama kemanusiaan (fitrah) atau dengan kata lain cita-
cita Islam sejalan dengan cita-cita manusia pada tanumanya, Dan misi Nabi
Muhammad adalah untuk mewujudkan rahmat bagi seluruh alam, jadi bukan
semata-mata untuk menguntungkan komunitas Islam saja. Sedangkan pengertian
universalistas Islam dapat dilacak dart term al-Islam yang berarty sikap pasrah
pada Tuhan.

Multikulturalisme merupakan keberagaman atau kebhinekam kebudayaan


dan tradisi masyarakat. Melalui terminologi multikulturalisme ini, setiap orang
diajak untuk menghormati dan menghargai spektrum yang luas tentang
kebudayaan, agama komunitas etnik, jenis kelamin, serta kelompok-kelompok
lamnya yang ada di dalam masyarakat. Ini berarti bahwa multikultural isme selalu
meniscayakan adanya toleransi yang tinggi terhadap pandangan dan ekspresi-
ekspresi kebudayaan yang berbeda-beda.

Dalam perspektif agama, multikulturalisme merupakan wahana untuk


membangun sikap dan tindakan saling tolong menolong atau saling melengkapi
sehingga tercipta suatu kehidupan yang dinamis dan berkeseimbangan. Firman
Allah pada Surat al-Hujurat ayat 13 menunjukkan adanya pluralitas sebagai suatu
keniscayan dalam kehidupan.

Multikulturalisme adalah paham dan keinsafan terhadap realitas perbedaan


dan varietas budaya yang dimiliki masyarakat/manusia dalam kehidupannya di
dunia ini. Manusia (kelompok manusia) dari dulu hingga sekarang, secara
kultural, tidak sama dan tidak pernah akan sama serta tidak akan bisa disamakan.
Baik pluralisme maupun multikulturalisme, keduanya diakui keberadaannya dan
harus diinsafi sebagai sebuah realitas kehidupan manusia di muka bumi.
Mengingkari keberadaannya berarti menginginkan eksistensi dirinya sebagai
manusia yang berbudaya dan memiliki ideologis-teologisnya."
Mahfud mengartikan multikulturalisme sebagai kesejajaran budaya.
Masing-masing budaya manusia atau kelompok etnis harus diposisikan sejajar dan
setara. Tidak ada yang lebih tinggi dan tidak ada yang lebih dominan. Melihat
istilah ini, multikulturalisme berarti ingin menumbuhkan sikap ragu-ragu atau
skeptis sehingga yang ada hanya relatif Menurut Rogers dan Steinfatt
Multikulturalisme merupakan pengakuan bahwa beberapa kultur yang berbeda
dapat eksis dalam lingkungan yang sama dan menguntungkan satu sama lain.
Atau pengakuan dan promosi terhadap pluralisme kultural. Sedang Suryadinata,
menyebutkan bahwa multikulturalisme menghargai dan berusaha melindungi
keragaman kultural. 40 Dari pengertian di atas dapat diambil suatu kesimpulan
bahwa Multikulturalisme merupakan keberagaman atau kebhinekaan kebudayaan
dan tradisi masyarakat. Dalam arti ini, maka multikulturalisme dimaksudkan
sebagai kebijakan publik untuk mengelola keragaman budaya dalam sebuah
masyarakat yang terdiri dari berbagai suku yang secara resmi menekankan sikap
saling menghormati dan berlapang dada terhadap perbedaan-perbedaan budaya di
dalam batas sebuah negara. Multikulturalisme menekankan ciri-ciri khas dari
kebudayaan yanguniversalistas Islam dapat dilacak dart term al-Islam yang berarti
sikap pasrah pada Tuhan.

Multikulturalisme merupakan keberagaman atau kebhinekam kebudayaan


dan tradisi masyarakat. Melalui terminologi multikulturalisme ini, setiap orang
diajak untuk menghormati dan menghargai spektrum yang luas tentang
kebudayaan, agama komunitas etnik, jenis kelamin, serta kelompok-kelompok
lamnya yang ada di dalam masyarakat. Ini berarti bahwa multikultural isme selalu
meniscayakan adanya toleransi yang tinggi terhadap pandangan dan ekspresi-
ekspresi kebudayaan yang berbeda-beda

Dalam perspektif agama, multikulturalisme merupakan wahana untuk


membangun sikap dan tindakan saling tolong menolong atau saling melengkapi
sehingga tercipta suatu kehidupan yang dinamis dan berkeseimbangan. Firman
Allah pada Surat al-Hujura ayat 13 menunjukkan adanya pluralitas sebagai suatu
keniscayan dalam kehidupan, berbeda-beda. Melalui terminologi
multikulturalisme ini, setiap orang diajak untuk menghormati dan menghargai
spektrum yang luas tentang kebudayaan, agama, komunitas etnik, jenis kelamin,
serta kelompok kelompok lainnya yang ada di dalam masyarakat. Ini berarti
bahwa multikulturalisme selalu meniscayakan adanya toleransi yang tinggi
terhadap pandangan dan ekspresi-ekspresi kebudayaan yang berbeda-beda itu.

Pemahaman Multikulturalisme

Sebagai sebuah terminologi yang relatif baru multikulturalisme muncul


dan berkembang di lahir abad 20. Dalam salah salah satu referensi dinyatakan
bahwa multikulturalisme menjadi sebuah gagasan baru sebagai respon terhadap
banyaknya budaya yang beragam dan terutama di Inggris Fenomena beragamnya
budaya di Inggris Raya muncul merupakan imbas dari kolonialisasi yang terjadi
sebelumnya. Hadirnya para imigran dari negara-negara mantan koloni sebagai
sebuah fenomena dan menjadi masalah baru penanganannya. yang memerlukan
respon komprehensip dalam fenomena ini terjadi tidak hanya di Eropa melainkan
juga di Kanada yang mengangkat multikulturalisme menjadi sebuah kebijakan
resmi padi tahun 1971. Kebijakan resmi ini selanjutnya diadopsi di berbagai
negara Eropa sebagai kebijakan resmi di samping sebagai konsensus social di
antara para elit. Tetapi belakangan Belanda dan Denmark mengubah kebijakan ke
arah monokulturalisme, kebijakan yang selanjutnya menjadi sudjel.
Nama : ANGELINA KARUNIA PUTRI

