Anda di halaman 1dari 6

Moderasi Beragama dan Kristen Moderat

Mengawali tulisan ini, patur dikonstatir bahwa kerukunan umat beragama merupakan bagian
terpenting dari kerukunan Indonesia sebagai bangsa yang beragama. Cita-cita hidup rukun dan damai
sebagai sebuah bangsa yang majemuk akan sangat sulit dibayangkan tanpa kerukunan umat beragama.
“ Tidak ada perdamaian di antara bangsa-bangsa, tanpa ada perdamaian di antara agama-agama,”
demikian tulis Hans Kung dalam bukunya, Christianity:Essence.History,Future (1996). Membaca realita
Indonesia yang majemuk dengan logika tersebut, kita dibawa kebutuhan akan adanya suatu usaha sadar
untuk mulai mengembangkan dan mempromosikan sikap beragamayang terbuka dan toleran dakam
agama-agama yang bertumbuh dan berkembang di Indonesia. Untuk mencapai tujuan itu, MODERASI
BERAGAMA seperti yang diperkenalkan dan didorong oleh Menteri Agama Republik Indonesia, Lukman
Hakim saifuddin, dapat menjadi jalan utama.

Menteri Agama menegaskan bahwa “ moderasi yang dimaksud di sini adalah cara kita beragama
secara moderat, lawan dari ekstrem “ ( Kompas, 13/17/2018). MODERASI BERAGAMA merupakan usaha
kreatif untuk mengembangkan suatu sukap keberagamaan di tengah pelbagi desakan ketegangan
(Constrains) seperti antara klaim kebenaran absolute dan subjektivitas, antara radikalisme dan
sukuralisme. Komitmen utama MODERASI BERAGAMA terhadap toleransi menjadikannya sebagai cara
terbaik untuk menghadapi radikalisme agama yang mengancam kehidupan beragama itu sendiri dan,
pada gilirannya. Mengimbasi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Memperhatikan sikap keberagamaan dalam dinamika berbangsa dan bernegara akhir-akhir ini,
Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo, pada berbagai kesempatan mengajak tokoh-tokoh agama
untuk menjadikan agama sebagai sumber nilai-nilai yang merawat kebinekaan. Residen mengajak tokoh-
tokoh agama untuk memberikan wawasan keagamaan yang lebih dalam dan lebih luas lagi kepada umat
masing-masing, karena eksklusivisme, radikalisme, dan sentiment-sentimen agama cenderung bertumpu
pada ajaran-ajaran agama yang terdistorsi. Tidak dapat disangkal bahwa agama menjadi roh utama
bangsa ini sehingga para tokoh agama berperan penting untuk menjaga kemajemukan sebagai kekayaan
dan modal sosial Indonesia.

Tampak jelas bahwa dalam permasalahan ini, peran serta tokoh-tokoh agama sangat signifikan,
pertama-tama kerena kedudukan mereka sebagai ‘pemegang otoritas” tafsir ajaran agama. Sementara
pada sisi lainnya,sebagai Negara dan bangsa, pemerintah memang tidak boleh mengintervensi urusan
internal agama masing-masing, terutama mengenai ajaran-ajaran doktrinalnya. Karena itu, menteri
agama sebagai pembantu presiden telah meneguhkan komitmen untuk merawat nilai-nilai kebangsaan
dengan berusaha menjadikan agama bagian dari kekuatan sinergis yang menopangnya.

