SAKRAMEN PEMBAPTISAN
(Problematika Pembaptisan Bayi)
1. Pengantar
Dengan penuh kesadaran dan keyakinan serta sukacita, Gereja juga menyambut
kelahiran seorang bayi ke dalam lingkungan umat beriman, seperti halnya di dalam
keluarga. Pembaptisan bayi merupakan ungkapan paling jelas dari perhatian Gereja.
Upacara pembaptisan bayi, yang diperbaharui sesudah Konsili Vatikan II, juga
mengungkapkan kenyataan bahwa “seorang manusia yang dilahirkan ke dalam dunia
di tengah keluarga, adalah bayi, dia bukan orang dewasa mini yang dibaptis.” 1
Pembaptisan yang diterima oleh bayi merupakan sakramen inisiasi untuk masuk dan
menjadi anggota umat beriman Kristiani. Selain itu juga, Katekismus Gereja Katolik
menegaskan bahwa: “Dengan menerima sakramen baptis, anak-anak memperoleh
karunia penebusan dan keselamatan sebagai anak Allah serta dibebaskan dari
pengaruh dosa asal (KGK 1250).” Inilah keyakinan dasar yang diimani dan dihayati
oleh umat beriman Katolik.
Namun tidak jarang, orang mempersoalkan praktek baptisan bayi, yang tidak
sesuai dengan Alkitab atau Kitab Suci. Ada pendapat demikian: “Baptisan itu
harusnya mengandaikan pertobatan dan iman. Sedangkan seorang bayi belum bisa
beriman. Alangkah lebih baik, bayi itu tidak dibaptis sampai ia cukup besar dan
mengerti untuk memilih sendiri agama serta imannya. Dan toh, di dalam Alkitab atau
Kitab Suci tidak diberikan pendasaran biblis yang jelas atas praktek pembaptisan
bayi atau anak yang telah dan masih dipraktekkan dalam Gereja Katolik.”
1
Bdk. Gabe Huck, Liturgi yang Anggun dan Menawan (Yogyakarta: Kanisius, 2006),
hlm. 220.
1
2. Problematika Penulisan
Persoalan yang diangkat di atas, terkait dengan praktek pembaptisan pada bayi
dalam Gereja Katolik, sesungguhnya bersentuhan langsung dengan sakramen-
sakramen atau sarana keselamatan yang diyakini oleh Gereja Katolik. Persoalan ini
juga hendak mengarahkan kita pada beberapa pertanyaan mendasar yang harus
diuraikan lebih mendalam sebagai bagian dari pertanggungjawaban atas iman, yaitu:
1. Apa itu Sakramen Pembaptisan?
2. Bagaimana Sejarah Sakramen Pembaptisan?
3. Apa Ajaran Gereja tentang Baptisan Bayi?
2
ditetapkan dalam doktrin. Atau dengan kata lain, tidak ada doktrin, istilah, dan
definisi yang pasti atas sakramen-sakramen yang ada, termasuk sakramen
pembaptisan. Hanya ada praktek tetapi belum ada kontroversi ataupun problem yang
muncul di sana.3 Ditemukan bahwa pembaptisan merupakan anugerah yang
diterimakan begitu saja dan demikian juga dengan perjamuan Tuhan (atau sekarang
disebut Sakramen Ekaristi).4 Nanti kemudian di dalam perkembangannya, ditetapkan
definisi yang tepat atas sakramen-sakramen yang ada di dalam Gereja. Gereja Katolik
mengenal 7 Sakramen yaitu: Sakramen Pembaptisan, Sakramen Ekaristi,Sakramen
Krisma, Sakramen Tobat, Sakramen Imamat, Sakramen Perkawinan, dan Sakramen
Pengurapan Orang Sakit.
Tanpa mengesampingkan 6 Sakramen yang lain, fokus pembahasan ini akan
tertuju pada Sakramen Pembaptisan saja. Sebelum menguraikan lebih lanjut,
sebaiknya kita mendalami terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan Sakramen
Pembaptisan dalam Gereja Katolik.
