Anda di halaman 1dari 22

Nama : Agustinus Nicolaus Yokit

MK : Pastoral Pemberdayaan Umat Awam

Tugas : Paper Akhir

Judul : “Orang Muda Katolik Yang Militan Namun Tetap Nasionalis di Tanah

Air Indonesia”

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang Masalah

Indonesia merupakan salah satu negara plural yang memiliki beragam suku,

budaya, adat, agama, ras, dan golongan. Pluralitas tersebut terbingkai dalam bentuk

suatu negara yakni Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang berlandaskan

falsafah dan nilai-nilai Pancasila serta Undang-Undang Dasar Republik Indonesia

1945. Di Indonesia ada 6 agama resmi yang diakui oleh negara yaitu Islam, Kristen,

Katolik, Hindu, Buddha, dan Khonghucu (dilansir dalam laman resmi Kementrian

Agama: https://kemenag.go.id/mimbar-agama).

Adanya pluralitas beragama yang dimiliki oleh Indonesia, dapat berdampak

secara konstruktif maupun destruktif. Dampak konstruktifnya, setiap umat beragama

dapat membangun dan menjalin kesatuan sebagai satu bangsa walaupun memiliki

perbedaan. Ini merupakan rahmat yang harus disyukuri dan dilestarikan. Sedangkan

secara destruktif, apabila umat beragama tidak dibina dan diarahkan dengan baik

maka akan muncul radikalisme agama yang mengancam semangat nasionalis sebagai

satu bangsa dan negara.

Radikalisme agama merupakan isu yang masih hangat untuk diperbincangkan,

khususnya di negara Indonesia sampai saat ini. Radikalisme agama terjadi akibat

1
pemahaman yang salah dalam mengerti ajaran kepercayaan yang dianut, sehingga

mengakibatkan sikap intoleransi. Sikap intoleransi dapat mengakibatkan perpecahan.

Contoh kasus yang terjadi di Desa Sukahurip Kabupaten Bekasi di mana terjadi

penolakan terhadap pembangunan pura/rumah ibadah umat Hindu yang sudah

memenuhi syarat, memiliki izin, dan dukungan dari warga lokal. Walaupun sudah

memiliki izin dan memenuhi syarat, tetap saja ada sekelompok orang yang bersikap

intoleransi sampai ingin “berjihat” apabila pembangunan rumah ibadah tersebut

tetap dilaksanakan.1 Kasus lainnya juga terjadi terhadap pembangunan gereja/rumah

ibadah umat Kristiani pada gereja Katolik Santo Joseph di Kabupaten Karimun,

Kepulauan Riau, di mana sekelompok orang menolak pembangunan gereja dan

melakukan bentuk tindakan persekusi terhadap setiap panitia pembangunan gereja.2

Tindakan di atas sesungguhnya dilakukan oleh orang-orang yang salah dalam

memahami ajaran agama yang dimiliki oleh sesamanya. Kasus-kasus yang terjadi

dapat diibaratkan bagaikan uang logam yang memiliki dua sisi, demikian halnya

dengan agama dan cara beragama. Di sisi yang satu agama mengajarkan kebaikan

yang akan membawa rahmat, damai dan kasih bagi setiap orang. Namun, di sisi lain

agama justru digunakan oleh pihak-pihak tidak bertanggung jawab yang

menghadirkan kehancuran dan konflik serta mengarah pada radikalisme agama. Dan

1
Abraham Utama, “Penolakan Pura di Bekasi: ‘Walau Cuma Dua-Tiga Umat,

Mereka Tetap Berhak Punya Rumah Ibadah,’” BBC Indonesia, 2019, diakses 09 Desember

2022. https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-48215796.
2
Michael Hangga Wismabrata, “Fakta Penolakan Pembangunan Gereja Santo Joseph

Di Karimun, Jokowi: Tindak Tegas Intoleransi,” Kompas.com, 2020, diakses 09 Desember

2022.https://regional.kompas.com/read/2020/02/16/15010091/fakta-penolakan-pembangunan-

gereja-santo-joseph-di-karimun-jokowi--tindak?page=all.

2
kenyataannya bahwa radikalisme agama dapat terjadi di agama manapun dan pada

siapapun tanpa terkecuali.

Menurut BBC Indonesia pada tanggal 21 Februari 2019, rentang usia umat

beragama yang paling rentan terpapar radikalisme ialah kaum muda (lih.

https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-47308385).3 Apabila ditelusuri lebih lanjut,

dapat ditemukan bahwa akar masalahnya ialah pengaruh lingkungan yang intoleran

dan kurangnya pemahaman yang memadai tentang moderasi beragama. Dua akar

masalah ini, dapat menjadi pemicu lahirnya penerus bangsa yang jatuh pada

radikalisme agama. Penerus bangsa yang dimaksudkan ialah kaum muda Indonesia.

Kaum muda di Indonesia tentunya mencakup juga kaum muda yang berasal dari

Gereja Katolik yang dikenal dengan sebutan OMK (Orang Muda Katolik). OMK

dapat digolongkan dalam golongan yang paling rentan terpapar radikalisme karena

dipengaruhi oleh fanatisme buta atas agama.

Memang benar bahwa di dalam Gereja Katolik, setiap OMK diajarkan untuk

menjadi pribadi yang memiliki militansi iman. Memiliki militansi iman berarti

memiliki pengetahuan yang memadai tentang iman Katolik dan dengan berani

mempertanggung jawabkan iman tersebut. Namun, di dalam kenyataannya, militansi

iman juga diarahkan untuk terbuka pada kenyataan akan adanya pluralitas beragama.

