Anda di halaman 1dari 56

Universitas Islam Negeri

SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

NEGARA, CIVIL SOCIETY


DAN KEMANUSIAAN
DALAM LINTASAN SEJARAH
FILANTROPI ISLAM
DI INDONESIA

PROF AMELIA FAUZIA, MA, PHD


DISAMPAIKAN PADA ORASI PENGUKUHAN GURU BESAR
DALAM BIDANG SEJARAH ISLAM INDONESIA
6 JANUARI 2021
NEGARA, CIVIL SOCIETY DAN KEMANUSIAAN
DALAM LINTASAN SEJARAH FILANTROPI ISLAM
DI INDONESIA
Dilarang mereproduksi atau memperbanyak seluruh atau sebagian dari
buku ini dalam bentuk atau cara apa pun tanpa izin tertulis dari penulis.
© Hak cipta dilindungi oleh Undang-Undang No. 28 Tahun 2014
All Rights Reserved
ORASI PENGUKUHAN GURU BESAR
DALAM BIDANG SEJARAH ISLAM
INDONESIA

OLEH:
PROF AMELIA FAUZIA, MA, PHD

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI


SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
6 JANUARI 2020
PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim

Yang saya hormati,


Ketua Senat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Para Guru Besar, para pimpinan UIN
Para undangan dari akademisi, lembaga pemerintah,
lembaga filantropi dan pegiat kemanusiaan,
keluarga besar alm Prof H Ridlo Masduki dan Hj Thoyyibah,
keluarga besar alm H Mahbub dan Hj Sochimah,
para undangan yang hadir secara langsung,
dan hadirin yang menyaksikan melalui media virtual.

Assalamu’alaikum Warahmatullahi wa barakatuh

Salam sejahtera bagi kita semua

Dalam inagurasi pengukuhan Guru Besar ini, saya ingin


berefleksi tentang posisi agama, civil society and kemanusiaan
dalam bingkai negara. Saya akan merujuk pada praktik
kedermawanan atau filantropi Islam dalam lintasan sejarah
Indonesia.
NEGARA, CIVIL SOCIETY DAN KEMANUSIAAN
DALAM LINTASAN SEJARAH FILANTROPI ISLAM DI INDONESIA

I. PENDAHULUAN
Bencana Pandemi Covid-19 ini meluluhlantakkan dunia,
membuat dunia sedikit berhenti dari aktivitas hingar
bingarnya. Dunia terdampak pandemi dan kita menjadi saksi
sejarah, bagaimana manusia merespon pandemi. Pengukuhan
ini terdampak pandemi. Bagaimana pengukuhan yang SK nya
sudah lewat lebih dari satu tahun baru bisa dilakukan pada
pagi hari ini, dengan undangan offline terbatas, sedangkan
sebagian hadirin yang lain bisa menyimak lewat aplikasi secara
online, dan waktu orasi yang hanya singkat. Kita menjadi saksi
sejarah.
Inagurasi ini tentu saja merupakan kebahagiaan bagi kami,
namun juga sekaligus kesedihan. Saya bisa membayangkan
bagaimana perasaan Ibn Hajar al-Asqalani (1372-1449), yang
kehilangan anak-anaknya akibat wabah tha'un di abad 15M
(Badzlu al Maun Fi Fadhli al Thaun, 1449 M) dan menulis kitab
yang memberi pengetahuan berharga bagi manusia yang
hidup di abad-abad setelahnya. Ibu Mertua saya, Hj Sochimah
pada 17 November lalu berpulang menghadap ilahi rabbi
terkena virus covid-19. Sebelum berpulang, dari sunyi di ruang
isolasi, ibu meminta kami untuk bersabar. Kepergiannya
penuh hikmat, diiringi doa secara virtual lewat aplikasi video
call dan zoom.
70 tahun yang lalu, cerita kesedihan akibat wabah juga
menimpa keluarga kami. Menjelang akhir masa pemerintah
kolonial Belanda, Mbah Robingah, ibunda dari Prof H Ridlo
Masduki, ayahanda kami, berpulang karena wabah kolera. Jika
dua peristiwa itu dilihat lebih dekat, ada kesamaan. Ibu
tertular ketika mengikuti kegiatan berjanjen (pengajian dalam
rangka peringatan Maulid Nabi yang diisi dengan pembacaan

1
NEGARA, CIVIL SOCIETY DAN KEMANUSIAAN
DALAM LINTASAN SEJARAH FILANTROPI ISLAM DI INDONESIA

kitab al Barzanji). Ada keinginan untuk mengaji mendoakan


mereka yang sakit di tengah situasi pandemi yang didorong
oleh kyai lokal. Hadir di pengajian, adalah kebahagiaan bagi
ibu, yang tidak disesali. Seorang figur nyai, pegiat Muslimat
NU, yang dihormati, tidak bisa selamat dari pandemi.
Sedangkan mbah putri Robingah tertular karena pergi ke desa
tetangga yang sedang di-lockdown. Mbah mengantarkan kain
ke koleganya, melewati jalan persawahan, menghindari jalan
utama yg ditutup. Ia ingin menepati janji dan membuktikan
bahwa Muslim itu orang yang amanah. Tak lama pulang dari
desa tetangga, mbah putri sakit. Status sebagai istri penatus
yang kaya secara materi, tidak bisa menolong. Wabah,
pandemi tidak mengenal perbedaan status sosial, kelompok,
gender, usia, kebangsaan dan agama.
Di samping cerita personal tadi yang memperlihatkan
bagaimana manusia merespon pandemi yang berujung
kedukaan, pandemi juga membawa blessing in disguise.
Pandemi dan situasi krisis mendorong kemunculan solidaritas,
termasuk dalam bentuk pemberian dan kerelawanan (giving
and volunteering) dalam beragam bentuknya, yang saya sebut
kedermawanan atau filantropi.
Masih lekat dalam ingatan bahwa krisis ekonomi/moneter
tahun 98 tidak saja membawa perubahan politik, pergantian
rezim, tapi juga percepatan, inovasi dan peningkatan dalam
aktivitas filantropi (Fauzia 2016). Lembaga amil zakat mulai
muncul menjamur, bahkan beberapa mengalami kenaikan
pendapatan fundraising yang signifikan. Misalnya, pada tahun
1999 pendapatan sedekah Dompet Dhuafa naik 160 persen
dan zakat naik 94 persen (Fauzia 2016, 246). Pandemi Covid-
19 di tahun 2020 kita menyaksikan penguatan aktivitas
kedermawanan yang masif. Di tengah situasi pandemi,
November 2020 Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) berhasil

