Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN

Manusia dalam hal-hal tertentu merupakan refleksi dari Allah yang


hidup, cerdas dan bermoral. Manusia pada waktu diciptakan dibekali dengan
kecerdasan dan hasrat oleh Tuhan. Misalnya, apabila menghadapi suatu
peristiwa atau masalah, pada umumnya manusia akan bertanya : “Apakah itu,
apakah persoalannya, mengapa demikian, bagaimana terjadinya, bagaimana
cara mengatasinya, dan lain sebagainya?” Manusia selalu berusaha untuk
memperoleh jawaban yang dapat dipegang sebagai kebenaran yang diyakini.
Hal ini sangat berhubungan dengan apa yang disebut dengan istilah
“epistemonologis”, yaitu teori filsafatis tentang pengetahuan yang benar atau
cara menemukan kebenaran.
Istilah “epistemonologi” ini untuk pertama kalinya dipakai oleh J.F.
Ferrier pada tahun 1854. Kata epistemonologi berasal dari kata “epistime”
yang berarti “pengetahuan” dan “logia” yang berarti “ilmu”. Istilah ini kemudian
dipakai dalam filsafat dengan pengertian bahwa epistemonologi adalah cara
mencari dan menemukan substansi (hakikat) pengetahuan dan juga cara
mencari dan menemukan kebenaran.
Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk menjelaskan hubungan
atau korelasi antara iman dan ilmu pengetahuan.

1
BAB II
HAKIKAT IMAN DAN ILMU PENGETAHUAN

Ada berbagai cara untuk menemukan kebenaran dan menghilangkan


keraguan serta ketidaktahuan, antara lain melalui: (1) Wahyu, yaitu
kebenaran yang datang dari Tuhan melalui alam semesta, orang-orang yang
dipilihnya, dan Kitab Suci. Kekristenan mengakui Kitab Suci sebagai
kebenaran mutlak yang diwahyukan. Allah telah mewahyukan diriNya (dan Ia
telah melakukannya), dan apabila penyataan tentang hal itu telah secara
akurat dinyatakan dalam keenam puluh enam kitab dari kitab suci (dan
memang demikian halnya), maka Kitab Suci adalah sumber utama dari
pengetahuan manusia tentang Allah dan kebenaranNya; (2) penalaran, yaitu
berpikir kritis, rasional dan berdasarkan akal sehat. Manusia banyak
memperoleh kebenaran melalui pengalaman (empiris). Kebenaran
diungkapkan melalui proses berpikir rasional, kritis dan logis dengan cara
deduktif (analitik) dan induktif (sintetik). Cara ini bergantung pada
kemampuan berpikir dan jenis-jenis pengalaman yang dimiliki; dan (3)
Penyelidikan dan penelitian ilmiah. Disini penyaluran hasrat ingin tahu
manusia sampai pada taraf keilmuan. Seseorang baru akan menyimpulkan
atau membenarkan sesuatu jika terdapat bukti-bukti yang meyakinkan yang
dikumpulkan dengan prosedur yang sistematik dan jelas.

A. Menemukan Kebenaran Melalui Pendekatan Teologi


Penelitian dalam bidang teologi tidaklah sama dengan bidang sains.
Penelitian teologi dalam arti sempit tidak temasuk penelitian ilmiah (penelitian
sains dalam pengetian ilmu alam) karena refleksi dengan akal budi dalam
teologi menekankan ide-ide diluar kenyataan inderawi. Dalam pengertian itu
teologi bukanlah sains karena menangani objek yang supersensible. Walau
berbeda, penelitian teologi tidaklah berarti berbeda sama sekali dengan
metode penelitian non teologi. Akan tetapi ada masalah jika metode penelitian
sains diterapkan secara ketat dalam studi agama.

2
Lalu, apakah teologi itu dan bagaimana menemukan kebenaran yang
dapat dipertanggung jawabkan melalui studi teologi? Istilah “teologi” berasal
dari kata Yunani “theos” artinya “Allah”, dan “logos” artinya “perkataan, uraian,
pikiran, ilmu” atau secara harfiah “pernyataan yang rasional”. Charles C. Ryrie
secara ringkas mendefinisikan teologi sebagai suatu interpretasi yang
rasional mengenai iman Kristen. Sementara itu, Millard J. Erickson dalam
Christian Theology memberikan suatu definisi yang baik dan komprehensif
tentang teologi, yaitu “disiplin yang berjuang untuk memberikan pernyataan
koheren dari doktrin-doktrin iman Kristen, terutama berdasarkan pada kitab
suci, ditempatkan dalam konteks budaya secara umum, dibahasakan dalam
ungkapan yang relevan dengan zaman itu, dan berkaitan dengan isu-isu
kehidupan”. Selanjutnya Erickson mengusulkan lima rumusan dalam sebuah
definisi teologi yang merupakan ciri-ciri dari penelitian teologi, yaitu: (1)
Teologi harus Alkitabiah, menggunakan alat-alat dan metode-metode
penelitian biblika (termasuk menggunakan pengetahuan-pengetahuan dari
wilayah kebenaran ini); (2) Teologi harus sistematik, yang bahannya diambil
dari keseluruhan kitab suci serta mengkorelasikannya satu dengan yang lain;
(3) Teologi harus relevan pada budaya dan pengajaran, diambil dari
kosmologi, psikologi, dan filsafat sejarah; (4) Teologi harus kontemporer,
mengaitkan kebenaran Allah dengan pertanyaan-pertanyaan dan tantangan
pada zaman ini; dan (5) Teologi harus praktikal, tidak hanya sekedar
mendeklarasikan doktrin objektif, tetapi mengaitkannya pada kehidupan itu
sendiri.
Sementara itu, Charles C. Ryrie menyebutkan tiga unsur (ciri) di dalam
konsep umum teologi yaitu: (1) Teologi dapat dimengerti, artinya teologi dapat
dipahami oleh pikiran manusia dengan cara yang teratur dan rasional; (2)
Teologi menuntut adanya penjelasan, dimana selanjutnya melibatkan
eksegesis dan sistematisasi; (3) Iman Kristen bersumber pada Alkitab.
Dengan demikian teologi Kristen merupakan suatu studi yang berdasarkan
Alkitab (biblika). Selanjutnya Ryrie dalam penjelasannya menambahkan
bahwa seorang teolog harus berpikir secara teologis. Hal ini melibatkan
pemikiran secara: (1) Eksegetik, untuk memahami arti yang tepat; (2)