Moderasi beragama dipandang sangat urgen dan diperlukan untuk menangkal ekstremisme dan
radikalisme yang berbalut ajaran agama. Karena itu, Kementerian Agama RI menempuh jalan-jalan yang
dianggap perlu, antara lain: memberikan imbauan dan seruan kepada pengelola rumah ibadah secara
arif dan bijaksana; mengimbau semua penceramah, pengkhotbah, atau penyuluh agama supaya tidak
provokatif dan agitatif terhadap kelompok agama lainnya, apabila sampai menyebarkan fitnah;
mengambil kebijakan-kebijakan public di bidang agama, termasuk berusaha menyeimbangkan kutub-
kutub ekstrem sikap beragama sejauh tidak mengintervensi kehidupan beragama secara internal.
Singkatnya, Kementerian Agama RI mendorong MODERASI BERAGAMA sebagai langkah untuk
menumbuhkan toleransi di dalam kehidupan bermasyarakat, sehingga terwujudlah ‘’Tri-Kerukunan
Agama’’ di Indonesia yakni: Kerukunan intern umat beragama, Kerukunan antarumat beragama, dan
Kerukunan antara umat beragama dan pemerintah. Untuk itulah, nilai-nilai utama menjadi fondasi
toleransi tersebut diharapkan dapat tumbuh dari dalam agama-agama melalui ajaran-ajaran dan
praktiknya.
Sesungguhnya, MODERASI BERAGAMA menjadi signifikan tidak hanya bagi penciptaan relasi-
relasi konstruktif di antara agama-agama secara eksternal, tetapi ju8ga penting secara internal untuk
menciptakan harmoni di antara berbagai aliran di dalam satu agama. Direktorat Bimas Kristen
Kementerian Agama RI memandang bahwa konflik internal agama tidak lebih ringan daripada konflik
eksternal. Karena itu, MODERASI BERAGAMA secara internal juga penting untuk dikembangkan melalui
langkah-langkah strategis dengan melibatkan dan memaksimalkan peran semua pihak. Aparatur
birokrasi memang perlu diperlengkapi dengan kemampuan untuk menangani persengketaan yang
bernuansa agama sehingga mampu memfasilitasi dan memediasi agama-agama, kendati disadari bahwa
kemampuan-kemampuan ini semata hanya bersifat kuratif. Dalam konteks kekristenan, hal yang penting
adalah upaya kita bersama untuk dapat mengambil peran dalam mendukung dan menjamin
keberlangsungan moderasi dikalangan internal umat Kristen sendiri. Hal ini, pada gilirannya, akan
banyak berkontribusi bagi pengutamaan toleransi sebagai watak keagamaan, sekaligus pencegahan
konflik-konflik internal dan eksternal.

Toleransi dan kerukunan yang hendak dicapai melalui MODERASI BERAGAMA disadari bukanlah
usaha yang tanpa tantangan. Bimas Kristen dalam pelaksanaan tugas dan tanggung jawabnya sering
menghadapi tantangan-tantangan, baik internal maupun eksternal. Perbedaan pandangan,pemahaman,
dan interpretasi atas kitab suci dalam satu agama berpotensi melahirkan konflik internal. Tantangan
juga muncul dari fakta bahwa perbedaan-perbedaan tersebut mewujud dalam organisasi-organisasi
sekte atau aliran kadang tak terhindarkan. Kondisi demikian kadang menjadi lebih runcing karena
menguatnya motif ekonomi-politik di balik tindakan tokoh-tokoh agama.

Pada sisi yang lain, beberapa peraturan perundang-undangan yang mengatur relasi agama
secara eksternal dan upaya menata relasi antaraliransecara internal pun masih kurang dipahami.
Demikian pula terhadap peraturan perundang-undangan yang sudah tersosialisasi, patut disinyalir
bahwa pada umumnya juga masih kurang dipatuhi dan ditaati. Etika public dalam kehidupan keagamaan
pun kurang dikembangkan untuk menghadapi primordial yang semakin menguat, pengutamaan
kepentingan golongan, dan dapat berdampak terhadap ancaman memudarnya soliditas dan solidaritas
semangat kebangsaaan. Terlebih pula ketika kecenderungan tersebut dilatari dengan klaim-klaim
kebenaran mutlak dari kelompok atau aliran-aliran denominasional agama, yang justru dapat menjadi
bencana terhadap upaya mewujudkan kerukunan hidup intern maupun antarumat beragama,
sebagaimana yang telah diingatkan oleh Charles Kimball, ketika ia mengemukakan lima tesis penyebab
agama yang dapat menjadi ‘’ Evil’’.