2
NEGARA, CIVIL SOCIETY DAN KEMANUSIAAN
DALAM LINTASAN SEJARAH FILANTROPI ISLAM DI INDONESIA

menghimpun 351.776.567.086 milyar (Baznas Center for


Strategic Studies 2020a), jauh meningkat dari tahun 2019.
Cerita miris tentang mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta yang terancam kelaparan akibat pandemi membuat
Lembaga Social Trust Fund UIN Jakarta bergerak, dan dalam
tiga bulan dapat menghimpun sampai hampir Rp 700 juta
(Laporan STF 2020). Fundraising 82 lembaga filantropi anggota
FOZ untuk Covid-19 menghimpun sebesar Rp.
376.440.686.911 dalam 4 bulan di tahun 2020 (FOZ, Laporan
Juni 2020). Dan di tengah kesulitan pandemi, 30 persen dari
lembaga amil zakat non-pemerintah ini mengalami
peningkatan pendapatan donasi (Fauzia, 2020a). Situasi krisis
mendorong solidaritas dan kedermawanan yang muncul
menjadi kekuatan masyarakat. Itulah kekuatan filantropi yang
dilakukan oleh masyarakat sipil (civil society).
Filantropi, adalah kegiatan derma berupa pemberian uang,
barang maupun kerelawanan, baik individu, kelompok
maupun Lembaga, dari masyarakat dan dikelola oleh
masyarakat, ditujukan untuk kemaslahatan bersama (public
good). Filantropi Islam merujuk kepada kelembagaan serta
tradisi yang distingtif dari ajaran Islam, dan juga fenomena
kedermawanan Muslim secara keseluruhan, khususnya
merujuk pada bentuk zakat, sedekah, wakaf, dan sumbangan
sosial kemanusiaan.
Fenomena filantropi ditemukan dalam semua peradaban
(Friedman & McGarvie 2003), di semua periode sejarah,
lampau dan kontemporer, termasuk dalam sejarah Indonesia
(Fauzia 2013, 2016). Praktik filantropi di Indonesia di atas rata-
rata negara di dunia, dan selalu masuk 10 besar dalam
beberapa survey (dari APPC, PEW research, Islamic
philanthropy for social justice, CNN, Gallop, dan Charities Aid
Foundation). Dalam riset terakhir, bahkan Indonesia pernah

3
NEGARA, CIVIL SOCIETY DAN KEMANUSIAAN
DALAM LINTASAN SEJARAH FILANTROPI ISLAM DI INDONESIA

duduk dalam posisi negara terdermawan di tahun 2018 (World


Giving Index, 2018).
Lewat kekayaan praktik filantropi, saya menemukan adanya
kontestasi hubungan antara agama dan negara sepanjang
sejarah Islam di Indonesia dalam hal ide dan pengelolaan
filantropi Islam. Ada yang berpikir jika dikelola oleh negara
akan lebih baik, dan sebaliknya ada yang berfikir, idealnya
dikelola oleh masyarakat. Masing-masing dengan argumen
yang berbasis interpretasi ajaran dan pengalamannya.
Dinamika ini sejalan dengan fenomena agama dan demokrasi
yang menjadi tantangan tersendiri dalam konteks negara-
bangsa.
Globalisasi dan kebangkitan agama mendorong kegamangan
ini. Dalam buku Faith and the State, a history of Islamic
philanthropy in Indonesia (Fauzia 2013, 2016), sejalan dengan
McCarthy (2003) saya menemukan bahwa filantropi adalah
indikator dari kekuatan dan kelemahan civil society. Ketika
negara kuat, civil society lemah; ketika negara lemah, civil
society kuat. Dua posisi yang kurang ideal. Civil society lemah
akan berujung pada otoritarianisme negara. Negara lemah
akan berujung pada chaos dan kehancuran bangsa. Namun
Indonesia memiliki periode yang memperlihatkan civil society
kuat dan negara kuat yaitu pada masa kolonial Belanda.
Bahkan civil society berbasis agama berkembang kuat,
contohnya adalah organisasi Muhammadiyah dan Nahdlatul
Ulama, bukti kuatnya civil society pada awal abad ke-20. Lahir
pada tahun 1912 dan 1926, saat ini keduanya kemungkinan
adalah organisasi sosial Islam dengan keanggotaan dan aset
terbesar di dunia. Keduanya dihidupi dari praktik filantropi.
Dari sini, sejarah filantropi Islam di Indonesia memperlihatkan
bahwa di dalam relasi yang kontestasional, terjadi

4
NEGARA, CIVIL SOCIETY DAN KEMANUSIAAN
DALAM LINTASAN SEJARAH FILANTROPI ISLAM DI INDONESIA

keseimbangan (ekuilibrium) antara agama dan negara.


Misalnya, Dibandingkan negara mayoritas Muslim lain,
Muslim di Indonesia memiliki pilihan untuk menyalurkan zakat
dan donasinya, apakah ke lembaga berbasis negara atau ke
lembaga berbasis masyarakat, atau ke keduanya. Negara
berperan, tapi filantropi Islam non pemerintah juga tumbuh.
Bahkan hasil penghimpunan lembaga filantropi non
pemerintah bisa jauh lebih besar dari lembaga berbasis
pemerintah. Ada sinergitas diantara kedua lembaga filantropi
pemerintah dan nonpemerintah termasuk sinergitas dengan
lembaga berbasis agama lain dan non-keagamaan.
Satu kunci penting yang memunculkan ekuilibrium ini adalah
pada entitas civil society. Ada dua alasan. Pertama, di balik
institusi negara (state) terdapat individu-individu yang
dibangun dan dibentuk oleh civil society. Misalnya, dalam
perdebatan mengenai revisi undang-undang zakat sejak 2010
sampai saat ini, terdapat pengaruh dari individu yang mewakili
negara. Ketika pejabat berganti, terjadi perubahan peta
kontestasi. Hal inilah yang membuat relasi ini bisa naik atau
turun, kontestasi bisa keras bisa lemah. Perseteruan antara
LAZ dengan pemerintah yang hangat di tahun 2010 menurun
dan menghilang di tahun 2013 sampai kini. Berganti dengan
adanya tekanan terhadap LAZ sejak 2015 oleh Baznas. Kedua,
pembentukan dasar-dasar negara secara tidak langsung juga
dilakukan oleh civil society. Seperti yang terjadi menjelang
kemerdekaan Indonesia dan juga bagaimana berbagai
undang-undang dibuat dan direvisi.
Karena itu, saya bergeser dari isu kontestasi untuk melihat
lebih dalam lagi pada kekuatan civil society berbasis agama
dalam hal ini lembaga filantropi Islam. Lembaga filantropi
adalah lembaga yang melakukan penggalangan dana,
mengelola dan menyalurkannya. Sedangkan sifat Islam

