Anda di halaman 1dari 27

I.

ARTI TRITUNGGAL

Sebelum kita membahas arti Tritunggal, maka pertama-tama yang harus dipikirkan adalah
tentang masalah terminologi (penggunaan istilah) dalam konteks ini. Selain Tritunggal, kata
lain yang sering dipakai adalah kata Trinitas(Ing: Trinity). Louis Berkhof berkata bahwa kata
bahasa Inggris Trinity tidaklah seefektif kata bahasa Belanda Drie enheid sebab kata itu bisa
saja hanya untuk menunjukkan arti tiga tanpa adanya implikasi kesatuan dari ketigaannya.
(Louis Berkhof; Teologi Sistematika (Doktrin Allah); 1993: 145). Karena itu selain kata ini
banyak digunakan, tetapi demi ketidaksimpangan pengertian, lebih baik digunakan kata
Tritunggal.

Secara etimologi, kata Tritunggal berasal dari kata bahasa Latin Trinitas yang terdiri dari dua
kata, yaitu tres yang artinya tiga, dan unus yang berarti esa, tunggal atau satu. (Thomas N.
Raltson: Elements of Divinity; 1924: 58). Jadi, Tritunggal artinya tiga satu. Tiga satu apa?
Atau apa yang tiga satu ?Memang sulit mengartikan kata ini di luar konteks kekristenan,
sebab kata ini secara eksklusif hanya digunakan dalam dunia teologia Kristen, sehingga arti
yang dikenakan kepadanya menjadi eksklusif pula.

Adapun pengertian Tritunggal (tiga satu) ini dalam konteks teologia Kristen adalah
pengertian yang seimbang antara tiga dan satu. Penekanan terhadap tiga dan mengabaikan
satu ataupun penekanan terhadap satu dan mengabaikan tiga, menjadikan kata ini kehilangan
pengertiannya yang benar di dalam teologia Kristen. Pandangan para teolog Injili biasanya
adalah pandangan dengan konsep seperti di jelaskan di atas. Seperti pandangan yang
dikemukakan oleh Warfield bahwa ada satu Allah yang benar dan satu-satunya, tetapi di
dalam keesaan dari keallahan ini ada tiga pribadi yang sama kekal dan sepadan, sama di
dalam hakikat, tetapi berbeda di dalam pribadi (Charles C. Ryrie; Basic Theology; 1988: 53).
Pandangan A.W.Tozer mengatakan bahwa di dalam Tritunggal ini tidak ada yang lebih
dahulu atau lebih kemudian, tidak ada yang lebih besar atau lebih kecil, tetapi ketiga pribadi
itu sama-sama kekal, bersama-sama, dan setara (A.W.Tozer: Mengenal Yang Maha Kudus;
1995: 35; lihat juga Peter Wongso: Doktrin Tentang Allah (Diktat); 1988: 31). Mungkin
pandangan yang paling lengkap adalah pandangan atau pengertian yang disampaikan oleh
Stephen Tong : “Doktrin Tritunggal termasuk doktrin monoteisme yang percaya kepada
Allah Yang Maha Esa. Dan Allah Yang Maha Esa itu mempunyai tiga pribadi, bukan satu.
Pribadi pertama adalah Allah Bapa, pribadi kedua adalah Allah Anak (Yesus Kristus) dan
pribadi ketiga Roh Kudus. Tiga pribadi bukan berarti tiga Allah, dan satu Allah bukan berarti
satu pribadi. Tiga pribadi itu mempunyai satu esensi atau sifat dasar (Yunani: Ousia; Inggris :
substance) yang sama, yaitu Allah. Allah Bapa adalah Allah, Allah Anak adalah Allah dan
Roh Kudus adalah Allah, namun ketiga-Nya mempunyai satu ousia, yaitu esensi Allah”.
(Stephen Tong ; Allah Tritunggal; 1990 : 20-21).

Dengan demikian dalam konteks teologia Kristen yang memahami Allah sebagai tiga pribadi
dalam satu kesatuan, maka penekanan terhadap “keesaan” atau “ketigaan-Nya” saja,
membuat doktrin ini kehilangan artinya, sekaligus menyebabkan kejatuhan ada dua ekstrim.
Yaitu, pandangan yang menganggap adanya tiga Allah, dan pandangan yang menganggap
adanya satu Allah dan menyatakan diri dalam tiga keadaan yang berbeda. Jadi, pengertian
yang benar adalah pengertian yang mampu mengakomodasi kedua konsep ini (keesaan dan
ketigaan), atau dengan kata lain mampu menyeimbangkan antara keesaan (ketunggalan) dan
ketritunggalan Allah.

II. KEDUDUKAN DOKTRIN TRITUNGGAL DALAM TEOLOGIA KRISTEN

Doktrin Tritunggal adalah doktrin yang sangat penting dalam teologia Kristen. Jatuh
bangunnya iman Kristen sungguh-sungguh bergantung pada benar-tidaknya doktrin ini.
Semua doktrin kekristenan secara otomatis akan runtuh, jika doktrin Tritunggal runtuh.
Sebab, hampir semua pokok penting dalam agama Kristen, bergantung pada ajaran bahwa
Allah adalah tiga dalam satu. (Bruce Milne : Mengenal Kebenaran ; 1993, hal.90). Henry B.
Smith berkata , “Ketika doktrin tentang Trinitas ditinggalkan, bagian-bagian lain dari iman,
seperti pendamaian dan regenerasi selalu juga ditinggalkan.” (Henry B. Smith dalam buku
A.H. Strong: Systematic Theology, Vol. I: The Doctrine of God); 1907: 351). Jadi dengan
kata lain dapat dikatakan bahwa doktrin Tritunggal adalah fondasi teologia Kristen.

Untuk lebih jelasnya akan dipaparkan hubungan doktrin Tritunggal dengan beberapa doktrin
pokok dalam kekristenan di antaranya adalah teologia (doktrin Allah), Kristologi (doktrin
Kristus), pneumatologi (doktrin Roh Kudus), dan soteriologi (doktrin keselamatan).

1. Hubungan Doktrin Tritunggal Dengan Teologia

Dalam doktrin tentang Allah secara umum (teologia), yang dikaitkan dengan Tritunggal maka
hal yang menarik untuk disoroti adalah masalah wahyu (revelation). Sebab wahyu adalah
satu-satunya cara manusia untuk dapat memahami Allah yang transenden. Tanpa wahyu
manusia tak mungkin mengenal Allah, apalagi mengenalnya dengan benar.

Wahyu (revelation) adalah tindakan Allah keluar dari “selubung-selubung-Nya” untuk


memperkenalkan diri-Nya kepada manusia. Pertama-tama Allah melakukannya melalui apa
yang disebut sebagai wahyu umum (General revelation of God) yaitu melalui penciptaan
dunia ini. Tetapi karena kejatuhan manusia ke dalam dosa, mengakibatkan terjadinya distorsi
dalam keseluruhan aspek hidup yang membuat manusia tak mampu mengenal Allah melalui
wahyu umum-Nya. Karena itu Allah memberikan wahyu khusus (Special revelation of God),
yaitu melalui pribadi kedua dari Allah Tritunggal. Demi kepentingan wahyu khusus ini, maka
ketiga oknum Allah terlibat di dalamnya. Allah Bapa sebagai “Yang dinyatakan”, Allah Anak
sebagai “Yang menyatakan” dan Allah Roh Kudus sebagai “Yang memungkinkan
penyataan”. Dalam konteks ini, penting juga untuk memikirkan apa yang dikatakan oleh
Augustus Hopkins Strong bahwa Trinitas adalah cara yang paling inteligen untuk mengerti
Allah sebagai pribadi.

2. Hubungan Doktrin Tritunggal Dengan Kristologi


Sebenarnya agak sulit untuk memberikan garis pemisah yang jelas antara doktrin Tritunggal
dan doktrin Kristologi, sebab keduanya mempunyai hubungan atau keterkaitan yang sangat
erat satu dengan lainnya. Kristus adalah salah satu oknum dari Allah Tritunggal., di samping
Sang Bapa dan Roh Kudus. Itulah sebabnya Otto Weber berkata, “Memang kita tak dapat
membahas soal Trinitas tanpa menyinggung soal Kristologi.” (Otto Weber dalam buku Andar
Tobing: Apologetika Tentang Trinitas: 1972:19).

Memang secara historis perdebatan Kristologi terjadi lebih dahulu daripada perdebatan
tentang doktrin Tritunggal, namun secara hakiki sebenarnya ada hubungan timbal balik antara
kedua doktrin ini. Doktrin Tritunggal tak dapat dibenarkan jika ternyata doktrin Tritunggal
keliru. John F. Walvoord mengaitkan Kristologi dengan doktrin Tritunggal dengan
mengatakan bahwa setiap serangan terhadap doktrin Tritunggal merupakan serangan pula
terhadap pribadi Kristus. Sebaliknya setiap serangan terhadap pribadi Kristus merupakan
serangan terhadap doktrin Tritunggal, karena keduanya berdiri dan jatuh bersama. (John F.
Walvoord, Yesus Kristus Tuhan Kita ; tt :25), Jelas hal ini berbeda dengan apa yang
dikatakan oleh Andar Tobing bahwa ajaran Trinitas timbul dari Kristologi (Andar Tobing;
1972:19).

3. Hubungan Doktrin Tritunggal Dengan Pneumatologi

Mungkin hubungan Pneumatologi dengan doktrin Tritunggal tak berbeda jauh dengan
hubungan Kristologi dengan doktrin Tritunggal, sebab sama seperti Kristus, Roh Kudus pun
adalah salah satu dari oknum-oknum Tritunggal. Dengan demikian, kekeliruan doktrin
Tritunggal menggugurkan Pneumatologi, dan kekeliruan pneumatologi menggugurkan
doktrin Tritunggal. Sama seperti pandangan Walvoord di atas, walaupun ia hanya mengaitkan
doktrin Tritunggal dengan Kristologi, tetapi tak dapat dipersalahkan kalau hal inipun
dikaitkan dengan pneumatologi. Setiap serangan terhadap pribadi Roh Kudus adalah
serangan terhadap doktrin Tritunggal, dan setiap serangan terhadap doktrin Tritunggal juga
merupakan serangan terhadap pribadi Roh Kudus. Selain itu perlu ditambahkan pula bahwa
Roh Kudus adalah pribadi yang aktif dalam semua tindakan ilahi. Ia terlibat dalam tindakan
penciptaan, Ia terlibat dalam karya penebusan dan memberi hidup baru, Ia juga terlibat dalam
tindakan pewahyuan dengan menurunkan Firman ke dunia. (Stephen Tong: Roh Kudus, Doa
dan Kebangunan, 1995: 10).

4. Hubungan Doktrin Tritunggal Dengan Soteriologi

Selain hubungan dengan teologi, kristologi dan pneumatologi, doktrin Tritunggal pun
memiliki hubungan yang sangat erat dengan doktrin keselamatan (soteriologi). Keeratan
hubungan ini dapat dijelaskan melalui peranan ketiga oknum Allah ini dalam rencana
keselamatan manusia.

Seluruh tindakan Allah harus dilihat dari kaca mata soteriologi, karena segala sesuatu yang
dilakukan Allah seperti tindakan penciptaan, (oleh Allah Bapa), penebusan (oleh Allah
Anak), dan pewahyuan (oleh Allah Roh Kudus) merupakan “isi” dari sejarah keselamatan
yang telah dirancang-Nya sejak kekekalan. Jadi, rencana atau sejarah keselamatan manusia
tak dapat dilepaskan dari keterlibatan ketiga oknum Allah ini. Inilah arti praktis dari dogma
ketritunggalan. (Niftrik & Boland : Dogmatika Masa Kini ; 1984: 553). Memang dalam
semua tindakan ilahi ini ketiga-Nya terlibat secara aktif, tetapi secara khusus dapatlah
dikatakan bahwa Allah Bapa adalah perancang keselamatan, Allah Anak adalah pelaksana
karya keselamatan, dan Allah Roh Kudus adalah mediator dalam karya keselamatan itu. Jadi
seluruh pengertian keselamatan Kristen dan penerapannya pada pengalaman manusia,
tergantung pada ketritunggalan Allah (Bruce Milne; 1993:91). Boettner mengatakan bahwa
jika tidak ada trinitas, maka tak akan ada penjelmaan, tidak ada penebusan yang obyektif, dan
karena itu tak ada penyelamatan; karena tak akan ada oknum yang mampu bertindak sebagai
pengantara antara Allah dan manusia. (Boettner dalam buku Thiessen: Teologi Sistematika ;
1992: 152). Hal ini senada dengan apa yang dikatakan oleh A.H. Strong bahwa : “Jika Allah
itu hanya satu secara absolut, maka tidak ada perantaraan atau pendamaian, karena antara
Allah dan makhluk ciptaan tertinggi ada jurang pemisah yang kekal. Kristus tidak dapat
membawa kita lebih dekat kepada diri-Nya sendiri. Hanya Allah sajalah yang dapat
memperdamaikan kita dengan Allah. Demikian juga hanya Allah sajalah yang dapat
menyucikan jiwa kita. Allah yang hanya satu, tetapi di dalam-Nya tidak ada pluralitas, dapat
menjadi hakim kita, tetapi – sejauh kami lihat – tidak bisa menjadi Juruselamat atau yang
menyucikan kita”. (A.H. Strong; 1907: 350).