3
J.F. Bethune-Baker, B.D. An Introduction to The Early History of Christian Doctrine
(London: Metheun and CO, 1903), hlm. 376.
4
Bdk. Ibid.
5
Lih. Lukman Ali (Tim), Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi kedua, (Jakarta: Balai
Pustaka, 1995), hlm. 770.
6
K. Prent (dkk), Kamus Latin - Indonesia (Yogyakarta: Kanisius, 1969), hlm. 757.
3
Pada abad II, kata “Sakramen” yang berasal dari bahasa Latin Sacramentum,
dipakai untuk menerjemahkan kata Yunani: Mysterion dalam Kitab Suci. Sehingga
kata Sacramentum sendiri bisa berarti sebagai sumpah setia prajurit dalam dunia
militer dan “uang jaminan”.7 Martasudjita menjelaskan bahwa Sacramentum berarti
hal-hal yang berkaitan dengan yang kudus atau yang ilahi. Sakramen berarti juga
tanda dan sarana keselamatan Allah yang diberikan kepada manusia.8 Dan Konstitusi
tentang liturgi suci mengatakan bahwa sakramen dimaksudkan untuk menguduskan
manusia, membangun tubuh Kristus dan akhirnya mempersembahkan ibadat kepada
Allah.9
Para Bapa Gereja Afrika (Tertualianus dan Cyprianus) memakai istilah sakramen
sebagai “tanda” kelihatan, yang menyiratkan kenyataan-kenyataan yang tak tampak
yang dihadirkannya (khususnya kenyataan ilahi). Dari situlah berkembang sakramen
baptis sebagai tanda-tanda suci.10 Sakramen diartikan sebagai tanda, dan tanda itu
sekaligus juga sarana, sehingga orang yang mengungkapkan imannya engungkapkan
juga keyakinan bahwa Allah menganugerahkan rahmat kepadanya.
Dan selanjutnya di dalam Katekismus Gereja Katolik “sakramen” diartikan
sebagai tanda dan sarana yang olehnya Roh Kudus dapat menyerbarluaskan rahmat
Kristus yang adalah kepala di dalam Gereja, Tubuh-Nya (KGK. 1303).
7
Bdk. J.F. Bethune-Baker, B.D. An Introduction to The Early History of Christian
Doctrine (London: Methuen and CO, 1903), hlm. 376.
8
Bdk. E. Martasudjita, Sakramen- Sakramen Gereja (Yogyakarta: Kanisius, 2003), hlm.
160.
9
Ibid.
10
J.B Banawiratma, Baptis, Krisma, Ekaristi (Yogyakarta: Kanisius, 1989), hlm. 12.
4
4.2.3. Pengertian Sakramen Baptis
Sakramen baptis adalah sakramen pertama yang harus diterima sebelum
menerima sakramen-sakramen lain. Dengan menerima sakramen baptis, orang
menyatakan pertobatan dan kepercayaannya kepada Tuhan Yesus. Dengan itu, ia
dilahirkan kembali sebagai anak Allah, menjadi murid Kristus dan menjadi anggota
Gereja.12 Sakramen baptis merupakan pangkal kehidupan kristiani karena melaluinya
seseorang dipersatukan dengan wafat dan kebangkitan Yesus Kristus untuk
didamaikan dan diterima oleh Allah13
Sakramen pembaptisan sebagai sakramen inisiasi menjadi sakramen pertama dan
pintu masuk ke dalam hidup rahmat. Sakramen pembaptisan merupakan syarat mutlak
bagi penerimaan sakramen-sakramen lain. Orang yang dibaptis menerima Kristus
secara personal sebagai Tuhan dan Juru Selamat dengan menyatakan imannya.
Pernyataan iman secara eksplisit dalam pembaptisan hanya dapat dilakukan oleh
orang-orang yang sudah dewasa. Tetapi anak-anak yang dibaptis sewaktu masih bayi
sesungguhnya juga menerima Kristus secara personal, walaupun pernyataan iman
mereka diwakili oleh orang tua dan wali baptis.14 Selanjutnya, di dalam sakramen
Krisma, anak-anak itu secara sadar mengakui iman mereka.