5
NEGARA, CIVIL SOCIETY DAN KEMANUSIAAN
DALAM LINTASAN SEJARAH FILANTROPI ISLAM DI INDONESIA

merujuk pada nilai yang dianut, pada bentuk derma yang


dikelola (seperti zakat, sedekah dan wakaf), dan pada pegiat.
Orasi ini ingin melihat bagaimana praktik filantropi Islam bisa
menguatkan civil society dan demokrasi.

Praktik Filantropi Sebagai Salah Satu Tulang Punggung Civil


Society
Civil Society adalah suatu kondisi di mana ada asosiasi,
organisasi, federasi, kelompok-kelompok sosial berkumpul
dan berfungsi menjadi penyangga hubungan antara negara
dan masyarakat (Norton 2005, 7). Kathleen McCarthy
berargumen dalam bukunya American Creed: Philanthropy
and the Rise of Civil Society 1700-1865 bahwa “It is not
possible to understand the meaning of American democracy
without understanding civil society. Nor is it possible to
understand civil society without understanding the role of
non-profit organizations and the philanthropy—broadly
defined to include giving and voluntarism—that sustains
them.” (p. 2).
Setidaknya ada tiga hal bagaimana filantropi bisa memperkuat
civil society. Pertama, praktik derma dan kerelawanan
menjadi tulang punggung yang membiayai hidupnya
organisasi/asosiasi tersebut. Misalnya, Social Trust Fund UIN
Jakarta itu hidup dari kerelawanan. Dosen dan mahasiswa
menjadi volunteer untuk menggerakkan orang membantu
mahasiswa yang terancam drop-out tak punya biaya kuliah,
membuat training untuk memperkuat umkm, membantu
masyarakat berpendapatan rendah untuk memiliki asuransi
mikro Bungkesmas agar bisa bekerja secara produktif. Para
board dan pembina STF juga bekerja sebagai volunteer,
memikirkan lembaga, melakukan fundraising tanpa dibayar.

6
NEGARA, CIVIL SOCIETY DAN KEMANUSIAAN
DALAM LINTASAN SEJARAH FILANTROPI ISLAM DI INDONESIA

Kedua, aktivitas filantropi seperti yang disebutkan di atas,


berhasil membangun kemaslahatan (public good) dalam
berbagai bidang, seperti pendidikan, kesehatan, ekonomi,
sosial-keagamaan, dan kebencanaan. Tak terhitung adanya
institusi pendidikan, rumah sakit, universitas, program
kebencanaan, koperasi yang dibangun oleh lembaga filantropi
Islam. Ketiga, praktik filantropi menciptakan ruang publik
(public sphere) untuk warga bisa berbicara isu keseharian,
bicara ide dan perubahan sosial. Misalnya, institusi wakaf di
abad pertengahan menjadi ruang bagi penguatan civil society.
Keempat, lembaga filantropi muncul sebagai alternatif solusi
bagi masyarakat dan juga pemerintah dalam urusan
kemiskinan, respon cepat bencana, ketika negara belum bisa
memberikannya. Dalam kasus pandemi Covid-19, lembaga
filantropi menjadi alternatif tempat mencari bantuan. Ketika
ada bencana dan situasi urgen di mana skema dan birokrasi
institusi pemerintah tidak bisa membantu, misalnya
pemberian santunan musibah kepada karyawan, membantu
siswa dan mahasiswa dhuafa, lembaga filantropi turun. Yang
terakhir ini membuat sekat antara publik dan privat menjadi
tipis.
Civil society bisa bertumbuh karena ada kerelawanan, ada
donasi, ada tujuan kebaikan bersama (public good), yang
semuanya adalah dunia filantropi. Oleh karenanya, wilayah
aktivitas filantropi beserta aturan serta kelembagaan nya
menjadi kompleks karena banyak stakeholder dan masyarakat
terlibat. Individu, kelompok, lembaga memiliki semangat
tinggi untuk memberi dan juga ikut mengelola. Semua
organisasi sosial juga hidup dari derma dan kerelawanan,
walau mereka bukan organisasi filantropi. Kadang donatur
juga tidak memperhatikan dan mempertimbangkan ke mana
dana disalurkan atau apakah benar disalurkan (Fauzia dkk
2006; cf Fauzia 2016). Semangat kerelawanan dan lemahnya
7
NEGARA, CIVIL SOCIETY DAN KEMANUSIAAN
DALAM LINTASAN SEJARAH FILANTROPI ISLAM DI INDONESIA

tata kelola membuat pengawasan dan koordinasi juga lemah.