NIM : 06040123093

Kelas : PAI-D

RESUME BUKU STUDI PENGANTAR ISLAM

 Judul Buku : Kajian Keislamaan Multi Dispilin Ilmu


 Pengarang Buku : Dr. KH. Djoko Hartono, S.Ag, M.Ag, M.M
 Penerbit Buku : Jagad ‘Alimussiry
 Kota Terbit : Surabaya
 Tahun Terbit : 2019
 Tebal Buku : 170 halaman

BAB I

Studi Islam dan Tiga Mainstream Pemikirannya

Studi Islam melahirkan pemikiran-pemikiran yang sangat berguna dan


bermanfaat dalam perkembangan Islam di dunia, dari zaman sampai saat ini. Tiga
pemikiran studi Islam yang paling berpengaruh efeknya hingga saat ini adalah
Pemikiran Islam Tradisionalis, Pemikiran Islam Modernis/Modernisasi, dan
Pemikiran Islam Fundamentalis.

Pemikiran tradisionalis melahirkan beberapa pemikiran yang jenius dalam


memandang dunia dari sisi religius berdasarkan syariat. Pemikiran ini membuat
perubahan pada Islam di Indonesia dengan sangat signifikan dan semakin banyak
masyarakat Indonesia yang mengikuti pemikiran ini dan para ulama Indonesia
banyak juga mempelajari dan mengembangkan pemikiran ini. Begitu pula di
dunia, juga banyak ilmuwan, pemikir, tokoh budaya, bahkan pemuka agama lain
yang tertarik untuk mempelajari pemikiran tradisionalis yang diciptakan oleh para
ulama.

Pemikiran modernisasi bisa dikatakan berbeda pemikiran yang sangat


tajam dari tradisionalis. Meskipun pertumbuhannya berbarengan pemikiran
tradisionalis dan banyak juga pemikiran yang brilian dari modernisasi ini dengan
misi membawa perubahan atau pembaruan terhadap pemikiran dalam studi Islam
tetapi tetap saja memang tidak bisa bersatu karena berbeda pandangan dalam cara
berpikir dan misi memajukan studi Islam.

Pemikiran fundamentalis ini lahir karena memang bukan mumi dari


pemikiran Islam sendiri, pemikiran ini lahir dari pemikiran agama Kristen yang
memiliki arti sebagai dasar. Dasar yang dimaksud disini adalah dasar dari
pemikiran agama tersebut. Tetapi pemikirannya ini sebenamya tidak bisa juga
dianggap sebagai pemikiran negatif karena kalau masih dalam konteks tidak
menyimpang dari ajaran agama Islam.

Memang pemikiran tradisionalis seringkali kontras dengan modernisme


dan mendapat kritikan dari pemikiran fundamentalis, tetapi tidak bisa dibantahkan
lagi kalau memang ketiga pemikiran tersebut yang menyatukan segala hal
pemikiran kita dalam studi Islam dan pemikirannya di negara Indonesia.

Namun dalam perspektif filosofis, pemikiran-pemikiran yang berkembang


menjadi agenda untuk menyiapkan pendidikan yang humanis, jujur dan spritualis.
Maka dari itu, perkembangan pemikiran Islam yang telah terjadi pada massa ke-
masa dan berbagai peristiwa penting yang dapat dipelajari dalam kehidupan
manusia dan perspektif baru dalam studi Islam.

BAB II

Para Pengkaji Studi Islam di Barat

Para pengkaji Islam di Barat itu adalah sebuah sebutan umum untuk para
pengkaji Islam di dunia Barat, mereka meneliti berbagai hal menyangkut Islam
dari segi sosial, sejarah, mistik, dari Al-Quran dan Hadist. Para peneliti ini
memiliki maksud dan tujuan tersendiri dalam penelitiannya, mereka dalam garis
besar mereka dikelompokkan menjadi 3 para Orientalisme, Islamisme dan
Oksidentalisme. Mereka adalah para peneliti yang mewarnai sejarah dan teknologi
yang bermunculan dari masa ke masa. Bentuk pemikiran para pengkaji barat juga
ada 3, yakni tidak objektif yang dimiliki Orientalisme, Objektif yang dimiliki
Islamisme, dan bersifat netral yang dimiliki Oksidentalisme.

Orientalisme merupakan suatu cara pandang orang Bara terhadap bangsa


selain Barat. Bangsa-bangsa selain Barat yang di maksud yaitu bangsa bangsa
Timur Tengah dan Asia dilihat dengan kacamata rasial yang di anggap
penuh "prasangka".

Memang terdapat perbedaan keduanya. Orientalis lebih kental nuansa


politis dan tendensi kecurigaannya terhadap Islam. Islamisis tampak lebih
bersahabat. Kajiannya lebih bersifat ilmiah daripada penyelidikannya demi
kepentingan imperialisme. Nama nama Islamisis yang produktif saat ini adalah
John L. Esposito, Karen Amstrong, Martin Lings, Annemarie Schimmel, John O.
Voll, Ira M Lapidus, Marshal GS Hodgson, Leonard Binder, dan
Charles Kurtzaman.
Menurut bahasa istilah Oksidentalisme berasal dari kata dasar occident,
yang berarti Barat. Menurut istilah Oksidentalisme merupakan sebuah cara
pandang tentang sesuatu dari kaca mata ketimuran. Kehadirannya dipicu oleh
dominasi kajian Barat terhadap Islam dan adanya ketimpangan akibat westernisasi
yang berpengaruh luas tidak hanya pada budaya dan konsepsi tentang alam, tapi
juga mengancam kemerdekaan peradaban manusia.

Alasan-alasan munculnya berbagai model pemikiran di dunia barat


terutama kajian Islam faktor pertama adalah berbagai peristiwa yang terjadi
sehingga memunculkan dendam, tidak memihak, dan keinginan untuk
melindungi, hal itu terbentuk dan bermetamorfosa seiring berjalannya waktu.
Orientalis yang menyebar fitnah kepada Islam atas rasa dendam. Islami transisi
dari Orientalis ingin mengkaji Islam lebih baik dan menyebarkan kebaikan dan
terakhir Oksidentalis peran yang melindungi Islam dari diskrit-diskrit yang dibuat
oleh Orientalis.