Menghadapi tantangan-tantangan tersebut, bimas Kristen terpanggil dan selalu tertantang


untuk memberi jawab dalam mewujudkan perannya sebagai mediator bagi kebijakan Negara pada satu
sisi dan suara umat beragama (Kristen) pada sisi lain. Sebagai mediator, Bimas Kristen secara intensif
turut menyosialisasikan peraturan perundang-undangan terkait kerukunan umat beragama, kepada
umat Kristen dan seluruh lapisan masyarakat denagn mengoptimalkan berbagai saluran media
sosialisasi, termasuk majelis agama,ormas keagamaan, tokoh agama, dan tokoh masyarakat. Bimas
Kristen juga ikut membantu menyelesaikan konflik sosial bernuansa agama secara cepat,tegas, dan
tuntas sambil tetap memfasitasi dan meningkatkan intensitas komunikasi dan jalinan kemitraan antara
tokoh agama dan ormas keagamaan dalam rangka mengantisipasi munculnya permasalahan yang dapat
menganggu kerukunan umat beragama, baik secara lokal maupun di aras nasional. Semua usaha untuk
merawat kerukunan dalam masyarakat yang majemuk ini dilakukan dalam pendekatan sosio-kultural
dengan mempertimbangkan dan mengoptimalkan secara sunguh-sunguh kearifan lokal dalam pranata
adat atau pranata sosial.

Dalam sejarahnya, agama Kristen banyak sekali dilanda konflik-konflik internal karena
perbedaan denominasi-doktrinal ( antara lain pandangan,ajaran, interpretasi),sementara pada sisi
lainnya implementasi praktik keagamaannya ikut diimbasi oleh ketegangan-ketegangan dan konflik yang
bermula di benua lain. Sebagai contoh, fonomena ketegangan dan konflik-konflik yang bermula di
gerakan-gerakan sosial dan gereja –gereja protestan yang dicap evangelical dengan gereja-gereja
Protestan yang lberal pada akhir abad ke-20 dan awal abad ke-21.

Selanjutnya, ketegangan antaraliran dalam agama Kristen tersebut merambah masuk dan
berkembang pula di konteks wilayah Negara kita, antara aliran-aliran kekristenan yang terlebih dahulu
ada melalui kehadiran pelbagai lembaga zending Eropa ( seperti dari belanda dengan beberapa gereja di
lingkup GPI ataun yang dulu dikenal sebagai Indische Kerk, antara lain GPM,HKBP,GKI di Tanah Papua)
dengan aliran Kristen yang baru lahir pasca Indonesia merdeka, khususnya aliran Pantekosta dan
karismatik yang berasal dari Amerika dan beberapa dari Wilayah Asia ( antara lain Korea Selatan ). Dari
pulau jawa, aliran ini berkembang dan menyebar dengan cepat secara spontan ke berbagai pelosok.
Pada mulanya anggota-anggota aliran Pantekosta datang dari kalangan yang kurang mendapat
perhatian gereja-gereja Mainstream. Namun,dengan latar motif-doktorial dan pola manajerial gerejawi
yang tidak terlalu bersifat kaku organisatoris dan structural, serta aksentuasi pada kuasa dan peranan
Roh Kudus, militansi gerakan misi gereja-gereja Pantekosta dan Kharismatik berkembang pesat di
persada Tanah Air. Fonomena evangelisasi kontemporer dari gereja-gereja Pentakosta dan Kharismatik.
Patut diakui, bukan hanya mengusik tatanan relasi keberagamaan antara kekristenan dan agama-agama
lainnya di Indonesia, ,melainkan turut menggelisahkan keberadaan gereja-gereja mainstream yang telah
lebih dulu ada, sebagaimanayang lazim dikenal dengan sebutan perilaku ‘’mencuri domba’’

