Disusun Oleh :
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pancasila merupakan kesepakatan dasar bangsa Indonesia untuk hidup dalam satu
negara kesatuan Republik Indonesia. Pancasila mempunyai tempat dalam Pembukaan
Undang-Undang Dasar 1945. Karena merumuskan nilai-nilai dasar manusiawi, Pancasila
dapat disebut visi atau pandangan hidup yang mendasari dan menjadi tujuan segala hukum
dalam hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
B. Rumusan masalah
1. Bagaimana Pancasila sebagai sistem etika di Indonesia?
2. Bagaimana Pancasila sebagai solusi di Indonesia?
3. Bagaimana nilai-nilai dan prinsip anti korupsi di Indonesia?
4. Bagaimana saja nilai-nilai dari Pancasila?
5. Bagaimana Pancasila menjadi dasar nilai pengembangan ilmu?
C. Tujuan penulisan
1. Untuk mengetahui Pancasila sebagai sistem etika di Indonesia.
2. Untuk mengetahui Pancasila sebagai solusi di Indonesia.
3. Untuk mengetahui nilai-nilai dan prinsip anti korupsi di Indonesia.
4. Untuk mengetahui apa saja nilai-nilai dari Pancasila.
5. Untuk mengetahui Pancasila menjadi dasar nilai pengembangan ilmu
BAB II
PEMBAHASAN
Fakta dan data sosial di Indonesia dewasa ini menunjukkan hal-hal yang positif maupun
hal-hal yang negatif. Hal itulah yang membuat gereja katolik Indonesia layak untuk sekaligus
bersyukur dan merasa prihatin. Terkait dengan Pancasila, hal itu dapat kita jelaskan lebih
lanjut dalam uraian di bawah ini.
1. Ketuhanan
Sila pertama dalam Pancasila, yakni ketuhanan mengungkapkan sekaligus kesadaran
dan cita-cita para pendiri republik kita bahwa orangorang Indonesia pada umumnya
adalah orang-orang yang percaya kepada Yang Ilahi.
Dalam hal ini, gereja katolik telah menjalani “pertobatan” yang radikal selama
berlangsungnya konsili Vatikan II, yang dilaksanakan sekitar 50 tahun yang lalu. Menurut
gereja katolik sebelum konsili agung itu, “extra ecclesiam catholicam nulla salus” (di luar
gereja katolik tidak ada keselamatan). Bahkan, pada Zaman Pertengahan, pimpinan gereja
katolik sering menjatuhkan hukuman berat kepada orang atau kelompok masyarakat yang
dinilainya telah menyebarkan “ajaran sesat” atau “bidaah”. Syukurlah, sesudah konsili
Vatikan II, gereja katolik bersikap jauh lebih toleran terhadap gereja-gereja non-katolik,
terhadap agama-agama non-kristen, maupun terhadap berbagai (aliran) agama dan
berbagai (aliran) kepercayaan. Bahkan, beberapa orang katolik tampaknya menjadi
indifferent terhadap semua keyakinan religius.
2. Perikemanusiaan
Sila kedua dalam Pancasila, yakni perikemanusiaan, mengungkapkan sekaligus
kesadaran dan cita-cita para pendiri republik Indonesia bahwa setiap orang di seluruh
dunia memiliki hak untuk diperlakukan sebagai manusia dan memiliki kewajiban untuk
memperlakukan orang-orang lain sebagai manusia pula.
Sebagai orang beriman, gereja katolik Indonesia layak bersyukur atas adanya
kesadaran dan cita-cita para pendiri republik Indonesia tentang pentingnya
perikemanusiaan. Sila kedua dalam Pancasila itu dapat menyelamatkan bangsa Indonesia
dari nasionalisme sempit. Sebagai orang beriman, gereja katolik berkeyakinan bahwa
setiap orang adalah “citra” Allah, yang memiliki martabat yang sedemikian luhur sehingga
ia tidak pernah boleh diperlakukan secara inhuman (tidak manusiawi). Dalam refleksi
teologis kristiani, pengakuan tentang telah terjadinya inkarnasi di dalam diri Tuhan Yesus
sekaligus berarti pengakuan bahwa melalui inkarnasi itu manusia telah diangkat ke arah
keilahian oleh Allah sendiri. Oleh karena itulah manusia kemudian layak disebut sebagai
“putraputri Allah”. Oleh karena itu pulalah Tuhan Yesus dapat berkata bahwa orang yang
mengasihi sesamanya sebenarnya mengasihi Allah sendiri, dan sebaliknya, orang yang
tidak mengasihi sesamanya ia tidak juga mengasihi Allah.
3. Kebangsaan
Sila ketiga dalam Pancasila, yakni kebangsaan, mengungkapkan kesadaran dan cita-
cita para pendiri republik Indonesia bahwa orang-orang yang lahir atau menetap di
Nusantara ini perlu dan layak menjadi satu bangsa saja, meskipun mereka berasal dari
suku yang berbeda-beda.