III. KESULITAN DALAM MEMPELAJARI DOKTRIN TRITUNGGAL

Setiap orang yang pernah belajar doktrin Tritunggal pasti setuju bahwa doktrin tersebut
adalah doktrin yang sangat sulit dipahami atau dimengerti. Boettner mengatakan bahwa
ketika kita memandang Allah Tritunggal, kita merasa seperti orang yang memandang
langsung matahari pada tengah hari (Loraine Boettner, Studies in Theology; 1960: 124).
Sedangkan A.W. Tozer mengatakan bahwa : “Untuk merenungkan ketiga pribadi Allah itu
berarti di dalam pikiran kita melangkah ke arah timur melalui Taman Eden dan memijakkan
kaki kita di tempat yang suci. Usaha kita yang paling tulus untuk mencoba memahami rahasia
Tritunggal yang tak dapat dimengerti itu akan tetap tinggal sia-sia, dan hanya rasa takut dan
hormat saja yang dapat mencegah kita membuat sesuatu yang semata-mata merupakan
sangkalan saja”. (A.W. Tozer, 1995: 29). Itulah sebabnya dalam pembahasannya tentang
Tritunggal, ia mengawalinya dengan sebuah doa yang berbunyi demikian : “Ya, Allah nenek
moyang kami, yang bertakhta di dalam terang, betapa merdunya bahasa kami! Namun,
apabila kami mencoba menceritakan keajaiban-Mu, bahasa kami terasa miskin dan sumbang.
Apabila kami merenungkan misteri Allah Tritunggal, kami hanya terpesona. Di hadapan
takhta-Mu, kami tidak meminta supaya kami mengerti, kami hanya ingin supaya kami
selayaknya mengasihi dan menyembah Engkau, Allah yang Tritunggal, yang mempunyai tiga
pribadi. Amin”.

Berdasarkan pendapat-pendapat di atas, maka betapa pentingnya melihat hal-hal yang


menjadi kesulitan dalam mempelajari doktrin Tritunggal.

1. Kesulitan Teologis
Teologia Kristen mempunyai pandangan yang unik tentang Allah (God is the Whole Other).
Di dalam Alkitab, Allah dinyatakan dengan begitu jelas yang meliputi diri atau esensi Allah,
keberadaan Allah, sifat-sifat atau karakter Allah, atribusi Allah, dan karya-karya-Nya. Secara
khusus tentang diri atau esensi Allah yang dikaitkan dengan sifat-sifat-Nya maka akan
ditemukan dua konsep di dalamnya yaitu:

(1) Allah itu esa

(2) Ada tiga pribadi Allah yang memiliki kualitas yang sama dalam segala hal.

Dua kenyataan in mengharuskan para teolog untuk menyusun dasar-dasar teologia yang
seimbang dan tidak menekankan atau mengutamakan salah satu aspek saja (lihat bagian
tentang Arti Tritunggal). Tetapi bagaimanakah hal itu dapat dilakukan? Inilah kesulitan
teologis dalam mempelajari dan merumuskan doktrin Tritunggal dengan benar (Penjelasan
lengkap tentang masalah ini dapat dilihat dalam bagian “Dasar alkitabiah doktrin
Tritunggal”).

2. Kesulitan Filosofis

Bukan hanya kesulitan teologis yang dihadapi dalam mempelajari doktrin Tritunggal, tetapi
juga kesulitan filosofis. Thiessen mengatakan bahwa ajaran tentang Tritunggal Allah adalah
suatu rahasia yang besar sekali. Seakan-akan ajaran in merupakan teka-teki intelektual yang
sulit dipecahkan atau bahkan merupakan suatu kontradiksi (Thiessen; 1992: 139). Rasio tak
mampu memecahkan misteri ini. ”Bagaimana mungkin sesuatu itu tiga sekaligus satu atau
satu sekaligus tiga?” Pemikir-pemikir Islam sering terjebak dalam kesulitan in akhirnya
menuduh agama Kristen sebagai agama yang mempunyai konsep Allah (monoteisme) yang
tak masuk akan (kontra rasional). Mereka sering memakai analogi matematika untuk maksud
itu, yaitu 1+1+1 = 1 (Andar Tobing; 1972: 9-10). Memang inilah kesulitan filosofis dalam
mempelajari doktrin Tritunggal.

3. Kesulitan Empiris.

Kesulitan empiris yang dimaksud di sini adalah sebuah kesulitan yang dihubungkan dengan
kenyataan bahwa Allah itu “Ada” meski tidak kelihatan dan tidak ada yang sama dengan
keberadaan-Nya. Allah itu adalah ia yang tidak pernah identik dengan apa yang disebut
sebagai Allah, yang dialami sebagai Allah, yang dirindukan dan disembah… (Barth dalam
buku Horst G. Poehlmann: Allah itu Allah (Potret 6 Teolog Besar Kristen Protestan Abad
Ini); 1998: 15). Floyd C. Woodworth, Jr dan David D. Duncan mengatakan bahwa : “Dalam
pengalaman kita, tidak ada sesuatu yang sebanding dengan ketritunggalan dalam keesaan dan
keesaan dalam ketritunggalan. Kita tahun bahwa tidak ada tiga orang yang secara struktur
adalah satu. Tidak ada tiga orang yang masing-masing mempunyai pengetahuan yang
lengkap tentang apa yang dibuat atau dipikirkan oleh yang lainnya. Setiap orang memagari
dirinya sendiri dengan kebebasan pribadi. Tidak ada manusia yang memiliki kepribadian
jamak seperti yang dinyatakan tentang Allah”. (Floyd C. Woodworth, Jr & David D. Duncan,
Dasar-Dasar Kebenaran; 1989: 27).

Kenyataan ini mengakibatkan kesulitan dalam memahami Allah, sebab tidak ada sesuatu
apapun yang dapat dipakai sebagai analogi untuk mendekati-Nya. Kesulitan inilah yang
menjadi dasar kelemahan semua analogi tentang doktrin Tritunggal. Itulah kesulitan-kesulitan
dalam mempelajari dan memahami doktrin ini. Setelah melihat kesulitan-kesulitan di atas,
maka sekarang penting juga untuk melihat alasan-alasan yang menyebabkan doktrin
Tritunggal ini sulit dipahami, atau dengan kata lain, “Mengapa doktrin ini sulit
dimengerti?”Sekurang-kurangnya ada tiga alasan untuk menjawab pertanyaan itu, yaitu :

1. Alasan Teologis

Di dalam alasan teologis ini, terdapat tiga fakta yang menyebabkan kebenaran Tritunggal
sulit dimengerti atau dipahami (Stephen Tong; Allah Tritunggal; 1990: 13-18). Ketiga fakta
ini antara lain

a. Kebenaran Tritunggal ini adalah kebenaran yang bersifat dan berdasarkan wahyu Allah

Yang dimaksud dengan kebenaran yang bersifat dan berdasarkan wahyu Allah di sini adalah
bahwa kebenaran Tritunggal bukanlah hasil spekulasi manusia, tetapi merupakan anugerah
dari Allah yang tidak bisa kita mengerti, juga tidak bisa kita bantah (tolak), hanya bisa kita
terima.

Dalam kerangka berpikir tentang wahyu (pernyataan dari Allah) ini, kita mengenal adanya
wahyu bertingkat (Progressive Revelation) yaitu wahyu yang mengalami kemajuan dari yang
sangat tidak jelas, menjadi tidak jelas, kemudian menjadi kurang jelas, dan akhirnya menjadi
jelas bahkan sangat jelas. Wahyu progresif ini dibagi dalam dua jenis wahyu, yaitu wahyu
Allah secara umum (General Revelation of God), dan wahyu Allah secara khusus (Special
Revelation of God). Wahyu Allah secara umum dinyatakan melalui peristiwa penciptaan
dunia ini, dan wahyu Allah secara khusus dinyatakan melalui pribadi kedua dari Allah
Tritunggal (Yesus Kristus) pada saat inkarnasi-Nya. Dalam konteks ini, kebenaran Tritunggal
adalah kebenaran yang bersifat atau berdasarkan wahyu Allah secara khusus (Special
Revelation of God). Dengan demikian jika kebenaran yang bersifat wahyu ini tidak diterima
dengan iman, maka ini pasti akan menimbulkan kesulitan di dalam memahami-Nya. Ds. S.C.
Hofland menulis : “Jangan sekali-kali kita berspekulasi mengenai Allah. Jangan sekali-kali
mengemukakan pertanyaan yang nadanya untuk mencari tahu, bagaimana gerangan
keberadaan Allah itu sebenarnya, di balik pernyataan-Nya kepada manusia. Manusia hanya
dapat berbicara mengenai Allah dalam keterkaitannya dengan Allah sendiri, yaitu dalam
suatu hubungan yang bersifat sangat ‘relasional’. (Ds. A.C. Hofland; dkk: Allah Beserta Kita;
1991:23).

b. Kebenaran Tritunggal adalah kebenaran yang berasal dari Sang Pencipta


Berbicara tentang Tritunggal adalah berbicara tentang Allah sebagai Sang Pencipta. Manusia
berusaha untuk memahami Allah Tritunggal. Siapakah manusia yang mau memahami-Nya?
Manusia adalah makhluk (ciptaan), dan Tritunggal adalah Allah (pencipta). Jadi yang ingin
mengetahui adalah ciptaan, dan yang ingin diketahui adalah pencipta. Pertanyaannya adalah,
“Mungkinkah ciptaan memahami pencipta dengan sempurna?” Niftrik dan Boland
mengatakan bahwa : “Apabila kita mau berbicara tentang soal “ketritunggalan” maka
haruslah terlebih dahulu kita insafi, bahwa kita berbicara tentang Allah. Allah itu Allah yang
hidup, bukan sesuatu pengertian atau persoalan yang dapat diselidiki dengan akal budi kita
sampai menjadi “terang”. Bila kita mau memecahkan suatu persoalan, maka paham kita harus
melebihi persoalan itu, sehingga dapat kita tangkap dan kuasai. Tetapi sebaliknya yang
terjadi, bila kita bertemu dengan Allah yang hidup, yakni kita “ditangkap” dan “dikuasai”
oleh Dia”. (Niftrik & Boland: Dogmatika Masa Kini; 1984: 547-548).