Ketegangan-ketegangan antaraliran di dalam agama Kristen tersebut hingga kini masih ada,
kendati diakui mengalami intensitas yang tidak lagi sebesar dan separah fase-fase awal perjumpaan
kedua ‘’kubu’’ aliran tersebut (antara yang mainstream dan non mainstream). Selain upaya mediatif dan
fasilitatif yang selama ini dilakukan oleh Bimas Kristen Kementerian Agama RI, fakta yang tidak
dapat dinafikan adalah kehadiran dan peranan dari lembaga-lembaga atau organisasi ekumenis antara
gereja pada aras nasional (antara lain seperti DGI yang sekarang menjadi PGI) dan beberapa wadah atau
forum-forum koordinasi dan komunikasi ekumenis pada aras lokal, frekuensi ketegangan dan konflik
antaraliran pun mengalami penurunan. Sekalipun demikian, tantangan untuk terus menerus
mengkongritkan pelbagai nilai dan kesepakatan dokumen ekumenis antargereja di Indonesia (seperti
Dokumen Keesaan Gereja) membutuhkan jawaban ikhtiar dan sungguh-sungguh yang tetap ada dalam
proses pergumulan yang tidak mengenal kata berhenti atau selesai.

Sementara itu, saat realism pergumulan akumenis di antara gereja-gereja (atau internal
kekristenan) di Indonesia masih terus berlangsung untuk mewujudkan pula moderasi kekristenan yang
ekumenis baik di antara kalangan gerejawi (orang Kristen) maupun ekumenis semesta (antara gereja
dengan semua elemen kehidupan lainnya), hal yang patut dikemukakan adalah gereja-gereja di
Indonesia dan dunia saat ini justru diperhadapkan pula dengan tantangan yang serius dari arus
globalisasi dan moderasi yang sangat pesat dengan pelbagai dampak positif dan negatifnya. Karena itu,
menurut hemat saya perhatian gereja-gereja di dunia, khususnya di Indonesia, saat ini seyogianya lebih
diarahkan pada usaha upaya membina relasi yang harmonis untuk menghadapi globalisasi dan
modernisasi tersebut. Dokumen dewan Gereja se-Dunia (Word Council of Churches) yang diputuskan
dalam Sidang Raya WCC di Porto Alegre,Brasil,berjudul ‘’ Alternative Globalisation Addressing Peoples
and Earth (AGAPE)’’ memuat satu imbauan serius kepada orang Kristen agar mencari globalisasi
alternative. Gereja-gereja tidak bisa lepas dari panggilan untuk bagaimana menghayati religiositas atau
keberimanannya di era globalisasi sekarang ini. Membangun sikap yang tepat terhadap globalisasi
adalah panggilan komunitas beriman agar globalisasi tidak memperburuk kemiskinan tetapi menjadi
kekuatan bersama untuk membangun kesejahteraan dan kemaslahatan. Peran umat Kristen untuk
menjadikan globalisasi sebagai peluang sekaligus kekuatan untuk membangun kesejahteraan tersebut
menisyaratkan relasi yang harmonis di antara berbagai aliran gereja di dalam agama Kristen sendiri dan
relasi agama Kristen dengan berbagai agama secara eksternal sebagai suatu modal Sosial (social
capital).Banyak dan beragamnya aliras serta organisasi gerejawi justru menjadi tentang-jawab tersendiri
yang tidak mudah.
Dalam konteks kekristenan di Indonesia terdapat berbagai aliran.Aliran-aliran dalam kekristenan
ialah ajaran atau paham yang djadikan pedoman utama kehidupan bergereja.Ajaran-ajaran itu
dinyatakan dalam suatu konfensi (ajaran resmi) dan liturgi (tata ibadah).Aliran-aliran yang beragam ini
semakin kompleks ketika mewujudkan diri dalam beragam organisasi kegerejaan.Dalam suatu aliran
cenderung terbentuk beberapa organisasi gereja yang berbeda-beda.Di Indonesia,selain Protestan
Pentekosta dan Kharimastik,gereja-gereja Protestan pada umumnya merujuk pada ajaran-ajaran Luther
dan Calvin.Gereja-gereja tersebut dikenal sebagai yang beraliran Calvinis atau Lutheran.Gereja-gereja
yang beraliran Lutheran umumnya berada di Sumatera Utara.