3
Sistematis, untuk dapat menghubungkan fakta-fakta secara seksama; (3)
Kritis, untuk mengevaluasi prioritas dari bukti yang bersangkutan; dan (4)
Sintetik, untuk menyatukan dan menyampaikan pengajaran sebagai suatu
keseluruhan.
Jadi, penelitian dengan pendekatan teologis, melalui proses yang ketat
dengan metode yang Alkitabiah, ekesegetis dan analitis, sintetis, kritis dan
evaluatif, sistematis, praktis dan kontekstual, diharapkan seseorang dapat
menemukan kebenaran.

B. Menemukan Kebenaran Melalui Pendekatan Ilmiah


Melalui pendekatan ilmiah orang berusaha untuk menemukan
kebenaran ilmiah, yaitu pengetahuan yang benar dan kebenarannya terbuka
untuk diuji oleh siapa saja yang menghendaki untuk mengujinya. Pendekatan
ilmiah akan mengurangi bahaya berbuat salah atas pilihan dari bermacam-
macam tindakan dalam rangka menemukan kebenaran. Ilmu pengetahuan
(sains) itu mempunyai nilai umum yang dapat dipergunakan untuk
menghadapi persoalan sehari-hari. Ilmu pengetahuan harus diperoleh melalui
metode ilmiah dan tanpa metode ilmiah hanya akan merupakan himpunan
pengetahuan saja mengenai berbagai gejala.
Ilmu dapat dilihat dari dua aspek, yaitu: aspek statis dan aspek
dinamis. (1) Dari aspek statis, ilmu merupakan himpunan informasi yang
sistematis mengenai prinsip-prinsip, teori-teori, dan hukum-hukum.
Sedangkan di aspek dinamis, ilmu adalah suatu proses. Teori-teori dan
prinsip-prinsip akan menjadi dogma atau ajaran apabila tidak dengan
penelitian dan pengembangan.
Ada perbedaan antara cara penelitian ilmiah dan yang tidak ilmiah.
Perbedaan itu terletak pada: (1) Objektivitas peneliti. Pendapat atau
pertimbangan yang diambil berdasarkan atas fakta, berbeda dengan metode
non ilmiah yang hanya berdasarkan asumsi atau praduga; (2) Ketelitian
pengukuran. Metode ilmiah berusaha memperoleh ketelitian pengukuran
semaksimal mungkin. Hal ini dipenuhi oleh ilmu pengetahuan alam seperti
ilmu pengetahuan dan elektronika. Tetapi bisa juga melalui ilmu pengetahuan

4
sosial yang ukurannya menggunakan statistik, atau kuesioner yang
pengukurannya berdasarkan skala; (3) Sifat penelitian yang dilakukan terus
mnerus dan menuju kesempurnaan. Penelitian ilmiah mempertimbangkan
semua fakta yang berkenaan dengan masalah yang bersangkutan; bersifat
agresif untuk mencari tambahan bukti guna mendukung atau membenarkan
kesimpulan yang ada.

5
BAB III
KORELASI IMAN DAN ILMU

Di dalam dunia ini terdapat banyak disiplin ilmu yang telah dihasilkan
dan di buat oleh manusia di sepanjang sejarah peradaban manusia itu
sendiri. Manusia yang diciptakan oleh Allah, menurut gambar dan rupa
pencipta-Nya, memiliki kemampuan berpikir dan mengembangkan ilmu
pengetahuan yang semuanya itu juga diberikan oleh Allah dan bersumber
pada wahyu umum-Nya. Inilah yang membedakan manusia dengan ciptaan
lainnya. Manusia diberikan Allah kemampuan untuk berpikir. Jadi, dengan
kemampuan berpikirnya, manusia bisa berilmu dan bisa beragama, sehingga
ilmu dan agama dapat terintegrasi satu dengan yang lainnya. Suriasumantri
menegaskan, sebagaimana yang dikutipnya dari pernyataan Albert Einstein
bahwa, “ilmu tanpa agama adalah buta dan agama tanpa ilmu adalah
lumpuh”.1 Pernyataan ini hanya menegaskan satu hal bahwa ilmu dan agama
adalah saling terkait begitu erat satu dengan yang lainnya. Karena itu, boleh
dikatakan bahwa manusia dengan ilmunya dapat beragama dan manusia
dengan agamanya dapat berilmu. Semua ini terjadi karena adanya wahyu
umum Allah.
Robert Russell telah mengidentifikasi depalan cara yang berbeda
dalam upaya menunjukkan integrasi antara teologi dan ilmu ilmu
pengetahuan yang dapat terjadi. Lima diantaranya melibatkan dampak ilmu
ilmu pengetahuan pada teologi, sedangkan yang tiga lainnya melibatkan
dampak teologi terhadap ilmu ilmu pengetahuan.2
Pertama, teori-teori ilmu pengetahuan dapat bertindak sebagai data
yang membatasi teologi. Misalnya, suatu teologi tentang tindakan ilahi
seharusnya tidak melanggar relativitas khusus.
Kedua, teori-teori ilmu pengetahuan dapat bertindak sebagai data
untuk dimasukkan ke dalam teologi. Misalnya, awal waktu atau t=0 dalam