11
Dr. C. Groenen OFM, Teologi Sakramen Inisiasi (Yogyakarta: Kanisius, 1992), hlm.
23
12
Ibid.
13
Bdk. Alfra Siauwarjaya dan Th. Huijbert SJ, Mengenal Iman Katolik (Jakarta: Obor,
1987), hlm. 88.
14
Tiap Calon Baptis akan mendapat satu atau dua orang Wali Baptis. Untuk para Calon
Baptis dewasa, Wali Baptis berperan mendampingi Calon Anak Baptisnya dalam inisiasi
kristiani (setidaknya mulai dari upacara pemilihan nama baptis sampai Masa Mistagogi) dan
mengusahakan agar Anak Baptisnya tetap menghayati hidup Kristiani dan memenuhi
kewajiban-kewajiban Kristianinya dengan setia (lih. KHK. 872).Wali Baptis bukanlah ayah
dan ibu dari Calon Baptis. Ia haruslah seorang Katolik, sebagaimana ditegaskan dalam KHK.
874 § 2, agar ia mampu membantu orang tua calon baptis membina iman dari anak baptisnya.
5
4.3.1. Pembaptisan menurut Kitab Suci Perjanjian Lama
Di dalam Kitab Suci Perjanjian Lama belum ada upacara pembaptisan seperti
yang dikenal sekarang ini akan tetapi ada banyak hal yang mirip dengan upacara
pembaptisan, Seperti : Kisah penciptaan, Air bah, Exodus.
Pada awal mula penciptaan, Roh Allah melayang-layang di atas permukaan air
(Kej 1:2). Roh itu menaungi air yang akan menjadi sumber kehidupan. Gereja
selanjutnya memandang bahtera Nuh hanya sebagai pratanda keselamatan oleh
pembaptisan. Penjelasan ringkasnya demikian: Diketahui bahwa di dalam bahtera
Nuh hanya “sedikit yaitu delapan orang yang diselamatkan oleh air bah itu” (1 Ptr
3:20). Kemudian, air dari mata air dipahami sebagai lambang kehidupan, sedangkan
air laut adalah lambang kematian. Oleh karena itu, air juga dapat menunjuk kepada
misteri salib. Atas dasar lambang ini, lalu pembaptisan merupakan satu keikutsertaan
di dalam kematian Kristus. Dalam mitologi air disebut asali karena merupakan asal
segala sesuatu (Kej 1:2). Mirip dengan rahim ibu yang melahirkan anak.15
4.3.2. Pembaptisan menurut Kitab Suci Perjanjian Baru
Di dalam Perjanjian Baru, kita dapat melihat dua contoh pembaptisan yaitu
pembaptisan Yohanes dan Pembaptisan Yesus. Baptisan Yohanes adalah tanda
persiapan bagi karya Mesias. Pola ini menyiapkan jalan untuk pembaptisan lain oleh
seseorang yang akan membaptis dengan Roh dan penghakiman yang lebih dari api.
Baptisan Yohanes menjadi pola awal dari proses menjadi Kristen. Ia mempunyai
ciri khas eskatologis (menyangkut hal yang terakhir). Upacara itu mengantisipasikan
penghakiman Allah, murka Allah, dan menyiapkan orang untuk melalui penghakiman
itu menjadi peserta dalam kerajaan Allah.16
Penekanan paling mendasar dalam baptisan Yohanes dibandingkan dengan
baptisan lain ialah merupakan baptisan pertobatan untuk pengampunan
dosa.“Bertobatlah dan berilah dirimu dibaptis dan Allah akan membaptis dosamu”
(Mrk 1:4).
Sedangkan Baptisan yang diterima oleh Yesus merupakan pembaptisan yang
khusus. Injil Matius merekam bahwa salah seorang dari banyak orang yang datang
untuk menerima pembaptisan Yohanes pada saat itu, selanjutnya dinyatakan secara
15
Bdk. Dr. C. Groenen OFM, Teologi Sakramen Inisiasi (Yogyakarta: Kanisius, 1992),
hlm. 25.
16
Ibid., hlm. 28.