Dalam satu aliran itu saja terdapat beberapa organisasi gereja,misalnya


HKBP,HKI,GKPS,GKPI,GKPM,GKLI,GKPA,dan GKPPD. Aliran Calvinis juga lebih luas sebarannya. Gereja-
gereja yang mengikuti aliran ini tersebar dari Jawa sampai Papua.Gereja seperti GKI
(Jabar,Jateng,Jatim),GKJ (Jawa),GKP (Pasundan),GKJW (Jawa Timur),GKE (Kalimantan),GMIM
(Sulut),GMIT (Timor),Gereja Toraja,GPM (Maluku),GKI Papua,GPIB,dan lainnya.Walaupun tidak ada yang
memakai nama Calvinis tetap hampir semua mengakui sebagai pewaris aliran Calvinis.

Aliran-aliran dan organisasi kegerejaan di dalam aliran aliran tersebut semuanya memang tidak
dapat dijelaskan di sini,tetapi keragaman aliran dan organisasi kegerajaan di dalam agama Kristen
seperti dicontohkan melalui dua aliran ini kiranya dapat memberikan gambaran mengenai betapa
mendesak dan pentingnya moderasi (agama) Kristen pula.Peranan dan fungsi moderasi (agama) Kristen
sendiri sangat signifikan untuk mendorong terciptanya mediasi dan dialog internal maupun eksternal
agar tidak terjadi cara pandang(mindself),karakter dan sikap keberagaman yang ekstrem ,radikal bahkan
dapat berujung pada perlakuan diskriminatif dan sentimen primordialis yang negatif terhadap penganut
agama lain maupun denominasi lainnya dikalangan Kristen sendiri.

Moderasi(agama) Kristen harus mulai dikembangkan melalui ajaran-ajaran dan parktik yang
mengutamakan nilai-nilai toleransi,mengedepankan budaya damai dan menebarkan benih-benih
kebaikan terhadap sesama manusia dan alam semesta.Umat Kristen di Indonesia harus memilki
kemampuan untuk mendialogkan ajaran-ajaran agama dengan modernitas pada satu sisi dan dengan
realita berbangsa yang majemuk pada sisi yang lain.Tepat disitulah kehadiran “Kristen Moderal” menjadi
sangat dibutuhkan untuk mempromosikan watak kekristenan yang lebih toleran,humanis,dan berwajah
penuh kasih dan damai yang sejati.

Istilah moderat dalam kehidupan beragama menunjuk pada karakter,cara pandang,dan ajaran-
ajaran yang memegang teguh toleransi,mengedepankan kerukunan beragama,dan menghargai setiap
perbedaan keyakinan,serta bersedia keluar membangun relasi kehidupan melampaui tembok-tembok
pemisah/pembatas (crossing barderness).Karena itu,sikap moderat memiliki orientasi pada nilai-nilai
perdamaian dan kehidupan yang harmonis di dalam perbedaan agama,keyakinan dan denominasi-
doktrinal.Dari situ,Kristen moderat dapat dipahami sebagai umat beragama Kristen dari berbagai aliran
yang berbeda namun sungguh-sungguh menghargai perbedaan dan mengutamakan kasih sebagai nilai
yang mendasari dan merawat kehidupan bersama.

Kehadiran Kristen moderat dalam kehidupan berbangsa juga dikancah internasional sangat
penting dalam upaya memunculkan warna kekristenan yang tidak hanya tidak fobia terhadap perbedaan
agama sebagai anugerah Tuhan yang harus dirayakan dalam cinta kasih.Kristen Moderat juga mmainkan
peran penting untuk mengikis eksklusivisme dan radikalisme agama yang cenderung diekspresikan
dalam aksi kekerasan baik secara fisik maupun nonfisik akibat sempitnya wawasan beragama.

Moderasi kekristenan perlu diusahakan secara sungguh-sungguh di Indonesia,karena


keberadaan Kristen moderat berkaitan dengan salah satu tugas penting untuk mengakarkan kekristenan
di bumi Indonesia.Artinya,doktrin-doktrin Kristen perlu dibawa ke dalam dialog secara mendalam
dengan realitas Indonesia yang majemuk.Interpretasi-interpretasi atas Alkitab harus dilakukan dengan
membawa secara sadar pengalaman hidup kontekstual berbangsa yang dinamis dan majemuk di Negara
yang berasaskan Pancasila ini.Kesungguhan untuk menempatkan Alkitab,tradisi,doktrin,dan praktik
kekristenan ke dalam dialog dengan realitas yang mejemuk dan dinamis dari kehidupan berbangsa ini
merupakan jalan tengah untuk mencapai suatu sikap beragama yang sesuai dengan karakter masyarakat
Indonesia yang pancasialis.