Sebagai umat beriman, gereja katolik Indonesia pantas bersyukur bahwa para pendiri
Republik Indonesia menyadari pentingnya kesatuan seluruh masyarakat yang tinggal di
Nusantara ini dan mencita-citakan kesatuan yang sejati dan lestari. Gereja tidak
memandang kebangsaan (atau nasionalisme) sebagai lawan dari perikemanusiaan (atau
internasionalisme), seperti halnya gereja pun tidak memandang Komunitas Basis Gerejawi
(KBG) sebagai lawan dari Gereja (keuskupan atau bahkan universal). Bangsa adalah
pembentuk masyarakat dunia, bukan lawan darinya. Mencintai bangsa sendiri tidak berarti
membenci bangsa-bangsa yang lain.
4. Kerakyatan
Sila keempat dalam Pancasila, yakni kerakyatan, mengungkapkan kesadaran dan cita-
cita para pendiri republik Indonesia bahwa kedaulatan untuk mengatur bangsa Indonesia
ada di tangan rakyat, bukan di tangan penguasa.
Sebagai umat beriman, gereja katolik pantas bersyukur atas adanya kesadaran dan
citacita luhur tersebut. Melalui dokumen-dokumen Ajaran Sosial Gereja, pimpinan gereja
katolik selalu menegaskan bahwa keluarga ada lebih dahulu dari pada masyarakat dan
masyarakat ada lebih dahulu dari pada negara dan pemerintah. Pemerintah adalah pelayan
rakyat, bukan sebaliknya. Karena itu, kita merasa prihatin, bahwa para penguasa di
Indonesia sering kali lebih minta dilayani dari pada melayani rakyat. Bahkan, para wakil
rakyat sendiri pun sering kali memperdaya rakyat, bukan memberdayakan rakyat.
Anggaran belanja, yang adalah uang rakyat, lebih banyak dipakai untuk kepentingan
partai, para penguasa, dan para wakil rakyat dari pada untuk kepentingan rakyat.
Dalam kaitan dengan kerakyatan, gereja katolik selalu memperjuangkan
dipraktikkannya “prinsip subsidiaritas”, yang mengamanatkan perlunya dihormati hak-hak
keluarga, hak-hak kelompok kecil, hak-hak kelompok “grass roots”, oleh pemerintah
pusat maupun pemerintah daerah. Hal-hal yang dapat diatur oleh keluarga tidak perlu
diatur oleh ketua RT, hal-hal yang dapat diatur oleh kabupaten tidak perlu diatur oleh
propinsi, dan hal-hal yang dapat diatur oleh propinsi tidak perlu diatur oleh pemerintah
pusat. Kedaulatan rakyat berada dalam bahaya bila negara diselenggarakan dalam iklim
“etatisme”. Pemerintah totaliter seperti rezim Orde Baru tidak selayaknya muncul lagi di
Nusantara setelah reformasi terjadi pada tahun 1998 itu.
5. Keadilan Sosial
Sila kelima dalam Pancasila, yakni keadilan sosial, mengungkapkan kesadaran dan
cita-cita para pendiri republik Indonesia bahwa bangsa yang hidup di Nusantara ini hanya
dapat sejahtera bila di sana ditegakkan keadilan sosial, keadilan yang menyangkut
kepentingan publik.
Sebagai umat beriman, gereja katolik layak bersyukur bahwa para pendiri republic
Indonesia menyadari pentingnya keadilan social bagi seluruh bangsa dan bercita-cita
untuk mencapainya. Dalam masyarakat, apalagi yang menghimpun sangat banyak orang,
diperlukan adanya keadilan antara individu dan individu, antara individu dan masyarakat,
antara kelompok masyarakat yang satu dan kelompok masyarakat yang lain, antara negara
dan warganegara, antara
Dengan demikian, dari satu pihak Pancasila menjamin ruang kebebasan agar setiap warga
negara dapat mengambil sikap religius dan membina hidup religius dalam kebebasan. Berdasarkan
Pancasila, setiap warga negara, tanpa campur tangan negara, berhak mengenal dan mengakui,
memilih dan menghayati agamanya seluas kebudayaan manusia dan dalam batas-batas luas
kewajaran umum. Di pihak lain, sila pertama Pancasila mengungkapkan harapan bahwa agama-
agama memainkan peranan dalam kehidupan sosial-politik Republik Indonesia, dalam semangat
kemanusiaan, persatuan, dan keadilan. Karena memungkinkan dan mengharapkan keterlibatan
agama-agama dalam hidup sosial-politik, Pancasila juga mendorong para warga negara agar
mengungkapkan iman mereka dalam bentuk-bentuk religius, Namun Pancasila bukanlah agama
dan .tidak dapat menggantikan agama. Pancasila itu dasar negara yang memberi naungan kepada
kita semua tanpa kecuali. Oleh karena itu dalam Statuta Konferensi Waligereja Indonesia (KWI),
yang disahkan pada bulan November 1987, pasal 3, dikatakan:
Dalam dokumen KWI “Umat Katolik Indonesia dalam Masyarakat Pancasila” (7 Maret 1985),
yang merangkum gagasan dan pedoman sejak terbitnya “Pedoman Kerja Umat Katolik Indonesia”
pada tahun 1970, dikatakan antara lain:
“Agama Katolik tidak dapat mengidentifikasikan diri dengan salah satu ideologi atau
pola pemerintahan tertentu. Namun demikian, umat Katolik Indonesia bersyukur
kepada Tuhan Yang Maha Esa, bahwa Negara kita memilih Pancasila sebagai filsafat
dan dasarnya. Pancasila mengandung nilai-nilai manusiawi yang terungkap dalam
kehidupan dan sejarah bangsa, dan dapat diterima serta didukung semua golongan dan
semua pihak di dalam masyarakat kita yang majemuk itu. Gereja yakin bahwa
Pancasila, yang telah teruji dan terbukti keampuhannya dalam sejarah Republik kita
ini, merupakan wadah kesatuan dan persatuan nasional, asalkan tidak digunakan
sebagai topeng untuk melindungi kepentingan-kepentingan pribadi, kelompok, atau
golongan tertentu … , Umat Katolik menerima landasan yang sungguh-sungguh dapat
menjadi wadah pemersatu pelbagai golongan di dalam masyarakat, yakni Pancasila.