Islam selalu mempunyai cara sendiri untuk menunjukkan jati dirinya pada
dunia, semakin diteliti semakin terbukti kebenarannya, banyak teknologi
teknologi dan hasil penelitian baru yang ide kemunculannya berasal dari al qur'an.
Oleh karena itu, Barat semakin tertarik untuk mengkaji agama Islam dan
mempelajari hal hal yang terkandung dalam agama Islam untuk kepentingan
Negara Negara barat itu sendiri, dan sampai sekarang kajian di dunia barat masih
terus ditingkatkan dari masa-masa. Untuk pencapaian yang di inginkan oleh setiap
kelompok kelompok pengkaji Islam di Barat.

BAB III

Studi Islam di Indonesia Sebelum Kemerdekaan

Dalam penjelasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa studi Islam di


Indonesia sebelum kemerdekaan muncul seiring dengan masak dan
berkembangnya agama Islam di Indonesia. Dikarenakan salah sat penyebaran
agama Islam yaitu melalui studi Islam atau pendidikan Islam Studi Islam sangat
penting dalam pembentukan akhlak, sebab akhlak yang baik sangat diperlukan
dalam relevansi kehidupan sosial.

Perkembangan studi Islam sebelum kemerdekaan di bagi menjadi tiga


masa yaitu masa awal sebelum Wali Sembilan, masa Wali Sembilan, dan masa
penjajahan Belanda dan Jepang. Pada saat masa awal Wali Sembilan ditandai
sejak datangnya para saudagar asal Gujarat India Nusantara yang mengajarkan
studi Islam melalui pengajian Al-Qur'an dan pengajian kitab yang
diselenggarakan rajab di rumah-rumah, surau, masjid. dan lain-lain. Sedangkan,
pada masa Wali Sembilan studi Islam berkembang seiring dengan perkembangan
kerajaan Islam pada saat itu. Dalam penyebaran studi Islam Wali Sembilan sangat
berperan penting, sebab Wali Sembilan menyebarkannya dengan penuh kearifan
sehingga masyarakat dapat menerima studi Islam dengan sikap yang terbuka. Pada
saat penjajahan Belanda dan Jepang penyebaran dan perkembangan studi Islam
mengalami hambatan di karena kan kebijakan Belanda dan Jepang yang sangat
mengekang bangsa Indonesia saat itu. Terdapat berbagai hambatan yang
ditimbulkan dari kebijakan kebijakan yang dibuat oleh Belanda dan Jepang.

Pada masa pra kemerdekaan, pemerintahan Belanda mengembangkan


suatu kebijakan yang menitikberatkan kepada kepentingan beragama yakni misi
kristenisasi, Misi kristen ini digerakkan oleh organisasi yang beranggotakan
kolonial Belanda dengan tujuan menyebarkan misi penginjilan di wilayah Hindia
Belanda. Pemerintah Belanda juga membuat suatu kebijakan ini pada sisitem
pendidikan yang diterapkan dengan cara membuat sekolah khusus bagi warga
Indonesia yang memeluk agama nasrani. Dalam kurun waktu itu agama Kristen
mengalami kemajuan yang pesat. Karena kebijakan dan perilaku-perilaku kolonial
ini menimbulkan kontra produktif dengan masyarakat pribumi yang beragama
Islam, muncullah beberapa usaha perlawanan dalam bentuk peperangan.

Di antara dari kebijakan-kebijakan pemerintahan kolonial Belanda dalam


pengawasan pendidikan Islam adalah 'Ordonansi Guru'. Ordonansi pertama yang
dikeluarkan tahun 1905 mengharuskan setiap guru agama Islam untuk meminta
memperoleh izin terlebih dahulu sebelum melaksanakan tugasnya sebagai guru
agama Islam. Sedangkan ordonansi kedua yang dikeluarkan pada tahun 1925
hanya mewajibkan guru agam untuk melaporkan diri. Kedua ordonansi ini
dimaksudkan sebagai media pengontrol bagi pemerintah kolonial untuk
mengawasi sepak terjang para pengajar dan penganjur agama Islam di
negeri nusantara.

Dengan adanya peristiwa perkembangan studi Islam sebelum


kemerdekaan, sebagai umat muslim harus mengkajinya. Sebab hal ini merupakan
suatu sejarah yang harus diketahui oleh seluruh umat manusia terutama umat
muslim. Mempelajari dan mengkaji studi Islam sebelum kemerdekaan umat Islam
akan mengetahui bagaimana perjuangan tokoh terdahulu dalam berjuang untuk
kemerdekaan agama Islam maupun bangsa Indonesia.

Lembaga pendidikan Islam yang pada waktu itu berbentuk daya surau dan
pesantren sengaja dibatasi karna dianggap sebagai lembaga provokasi untuk
melawan Belanda dengan alasan ini belanda membatasi dan meningkatkan
pengawasan yang berlebihan terhadap perkembangan Pendidikan Islam tersebut.
Kemudian digantikan dengan didirikannya lembaga pendidikan ala negara
penjajahan yang mana membuat perubahan pendidikan tradisional menjadi
pendidikan modern sehingga muncul istilah pendidikan modern yang merujuk
pada ilmu pengetahuan umum seperti baca tulis sedangkan ilmu agama dianggap
ilmu tradisional.

BAB IV

Studi Islam di Indonesia Pasca Kemerdekaan

Studi Islam pasca kemerdekaan adalah suatu studi yang mempelajari


tentang Islam secara lebih mendalam yang mana pada saat pasca kemerdekaan
semakin berkembang. Studi Islam berperan sangat penting pada masa pasca
kemerdekaan Karena pada masa itu masyarakat belum mengetahui secara pasti
apa itu studi Islam. Pembelajaran mengenai Islam dibutuhkan untuk
mengembangkan studi Islam pada masa itu. Studi Islam berkembang pada pasca
kemerdekaan dan memiliki dampak positif bagi bangsa Indonesia dimana
nantinya implementasi hukum-hukum Islam terhadap kehidupan bermasyarakat
sehari hari.

Tahapan perkembangan studi Islam pada masa pasca kemerdekaan dibagi


menjadi tiga masa yaitu masa orde lama, masa orde baru, dan juga reformasi.
Dimana pada masing-masing masa ini terdapat hambatan dan juga peningkatan di
setiap masanya.