3
Istilah radikalisme berasal dari bahasa Latin “radix” yang artinya akar, pangkal, bagian

bawah, atau bisa juga berarti menyeluruh, habishabisan dan amat keras untuk menuntut

perubahan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) radikalisme berarti (1) paham

atau aliran yang radikal dalam politik; (2) paham atau aliran yang menginginkan perubahan

atau pembaharuan sosial dan politik dengan cara kekerasan atau drastis; (3) sikap ekstrem

dalam aliran politik. Apabila pemahaman ini dikontekstualisasikan pada agama, maka

pengertian dari radikalisme agama adalah paham atau aliran keras yang berasal dari suatu

ajaran agama yang menimbulkan sikap intoleransi.

3
Apabila tidak terbuka pada kenyataan tersebut, maka perkembangan OMK akan

terhambat atau mandek. Ada pun beberapa pengaruh yang perlu dihindari demi

pertumbuhkembangan iman OMK. Pengaruh yang dimaksudkan ialah pengaruh

lingkungan yang terlalu “takut” untuk bergaul dengan mereka yang beragama lain dan

kurangnya pemahaman yang memadai akan pentingnya moderasi beragama. Dua hal

ini dapat membentuk radikalisme agama dalam diri OMK, yang kemudian dapat

berpengaruh pada penghayatan hidup sebagai pribadi yang nasionalis.

Untuk meneropong dan melihat realitas di atas maka kita akan dibantu dengan

dokumen Seruan Apostolik Pascasinode Christus Vivit (Kristus Hidup). Dokumen

yang dikeluarkan oleh Paus Fransiskus ini akan membantu kita untuk menempatkan

Orang Muda Katolik dalam bingkai arah dasar pergerakkan Gereja Katolik secara

umum. Dan secara khusus akan dilihat pergerakkan OMK seturut Buku Pedoman

Karya Pastoral Kaum Muda (PKPKM) yang dikeluarkan oleh Komisi Kepemudaan

KWI. Fokus utama ialah melihat bagaimana perkembangan pemahaman Gereja

Katolik akan pentingnya moderasi beragama di seluruh dunia, dan tentunya dalam

konteks hidup beragama di negara Indonesia. Kita akan diarahkan untuk melihat

bagaimana pengembangan Orang Muda Katolik masa kini yang memiliki militansi

iman namun tidak fanantik buta sehingga menjadi tidak nasionalis.

2. Fokus Penelitian

Penelitian ini akan berfokus pada pastoral pengembangan moderasi beragama

bagi Orang Muda Katolik di Indonesia.

3. Signifikasi Karya Ilmiah

Penelitian ini ditujukan bagi Orang Muda Katolik di negara Indonesia dan juga

secara khusus bagi saya sebagai orang muda, calon imam yang akan berusaha

menyikapi problem hidup beragama di Negara Kesatuan Republik Indonesia.

4
4. Metode Penulisan

Metode penulisan yang digunakan ialah metode deskripsi-analisis. Melalui

metode deskripsi, penulis berusaha untuk menguraikan siapa itu Orang Muda Katolik

masa kini dan semangat hidupnya menurut seruan apostolik pascasinode Christus

Vivit (2019) dan Pedoman Karya Pastoral Kaum Muda (PKPKM). Sedangkan melalui

metode analisis, penulis berusaha untuk menganalisa konsep Orang Muda Katolik

yang militan namun tidak fanatik buta.

5. Sistematika Penulisan

I. Pendahuluan

Pada bagian ini akan diuraikan siapa itu OMK dan realitas moderasi beragama

di Indonesia. Fokus penjabaran ialah mendiskripsikan akar masalah yang terjadi di

Indonesia terkait dengan fanatisme buta atas agama.

II. Pengembangan Konsep

Pada bagian ini akan diuraikan pandangan Gereja terkini tentang orang muda

dan semangatnya, Seruan Apostolik Christus Vivit dan buku Pedoman Karya

Pastoral Kaum Muda (PKPKM). Fokus utama pada bagian ini ialah melihat

pandangan Gereja yang relevan dengan problem yang terjadi di Indonesia.

III. Rekomendasi

Pada bagian ini akan diberikan rekomendasi terkait tulisan yang dirasa penting

untuk memberikan pemahaman yang baru. Pemahaman iman yang mengarahkan

Orang Muda Katolik untuk berani membangun relasi dengan bebas, tanpa ada

fanatisme buta yang mempengaruhi cara beragama dengan baik dan benar.

5
PENGEMBANGAN KONSEP

1. Apa itu OMK?

1.1. Sejarah singkat OMK di Indonesia

Sebelum istilah OMK (Orang Muda Katolik) digunakan di negara Indonesia,

Gereja Katolik di Indonesia biasanya menyebut orang muda dengan istilah MUDIKA

(Muda-Mudik Katolik). Sejarah MUDIKA dimulai sejak “Pemuda Katolik” menjadi

Organisasi Massa pada awal Orde Baru. MUDIKA adalah istilah yang dipergunakan

untuk menyebut komunitas orang muda Katolik yang berada di suatu wilayah teritori

tertentu, baik di lingkungan, wilayah, stasi, atau paroki. Istilah MUDIKA muncul

sekitar tahun 1974, di Keuskupan Bogor untuk menamai gerakan Katolik muda yang

berbasis teritori Gereja. Pencetus nama MUDIKA ini ialah FX Puniman (seorang

aktivis OMK 1970-an) yang juga wartawan di kota Bogor. Istilah ini selanjutnya

digunakan secara umum di seluruh Indonesia (lih. https://www.katolisitas.org/apa-

perbadaan-mudika-dan-omk/). Dalam perkembangannya, sejak muncul UU

Keormasan No. 5 tahun 1985, peran MUDIKA menjadi lebih kuat dan kemudian

menggantikan peran Pemuda Katolik yang sebelumnya sangat berperan dalam

kehidupan kaum muda.

