Dialog antar pemeluk agama yang berbeda tidak dilakukan semata-mata atas dasar
diplomasi, kesopansantunan, atau toleransi tetapi membangun persahabatan, perdamaian,
harmoni dan berbagi aneka nilai serta pengalaman moral dan spiritual dalam semangat
kebenaran dan kasih. Landasan utama dalam membangun persaudaraan ini adalah
keterbukaan kepada Allah.1 Bahwa tidak cukup membangun persaudaraaan dengan akal budi
karena akal budi sendiri mampu memahami kesetaraan antar manusia dan membangun
kehidupan sipil bersama antar mereka, tetapi tidak berhasil membangun persaudaraan. Untuk
itu, dibutuhkan kebenaran yang melampaui kepentingan khas suatu kelas golongan atau
negara. Tanpa adanya kebenaran ini kekuatan kekuasaan dan egoisentrisme akan menjadi
unggul.
Penyebab utama utama krisis dunia modern adalah ketidakpekaan hati nurani
manusia, penjauhan dari nilai-nilai agama dan individualisme yang tersebar luas disertai
dengan filsafat materialistis yang mendewakan manusia, nilai-nilai duniawi dan materiil
sebagai pengganti prinsip-prinsip tertinggi dan transendental. Akibatnya, debat publik hanya
mengayomi kepentingan kaum penguasa dan ilmuwan dan mengabaikan refleksi religious
yang terdapat dalam naskah –naskah keagamaan klasik. Oleh karena itu, meskipun
menghormati otonomi politik, Gereja tidak membatasi misinya ke ranah privat. Gereja perlu
tinggal dalam dunia dalam usaha membangun dunia yang lebih baik, membangkitkan
kekuatan spiritual, peningkatan kesejahteraan umum dan kepedulian terhadap pengembangan
manusia seutuhnya. Gereja tidak berkeinginan untuk bersaing demi kekuasaan duniawi,
melainkan menawarkan dirinya sebagai sebuah keluarga di antara banyak keluarga. Gereja
terbuka untuk memberi kesaksian kepada dunia sekarang ini tentang iman, harapan dan kasih
bagi Tuhan dan sesama.
1
Homili pada Misa Kudus,Domus Sanctae Marthae (17 May 2020)
Identitas Kristiani
Identitas Kristiani ditandai dengan pengharagaan Gereja pada tindakan Allah dalam
agama-agama lain, dan tidak menolak yang benar dan suci dalam agama-agama itu. Dengan
sikap hormat yang tulus Gereja merenungkan cara-cara bertindak dan hidup, kaidah-kaidah
serta ajaran-ajaran yang tidak jarang memantulkan sinar kebenaran yang menerangi semua
orang. Sumber martabat dan persaudaraan manusiawi yang ditemukan dalam Injil Yesus
Kristus memberikan sumbangsih bagi pemikiran Kristiani dan bagi tindakan Gereja dalam
keutamaan yang diberikan pada hubungan, pada perjumpaan dengan misteri suci orang lain,
pada persekutuan universal dengan seluruh umat.
Identitas Kristiani ini juga terwujud dalam panggilan Gereja untuk berinkarnasi dalam
setiap situasi dan hadir selama berabad-abad di setiap tempat; sebuah perwujudan sifat Gereja
yang katolik. Gereja dapat memahami keindahan undangan kepada kasih universal dengan
terlibat bersama bangsa-bangsa untuk menetapkan hak dan kewajiban manusia. Sebagai
contoh, Paus Fransisikus meminta agar di negara-negara dimana Gereja menjadi minoritas,
perlu ada jaminan kebebasan dari agama mayoritas; sama seperti gereja mendukung
kebebasan agama bukan Kristen yang menjadi minoritas. Ada hak asasi manusia yang tidak
boleh dilupakan di jalan persaudaraan dan perdamaian, yaitu kebebasan beragama bagi
pemeluk semua agama. Kebebasan ini menunjukkan bahwa kerjasama agama-agama dapat
“membangun harmoni dan pemahaman antarbudaya dan agama yang berbeda. Itu juga
bertujuan untuk menemukan jalan hidup berdampingan yang tenang, teratur dan damai,
dengan menerima perbedaan-perbedaan dan bersukacita sebagai saudara karena menjadi
anak-anak dari satu Allah.
Gereja dan agama-agama lain saat ini sedang menghadapi masalah peperangan yang
melibatkan Rusia dan Ukraina yang berdampak besar pada dunia. Jalur perdamaian melalui
diplomasi seringkali kandas. Jalan perdamaian antar agama adalah mungkin. Umat beragama
perlu menemukan ruang untuk berdialog dan berkarya bersama demi kebaikan bersama dan
penyejahteraan orang-orang miskin dengan menegedepankan kebenaran ajaran agama
masing-masing. Agama-agama menyembah Allah dan jangan keluar dari konteksnya karena
dapat menyulut pe lbagai bentuk penghinaan, kebencian, xenofobia, dan penolakan terhadap
orang lain.
Jalan perdamaian menuntun manusia bukan kepada diskriminasi, kebencian dan kekerasan,
melainkan penghormatan pada kesucian hidup, penghormatan pada martabat dan kebebasan
orang lain, dan pada komitmen penuh kasih bagi kesejahteraan semua.
3
H.H Gerth dan Wright Mills, From Max Weber: Essay in Sociology (London: Routledge, 1991) hlm. 220.