Terdapat berbagai undang-undang dan aturan, dari UU
Pengelolaan Zakat, UU Wakaf, UU Yayasan (dimana mayoritas
lembaga amil zakat berbasis yayasan), undang-undang ormas,
dan CSR. Fenomenanya, semangat kedermawanan
masyarakat +62 ini jauh melebihi aturan-aturan dan undang-
undang itu sendiri, sehingga jika tidak dibentuk ekosistem
yang tepat, maka potensi kekuatan asosiasi dan organisasi
sosial itu bukan mengarah ke civil society. Kompleksitas ini
ditambah dengan kondisi masyarakat kita, dan masyarakat
dunia yang beragam dan adanya peningkatan ghirrah
keagamaan (Laporan riset STF UIN Jakarta 2019).
Civil Society bisa tumbuh karena ada modal sosial (social
capital). Modal sosial yang krusial dalam filantropi Islam
adalah ajaran dan identitas agama, jaringan sosial,
kepercayaan (trust), dan termasuk aktivitas derma dan
kerelawanan itu sendiri (Putnam, 2010). Sejalan dengan
Putnam, modal sosial ini memiliki dua mata koin, bonding
(mengikat) dan bridging (menjembatani). Karakter bonding ini
kuat menyatukan, tapi bersifat identitas yang eksklusif, seperti
kesamaan agama, etnis, dan bangsa. Misalnya lembaga amil
zakat, jamaah pengajian/masjid, paguyuban daerah, dan
asosiasi diaspora Indonesia. Fenomena filantropi di berbagai
belahan dunia didorong oleh praktik filantropi berbasis
kelompok agama dan kepercayaan. Karakter bridging adalah
menjembatani dan bersifat inklusif, terbuka. Misalnya,
organisasi volunteer Palang Merah Indonesia, asosiasi
pedagang, klub olahraga yang memiliki karakter terbuka.
Namun tentu saja, seseorang memiliki beberapa identitas
sekaligus (gender, etnis, agama, bangsa, organisasi tertentu)
yang bersifat cair dan pengggunaannya tergantung konteks.
Dan dibalik suatu identitas, misalnya agama, bisa dipilah sub-
identitas lain di dalamnya.
8
NEGARA, CIVIL SOCIETY DAN KEMANUSIAAN
DALAM LINTASAN SEJARAH FILANTROPI ISLAM DI INDONESIA

Dalam konteks Indonesia dengan nilai agama yang kuat, maka


aspek agama menjadi unsur pengikat yang efektif untuk
kegiatan filantropi, di samping unsur atau faktor lain. Islam
adalah agama yang sangat kental ajaran filantropinya dalam
tiga level berbeda: sebagai kewajiban, sebagai moralitas, dan
sebagai alat untuk pencapaian keadilan sosial (Fauzia, 2016).
Sumber-sumber ajaran tentang filantropi tersebar dalam Al-
Qur’an, hadits (Fauzia dkk, 2003) dan terdokumentasi dalam
fikih serta tradisi sosial. Dengan 87 persen masyarakat Muslim
dan basis lembaga yang berbasis dakwah
(penyebaran/penguatan ajaran agama), maka fenomena
proximity (Benthall, 2012) muncul secara alamiah dan tidak
bisa dihilangkan. Terlebih lagi jika framework rujukannya strik
pada satu interpretasi tertentu dalam konteks ibadah
sehingga target penerima manfaat lebih banyak fokus kepada
kesamaan agama. Namun, fenomena praktik filantropi Islam
yang bersifat bridging (menjembatani) juga ditemukan dalam
beragam kegiatan. Yang paling mengemuka adalah dalam
kegiatan kebencanaan, di mana ada semacam kesepakatan
dan kesepahaman, dalam hal darurat, menolong tidak boleh
memilah-milah latar belakang agama. Di sini, unsur
kemanusiaan menjadi mengemuka. Riset filantropi
berkeadilan sosial juga menemukan praktik-praktik filantropi
Islam yang inklusif di berbagai tataran, walau tidak menjadi
mainstream (Fauzia dkk, 2018).
Robert Putnam (1993, 2000) berargumen bahwa banyaknya
organisasi sosial kerelawanan akan meningkatkan iklim
demokrasi dan menaikkan kerekatan masyarakat dan
pembangunan ekonomi, karena di situ ada modal sosial (social
capital). Namun Putnam juga memberikan peringatan bahwa
potensi modal sosial yang digunakan secara tidak tepat bisa
menjadi kontraproduktif bagi demokrasi, bagi kehidupan
kemasyarakatan dan kebangsaan. Sejarah kelam konflik di
9
NEGARA, CIVIL SOCIETY DAN KEMANUSIAAN
DALAM LINTASAN SEJARAH FILANTROPI ISLAM DI INDONESIA

Ambon memperlihatkan modal sosial yang bonding itu


mendorong penggalangan dana dan relawan untuk secara
tidak langsung mendukung dan memperbesar konflik antar
agama yang berlangsung. Tidak semua asosiasi dan organisasi
bisa disebut civil society. Organisasi masyarakat yang tidak
sejalan dengan public good, kelompok preman, organisasi
yang mendukung terorisme, tidak bisa disebut sebagai civil
society. Perundungan, penggalangan dana untuk kejahatan,
tidak bisa disebut sebagai filantropi, karena filantropi berfokus
pada public good yang disepakati bersama dalam konteks
negara dan dunia.
Dalam satu dekade terakhir, praktik filantropi
memperlihatkan bahwa modal sosial pada civil society di
Indonesia juga naik-turun. Saat ini dan ke depan tantangan
muncul dengan kenaikan konservatisme, politisasi agama, dan
lemahnya negara. Dalam banyak kasus pemerintah tidak
berdaya mengatasi kelompok intoleran. Dan belum ada
kesepakatan sejauh mana civil society dapat mentoleransi
intoleransi karena kadang batasan fenomena agama dan
politik itu abu-abu. Kegiatan filantropi masih kurang kuat
menopang modal sosial untuk mampu menekan polarisasi
sosial yang terjadi beberapa tahun belakangan, khususnya
dipicu oleh politik dalam pemilihan kepala daerah, wakil
rakyat dan presiden.
Tulisan ini tidak akan mendalami faktor-faktor penyebab yang
diantaranya bisa jadi karena lemahnya kapasitas kelembagaan
atau lemahnya ekosistem filantropi sehingga tidak mendorong
adanya kesadaran nation-state sebagai public good. Tapi
tulisan ini membatasi untuk memaparkan bahwa civil society
Muslim yang inklusif ada dalam dunia filantropi dan sudah
memiliki precedence di berbagai periode sejarah Indonesia
hingga kini. Dan unsur penting praktik filantropi mendukung

10
NEGARA, CIVIL SOCIETY DAN KEMANUSIAAN
DALAM LINTASAN SEJARAH FILANTROPI ISLAM DI INDONESIA

civil society adalah karena adanya nilai-nilai kemanusiaan


yang kuat di dalamnya.