Jadi perkembangan Islam pada masa orde lama atau pada masa berlakunya
UUD 1945, Konstitusi RIS 1949 dan UUDS 1950) berada pada tingkat
pengaktualisasian ajaran agama untuk dijadikan sebuah dasar dalam bernegara.
Seperti dalam tujuh kata pada anak kalimat yang tercantum dalam sila pertama
Pancasila yang berbunyi "Ketuhanan yang maha Esa dengan kewajiban
menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Sehingga pergolakan
ideologi antara golongan muslim dan golongan nasionalis tarik ulur untuk
memperjuangkan berlakunya rumusan ideologi masing-masing

Munculnya orde baru dianggap sebagai kemenangan bagi umat Islam


karena mereka ikut berperan dalam pembentukannya. Sehingga umat Islam
menaruh banyak harapan pada pemerintah, khususnya kesempatan untuk
berkiprah di bidang politik. Namun, hal tersebut tidak mendapat perhatian dari
pemerintah orde karena pemerintah orde baru lebih fokus pada pembangunan
ekonomi. Pada awal tahun 1970 an merupakan periode penting bagi
perkembangan Islam di Indonesia. Karena akan diadakannya pemilihan umum
pertama pada masa orde baru, Nurcholis Madjid sebagai intelektual menggagas
perlunya pembaraan pemikiran dalam Islam.

Studi Islam di Indonesia pasca kemerdekaan dianggap begitu penting


karena pada saat itu masyarakat belum mengetahui secara pasti hakikat Islam itu
sendiri, masyarakat Indonesia sendiri belum juga mengetahui pokok-pokok ajaran
agama Islam yang pasti. Di samping itu, masyarakat Indonesia belum mengetahui
prinsip-prinsip dan nilai-nilai dasar ajaran agama Islam dan realisasinya dalam
kehidupan sehari-hari.

Tujuan utama dalam pendidikan Islam adalah agar manusia memiliki


gambaran tentang Islam yang jelas, utuh, dan menyeluruh. Interaksi di dalam diri
ini memberi pengaruh kepada penampilan, sikap, tingkah laku dan amalnya
sehingga menghasilkan akhlak yang baik. Akhlak ini perlu dan harus dilatih
melalui latihan membaca dan mengkaji Al-Quran, sholat malam, shoum (puasa)
sunnah, berhubungan kepada keluarga dan masyarakat. Semakin sering ia
melakukan latihan maka semakin banyak amalnya dan semakin mudah ia
melakukan kebajikan. Selain itu latihan akan menghantarkan dirinya memiliki
kebiasaan yang akhirnya menjadi gaya hidup sehari-hari.

BAB V

Studi Islam dalam Pendekatan Sosiologi

Selama ini umat Islam banyak memahami agama hanya melalui


pendekatan secara tanpa dilengkapi dengan pendekatan lain, sehingga agama
hanya dijadikan sekedar lambang kesalehan, mengklaim dirinya sebagai yang
paling benar dan memandang paham orang lain keliru dan seterusnya. Tetapi
sebaliknya, jika umat Islam dalam memahami agama menggunakan pendekatan
teologi dilengkapi dengan menggunakan pendekatan lain seperti antropologi,
sosiologi, psikologi dan lain sebagainya yang mana secara konseptual dapat
memberikan jawaban terhadap masalah yang timbul. Melalui pendekatan
sosiologi agama akan dapat dipahami dengan mudah karena agama sendiri
diturunkan untuk kepentingan sosial.

Pandangan Islam menyangkut sosiologi yang dimaksud yaitu bagaimana


sisi sosiologi di mata Islam. Sangat mengkhawatirkan jika yang digunakan dalam
pendekatan studi Islam adalah sosiologi barat. Di berbagai level pendidikan
setidaknya pada level pendidikan menengah dan tinggi, teori-teori sosiologi yang
tidak berurusan dengan keimanan. Di satu sisi umat Islam harus mengembangkan
seluruh perilakunya, termasuk perilaku sosialnya, berdasar nila-nilai iman, dan di
lain sisi mereka hanya dikenalkan pada ilmu sosial yang dinetralkan dari
iman itu sendiri.

Pentingnya pendekatan sosiologi dalam memahami agama, dapat


dipahami, karena banyak sekali ajaran agama yang bekaitan dengan masalah
sosial. Besarnya perhatian agama terhada masalah sosial ini selanjutnya
mendorong kaum agama memahami ilmu-ilmu sosial sebagai alat untuk
memahami agamanya.

Melalui pendekatan sosiologis agama akan dapat dipahami dengan


mudah, karena agama itu sendiri diturunkan untuk kepentingan sosial. Dalam al-
Qur'an misalnya kita jumpai ayat-ayat berkenaan dengan hubungan manusia
dengan manusia lainnya, sebab-sebab yang menyebabkan terjadinya kemakmuran
suatu bangsa, dan sebab-sebab yang menyebabkan terjadinya kesengsaraan.
Semua itu jelas baru dapat dijelaskan apabila yang memahaminya mengetahui
sejarah sosial pada saat ajaran agama itu diturunkan.

Islam telah meletakkan dasar-dasar umum cara bermasyrakat. Di diatur


hubungan antara individu dengan individu, antara individu dengan masyarakat,
anatar satu komunitas masyarakat dengan komunitas masyarakat lainnya. Aturan
itu mulai yang sederhana sampai kepada yang sempurna, mulai dari hukum
berkeluarga sampai bernegara.

Al-Qur'an memang bukan buku sejarah yang secara sistematis membahas


keadaan masyarakat masa lampau namun sebagai bukti petunjuk yang di
dalamnya di dapati hukum-hukum perubahan masyarakat (sosial) yang berlaku
sepanjang sejarah manusia. Oleh karena itu di dalamnya terdapat ayat-ayat yang
berisi perintah agar manusia memperhatikan sejarah umat terdahulu.

BAB VI

Studi Islam dalam Pendekatan Kebudayaan


Studi Islam dalam pendekatan budaya merupakan suatu pengkajian
terhadap agama Islam secara ilmiah melalui sudut pandang budaya yang
digunakan untuk memahami corak keagamaan dan mengarahkan masyarakat
kepada ajaran agama yang benar.

