1. PENGANTAR
Fratelli Tutti2 (selanjutnya disingkat FT) merupakan ensiklik ketiga Paus Fransiskus
yang ditandatangani pada 3 Oktober 2020 dan ensiklik ini dikenal sebagai “Ensiklik Sosial”.
Ensiklik ini ditujukan kepada semua orang untuk mewujudkan persaudaraan dan
persahabatan sosial di tengah situasi dunia yang mengalami krisis dalam berbagai bidang
kehidupan. Di samping terinspirasi dari Dokumen tentang Persaudaraan Manusia (atau
dikenal juga dengan Dokumen Abu Dhabi) yang diterbitkan pada tahun 2019, situasi pandemi
1
Makalah ini mengangkat secara khusus masalah individualisme sebagai akar dari sejumlah masalah sosial.
Adapun individualisme yang diangkat tidak hanya merujuk pada urusan individu atau pribadi (egosentris), tetapi
juga mengangkat kepentingan dan paham yang sama dari sejumlah individu dan kelompok yang mengabaikan
kebaikan hidup bersama.
2
Fratelli Tutti (Saudara Sekalian), merupakan sapaan Santo Fransiskus Assisi untuk menawarkan kepada para
pengikutnya untuk memiliki hidup yang bercita rasa Injil. Uraian lebih lengkap mengenai petuah ini dapat
dilihat dalam Leo Laba Ladjar OFM (penerj.), Karya-Karya Fransiskus dari Assisi (Yogyakarta: Kanisius,
2001), hlm. 208.
1
Covid-19 dengan segala dampak yang muncul, serta situasi dunia yang diliputi dengan
wabah, kelaparan, ketidakadilan, perang antar-bangsa, kekerasan, perpecahan dan sebagainya
yang mengusik persaudaraan dan perdamaian dunia.
Titik tolak dan semangat dasar ensiklik ini ialah persaudaraan universal dengan
menimba semangat hidup Santo Fransiskus Assisi yang memperlakukan segenap makhluk
sebagai saudara dan saudari dengan penuh kasih dan tanpa mengenal batas, termasuk dalam
upaya menciptakan kebaikan bersama dalam seluruh bidang kehidupan. Upaya ini menuntut
sikap berani keluar dari batas seperti yang telah ditunjukkan oleh Santo Fransiskus Assisi
pada saat perang salib dan menjumpai Sultan Malik Al-Kamir di Mesir untuk membawa
pesan perdamaian dan kasih. Hal itu didasarkan pada semangat kasih dan damai kepada
semua orang, termasuk alam ciptaan.3 Keberanian tersebut mendorong setiap insan untuk
bergerak keluar, menerobos batas-batas serta sikap individualistis dan saling terbuka satu
sama lain untuk menciptakan semua manusia yang setara dalam hak, kewajiban dan martabat,
serta memanggil mereka untuk hidup berdampingan dengan saudara-saudari. 4 Dengan
demikian, sejumlah tawaran yang diajukan oleh Paus Fransiskus dapat membantu seluruh
pihak di dunia yang adalah sesama penggembara, diam di bumi yang sama dengan kekayaan
iman dan keyakinannya (bdk. FT 8)5 untuk terus mengupayakan kebaikan bersama,
menyembuhkan ‘sakit’ yang dapat merusak tatanan kehidupan dunia dan mewujudkan damai
serta persaudaraan.
Individualisme menjadi salah satu hal yang disoroti Paus Fransiskus dalam melihat
realitas yang terjadi, atau dalam Fratelli Tutti disebut sebagai bayang-bayang gelap dunia.
Sikap individualistik dari setiap pribadi dan kelompok tertentu dalam berbagai aspek
kehidupan (ekonomi, sosial-budaya, teknologi dan sebagainya) menyebabkan sejumlah
persoalan yang mengusik persaudaraan dan kebaikan bersama; termasuk perubahan tatanan
relasi manusia yang terbatas pada ‘sesama’ dan tidak mengarah pada ‘saudara’ atau dalam
bidang ekonomi, relasi tersebut seperti ‘konsumen’ dan ‘produk’(bdk. FT 12).