Selain itu pula, tak dapat dipungkiri bahwa ada perbedaan kualitatif atau perbedaan sifat
dasar di antara pencipta dan yang dicipta (Stephen Tong: Allah Tritunggal; 1990:15).
Perbedaan ini menghadirkan gap atau jurang pemisah antara Allah dan manusia. Dengan
demikian ketika seseorang hendak mempelajari doktrin Tritunggal, berarti ia sedang
berbicara tentang Ia (Allah) yang luput dari segala usaha manusia untuk memahami-Nya.
Pencipta adalah kekal, dan yang dicipta adalah fana. Tak mungkin yang fana memahami yang
kekal dengan sempurna. Pencipta adalah “Yang tak terbatas” dan yang dicipta (ciptaan)
adalah “yang terbatas” maka secara natural tak mungkin “yang terbatas” dapat memahami
“Yang tak terbatas” sampai tuntas. Yang mungkin adalah bahwa “yang terbatas” dapat
memahami “Yang tak terbatas” dalam batas-batas tertentu sesuai dengan keterbatasannya.
Semuanya ini akan mengakibatkan kesulitan dalam memahami Allah, dalam hal ini adalah
kebenaran Tritunggal.

c. Kebenaran Tritunggal adalah kebenaran mengenai Allah yang satu-satunya, Allah Yang
Maha Esa (The Only One God)

Kenyataan bahwa Allah adalah Ia yang satu-satunya, dan tak ada yang lain seperti Dia,
membuat tak mungkin menemukan sesuatu yang dapat menggambarkan tentang diri-Nya
secara sempurna. Stephen Tong mengatakan : “Biasanya kita mengerti sesuatu karena sesuatu
itu mempunyai persamaan dengan sesuatu yang lain, sehingga melalui persamaan itu kita
menemukan analoginya. Karena ada persamaan, kita mempunyai jembatan analogis untuk
pengertian kita, sehingga dari sesuatu yang sudah dimengerti kita loncat ke sesuatu yang
belum kita mengerti, akhirnya kita mengerti semuanya. Tetapi di dalam kita mengerti Allah,
tidak ada pembanding-Nya, tidak ada persamaan-Nya, sehingga tidak bisa dimengerti dengan
rasio sepenuhnya”. (Stephen Tong: Allah Tritunggal; 1990: 16). Jikalau terpaksa ada sesuatu
yang dipakai untuk menggambarkan diri-Nya, maka biasanya digunakan kata “seperti” untuk
hal itu (A.W. Tozer: Mengenal Yang Maha Kudus; 1995: 15). Yang ”seperti” tentu bukanlah
yang “disepertikan”. Jadi apa pun analogi yang digunakan untuk menjelaskan diri Allah,
tentunya tak dapat menjelaskan realitas yang sebenarnya. Apabila mencoba membayangkan
Allah itu seperti apa, maka harus menggunakan sesuatu yang bukan Allah sebagai bahan
untuk diolah oleh pikiran; bagaimanapun membayangkan Allah, sebenarnya Allah itu tidak
demikian. Hal inilah yang menyebabkan doktrin Tritunggal menjadi doktrin yang sulit
dipahami.

2. Alasan Filosofis

Ketika ilmu pengetahuan mulai berkembang dan mencapai puncaknya pada abad ini,
timbullah kecenderungan untuk menganggapnya sebagai segala-galanya. Kebenaran-
kebenaran religius yang dianggap tidak masuk akal, dilihat sebagai suatu kebohongan belaka
yang harus dibuang dan ditinggalkan. Filsuf Inggris, John Locke membagi pengetahuan
menjadi 3 macam yaitu : (1) Yang masuk akal (rasional) yang menyangkut hal-hal yang
kebenarannya dapat ditemukan melalui menguji, dan menelusuri pikiran-pikiran yang
dimiliki dari sensasi dan refleksi itu; dan melalui deduksi secara alamiah mengetahui benar
atau mungkin. (2) Yang tak masuk akal (kontra rasional), yaitu hal-hal yang tidak sesuai, atau
tidak dapat dipadankan dengan pikiran maupun ide-ide yang jelas dan nyata. (3) Yang berada
di atas kemampuan akal atau melampaui akal (supra rasional), yaitu hal-hal yang kebenaran
atau kemungkinannya tidak dapat diperoleh dari prinsip-prinsip sebagaimana yang terdapat
dalam pengetahuan yang rasional. (Colin Brown: Filsafat dan Iman Kristen I; 1994: 84; lihat
juga Stephen Tong: Siapakah Kristus (Sifat & Karya Kristus); 1992, hal.3).

Contoh untuk ketiga pembagian ini adalah seperti keberadaan Allah yang esa adalah sesuai
dengan (masuk) akal; keberadaan lebih dari satu Allah bertentangan dengan akal;
kebangkitan orang mati melampaui kemampuan akal. Jika demikian, maka pertanyaan yang
harus dipikirkan adalah, “Apakah doktrin Tritunggal itu tidak masuk akal (kontra rasional)
atau berada d atas kemampuan akal (supra rasional)?”

Untuk menjawab pertanyaan ini, haruslah dimulai dari fakta bahwa manusia adalah makhluk
yang diciptakan oleh Allah. Atau dengan kata lain, manusia adalah “ada” karena diadakan
oleh “Sang Mahaada” yang tidak pernah menjadi ada (Allah) dan ii menyangkut keseluruhan
aspek dalam diri manusia termasuk rasionya. Jadi, rasio manusia itu adalah hasil ciptaan
Allah dengan rasionya. Atau dengan kata lain Allah dengan rasio-Nya yang sempurna itu
menciptakan rasio manusia. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa rasio manusia (yang
ada pada manusia) itu adalah rupa atau gambar (replika) dalam kualitas yang lebih rendah
dari Rasio Sempurna yang ada pada Allah itu sendiri.

Jika rasio manusia mempunyai kualitas yang lebih rendah dari “Rasio Sempurna”, maka
tentunya Rasio Sempurna (Allah) harus diklasifikasikan ke dalam wilayah supra rasional.
Tentu tak dapat dipungkiri bahwa di antara apa yang rasional dan apa yang supra rasional
terdapat gap, ruang kosong, daerah vakum, atau daerah es seperti konsep Barth Gap, ruang
kosong atau daerah vakum inilah yang mengakibatkan kesulitan-kesulitan rasional-filosofis
di dalam memahami doktrin Tritunggal. Paul Tillich mengatakan bahwa iman akan Allah tak
masuk akal, paradoks, namun bukan absurd. Dengan kata lain: hanya akal yang mengalami
dapat mencapai Allah dan bukan akal yang menelaah. (Tillich dalam buku Poehlmann: Allah
itu Allah; 1998: 64).
3. Alasan Empiris

Kesulitan empiris di dalam mempelajari doktrin Tritunggal adalah tidak adanya sesuatu (apa
pun maupun siapapun) di dalam alam ini yang dapat dipakai sebagai gambaran yang
sempurna terhadap konsep yang sempurna dari Allah Tritunggal. Hal ini disebabkan karena
segala sesuatu yang ada di dunia (apa pun atau siapapun) ini bersifat alamiah (natural),
sedangkan Allah Tritunggal bersifat supra alamiah (supra natural).Tentu hal ini masuk akan
bahwa yang natural tak dapat menggambarkan Yang supra natural dengan sempurna seperti
apa yang dikatakan Boettner : “Tidak perlu heran bahwa di dalam keallahan kita menemukan
bentuk kepribadian yang unik dan berbeda dengan yang ditemukan di dalam manusia. Di
dalam tingkat yang berkembang di dalam dunia, kita berpindah dari yang sederhana ke yang
kompleks. Tanaman hidup tetapi tidak memiliki kesadaran. Binatang memiliki perasaan.
Manusia jauh lebih tinggi dari binatang dengan memiliki akal budi, kesadaran moral dan jiwa
kekal. Tingkatan yang tinggi di dalam manusia tidak dimengerti sama sekali oleh binatang,
burung, dll. Maka tidak perlu heran apabila kita tidak bisa mengerti Allah Tritunggal”.
(Boettner 1960: 108). Dengan demikian, maka tak dapat dielakkan lagi kesulitan-kesulitan
empiris di dalam usaha memahami dengan sempurna kenyataan Allah Tritunggal.

IV. SIKAP DALAM MEMPELAJARI DOKTRIN TRITUNGGAL

Seperti dikatakan di atas bahwa doktrin Tritunggal ini sulit dipahami, maka menemukan
sikap yang tepat dalam mempelajari atau memahaminya merupakan hal yang sangat penting.
Tanpa sikap yang benar dalam mempelajari kebenaran ini, maka konsep yang benar tentang
kebenaran ini akan tetap merupakan suatu misteri tak terpecahkan. Sikap-sikap itu antara
lain:

1. Penghargaan yang Tinggi Terhadap Kemisteriusan dan Keunikan Allah

Allah adalah misterius dan unik (God is the mystery and unique Being). JikalauIa misterius
dan unik, maka tentunya ada sisi dalam diri-Nya yang tak terjangkau oleh akal dan pikiran
manusia. Jikalau ia terjangkau oleh akal dan pikiran manusia, maka Ia bukanlah pribadi yang
misterius dan unik. Jikalau Iabukan pribadi yang misterius dan unik, maka pada dasarnya Ia
bukanlah Allah, sebab Allah harus memiliki sisi misteri dan keunikan dalam diri-Nya. Allah
akan kehilangan nilai keallahan-Nya jikalau sisi misteri dan keunikan menjadi hilang dari
diri-Nya. Barth berkata, “Allah bukanlah Allah, seandainya Dia bukan Dia yang sama sekali
lain, Dia Yang Asing, Yang tak terpahami, seandainya Dia Cuma perpanjangan dunia.”
(Barth dalam buku Horst G. Poehlmann; 1998: 13-14). Dengan demikian dapat dikatakan
bahwa Allah yang dapat dipahami seluruhnya adalah bukan Allah (Robert Crossley:
Tritunggal Yang Esa; 1983: 40)

Dalam ajarannya tentang Allah, Luther memaparkan dua aspek yang unik dari diri Allah
yaitu Allah yang diwahyukan (Revelated God) dan Allah yang disembunyikan (The Hidden
God). Menurutnya, Allah yang disembunyikan (The Hidden God) adalah seperti bulan di
langit yang hanya dapat dilihat bagian depannya, tanpa dapat dilihat bagian belakangnya.
Demikianlah Allah itu begitu ajaib dan besar sehingga ada bagian yang tersembunyi yang
belum pernah diwahyukan kepada kita. Inilah sisi misterius dari Allah itu. Jadi “Deus
Revelatus” (Allah yang dinyatakan) masih merupakan “Deus Apconditus” (Allah yang
tersembunyi). Senada dengan Luther, Calvin pun berkata bahwa : “Allah dalam keberadaan-
Nya yang terdalam tak terselami, Kecuali melalui wahyu Allah, hakikat Allah itu tak
terpahami sehingga keilahian-Nya sepenuhnya luput dari pengertian manusia”. Dengan
demikian di dalam mempelajari dan memahami doktrin Tritunggal, sikap yang harus dimiliki
adalah sikap penghargaan yang tinggi terhadap sisi kemisteriusan dan keunikan Allah ini.
Dengan mengakui dan menghargai serta mempertahankan sisi misteri dan keunikan dalam
diri Allah, maka hal itu sama dengan tetap menjadikan Allah sebagai Allah. Tetapi
sebaliknya, setiap usaha untuk memahami-Nya dengan sempurna dan menghilangkan sisi
kemisteriusan dan keunikan-Nya adalah sama dengan mencoba menjadikan Allah menjadi
bukan Allah, menurunkan-Nya dari takhta, serta menobatkan pikiran atau akal manusia
menjadi Allah. Barth menulis dalam bukunya “Der Romerbrief” bahwa keunikan pada Allah
akan lenyap, apabila orang tidak melihat jurang, daerah es, wilayah gurun yang harus
diseberangi, jika kita sungguh ingin melangkah dari kefanaan dan kebakaan. (Karl Barth
dalam buku Poelhmann; 1998:14). Biarkanlah Allah tetap menjadi Allah dengan membiarkan
atau menghargai ruang gelap dalam diri-Nya tanpa usaha untuk menjadikan-Nya seterang
mungkin. Michael de Milinos berkata : “Kita akan dapat mengunjung Allah lebih tinggi,
jikalau kita mengetahui bahwa Allah itu tak dapat dimengerti dan berada di luar jangkauan
pengertian kita…” (A.W.Tozer, 1995: 31-32).

2. Sikap Iman yang Mendahului Pengertian

Telah dijelaskan sebelumnya, bahwa kebenaran Tritunggal adalah kebenaran yang bersifat
dan berdasarkan wahyu. Jika demikian maka pada saat seseorang belajar tentang Tritunggal,
berarti orang tersebut sementara belajar dari Dia dan tentang Dia. Pengenalan tentang Allah
hanya dapat terjadi sepanjang hal itu dinyatakan oleh Allah sendiri. Bahkan Martin Luther
berkata bahwa Deus Revelatus (Allah yang dinyatakan) sekalipun, masih merupakan Deus
Abconditus (Allah yang tersembunyi). Dalam keberadaan yang terbatas, tak mungkin dapat
memahami yang sepenuhnya Allah Yang Tak Terbatas. (Floyd C. Woodworth, Jr & David D.
Duncan; 1989:27). Jadi pengenalan itu adalah“inadaequaat”, oleh karena seperti apa yang
dikatakan oleh Calvin bahwa “finitum non capax infiniti” (Yang fana tidak mungkin
memahami yang tidak fana/kekal) (R. Sudarmo: Ikhtisar Dogmatika;1985: 93; lihat juga
Poehlmann; 1998:15). Wahyu adalah cara dan tindakan Allah yang keluar dari selubung-
selubung-Nya, serta memperkenalkan diri-Nya kepada manusia. Jadi dalam hal pengertian
tentang kebenaran Tritunggal, Allah selalu bertindak sebagai Subyek dan tidak pernah
sebagai obyek, dan Ia selalu mengawasi setiap orang sementara orang tersebut mempelajari-
Nya. (Stephen Tong; 1990:13). G. Van Schie: Rangkuman Sejarah Gereja Kristiani Dalam
Konteks Sejarah Agama-Agama Lain (Buku 1); 1994:55).