1.2. Pengertian tentang OMK

Menurut Pedoman Karya Pastoral Kaum Muda (PKPKM) yang dikeluarkan oleh

Komisi Kepemudaan KWI, OMK adalah mereka yang berusia 13 sampai dengan 35

dan belum menikah, sambil tetap memperhatikan situasi dan kebiasaan masing-

masing daerah. OMK mencakup jenjang usia remaja, taruna dan pemuda. Kaum

Muda dalam bahasa Inggris disebut “youth”. Kata “youth” merupakan kata kolektif

6
untuk orang yang berada pada rentang umur 11-25 tahun. Sedangkan Komisi

Kepemudaan (Komkep) mengambil batas bagi OMK ialah mereka yang berada pada

rentang umur 13-35 tahun. Rentang umur ini merujuk pada buku “Pendidikan Politik

Bagi Generasi Muda dan Keputusan Badan Koordinasi Penyelenggaraan Pembinaan

dan Pengembangan Generasi Muda No. 01/BK tahun 1982 tentang Petunjuk

Pelaksanaan Pendidikan Politik Bagi Generasi Muda” yang dikeluarkan oleh Kantor

Menpora tahun 1985.

Rentang umur yang ditetapkan di atas hendak menunjukkan bahwa kaum muda

terdiri atas usia remaja sampai dewasa awal. Maka, rentang umur tersebut dapat

dikategorikan lebih rinci sebagai berikut:

1. Kelompok usia remaja (13-15 tahun)

2. Kelompok usia taruna (16-19 tahun)

3. Kelompok usia madya (20-24 tahun)

4. Kelompok usia karya (25-35 tahun)

Secara teritorial, OMK dapat dipahami sebagai umat muda dalam suatu paroki,

sehingga disebut OMK paroki, walaupun ditemukan juga bahwa mereka menjadi

anggota pelbagai wadah/kelompok/organisasi/gerakan kategorial sesuai minat, bakat

dan keinginan mereka. Sehingga dapat dipahami bahwa dimanapun mereka aktif dan

melibatkan diri, bahkan juga bila sama sekali belum aktif, secara teritorial merupakan

warga paroki setempat dengan OMK paroki sebagai “home base” (pangkalan induk)

mereka.

Oleh karena itu, OMK haruslah menjadi basis pembinaan serta sumber inspirasi

dan motivasi untuk keterlibatan dalam berbagai wadah/ kelompok/organisasi/gerakan

kategorial, baik intern maupun ekstern gerejawi. Gerakan yang kemudian menjadi

dasar dan arah Gereja Katolik di masa yang akan datang.

7
1.3. OMK di dalam Seruan Apostolik Christus Vivit

Seruan Apostolik Pascasinode Christus Vivit (Kristus Hidup), selanjutnya disebut

CV, dikeluarkan oleh Paus Fransiskus pada 25 Maret 2019 di Roma. Dokumen ini

bisa dibagi dalam tiga bagian besar. Bab I dan Bab II menguraikan tentang orang

muda menurut Injil, tentang Yesus, Maria dan orang-orang kudus muda. Dalam Bab

III-VI Paus menyapa orang-orang muda secara langsung dalam situasi hidup mereka,

tantangan dan harapannya sekarang ini: orang muda adalah masa kini Allah, pesan

luhur bagi orang muda, jalan masa muda, dan orang-orang muda yang berakar.

Sementara itu, pada tiga bab terakhir (VII-IX) dibahas tentang reksa pastoral bagi

orang-orang muda, panggilan orang muda dan penegasan panggilan mereka.

Melalui dokumen ini Paus Fransiskus menyapa langsung orang-orang muda dan

menyampaikan tentang Kristus yang hidup dan senantiasa muda. “Apa pun yang

disentuh oleh-Nya menjadi muda, menjadi baru, dipenuhi hidup. Maka, Dia hidup dan

ingin agar engkau hidup!”(CV 1). Dokumen ini mengajak semua umat Katolik,

teristimewa orang muda untuk menyadari kebaruan dan kemudaan Kristus serta

mewujudkannya dalam hidup. Dalam konteks CV, orang muda dipandang seperti

Yesus Kristus yang selalu muda. Terlebih Sinode menegaskan bahwa “masa muda

adalah periode kehidupan yang orisinal dan menggairahkan yang telah dihayati oleh

Yesus sendiri, dengan menguduskannya,” (CV 22).

Dengan penuh kasih, Paus Fransiskus hendak mengingatkan kembali beberapa

keyakinan iman Katolik dan, pada saat yang sama, mendorong orang-orang muda

untuk berkembang dalam kekudusan serta komitmen akan panggilan mereka. Semua

proses itu dilihat dalam tonggak sejarah yang dikontekskan dengan perjalanan

sinodal.

8
Secara lebih luas juga dokumen ini hendak dutujukan kepada semua umat Allah,

para pastor dan umat beriman agar mampu berefleksi lebih mendalam tentang orang

muda. Refleksi tersebut hendak mengarahkan setiap lapisan umat untuk mampu

melihat tantangan dan pergerakkan orang muda saat ini dengan tentunya

memperhatikan serta mempertimbangkan arah pergerakkan Gereja Katolik.