Menurut pandangan Islam tentang tradisi dan budaya Jawa ini dijelaskan
secara singkat tentang karakteristik Islam yang memiliki ajaran yang sempurna,
komprehensif dan dinamis. Kedinamisan dan fleksibilitas Islam terlihat dalam
ajaran-ajaran yang terkait dengan hukum Islam syariah). Dengan penjelasan
singkat mengenai pandangan Islam terhadap persoalan tradisi dan budaya Jawa
sangat terkait dengan ajaran-ajaran Islam, terutama dalam bidang aqidah dan
syariah. Masyarakat Jawa adalah masyarakat yang religius, yakni masyarakat
yang memiliki kesadaran untuk memeluk suatu agama yang meyakini adanya
tuhan yang maha kuasa yang menciptakan manusia dan alam semesta. Tradisi dan
budaya masyarakat Jawa juga terkait dengan perilaku-perilaku ritual yang tidak
sesuai dengan ajaran Islam.

Agama merupakan kenyataan yang dapat dipahami dengan menggunakan


cara pendekatan model studi Islam budaya. Untuk memahami suatu agama,
khususnya Islam memang harus melalui dua model yaitu tekstual dan kontekstual.
Pada model itu ada penekanan yang agak menonjol ditentukan pada studi-studi
tertentu, misalnya untuk penelitian agama yang menggunakan pendekatan metode
kualitatif. ditekankan pada aspek budaya atau perilaku masyarakat sebagai
pemeluk gana Penting untuk mengkaji studi Islam dalam pendekatan kebudayaan
kita mengetahui bagaimana pandangan agama Islam terhadap kebudayaan serta
kita dapat memahami keterkaitan hubungan antara agama dan kebudayaan.

BAB VII

Studi Islam dalam Pendekatan Filsafat

Filsafat pada intinya adalah upaya atau usaha untuk menjelaskan inti,
hakikat, atau hikmah mengenai sesuatu yang berada dibalik objek formalnya.
Filsafat mencari sesuatu yang mendasar, asas, dan inti yang terdapat dibalik yang
bersifat lahiriah.

Melalui pendekatan filosofis, seseorang tidak akan terjebak pada


pengalaman agama yang bersifie formalistik, yakni mengamalkan agama dengan
susah payah tapi tidak memiliki makna apa-apa, kosong tanpa arti. Yang mereka
dapatkan dari pengamalan agama tersebut hanyalah pengakuan formalistik,
misalnya sudah haji, sudah menunaikan rukun Islam yang kelima dan berhenti
sampai di situ. Mereka tidak dapat merasakan nilai-nilai spiritual yang terkandung
di dalamnya Manfaat yang bisa didapat ketika seseorang menggunakan
pendekatan filosofis dalam kajian agamanya adalah sebagai berikut; (1) agar
hikmah, hakikat dan inti dari ajaran agama dapat dimengerti dan dipahami secara
seksama; (2) setiap individu dapat memberi makna terhadap segala sesuatu yang
dijumpainya dan mengambil hikmah sehingga ketika melakukan ibadah atau
apapun, ia tidak mengalami degradasi spiritual yang menimbulkan kebosanan: (3)
membentuk pribadi yang selalu berpikir kritis (critical thought). (4) adanya
kebebasan intelektual (intellectual freedom); dan (5) membentuk pribadi yang
selalu toleran dan bijak dalam menyikapi sebuah problem kehidupan.

Agama Islam memberikan penghargaan yang tinggi terhadap akal, tidak


sedikit ayat-ayat Al-Qur'an yang menganjurkan dan mendorong manusia supaya
banyak berpikir dan menggunakan akalnya. Di dalam al-Qur'an dijumpai
perkataan yang berakar dari kata "aql (akal) sebanyak 49 kali, yang semuanya
dalam bentuk kata kerja aktif, seperti agaluh; ta'qilun; na'qil; ya qilúnahâ; dan ya
qilun.

Kata-kata yang dipakai al-Qur'an untuk menggambarkan aktivitas berpikir


bukan hanya 'aqala, tetapi juga kata-kata seperti nazhara (melihat secara abstrak
dalam arti berpikir dan merenungkan); misalnya QS. At-Thariq ayat 5-7 dan
sebagainya; tadabbara (merenungkan kembali hal-hal yang telah dilalui), misalnya
QS. Shad ayat 29 dan lain-lain; tafakkara (berpikir) seperti QS. Al-Anfal ayat 68-
69 dan lain-lain; faqiha (memahami, mengerti), seperti QS. Al-Isra' ayat 44;
tadzakkara Inengingat, memperoleh peringatan, mendapat pelajaran,
memperhatikan dan mempelajari), seperti QS. An-Nahl ayat 17, az-Zumar ayat
9dan lain- lain; fahima (memahami) seperti dalam QS. Al-Anbiya' ayat 78-79 dan
lain-lain.

Di samping itu, anjuran dan dorongan untuk berfilsafat dapat dipahami


dari pengertian ayat itu sendiri. Kata ayat itu sendiri erat kaitannya dengan
perbuatan berpikir. Arti asal dari kata ayat adalah tanda (sign). Sebagaimana
diketahui bahwa tanda itu menunjukkan kepada sesuatu yang terletak dibelakang
atau dibalik tanda itu (fenomenon). Baik secara filosofis maupun ilmiah, untuk
mengetahui arti yang terletak dibelakangnya.

Islam sebagai agama yang banyak menyuruh penganutnya


mempergunakan akal pikiran sudah dapat dipastikan sangat memerlukan
pendekatan filosofis dalam memahami ajaran agamanya. Pendekatan filosofis
adalah cara pandang atau paradigma yang bertujuan untuk menjelaskan inti,
hakikat, atau hikmah mengenai sesuatu yang berada di balik objek formalnya.
Dengan kata lain, pendekatan filosofis adalah upaya sadar yang dilakukan untuk
menjelaskan apa dibalik sesuatu yang nampak. Memahami ajaran Islam dengan
pendekatan filosofis ini dimaksudkan agar seseorang melakukan pengamalan
agama sekaligus mampu menyerap inti, hakikat atau hikmah dari apa yang
diyakininya, bukan sebaliknya melakukan tanpa makna.