Jikalau kebenaran ini bersifat dan berdasarkan wahyu, maka satu-satunya jalan untuk
memahami-Nya adalah dengan sikap iman dan kepasrahan dan kebenaran. Iman inilah yang
nantinya menuntun kepada pengertian tentang Kebenaran itu, seperti apa yang dikatakan oleh
Anselmus dalam “I believe in order to know and not I know in order to believe” (Aku
percaya supaya aku mengerti dan bukan aku mengerti supaya aku percaya). Sikap yang
demikian tidak memerlukan bukti lebih lanjut, sebab meminta bukti berarti menunjukkan
kebimbangan dan memperoleh bukti berarti menyatakan bahwa iman itu sia-sia. (A.W.Tozer;
1995: 32). Ini cocok dengan pendapat Jaspers bahwa ‘bukti berarti kematian iman’. (Jaspers
dalam buku Poehlmann; 1998: 18). A.W.Tozer mengawali pembahasan tentang “Allah yang
tak dapat dimengerti” dengan sebuah kalimat doa yang berbunyi : “Tuhan, dilema yang kami
hadapi besar sekali! Di hadirat-Mu kami patut berdiam diri, tetapi kasih bergelora di hati
kami dan memaksa kami untuk berbicara. Seandainya kami berdiam diri, maka batu-batu
akan berseru; namun apabila kami harus berbicara, apa yang harus kami katakan? Ajarlah
kami untuk mengetahui apa yang belum kami ketahui, karena tidak ada manusia yang dapat
mengetahui hal-hal tentang Allah, hanya Roh Allah yang dapat. Apabila akal yak berdaya,
biarlah iman yang menyangga kami, dan kami akan berpikir bahwa kami sudah percaya,
bukan supaya kami percaya. Dalam nama Tuhan Yesus, Amin”.

Dalam bagian sebelumnya telah dijelaskan bahwa salah satu kesulitan dalam mempelajari
doktrin Tritunggal adalah kesulitan filosofis, di mana kebenaran Tritunggal tergolong ke
dalam hal yang supra natural. Supra rasional berarti berada di atas jangkauan kemampuan
akal, dengan demikian rasio akan mengalami kesulitan untuk memahami hal-hal yang supra
rasional. Tentunya hal ini menimbulkan kesulitan rasional-filosofis untuk memahami doktrin
Tritunggal. Bukankah hal ini rasional? Jika ingin sungguh-sungguh rasional, maka harus
berani menerima keberadaan yang supra rasional berarti gagal menjadi orang yang rasional.

3. Sikap Hormat dan Berbakti Kepada-Nya

Selain dua sikap di atas, sikap praktis lain yang harus dimiliki dalam mempelajari doktrin
Tritunggal adalah sikap hormat, berbakti dan memuliakan keagungan dan kebesaran-Nya
seperti yang dilakukan Barth. Ia membiarkan rahasia Allah dengan seluruh kesungguhannya
tak tersentuh, dan tidak berusaha membongkarnya dengan akal budi. Ia tidak berikhtiar untuk
membedah rahasia ilahi dengan pisau rasio, melainkan menyembah-Nya. (Sebuah penilaian
terhadap Barth oleh Poehlmann; 1998:22). Anselmus berkata, “Biarkanlah aku mencari
Engkau di dalam kerinduan, dan merindukan Engkau di dalam mencari Engkau; biarkanlah
aku menemukan Engkau di dalam kasih, dan mengasihi Engkau di dalam menemukan
Engkau”(St.Anselm dalam A.W.Tozer; 1995:33).

Kebenaran Tritunggal yang jauh melampaui akal dan pengertian manusia, seharusnya
menuntun manusia untuk masuk ke dalam puji-pujian kepada-Nya. Dogma tentang
ketritunggalan itu tidak memecahkan rahasia hakikat Allah, melainkan mau mengajak untuk
turut serta memuliakan Allah dengan lagu pujian gereja segala abad…(Niftrik & Boland;
1984: 560). Doa pada perayaan ulang tahun yang ketujuh puluh dari Krister Stendahl pada
tanggal 21 April 1991 berbunyi : “Ya, Engkau Hikmat abadi, sebagian saja yang kami tahu;
Ya, Engkau Keadilan abadi yang sebagian saja kami akui tetapi tidak sepenuhnya kami turuti;
Ya, Engkau Kasih abad yang kami hanya kasihi sebagian, tetapi takut mengasihi sepenuh-
penuhnya; bukalah pikiran kami agar kami mengerti; bekerjalah dalam kehendak hati kami,
agar kami menuruti; nyalakanlah hati kami agar kami dapat mencintai-Mu”. (Hans Ucko:
Akar Bersama (Belajar tentang iman Kristen dari dialog Kristen-Yahudi); 1995; viii).

\V. ALLAH TRITUNGGAL : SEBUAH PEMBAHASAN TEOLOGIS-ALKITABIAH

Setelah mengetahui sejarah lahirnya doktrin Tritunggal dan kontroversi yang terjadi di sekitar
perumusannya, maka pada bagian ini akan dipaparkan suatu dasar teologis-alkitabiah yang
menjadi landasan doktrin ini.

1. Perjanjian Lama

Karena kebenaran Tritunggal adalah wahyu Allah, dan wahyu Allah itu bersifat progresif,
maka haruslah disadari bahwa Perjanjian Lama tidak memberikan bukti-bukti secara eksplisit
tentang ketritunggalan Allah, melainkan hanya memberikan indikasi-indikasi ke arah
kenyataan ini. Berkhof berkata : “Alkitab tak pernah berhubungan dengan doktrin Tritunggal
sebagai suatu kebenaran yang abstrak, akan tetapi Alkitab mengungkapkan kehidupan
Tritunggal dalam berbagai hubungan sebagai suatu kenyataan yang hidup....” (Louis Berkhof,
1993: 148). Oleh sebab itu maka konsep yang akan dipaparkan di dalamnya tentu hanya
bersifat indikatif saja.

Satu ayat yang mengindikasikan adanya semacam kejamakan dalam diri Allah adalah Kej
1:26 : “Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita” dan ayat-ayat
lainnya seperti Kejadian 3:22; 11:7; Yesaya 6:8, dan lain-lain. Harus diakui bahwa
sebenarnya bentuk jamak (plural) dalam ayat ini tidak secara langsung menunjuk kepada
Allah Tritunggal, sebab dalam corak Perjanjian Lama penggunaan bentuk jamak adalah untuk
menggambarkan atau merupakan suatu jamak kehormatan “plural maiestaticus” (Walter
Lempp: Tafsiran Kejadian; 1974: 36). Sekalipun demikian tak dapat disangkal bahwa ayat-
ayat itu mengandung petunjuk tentang adanya perbedaan pribadi dalam diri Allah dan juga
menunjuk kepada keadaan jamak dari pribadi-pribadi itu. (Louis Berkhof, Op.cit: 149).

Mungkin hal menarik yang dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam memikirkan
kebenaran Tritunggal adalah bahwa ada pribadi lain yang sangat jelas dibedakan dari Allah
(Bapa). Contoh dalam Alkitab yang memaparkan kebenaran ini adalah Kejadian 1:1-2 :
“Pada mulanya Allah menciptakan langit dan bumi…dan Roh Allah melayang-layang di atas
permukaan air”.

Selain itu Alkitab juga mencatat adanya pribadi lain di samping Allah yang esa dan memiliki
kualitas yang sama dengan Allah dalam segala hal, tetapi sekali lagi semuanya ini masih
bersifat indikasi-indikasi ke arah doktrin Tritunggal.

a. Ada penyataan tentang pribadi lain di samping Allah (Bapa)

Yang dimaksud di sini adalah bahwa dalam Alkitab dibedakan juga tentang Tuhan yang
dibedakan dari Tuhan (Allah) (Thiessen; 1992, hal. 140). Contohnya seperti yang terdapat
dalam beberapa ayat di bawah ini :

“Kemudian TUHAN menurunkan hujan belerang dan api atas Sodom dan Gomora, berasal
dari Tuhan, dari langit.” (Kejadian 19:24)

“Tetapi Aku akan menyayangi kaum Yehuda dan menyelamatkan mereka demi TUHAN,
Allah mereka.” (Hosea 1:7)

“Lalu berkatalah malaikat TUHAN kepada iblis itu: ‘TUHAN kiranya menghardik engkau,
hai iblis!’” (Zakharia 3:2)

Jadi ayat-ayat di atas sungguh menunjukkan perbedaan yang jelas antara Tuhan (Allah)
dengan Tuhan.

b. Ada penyataan tentang pribadi kedua dari Allah Tritunggal

Selain mengungkapkan suatu perbedaan antara TUHAN dan TUHAN (Allah) secara umum,
Alkitab juga memberi penyataan tentang pribadi kedua dari Allah Tritunggal. Di dalam
Perjanjian Lama sering digunakan istilah atau sebutan “Malaikat Tuhan” yang sering
menampakkan diri kepada orang-orang tertentu seperti pada Hagar (Kejadian 16:7-14),
Abraham (Kejadian 22:11-18), Yakub (Kejadian 31:11-13), Musa (Keluaran 3:2-5), Israel
(Keluaran 14:19), Bileam (Bilangan 22:22-35), Gideon (Hakim-Hakim 6:11-23), Manoah
(Hakim-hakim 13:2-25), Elia (I Raja-raja 19:5-7), dan Daud (I Tawarikh 21:15-17). Menurut
R. Soedarmo istilah atau sebutan “Malaikat Tuhan” ini tidaklah menunjuk kepada malaikat
biasa (R. Soedarmo; 1985: 94-95) karena: (1) Ia berfirman atas nama-Nya sendiri (Kejadian
16:10), (2) Ia mau disembah oleh orang (Yosua 5, Hakim-hakim 2) padahal malaikat biasa
tidak boleh dan tidak mau disembah (Wahyu 19:10 ; 22:9), (3) Ia juga disebut Allah
(Kejadian 16:13) tetapi merupakan petunjuk khusus kepada pribadi kedua dari Allah
Tritunggal pada masa pra inkarnasi. Penampilan-Nya dalam Perjanjian Lama ini merupakan
pertanda dari kedatangan-Nya sebagai manusia di kemudian hari. (Thiessen, Op.cit:140)

c. Ada penyataan tentang pribadi ketiga dari Allah Tritunggal.

Dalam Perjanjian Lama, pribadi ketiga dari Allah Tritunggal yaitu Roh Kudus pun
dinyatakan dan dibedakan dari Allah (Bapa).

“Pada mulanya Allah menciptakan langit dan bumi…dan Roh Allah melayang-layang di atas
permukaan air.” (Kejadian 1:1-2)

“Berfirmanlah Tuhan kepada Musa…dan telah Kupenuhi dia dengan Roh Allah.” (Keluaran
31:1-3)

Itulah beberapa indikasi yang mengarah kepada konsep Tritunggal yang nampak dalam
Perjanjian Lama.
2. Perjanjian Baru

Kalau dalam Perjanjian Lama konsep Tritunggal tidak terlalu jelas dan hanya bersifat
indikatif saja, maka dalam Perjanjian Baru,

a. Ada tiga pribadi (Bapa, Anak dan Roh Kudus) yang sering disebutkan secara bersama-
sama.

Ayat-ayat di bawah ini memperlihatkan bahwa Bapa, Anak dan Roh Kudus disebutkan secara
bersama-sama.

“Yesus segera keluar dari air dan pada waktu itu juga langit terbuka dan Ia melihat Roh Allah
seperti burung merpati turun ke atas-Nya, lalu terdengarlah suara dari sorga yang mengatakan
: “Inilah Anak yang Kukasihi, kepada-Nyalah Aku (Bapa) berkenan.” (Matius 3:16-17)

“Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama
Bapa dan Anak dan Roh Kudus.” (Matius 28:19)

“Kasih karunia Tuhan Yesus Kristus, dan kasih Allah, dan persekutuan Roh Kudus menyertai
kamu sekalian.” (2 Korintus 13:13)

Bandingkan juga dengan ayat-ayat lain seperti 1 Korintus 12:4-6; Efesus1:13-14; 1 Petrus
1:2; 3:18 dan Wahyu 1:4-5.

b. Ada tiga pribadi yang dinyatakan sebagai Allah dan memiliki kualitas ilahi yang sama
dalam berbagai hal.

