1
Anggapan bahwa agama yang dianut adalah agama yang paling benar sedangkan agama yang lain adalah
salah.
mengungkapkan harapan bahwa agama-agama memainkan peranan dalam kehidupan sosial-
politik Republik Indonesia, dalam semangat kemanusiaan, persatuan, dan keadlilan. Karena
memungkinkan dan mengharapkan keterlibatan agama-agama dalam hidup sosial politik,
Pancasila juga mendorong para warga negara agar mengungkapkan iman mereka dalam
bentuk-bentuk religious. Namun Pancasila bukanlah agama dan tidak dapat menggantikan
agama. Pancasila itu dasar negara yang memberi naungan kepada kita semua tanpa terkecuali.
Oleh karena itu dalam Statua Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), yang disahkan pada
bulan November 1987, pasal 3, dikatakan :
“Dalam terang iman Katolik Konferensi Waligereja Indonesia berasaskan Pancasila
dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.”
Pasal tersebut diberi penjelasan sebagai berikut :
“Nilai-nilai kemanusiaan yang luhur seperti yang ada dalam Pancasila itu terdapat
juga dalam ajaran Gereja. Andaikata tidak ada Pancasila, nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan,
persatuan, kerakyatan, dan keadlian sosial itu juga sudah harus dijunjung tinggi dan
diperjuangkan oleh Gereja Katolik. Dalam terang iman Katolik, Gereja menerima Pancasila.
Dengan menerima pancasila itu umat Katolik tidak merasa menerima tambahan beban,
melainkan mendapat tambahan dukungan dan bantuan dari negara Republik Indonesia. Maka,
Gereja Katolik sangat menghargai Pancasila bukan karena pertimbangan taktis, melainkan
karena keyakinan akan nilai-nilai luhur yang terkandung di dalamnya, yang perlu dihayati
dan diamalkan secara terbuka, dinamis, dan kreatif, dalam wawasan persatuan, kebersamaan,
dan kemanusiaan yang luhur dari bangsa kita”
Dalam dokumen KWI “Umat Katolik Indonesia dalam Masyarakat Pancasila” (7
Maret 1985), yang merangkum gagasan dan pedoman sejak terbitnya “Pedoma Kerja Umat
Katolik Indonesia” pada tahun 1970, dikatakan antara lain :
“Agama Katolik tidak dapat mengidentifikasikan diri dengan salah satu ideologi atau
pola pemerintahan tertentu. Namun demikian, umat Katolik Indonesia bersyukur kepada
Tuhan Yang Maha Esa, bahwa Negara kita memilih Pancasila sebagai filsafat dan dasarnya.
Pancasila mengandung nilai-nilai manusiawi yang terungkap dalam kehidupan dan
sejarah bangsa, dan dapat diterima serta didukung semua golongan dan semua pihak di dalam
masyarakat kita yang majemuk itu.
Gereja yakin bahwa Pancasila, yang telah teruji dan terbukti keampuhannya dalam
sejarah Republik kita ini, merupakan wadah kesatuan dan persatuan nasional, asalkan tidak
digunakan sebagai topeng untuk melindungi kepentingan-kepentingan pribadi, kelompok,
atau golongan tertentu. Umat Katolik menerima landasan yang sungguh-sungguh dapat
menjadi wadah pemersatu pelbagai golongan di dalam masyarakat, yakni Pancasila. Maka
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, umat Katolik menerima Pancasila sebagaimana
tercantum di dalam Pembukaan UUD 1945.
Umat Katolik mendukung Pancasila bukan hanya sebagai sarana pemersatu,
melainkan juga sebagai ungkapan nilai-nilai dasar hidup bernegara, yang berakar di dalam
budaya dan sejarah suku-suku bangsa kita.
Pancasila, baik sebagai keseluruhan maupun ditinjau sila demi sila, mencanangkan
nilai-nilai dasar hidup manusiawi, sejalan dengan nilai yang dikemukakan oleh ajaran dan
pandangan Gereja Katolik”
Pancasila akan bermakna bagi kehidupan bangsa kalau dihayati sebagai nilai-nilai
yang diamalkan dan diperjuangkan. Sebaliknya, Pancasila akan menjadi rumusan kosong atau
sarana kepentingan kelompok tertentu kalau dipakai untuk memperjuangkan hal-hal yang
bertentangan dengan nilai-nilai yang dikandungnya.