3
Dr. Andreas Atawolo OFM Ensiklik Paus Fransiskus; “Fratelli Tutti”, Persaudaraan Universal dalam
https://komkat-kwi.org/2020/10/07/ensiklik-paus-fransiskus-fratelli-tutti-persaudaraan-universal/, diakses pada
20 Oktober 2022.
4
Paus Fransiskus, Dokumen tentang Persaudaraan Manusia, penerj. Martin Harun OFM (Jakarta: Obor, 2019),
hlm. 6.
5
Paus Fransiskus, Ensiklik Fratelli Tutti , penerj. Martin Harun OFM (Jakarta: Departemen Dokumentasi dan
Penerangan KWI, 2021), hlm. 11.
2
Salah satu hal yang diangkat oleh Paus Fransiskus yaitu “godaan untuk menciptakan
budaya tembok”, yang merupakan dampak dari ketakutan, upaya mempertahankan diri,
stabilitas dan perdamaian yang semu dan dari ketidakpercayaan dari berbagai pihak. Godaan
ini menyebabkan siapa saja yang menciptakan tembok tersebut menjadi budak dalam tembok
tersebut, sehingga ia mencegah perjumpaan dengan budaya dan kelompok lain, hilangnya
pertukaran dan hanya mengejar kepentingan mereka demi sebuah kenyamanan semu (FT 27-
28). Salah satunya muncul dalam sikap menerima para migran yang dianggap dapat menjadi
ancaman bagi wilayah mereka. Migrasi yang dilakukan agar dapat mendapat kesejahteraan
dan masa depan yang lebih baik, justru terdampak oleh hilangnya rasa tanggungjawab
persaudaraan antar-bangsa yang di dalamnya terdapat kewajiban untuk melindungi hak dan
martabat manusia serta membantu dan penerimaan oleh wilayah tujuan (FT 40).
Paus Fransiskus juga mengingatkan bahaya globalisasi ketidakpedulian yang juga
berimbas pada tersingkirnya sejumlah bagian atau kelompok orang dan menjadi “pribadi
yang tidak lagi berguna”, seperti kaum miskin, disabilitas hingga kaum lansia. Sikap ‘dunia
yang membuang’ yang muncul dari sikap individualistik ini meninggalkan situasi
kesendirian, kesedihan dan menggangap semua telah berakhir karena tidak produktif serta
tidak mendapat pendampingan atau perhatian yang memadai dari orang-orang terdekatnya.
Dengan tegas Paus Fransiskus menilai sikap tersebut seperti orang yang membuang makanan
atau barang yang berlebihan (bdk. FT 19).
Hadirnya pandemi Covid-19 telah menyebabkan pukulan keras bagi seluruh aspek
kehidupan pada akhirnya menantang seluruh lapisan masyarakat untuk melepaskan topeng
egoisme, individualistis, dan membangun solidaritas antar-manusia (FT 32-36). Dalam
kesempatan Doa Luar Biasa di Masa Pandemi pada 27 Maret 2020, Paus Fransiskus
merefleksikan bahwa pandemi ini menjadi sebuah momen berahmat untuk semakin
menyadari bahwa pandemi telah menjatuhkan segala sesuatu dan diharapkan semakin muncul
kesadaran sebagai saudara satu sama lain yang berlayar pada pada perahu yang sama untuk
bersama-sama menyelamatkan semua dari situasi sulit tersebut.6
Persaudaraan universal juga mendapat tantangan yang begitu kuat dari perkembangan
media komunikasi digital yang telah merambah dalam berbagai lapisan kehidupan manusia.