Setelah melihat ayat-ayat di atas, maka pertanyaan penting yang harus dipikirkan adalah
“Siapakah Anak (Yesus Kristus) dan Roh Kudus ini sehingga Nama “Mereka” layak
disejajarkan dengan Nama Allah (Bapa)?” Tentang Allah Bapa, tentunya tidak ada masalah
lagi yang berkaitan dengan keilahian-Nya, sebab baik Perjanjian Lama maupun Perjanjian
Baru dengan sangat jelas berbicara tentang Ia sebagai Allah, dan juga bahwa dalam kerangka
doktrin Tritunggal, pribadi Bapa sangat jarang dipersoalkan. Tetapi bagaimana dengan Anak
dan Roh Kudus? Kedua oknum ini sungguh-sungguh menjadi persoalan dan titik pusat
perdebatan (terutama Sang Anak). Siapakah Mereka? Apa hubungan Mereka dengan Allah
(Bapa)? Untuk lebih jelasnya, betapa perlu melihat kedua pribadi ini (Anak dan Roh Kudus)
satu per satu secara khusus tentang keilahian Mereka:

Anak (Yesus Kristus)

Iman Kristen yang ortodoks berdiri dengan kokoh di atas dasar keilahian Kristus. Jikalau
Yesus Kristus ternyata bukan Allah, maka runtuhlah fondasi iman Kristen. Itulah sebabnya
betapa penting untuk memahami pribadi Kristus dengan benar.
Di Kaisarea Filipi Yesus pernah mengajukan suatu pertanyaan tantangan, “Kata orang banyak
siapakah Aku ini?” (Lukas 9:18-21). Lalu murid-murid pun menjawab sesuai dengan
pendapat orang banyak bahwa ada yang mengatakan Yohanes Pembaptis, ada juga yang
mengatakan Elia, Yeremia atau seorang dari para nabi. Tetapi setelah itu Yesus melanjutkan
pertanyaan-Nya yang sangat bersifat pribadi, “Menurut kamu siapakah Aku ini?” Lalu Petrus
menjawab, “Engkau adalah Mesias Anak Allah yang hidup.” Menanggapi jawaban Petrus,
Yesus berkata “…engkau adalah Petrus dan di atas batu karang ini Aku akan mendirikan
jemaat-Ku dan alam maut tidak akan menguasainya.” Kata “di atas batu karang ini”
sebenarnya tidak menunjuk kepada Petrus secara pribadi melainkan kepada pengakuannya
itu. Jadi dengan kata lain gereja berdiri atas dasar pengakuan terhadap keilahian Kristus.
”Apakah pendapatmu tentang Kristus?” merupakan pertanyaan utama dalam kehidupan setia
orang Kristen. (Thiessen, Op.cit: 142). Atas kebenaran inilah maka betapa pentingnya
memikirkan keilahian Kristus.

Secara ringkas iman Kristen mengakui keilahian Kristus karena beberapa hal :

Ia memiliki nama ilahi : di mana Ia disebut Allah (Ibrani 1:8), Ia disebut Anak Allah (Matius
16:16-17), Ia disebut Raja segala raja, Tuhan segala tuan (Wahyu 19:16)

Ia memiliki sifat-sifat ilahi : Ia kekal (Yohanes 1:15; 8:58; 17:5, 24; Kolose 1:15, dll), Ia
maha hadir (Matius 18:20; 28:20, dll), Ia maha tahu (Yohanes 2:24-25; 16:30; 21:17; Lukas
6:8; 11:17, dll), Ia maha kuasa : aas penyakit (Lukas 4:39), aas setan (Lukas 4:34-35), aas
segala yang hidup (Yohanes 17:2), aas alam semesta ((Matius 8:26), aas kematian (Lukas
7:12-17), Ia suci (Ibrani 7:26-28), Ia tidak berubah (Ibrani 13:8; 1:12)

Ia melakukan tindakan-tindakan ilahi & tidak menolak diperlakukan sebagai yang ilahi : Ia
mencipta (Yohanes 1:3; Kolose 1:16; Ibrani 1:10), Ia menopang segala sesuatu (Kolose 1:17),
Ia mengampuni dosa (Matius 9:2, 6; Lukas 7:47-48), Ia membangkitkan orang mati (Lukas 7
:11-17), Ia menghukum manusia (2 Timotius 4 :1 ; Yohanes 5 :22-23), Ia memberi hidup
yang kekal (Yohanes 10:28; 17:2), Ia menerima penyembahan dari manusia (Matius 14:33;
Lukas 24:52; Ibrani 1:6; Yohanes 20:28; Wahyu 5:8).

Roh Kudus

Sama seperti Kristus, Roh Kudus juga adalah oknum ilahi yang berada di samping dan
bersama-sama dengan Allah. Tetapi sebelum melihat bukti-bukti alkitabiah tentang keilahian
Roh Kudus, haruslah diingat bahwa doktrin Roh Kudus juga mendapat tantangan yang sangat
berat. Roh kudus tidak diakui sebagai suatu pribadi, seperti pandangan Schleirmacher yang
melihat Roh Kudus hanya sebagai suatu gerakan dan inspirasi yang bersifat agama saja.
(Stephen Tong; 1195:2). Oleh sebab itu, sangatlah penting melihat dan meneliti apa kata
Alkitab tentang hal ini. Sebab, sama seperti apa yang dikatakan oleh Loraine Boettner bahwa
setelah kepribadian Roh Kudus didirikan, hanya sedikit orang yang menyangkal keilahian-
Nya. Jelas Ia bukan makhluk ciptaan, maka kalau mengakui kepribadian-Nya, haruslah
menerima keilahian-Nya juga (Loraine Boettner, 1947: 89).

Alkitab juga jelas memberikan bukti-bukti tentang kepribadian Roh Kudus antara lain:

Bukti melalui keberadaan-Nya : Ia memiliki pikiran (Roma 8:27), Ia memiliki perasaan


(Efesus 4:30), Ia memiliki kehendak (1 Korintus 12:11)

Bukti melalui karya-karya-Nya : Ia mengajar (Yohanes 14:26), Ia memimpin (Roma 8:14), Ia


memerintah (Kisah Para Rasul 8:29), Ia berkata-kata (Yohanes 15:26; 2 Petrus 1:21).

Bukti melalui pengakuan yang dikenakan kepada-Nya : Ia bisa ditipu (Kisah Para Rasul 5:3),
Ia bisa ditentang (Kisah Para Rasul 7 :51), Ia bisa dihujat (Matius 12 :31), Ia bisa didukakan
(Efesus 4:30), Ia bisa dihina (Ibrani 10:29).

Dengan demikian Roh Kudus adalah suatu pribadi, namun bukan hanya pribadi saja tetapi
pribadi ilahi. Keilahian-Nya ini dapat dilihat dari kenyataan-kenyataan bahwa:

Ia memiliki nama-nama ilahi : Ia disebut Allah (1 Korintus 6:11), Ia disebut Roh Kristus
(Roma 8:9), Ia disebut Roh yang kekal (Ibrani 9:11), Ia disebut Roh kebenaran (Yohanes
16:13), Ia disebut Roh kemuliaan (1 Petrus 4:14), Ia disebut Roh kekudusan (Roma 1:4)

Ia disetarakan dengan Bapa dan Anak : (Matius 28:19; 2 Korintus 13:13)

Ia memiliki sifat-sifat ilahi : Ia maha tahu (Yohanes 14:26; 16:13; 1 Korintus 2:10-11), Ia
maha kuasa (Lukas 1:35; Kisah Para Rasul 1:2), Ia maha hadir (Mazmur 139 :7-10), Ia
memberi hidup (Roma 8:2), Ia kekal (Ibrani 9:14).

Ia melakukan tindakan-tindakan ilahi : Ia turut terlibat dalam karya penciptaan (Kejadian


1:2), Ia mengilhamkan Firman Allah (2 Petrus 1 :21), Ia berkarya dalam proses inkarnasi
(Lukas 1:35), Ia meyakinkan orang percaya (Yohanes 16:8), Ia melahirbarukan manusia
(Yohanes 3:5-6), Ia memberi penghiburan (Yohanes 14:26), Ia menyucikan /menguduskan (2
Tesalonika 2:13).

Fakta-fakta di atas (tentang Anak dan Roh Kudus) telah membuktikan bahwa Anak dan Roh
Kudus memiliki kualitas ilahi yang sama dengan Bapa. Dengan demikian dapat dilihat bahwa
ada tiga pribadi ilahi yang hidup berdampingan dari kekal hingga kekal, yakni Bapa, Anak
dan Roh Kudus. Inilah Tritunggal.

Hal berikut yang tak boleh dilalaikan adalah tentang masalah keesaan dari ketiga pribadi ilahi
itu. Memang ada tiga pribadi ilahi, tetapi doktrin tritunggal tidak berhenti sampai di situ.
Doktrin tritunggal menyatakan bahwa ketiga-Nya itu esa. Jika pembahasan tentang konsep
Allah hanya berhenti sampai pada adanya tiga pribadi ilahi, maka hal ini sama dengan
berkata bahwa ada tiga Allah. Itu berarti konsepsi tersebut telah jatuh ke dalam salah satu
ekstrim, yaitu politeisme. Untuk itu maka sangatlah perlu menyoroti aspek keesaan ini secara
khusus.

Allah itu “Tritunggal”. Dari pembahasan sebelumnya telah jelas bahwa “tri-Nya” terletak
pada adanya tiga pribadi ilahi, atau seperti konsep Boettner bahwa ada tiga pusat
pengetahuan, kesadaran, kasih dan kehendak yang terpisah satu dari yang lain, sedangkan
“tunggal-Nya” (keesaan-Nya) terletak pada esensi-Nya. Secara singkat, pengertian esensi
secara umum adalah hakikat barang sesuatu (Louis O. Kattsoff: Pengantar Filsafat; 1986: 51).
Maksudnya adalah bahwa esensi itu merupakan sesuatu yang menjadikan sesuatu itu seperti
dirinya sesuatu itu. Contohnya sebuah segi tiga merupakan sebuah segi tiga.

Jika pengertian ini dikaitkan dengan konteks teologis, dapatlah dikatakan bahwa esensi itu
hakikat dasar atau “unsur pembentuk” keallahan, atau mungkin lebih dapat dikatakan sebagai
“inti dasar” keallahan. Selanjutnya sesuai dengan konsepsi Tritunggal yang mengatakan
bahwa letak keesaan pribadi-pribadi Allah Tritunggal adalah pada esensi-Nya, maka esensi di
sini mempunyai pengertian sebagai apa yang sama (“unsur pembentuk” atau “inti dasar”) di
antara Mereka bertiga (pribadi-pribadi Allah Tritunggal) di dalam keallahan (Boettner,
Op,cit: 106). Maksudnya adalah bahwa : ‘Setiap pribadi itu memiliki “in toto” esensi yang
tak terbagi atau terpisahkan dari ilahi di mana sifat dan kuasa ada di dalamnya, maka setiap
pribadi memiliki pengetahuan ilahi, hikmat, kuasa, kesucian, keadilan, kebaikan dan
kebenaran yang sama. Mereka bekerja sama dalam suatu harmonisasi yang sempurna dan
bersatu, sehingga kita boleh mengatakan bahwa Allah Tritunggal bekerja dengan satu pikiran
dan satu kehendak’.

Karena ketiga pribadi dari Tritunggal ini memiliki esensi yang sama, dan karena sifat-sifat
yang ada tak dapat dipisahkan dari esensi, maka berarti bahwa semua sifat ilahi dimiliki
bersama oleh masing-masing pribadi, dan bahwa ketiga pribadi memiliki tingkatan yang
sama dan sama-sama kekal. Setiap pribadi adalah Allah, memakai kuasa yang sama,
mengambil bagian di dalam kemuliaan yang sama dan sama-sama berhak disembah. Dengan
demikian maka doktrin Tritunggal tidak dapat membawa kepada “Triteisme”, karena
meskipun ada tiga pribadi di dalam keallahan, tetapi hanya ada satu esensi. Dengan demikian
maka hanya ada satu Allah. Satu esensi hidup yang berada dalam tiga pribadi. Ketiga pribadi
yang dihubungkan dengan esensi ilahi bukan sebagai 3 individu seperti Abraham, Ishak dan
Yakub kepada sifat manusia. Mereka hanya satu Allah, buka triad tetapi trinitas.