Kekristenan di Indonesia yang terdiri dari berbagai aliran dan organisasi perlu menciptakan
kanal-kanal yang terbuka bagi dialog antaraliran dan organisasi gereja yang berbeda.Pandangan Kristen
moderat yang mengedepankan relasi dan dialog atas dasar kasih akan menjadi gerbang utama bagi
harmoni antaraliran gereja,tetapi juga antara agama Kristen dengan agama-agama yang lain.Dengan
mendasarkan diri pada kasih dan persaudaraan,Kristen moderat menghindari jalan kekerasan,bak secara
fisik maupun nonfisik(verbal,virtual,psikis dan lainnya).Agama Kristen sebagaimana agama-agama
lainnya,pada hakikatnya tidak menganjurkan pemeluknya untuk melakukan perbuatan-perbuatan yag
melukai sesame ciptaan.Perintah utama di dalam ajaran Kristen adalah mengasihi Tuhan dan sesama
manusia tanpa syarat.Dalam pandangan demikian,semua pemeluk agama dan penganut aliran
keagamaan yang berbeda-beda harus dihormati dan dihargai serta diperlakukan secara adil dan setara.

Di dalam konteks publik atau politik,Kristen moderat memandang pemerintah sebagai mitra
dalam mengusahakan keadilan dan kesejahteraan bangsa.Pemikiran ini muncul dari proses moderasi
beragama Kristen itu sendiri,yakni usaha untuk menengahi pertentangan yang tajam Antara kutub
“rohani” dan “duniawai” yang dipresentasikan oleh gereja dan Negara.Berbeda dengan cara pendang
dan sikap kelompok ekstrem kekristenan yang lain,Kristen moderat memandang keterlibatan pemeluk
agama dalam memajukan kesejahteraan umum bukan hanya sebagai kewajiban warga negara,tetapi
juga panggilan imannya.Meminjam ungkapan Almarhum Dr.J.Leimena(atau yang populer disapa dengan
Om jo leimena) dan yang sekaligus menjadi judul bukunya,hal ini merupakan wujud konkret
“kewarganegaraan yang bertanggung jawab “.Ini adalah salah satu dari sekian banyak bukti mengenai
signifikasi MODERASI BERAGAMA yang dapat dipelajari dari sejarah kekristenan sendiri.Moderasi
kekristenan merupakan suatu proses yang melaluinya kekristenan terus membentuk dan mewujud diri
menjadi agama yang mengabdi kepada Tuhan melalui perbuatan-perbuatan yang mendatangkan damai
sejahtera bagi semua (masyarakat,bangsa,dan Negara).

Dalam melakukan MODERASI BERAGAMA,Direktorat Jenderal Bimas Kristen juga mendasarkan


diri pada UUD 1945 pasal 28 E dan pasal 29,UU No.1 /PNPS/1965,yang kemudian ditetapkan menjadi
undang-undang melalui ketentuan Undang-Undang No.5 Tahun 1969 dan Undang-Undang No.39 Tahun
1999 tentang HAM;Undang-Undang No.7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial;Keputusan
bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negara No.8 dan No.9 Tahun 2006 tentang Pedoman
Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil.Semua dasar hukum ini menunjukan bahwa sebagai bangsa
yang religius,paradigma moderasi telah menjadi arus utama keberagaman bangsa Indonesia sejak
semula.