6
ilahi, sebagai Raja Mesias dan sebagai Hamba Tuhan, yang dinubuatkan oleh para
nabi (Lih. Mat 3:13-17).
Kedua gambaran profetis bahwa Yesus adalah Raja Mesias dan Hamba Tuhan itu
memberikan dasar pemahaman tentang siapa Dia (Yesus) dan apa yang Dia kerjakan.
Dia adalah Anak Domba penebus (Wahyu 6:16;17;14), yang akan menang dan
menghakimi dengan perkasa (Matius 3:11-12). Tapi Dia juga Anak Domba yang
disembelih untuk dosa-dosa seluruh dunia (Wahyu 5:6-12:11).
Gereja selanjutnya melihat pembaptisan Yesus sebagai “penebusan total dari
dosa-dosa”, dimana Allah turut hadir dan solider dengan manusia serta
menyelamatkannya.
17
Bdk. Bethune-Baker, An Introduction to The Early History of Christian Doctrine, hlm.
380.
18
Ibid., hlm. 381.
7
Siprianus mengajarkan bahwa “Baptisan adalah penerangan yang nyata, yang
membawa pengahapusan atas dosa. Oleh karena itu tidak boleh ditunda. Harus
diterima dengan penuh antusias.”19
8
4.4.1. Dasar Alkitabiah
Memang diakui bahwa, tidak ada dasar yang jelas untuk baptisan bayi atau anak
dalam Kitab Suci. Namun, ada beberapa indikasi yang dapat dipakai untuk
membenarkan baptisan bayi. Menurut Kisah Para Rasul 16:15, Lydia dibaptis
bersama dengan seluruh rumah tangganya. Begitu juga dengan kepala penjara di Filipi
yang dibaptis dengan “seluruh keluarganya” (Kis. 16:33). Kedua kisa tersebut dapat
diartikan demikian: kalau ada bayi di rumah atau keluarga mereka (entah itu anak
Lydia atau kepala penjara itu sendiri, entah anak pelayan mereka), bayi itu kiranya
ikut dibaptis. Akan tetapi, tetap saja kedua ayat di atas bukanlah bukti untuk baptisan
bayi, hanya suatu indikasi. Karena itu, tidak semua ahli akan menerimanya. Walaupun
demikian, tetap akan diberikan beberapa bukti atas baptisan bayi di luar Perjanjian
Baru (tetapi masih dekat sekali dengan zaman Perjanjian Baru). Uraian selanjutnya,
akan diberikan dalam sejarah perkembangan praktek baptisan bayi dalam Gereja
Katolik.
4.4.2. Sejarah Perkembangan Baptisan Bayi
Dalam sejarah Gereja, pembaptisan bayi dipraktekkan sejak abad II, secara resmi
dibenarkan. Secara tradisional baptisan kanak-kanak terutama dibenarkan oleh karena
adanya “dosa asal” pada kanak-kanak.22 Bagi bayi tidak ada jalan lain untuk selamat
kecuali baptisan. Pada masa Tertullianus dan Origenes, praktek baptis bayi ini sudah
lazim dan diakui sebagai warisan tradisi apostolik. Pada abad V, praktik baptisan bayi
sudah umum dan tersebar di mana-mana. Hal ini tidak terlepas dari pertikaian dengan
kaum pelagianisme. Dalam pertikaian tersebut, Santo Agustinus membuktikan bahwa
bayi dilahirkan dengan dosa Adam (dosa asal). Selanjutnya, dengan baptis, seorang
bayi dilepaskan dari dosa asal tersebut. Dalam konteks ini, Agustinus membedakan
dosa asal (peccatum origenale) dan dosa pribadi (peccatum moral).
Ajaran yang disampaikan dan dipertahankan oleh Agustinus kemudian didukung
bahkan diteguhkan oleh Konsili Kartago (418), Konsili Lateral IV (1215), dan Konsili
Trente (1624). Dengan demikian secara eksplisit, Gereja menegaskan dan mendukung
praktik baptis bayi. Walaupun para kaum reformator dan gereja Anabaptis sampai
salah seorang teolog besar Karl Bart juga menolaknya.