Filantropi Islam untuk Kemanusiaan


Jika di awal disebut bahwa pandemi dan bencana itu bisa
menimpa siapa saja tanpa memandang latar belakang, apakah
upaya-upaya bantuan kemanusiaan, intervensi terhadap
problem kemiskinan itu juga dilakukan tanpa diskriminasi
kelompok, etnisitas dan agama? Pertanyaan ini memiliki
signifikansi ketika melihat filantropi Islam tumbuh dalam
konteks masyarakat yang kaya akan keragaman.
Marie Juul Petersen (2015) menemukan fenomena
transformasi sekaligus juga kegalauan pegiat Lembaga
filantropi Islam transnasional yang berbasis di Eropa dan
Timur Tengah. Dalam bukunya “For humanity or for the
umma?” ia melihat fenomena sakralisasi dan sekularisasi.
Lembaga filantropi Islam di timur tengah yang memiliki basis
pada tradisi Islam yang kuat, membuka diri pada
menggunakan prinsip-prinsip universal yaitu akuntabilitas,
transparansi termasuk non diskriminasi yang notabenenya
seperti sekuler. Sedangkan, lembaga filantropi Islam yang
berbasis di masyarakat sekuler Eropa yang sudah memiliki
prinsip-prinsip di atas mulai membuka diri pada penguatan
tradisi keislaman, atau sakralisasi. Satu hal sangat krusial dan
membuat kegamangan adalah terkait penerima manfaat yang
tidak boleh diskriminatif. Apakah lembaga filantropi berbasis
Islam boleh menyalurkan bantuan untuk non-Muslim?
Realitanya, semua organisasi Islam transnasional ini berhasil
mengatasi persoalan terkait teologi, khususnya dalam
mengelola zakat.

11
NEGARA, CIVIL SOCIETY DAN KEMANUSIAAN
DALAM LINTASAN SEJARAH FILANTROPI ISLAM DI INDONESIA

Pertanyaan “for humanity or for the umma” pernah penulis


lontarkan kepada beberapa lembaga filantropi Islam nasional
dalam wawancara secara terpisah. Walaupun mengakui ada
tantangan-tangangan teknis terkait tata kelola dan terkait
menghadapi donatur, tanpa ragu dan dengan sangat yakin
pimpinan dari Human Initiative (dulu bernama PKPU) dan
Dompet Dhuafa menjawab “for humanity!” (interview oleh
penulis, 2018). Mengapa? singkatnya, karena “ummat adalah
adalah bagian dari kemanusiaan” (wawancara, PKPU Human
Initiative). “Karena filantropi itu memang cinta kemanusiaan”
(wawancara, Dompet Dhuafa). Focus Group Discussion yang
diadakan di Aceh, Kalimantan Timur, Jawa Timur, Bali dan
Jakarta oleh penulis untuk melihat filantropi berkeadilan sosial
dan secara tidak langsung melontarkan persoalan yang sama,
juga secara umum dijawab untuk kemanusiaan. Mereka pun
setuju mengenai prinsip non-diskriminasi serta filantropi
berkeadilan sosial. Namun demikian, pegiat lembaga filantropi
Islam sadar bahwa lembaga mereka disoroti karena terkesan
bahwa pendayagunaan manfaat hanya ditujukan kepada
kelompok Muslim saja, sedangkan lembaga yang sekuler
memberikan bantuan kepada semuanya termasuk Muslim
(Benthall 1997, 2012). Hal itu karena memang sebagian besar,
jika hampir seluruhnya, penerima manfaat di lembaga
filantropi Islam adalah Muslim dengan alasan proporsi Muslim
di Indonesia dan alasan kondisi ekonomi Muslim yang
dianggap paling membutuhkan dibandingkan dengan
komunitas non-Muslim. Alasan lain adalah lembaga filantropi
berbasis agama lain juga memberi prioritas kepada
komunitasnya lebih dahulu (FGD 2018).
Semua lembaga memaparkan tentang program-program yang
melibatkan kelompok minoritas (khususnya non-Muslim),
bahkan ada beberapa cerita yang menarik dan jarang
didengar. Misalnya, Forum Zakat Kalimantan Timur
12
NEGARA, CIVIL SOCIETY DAN KEMANUSIAAN
DALAM LINTASAN SEJARAH FILANTROPI ISLAM DI INDONESIA

memberikan bantuan kepada non Muslim yang menjadi


korban ledakan bom teroris, LAZ Dompet Sosial Madani di Bali
memiliki klinik kesehatan yang mempekerjakan dokter dan
staf beragama Hindu, serta memberi parsel bingkisan kepada
tokoh lokal yang ingin merayakan Hari Raya Galungan.
Terdapat kesadaran “kemanusiaan” dalam kerja-kerja
mereka. Dibalik alasan yang terkesan normatif dan melakukan
pembelaan, ada cerita-cerita inspiratif di atas dan ada
negosiasi terkait tantangan fikih. Pegiat filantropi Islam
mengakui adanya tantangan fikih dalam pengelolaan zakat
dibandingkan dengan wakaf, sedekah dan donasi
kemanusiaan lain. Mereka (hampir semua) berbasis izin
sebagai pengelola zakat dan masuk dalam kelompok LAZ
(Lembaga Amil Zakat) yang harus merujuk aturan-aturan dari
Kementerian Agama dan Baznas, yang memiliki aturan-aturan
berbasis fikih mainstream. Artinya, ekosistem yang dibentuk
tanpa disadari mengarahkan penggunaan dana zakat hanya
untuk hal-hal tertentu dan hanya boleh untuk Muslim. Niat
untuk menjalani prinsip “non diskriminasi” dan berpegang
pada lembaga kemanusiaan internasional menjadi tidak
mudah. Ada tiga strategi yang dilakukan lembaga filantropi
Islam menegosiasikan ini. Pertama, mereka melakukan
kreativitas dari sisi kelembagaan dan tata kelola, kedua
bertransformasi menjadi lembaga kemanusiaan dan tidak
mengelola zakat, dan ketiga berpijak pada kekuatan otoritas
keagamaan untuk ‘fatwa’ mengenai kebolehan penggunaan
zakat yang lebih inklusif termasuk untuk non-Muslim. Contoh
pertama adalah Dompet Dhuafa, kedua adalah PKPU yang
berubah menjadi Human Initiative, dan ketiga adalah Lazismu,
yang tegas menyatakan bahwa penyaluran/pendayagunaan
zakat mereka adalah non diskriminatif.