1 Junjun S. Suriasumantri, Ilmu dalam Perspektif (Jakarta: Yayasan Obor, 2009), 4.


268.
2 Russell dan Monelly, “Sains dan Teologi: Interaksi Timbal Balik”…, 41.

6
kosmologi Big Bang dapat dijelaskan melalui penciptaan ex nihilo, tetapi
penjelasan tersebut adalah bagian dari teologi, bukan dari sains.
Ketiga, teori-teori dalam ilmu pengetahuan, setalah analisis filsafat,
dapat bertindak secara tidak langsung sebagai data dalam teologi. Sebagai
contoh, t=0 dapat ditafsirkan secara filosofis sebagai bukti ketergantungan
(kontingensi) dalam alam semesta Big Bang dan dengan demikian
menyiratkan keberadaan Allah.
Keempat, teori-teori dalam ilmu pengetahuan dapat juga bertindak
secara tidak langsung sebagai data teologis apabila mereka digabungkan
dengan filsafat alam yang berartikulasi penuh.
Kelima, teori-teori dalam ilmu pengetahuan dapat berfungsi secara
heuristik dalam konteks penemuan teologi dengan memberikan inspirasi
konseptual, ekperensial, moral, atau estetis.
Keenam, teologi telah memberikan asumsi-asumsi historis utama yang
mendasari perkembangan sains, misalnya kemungkinan dan rasionalitas
alam. Ini membutuhkan penilaian dengan kaca mata baru.
Ketujuh, teori-teori teologi dapat bertindak sebagai sumber-sumber
inspirasi dalam “konteks penemuan” ilmiah. Misalnya pengaruh gagasan-
gagasan religius pada perintis teori kuantum, termasuk Planck, Einstein,
Bohr, dan Schrödinger.
Kedelapan, teori-teori teologi dapat memberikan kriteria, di samping
kecukupan empirik, koherensi, jangkauan, dan fertilitas, bagi pemilihan teori
dalam ilmu pengetahuan.
Apabila hasil penemuan ilmu pengetahuan bertolak belakang dengan
nilai kebenaran (yaitu Alkitab), hasil penemuan itu harus ditolak. Misalnya,
teori evolusi yang dicetuskan oleh Charles Darwin harus ditolak karena
bertentangan dengan Alkitab yang mengatakan bahwa Allahlah yang
menciptakan manusia menurut gambar dan rupa-Nya.
Ilmu pengetahuan adalah berasal dari Allah sendiri yang telah
menyatakan diri-Nya kepada manusia termasuk kepada ilmu
pengetahuanwan melalui wahyu umum yaitu terkait dengan alam semesta.
Dari presuposisi inilah maka ilmu pengetahuan dapat diintegrasikan dengan

7
teologi karena ada hubungan timbal balik antara teologi dan ilmu
pengetahuan.

A. Landasan Teologis
Teologi adalah ilmu yang mempelajari perkataan-perkataan Allah
(wahyu khusus melalui Alkitab) dan penyataan Allah secara umum melalui
alam semesta ciptaan-Nya. Alkitab mengajarkan bahwa Allah adalah yang
pertama-tama berinisiatif dan bertindak membukakan diri-Nya, melalui semua
ciptaan-Nya, alam semesta dan termasuk manusia, sehingga manusia
khususnya para ilmu pengetahuanwan dapat memahami ilmu ilmu
pengetahuan.3 Sama halnya, bahwa semua manusia mendapatkan dan
merasakan wahyu umum seperti berbagai kebajikan, hujan, dan memberi
musim subur untuk semua manusia, semua agama dan kepercayaan, semua
suku dan bangsa (Kis. 14:17) dan Allah menerbitkan matahari, bagi orang
baik dan jahat dan menurunkan hujan bagi orang benar dan tidak benar (Mat.
5:45).
Dengan demikian, kepada semua manusia, Allah memberikan
pengetahuan, kepintaran, perasaan dan kehendak untuk menanggapi dan
mengerti penyataan Allah melalui ciptaan-Nya. Hal inilah yang memungkinkan
ditemukannya teori serta hukum-hukum oleh ilmu pengetahuanwan dalam
ilmu pengetahuan alam (ilmu pengetahuan) dan semua penemuan di setiap
disiplin ilmu.