Beberapa alasan terjadinya penolakan atas praktik baptis bayi:
22
Bdk. Dr. C. Groenen OFM, Teologi Sakramen Inisiasi, hlm. 262.
9
a. Iman adalah tindakan pengakuan terhadap wahyu Allah secara pribadi. Iman
adalah urusan pribadi dan bukan urusan orang lain. Bayi belum bisa melakukan
hal-hall tersebut secara pribadi dan personal.
b. Baptisan mengandaikan pewartaan dan pemahaman terlebih dahulu. Dalam
praktik baptis bayi, pewartaan dan pengakuan iman tidak ada. Bayi langsung
dibaptis begitu saja.
c. Iman adalah tindakan yang menuntut tanggung jawab dan tentunya berdasarkan
kebebasan pribadi. Seorang bayi belum bisa bertanggung jawab dan bahkan
belum bisa menentukan tindakannya sendiri.
Atas penolakan tersebut, diberikan beberapa penegasan demikian:
1. Iman tidak bisa disempitkan sebagai urusan pribadi semata. Struktur dasar
manusia adalah eksistensi bersama. Maka iman bukanlah urusan pribadi melaikan
selalu berada dalam sebuah komunitas manusia.
2. Model iman tidak bisa disempitkan hanya pada hasil pewartaan saja. Melainkan
lebih dari itu adalah suatu proses yang terus terjadi. Iman pada dasarnya
mengandaikan suatu pertumbuhan dan perkembangan. Maka, bukan hanya iman
yang membawa orang kepada pembaptisan, melainkan juga baptisan itu sendiri
mampu membawa orang kepada iman. Tentunya di dalam segala proses menjadi.
3. Iman adalah suatu rahmat, dan bukan sekedar usaha manusia semata. Karena
tindakan manusia itu tidak bisa dilepaskan dari campur tangan Allah.
5. Kesimpulan
Umat yang merayakan baptisan bayi, sesungguhnya mengungkapkan iman-
kepercayaan dan rasa syukurnya bahwa oleh karena Allah telah menyelamatkan
kanak-kanak mereka. Dalam keluarga Katolik, biasanya anak-anak kecil dalam waktu
yang tidak terlalu lama sesudah lahir atas dasar iman orang tuanya mereka dibaptis.
Orang tua bertanggung jawab untuk memberikan segala yang baik kepada anak-
anaknya selama mereka sendiri belum dapat memilih. Karena itu, anak-anak kecil
sudah dipermandikan agar dipersatukan dengan Kristus penebus dan sumber
kebahagiaan.
10
Dokumen utama yang menjadi pemicu dari paper dan presentasi ini ialah handout
yang diberikan oleh dosen pembimbing kuliah. Handout berupa buku yang ditulis
oleh Bethune Baker dengan judul: “An Introduction to The Early History of Christian
Doctrine”, terlebih khusus pada pembahasan tentang Sakramen Baptis (halaman 376-
392).
6.2. Dokumen dan Buku Pendukung
Dokumen pendukung yang digunakan dalam penelitian ini ialah:
Gabe Huck. Liturgi yang Anggun dan Menawan. Yogyakarta: Kanisius, 2006.
Celsius Mayabubun. “Seputar Sakramen Pembaptisan” dalam Seri Mitra: Media
Refleksi Ilmiah-Pastoral. Diedit oleh Wensy Wowor, dkk. Pineleng: Seksi
Publikasi Skolastikat MSC, 1999.
Alfra Siauwarjaya dan Th. Huijbert SJ. Mengenal Iman Katolik. Jakarta: Obor,
1987.
E. Martasudjita. Sakramen- Sakramen Gereja.Yogyakarta: Kanisius, 2003.
J.B Banawiratma. Baptis, Krisma, Ekaristi. Yogyakarta: Kanisius, 1989.
Dr. C. Groenen OFM. Teologi Sakramen Inisiasi.Yogyakarta: Kanisius, 1992.
Lukman Ali (Tim). Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi kedua. Jakarta: Balai
Pustaka, 1995.
K. Prent (dkk). Kamus Latin - Indonesia. Yogyakarta: Kanisius, 1969.
11