BAB VIII

Studi Islam dalam Pendekatan Tafsir

Studi Islam atau kajian Islam membahas Islam, baik sebagai ajaran,
kelembagaan, sejarah maupun kehidupan umatnya. Perbedaan dalam penafsiran
bisa saja terjadi karena ilmu tafsir menginterpretasi umat Islam terhadap Qur'an
dengan berbagai sudut pandang sehingga menciptakan pengertian, penjabaran,
ataupun penjelasan yang berbeda namun serupa.
Menjabarkan bentuk dari pendekatan tafsir pada studi Islam sangat
diperlukan karena tafsir wajib dikuasai seseorang yang berminat menjadi ulama,
karena tafsir dan juga Ulum Al-Qur'an merupakan ilmu- ilmu yang menjadi ciri
keulamaan. Sejatinya pedoman hidup umat Islam adalah Alquran dan Hadis yang
dimana pendekatan tafsir sangat dibutuhkan untuk memahami isi Alquran. Pada
era yang berbalut ilmu pengetahuan dan teknologi saat ini sangatlah dibutuhkan
tafsir al-Qur'an sebagai mengembangkan keilmuan teknologi yang Islami agar
perkembangan zaman tetap berpegang teguh pada petunjuk-petunjuk al- Qur'an.

Adapun sistematika dalam penulisan tafsir model ijmali mengikuti


susunan ayat-ayat Al Qur'an. Selain itu mufasir juga eneliti, dan sebab nuzul ayat
melalui penelitian dengan menggunakan hadis-hadis yang terkait. Kitab-kitab
tafsir yang masuk dalam kategori pendekatan metode ljmali adalah seperti, kitab
tafsir Al Qur'an Al Karim karangan Muhammad Farid Wajdi, Al Tafsir al Wasith
terbitan Majina al Buhuts al Islamiyyat dan tafsir al Jalalain serta tafsir taj al
Tafsir karangan Muhammad Utsman Al- Minghuni.

Pentingnya ilmu tafsir, adalah karena memahami Al-Qur'an yang berisi


hukum-hukum syar'i merupakan sumber kebahagiaan yang abadi. Al-Qur'an
adalah tali yang kokoh dan jalan lurus, orang sulit mendapat petunjuk kecuali
dengan taufiq Allah. Di samping kepentingan pengungkapan kandungan al-
Qur'an, tafsir wajib dikuasai seseorang yang berminat menjadi ulama, karena
tafsir dan juga Ulum Al-Qur'an merupakan ilmu-ilmu yang menjadi ciri
keulamaan. Seorang alim harus menguasai tafsir/ilmu tafsir dan Ulum Al-Qur'an.

Memahami isi kandungan Al-Quran tidaklah mudah karena Alquran


berbahasa arab sehingga diperlukannya metode pendekatan tafsir yaitu digunakan
para musafir, antara lain: metode menafsirkan Al-Quran secara umum sesuai
surah al-Quran, metode menafsirkan Alquran secara lengkap, analisis yang
panjang, metode menjelaskan makna Alquran dengan cara mengumpulkan ayat-
ayat kemudian membahasnya dalam satu tema, dan juga metode menafsirkan Al-
Quran dengan cara membandingkan satu tafsir dengan lainnya, melihat dari sisi
ayat lalu menggabungkan pendapat kitab, hadits, tafsiran, maupun kitab suci
agama lain kemudian memutuskan pendapat yang unggul disertai dengan dalil-
dalilnya.

BAB IX

Studi Islam dalam Pendekatan Hadits

Berdasarkan sumber-sumber di atas dapat kita simpulkan bahwa


pendekatan hadis sangat berpengaruh dalam program studi Islam dan dua hal ini
tidak bisa di pisahkan karena hadis adalah pedoman kedua atau penjelas al-qur'an
dalam soal perilaku perbuatan, karena hadis berasal dari perbuatan/tingkah laku
dari Rasulullah SAW dan para sahabat selama di dunia ini yang menjadi tauladan
baik dalam beribadah dan beramal sholeh, dan hadis ini diteruskan turun-temurun
pada generasi-generasi selanjutnya sehingga para pemuda dan pelajar pada masa
sekarang masih bisa mendengarkan/membaca hadis-hadis dari para sahabat-
sahabat Rasul dan juga kajian hadis di mencoba untuk terus dikembangkan. Salah
satu upayanya dilakukan melalui pendekatan multi disiplin dengan melibatkan
ilmu-ilmu sosial.

studi hadits dalam pendekatan studi Islam memiliki pengaruh besar dalam
menyebarkan Islam pada kancah dunia karena buktinya banyak para pengkaji dari
penjuru dunia yang mencoba mengkaji hadits dari yang beragama Islam atau yang
beragama lain. Studi badi juga membuat definisi Islam menjadi luas dan tegas
karena hadis kaidah-kaidah dalam berperilaku dan bersikap. Oleh karena itu studi
hadits sangat berpengaruh penting karena jika tidak ada hadis mungkin kita akan
bingung menjalankan perintah-perintah yang terdapat pada Al-Qur'an.

Salah satu pendekatan yang sangat penting untuk terus dikembangkan


dalam kajian living hadis adalah antropologi. Sebuah disiplin ilmu sosial yang
mengkaji tentang manusia terutama dilihat dari ragam unsur budaya salah satunya
dinyatakan Kluckhohn, yakni sistem pengetahuan, ekonomi, teknologi, sosial,
religi, kesenian dan bahasa Pendekatan antropologi (agama) dalam studi hadis
tidak dimaksudkan untuk memahami dan menganalisis aspek antropologis dalam
matan hadis (figh al-hadith atau ma'anial-hadith) dengan latar budaya Arab abad
ke-7, tetapi terkait dengan apa yang disebut Rahman sebagai perkembangan dan
perluasan living sunnah di pelbagai kawasan dunia Muslim termasuk di Nusantara
sebagai hasil proses interpretasi.

Perkembangan kajian hadis harus terus di perbarui karena zaman semakin


berkembang pesat dan hadis harus bisa mengiring atau mengarakan umat Islam
pada jalan-jalan yang benar agar tidak melakukan hal-hal yang melenceng dari
agama. Oleh karena itu, sekarang kembali ke diri kita sendiri maukah dan bisakah
kita mengamalkan ilmu-ilmu yang kita dapat dengan benar atau tidak karena hal
itu yang akan membuat hidup kita jauh lebih baik dari sebelumnya.