1.3.1. Meneropong OMK dalam Alkitab

Tuhan Yesus dalam kenyataan hidupnya tidak menyukai bahwa orang dewasa

yang suka memandang rendah orang yang lebih muda atau memerintah mereka

dengan sewenang-wenang. Sebaliknya, Dia meminta agar: “yang terbesar di antara

kamu hendaklah menjadi sebagai yang paling muda” (Luk 22:26). Bagi-Nya, usia

tidak menentukan hak istimewa, dan bahkan seseorang yang berumur lebih muda

tidak berarti bahwa ia kurang bernilai atau bahwa ia memiliki martabat yang lebih

rendah. Sebagaimana Sabda Tuhan yang mengatakan dengan tegas bahwa orang

muda harus diperlakukan “sebagai saudaramu” (1Tim 5:1) dan menyarankan kepada

orang tua: “Hai bapa-bapa janganlah sakiti hati anakmu, supaya jangan tawar hatinya”

(Kol 3:21). Sehingga, seorang anak muda tidak boleh tawar hati. Karena ciri khas

anak muda ialah bermimpi tentang hal-hal besar, mencari wawasan yang luas, lebih

berani, ingin menaklukkan dunia, mengetahui cara menerima tawaran yang

menantang dan mau memberikan yang terbaik dari dirinya untuk membangun sesuatu

yang lebih baik (CV 16).

Inilah sebabnya, Paus Fransiskus mendesak orang muda untuk tidak membiarkan

harapan mereka direnggut dan kepada setiap orang dewasa: “Jangan seorang pun

menganggap engkau rendah karena engkau muda” (1Tim 4:12). Namun, pada saat

9
yang sama dianjurkan kepada para orang muda: “Tunduklah kepada orang-orang yang

tua” (1Ptr 5:5).

Alkitab selalu mengajak orang muda untuk memiliki rasa hormat yang mendalam

kepada para orang tua karena orang tua memiliki banyak pengalaman. Mereka telah

mengalami keberhasilan dan kegagalan, sukacita dan penderitaan hidup, harapan dan

kekecewaan, dan dalam keheningan hati mereka, mereka menyimpan banyak cerita

yang dapat membantu orang muda untuk tidak membuat kesalahan dan tidak

diperdaya oleh ilusi palsu. Dalam konteks ini, perkataan orang tua yang bijak hendak

mengajak orang muda untuk menghormati batas-batas tertentu dan untuk mengetahui

bagaimana menguasai pada waktu yang tepat: “nasihatilah mereka supaya mereka

menguasai diri dalam segala hal” (Tit 2:6). Tidaklah baik untuk jatuh ke dalam kultus

kemudaan, atau dalam sikap kemudaan yang merendahkan orang lain karena usia

mereka atau karena mereka berasal dari zaman yang berbeda. Yesus mengatakan

bahwa orang bijak tahu cara mengambil hal-hal baru dan hal-hal lama dari harta

karunnya (bdk Mat 13:52).

1.3.2. Melihat Tantangan yang dihadapi OMK

Paus Fransiskus di dalam dokumen Christus Vivit menegaskan bahwa masa muda

bukanlah sebuah objek yang dapat dianalisis dalam istilah-istilah abstrak. Dalam

realita, “masa muda” tidak ada, hanya ada orang muda dengan kehidupan mereka

yang konkret. Maka di dalam dunia sekarang ini, yang penuh dengan kemajuan,

begitu banyak hidup ini terpapar oleh penderitaan dan manipulasi termasuk orang-

orang yang berada dalam “masa muda” (CV 71).

Dalam refleksi lebih lanjut, Paus Fransiskus menunjukkan realitas bahwa orang

muda sudah terpengaruh oleh ideologi, diperalat dan digunakan sebagai umpan

10
meriam atau sebagai sebuah kekuatan mengejutkan untuk merusak, mengintimidasi

dan mengejek orang lain. Ditemukan dan didapati dengan sangat jelas bahwa banyak

orang muda yang berubah menjadi individualis, bermusuhan dan curiga pada setiap

orang, dan begitu mudahnya menjadi mangsa rencana-rencana yang tidak manusiawi

dan menghancurkan yang dirancang oleh kelompok politik atau kekuatan ekonomi.

Lebih jauh lagi di dunia yang luas ini, dapat ditemukan orang-orang muda yang

menderita. Mereka yang mengalami penderitaan dalam berbagai bentuk marginalisasi

dan pengucilan sosial karena alasan-alasan agama, etnis dan ekonomi.

Seturut uraian yang telah ditunjukkan oleh Paus Fransiskus di atas dalam

dokumen Christus Vivit, maka dapat disimpulkan bahwa tantangan OMK sangatlah

besar. Bahkan lebih dari itu dapat menempatkan mereka pada situasi yang rentan

dipengaruhi oleh berbagai pihak yang tidak bertanggung jawab di luar dirinya.

Terlebih dipengaruhi oleh ideologi yang keliru seperti halnya radikalisme agama serta

fanatisme buta atas agama.