2
atau Pernyataan tentang Kebebasan Beragama adalah salah satu dokumen penting dari Konsili Vatikan Kedua
3
atau Pernyataan tentang Pendidikan Kristen adalah salah satu dokumen dari Konsili Vatikan Kedua
4
atau Pernyataan tentang Hubungan Gereja dengan Agama-Agama Bukan Kristen, adalah salah satu dokumen
dari Konsili Vatikan Kedua
5
sebuah ensiklik dari Paus Paulus VI mengenai Gereja Katolik
Ensikilik ini membawa angin segar bagi terciptanya dialog antara Gereja Katolik dengan
Agama-agama yang lain. Ensiklik ini juga yang membukakan jalan bagi terciptanya
Dokumen Nostra Aetate.
Dalam usahanya untuk mempererat hubungan antaragama dan kepercayaan, Gereja
mendirikan Sekretariat untuk Kesatuan Umat Kristen atau SPUC (Secretariat for the
Promotion of the Unity of Christians) pada saat Konsili Vatikan II sedang berlangsung.
Sekretariat ini didirikan oleh Yohanes XXIII pada bulan Januari 1963. Dari sekretariat ini
dibentuk komisi-komisi khusus yang menangani usaha untuk menjalin dialog dengan umat
Yahudi, Gereja Ortodoks, Gereja Anglikan, Gereja Metodis, dan Gereja Kristen seluruh
dunia.
Sementara itu untuk menjalin dialog dengan umat bukan Kristen, Gereja mendirikan
Sekretarat untuk Umat bukan Kristen atau SNC (Secretariat for Non-Christians), pada hari
Pentakosta 1964. Banyak dokumen mengenai dialog dengan Budha, Hindu, dan terutama
dengan Islam mengalir dari Sekretariat untuk dialog antaragama ini. Menjelang tahun 1990,
sekretariat ini berganti nama menjadi Sekretariat atau Dewan Kepausan untuk Dialog
Antarkepercayaan (Secretariat for Interreligious Dialogue).
6
Lumen Genitum atau Konstitusi Dogmatis tentang Gereja adalah salah satu dokumen utama Konsili Vatikan
Kedua. Selanjutnya.
Di antara orang Kristen sendiri ada banyak yang merasa bahwa rumus ini tidak cocok
dengan pernyataan Konsili sendiri, bahwa “mereka yang dengan tulus hati mencari Allah, dan
berkat pengaruh rahmat berusaha melakukan kehendak-Nya dengan perbuatan nyata, dapat
memperoleh keselamatan kekal” (LG 16). Di luar Gereja Katolik tidak hanya “terdapat
banyak unsur pengudusan dan kebenaran” (LG 8), tetapi di luar lingkungan Kristen ada
“pengaruh rahmat”, sehingga orang bukan-Kristen juga “dapat memperoleh keselamatan
kekal”. Lalu untuk apa “Gereja terus-menerus mengutus pewarta-pewarta” ke seluruh dunia?
(LG 17). Gereja senantiasa yakin bahwa “Allah menghendaki semua orang diselamatkan”
(1Tim 2:4), tetapi baru pada akhir Konsili Vatikan II disadari bahwa itu terjadi “dengan cara
yang hanya diketahui oleh Allah” (GS7 22; AG8 7). Keselamatan umat manusia tidak
tergantung pada gereja.
Gereja tidak mewartakan Injil untuk menyelamatkan orang. Hanya Tuhan yang dapat
menyelamatkan, dan manusia harus menerima keselamatan itu dalam iman. Gereja
mewartakan Injil karena tidak dapat diam mengenai segala sesuatu yang telah dilihat dan
didengar olehnya (bdk. Kis 4:20). Pewartaan Injil tidak pernah dimaksudkan sebagai
indoktrinasi. Yang pokok bukanlah pewartaan itu sendiri, melainkan isinya, “Keselamatan
tidak ada di dalam siapapun selain di dalam Kristus; maka di bawah kolong langit ini tidak
ada nama lain yang diberikan kepada manusia untuk memperoleh keselamatan” (Kis 4:12).