Kemajuan tersebut pada dasarnya untuk mewujudkan kebaikan bersama, akan tetapi
kemajuan tersebut justru menyebabkan disrupsi yang menyebabkan hubungan antar-manusia
6
Paus Fransiskus, Homily: Moment of prayer and “Urbi et Orbi” Blessing dalam
https://www.vatican.va/content/francesco/en/homilies/2020/documents/papa-francesco_20200327_omelia-
epidemia.html, diakses pada 21 Oktober 2022.
3
menjadi rusak dan terpenjara dalam dunia virtual.7 Penyalahgunaan media ini dapat
menghadirkan ‘dunia tuli’, di mana adanya sikap tidak mendengarkan satu sama lain dan
menghalangi mereka untuk mencapai kebijaksanaan bersama (bdk. FT 48). Selain itu dengan
komunikasi superfisial dan instan yang terdapat dalam media tersebut, dapat menyebabkan
kebebasan terbatas dalam ilusi, tidak matang dalam menghadapi kebenaran dan mendangkal.
Realitas ini menuntut setiap pihak untuk membangun sikap dialog yang otentik (bdk. FT 50).
Di balik bayang-bayang gelap tersebut, Paus Fransiskus mengungkapkan pengharapan
bahwa situasi tersebut dapat terlalui (FT 54-55). Hal ini ditemukan pada saat pandemi di
mana ada banyak orang yang hadir dan menemani sesamanya seperti tenaga medis,
sukarelawan dan pihak lainnya. Sikap ini memberikan pengharapan bagi semua orang bahwa
tidak ada yang dapat diselamatkan sendirian dan kehadiran saudara-saudari dapat membantu
mereka. Paus menekankan pula bahwa harapan sejati terwujud dalam solidaritas dan
pengorbanan yang hadir melalui berbagai tindakan serta berani melampaui kenyamanan,
melepaskan sikap individualistik pribadi maupun kelompok untuk datang, menjumpai dan
berdialog dengan semua pihak sambil membangkitkan gairah untuk mewujudkan kebaikan
bersama.8
Dalam dunia etika, individualisme menjadi salah satu paham atau aliran yang secara
masif mengedepankan pemikiran dan kepentingan diri sendiri untuk berada di atas segalanya.
Secara harafiah, individualisme berasal dari bahasa latin individuus yang berarti pribadi dan
bersifat perorangan. Individualisme menekankan akan setiap pribadi yang otonom, unik, dan
berhak berdiri sendiri. Ukuran baik dan buruk menurut paham ini ditentukan oleh pribadi.9
4
Bibit individualisme mulai bertumbuh kembang pada masa renaissance yang ditandai
dengan kebangkitan intelektual untuk melawan otoritas Gereja yang berkuasa selama abad
pertengahan. Renaisance menjadi masa bersejarah atas lahirnya sejumlah pemikir dengan
pelbagai paham yang melepaskan diri dari cengkeraman otoritas agama (baca: Gereja).
Bahkan agama mulai kehilangan taring dalam mengontrol masyarakat yang terus berbalik
meninggalkanya dan membangun konsep pemikirannya masing-masing. Masa inilah yang
kemudian menjadi corak pertumbuhan dan perkembangan individualisme.11
5
sebuah ancaman besar yang membahayakan masyarakat modern, baik untuk kalangan anak-
anak, remaja, hingga kaum dewasa. Kecenderungan yang kuat dari individualisme adalah
melihat semua yang tak sepikir dan sejiwa sebagai ancaman dan musuh.14
Keadaan miris yang tampak pada sikap individualis tentunya menjadi sebuah masalah
besar. Terhadap persoalan ini, Paus Fransiskus menekankan bahwa individualisme telah
menghambat persaudaraan. Meskipun banyak orang ada bersama, namun jika setiap orang
bersifat egois maka tidak akan membuahkan kebaikan bersama, karena mereka adalah
kumpulan orang egois (FT103-105). Bahkan lebih dari itu, individualisme pun menjadi
sebuah akar persoalan dari sejumlah masalah sosial yang acapkali terjadi di masa kini.