Terhadap realitas dan kenyataan ini, apa yang dapat dilakukan oleh Gereja

Katolik di Indonesia? Pertanyaan ini hendak mengarah pada pergerakkan yang telah

dan akan dilakukan oleh Gereja Katolik. Hal yang paling utama dan harus dilakukan

ialah melakukan pendampingan terhadap OMK. Siapa yang paling bertanggung jawab

atas pendampingan ini? Tentunya, orang tua, pastor, orang dewasa, dan para

pendamping OMK dan seksi kepemupaan paroki (SKP) yang diberikan tanggung

jawab atas pengembangan orang muda di wilayah teritorial dan wilayah pastoralnya.

Pedoman apa yang bisa digunakan untuk mendampingi OMK di negara Indonesia?

Komisi Kepemudaan KWI telah memberikan buku pedomannya yaitu Pedoman

Karya Pastoral Kaum Muda (PKPKM). Oleh karena itu, uraian selanjutnya akan

berdasar pada buku pedoman yang ada.

11
2. Pendampingan OMK

Dalam proses pendampingan terhadap OMK, setiap pendamping perlu melihat

dan memandang OMK sebagai pribadi yang sedang berkembang. Mereka memiliki

ciri khas dan keunikan yang tak tergantikan, kualitas, bakat dan minat yang perlu

dihargai. Mereka mempunyai perasaan, pola pikir, tata nilai dan pengalaman tertentu,

serta masalah dan kebutuhan yang perlu dipahami. Mereka memiliki hak dan

kewajiban, tanggung jawab dan peran tersendiri yang perlu diberi tempat. Semua itu

merupakan potensi untuk dikembangkan dalam proses pembinaan, sehingga kaum

muda dapat berperan aktif-positif dalam kehidupan Keluarga, Gereja dan

Masyarakatnya.

Para pendamping perlu memberi kemungkinan, kesempatan, kepercayaan dan

tanggung jawab kepada OMK sebagai subyek dan pelaku utama proses bina diri dan

saling bina. Mereka bukan lagi bejana kosong yang perlu diisi atau lilin yang harus

dibentuk menurut selera para pembina. Dengan demikian, segala bentuk pembinaan

yang sifatnya menggiring, mendikte, mengobyekkan dan memperalat kaum muda

demi suatu kepentingan di luar perkembangan diri mereka dan peran serta tersebut di

atas haruslah dihindari dan dihilangkan. Karena sesungguhnya, hakekat pembinaan

kaum muda, sebagai karya pastoral, adalah pelayanan dan pendampingan. Inilah

pemikiran dasar yang harus dimiliki dan dipahami dengan baik oleh para pendamping

dan setiap anggota OMK.

Selanjutnya dengan pola pikir yang ada dan dimiliki oleh OMK, mereka

hendaknya diarahkan untuk memahami dengan benar iman yang mereka yakini. Dan

dengan pengetahuan yang ada mereka diharapkan untuk berani mengakui imannya.

12
Setelah berani mengakui imannya, mereka pun diarahkan untuk berani membangun

relasi dengan saudara-saudari yang berasal dari agama yang berbeda dengannya di

negara ini. Maka, sangatlah mendesak untuk membentuk Orang Muda Katolik yang

Militan namun tetap memiliki semangat Nasionalis dalam dirinya.

Akhirnya, kita akan sampai pada pertanyaan akan konsep dasar yang relevan.

“Apa konsep yang dapat membantu kita untuk mengarahkan OMK di Indonesia untuk

menjadi pribadi yang militan namun tetap nasionalis?”

2.1. OMK yang Militan (100% Katolik) dan Nasionalis (100% Indonesia)

100% Katolik, 100% Indonesia merupakan semboyan dan konsep dasar yang

dapat dihidupi dan digaungkan kembali pada zaman sekarang. Membentuk OMK

yang militan tanpa harus mematikan semangat nasionalis merupakan usaha yang

harus selalu dilakukan di setiap paroki di Indonesia. Apabila ditelusuri ke belakang,

maka semboyan ini rupanya penuh nilai kekatolikan dan nasionalisme. Sebagai

pencetus dari semboyan ini, Mgr. Albertus Soegijapranata, SJ melontarkan nilai

nasionalisme bukan tanpa alasan.

Kala itu, Mgr. Soegija dan para tokoh Katolik lainnya berkarya di tengah

masyarakat yang berperang memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Pria kelahiran

25 November 1896 ini menanamkan nilai kekatolikan dan nasionalisme kepada

masyarakat pribumi yang telah menjadi keluarga Katolik pertama di Indonesia.4

Oleh karena itu, Mgr. Soegijapranata, SJ mengajak umat Katolik untuk ikut

terlibat memperjuangkan kemerdekaan. Dalam usaha meneguhkan keterlibatan itu,

Mgr. Soegija melontarkan semboyan “100 persen Katolik dan 100 persen Indonesia”.

4
Bdk. G. Budi Sabanar SJ, Kilasan Kisah Soegijapranata (Yogyakarta: Kepustakaan

Populer Gramedia, 2012), hlm. 112.

13
Mgr. Soegija menggunakan kata ‘patriot’ untuk menunjukkan semangat

nasionalisme. Hal ini dapat dilihat dari Surat Gembala Ulang Tahun 12,5 tahun

Tahbisan Uskup, 9 Februari 1953. “Jika kita benar-benar Katolik sejati sekaligus kita

juga patriot sejati, karenanya kita adalah 100% patriot, karena kita adalah 100%

Katolik”.5 Ungkapan ini mengajak umat Katolik untuk mengintegrasikan kekatolikan

dan nasionalisme.