Yang menjadi soal ialah keyakinan iman bahwa “Allah itu esa dan esa pula Dia yang
menjadi pengantara antara Allah dan manusia, yaitu manusia Kristus Yesus” (1Tim 2:5), atau
dengan kata Yesus sendiri: “Tidak ada seorang pun yang datang kepada Bapa, kalau tidak
melebihi Aku” (Yoh 14:6). Kata-kata itu seara konkret-praktis selalu diartikan oleh Gereja
sebagai perintah mewartakan Kristus secara mutlak: “Jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan
baptislah mereka” (Mat 28:19). Oleh karena itu pula Paulus bertanya:
“Bagaimana mereka dapat berseru kepada-Nya, jika mereka tidak percaya kepada
Dia? Bagimana mereka dapat percaya kepada-Nya, jika mereka tidak mendengar tentang
Dia? Bagaimana mereka mendengar tentang Dia, jika tidak ada yang memberitakan-Nya?
Dan bagaimana orang dapat memberitakan-Nya, jika tidak diutus? Jadi iman timbul dari
pendengaran, dan pendengaran oleh firman Kristus” (Rm 10:14-15:17)
Itu dikatakan Paulus dalam situasi zaman itu, berhadapan dengan orang kafir Yunani.
Sekarang Konsili Vatikan II mengajarkan bahwa “mereka yang belum menerima Injil,
7
Gaudium Et Spes atau Konstitusi Pastoral tentang Gereja di Dunia Dewasa ini adalah suatu dokumen puncak
dari Konsili Vatikan Kedua.
8
Ad Gentes atau Dekret tentang Kegiatan Misioner Gereja adalah salah satu dokumen dari Konsili Vatikan
Kedua.
dengan berbagai alas an diarahkan kepada umat Allah. …Sebab apa pun yang baik dan benar,
yang terdapat pada mereka, oleh Gereja dipandang sebagai persiapan Injil, dan sebagai kurnia
Dia yang menerangi setiap orang, supaya akhirnya memperoleh Kehidupan” (LG 16).
Dengan demikian tidak disangkal perlunya pewartaan. Pewartaan perlu bukan hanya karena
orang “ditipu oleh si Jahat, jatuh ke dalam pikiran yang sesat dan lebih-lebih untuk
menghantar mereka kepada iman, kebebasan, dan damai Kristus, sehingga bagi mereka
terbukalah jalan yang bebas dan teguh, untuk ikutserta sepenuhnya dalam misteri Kristus”
(AG 5).
Apa yang dikerjakan Tuhan dalam hati orang harus dikembangkan terus-menerus.
Untuk itu perlu pewartaan, teladan hidup, sakramen-sakramen, serta upaya-upaya rahmat
lainnya, sebagaimana dikatakan dalam konstitusi Dei Verbum mengenai proses komunikasi
iman dalam Gereja sendiri: “dalam ajaran, hidup serta ibadatnya Gereja melestarikan serta
meneruskan kepada semua keturunan dirinya seluruhnya, imannya seutuhnya” (DV 8)
Hal itu juga berlaku bagi mereka yang “dengan berbagai alas an diarahkan kepada
umat Allah” (LG 16). Karena di sini tidak ada persekutuan penuh, komunikasi iman tidak
terjadi secara persekutuan, melainkan dalam bentuk dialog. Panitia Teologis Internasional
pada tahun 1988 mengatakan, dialog dengan agama-agama lain merupakan bagian integral
hidup Kristiani. Tukar pendapat, studi, kerja sama, dan dialog membantu pemahaman yang
lebih baik mengenai agama lain tetapi juga mengembangkan hidup keagamaan sendiri. Oleh
karena itu Konsili mengajarkan, bahwa “pelaksanaan kegiatan misioner yang tepat dan teratur
menuntut, supaya para pewarta Injil disiapkan untuk berdialog dengan agama-agama serta
kebudayaan-kebudayaan bukan Kristen”(AG 34; 11; 41; NA 2).
Mengenai dialog itu sendiri Konsili Vatikan II mengajarkan, “Melalui cara-cara itu
(yakni melalui penyelidikan bebas, pengajaran dan pendidikan, komunikasi dan dialog)
manusia menjelaskan kepada sesamanya kebenaran yang telah ditemukannya – atau yang ia
rasa telah menemukannya – sehingga saling membantu dalam mencari kebenaran” (DH 3; lih.
GS 43). Maka “melalui pergaulan dengan sesame, dengan saling berjasa, melalui dialog
dengan sesame saudara, manusia berkembang dalam segal bakat-pembawaannya, dan mampu
menangggapi panggilannya” (GS 25).