Beberapa ayat Alkitab yang membuktikan kesamaan esensi di antara pribadi-pribadi Allah
Tritunggal antara lain:

“Sebab dalam Dialah berdiam secara jasmaniah seluruh kepenuhan ke-Allahan” (Kolose 2:9)

“Aku dan Bapa adalah satu”. (Yohanes 10 :30)

"Percayalah kepada-Ku, bahwa Aku di dalam Bapa dan Bapa di dalam Aku...” (Yohanes 14
:11)
“Sebab Allah mendamaikan dunia dengan diri-Nya oleh Kristus…” (2 Korintus 5:19)

VI. KARYA ALLAH TRITUNGGAL

Untuk memahami karya Allah Tritunggal dengan sistematis, maka bagian ini dapat dibagi
menjadi dua bagian :

1. Karya Allah Secara Ontologis

Karya Allah Tritunggal secara ontologis ini Menunjuk pada “masa” sebelum penciptaan
(precreated). Pada masa ini jelas bahwa dunia dan isinya (termasuk manusia di dalamnya)
belum ada. Oleh sebab itu maka karya Allah Tritunggal pada masa ini lebih merupakan karya
internal semata diantara ketiga-Nya saja. Karya ini dapat disebut sebagai karya kasih, karena
ketiga-Nya terlibat dalam kasih ilahi, (Divine love) yang suci dan murni.

Keberadaan kasih yang bersifat relasional itu menuntut adanya pribadi lain yang dapat
menjadi sasaran dan objek kasih. Pada “masa” itu manusia belum diciptakan, maka ketiga
pribadi Tritunggal inilah yang menjadi objek sekaligus subjek kasih. Jadi kasih ilahi telah
terjalin di antara dan di dalam Mereka jauh sebelum dunia diciptakan. (Uraian lebih luas
tentang hal ini dapat dilihat dalam bagian kedua dari topik “Aplikasi praktis dari Doktrin
Tritunggal”).

2. Karya Allah Secara Ekonomis

Secara ekonomis, Allah Tritunggal mempunyai karya yang agung dalam dunia ini, dan karya
agung inilah yang dikenal sebagai cara ekonomis Allah. Witness Lee mengatakan bahwa
ekonomi Allah tak lain adalah rencana-Nya untuk menyalurkan diri-Nya sendiri ke dalam
manusia. Ekonomi Allah ialah penyaluran (dispensi) Allah atau Allah membagikan diri-Nya
sendiri ke dalam umat manusia. (Witness Lee, Ekonomi Allah; 1993:3). Menurutnya Allah
itu sangat kaya ibarat seorang pengusaha yang mempunyai modal besar. Modal-Nya adalah
diri-Nya sendiri, dan dengan modal itu a bermaksud membuat diri-Nya menjadi “produk”
masal yang Ia sendiri sebagai “pengusaha”, “modal”, dan “produk”. Ia ingin agar Ia dapat
memasukkan diri-Nya ke dalam manusia dan untuk itu Ia membutuhkan suatu cara, dan cara
ini tak lain adalah cara ketritunggalan. Inilah yang disebut “Ekonomi Allah” yang
berkembang dari Bapa, di dalam Anak, dan melalui Roh Kudus.

Sebenarnya pengertian Lee tentang ‘”ekonomi Allah” tidak salah, tetapi ketika ia
mengaitkannya dengan fakta ketritunggalan Allah dengan berkata, “…maka Ia membutuhkan
suatu cara, dan cara ini tak lain adalah cara ketritunggalan”,maka terciptalah suatu bahaya
besar, sebab ketritunggalan Allah hanya dilihat sebagai sebuah cara untuk mencapai suatu
tujuan. Jika ketritunggalan itu hanyalah suatu cara untuk memenuhi tujuan-Nya, maka cara
itu (ketritunggalan) harus ada setelah ada tujuan. Atau dengan kata lain adanya cara itu
(ketritunggalan) disebabkan oleh adanya tujuan. Jika cara (ketritunggalan) itu bermula atau
berawal, maka jelas itu bertentangan dengan konsep yang benar tentang Tritunggal, sebab
fakta Tritunggal bersifat kekal. Maksudnya adalah bahwa ketritunggalan Allah itu tidak
pernah menjadi ada, atau diadakan, atau disebabkan untuk menjadi ada. Justru Allah
Tritunggallah yang menjadi penyebab dari semua akibat, pengada dari semua yang “ada” atau
penyebab adanya semua yang “ada”. Bukan ketritunggalan ekonomi Allah yang kemudian
“melahirkan” ketritunggalan Allah tetapi ketritunggalan Allahlah yang “melahirkan”
ekonomi Allah. Jadi pengertian tentang karya ekonomis adalah sebagai berikut : “Ekonomi
Allah adalah cara ilahi untuk mengatur kepentingan-kepentingan manusia, atau suatu sistem
hukum, peraturan ritual dan upacara; rencana suci yang berkaitan dengan penciptaan dan
penebusan; secara khusus hal-hal yang menyangkut pemerintahan ilahi …” (Funk &
Wagnalis [Ed] : New Desk Standard Dictionary; 1954: 248).

Jika pengertian ini dikaitkan dengan ketritunggalan Allah, maka dapatlah dikatakan bahwa
ekonomi Allah adalah sesuatu yang menghubungkan dengan atau manifestasi dalam ekonomi
penciptaan sebagai Trinitas ekonomi, atau Trinitas yang dinyatakan pada manusia dalam
perbedaan dengan Trinitas esensial. Tritunggal ekonomi ini dibedakan dari Tritunggal
ontologis di mana Tritunggal ontologis adalah Tritunggal pada hakikat Allah, sedangkan
Tritunggal ekonomi adalah Tritunggal penyataan. (Ichwei G. Indra: Teologi Sistematis;
1999:64) Dalam kerangka ini karya Allah Tritunggal dapat dilihat dari dua konteks yakni :

a. Konteks wahyu

Wahyu adalah tindakan Allah memperkenalkan diri-Nya kepada makhluk-makhluk-Nya, dan


demi terlaksananya hal ini, maka pribadi-pribadi Allah Tritunggal memainkan peranan yang
sangat penting di dalamnya: Allah Bapa sebagai pewahyu, Allah Anak sebagai wahyu itu
sendiri, dan Roh Kudus sebagai yang terwahyu.

Wahyu terbagi menjadi dua bagian yaitu wahyu Allah secara umum (General revelation of
God) yang dilakukan melalui karya penciptaan dunia ini, dan wahyu allah secara khusus
(Special revelation of God) yang dinyatakan melalui inkarnasi Yesus Kristus.

Karya Allah Tritunggal dalam wahyu umum.

Karya Allah Tritunggal dalam wahyu umum menunjukkan suatu kooperasi yang menarik.
Allah Bapa yang mencipta, Allah Anak sebagai “agen” penciptaan itu, dan semuanya itu
dikerjakan melalui Allah Roh Kudus. Dapat juga dikatakan bahwa Bapa bertindak sebagai
sumber, Anak sebagai Mediator, (Pengantara), dan Roh sebagai pewujud atau pelaksana.
(Departemen Kependetaan Masehi Advent Hari Ketujuh se-Dunia; Apa Yang Anda Perlu
Ketahui Tentang…; 1998: 37), atau dengan kata lain Allah Bapa mencipta “di dalam” Anak
dan melalui Roh Kudus.

Karya Allah Tritunggal dalam wahyu khusus.

Di dalam wahyu khusus, pribadi kedua dari Allah Tritunggal dinyatakan. Dalam penyataan
ini ketiga oknum Allah Tritunggal bekerja sama: Allah Bapa yang mengutus Allah Anak ke
dalam dunia, dan Roh Kudus yang mengerjakan cara penyataan itu yaitu melalui inkarnasi
(Lihat Matius 1:18; Lukas 1:35).

Buku pedoman teologia Masehi Advent Hari Ketujuh tang telah dikutip di atas memberikan
uraian yang sangat jelas mengenai karya Allah Tritunggal dalam wahyu khusus dari awal
hingga akhir karya Kristus di Bumi ini. Di sanadikatakan: “Indahnya penjelmaan
menunjukkan hubungan kerja ketiga oknum keallahan itu. Allah Bapa memberikan Anak-
Nya, Kristus menyerahkan diri-Nya sendiri, dan Roh mengaruniakan kelahiran Yesus
(Yohanes 3:16; Matius 1:18, 20). Setiap anggota keallahan itu hadir pada saat Kristus
dibaptiskan: Bapa memberikan dorongan yang menguatkan (Matius 3:17), Kristus
menyerahkan diri-Nya dalam baptisan untuk menjadi teladan bagi kita (Matius 3:13-15), dan
Roh memberikan Diri-Nya sendiri kepada Yesus untuk memberi kuasa kepada-Nya (Lukas
3:21, 22). Menjelang akhir tugas-Nya di atas dunia ini, Yesus berjanji akan mengirim Roh
Kudus sebagai penasihat atau penolong (Yohanes 14:16).

b. Konteks sejarah keselamatan

Di dalam sejarah keselamatan, Allah Tritunggal pun memainkan peranan yang sangat
penting. Allah Bapa sebagai perencana keselamatan, Allah Anak sebagai pelaksananya, dan
Roh Kudus mengerjakan keselamatan dalam diri manusia. Dalam buku pedoman teologia
Masehi Advent Hari Ketujuh ditulis: “Pada saat-saat puncak sejarah keselamatan itu, Bapa,
Anak dan Roh Kudus menjadi bagian dalam seluruh keadaan ini. Sekarang Bapa dan Anak
menjangkau kita melalui Roh Kudus. Yesus berkata, “Jikalau Penghibur yang akan Kuutus
dari Bapa datang, yaitu Roh Kebenaran yang keluar dari Bapa, Ia akan bersaksi tentang Aku”
(Yohanes 15:26). Bapa dan Anak mengirimkan Roh untuk menyatakan Kristus kepada setiap
orang. Beban berat Tritunggal adalah membawa Allah dan suatu pengetahuan mengenai
Kristus kepada setiap orang (Yohanes 17:3) dan membuat Yesus hadir dan nyata (Matius
28:20; bandingkan Ibrani 13:5) … Allah berhubungan dengan manusia. Walaupun ketiga
oknum tritunggal itu bekerja sama untuk mengadakan karya keselamatan, hanya Kristuslah
yang hidup sebagai manusia, mati sebagai manusia dan kemudian menjadi Juruselamat kita
(Yohanes 6:47; Matius 1:21; Kis. 4:21). Akan tetapi, “Sebab Allah mendamaikan dunia
dengan diri-Nya oleh Kristus dengan tidak memperhitungkan pelanggaran mereka” (2
Korintus 5:19), maka Alah dapat juga dinyatakan sebagai Juruselamat kita (bandingkan Titus
3:4) karena Ia menyelamatkan kita melalui Kristus Juruselamat (Efesus 5:23; Filipi 3:20;
bandingkan Titus 3:6). Dalam penghematan fungsi, anggota keallahan dengan pribadi yang
berbeda menjalankan tugas-tugas yang jelas dalam upaya menyelamatkan manusia. Pekerjaan
Roh Kudus tidak menambahkan sesuatu apapun untuk melayakkan pengorbanan yang
diadakan Yesus Kristus di kayu salib. Melalui Roh Kudus tujuan pendamaian di kayu salib
pada pokoknya menyatakan Kristus sendirilah pendamaian itu. Oleh karena itulah Paulus
mengatakan, “Kristus yang adalah pengharapan akan kemuliaan” (Kolose 1:27). Itulah karya
Allah Tritunggal, yang bukan saja menampilkan karya itu sendiri, melainkan juga cara
berkarya dari ketiga oknum keallahan yang memainkan peranan penting dengan nuansa
kooperasi yang harmonis”.
VII. ALLAH TRITUNGGAL : SEBUAH URAIAN FILOSOFIS

Doktrin tentang Allah Tritunggal adalah doktrin yang paling banyak memancing perdebatan
dan kontroversi sepanjang sejarah gereja. Doktrin in pulalah yang memisahkan agama
Yahudi, Kristen dan Islam pada jalan dan konsep yang berbeda tentang keesaan Allah.
Yahudi dan Islam memandang keesaan Allah sebagai Allah yang satu-satunya dan tak ada
yang dapat disamakan dengan Dia (Unity) sedangkan Kristen (Doktrin tritunggal)
memandang keesaan Allah sebagai Allah yang esa dalam tiga pribadi atau tiga pribadi dalam
satu esensi/hakikat Allah (Trinity).