Mgr. Soegija mengajak orang Katolik untuk tidak devotif dalam liturgi saja,

melainkan harus terlibat dalam masyarakat. Karena menurutnya, orang Katolik

Indonesia tetap harus memiliki jiwa nasionalisme, berguna tidak hanya bagi

gerejanya, tetapi juga bagi bangsa dan negaranya. Perjuangan dan jasa Mgr. Soegija

membuat ia dikenang sebagai pahlawan Nasional.

Mgr. Soegija sesungguhnya membantu kita untuk berani berbicara tentang

“Moderasi Beragama”. Bahkan lebih dalam lagi, kita diarahkan untuk tidak berbicara

saja tentang apa itu “moderasi beragama” sehingga kita hanya sampai pada konsep

yang mengawang saja. Kita seharusnya berani mendaratkan konsep tersebut sampai

pada level paling akar dalam masyarakat. Dalam proses pendaratan itu, tak bisa

dilepaskan juga kelompok yang paling diharapkan untuk terlibat aktif ialah Orang

Muda Katolik. Karena mereka adalah juga harapan dan masa depan bangsa.

Tujuan utama yang hendak dicapai ialah agar kehidupan masyarakat dan bangsa

Indonesia yang plural serta majemuk ini dapat menjadi rukun dan damai. Bahkan

lebih dala lagi, agar mereka (Orang Muda Katolik) tidak mudah terhasut oleh paham-

paham radikal dan intoleran yang dapat merusak nilai nasionalisme yang telah

dibangun sejak dini. Karena sangat urgent dan relevan di Indonesia untuk

mengembangkan pemahaman yang memadai tentang moderasi beragama bagi OMK.

5
Bdk. Ibid., hlm. 19.

14
2.2. Urgensi dari Moderasi Beragama bagi OMK

Sebelum melihat urgensi dari moderasi beragama dalam pembinaan OMK, kita

perlu tahu terlebih dahulu apa itu moderasi beragama. Kata “moderasi” memiliki

korelasi dengan beberapa istilah. Dalam bahasa Inggris, kata “moderasi” berasal dari

kata moderation, yang berarti sikap sedang, sikap tidak berlebih-lebihan. Juga

terdapat kata moderator, yang berarti ketua (of meeting), pelerai, penengah (of

dispute). Kata moderation berasal dari bahasa Latin moderatio, yang berarti ke-

sedang-an (tidak kelebihan dan tidak kekurangan). Dalam Kamus Besar Bahasa

Indonesia, kata “moderasi” berarti penghidaran kekerasan atau penghindaran

keekstreman. Kata ini adalah serapan dari kata “moderat”, yang berarti sikap selalu

menghindarkan perilaku atau pengungkapan yang ekstrem, dan kecenderungan ke

arah jalan tengah. Sedangkan kata “moderator” berarti orang yang bertindak sebagai

penengah (hakim, wasit, dan sebagainya), pemimpin sidang (rapat, diskusi) yang

menjadi pengarah pada acara pembicaraan atau pendiskusian masalah, alat pada

mesin yang mengatur atau mengontrol aliran bahan bakar atau sumber tenaga.

Jadi, ketika kata “moderasi” disandingkan dengan kata “beragama”, menjadi

“moderasi beragama”, maka istilah tersebut berarti merujuk pada sikap mengurangi

kekerasan, atau menghindari keekstreman dalam praktik beragama. Gabungan kedua

kata itu menunjuk kepada sikap dan upaya menjadikan agama sebagai dasar dan

prinsip untuk selalu menghindarkan perilaku atau pengungkapan yang ekstrem

(radikalisme) dan selalu mencari jalan tengah yang menyatukan dan membersamakan

semua elemen dalam kehidupan bermasyarakat, bernegara, dan berbangsa Indonesia.

Seturut dengan artinya dan sejalan dengan arah pergerakkan Gereja yang menolak

radikalisme dan fanatisme buta terhadap agama, maka pemahaman tentang moderasi

15
beragama sangatlah dibutuhkan. Terlebih ketika dihubungkan dengan visi dari OMK

se-Indonesia, maka sangatlah relevan dan urgent untuk terus mengembangkan

semangat moderasi beragama. Namun sebelum diulas lebih lanjut, apa persis visi dari

OMK se-Indonesia itu? Visi dasarnya ialah OMK yang sepenuh-penuhnya setia

kepada Yesus Kristus dan seutuh-utuhnya berjiwa Pancasila sehingga mampu

mengembang panggilan Kristiani dan tugas kebangsaan dalam hidup menggereja,

bermasyarakat dan bernegara.

Dengan berdasar pada visi tersebut, OMK harusnya mampu menjadi pribadi yang

militan namun tetap nasionalis di tanah air tercinta, Negara Kesatuan Republik

Indonesia. Selanjutnya, yang hendak diperhatikan demi terwujudnya visi dasar OMK

yaitu setiap kegiatan OMK selalu dipahami sebagai karya pastoral, yang berlandaskan

iman Katolik dan Pancasila.

Berlandaskan iman Katolik berarti menempatkan iman Katolik sebagai pusat dan

dasar, serta sumber motivasi dan inspirasi dalam seluruh karya pelayanan pastoral

OMK. Dengan ini, OMK diarahkan pada penghayatanyang melihat iman sebagai

hubungan pribadi dengan Allah, yang diungkapkan dalam kesatuan dengan iman

Gerejawi yang satu dan rasuli, serta diwujudkan lewat kesaksian hidup di tengah

Gereja (internal) dan masyarakat (ekstenal).