Berikut ini merupakan masalah-masalah dan dampak pada sejumlah bidang yang ditimbulkan
oleh sikap dan paham individualisme:
14
https://www.katolikku.com/news/pr-1611530587/bahaya-individualisme-itu-nyata-menangkap-pesan-kardinal-
tagle-untuk-komunitas-collegio-san-pietro-roma, di akses pada 30 Oktober 2022.
15
Carl Gustav Jung, Menjadi Diri Sendiri, penerj. Agus Cremers (Jakarta: Gramedia, 1986), hlm. 29.
16
Frans Magnis Suseno, Tiga Belas Model Pendekatan Etika (Yogyakarta:Kanisius, 1998), hlm. 113.
6
interaksi serta perjumpaan sosial. Hal ini tampak nyata ketika orang-orang di sekitar kita, satu
kota, satu wilayah, malah tidak dijumpai secara eksistensial.
17
Mohammad Arif, loc. cit.
7
dalam budaya mereka sehingga muncul sikap kecurigaan, invidualisme, konsumsi tanpa batas
dan memandang rendah sesamanya (FT 13).18
Penyebab utama utama krisis dunia modern dalam bidang agama adalah
ketidakpekaan hati nurani manusia, penjauhan dari nilai-nilai agama dan individualisme yang
tersebar luas disertai dengan filsafat materialistis yang mendewakan manusia, nilai-nilai
duniawi dan materiil sebagai pengganti prinsip-prinsip tertinggi dan transendental.
Akibatnya, debat publik hanya mengayomi kepentingan kaum penguasa dan ilmuwan dan
mengabaikan refleksi religious yang terdapat dalam naskah –naskah keagamaan klasik.
Masalah lain yang muncul adalah tidak ada jaminan kebebabasan beragama bagi
minoritas di wilayah tertentu. Agama-agama menyembah Allah keluar dari konteksnya
sehingga menyulut pelbagai bentuk penghinaan, kebencian, xenofobia, dan penolakan
terhadap agama lain. Ini berdampak pada penafsiran-penafsiran teks-teks kitab suci seringkali
dimaknai dan diplintir dengan tujuan jangka pendek dan menjadi alat strategis untuk
melegitimasi kepentingan kelompok tertentu.19 Sebagai contoh, kasus terorisme yang
mengancam keamanan orang, terjadi bukan karena agama. Ini lebih disebabkan oleh
akumulasi penafsiran yang salah atas teks-teks agama dan oleh kebijakan yang terkait dengan
kelaparan, kemiskinan, ketidakadilan, penindasan, dan kesombongan.
Kemajuan pembangunan tidak boleh mengabaikan hak hak dasar setiap manusia.
Keterampilan dan kemampuan intelektual harus secara jelas diarahkan kepada kemajuan
orang lain dan pemberantasan kemiskinan bukan sebaliknya untuk memperkaya diri dan
segelintir orang. Penolakan terhadap sesama, terutama karena batas-batas negara telah
menyebabkan ketidakadilan terutama bagi mereka yang miskin. Banyak negara-negara
miskin berhutang kepada negara-negara kaya dalam jumlah yang begitu besar. Ini sering kali
menjadi pembenaran untuk menekan negara-negara miskin. Paus mengingatkan bahwa
hutang tidak menjadi alasan untuk menghambat martabat hidup manusia.
18
Paus Fransiskus, Seruan Apostolik Christus Vivit, penerj. Agatha Lydia Nathania (Jakarta: Departemen
Dokumentasi dan Penerangan KWI, 2019), hlm. 69.
19
Ahmad Isnaeni, “Kekerasan Atas Nama Agama”, Jurnal Stusi Agama dan Pemikiran Islam. Vol. 8, No.2,
Desember 2014, hlm. 219.