B. Landasan Ilmu Pengetahuan


Ilmu pengetahuan adalah ilmu yang mempelajari alam semesta (ilmu
alam), menemukan hal-hal baru melalui teori dan hukum alam, serta
penemuan tersebut dapat memberikan sumbangsih bagi seluruh umat
manusia. Karena ilmu ilmu pengetahuan berdasarkan alam, maka
landasannya adalah pada penyataan umum Allah secara tidak langsung yaitu
melalui alam semesta dan secara langsung melalui pikiran dan hati manusia
(sensus divinitas). Para ilmu pengetahuanwan sebenarnya melakukan usaha

3 Lumintang, “Integrasi…”, 271.

8
melalui penelitian dan penemuan mereka untuk semakin mengenal Sang
Pencipta alam semesta yang kaya dengan pengetahuan melalui kekayaan
alam semesta yang pada hakikatnya diciptakan oleh Allah. Semua objek
penelitian ilmu ilmu pengetahuan adalah ciptaan Allah sendiri sebagai sumber
segala sesuatu.
Integrasi antara teologi dan ilmu pengetahuan bertolak dari kedua
landasan di atas, maka dapatlah dikatakan bahwa ilmu ilmu pengetahuan dan
teologi memiliki keterkaitan yang sangat erat, dan karena itu dapat
diintegrasikan melalui penyataan umum Allah secara tidak langsung melalui
alam ciptaan-Nya dan secara langsung melalui kepintaran yang manusia
miliki. Disamping itu, Alkitab yang adalah wahyu khusus juga menegaskan
bahwa Allah adalah sumber segala kebijaksanaan dan pengetahuan.4 Hal ini
berarti bahwa Allah jugalah yang memberikan kepada manusia segala
kemampuan, kepintaran, dan pengetahuan untuk digunakan dalam
menemukan semua kekayaan yang tersembunyi dalam dunia ini, bagi
kesejahteraan umat manusia. Jadi, semua ilmu termasuk ilmu alam (ilmu
pengetahuan) dan semua ilmuwan termasuk ilmu pengetahuanwan, harus
menyadari bahwa pengetahuan ilmu pengetahuan adalah berasal dari Allah.
Secara teologis, bahwa Allahlah yang menciptakan alam beserta ilmu
pengetahuan, juga kepinteran akan alam dan ilmu pengetahuan manusia juga
berasal dari Allah.

C. Implikasi Bagi Gereja dan Masyarakat


Seorang Kristen yang mempelajari ilmu ilmu pengetahuan harus
memiliki sikap yang berani untuk membuktikan bahwa teologi dan ilmu ilmu
pengetahuan itu dapat diintegrasikan berdasarkan landasan teologis dan ilmu
pengetahuan tersebut. Hubungan timbal balik antara ilmu ilmu pengetahuan
dan teologi seharusnya menjadikan seorang ilmuwan Kristen menjadi
seorang yang bijak. Amsal 1:7 berkata: “Takut akan Tuhan adalah permulaan
hikmat dan pengetahuan, tetapi orang bodoh menghina hikmat dan didikan.”
Tuhan menginginkan umat-Nya menjadi orang yang berhikmat dan

4 Ibid., 273.

9
pengetahuan supaya bisa menjadi partner Allah di muka bumi ini. Seorang
ilmuwan Kristen seharusnya mencari hubungan antara teologi/iman dan ilmu
ilmu pengetahuan. Secara profesional, dia juga harus mengembangkan dan
menempatkan nilai-nilai Kristiani di atas ilmu ilmu pengetahuan tadi.
Dengan demikian, masyarakat luas juga akan merasakan dampak
positif dari seorang ilmuwan Kristen yang mampu menjalankan perannya
dengan baik. Masyarakat diharapkan tidak menjadi antipati dengan ilmu
teologi dengan berusaha menciptakan jurang yang amat dalam di antara
keduanya. Dengan mengetahui integrasi antara teologi dan ilmu ilmu
pengetahuan tadi, masyarakat justru harus berani mengambil langkah untuk
memberikan kesempatan yang luas bagi teolog dan ilmuwan untuk saling
berdiskusi dan mengkonstruksi integrasi teologi dan ilmu ilmu pengetahuan
sehingga dapat dinikmati oleh masyarakat juga, selain gereja.
Setiap orang Kristen seharusnya berani mengambil sikap tegas
menguji segala sesuatu, apalagi menyangkut ajaran iman atau perilaku yang
diklaim benar. Kemudian, bertindak berdasarkan hasil pengujian merupakan
kewajiban bagi semua orang Kristen. Perhatikanlah nasihat rasul Paulus,
“Ujilah segala sesuatu dan peganglah yang baik” (1 Tes. 5:21). Rasa takut
untuk menguji segala sesuatu yang datang dengan memakai jubah
Kekristenan dan mengatasnamakan Roh Kudus, tidaklah menunjukkan
spiritualitas yang tinggi tetapi justru menunjukkan kelemahan. Mudah tertipu
tidak sama dengan spiritualitas (kerohanian). Seseorang berdosa tidak hanya
karena menolak kebenaran sejati, tetapi juga karena menerima yang palsu.
Karena itu penolakan penggunaan rasio untuk menguji kebenaran bukanlah
bentuk spritualitas yang tinggi.
Satu pelajaran penting dalam kitab Amsal yang tidak boleh diabaikan
adalah bahwa orang percaya harus menggunakan pikiran (rasio) orang
percaya untuk memahami dan melakukan apapun. Perhatikan ayat-ayat
berikut: “Baiklah orang bijak mendengar dan menambah ilmu dan baiklah
orang yang berpengertian memperoleh bahan pertimbangan -- untuk mengerti
amsal dan ibarat, perkataan dan teka-teki orang bijak” (Ams. 1:5-6).
“Permulaan hikmat ialah: perolehlah hikmat dan dengan segala yang