Jika Alkitab dipelajari dengan seksama, maka akan ditemukan dua aksioma di dalamnya
yaitu :

(1). Allah itu esa

(2) Ada tiga pribadi yang digambarkan sebagai Allah dan memiliki kualitas yang sama dalam
segala hal.

Dua aksioma ini membawa kepada tuntunan rasional untuk mengambil kesimpulan tanpa
meruntuhkan atau mengabaikan salah satu dari dua aksioma tadi.

Jika kesimpulan yang diambil adalah Allah itu esa (Unity) maka itu berarti mengutamakan
aksioma pertama dan mengabaikan aksioma kedua. Sedangkan jika kesimpulan yang diambil
adalah ada tiga pribadi Allah maka itu berarti mengutamakan aksioma kedua dan
mengabaikan aksioma pertama. Supaya kesimpulan yang diambil mencakup dua aksioma
(tidak mengabaikan salah satunya), maka harus berkesimpulan bahwa Allah itu esa dalam
tiga pribadi. Itulah Tritunggal. (Lihat kembali bagian “Arti Tritunggal”).

Pertanyaan penting yang tidak boleh dilalaikan dalam pembahasan ini adalah “Mengapa
Allah Tritunggal?” Harus disadari bahwa pertanyaan ini adalah pertanyaan yang sangat sulit
dijawab. Satu-satunya jawaban yang dapat diberikan adakah karena Allah itu memang
Tritunggal. Mengapa demikian? Tak ada yang tahu (No body knows) sebab ini adalah misteri
Allah.

Kebenaran Tritunggal bersifat wahyu, dan wahyu berasal dari Allah. Jadi dengan kata lain,
pengertian tentang Allah Tritunggal bergantung pada Seberapa besar dan banyak yang Allah
nyatakan tentang diri-Nya. Fakta Tritunggal merupakan “The mystery of God”. Karena itu
tidak bisa menemukan jawaban lain selain Allah itu memang Tritunggal.

Sekalipun demikian, demi kepentingan polemika dan Apologetika, penting juga untuk
melihat beberapa bahan pemikiran tentang hal itu agar dapat sedikit memahami misteri yang
besar ini. Baiklah, pembahasan dimulai dengan cara berpikir silogisme yang memberikan dua
premis yang diambil dari sifat-sifat Allah :
Premis mayor: Allah itu kekal

Premis minor: Allah itu kasih

Jika Allah itu kekal dan juga kasih, maka kesimpulannya adalah bahwa kasih Allah itu kekal.
Hal ini dibenarkan juga dengan kenyataan bahwa sifat sosial dan sumber kasih adalah esensi
makhluk kekal. (Hutton dalam A.H. Strong; 1907: 351)

Berbicara tentang kasih, tak mungkin terlepas dari relasi, sebab kasih itu bersifat relasional
dan bukan substansial. Maksudnya adalah bahwa keberadaan kasih itu selalu “mengalir”
dalam relasi-relasi. Bagi manusia, kasih itu mengalir dalam tiga relasi yaitu relasi antara
manusia dengan Allah, relasi antara manusia dengan sesamanya dan relasi antara manusia
dengan dirinya sendiri. Sedangkan bagi Allah, kasih itu mengalir dalam dua relasi, antara
Allah dengan diri-Nya sendiri dan relasi antara Allah dengan ciptaan-ciptaan-Nya.

Jika berbicara dalam konteks kekekalan (masa pra penciptaan), maka tentunya akan
ditemukan kenyataan bahwa relasi antara Allah dan ciptaan-ciptaan-Nya belum terjadi sebab
saat itu belum ada ciptaan. Itu berarti bahwa pada “saat” itu Allah hanya memiliki satu relasi
saja yaitu antara Ia dan diri-Nya sendiri. Jika demikian kenyataannya, maka pastilah akan ada
benturan berat tentang makna kasih yang sesungguhnya, karena Allah hanya mengasihi diri-
Nya sendiri atau kasih-Nya hanya berpusat pada diri-Nya sendiri (egosentris). Kasih yang
egosentris ini memang tetap kasih, tetapi merupakan kasih yang “sakit” dan mengalami
“distorsi” sebab kasih yang “sehat” adalah kasih yang menjadikan diri yang lain atau pihak
lain menjadi objek di samping diri sendiri. Dalam konteks ini Stephen Neil mengatakan
bahwa : “Cinta kasih berarti memasrahkan diri kepada orang (pihak) lain. Ini berarti
keluarnya sesuatu dari kita sendiri menuju kepada orang lain yang kita cintai, dan apabila
cinta kasih itu telah mencapai taraf kesempurnaannya, kembalinya kepada kita suatu
pemberian yang serupa dari orang lain tadi dengan cara yang sama”.(Stephen Neil: Allah
Orang Kristen, 1967: 74). Inilah kasih yang “sehat” dan tidak distortif.

Jika Allah hanya mengasihi dirinya sendiri sepanjang kekekalan maka itu berarti bahwa kasih
Allah berada dalam keadaan “sakit” dan distortif, sampai Ia menciptakan manusia sebagai
objek kasih di luar diri-Nya. Seperti yang dikatakan D’Arcy, bahwa jika Allah adalah hanya
satu pribadi yang agung, maka kita harus berpikir bahwa Dia menunggu sampai seluruh alam
semesta diciptakan sebelum kasih-Nya bisa menemukan objek untuk memberi kasih-Nya.
(D’Arcy dalam A.H. Strong; Op.cit: 351). Apakah demikian? Tidak! Kasih Allah adalah
kasih yang sempurna (sebab kasih Allah merupakan standar tertinggi dari semua kasih) yang
tak mungkin mengalami “kesakitan” atau distorsi. Oleh sebab itu tak dapat diterima bahwa
jauh dalam kekekalan Allah hanya mengasihi diri-Nya sendiri. Pastilah Ia mempunyai objek
lain di samping diri-Nya sebagai sasaran dan tujuan kasih-Nya.

Jika argumentasi ini dikaitkan dengan kesimpulan dari kedua premis di atas, yaitu bahwa
kasih Allah itu kekal, maka kebenaran itu menuntun kepada pemikiran tentang kenyataan
bahwa ada pribadi lain yang berada di samping Allah yang dapat menjadi objek, sasaran dan
tujuan kasih-Nya. Pribadi tersebut tidak boleh tidak, harus kekal, dan bukan suatu ciptaan.
Sebab jika pribadi tersebut adalah ciptaan maka itu berarti bahwa ia pernah diadakan atau
disebabkan untuk menjadi ada. Jika ia pernah diadakan atau disebabkan untuk menjadi ada,
itu berarti bahwa ia pernah tidak ada. Dan kalau ia pernah tidak ada, maka Allah yang kekal
dan kasih-Nya pun yang kekal itu, pasti pernah tidak berobjek, tidak bersasaran dan tidak
bertujuan di luar diri-Nya. Sebab, kepada apa atau kepada siapakah kasih-Nya dinyatakan,
sedangkan suatu pribadi itu belum diadakan? Kalau ini yang terjadi, maka tetap tak bisa
dihindari bahwa kasih Allah itu “sakit” dan distortif. Jadi, pribadi tersebut tidak boleh pernah
tidak ada. Atau dengan kata lain pribadi tersebut haruslah kekal, sebab Allah itu kekal, dan
kasih-Nya pun kekal. Hanya pribadi yang kekal sajalah yang dapat menerima kasih yang
kekal sejak kekal sampai kekal, atau kasih yang kekal hanya dapat terjadi dari dan kepada
“Yang Kekal”.

Sekarang timbullah pertanyaan yang serius: “Yang Kekal itu siapa?” Tak lain adalah Allah,
sebab hanya Allah sajalah yang kekal. Selain Allah tak ada yang kekal (God is the only
eternal Being). Jika demikian, maka pribadi yang menjadi objek, sasaran dan tujuan kasih
Allah itu juga harus mempunyai nilai ilahi. Atau dengan kata lain Ia haruslah Allah juga.
Alkitab bersaksi bahwa ada dua pribadi lain yang memiliki kekekalan dalam kualitas yang
sama dengan Allah (Bapa) yaitu Anak dan Roh Kudus (Yesaya 9:6; Yohanes 8:58; Ibrani
9:14; lihat kembali bagian “Allah Tritunggal [Sebuah Pembahasan Teologia Alkitabiah]”).
Itu berarti bahwa Anak dan Roh Kudus inilah yang merupakan pribadi-pribadi kekal yang
menjadi objek dan sasaran kasih Allah (Bapa) sejak kekekalan, dan sebaliknya (Mereka
saling mengasihi atau menjadi subjek sekaligus objek kasih) dan itu berarti pula bahwa
Mereka adalah Allah. William W. Menzies dan Stanley M. Horton mengatakan bahwa :
“Trinitas ini merupakan suatu persekutuan yang harmonis dalam keallahan. Persekutuan ini
juga adalah persekutuan kasih, sebab Allah adalah kasih. Tetapi kasih-Nya adalah kasih yang
ramah, bukan kasih yang berpusat pada diri sendiri. Kasih seperti ini membutuhkan lebih dari
satu oknum dalam keallahan”. (William W. Menzies & Stanley M. Horton: Doktrin Alkitab;
1998: 55). Dan Stephen Neil mengatakan : “Ada Bapa yang dari kekal sampai kekal
merupakan sumber segala hakikat dan segala cinta kasih; ada Putra yang dari kekal sampai
kekal dicintai oleh Bapa dan yang sebaliknya mencintai Bapa; ada cinta kasih yang
menjadikan Mereka satu, dan cinta kasih itu adalah Roh Kudus”. (Stephen Neil, Op.cit: 75)

Dalam konteks kasih ini pernyataan di atas sungguh benar, hanya dalam konteks keilahian
oknum-oknum Tritunggal dapat saja menimbulkan kesan bahwa Roh Kudus bukanlah suatu
pribadi yang terlibat dalam aktivitas kasih ilahi, tetapi semata-mata hanyalah kekuatan kasih
saja. Padahal Roh Kudus juga turut dikasihi dan mengasihi dengan kasih yang kekal seperti
yang diungkapkan Thiessen “kasih senantiasa mengalir di antara ketiga oknum Trinitas”.
(Thiessen, 1992: 151). Jadi, Apakah ada tiga Allah? Tidak! Hanya ada satu Allah dengan tiga
pribadi atau tiga pribadi dalam satu esensi atau hakikat Allah.

VIII. ILUSTRASI TENTANG ALLAH TRITUNGGAL


Sebelum melihat beberapa ilustrasi tentang ketritunggalan Allah, maka pertama-tama yang
patut dipikirkan adalah bahwa semua ilustrasi atau apapun yang dipakai untuk
menggambarkan kebenaran tritunggal masih sangat jauh dari kenyataan yang sesungguhnya.
Hal ini dikaitkan dengan kesulitan empiris di dalam mempelajari doktrin tersebut seperti
pendapat Floyd C. Woodworth, Jr. dan D. Duncan yang mengatakan bahwa : Dalam
pengalaman kita, tidak ada sesuatu yang sebanding dengan ketritunggalan dalam keesaan dan
keesaan dalam ketritunggalan. Kita tahu bahwa tidak ada tiga orang yang secara struktur ada
satu manusia. Tidak ada tiga orang yang masing-masing mempunyai pengetahuan yang
lengkap tentang apa yang dibuat atau yang dipikirkan oleh yang lainnya. Setiap orang
memagari dirinya sendiri dengan kebebasan pribadi. Tidak ada manusia yang memiliki
kepribadian jamak seperti yang dinyatakan tentang Allah (Floyd C. Woodworth, Jr. & D.
Duncan 1989: 26-27).

Sekalipun demikian ilustrasi-ilustrasi yang dipakai untuk menggambarkan kebenaran ini


perlu diperhatikan agar tidak terlalu jauh menyimpang dari kebenaran yang sesungguhnya.
Ada banyak ilustrasi yang sering dipakai untuk menjelaskan ide tentang Tritunggal, antara
lain seperti matahari terdiri dari panas, cahaya dan gas heliumnya (Ryrie; 1988 : 56), sebuah
ruangan yang terdiri panjang, tinggi dan lebarnya (lihat Lembaga Pendidikan Kader
GKJ/GKI Jateng: Berkumpul di Sekitar Kristus; 1985: 161), sebatang rokok yang terdiri dari
kertas pembungkus, tembakau, dan filternya (dikembangkan dari ilustrasi yang disampaikan
Antonius Widuri dalam: Dialog Masalah Ketuhanan Yesus; 1981 : 113-114), namun ilustrasi-
ilustrasi semacam itu mempunyai dua kelemahan besar yaitu :
Pertama : Eksistensi sesungguhnya (matahari, ruangan dan rokok) adalah hasil
“pencampuran” atau penggabungan unsur-unsurnya. Matahari adalah hasil pencampuran
antara panas, cahaya dan gas helium; ruangan adalah hasil pencampuran atau penggabungan
antara panjang, tinggi dan lebar, dan rokok adalah pencampuran atau penggabungan antara
kertas pembungkus, tembakau dan filter.