8
Kenyataan-kenyataan seperti ini memang menantang kita untuk harus memiliki cara
berpikir yang baru. Jika kita kembali pada nilai universal martabat manusia, kita dapat
bermimpi membangun sebuah humanitas baru dalam rumah bersama. Dengan demikian kita
dapat membangun persaudaraan otentik berdasarkan sebuah etika kemanusiaan global yang
mempersatukan semua manusia.
Keluhuran manusia ialah bahwa ia terlahir dengan haknya yang asasi. Hak itu tidak
dapat digugat karena agama, budaya, ras, atau kelas sosial. Oleh karena itu, semua manusia
memiliki kesetaraan sebagai ciptaan Tuhan termasuk kepemilikan. Hal ini ditunjukan oleh
jemaat perdana yang menekankan komunitas kasih universal yakni saling berbagi kepada
yang berkekurangan. Konsili Vatikan II melalui konstitusi pastoral Gaudium et Spes
menegaskan bahwa setiap manusia mempunyai hak atas miliknya secara sah tetapi bukan
sebagai miliknya sendiri, melaikan juga sebagai milik umum artinya hai-hal itu dapat berguna
bagi sesamanya.20 Seruan untuk mengembalikan fungsi sosial harta milik menjadi jelas dalam
kata-kata Yohanes Krisostomus berikut: "Tidak memberikan kepada orang miskin apa yang
menjadi hak mereka berarti mencuri milik mereka; dan itu berarti mencabut mereka dari
hidupnya; dan semua yang kita miliki bukan milik kita, melainkan milik mereka".
Menurut Paus Fransiskus, pasar, dari dirinya sendiri, tidak dapat memecahkan
setiap persoalan, akan tetapi semakin kita diminta untuk mempercayai dogma
keyakinan neoliberal ini. Apapun tantangannya, ini aliran pemikiran yang memiskinkan
dan terus berulang ini senantiasa menawarkan resep yang sama. Neoliberalisme sekadar
memunculkan kembali dirinya sendiri dengan mempergunakan teori ajaib ‘luapan’ atau
‘menetes ke bawah’ – tanpa menggunakan nama – sebagai satu-satunya solusi akan
persoalan-persoalan kemasyarakatan. Ada sedikit pengakuan akan fakta bahwa dugaan
20
Konsili Vatikan II, Dokumen Konsili Vatikan II, dalam konstitusi pastoral ‘Gaudium et Spes’, penerj. R.
Hardawiryana (Jakarta: Obor, 2012), hlm. 617.
9
‘luapan’ tidak memecahkan kesenjangan yang menumbuhkan bentuk-bentuk kekerasan
yang mengancam tatanan masyarakat”21 (FT No.168).
Pada saat yang sama, Paus Fransiskus menegaskan kembali peran yang harus
dimainkan lembaga-lembaga internasional untuk mempromosikan kebaikan bersama.
Salah satu cara yang dianjurkan adalah reformasi lembaga ekonomi dan keuangan
internasional, termasuk perjanjian-perjanjian multilateral dan Perserikatan Bangsa-Bangsa
(PBB).
Pertukaran dan perbedaan pendapat yang tidak terbendung, serangan cyber crime, dan
keterasingan dari dunia nyata merupakan dampak langsung dari kehadiran teknologi. Paus
menyoroti bahwa untuk konteks saat ini persoalan sosial kerap kali muncul di media sosial.
Penyebaran fakta dan opini yang gencar di media sering menutup kemungkinan orang
berdialog karena orang berpegang teguh pada pendapat, kepentingan, dan pilihannya sendiri.
Bahasa penghinaan yang mendiskreditkan lawan seringkali digunakan untuk mendukung
kepentingan tertentu (FT. 201).
Paus Fransiskus menawarkan budaya perjumpaan dengan realitas yang ada. Segala
perbedaan dan pertentangan sekiranya harus dipertemukan. Budaya perjumpaan berarti
adanya semangat bertemu, mencari titik temu, membangun jembatan, dan merencanakan
sesuatu yang melibatkan semua orang. Hal ini pun harus menjadi suatu gaya hidup (FT. 216).