10
kauperoleh perolehlah pengertian” (Ams. 4:7). “Hati orang berpengertian
mencari pengetahuan, tetapi mulut orang bebal sibuk dengan kebodohan”
(Ams. 15:14). Ini berarti bahwa orang percaya perlu melatih pikiran dan
mengembangkannya. Sebagai orang Kristen, orang percaya memiliki
kesempatan dan keharusan menggunakan pikiran dan penalaran orang
percaya untuk melayani Tuhan. Orang percaya perlu mendisiplin pikiran
orang percaya seperti halnya para atlit melakukan latihan. Orang percaya
harus menjaga pikiran orang percaya dan melatihnya sehingga tetap baik,
tajam dan sehat untuk digunakan. Karena itu orang percaya perlu
memperhatikan nasihat yang mengatakan “Apakah orang yang mempunyai
hikmat menjawab dengan pengetahuan kosong, dan mengisi pikirannya
dengan angin?” (Ayb. 15:2).
Pemazmur mengingatkan orang percaya “Ajarlah kami menghitung
hari-hari kami sedemikian, hingga kami beroleh hati yang bijaksana” (Mamur
90:12). Pada saat seseorang menjadi cukup dewasa untuk menyadari betapa
singkatnya hidup ini, maka ia mulai sadar betapa berharganya seandainya ia
telah belajar lebih awal untuk menjadi bijaksana dalam kehidupan. Paulus
menasihati, “Karena itu, perhatikanlah dengan saksama, bagaimana kamu
hidup, janganlah seperti orang bebal, tetapi seperti orang arif, dan
pergunakanlah waktu yang ada, karena hari-hari ini adalah jahat. Sebab itu
janganlah kamu bodoh, tetapi usahakanlah supaya kamu mengerti kehendak
Tuhan” (Ams. 5:15-17).

1. Kapasitas berpikir orang percaya merupakan bagian dari gambar


Allah di dalam diri orang percaya.
Alkitab menyatakan bahwa Allah adalah Pencipta segala sesuatu.
Alkitab menyatakan “Hanya Engkau adalah TUHAN! Engkau telah
menjadikan langit, ya langit segala langit dengan segala bala tentaranya, dan
bumi dengan segala yang ada di atasnya, dan laut dengan segala yang ada
di dalamnya. Engkau memberi hidup kepada semuanya itu dan bala tentara
langit sujud menyembah kepada-Mu” (Nehemia 9:6; Bandingkan Kejadian 1).
Tujuan penciptaan untuk kemuliaanNya (Roma 11:36; Kolose 1:16). Saat

11
Tuhan menciptakan, semua yang diciptakannya itu baik dan sempurna
(Kejadian 1:12,18,21,25,31). Manusia pun diciptakan oleh Allah. Manusia
pada waktu diciptakan sempurna tanpa cacat atau cela sedikitpun dalam
seluruh keberadaannya. Manusia adalah mahluk ciptaan yang berpribadi.
Manusia adalah mahluk mulia yang luar biasa, dikaruniakan hikmat dan
kuasa atas seluruh ciptaan kerena Ia adalah “gambar” dan “rupa” Allah
(Kejadian 1:26). Tidak heran jika Pemazmur dalam kekagumannya berkata,
“Apakah manusia, sehingga Engkau mengingatnya? Apakah anak manusia
sehingga Engkau mengindahkannya?” (Mazmur 8:5; 144:3; Bandingkan Ayub
7:17,18). Kata “gambar” diterjemahkan dari kata Ibrani “tselem” yang berarti
gambar yang dihias, suatu bentuk dan figur yang representatif yaitu suatu
gambar dalam pengertian yang konkret atau nyata. Kata “rupa” dalam bahasa
Ibrani adalah “demuth” yang mengacu pada arti kesamaan tapi lebih bersifat
abstrak atau ideal. Jadi, menyatakan bahwa manusia adalah gambar dan
rupa Allah berarti menjelaskan bahwa manusia dalam hal tertentu merupakan
refleksi yang nyata dari Allah yang hidup, yang cerdas dan bermoral. Jadi
orang percaya melihat bahwa rasionalitas manusia menggambarkan
rasionalitas Pencipta. Penggunaan pikiran atau akal budi orang percaya
merupakan tindakan yang memuliakan Allah. Matius 22:37 mencatat, Jawab
Yesus kepadanya: "Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan
dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu”. Kata Yunani
untuk “akal budi” disini adalah “nous” yang berarti “rasio atau pikiran”.