13
NEGARA, CIVIL SOCIETY DAN KEMANUSIAAN
DALAM LINTASAN SEJARAH FILANTROPI ISLAM DI INDONESIA

Praktik lembaga filantropi Islam di atas menarik. Ada negosiasi


antara prinsip kerja kemanusiaan dengan pemahaman fikih,
dan prinsip organisasi dengan keinginan donatur dan
masyarakat. Bagaimana adaptasi dan negosiasinya, bukan
menjadi fokus tulisan ini. Tulisan ini baru sebatas menggali
apakah ada praktik-praktik filantropi yang bersifat
kemanusiaan inklusif terjadi dalam sejarah. Dan ternyata
praktik filantropi Islam yang inklusif ini tidak saja terjadi masa
sekarang, tetapi sudah ada dalam sejarah panjang Islam di
Indonesia.
Masa Awal Islam di Nusantara. Sedikit sekali sumber sejarah
yang bercerita mengenai Islam pada masa sebelum abad ke-
18. Setidaknya, dari kekosongan sumber dan studi masa ini
ada satu cerita dari catatan perjalanan Tomé Pires, seorang
ahli obat berkebangsaan Portugis yang mengunjungi Sumatra
dan Jawa pada 1512-1515 M. Catatan Pires menyebutkan
bahwa Muslim memberikan sedekah kepada kaum tapa
(Cortesao I, 177). Pada masa itu, pertapa diasumsikan adalah
penganut Hindu, Budha, atau asketis. Pires menyebut jumlah
pertapa sekitar 50 ribu orang. Pemberian zakat atau sedekah
kepada non Muslim diasumsikan karena Muslim minoritas
(Fauzia 2013). Praktik pemberian zakat/sedekah ini menjadi
salah satu yang dianggap sebagai stimulus bagi konversi ke
Islam (Lombard 1996, 149-242).
Masa Periode Kolonial Belanda. Di bawah pemerintah kolonial
Belanda yang berupaya untuk bersikap netral dalam hal
agama dan kedermawanan, terdapat beberapa informasi atau
contoh model mengenai pendayagunaan sedekah dan zakat
ke individu maupun lembaga non Muslim. Pertama, Bijblad
no. 407 tahun 1858 menyebutkan pemerintah Belanda
melarang pemanfaatan zakat padi untuk operasional rumah
sakit sipilis dan penderita kebutaan (Bijblad 407, 1858). Alasan

14
NEGARA, CIVIL SOCIETY DAN KEMANUSIAAN
DALAM LINTASAN SEJARAH FILANTROPI ISLAM DI INDONESIA

dibalik larangan ini adalah kekhawatiran karena zakat akan


memberatkan masyarakat dan tidak dibenarkan karena zakat
adalah dana kesukarelaan berbasis agama. Walaupun
penyaluran dana bantuan di atas dilarang oleh pemerintah,
namun kelihatannya di akhir abad ke 19 dan awal abad ke-20
praktik itu sudah biasa dilakukan. Misalnya, tiap bulan
penyaluran sumbangan dari uang kas masjid Rembang,
Surabaya dan Kediri untuk rumah sakit misionaris di
Mojowarno. Uang kas Masjid Madiun juga disalurkan
diantaranya bagi “pengemis kulit putih” (Eropa) yang sebagian
adalah Muslim (Korte Aantekeningen, Adatrechtbundel, VII
324).
Kedua, 24 Desember 1918 Sarekat Islam mendirikan lembaga
modern bernama Yayasan Kas Wakaf Kemerdekaan
Pergerakan Sarekat Islam bertujuan untuk “membantu korban
(perang) dan keluarga mereka yang berjuang untuk gerakan
kemerdekaan Indonesia, dan untuk mendukung upaya
gerakan kemerdekaan Indonesia, tanpa pembatasan agama
atau kebangsaan” (Sinar Hindia 31 Desember 1918). Dana
Yayasan ini berasal dari sumbangan para pendirinya, seperti
Semaun, dan keuntungan unit bisnis Sarekat Islam, seperti
surat kabar Sinar Hindia (“Kas Wakaf Kemerdikaan Pergerakan
Sarekat Islam,” Sinar Hindia, 28 dan 31 Desember, 1918
“Bestuurvergadering C.S.I,” Sinar Hindia, Desember 28, 1918).
Pada Mei 1919 Sarekat Islam juga pernah menyelenggarakan
pertunjukan wayang bersama organisasi Tiong Hwa Koan
untuk mengalang dana (Oetoesan Islam, 30 Desember 1918).
Ketiga, Penolong Kesengsaraan Umum (PKU) Muhammadiyah
merupakan organ filantropi di bawah Muhammadiyah yang
“Hadjatnja P.K.O itoe akan menolong kasangsaraan dengan
memake azas agama Islam kepada segala orang, tida dengan
membelah bangsa dan agamanja”. Dalam programnya seperti

15
NEGARA, CIVIL SOCIETY DAN KEMANUSIAAN
DALAM LINTASAN SEJARAH FILANTROPI ISLAM DI INDONESIA

rumah yatim, poliklinik, dan lainnya PKU menerapkan prinsip


inklusif. Rumah sakit yang dibukanya pada 14 September 1924
di Surabaya terbuka bagi semua kalangan yang
membutuhkan. Dalam pidato peresmiannya, Dr Soetomo
mengatakan: “...kita boeka polikliniek ini. Siapa joega, baik
orang Eropa, baik orang Djawa (orang Boemi), baik Tjina atau
bangsa Arab, boleh datang kemari, akan ditolong dengan
tjoema-tjoema, asalkan betoel miskin” (Soeara
Moehammadijah 1924, 8: 24).
Masa Perang dan Orde lama. Pada masa ini belum banyak
riset dilakukan. Satu temuan adalah wakaf produktif bidang
penerbitan. Pada 17 Agustus 1948 dideklarasikan pendirian
Yayasan Wakaf Republik (Stichting Wakaf Republik) yang
melakukan usaha penerbitan yang berbasis profit dengan
modal tulisan Muhammad Hatta, Tan Malaka dan Muhammad
Yamin, dan kemungkinan juga Adam Malik. Keuntungan dari
penerbitan didedikasikan untuk pendirian perpustakaan dan
mendukung beasiswa tanpa mendiskriminasi latar belakang
kebangsaan (Malik 1948, 83).
Masa Orde Baru. Ada dua contoh terkait inklusivitas filantropi
Islam tingkat lokal yang menarik disebut. Pertama yaitu
pengelolaan zakat oleh Bapelurzam (Badan Pelaksana Urusan
Zakat Muhammadiyah) Kendal. Terbentuk tahun 1979 atas
instruksi dari pimpinan pusat Muhammadiyah, Bapelurzam
Kendal bisa disebut yang paling berhasil. Badan ini memiliki
kesadaran toleransi dan menjadikan pengelolaan zakat tidak
saja berhenti pada pemberian kesejahteraan tapi sebagai
salah satu upaya harmonisasi relasi anggota Muhammadiyah
dan Nahdlatul Ulama. Penyaluran bantuan ditujukan kepada
mereka yang miskin tanpa mendiskriminasi kelompok,
sehingga penerimanya ada dari kalangan non-
Muhammadiyah dan termasuk non-Muslim (Fauzia 2016,