Perjumpaan walaupun terkesan sederhana namun menjadi titik awal dalam membangun
dialog dan perdamaian. Bahkan, perdamaian akan terkesan rapuh bila tidak ditopang oleh
perjumpaan. Dalam sebuah perjumpaan, yang perlu diperhatikan ialah menerima segala
21
Antonius Panji Satrio dan Bhanu Viktorhadi, “Politik Kemanusiaan dalam Ensiklik Fratelli Tutti”, Jurnal
Aqidah dan Filsafat Islam,Vol. 6. No. 2, 2021, hlm. 149.
10
perbedaan. Kerendahan hati dalam menerima dan mengakui perbedaan menjadi jalan bagi
terselenggaranya dialog.
11
era modern ini. Pertama, politik harus berbasiskan belas kasih politik untuk
menumbuhkan belas kasih sosial dan keterbukaan kepada semua orang yang percaya
pada kualitas benih-benih kebaikan tersembunyi yang dimiliki setiap manusia.
Kedua, politik harus mengedepankan kasih politik. Kasih politik itu mewujud
dalam upaya konkret menyediakan sesuatu untuk dimakan dan menciptakan lapangan
pekerjaan bagi yang membutuhkan. Para politisi, di sisi lain, membangun jembatan, dan
itu pun suatu tindakan kasih akan sesama. Sementara seseorang dapat membantu yang
lain dengan menyediakan sesuatu untuk dimakan, politisi menciptakan lapangan pekerjaan
bagi orang tersebut, dan dengan demikian mewujudkan bentuk belaskasihan yang luhur,
yang membuat aktivitas politisnya menjadi lebih baik” (FT No.186).
Ketiga, politik harus berbuah dan mencapai hasil. Hasil yang dimaksudkan
bukanlah sesuatu yang spektakuler. Yang dimaksudkan hasil di sini berwujud runtuhnya
tembok-tembok kepentingan diri dan semakin tumbuhnya kepedulian tulus terhadap
sesama.
Solusi yang ditawarkan adalah dialog yang terbuka dengan tidak mempertahankan
identitas, cinta akan negerinya dan budayanya sendiri. Pertama-tama orang harus mempunyai
kepedulian sejati23. Kepedulian sejati melahirkan orang untuk hidup dalam persaudaraan
sejati. Selain itu pengalaman hidup orang di tempat tertentu dan dalam budaya tertentu dapat
membuka hati untuk membangun persaudaraan sejati.
23
Frans Seda, “Membangun Persaudaraan Sejati dalam Konteks Sosial, Politik dan Ekonomi, dalam A.
Widyahadi Seputra, dkk (ed.), Pelayanan Sosial Meningkatkan Persaudaraan Sejati (Jakarta: Komisi PSE-
KWI, 2001), hlm. 93.
12
Gereja tidak membatasi misinya ke ranah privat. Gereja tinggal dalam dunia dalam
usaha membangun dunia yang lebih baik, membangkitkan kekuatan spiritual, peningkatan
kesejahteraan umum dan kepedulian terhadap pengembangan manusia seutuhnya. Gereja
tidak berkeinginan untuk bersaing demi kekuasaan duniawi, melainkan menawarkan dirinya
sebagai sebuah keluarga di antara banyak keluarga. Gereja terbuka untuk memberi kesaksian
kepada dunia sekarang ini tentang iman, harapan dan kasih bagi Tuhan dan sesama.