2. Kepercayaan orang percaya, yaitu iman Kristen adalah iman yang


dipikirkan
Iman Kristen bukanlah tidak masuk akal. Tidak satupun yang irasional
dari kepercayaan yang diwariskan kepada orang percaya. Iman selalu
melibatkan unsur-unsur pengetahuan (fakta-fakta), ketaatan (kebenaran) dan
tindakan kehendak (percaya). Orang percaya mendengar, memproses, dan
merespon Tuhan (firman) dengan menggunakan pikiran orang percaya.
Ketika seseorang mengambil keputusan untuk menjadi Kristen, tidaklah
berarti ia menjadi tidak logis. Sebagai orang Kristen justru orang percaya

12
seharusnya logis dalam pemikiran, menaruh perhatian dengan berpegang
pada kebenaran yang sungguh-sungguh dan bukan yang salah, terutama
mengenai Tuhan dan apa yang dikatakanNya di dalam Alkitab.5 Kecerobohan
yang disebabkan oleh suatu pemikiran yang tidak logis tidaklah merefleksikan
kerohanian, tetapi merupakan sesuatu yang bertentangan dengan kerohanian
itu. Justru orang-orang Kristen yang irasional dan tidak logis menyatakan
kurangnya rasa kasih kepada Allah, dasar dari segala pemikiran dan
kelogisan.

3. Rasio orang percaya adalah sahabat iman orang percaya.


Iman dan rasio saling berhubungan, keduanya tidaklah bertentangan
dan tidak dapat dipisahkan. Perhatikan contoh berikut dalam Ibrani 11:17-19,
“Karena iman maka Abraham, tatkala ia dicobai, mempersembahkan Ishak.
Ia, yang telah menerima janji itu, rela mempersembahkan anaknya yang
tunggal, walaupun kepadanya telah dikatakan: "Keturunan yang berasal dari
Ishaklah yang akan disebut keturunanmu. Karena ia berpikir, bahwa Allah
berkuasa membangkitkan orang-orang sekalipun dari antara orang mati. Dan
dari sana ia seakan-akan telah menerimanya kembali. Perhatikanlah frase
“Karena iman maka Abraham...” dalam ayat 17, dan frase “karena ia
berpikir...” dalam ayat 19. Disini orang percaya melihat keselarasan antara
iman dan berpikir yang tidak kontradiktif dalam diri Abraham. Pikiran yang
benar tentang Allah, mengantarkan Abraham melakukan tindakan-tindakan
iman. Dan orang percaya tahu bahwa Abraham mendapat predikat sebagai
“bapa orang beriman” dan “sahabat Allah” (Galatia 3:7,9; Yakobus 2:23).
Karena itu, berkaitan dengan iman dan akal ini, saya setuju dengan apa yang
dikatakan Peter Kreeft, & Ronald K. Tacell, “Akal budi itu berkaitan dengan
kebenaran; melaluinya orang percaya dapat mengenal kebenaran:
memahaminya, menemukannya, atau membuktikannya. Iman juga berkaitan
dengan kebenaran; melaluinya seseorang dapat menemukan kebenaran...
iman dan akal itu berperan menjadi jalan menuju kebenaran”.

13
4. Pikiran orang percaya berperan penting dalam menentukan apa yang
benar.
Manusia merasa dan berpikir, karena Allah merancangnya demikian.
Perasaan atau emosi orang percaya diekspresikan dalam sukacita,
kemarahan, penyesalan, dan perasaan-perasaan lainnya. Emosi merupakan
sesuatu yang baik, orang percaya marah terhadap kejahatan, orang percaya
sedih terhadap kemiskinan dan penderitaan, serta lain sebagainya. Tetapi,
emosi harus tetap dijaga dalam konteks dan ekspresi yang benar. Yang harus
diingat, emosi tidak dapat menentukan kebenaran atau memutuskan
kebenaran dari kesalahan. Merasa baik misalnya, tidak mengindikasikan
bahwa sesuatu itu benar, dan merasa buruk tidak mengindikasikan
kesalahannya. Emosi adalah bagian dari jiwa yang menghargai dan
merespon kepada hidup. Menghargai emosi untuk mengidentifikasi
kebenaran adalah seperti meminta telinga orang percaya untuk mencium
sebuah bunga. Telinga itu tidak dapat melakukannya karena telinga tidak
diciptakan untuk mencium.5 Emosi tidak memiliki muatan dan informasi
dimana orang percaya dapat mengevaluasi kebenaran atau kesalahan.
Kapasitas pikiran orang percayalah yang melakukan fungsi ini.
Kekristenan yang benar mengajarkan orang percaya untuk tidak
membuat keputusan atau mengambil tindakan berdasarkan perasaan.
Mengambil keputusan dan bertindak berdasarkan bagaimana orang percaya
merasa bisa membawa kepada bahaya, karena emosi tidak dapat mengenali
benar atau salah lebih daripada kemampuan pikiran untuk mengenalinya.
Emosi memang mempengaruhi pikiran, tetapi seharusnya tidak menjadi faktor
penentu. Ketika kebenaran dan kesalahan diidentifikasi, perasaan dapat dan
harus menemani keputusan. Orang Kristen harus mengikuti teladan Yesus
dan juga rasul Paulus yang menggunakan emosi mereka dengan baik dengan
menaruhnya pada tempatnya. Kemampuan atau kapasitas pikiran orang
percaya harus digunakan untuk membuat keputusan-keputusan mengenai
kebenaran dan moral. Pikiran yang terlatih dalam firman Allah memimpin

5 Iswara Rintis Purwantara, Prapenginjilan: Menyingkirkan Kendala-Kendala


Intelektual Dalam Penginjilan, (Yogyakarta: Penerbit ANDI, 2012), 36.