BAB X

Studi Islam dalam Pendekatan Tasawuf

Seperti dalam firman Allah S.W.T. dalam surah Ar-Ra'd ayat


11"Sesungguhurya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum
mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri. Maka kita tidak bisa keluar dari
kebodohan dan bertahan dalam kehidupan ini tanpa ilmu. Dengan adanya studi
Islam kita dapat belajar mengenai Islam secara mendalam dan luas.

Tasawuf berasal dari ajaran Islam. Abu Nashr As-Siraj al-Thusi


mengatakan, bahwa berasal atau bersumber dari Al-Quran dan As-Sunnah. Semua
praktek kehidupan para tokoh sufi untuk membersihkan jiwa mereka untuk
mendekatkan diri dengan Allah mempunyai dasar yang kuat dalam Al-Quran dan
As-Sunnah. Teori-teori tentang tahapan pendekatan diri kepada Allah seperti
bersyukur, shabar, tawakal, ridha, takwa, zuhud, wara' dan ikhlas, atau
pengamalan batin yang mereka alami (ahwal) seperti cinta, rindu, intim, raja dan
khauf, itu bersumber dari ajaran Islam.

Dalam konteks Islam, mempraktikkan ajaran-ajaran tasawuf dapat


menghadirkan tanda kesucian dan sikap-sikap atau prilaku atau akhlak yang baik.
Hal ini dikarenakan tasawuf lahir dari "rahim" Islam atau lahir dari Islam itu
sendiri.Maka dari itu praktik tasawuf merupakan hal yang baik dan tidak
menyimpang menurut pandangan Islam.

Studi Islam meliputi ajaran-ajaran doktrin dari Allah dan menuju Allah
dengan berbagai pendekatan. Melalui salah satu pendekatan studi Islam berupa
tasawuf kita dapat mengerti cara untuk menyucikan ruh kita. Sehingga kita dapat
hubungan yang dekat dengan Allah S.W.T. dengan demikian kita diharapkan
dapat membina aqidah dan ibadah dengan baik dan benar, dan dapat menjadi
muslim yang sejati dan mampu menjawab tantangan serta tuntutan sesuai zaman
dengan keimanan.

Dilaksanakannya studi Islam karena umat muslim meyakini bahwa agama


Islam yang diturunkan oleh Allah S.W.T bertujuan untuk menyelamatkan kita dari
kebodohan dan membimbing serta menuntun kita kepada kehidupan yang lebih
baik dan benar. Sehingga dengan adanya studi Islam kita dapat berkembang
mengikuti perkembangan zaman tanpa harus melepas, melupakan, dan
mengesampingkan kebutuhan kerohanian kita.

BAB XI

Studi Islam dalam Pendekatan Politik

Studi Islam adalah memahami dengan menganalisis secara mendalam hal-


hal yang berkaitan dengan agama Islam, pokok-pokok ajaran Islam, sejarah Islam,
maupun realitas pelaksanaannya dalam kehidupan.

Politik adalah menunjukkan perilaku atau tingkah laku manusia, baik


berupa kegiatan, aktivitas, ataupun sikap, yang tentunya bertujuan akan
memengaruhi atau mempertahankan tatanan kelompok masyarakat dengan
menggunakan kekuasaan.

kata atau istilah "politik" berkaitan dengan kekuasaan dan penggunaannya,


baik itu terbatas pada kelompok masyarakat tertentu dengan skala kecil, maupun
dalam skala yang lebih besar dalam suatu negara, bahkan dalam skala
internasional dan meliputi bagaimana ia (kekuasaan) itu diperoleh dan bagaimana
ia dikelola sesuai dengan aturan-aturan yang telah disepakati dalam masyarakat,
negara, atau antar negara di mana ia diterapkan. Singkatnya, politik adalah
ketatanegaraan.

Dengan pendekatan politik masyarakat dapat memahami pentingnya studi


Islam agar sehingga tidak terjadi konflik/perselisihan antara manusia dengan
manusia lain sehingga tercipta masyarakat yang adil, makmur dan bijaksana.
Permasalahan etika politik adalah hal yang sangat penting dalam Islam, politik
dipandang sebagai bagian dari ibadah, oleh karena itu perlu dilakukan berdasarkan
prinsip-prinsip ibadah.

Prinsip-prinsip Dasar Islam Menyangkut Persoalan politik Musyawarah,


Keadilan, Kebebasan, Persamaan, Hak menghisab pihak pemerintah, Diwajibkan
untuk memperkuat tali silaturahmi, Kedaulatan tertinggi atas alam semesta dan
hukumnya hanya berada di tangan Allah semata.

Hakimiyyah atau memberikan kuasa pengadilan dan kedaulatan hukum


tertinggi dalam sistem politik Islam hanyalah hak mutlak Allah. Hakimiyyah
Ilahiyyah membawa pengertian- pengertian yaitu, Bahwasanya Allah Pemelihara
alam semesta yang pada hakikatnya adalah Tuhan yang menjadi pemelihara
manusia, dan tidak ada jalan lain bagi manusia kecuali patuh dan tunduk kepada
sifat Ilahiya-Nya Yang Maha Esa. Bahwasanya hak untuk menghakimi dan
mengadili tidak dimiliki oleh sesiapa kecuali Allah.235 Bahwasanya hanya Allah
sahajalah yang memiliki hak mengeluarkan hukum sebab Dialah satu- satunya
Pencipta. Bahwasanya hanya Allah sahaja yang memiliki hak mengeluarkan
peraturan-peraturan sebab Dialah satu-satunya Pemilik. Bahwasanya hukum Allah
adalah suatu yang benar sebab hanya Dia sahaja yang Mengetahui hakikat segala
sesuatu dan di tangan Nya lah sahaja penentuan hidayah dan penentuan jalan yang
selamat dan lurus. Hakimiyyah Ilahiyyah membawa arti bahwa teras utama
kepada sistem politik Islam ialah tauhid kepada Allah di segi Rububiyyah
dan Uluhiyyah.

Agama dan negara berhubungan secara komplementer dan integralistik


dalam pengertian bersifat saling mengisi dan saling melengkapi, atau berada pada
spektrum yang lebih "dekat dengan poros tengah atau "jalan tengah". Yakni
adanya peluang bagi agama-agama untuk mengisi dimensi etis dari kehidupan
bernegara dan moralitas agama, sehingga rumusan "Negara Indonesia bukanlah
negara agama bukan pula negara sekuler", tetapi negara yang di dalamnya nilai-
nilai agama-agama bisa hidup dan eksis.