Berkaitan dengan penjauhan dari nilai-nilai agama dan individualisme, para pemimpin
agama dipanggil untuk menjadi “rekan dialog” sejati, untuk bekerjasama sebagai “mediator
otentik” dalam membangun perdamaian bukan membangun tembok baru. Agama sebagai
realitas sosial, tidak hanya mengandung aspek ajaran yang bersifat normatif doktrinal
melainkan terdapat variabel pemeluk, pemahaman ajaran, lembaga keagamaan, tempat suci,
dan bangunan ideologi penganutnya. Oleh karena itu, jika terjadi konflik antar agama maka
terdapat beberapa variabel yang terlibat dan memperkuat satu sama lain. 24 Paus Fransiskus
juga memberi contoh jalan perdamaian yang diambilnya yakni pertemuan dengan Imam
Agung Ahmad Al-Tayyeb. Paus Fransiskus mengutip “Dokumen Persaudaraan Manusia
untuk Perdamaian Dunia dan Hidup Bersama” , yang ditandatangani pada 4 Februari 2019 di
Abu Dhabi, bersama dengan Imam Besar Al-Azhar, Ahmad Al-Tayyeb. Dalam pertemuan
penuh sukacita itu ditegaskan bahwa agama tidak boleh memprovokasi peperangan, sikap
kebencian, permusuhan, dan ekstremisme, juga tidak boleh memancing kekerasan atau
penumpahan darah (bdk. FT 285).
Dialog antar pemeluk agama yang berbeda tidak dilakukan semata-mata atas dasar
diplomasi, kesopansantunan, atau toleransi tetapi membangun persahabatan, perdamaian,
harmoni dan berbagi aneka nilai serta pengalaman moral dan spiritual dalam semangat
kebenaran dan kasih. Landasan utama dalam membangun persaudaraan ini adalah
keterbukaan kepada Allah. Bahwa tidak cukup membangun persaudaraaan dengan akal budi
karena akal budi sendiri mampu memahami kesetaraan antar manusia dan membangun
kehidupan sipil bersama antar mereka, tetapi tidak berhasil membangun persaudaraan. Untuk
itu, dibutuhkan kebenaran yang melampaui kepentingan khas suatu kelas golongan atau
negara. Tanpa adanya kebenaran ini kekuatan kekuasaan dan egoisentrisme akan menjadi
unggul.
13
peran Allah dengan kepentingan ideologis atau praktis. Penekanan yang tinggi pada ideologi
menjerumuskan manusia pada situasi pengusiran Allah dari masyarakat yang tergambar
dalam sikap menyembah berhala-berhala, kehilangan jati diri, dan pelanggaran hak dan
martabat manusia (FT. 277).
Identitas Kristiani ditandai dengan pengharagaan Gereja pada tindakan Allah dalam
agama-agama lain, dan tidak menolak yang benar dan suci dalam agama-agama itu. Dengan
sikap hormat yang tulus Gereja merenungkan cara-cara bertindak dan hidup, kaidah-kaidah
serta ajaran-ajaran yang tidak jarang memantulkan sinar kebenaran yang menerangi semua
orang. Sumber martabat dan persaudaraan manusiawi yang ditemukan dalam Injil Yesus
Kristus memberikan sumbangsih bagi pemikiran Kristiani dan bagi tindakan Gereja dalam
keutamaan yang diberikan pada hubungan, pada perjumpaan dengan misteri suci orang lain,
pada persekutuan universal dengan seluruh umat.
5. PENUTUP
Ensiklik Fratelli Tutti membuka horison baru dalam alam pikir umat manusia di
tengah pandemi Covid 19 dan berbagai persoalan yang terjadi di dunia dewasa ini. Sebagai
salah satu komunitas bumi yang diasuh oleh ibunda bumi yang sama, maka empati dan
simpati sejatinya harus dibangun dalam kehidupan bermasyarakat. Semua bersaudara
sebagaimana yang diutarakan dalam Ensiklik Fratelli Tutti adalah panggilan kepada umat
manusia untuk hidup sehati dan sejiwa tanpa membangun benteng yang memisahkan satu
dengan yang lain.