14
orang percaya dalam jalan Allah “FirmanMu itu pelita bagi kakiku dan terang
bagi jalanku” (Mazmur 119:105). Lukas mencatat, bagaimana pikiran murid-
murid yang telah dicerahkan dapat mengerti Kitab Suci, “Ia berkata kepada
mereka: ‘Inilah perkataan-Ku, yang telah Kukatakan kepadamu ketika Aku
masih bersama-sama dengan kamu, yakni bahwa harus digenapi semua
yang ada tertulis tentang Aku dalam kitab Taurat Musa dan kitab nabi-nabi
dan kitab Mazmur.’ Lalu Ia membuka pikiran mereka, sehingga mereka
mengerti Kitab Suci” (Luk. 24:44-45).

5. Rasio tidak bertentangan dengan Kebenaran sejati.


Thomas Aquinas menyatakan, sebagaimana yang dikutip oleh Peter
Kreeft, & Ronald K. Tacell, “mustahil kebenaran itu dipertentangkan dengan
prinsip-prinsip yang dapat diketahui atau dikenal oleh akal pikiran manusia”.
Apabila akal digunakan secara benar, pastilah tidak bertentangan dengan
kebenaran. Filsuf Kristen, Arthur F. Holmes menyatakan, “segala kebenaran
adalah kebenaran Allah, dimanapun ia ditemukan”. Selanjutnya Holmes
menyatakan, “Jika Allah adalah Pencipta yang kekal dan yang maha
bijaksana dari segala sesuatu, sebagaimana ditegaskan oleh orang Kristen,
maka hikmatNya yang kreatif itu merupakan sumber dan norma semua
kebenaran mengenai segala sesuatu. Dan karena Allah dan hikmatNya
senantiasa tidak berubah, maka kebenaran itu tidak berubah dan bersifat
universal”. Dengan demikian, apabila ada pernyataan kebenaran yang
dianggap keliru dan bertentangan dengan akal, sedangkan orang percaya
mengetahui bahwa kebenaran itu tidak bertentangan dengan akal, maka
hanya ada dua kemungkinan, yaitu: (1) pernyataan itu bukan kebenaran; atau
(2) pikiran orang percaya yang keliru atau salah memahaminya. Sekali lagi,
Arthur F. Holmes menyatakan, “kebenaran itu tidak relatif, tapi absolut, artinya
tidak berubah dan universal”. Karena akal tidak bertentangan dengan
kebenaran, maka belasan abad yang lalu Augustinus menggunakan
kebenaran-kebenaran logika dan matematika seperti A = A atau 2 + 2 = 4
untuk menunjukkan satu Kebenaran universal dan yang tidak berubah, dan

15
menjelaskan bahwa kebenaran-kebenaran yang lebih rendah itu didasarkan
kepada Kebenaran yang lebih tinggi, yang ia identifikasikan sebagai Allah.

16
BAB IV
KESIMPULAN

Setiap orang Kristen seharusnya berani mengambil sikap tegas


menguji segala sesuatu, apalagi menyangkut ajaran iman atau perilaku yang
diklaim benar. Kemudian, bertindak berdasarkan hasil pengujian merupakan
kewajiban bagi semua orang Kristen. Perhatikanlah nasihat rasul Paulus,
“Ujilah segala sesuatu dan peganglah yang baik” (1 Tesalonika 5:21). Rasa
takut untuk menguji segala sesuatu yang datang dengan memakai jubah
Kekristenan dan mengatasnamakan Roh Kudus, tidaklah menunjukkan
spiritualitas yang tinggi tetapi justru menunjukkan kelemahan. Mudah tertipu
tidak sama dengan spiritualitas (kerohanian). Seseorang berdosa tidak hanya
karena menolak kebenaran sejati, tetapi juga karena menerima yang palsu.
Karena itu penolakan penggunaan rasio untuk menguji kebenaran bukanlah
bentuk spritualitas yang tinggi.
Berdasarkan penjelasan di atas, perlu bagi orang percaya sebagai
orang Kristen untuk terus menerus melatih dan mengembangkan pikiran
orang percaya, sehingga menjadi semakin tajam, tepat dan benar. Orang
percaya juga perlu untuk memiliki standar penalaran yang tinggi. Dan, logika
adalah bagian penting dari suatu penalaran yang tajam. Sebagai contoh,
beberapa orang Kristen dengan mudahya mengadopsi satu kepercayaan atau
melakukan praktek tertentu tanpa secara seksama mengevaluasi argumen-
argumen yang digunakan untuk mendukung kepercayaan atau praktek-
praktek tersebut. Orang percaya perlu menerapkan kembali metode orang-
orang Berea yang mempelajari Orang percayab Suci setiap hari untuk
mencari tahu apakah yang diajarkan para rasul itu benar (Kisah Para Rasul
17:10-11). Jadi, pada dasarnya orang percaya harus berpikir sebagaimana
Allah memberi dan merancangnya bagi orang percaya. Orang percaya perlu
berpikir tentang Allah, tentang iman orang percaya, dan tentang hidup orang
percaya.
Ketelitian dan kepekaan untuk membedakan mana yang dari Allah dan
mana yang bukan dari Allah, mana yang kebenaran dan yang bukan