Dasar dialog adalah kesadaran bahwa rahmat Allah berkarya dalam setiap manusia,
juga dalam mereka yang tidak mengakui diri orang Kristen, yakni “semua orang yang
mengakui Allah dan dalam tradisi-tradisi mereka melestarikan unsur-unsur religius dan
manusiawi”. Mengenai hubungan dengan orang itu Konsili berkata, “Yang kami harapkan
ialah, semua dialog yang terbuka mengajak kita sekalian, untuk dengan setia menyambut
dorongan-dorongan Roh, serta mematuhinya dengan gembira” (GS 92).
Dialog mendekati hubungan antara umat beriman dan umat beragama dari bawah, dari
hubungan antara umat yang berbeda-beda agama. Namun di dalam dialog itu semua sama-
sama berusaha menghayati apa yang paling dalam, yang menggerakkan dan memunculkan
agama. Diakui bahwa tidak ada satu agama pun, termasuk agama Kristen, yang dengan
sepenuhnya dapat menanggapi tawaran rahmat Allah itu (lih. GS 62). Dari pihak lain
keterbatasan itu juga tidak menghalangi suatu pengalaman iman yang sungguh-sungguh dan
religius.
Maka dialog antarumat beragama bukanlah konfrontasi antara ajaran-ajaran
keagamaan yang berbeda-beda, melainkan dialog hidup atau “temu hati”, yang semakin
terbuka akan sapaan Allah. Ini tidak berarti bahwa dialog sebenarnya hanyalah alas an untuk
masuk ke dalam diri sendiri. Dialog sendiri sudah terarah kepada perwujudan Kerajaan Allah
dalam keadilan, damai dan keselarasan, yang semuanya merupakan nilai-nilai
kemasyarakatan. Tetapi yang paling pokok adalah “temu hati” itu sendiri. Di situ orang tidak
mengaburkan atau “menyembunyikan” pendapat dan keyakinan pribadi, namun dapat
mengemukakannya penuh hormat terhadap pandangan lain dank arena itu tanpa memaksakan
pendapatnya sendiri kepada orang lain.
D. Injil
Gereja berpegang pada sikap Yesus sendiri. Semasa hidup-Nya di dunia, Yesus
menyapa dan bersahabat dengan siapa saja apa pun keyakinan dan agamanya. Misalnya,
Yesus menyapa dan berdialog tentang keselamatan dengan wanita Samaria (Yoh. 4:1-42).
Oleh orang-orang Yahudi, bangsa Samaria dianggap bangsa yang setengah kafir. Yesus
menolong perwira Romawi dari Kapernaum yang hambanya sakit (Mat. 8:5-13). Bangsa
Romawi adalah bangsa penyembah dewa-dewa. Yesus juga mendengarkan permohonan
wanita Siro-Fenesia yang anak perempuannya kerasukan roh jahat. Wanita ini adalah orang
asing dari suku-suku penyembah berhala (Mrk. 7:24-30). Yesus tidak mempersoalkan agama,
tetapi belas kasih dan persaudaraan.
Untuk menegaskan sikap-Nya itu Yesus menceritakan perumpamaan tentang orang
Samaria yang baik hati. Orang Samaria itu sanggup menjadi sesama bagi orang lain yang
menderita, tanpa memandang asal-usul dan latar belakang hidupnya. Orang yang berbeda
suku, agama, cara beribadah, dan berbeda kebudayaannya ditolongnya, dikasihinya sepenuh
hati dengan segenap jiwa dan akal budinya. Itulah persaudaraan sejati. Persaudaraan sejati
antara manusia dan sesama makhluk Tuhan. Persaudaraan sejati tidak dibatasi oleh ikatan
darah, suku, atau agama. Setiap manusia siapa pun dia sungguh harus dikasihi sebagai
saudara dan sesama.
E. Konsili Vatikan II
Dalam dokumen Nostra Aetate Art. 1 dan 2 mengatakan bahwa kita hendaknya
menghormati agama-agama dan kepercayaan lain, sebab dalam agama-agama itu terdapat
pula kebenaran dan keselamatan. kita hendaknya berusaha dan bersatu dalam persaudaraan
sejati demi keselamatan manusia dan bumi tempat tinggal kita.
Nostra Aetate juga menegaskan bahwa setiap orang yang tidak mencintai sesamanya
dan tidak mau bersikap sebagai saudara dengan umat dari agama yang lain, maka ia tidak
mengenal Allah. Hal ini terinspirasi dari Injil.
Gereja melalui dokumen ini ingin mengecam segala bentuk diskriminasi berdasarkan
keturunan atau warna kulit, kondisi hidup atau agama, atau lainnya yang berlawanan dengan
semangat Kristus.