Sedangkan berlandaskan Pancasila berarti menjadikan Pancasila sebagai azas

karya pembinaan yang mengarahkan kaum muda untuk memahami, menghayati,

mengamalkan, membela dan mempertahankan, serta mengembangkan nilai-nilai luhur

budaya bangsa sebagaimana dirumuskan dan terkandung di dalam Pancasila.

Dengan demikian, OMK akan diarahkan untuk juga memiliki semangat

keterbukaan dan moderasi dalam membangun hidup beragama bersama saudara-

saudari yang berbeda kepercayaan dengannya.

16
REKOMENDASI

Tujuan utama OMK seperti yang dikemukakan Komisi Kepemudaan dalam

Konferensi Waligereja Indonesia ialah menghasilkan anggota yang tangguh dan

tanggap dalam hidup sebagai umat Katolik/Gereja maupun sebagai masyarakat. Untuk

mencapai tujuan di atas, dibutuhkan pendamping, penggerak, dan teman seperjalanan

yang dapat membantu OMK di mana pun itu. Oleh karena itu, rekomendasi yang

hendak diberikan lebih tertuju ke pada fungsi dan peran pendamping yang relevan

dalam proses pembinaan dari para OMK.

1. Fungsi Pendamping OMK yang Relevan

1.1. Sebagai Sahabat

Ia menempatkan diri bukan di atas (sebagai atasan dan bos), melainkan di antara

para anggota kelompok. Ia berada bersama mereka, memperhatikan mereka secara

pribadi, tetapi tetap tahu membatasi diri di mana perlu. Ia bergaul dengan mereka dan

menyelami dunia mereka, tetapi tidak ikut- ikutan bertingkah laku seperti mereka. Ia

mengenal mereka, mengerti gejolak mereka, tetapi tidak boleh memanfaatkan dan

memperalat mereka. Ia menghargai dan menerima mereka sebagaimana adanya, tetapi

sekaligus tahu ‘menuntut’ mereka untuk bergerak maju dan tidak membiarkan sikap

mudah menyerah. Ia berusaha memahami kebutuhan riil mereka, tetapi tidak begitu

saja mengikuti keinginan mereka.

1.2. Sebagai Pendamping

Ia menempatkan diri bukan di tengah (untuk menjadi pusat perhatian) melainkan

di samping kelompoknya. Ia berjalan bersama dan di samping mereka, sebagai teman

17
seperjalanan dan rekan sepenanggungan, tetapi tidak menggiring mereka ke arah yang

disukainya sendiri. Ia memungkinkan terciptanya komunikasi dan interaksi yang

mengarah dan berpusat pada kelompok, bukan pada dirinya sendiri. Ia merangkul dan

mempersatukan mereka, mendamaikan perselisihan, tetapi tanpa niat menonjolkan

diri, peran dan kepentingannya. Ia berani bersikap tegas, mengoreksi dan

mengarahkan mereka, tetapi tidak memaksakan dan mendikte mereka dengan

pendapatnya. Ia punya prinsip dan berpegang teguh pada prinsip, tetapi bersikap

luwes dan tidak kaku dalam cara penerapannya. Ia membimbing dan membantu

mereka menghadapi masalah dan kendala, tetapi tidak memanjakan dan mengambil

alih tanggung jawab mereka.

1.3. Sebagai Pendorong

Ia tidak menempatkan diri di depan (sebagai pemuka dan orang penting)

melainkan di belakang. Di saat-saat sulit dan genting, ia mungkin harus tampil

mengambil prakarsa awal, tetapi lalu harus lebih banyak memberi kepercayaan dan

kesempatan kepada kelompok untuk meneruskannya dan bahkan menemukan

jalannya sendiri. Dengan kreativitasnya, ia merangsang kelompok menjadi kreatif dan

inovatif, bukannya membungkam kreativitas mereka dan membiarkan mereka

menjadi sekedar pengikut dan pengekor. Dengan kelebihan dalam pengalaman,

keluasan dalam pandangan dan keunggulan dalam keteladanan, ia menggerakkan

mereka untuk maju, meraih prestasi kelompok, dan semakin mandiri, bukannya

menciptakan ketergantungan kelompok pada pembina. Dengan kesungguhan dan

sikap wajar, ia memuji mereka untuk suatu prestasi sekecil apapun, juga untuk hal-hal

yang belum sempurna; bukannya serba mencela dan mempersalahkan mereka. Ia

harus menampilkan kelompok ke depan dan ‘ke atas panggung’, bukannya

18
menampilkan dan menonjolkan dirinya sendiri; ia tahu kapan harus menarik diri ‘ke

belakang panggung’. (bdk. Mk. 2:1-5 dan Yoh 3:30).

1.4. Sebagai Pemandu

Dalam proses kegiatan bina kelompok, seorang pembina tidak menempatkan diri

sebagai guru yang mengajari, melainkan sebagai fasilitator yang menciptakan iklim

partisipatif dan suportif, dalam mana setiap peserta bebas dan berani mengungkapkan

diri, mengutarakan pendapat, mengemukakan tanggapan. Ia mempersiapkan diri tidak

dengan bekal ‘jawaban yang tepat’, melainkan dengan ‘pertanyaan yang tepat’ dan

metode yang tepat. Ia tidak memaksakan hasil akhir (yang sering sudah disiapkan),

melainkan menumbuhkan sikap kritis dan menemukan sendiri. Ia mengarahkan

pembicaraan pada relnya, mencegah penyimpangan, tetapi tidak menggiring mereka

ke arah rumusan-rumusan yang dikehendakinya atau menurut seleranya sendiri. Ia

tidak mempersalahkan peserta atas jawaban yang belum sempurna, melainkan

mendorong mereka untuk mencari yang lebih sempurna. Ia tidak tergesa-gesa

memberi jawaban atas setiap pertanyaan, melainkan memberi kesempatan kepada

kelompok untuk saling menolong dan saling menanggapi. Ia memberi kesempatan

yang sama dan merata kepada setiap anggota kelompok, memberanikan si ‘rendah

diri’ untuk bicara, dan tidak tergoda untuk pilih kasih dan menonjolkan ‘si pintar’. Ia

menyimpulkan pendapat kelompok secara tepat dan meyakinkan, menambahkan dan

menyempurnakan di mana perlu, meluruskan dan mengoreksi pendapat yang keliru

dan menyimpang.

