TUGAS 1
UNIVERSITAS TERBUKA
1. Kita hidup dalam situasi dimana telah ada sejumlah agama. Namun
setiap agama memiliki cara, bentuk, makna yang tidak dapat
disamakan satu dengan yang lain. Sebagai orang beriman Katolik,
sikap dasar atas keyakinan akan Allah tidak sama dengan hidup dalam
berbagai pengaturan dalam beragama. Oleh karena itu, kita perlu
memiliki pemahaman untuk
a. Menarik kesimpulan makna agama yang menjadi identitas diri
b. Menarik kesimpulan makna iman yang menjadi isi identitas
diri
c. Menghubungkan arti ber-agama dan ber-iman Katolik dengan
benar.
Agama merupakan bentuk kesadaran manusia yang termanifestasi pada suatu kultur
dimana manusia awalnya terpasung karena keturunan dan membuat kemungkinan
untuk berubah seiring pembentukan kesadarannya. Kesadaran terbentuk oleh dan
dari dirinya sendiri. Menurut Berger, manusia secara ontogenetis dilahirkan dalam
bentuk kedirian yang “belum selesai”. Keberadaannya di-dunia, dengan demikian,
merupakan proses untuk “menjadi manusia”. Manusia, dalam konteks tersebut,
secara terus-menerus melakukan proses eksternalisasi diri. Ia selama proses
tersebut mencurahkan makna-makna ke dalam realitas (Irfan Noor). Maka Agama
menjadi sebuah cerminan bagi setiap individu dalam keseharian yang berhadapan
dengan realitas sosial. Apa yang saya anggap sebagai “terpasung” merupakan
bagian keberhinggaan yang sering di temukan dalam kajiannya Peter L Berger.
Maka ketika seseorang tidak mampu mengurai keterpasungannya dalam realitas
sosial sulit baginya untuk hidup selayaknya individu yang mampu melepaskan
keterpasungannya itu. Hal ini terkait dengan identitas yang ketika dalam pertukaran
simbolik menjadi modal utama dalam berinteraksi. Kultur budaya kita memiliki unsur
pemaksa, anda akan sulit bereksistensi ketika harus berhadapan dengan kelompok
yang secara Sosiologis memiliki homogenitas. Dan hasil dari situasi seperti ini adalah
anomaly. Agama merupakan instrument penyusun keteraturan sosial, agama
mempolarisasi masyarakat pada tiap-tiap diferensiasi dengan berbagai aturan serta
norma yang ditetapkan.
Agama dalam identitas merupakan penanda bahwa eksistensi agama sebagai
katalisator kehidupan manusia itu jelas sangat berarti. Seluruh agama memiliki
aturan jelas serta orientasi dan perilaku dalam menjalankan agama pun sudah
ditetapkan. Artinya agama mempolarisasikan individu sesuai tujuan agama itu
sendiri. Dan ketika seseorang memilih untuk memeluk salah satu agama tentunya
memiliki argumentasi yang kuat, seperti misalnya rasa nyaman, jati diri serta
perlindungan.
Kembali saya singgung kolom KTP tentang agama, sebab bukan sekedar tulisan
Islam, Kristen, Hindu, Budha serta Konghucu, melainkan tersirat identitas kita yang
sangat kuat sebagai individu yang memiliki proyeksi kehidupan, apa jadinya ketika
seseorang tidak memiliki proyeksi tentang kehiduapnnya sendiri. Lagi-lagi
keteraturan sosial kita akan terusik. Saya bisa bayangkan ketika KTP tanpa kolom
agama maka kebebasan itu akan menjadi liar saat seseorang akan keluar masuk
tempat ibadah, tanpa pernah merasa dia bagian dari ibadah tersebut, dan akan
seenaknya mengaburkan agama-agama yang ada dengan ajaran intepretasinya.
Seingat saya, Max Weber mampu mengurai kapitalisme dari bagian yang
menceritakan etos kerja berdasarkan agama, Jadi ketika usulan Pemerintah untuk
menghapus kolom agama dalam KTP berarti pemerintah sendiri yang
menghancurkan identitas rakyatnya, menghancurkan diferensiasi dan meleburkan
tata nilai yang berhasil mengakomodir kehidupan sosial kita. Rakyat masih butuh
identitas, Rakyat masih butuh keteraturan, ingat Bangsa Indonesia bisa hancur
hanya karena 3 hal; 1, Agama di pasung, 2. Ekonomi di kebiri, 3. pemimpin
ber“Onani”. Semoga kesadaran itu bisa tumbuh.
Ada tiga bentuk kerukunan umat beragama yang selalu diperjuangkan oleh
pemerintah, khususnya melalui Kementerian Agama RI. Pertama, kerukunan intern
umat beragama. Mengapa perlu ada kerukunan intern umat beragama? Karena
dalam setiap agama, sering kali ada perbedaan faham, perbedaan aliran, mazhab,
sekte, dan sebagainya. Maka perlu adanya semangat untuk membangun
kebersamaan dalam perbedaan itu. Bagaimana dengan agama Katolik? Agama
Katolik tidak punya cabang, tidak punya aliran, tetapi satu, utuh dan terstruktur
dari pusat (Vatikan/kepausan) sampai lingkungan-lingkungan (RT/RW). Di bawah
kepemimpinan Sri Paus, para uskup dan para imam, agama Katolik memiliki satu
kesatuan yg utuh dan integral di seluruh dunia. Jadi memang tidak ada yang perlu
dirukunkan, dalam hal ajaran iman. Kedua, kerukunan antar umat beragama.