Maka dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, umat Katolik menerima Pancasila
sebagaimana tercantum di dalam Pembukaan UUD 1945. Umat Katolik mendukung
Pancasila bukan hanya sebagai sarana pemersatu, melainkan juga sebagai ungkapan
nilai-nilai dasar hidup bernegara, yang berakar di dalam budaya dan sejarah suku-suku
bangsa kita. Pancasila, baik sebagai keseluruhan maupun ditinjau sila demi sila,
mencanangkan nilai-nilai dasar hidup manusiawi, sejalan dengan nilai yang
dikemukakan oleh ajaran dan pandangan Gereja Katolik.”
Pancasila akan bermakna bagi kehidupan bangsa kalau dihayati sebagai nilai-nilai yang
diamalkan dan diperjuangkan. Sebaliknya, Pancasila akan menjadi rumusan kosong atau sarana
kepentingan kelompok tertentu kalau dipakai untuk memperjuangkan hal-hal yang bertentangan
dengan nilai-nilai yang menjadi kandungannya.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Dari sudut pandang teologi kristiani, Pancasila kiranya boleh dipandang sebagai kode etik
bangsa Indonesia. Selain itu, gereja katolik Indonesia juga lebih layak memandang Pancasila
sebagai kode etik bangsa dari pada sebagai sebuah ideologi sosial, karena Pancasila, seperti
halnya “dekalog”, tidak hanya menunjung tinggi nilai-nilai yang berarah horizontal
(menyangkut sesama manusia, terutama yang sebangsa) melainkan juga menjunjung tinggi
nilai yang berarah vertical (menyangkut Yang Ilahi), sementara ideologi liberalisme dan
komunisme hanya menjunjung tinggi nilai-nilai yang berarah horizontal saja.
Ada beberapa alasan mengapa Gereja mendukung Pancasila:
Nilai-nilai Pancasila dalam terang iman Kristiani.
Menurut St Thomas,rahmat merupakan format yang diterima dalam potensinya.
Arahnya dari kodrat yang berpotensi menuju ke arah format yang sempurna.
Rahmat adalah prinsip yang dinamis yang mengungkapkan dan mengembangkan
kodrat. Demikian pula nilai-nilai Pancasila yang tumbuh dan berkembang dari
kebudayaan Indonesia sangat dihargai oleh nilai-nilai Kristiani.
Dengan nilai-nilai Kristiani serta pandangan teologinya Pancasila semakin
diteguhkan dan disempurnakan oleh nilai-nilai Kristianidan teologi tersebut.
Demi Bhinneka Tunggal Ika kebhinnekaan adalah wujud kesadaran bangsa yang
pluralis dan mempunyai banyak aspek dan latar belakangnya.
Dalam pluralisme itu Gereja memandang masyarakat manusia punyaharkat dan
martabat yang sama.
Gereja punya konsekuensi mengenai tidak adanya diskriminasi. Sehingga,
dukungan Gereja terhadap Pancasila itu timbul dari kesadaran yang dalam bahwa
Pancasila mengandung nilai-nilai manusiawi yang terungkap dalam perkembangan
kehidupan dan sejarah bangsa.
B. SARAN
Pancasila merupakan kepribadian bangsa indonesia yang mana setiap warga negara
Indonesia harus menjunjung tinggi dan mengamalkan sila sila dari pancasila tersebut dengan
setulus hati dan penuh rasa tanggung jawabagar pancasila tidak terbatas pada coretan tinta belaka
tanpa makna.
DAFTAR PUSTAKA
Gereja dan Negara: Hubungan Gereja Katolik Indonesia dengan Negara Pancasila,
https://www.avepress.com/hubungan-gereja-katolik-indonesia-dengan-negara-pancasila/ , (diakses 21
Februari 2019)