Direktorat Jenderal Bimas Kristen berusaha menerjemahkan watak moderat yang menjadi
keunikan bangsa Indonesia tersebut ke dalam komitmen untuk mengembangkan MODERASI BERAGAMA
secara internal melalui kebijakan-kebijakan strategis di dalam berbagai dimensi agama,mulai dari
regulasi yang mengatur relasi antar aliran gereja hingga nilai-nilai utama yang harus menjadi poros
pengembangan pendidikan teologi.Salah satu yang bisa dilakukan pada dimensi pendidikan adalah
meningkatkan standar mutu pendidikan Kristen,mendekonstruksi pokok-pokok ajaran yang tidak lagi
relevan dengan konteks berbangsa dan meramu kurikulum yang tepat sehingga pembelajaran agama di
sekolah atau perguruan tinggi teologi tidak bersifat doctrinal,melainkan lebih mengarah kepada
pembentukan watak dan karakter keberagaman (religiolitas)yang kritis,humanis,pancasialis,dan terbuka
(inklusif).

Di samping itu,dalam menghadapi pertentangan-pertentangan internal di Antara aliran gereja


yang berbeda maupun diantara sinode atau organisasi gereja dari aliran yang sama.Dirjen Bimas Kristen
lebih cenderung merekomendasikan adanya suatu dialog dalam mengomunikasikan solusi alternative
yang memadai ketimbang pembentukan organisasi baru sebagai jalan keluar.Salah satu implementasi
konkretnya adalah dengan membuat regulasi yang memperketat persyaratan pembentukan sinode atau
organisasi gerejawi yang baru.Demikian pula regulasi-regulai yang lain berfungsi menata kehidupan
bersama dan mendorong terciptanya relasui-relasi yang konstruktif diantara aliran-aliran agama secara
internal dan antara agama Kristen dengan agama-agama lain sehingga kekristenan turut menjadi
kekuatan yang mempersatukan dan merawat kebhinekaan.

Melalui berbagai periode sejarah baik sejarah bangsa lain di dunia maupun sejarah bangsa kita
sendiri,terlihat sangat jelas bahwa kelangsungan suatu masyarakat sangat tergantung pada
komitmennya pada nilai-nilai toleransi dan relasi-relasi damai yag tercipta dalam perbedaan.Dengan
hanya mengutuk dan mencela sikap keagamaan yang eksklusif dan paham-paham radikal yang
diekspresikan secara mengerikan dalam berbagai tindakan kekerasan,pada dasarnya tidak banyak
berkontribusi bagi suatu masyarakat religius.Tindakan paling masuk akal adalah dengan menyadari
bahwa agama memang memiliki banyak wajah,sedangkan tugas utama yang harus kita emban adalah
mengembangkan toleransi,memberikan dukungan penuh kepada semua pihak yang percaya pada
prinsip toleransi,berusaha membangun relasi dengan kalangan moderat dari semua agama dan aliran
keagamaan untuk menjadi kekuatan yang merawat kehidupan bersama dan mencapai tujuan
bersama.Hanya dengan begitu,wajah agama yang penuh kasih dan membawa rahmat bagi semua
manusia itu bisa terlihat nyata di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Sesungguhnya,semua realitas dan harapan tersebut menjadi sebuah tantangan yang sekaligus
harus dijawab oleh kita bersama,demi mewujudkan sebuah MODERASI BERAGAMA dan kekristenan
yang moderat.Untuk semua tantang-jawab tersebut,tidak ada lagi kata “menunggu atau menunda” ini
karena kita sedang berpacu dengan dan zaman yang pesat berubah dengan semua peluang dan
ancamannya dengan segala krisis dan keprihatinannya.

Sebelum segala sesuatu terjadi terlambat dan mendatangkan penyesalan yang sia-sia,tepatlah
ucapan Yesus dalam Yohanes 9:4,sebagai “alarm” yang patut mengingatkan kita semua untuk segera
berbenah diri melalui kerja dan upaya kita sesuai dengan panggilan dan pengutusan yang dipercayakan
kepada kita untuk memuliakan nama-Nya dan menjadi berkat bagi orang banyak:”Kita harus
mengerjakan pekerjaan Dia yang mengutus Aku,selama masih siang;akan datang malam,dimana tidak
ada seorang pun yang dapat bekerja!”

Anda mungkin juga menyukai