Dalam hal kerukunan antar umat beragama ini, agama Katolik berpandangan begini:
“Gereja Katolik tidak menolak apa pun yang dalam agama-agama itu (Hindu dan
Budha), serba benar dan suci, meski dalam banyak hal berbeda, tetapi tidak jarang
toh memantulkan sinar kebenaran, yang menerangi semua orang.” (bdk. NA 2).
Sedangkan terhadap saudara-saudara yg beragama Islam, dikatakan begini:
Agama Katolik menghargai umat Islam, yang menyembah Allah satu-satunya, penuh
belaskasihan dan mahakuasa, Pencipta langit dan bumi. Kaum Muslimin juga
menghormati Abraham (dan para nabi). Memang mereka tidak mengakui Yesus
sebagai Allah, melainkan menghormati-Nya sebagai Nabi. Mereka juga menghormati
Maria Bunda-Nya yang tetap perawan. Selain itu mereka mendambakan hari
pengadilan (kiamat), menjunjung tinggi kehidupan susila, dan berbakti kepada Allah
terutama dalam doa, dengan memberi sedekah dan berpuasa (bdk.NA 3)
Dari kutipan Nostra Aetate tersebut nampak jelas bahwa agama Katolik mengakui
umat agama lain (Islam, Kristen, Hindu, Budha), bukan hanya sebagai teman,
tetapi sebagai saudara dan menaruh hormat yg tinggi terhadap agama-agama lain.
Bukan perbedaan yg ditonjolkan, tetapi persamaan-persamaan yg diutamakan.
Persamaan-persamaan itulah yg menjadi kata kunci untuk merajut kerukunan antar
umat beragama. Penekanan terhadap kesamaan agama-agama tersebut jelas tidak
bermaksud untuk menggeneralisir bahwa semua agama itu sama saja, jelas tidak
seperti itu, tetapi mau berusaha mencari titik temu titik temu sebagai landasan
untuk membangun persaudaraan yg sejati antar umat beragama yg berbeda-beda
itu. Gagasan baru terhadap agama-agama lain itu juga dapat dilihat dalam
pandangan Karl Rahner, teolog Katolik paling berpengaruh di abad 20, yg
berpendapat bahwa rahmat Allah bekerja tidak hanya di dalam agama Katolik tetapi
di dalam agama-agama lain. Dengan demikian, agama-agama non-Katolik memiliki
kemungkinan menjadi sarana keselamatan Allah. Setiap orang yg hidup dalam
terang kasih, sesuai dengan pokok-pokok ajaran iman Katolik, akan mendapatkan
keselamatan juga, meskipun dia tidak beragama Katolik dan belum dibabtis. Itulah
yg oleh Karl Rahner disebut sebagai “Kristen Anonim”. Perintah Yesus: “Kasihilah
sesamamu manusia, seperti engkau mengasihi dirimu sendiri” (Mat 22:39), juga
dapat menjadi dasar dalam membangun kerukunan antar umat beragama ini.
Perintah Yesus itu jelas dan tegas, bahwa setiap orang Katolik harus mengasihi
sesama manusia, bukan mengasihi hanya sesama orang Katolik saja. Jadi, setiap
manusia, siapapun dia, apapun agamanya, harus dikasihi. Tidak akan pernah ada
kerukunan antar umat beragama, bila kita tidak saling mengasihi satu sama lain.
Inilah beberapa prinsip dasar dan pandangan agama Katolik terhadap umat
beragama lain.
Ketiga, Kerukunan umat beragama dengan pemerintah. Berkaitan dengan
hubungan dengan pemerintah, agama Katolik mengacu pada ajaran ini: Pertama,
sabda Yesus yg mengatakan; “Berikanlah kepada Kaisar apa yang wajib kamu
berikan kepada Kaisar dan kepada Allah apa yang wajib kamu berikan kepada Allah”.
(Mat 22:21). Maksud dari kutipan Injil di atas jelas mau menegaskan bagaimana
seharusnya sikap orang Katolik terhadap pemerintah, yakni bersikap tunduk dan
patuh terhadap pemerintahan atau negara. Memberikan pajak kepada kaisar adalah
bentuk kepatuhan terhadap kewajiban sebagai warga masyarakat, bangsa dan
negara, termasuk mematuhi segala bentuk peraturan dan undang-undang yg
berlaku dan yg sudah disepakati besama. Kedua, kerukunan umat Katolik dengan
pemerintah juga disampaikan dengan sangat indah oleh Mgr. Soegijapranata, yg
juga seorang pahlawan nasional, dengan semboyannya: menjadi 100% Katolik,
100% Indonesia. Selogan ini sudah menjadi prinsip dasar bagi setiap orang Katolik
Indonesia untuk taat setia kepada pemerintah, sebagai penyelenggara negara.
Semangat mencintai NKRI, Pancasila, UUD 1945 dan Bhineka Tunggal Ika,
merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kekatolikan di Indonesia. Hidup
menggereja dan hidup berbangsa, bernegara itu bagaikan satu keping mata uang
yg memiliki dua sisi yg berbeda. Dua hal yg berbeda tapi ada dalam satu
kesatuan, yg harus dilaksakan secara seimbang dan proporsional.
Kesimpulannya adalah Agama Katolik, dalam satu komando, memiliki prinsip dan
gagasan yg satu dan sama bahwa kerukunan umat beragama merupakan hal mutlak
perlu dan harus diperjuangkan bersama. Membangun kerukunan umat beragama,
dalam berbagai bidang kehidupan, merupakan perwujudan iman Katolik yg konkrit
dan aktual, sekaligus bentuk partisipasi umat Katolik dalam membangun bangsa
dan negara, yg kita cintai ini. Salam kerukunan, salam persaudaraan.