BAB XII

Studi Islam dalam Pendekatan Pendidikan

Manusia dalam dasarnya merupakan makhluk paling sempurna. Mereka


diciptakan oleh Allah SWT dengan akal dan hawa nafsu. Manusia dalam
memenuhi kebutuhannya pasti dituntut untuk menciptakan dan melakukan
berbagai tindakan. Manusia memiliki pengetahuan yang merupakan alat untuk
melakukan kegiatan sehari-hari. Seperti yang kita tahu, manusia selalu tidak puas
dengan apa yang diperoleh. Manusia akan terus menggunakan akal pikirannya
untuk menjawab ketidakpuasan tersebut dengan berlandaskan keislaman, di
antaranya seperti pengetahuan, wawasan ataupun hal-hal yang berkaitan dengan
kehidupan sehari-hari. Maka dari itu pendidikan berperan sangat penting dan
sangat berkaitan dengan studi Islam.

Banyaknya pemimpin-pemimpin yang korupsi dan tidak adilnya terhadap


rakyatnya. Tidak hanya itu munculnya kenakalan remaja, maraknya komsumsi
minuman keras, narkoba, pergaulan bebas, hamil di luar nikah, tawuran pelajar
dan lainnya karena arus globalisasi marak saat ini. Sehingga seharusnya
pendidikan Islam sudah mulai ditekankan mulai dari sekolah dasar hingga
perguruan tinggi. Di dalam Islam juga mewajibkan umatnya untuk selalu
menuntut ilmu dimanapun, kapanpun, dan sampai kapanpun tentunya. Islam juga
memiliki tujuan untuk mencetak manusia yang pintar, cerdas, dan berakhlak
karimah.

Studi Islam sangat berpengaruh terhadap pendidikan di masa sekarang.


Segala sesuatu harus berlandaskan dengan nilai-nilai Islami. Pendidikan karakter
yang meliputi kesopanan, akhlak, kesantunan harus lebih ditekankan. Pendidikan
karakter yang berlandaskan studi Islam merupakan sebuah pembelajaran yang
dapat diterapkan di lingkungan sekolah, lingkungan rumah, maupun masyarakat
melalui proses pembiasaan, keteladanan, dan dilakukan secara berkesinambungan.

BAB XIII

Studi Islam dalam Pendekatan Sains

Studi Islam dalam pendekatan sains yaitu memahami dengan menganalisis


secara mendalam mengenai agama Islam, pokok-pokok ajaran Islam dengan
menggunakan suatu pendekatan yang melakukan observasi, uji coba, ataupun
penelitian untuk mendapatkan suatu hasil ataupun prinsip dari yang diselidiki
serta dipelajari. Studi Islam dalam pendekatan sains juga bisa untuk menentukan
dasar hukum baru melalui ijtima ulama.

Pandangan Islam sendiri terhadap sains yaitu Islam tidak pernah


mengekang umatnya untuk maju dan modern. Islam justru mendukung umatnya
untuk melakukan eksperimen, observasi ataupun penelitian dalam hal apapun
termasuk juga dalam sains. Selain itu, juga digambarkan suatu cara mengubah
suatu sumber daya menjadi sumber daya yang yang lain yang lebih tinggi
nilainya. Adapun pandangan Islam tentang sains dimana sains itu sendiri bersifat
fisik dalam artian sains itu memiliki sebuah atau bahkan lebih tujuan, dan
kebenaran.
Studi Islam dalam pendekatan sains ini sangat perlu untuk dikaji
dikarenakan antara sains dan studi Islam memiliki hubungan yang sangat erat.
Alam semesta yang dijadikan sumber dari realitas penalaran sains merupakan
sebuah yang tidak dapat terpisahkan dari wujud Allah swt. Agama dan sains
memiliki hubungan yang sangat erat dan tidak dapat dipisahkan. Karena agama
adalah pedoman hidup manusia agar hidupnya tidak tersesat dan sains adalah
hukum alam atau disebut sunnatullah. Jadi studi Islam dalam pendekatan sains
sangatlah membantu umat Islam dalam kehidupan sehari-hari.

Studi Islam dalam pendekatan sains ini sangat perlu untuk dikaji
dikarenakan antara sains dan studi Islam memiliki hubungan yang sangat crat.
Alam semesta yang dijadikan sumber dari realitas penalaran sains merupakan
sebuah gambaran yang tidak dapat terpisahkan dari wujud Allah swt. Hal ini
dikarenakan dibalik itu semua terdapat suatu dimensi metafisik dan tujuan dari
penciptaannya. Oleh karena itu, studi Islam dalam pendekatan sains ini perlu
dikaji karena sains dalam Islam sendiri ditujukan untuk melakukan suatu
pembuktian terhadap isyarat - isyarat untuk pencarian sebuah ilmu sebagaimana
sudah tertera di dalam Al-Quran.

Studi Islam dalam pendekatan sains mencakup mengenai ilmu


pengetahuan modern tetapi masih bernuansa nilai-nilai Islam. Studi Islam dalam
pendekatan sains bisa memecahkan berbagai masalah tentang dasar hukum yang
memiliki perbedaan. Ditangan seorang ilmuwan muslim, sains sangat berkembang
dengan sangat pesat. Suatu pengujian eksperimental menyebabkan sains menjadi
kukuh. Sains memperoleh karakaternya yang rasional objektif selama gelombang
pertama peradaban Islam. Tetapi, rasionalitas tersebut tidak bisa terlepaskan dari
rasionalitas religius. Hal itu dikarenakan teologi, filsafat serta sains sendiri
merupakan suatu kesatuan yang integral.

Terdapat sebuah opini dimana dijelaskan bahwasanya sains modern ini


merupakan sains yang jauh dari nilai-nilai dikembangkan oleh kaum atheis. Opini
ini membuat sains perlu diimbangi dengan nilai-nilai Islami. Hal ini dikarenakan
tidak mungkin disaat yang sama sains modern ini cocok dengan ayat-ayat yang
ada pada Al- Qur'an.

Anda mungkin juga menyukai