17
kebenaran, sangat dibutuhkan. Apalagi bila menyangkut ajaran dan perilaku
kehidupan orang percaya. Hal ini penting bagi kemurnian iman orang percaya
dan supaya orang percaya tidak terjerumus ke dalam kesalahan dan
kesesatan. Rasul Paulus mengingatkan, “Hati-hatilah, supaya jangan ada
yang menawan kamu dengan filsafatnya yang kosong dan palsu menurut
ajaran turun-temurun dan roh-roh dunia, tetapi tidak menurut Kristus...
Janganlah kamu biarkan kemenanganmu digagalkan oleh orang yang pura-
pura merendahkan diri dan beribadah kepada malaikat, serta berkanjang
pada penglihatan-penglihatan dan tanpa alasan membesar-besarkan diri oleh
pikirannya yang duniawi, sedang ia tidak berpegang teguh kepada Kepala,
dari mana seluruh tubuh, yang ditunjang dan diikat menjadi satu oleh urat-urat
dan sendi-sendi, menerima pertumbuhan ilahinya” (Kolose 2:8,18-19).
Dengan melakukan pengujian orang percaya akan terhindar dari kecerobohan
rohani yang dapat berakibat fatal.

18
DAFTAR PUSTAKA

Bakhtiar, Amsal., 2010. Filsafat Ilmu. Penerbit, PT. Rajagrafindo Persada:


Jakarta.

Bluedorn, Nathanael & Hans Bluedorn., 2003. The Detektive Fallacy.


Universal Press Sindicate.

Cornish, Rick., 2007. Five Minute Apologist. Terjemahan, Penerbit Pionir Jaya
: Bandung.

Daun, Paulus., 2009. Pengantar Ilmu Filsafat Dalam Perspektif Iman Kristen.
Penerbit, Yayasan Daun Family: Manado.

Enns, Paul., 2004. The Moody Handbook of Theology, jilid 1. Terjemahan,


Penerbit Literatur SAAT: Malang.

Erickson J. Millard., 2003. Christian theology. Jilid 1. Terjemahan, Penerbit


Gandum Mas : Malang.

Ferguson, Sinclair B, D.F. Wraight & J.I Packer, ed. 2009. New Dictionary of
Theology. Jilid 1, Terjemahan, Literatur SAAT: Malang.

Frame, John M., 2004. Doktrin Pengetahuan Tentang Allah, jilid 1 & 2.
Terjemahan, Pernerbit Literatur SAAT: Malang.

Frame, John M., 2010. Apologetics To The Glory Of God: An Introduction.


Terjemahan, Penerbit Momentum: Jakarta.

Geisler, Norman & David Geisler., 2010. Conversational Evangelism:


Bagaimana Mendengaran dan Berbicara Agar Didengarkan. Penerbit
Yayasan Gloria: Yogyakarta.

19
Groothuis, Douglas., 2010. Pudarnya Kebenaran, Membela Kekristenan
Terhadap Tantangan Postmodernisme. Terjemahan, Penerbit
Momentum: Jakarta.

Holmes, Arthur F., 2009. All Truth is God’s Truth. Terjemahan, Penerbit
Momentum: Jakarta.

Hugiono & P.K, Poerwantana., 1992. Pengantar Ilmu Sejarah. Penerbit


Rineka Cipta: Jakarta.
Kattsoff, Louis O., 1992. Elements of Philosophy. Terjemahan, Penerbit Tiara
Wacana Yogya: Yogyakarta.

Kreeft, Peter & Ronald K. Tacell., 1994. Pedoman Apologetika Kristen. Jilid 1
Terjemahan, Penerbit Yayasan Kalam Hidup: Bandung.

Lasiyo & Yuwono., 1985. Pengantar Ilmu Filsafat. Penerbit Liberty:


Yogyakarta.

Lewis, C.S., 2006. Mere Christianity. Terjemahan, Penerbit Pionir Jaya :


Bandung.

Marzuki., 2005. Metodologi Riset: Panduan Penelitian Bidang Bisnis dan


Sosial. Penerbit Ekonisia: Yogyakarta.

Poesporodjo, W & Ek. T. Gilarso, 1999. Logika Ilmu Menalar. Penerbit


Pustaka Grafika: Bandung.

Pratt, Richard L, Jr., 1994. Menaklukan Segala Pikiran Kepada Kristus.


Terjemahan, Penerbit Literatur SAAT: Malang.

20
Purwantara, Iswara Rintis., 2012. Prapenginjilan: Menyingkirkan Kendala-
Kendala Intelektual Dalam Penginjilan. Penerbit ANDI: Yogyakarta.

Ryrie, Charles C., 1991. Basic Theology. Jilid 1, Terjemahan, Penerbit ANDI
Offset : Yogyakarta.

Sproul, R.C., 1997. Defending Your Faith: An Introduction To Apologetics.


Terjemahan, Penerbit Literatur SAAT : Malang.

Subagyo, Andreas., 2004. Pengantar Riset Kuantitatif dan Kualitatif. Penerbit


Kalam Hidup: Bandung.

Susanto, Hasan., 2003. Perjanjian Baru Interlinier Yunani-Indonesia dan


Konkordansi Perjanjian Baru, jilid I & II. Penerbit Literatur SAAT :
Malang.

21

Anda mungkin juga menyukai