Kedua : Unsur-unsur dari eksistensi sebenarnya jika berdiri sendiri tak dapat disebut sebagai
eksistensi itu sendiri. Contohnya adalah bahwa kertas pembungkus tanpa tembakau dan filter
bukanlah rokok, tembakau tanpa kertas pembungkus dan filter bukanlah rokok, dan filter
tanpa kertas pembungkus dan tembakau bukanlah rokok. Demikian juga dengan matahari dan
ruangan. Kebenaran Tritunggal menyatakan bahwa ketiga oknum itu (Bapa, Anak dan Roh
Kudus) adalah Allah walaupun berdiri sendiri-sendiri, dan keallahan Mereka bukanlah hasil
penggabungan ketiga-Nya. Jadi Bapa sendiri adalah Allah, Anak sendiri adalah Allah, dan
Roh Kudus sendiri adalah Allah. Walaupun demikian Mereka bukanlah tiga Allah, melainkan
satu Allah.

Tentu sulit untuk mencari ilustrasi yang tepat untuk menggambarkan ide ini, tetapi minimal
ilustrasi yang dipakai tidak terlalu menyimpang jauh dari ide sebenarnya.

Ilustrasi yang mendekati kebenaran ini seperti sebuah jeruk yang setelah dikupas kulitnya
ditemukan bagian-bagian di dalamnya. Masing-masing bagian ini jika dipisahkan masih
dapat disebut jeruk, tetapi jika digabungkan seluruh bagian itu maka semuanya itu adalah satu
jeruk dan buka banyak jeruk. Demikian juga seperti ilustrasi yang dikemukakan Stephen
Tong yaitu bahwa ada begitu banyak jumlah Alkitab yang dipegang oleh orang Kristen, tetapi
itu tidak berarti bahwa orang Kristen mempunyai lebih dari satu Alkitab. (Ilustrasi ini
disampaikan dalam salah satu acara SPIK di kota Malang).

IX. APLIKASI PRAKTIS DARI DOKTRIN TRITUNGGAL

Kebenaran Tritunggal bukan saja merupakan suatu kebenaran dogmatis yang hanya berisi
rumusan-rumusan tentang Allah yang bersifat teoritis seperti dituduhkan Joseph Bracken,
bahwa ‘doktrin Trinitas tidak praktis dan tidak perlu …’(Bracken dalam Robert M. Bauman
Jr; 1990:18) tetapi juga mengandung kebenaran praktis yang berguna bagi kehidupan.
Boettner menulis, ‘Doktrin Trinitas tidak boleh dilihat sebagai spekulasi metafisika abstrak,
ataupun teori tidak alamiah yang tidak ada hubungannya dengan kehidupan praktis’
(Boettner, 1947: 132). Kebenaran praktis yang diperoleh dari kebenaran Tritunggal dapat
dilihat dari beberapa sudut pandang yaitu:

1. Sudut Pandang Teologis-Soteriologis

Dari sudut pandang teologis-soteriologis ini, kebenaran Tritunggal mempunyai fungsi yang
penting bagi kehidupan manusia, karena doktrin in adalah wahyuyang sangat penting tentang
sifat Allah dan pekerjaan-Nya di dalam manusia. Perihal sifat Allah berkenaan dengan Ia
yang hidup dan benar, sedangkan tentang pekerjaan-Nya berkenaan dengan misi soteriologis-
Nya bagi umat manusia. Pengenalan akan sifat dan karya-Nya ini (Bapa adalah sumber
penebusan, Anak yang melaksanakan penebusan, dan Roh Kudus yang menerapkan
penebusan) adalah hidup yang kekal itu, yang membawa suatu pengertian dan kesadaran baru
bahwa makhluk ciptaan tidak menyumbang apa-apa kepada keselamatan (Robert M. Bauman,
Jr; 1990:19).

2. Sudut Pandang Etis-Praktis

Sudut pandang etis-praktis dari doktrin Tritunggal adalah bahwa doktrin Tritunggal
mengajarkan aturan-aturan kehidupan praktis yang bermutu tinggi. Aturan-aturan itu antara
lain:

a Kebenaran Tritunggal mengajarkan tentang kesatuan Kristiani

Dalam doktrin Tritunggal didapati kebenaran bahwa ketiga oknum Allah ini walaupun
berbeda secara pribadi, tetapi merupakan kesatuan dalam hakikat-Nya. Perbedaan pribadi di
dalam Allah Tritunggal tidak menyebabkan terjadinya ketegangan-ketegangan internal dalam
relasi antara satu dengan yang lainnya, malah sebaliknya kesatuan dalam hakikat-Nya itu
mengharmoniskan relasi di antara Mereka.

Harus diingat pula bahwa Allah Tritunggal bukan merupakan tiga Allah tetapi tiga pribadi
dalam satu esensi/hakikat Allah. Kesatuan hakikat in mengakibatkan adanya kesatuan
kehendak dan pikiran. Di antara pribadi-pribadi Tritunggal ini tidak terdapat pertentangan
kehendak, pikiran dan pendapat sendiri-sendiri. Mereka tidak memiliki satu kehendak, tetapi
memiliki kehendak yang satu. Mereka tidak memiliki kehendak yang sama tetapi memiliki
kesamaan kehendak. Atau dengan kata lain terdapat kehendak yang berbeda (masing-masing
memiliki kehendak pribadi), tetapi tidak terdapat perbedaan kehendak. Di sini dapat dilihat
bahwa kesatuan hakikat di dalam Allah tritunggal itu tidal “terancam” dengan kejamakan
pribadi di dalam-Nya, malah kesatuan hakikat itu membuat Mereka (pribadi-pribadi Allah
Tritunggal) dapat berelasi dengan harmonis. Dengan kata lain Allah Tritunggal masih tetap
berada dalam satu hakikat yang tak terpisahkan sekalipun dengan oknum-oknum atau
pribadi-pribadi yang berbeda.

Kesatuan Kristiani seharusnya dibangun di atas dasar ini. Kesatuan yang dimaksud di sini
adalah kesatuan yang melampaui segala perbedaan. Sama halnya dengan pribadi-pribadi
Allah Tritunggal yang mempunyai keunikan dan kekhasan pribadi tetapi masih dapat hidup
berdampingan dengan harmonis, maka kekristenan pun dapat mengalami hal yang sama.

Gereja Kristen adalah kumpulan orang yang percaya kepada Kristus Yesus (oknum kedua
dari Allah Tritunggal) dengan berbagai latar belakang seperti latar belakang agama dan
kepercayaan, latar belakang budaya, suku bangsa dan bahasa, latar belakang pendidikan dan
tingkatan sosial ekonomi. Sekalipun demikian kesatuan yang dimaksud masih dapat terjadi
dalam semua relasi di antara mereka sebagai saudara seiman di dalam Kristus Yesus.
Kesatuan semacam ini adalah manifestasi dari kesatuan ilahi yang terjalin di antara pribadi-
pribadi Allah Tritunggal.

Rasul Paulus menggambarkan kesatuan Kristiani ini dengan mempergunakan analogi tubuh
manusia. Walaupun anggota-anggota tubuh itu berbeda satu dengan lainnya, tetapi semuanya
itu diikat dalam satu kesatuan di dalam Kristus sebagai kepala tubuh (1 Korintus 12:12-31).

Dalam doa untuk murid-murid-Nya, Yesus meminta kepada Bapa agar murid-murid-Nya
menjadi satu sama seperti Ia dan Bapa (pasti juga dengan Roh Kudus) adalah satu. “Supaya
mereka semua menjadi satu, sama seperti Engkau, ya Bapa, di dalam Aku, dan Aku di dalam
Engkau, agar mereka juga di dalam Kita…” (Yohanes17:21)

b Kebenaran Tritunggal mengajarkan tentang kasih Kristiani.

Kebenaran Tritunggal selain mengajarkan tentang kesatuan Kristiani, juga mengajarkan


tentang kasih Kristiani. Alkitab dengan jelas mengatakan bahwa Allah sungguh mengasihi
manusia, tetapi jauh sebelum Allah menciptakan manusia kasih Allah juga merupakan kasih
yang aktif, kasih yang bersasaran dan kasih berobyek. Yohanes pasal 15:9 berkata : “Seperti
Bapa telah mengasihi Aku…” dan selanjutnya ayat 10 berkata : “…Dan tinggal di dalam
kasih-Nya.”

Doktrin Tritunggal menyatakan adanya tiga pribadi dalam satu esensi/hakikat Allah yaitu
Allah Bapa, Allah Anak, dan Allah Roh Kudus. Ketiga-Nya itu esa dan kekal. Jadi, menurut
ayat-ayat di atas dapatlah dipahami bahwa jauh di dalam kekekalan Allah Tritunggal berada,
telah terjalin hubungan kasih yang mesra di antara ketiga-Nya. Sekalipun ayat-ayat di atas
tidak menyebutkan pribadi Roh Kudus, tetapi bukan mustahil bahwa ketiga-Nya terlibat
dalam tindakan dan relasi kasih ilahi (Devine Love) yang suci dan murni. Kasih ilahi yang
suci dan murni in akhirnya direfleksikan dalam tindakan penciptaan dan kasih terhadap
manusia.

Jika relasi di antara ketiga pribadi Allah Tritunggal dilandasi oleh kasih ilahi, maka ini
mengajarkan kepada orang-orang percaya agar juga menghadirkan kasih ilahi di dalam setiap
relasi-Nya, baik relasi dengan Allah, relasi dengan sesama, dan relasi dengan diri sendiri.
Kasih ini harus merupakan kasih yang berasal dari Allah Tritunggal. Yesus berkata : “Aku
memberikan perintah baru kepada kamu, yaitu supaya kamu saling mengasihi; sama seperti
Aku telah mengasihi kamu demikian pula kamu harus saling mengasihi. Dengan demikian
semua orang akan tahu, bahwa kamu adalah murid-murid-Ku, yaitu jikalau kamu saling
mengasihi”. (Yohanes 13:34-35)

c Kebenaran Tritunggal mengajarkan tentang kerja sama Kristiani

Dalam bagian “Karya Allah Tritunggal” secara khusus karya ekonomis, telah dilihat bahwa
baik dari konteks wahyu maupun konteks sejarah keselamatan, ketiga oknum Allah
Tritunggal berkarya di sana (Lihat kembali bagian “Karya Allah Tritunggal”). Akan tetapi hal
yang lebih menarik dari itu adalah bahwa karya-karya Mereka menunjukkan adanya suatu
kooperasi yang harmonis dan seimbang. Sebagai contoh dalam peristiwa penciptaan Bapa
bertindak sebagai pencipta, dan itu dilakukan melalui Roh Kudus dengan Anak sebagai
“sarananya”. Dalam peristiwa penyelamatan / penebusan, Bapa berfungsi sebagai perencana
keselamatan itu, Anak sebagai pelaksana dan Roh Kudus yang mengerjakan keselamatan itu
dalam diri manusia. Allah Bapa tidak mati di kayu salib. Roh Kudus juga tidak mati di situ.
Hanya Yesus, Anak Allah, yang mati di Golgota. Namun keesaan, hakikat dan harkat
Tritunggal seutuhnya terhisap dalam diri Yesus pada kematian-Nya di kayu salib. (R.J.
Porter: Katekesasi Masa Kini; 1994: 116). Demikian juga dalam peristiwa pewahyuan, Bapa
yang menurunkan Firman ke dalam dunia, Anak adalah Firman itu sendiri, dan itu dilakukan
melalui Roh Kudus. Dengan demikian kooperasi in sungguh harmonis.

Jika pribadi-pribadi Allah Tritunggal itu dapat bekerja sama dengan baik dalam wahyu umum
maupun khusus, maka ini juga harus menjadi dasar dari kerja sama Kristiani di dalam setiap
aktifitas hidup

Anda mungkin juga menyukai