Fratelli Tutti adalah ensiklik yang memanggil semua orang untuk sehati dan
sepenanggungan bergerak keluar menerobos tembok-tembok individualisme dan masuk ke
dalam situasi dunia yang dilanda berbagai tantangan dan kecemasan. Pandemi Covid 19
menjadi salah satu tanda kepada umat manusia untuk membangun gerakan solidaritas kepada
seluruh penduduk bumi yang merupakan saudara dan saudari bagi semua. Paus Fransisikus
atas nama kemanusiaan mengundang kita untuk membangun kembali benteng persaudaraan
yang nyaris runtuh akibat hempasan badai dan gelombang zaman. Semua adalah saudara
“Siamo Fratell Tutti” demikian pesan cinta dari Paus Fransiskus kepada Gereja dan dunia.
14
DAFTAR PUSTAKA
Dokumen Gereja
Paus Fransiskus. Dokumen tentang Persaudaraan Manusia. Penerj. Martin Harun OFM.
Jakarta: Obor, 2019.
15
Paus Fransiskus. Ensiklik Fratelli Tutti , Penerj. Martin Harun OFM. Jakarta: Departemen
Dokumentasi dan Penerangan KWI, 2021.
Paus Fransiskus. Seruan Apostolik Christus Vivit. Penerj. Agatha Lydia Nathania. Jakarta:
Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI, 2019.
Kamus
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta:
Pusat Bahasa, 2008.
Buku-Buku
Gerth, H.H dan Wright Mills, From Max Weber: Essay in Sociology. London: Routledge,
1991.
Jung, Carl Gustav. Menjadi Diri Sendiri. Penerj. Agus Cremers. Jakarta: Gramedia, 1986.
Ladjar, Leo Laba (penerj.). Karya-Karya Fransiskus dari Assisi. Yogyakarta: Kanisius, 2001.
Praja, Juhaya S. Aliran-Aliran Filsafat dan Etika. Bandung, Yayasan Piara, 1997.
Rusell, Bertrand. Sejarah Filsafat Barat dan Kaitannya Dengan Kondisi Sosio Politik Dari
Zaman Kuno Hingga Sekarang. Terj. Sigit Jatmiko, dkk. Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2002.
Seda, Frans. “Membangun Persaudaraan Sejati dalam Konteks Sosial, Politik dan Ekonomi,
dalam A. Widyahadi Seputra, dkk (ed.), Pelayanan Sosial Meningkatkan Persaudaraan
Sejati. Jakarta: Komisi PSE-KWI, 2001.
Suseno, Franz Magnis. Tiga Belas Model Pendekatan Etika. Yogyakarta: Kanisius, 1998.
“Bahaya Individualisme Itu Nyata (Menangkap Pesan Kardinal Tagle untuk Komunitas
Collegio San Pietro-Roma)” dalam
16
https://www.katolikku.com/news/pr-1611530587/bahaya-individualisme-itu-nyata-
menangkap-pesan-kardinal-tagle-untuk-komunitas-collegio-san-pietro-roma. Diakses
pada 30 Oktober 2022.
Atawolo, Andreas. “Ensiklik Paus Fransiskus; Fratelli Tutti, Persaudaraan Universal” dalam
https://komkat-kwi.org/2020/10/07/ensiklik-paus-fransiskus-fratelli-tutti-persaudaraan-
universal/. Diakses pada 20 Oktober 2022.
Isnaeni, Ahmad. “Kekerasan Atas Nama Agama”. Jurnal Stusi Agama dan Pemikiran Islam.
Vol. 8, No.2, Desember 2014.
Paus Fransiskus, “Homily: Moment of prayer and “Urbi et Orbi” Blessing” dalam
https://www.vatican.va/content/francesco/en/homilies/2020/documents/papa-
francesco_20200327_omelia-epidemia.html. Diakses pada 21 Oktober 2022.
Satrio, Antonius Panji dan Bhanu Viktorhadi. “Politik Kemanusiaan dalam Ensiklik Fratelli
Tutti”, Jurnal Aqidah dan Filsafat Islam. Vol. 6. No. 2, 2021.
17