16
NEGARA, CIVIL SOCIETY DAN KEMANUSIAAN
DALAM LINTASAN SEJARAH FILANTROPI ISLAM DI INDONESIA

216). Contoh kedua adanya upaya reinterpretasi asnaf yang


inklusif oleh Bazis DKI Jakarta. Misalnya, ada pemberian
bantuan ekonomi--walaupun sifatnya instan--kepada pekerja
seks komersial agar bisa memiliki keterampilan dan usaha
(Fauzia dan Hermawan 2002).
Masa Reformasi. Dengan menjamurnya organisasi filantropi
Islam, upaya filantropi Islam yang inklusif makin terlihat,
walau belum menjadi mainstream (Fauzia dkk 2018). Selain
contoh yang sudah disebutkan di bagian awal sub ini, penting
menyebutkan AKIM (Aliansi Kemanusiaan Indonesia untuk
Myanmar) yang diinisiasi oleh lembaga filantropi Islam untuk
merespon persoalan kemanusiaan yang menimpa etnis
Rohingya. Aliansi ini menjadi potret keberhasilan upaya
lembaga filantropi Islam bekerja dengan prinsip kemanusiaan
yang inklusif. Bahkan lebih dari itu, kegiatan AKIM mengadopsi
filantropi yang berkeadilan sosial (Fauzia dkk 2018, Fauzia
2018) yang dilakukan dengan cara soft diplomacy yang secara
tidak langsung memperkuat respon kemanusiaan yang inklusif
(Fauzia, 2017) dan penting untuk menjadi model best practice
bagi kerja penyaluran bantuan dari lembaga non-pemerintah
ke luar negeri. Bantuan untuk Rohingya disalurkan dengan
program jangka pendek dan panjang yang
mempertimbangkan upaya perdamaian jangka panjang.
Misalnya, adanya sekolah, klinik, dan pasar yang tidak saja
memberi fasilitas pendidikan, kesehatan dan ekonomi tapi
mendorong kerekatan sosial antar dua etnis yang minim
interaksi. Social Trust Fund UIN Jakarta termasuk salah satu
lembaga dalam aliansi tersebut dan berkontribusi pada
pendirian sekolah yang digunakan baik untuk Muslim dan non-
Muslim di Rakhine State. Upaya filantropi Islam untuk
mendorong kerekatan sosial dan perdamaian juga dilakukan
oleh Social Trust Fund UIN Jakarta misalnya melalui kegiatan
beasiswa perdamaian di Poso dan Papua.
17
NEGARA, CIVIL SOCIETY DAN KEMANUSIAAN
DALAM LINTASAN SEJARAH FILANTROPI ISLAM DI INDONESIA

Hal terakhir yang penting disampaikan adalah pandemi Covid-


19 pada tahun 2020 membawa awareness dan peningkatan
penguatan filantropi Islam yang inklusif (Fauzia 2020a, 2020b,
2020c). Ada kesadaran bahwa bantuan yang non-diskriminatif
menjadi satu keharusan karena penyebaran virus dan
dampaknya itu dirasakan oleh semua komunitas dan
kalangan. Misalnya, bantuan APD ke berbagai rumah sakit dan
penyemprotan disinfektan oleh organisasi seperti Lazismu,
Lazisnu, DD dan Baznas. Tidak saja masjid, fasilitas publik yang
disemprot, tapi juga fasilitas ibadah agama lain. Selain itu,
terjadi praktik percepatan pembayaran zakat dan
penyalurannya sebelum Ramadhan. Semua ini adalah
beberapa bukti bahwa ada kesadaran kemanusiaan dan
kebangsaan yang tinggi pada kerja-kerja lembaga filantropi
Islam.

Negara, Civil Society dan Kemanusiaan


Kesadaran akan kemanusiaan dan kebangsaan muncul kuat
dari situasi krisis, problem kemanusiaan, kemiskinan dan
kebencanaan, termasuk pandemi. Dari sana pegiat dan
lembaga filantropi berusaha berkontribusi mencari jalan
keluar untuk maslahat/kebaikan bersama (public good).
Dalam melakukan kegiatan kedermawanan di atas, unsur
keagamaan terlihat kuat (sebagai modal sosial yang mengikat
identitas agama untuk berderma), dan unsur kemanusiaan
juga terlihat kuat (sebagai modal sosial yang menjembatani
perbedaan). Di sini, karakter bonding dan bridging saling
menguatkan untuk tujuan kemaslahatan. Keduanya menjadi
modal sosial dari lembaga filantropi berbasis agama sebagai
organisasi civil society. Karena itu, dalam sejarah praktik

18
NEGARA, CIVIL SOCIETY DAN KEMANUSIAAN
DALAM LINTASAN SEJARAH FILANTROPI ISLAM DI INDONESIA

filantropi Islam di atas, fenomena praktik yang kemanusiaan


yang inklusif ditemukan sejak masa kerajaan sampai saat ini.
Inklusivitas ini menjadi penting sejalan dengan yang disebut
oleh Robert Putnam dalam berbagai tulisannya (1993, 2000,
2010) mengenai potensi modal sosial yang justru melemahkan
civil society. Bahkan menjadi uncivilized society, di mana
network, kepercayaan, agama, digunakan bukan untuk
kemaslahatan umum misalnya aksi kekerasan. Jika Putnam
mewanti-wanti akan fenomena “bowling alone” atau
menurunnya civil society di Amerika, maka di Indonesia terjadi
fenomena yang berbeda. Peningkatan konservatisme (Van
Bruinessen 2013, Mietzner dan Muhtadi 2016, populisme
(Hadiz 2015), dan radikalisme menguatkan eksklusifitas.
Walaupun beberapa Indonesianis cukup positif dan yakin akan
kekuatan Muslim civil society di Indonesia (Azra 1999, Hefner
2000), tetap saja potensi eksklusivitas menjadi tantangan
karena adanya globalisasi dan teknologi digital yang
berpotensi menambahkan polarisasi masyarakat.