Demikianlah peran dan fungsi dari pendamping perlu ditegaskan dan diperjelas

demi kelancaran pembinaan dari OMK yang hendak menuju pada semangat moderasi

beragama. Sebelum membangun moderasi beragama dengan saudara-saudari yang

19
lain, diperlukan sikap yang moderat dahulu di dalam intern OMK. Dan sikap moderat

tersebut dapat dibentuk dimulai dari para pendamping OMK yang menjadi sahabat,

pendamping, pendorong, dan pemandu. Apabila para pendamping telah memberi

contoh yang tepat, maka setiap OMK akan tergerak untuk mengikuti dan

melaksanakannya.

2. Pendamping Mengarahkan OMK sesuai Tujuan

Para pendamping yang telah mengerti tujuan panggilannya sebagai pendamping,

akan membantu setiap OMK untuk mencapai sasaran dan kualitas hidup yang hendak

dituju dalam setiap kegiatan OMK yaitu:

1. Berkepribadian kuat dan memiliki keyakinan diri yang kokoh, suara

hati yang jernih, kebebasan dan tanggung jawab pribadi yang berdaya cipta

dan membangun, serta kemauan untuk belajar terus-menerus.

2. Beriman teguh dan tangguh dalam hidup berdampingan,

berdialog dan berintegrasi dengan sesama warganegara yang

berkeyakinan lain.

3. Memiliki kepekaan dan kepedulian sosial, serta solidaritas terhadap

sesama, khususnya yang lemah dan menderita serta keberanian

menyuarakan kebenaran, keadilan, keyakinan berdasarkan nilai, suara

hati dan kesejahteraan umum.

4. Memiliki semangat berorganisasi yang didukung oleh jiwa

kepemimpinan dan kepeloporan.

5. Memiliki profesionalitas untuk terlibat serta berperan aktif

dalam hidup menggereja, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

20
PENUTUP

Menjadi moderat bukan berarti menjadi lemah dalam beragama. Menjadi moderat

bukan berarti cenderung terbuka dan mengarah kepada kebebasan. Keliru jika ada

anggapan bahwa seseorang yang bersikap moderat dalam beragama berarti tidak

memiliki militansi, tidak serius, atau tidak sungguh-sungguh, dalam mengamalkan

ajaran agamanya.

Oleh karena pentingnya keberagamaan yang moderat bagi kta umat beragama,

serta menyebarluaskan gerakan ini. Jangan biarkan Indonesia menjadi bumi yang

penuh dengan permusuhan, kebencian, dan pertikaian. Kerukunan baik dalam umat

beragama maupun antarumat beragama adalah modal dasar bangsa ini menjadi

kondusif dan maju.

OMK sebagai masa kini dan masa depan Gereja hendaklah tampil dan menjadi

pelopor dalam hidup moderasi beragama. Karena hidup sebagai anggota Gereja

berarti hidup dalam persekutuan iman, yang utuh, satu, dan bersekutu. Persekutuan

iman ini berarti melibatkan juga umat manusia pada umumnya yang bersatu demi

membangun dunia yang berlandaskan cinta kasih. Maka, OMK hendaknya menjadi

tiang tengah Gereja yang mengemban misi pewartaan sebagai pewarta kabar gembira

dan pembawa damai di tengah dunia.

21
Daftar Pustaka

1. Buku

Sabanar, G. Budi SJ. Kilasan Kisah Soegijapranata. Yogyakarta: Kepustakaan

Populer Gramedia, 2012.

Indonesia, Konferensi Waligereja . Pedoman Karya Pastoral Kaum Muda. Jakarta:

Konferensi Waligereja Indonesia, 1998.

Gerejawi, Seri Dokumen. Seruan Apostolik Pascasinode Paus Fransiskus: Christus

Vivit (Kristus Hidup). Edited by Bernadeta Harini Tri Prasasti R.P. Andreas

Suparman, SCJ. Jakarta: Departemen Dokumentasi dan Penerangan

Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), 2019.

2. Artikel Online

Utama, Abraham. “Penolakan Pura di Bekasi: ‘Walau Cuma Dua-Tiga Umat, Mereka

Tetap Berhak Punya Rumah Ibadah,’” BBC Indonesia, 2019. Diakses 09

Desember 2022. https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-48215796.

Wismabrata,Michael Hangga. “Fakta Penolakan Pembangunan Gereja Santo Joseph Di

Karimun, Jokowi: Tindak Tegas Intoleransi,” Kompas.com, 2020, diakses 09

Desember 2022.https://regional.kompas.com/read/2020/02/16/15010091/fakta-

penolakan-pembangunan-gereja-santo-joseph-di-karimun-jokowi--tindak?page=all.

22

Anda mungkin juga menyukai