Di sini, adanya potensi praktik filantropi Islam yang inklusif


seperti yang dipaparkan di atas menjadi suatu optimisme
untuk ikut meredam konflik dan polarisasi sosial. Potensi
inklusivitas pada praktik filantropi berbasis agama menjadi
sangat penting, karena keragaman adalah keniscayaan. Dalam
satu agama pun ada keragaman sekte, keragaman mazhab,
kelompok, bahkan interpretasi ajaran agama.
Pada masa kapan inklusivitas ini menguat dalam sejarah
Indonesia? Studi mendalam dibutuhkan untuk bukti-bukti
historis yang komprehensif. Namun dari data yang sementara
ini ada, periode yang memperlihatkan inklusivitas cukup kuat
terjadi pada rentang pertama abad ke-20 yaitu masa

19
NEGARA, CIVIL SOCIETY DAN KEMANUSIAAN
DALAM LINTASAN SEJARAH FILANTROPI ISLAM DI INDONESIA

pemerintahan Kolonial Belanda. Dengan kebijakan politik etis


dan kebijakan tidak turut campur dalam urusan filantropi dan
urusan agama, negara kuat dan filantropi berkembang kuat
(Fauzia 2017).
Sejauh mana pegiat dan lembaga filantropi berbasis agama
memiliki kekuatan untuk bersifat inklusif, tergantung
kapasitas personal dan organisasi serta tata kelola praktik
filantropi. Di negara yang sudah memiliki karakter humanisme
kuat dan budaya menghargai perbedaan, seperti di Eropa,
organisasi filantropi berbasis agama akan mengikuti budaya
tersebut dan dengan mudah menerapkan prinsip non-
diskriminasi. Misalnya negara Inggris, menjadi salah satu
tempat di mana beberapa organisasi filantropi Islam
berkembang besar, seperti Islamic Relief, Muslim Aid.
Oleh karenanya, fokus pada civil society tidak bisa melepaskan
diri dari dari entitas negara, suatu otoritas politik yang
menaungi masyarakat bangsa. Jika secara alamiah relasi
negara dan civil society berbasis agama akan selalu ada tarik
menarik sejalan dengan perubahan konteks dan zaman, maka
bangsa Indonesia beruntung memiliki kekuatan tradisi
filantropi yang dapat membawa kontestasi tersebut berada di
ruang tengah dan menciptakan equilibrium, keseimbangan
atau wasathiyyah.
Di sini, pemerintah menjadi salah satu stakeholder krusial
dalam keseimbangan relasi dan penguatan civil society yang
dapat mendorong penguatan nilai kemanusiaan inklusif. Jika
kita lihat ekosistem kelembagaan, supervisi utama lembaga
filantropi Islam ada di tangan Kementerian Agama,
Kementerian Sosial, serta Baznas. Lemahnya kapasitas data
dan supervisi kelembagaan terkait aktivitas filantropi secara
umum dan khususnya filantropi Islam, menjadikan kesulitan

20
NEGARA, CIVIL SOCIETY DAN KEMANUSIAAN
DALAM LINTASAN SEJARAH FILANTROPI ISLAM DI INDONESIA

tersendiri untuk supervisi dan koordinasi. Upaya mendorong


peningkatan kapasitas lembaga juga menjadi tantangan.
Terlebih lagi, posisi Baznas memiliki fungsi dualitas sebagai
pengawas dan sebagai lembaga penghimpun zakat dan
donasi, yang secara tidak langsung dipahami sebagai
kompetitor atau memiliki conflict of interest (Fauzia dkk,
2018).

Sumber: Outlook Zakat Indonesia 2021, Baznas


Terlepas dari fenomena kompetisi antara badan zakat
pemerintah dan lembaga non pemerintah, kedua tipe
organisasi pengelola zakat baik pemerintah maupun non
pemerintah memiliki kapasitas baik dalam pengumpulan dan
penyaluran dana masyarakat (Pusat Kajian Strategis Baznas
2020b). Lembaga amil zakat non pemerintah masih lebih baik
dari sisi pengumpulan, pelaporan dan inovasi program
dibandingkan dengan badan amil zakat di bawah pemerintah.
Data dari Baznas memperlihatkan total pengumpulan dana
dari 456 baznas kabupaten/kota adalah Rp 3.5 triliun,
dibandingkan dengan 26 lembaga amil zakat non pemerintah
adalah Rp 3.7 triliun. Peta kontribusi filantropi cukup
berimbang antara lembaga berbasis negara dan lembaga
21
NEGARA, CIVIL SOCIETY DAN KEMANUSIAAN
DALAM LINTASAN SEJARAH FILANTROPI ISLAM DI INDONESIA

berbasis civil society. Tinggal bagaimana potensi ini bisa terus


dikelola agar memunculkan sinergitas serta penguatan
inklusivitas yang bisa menghilangkan kegamangan seperti
temuan Petersen (2015). Kegamangan yang dilihat oleh
Petersen dalam lembaga filantropi Islam transnasional itu
tidak menjadi persoalan signifikan di Indonesia.
Kebangkitan agama menjadi salah satu faktor meningkatnya
aktivitas lembaga filantropi. Dan lembaga filantropi Islam
menjadi bagian dari civil society berbasis agama, yang
menurut Jose Casanova mendorong kebangkitan civil society
(2001). Praktik filantropi cukup memiliki ruang publik yang
memungkinkan untuk menjadi penyeimbang kekuatan
negara. Lembaga filantropi Islam yang menerapkan prinsip
inklusif secara tidak langsung memenuhi prasyarat yang
disebut Casanova yaitu menerima ada kebenaran di luar
kelommpok agamanya, dan memiliki common good atau
tujuan kemaslahatan publik.
Dalam wacana filantropi, sisi kemanusiaan bisa menjadi jalan
masuk penting untuk penguatan inklusivitas. Walaupun
lembaga filantropi pun tidak sama memaknai nilai
kemanusiaan (Redfield 2015). Dari Gerakan filantropi Islam
sendiri sudah ada upaya penguatan prinsip kemanusiaan yang
nondiskriminatif salah satunya dengan gerakan filantropi
Islam untuk keadilan sosial. Gerakan ini melihat bahwa
problem penyaluran bantuan jangka pendek menjadi salah
satu penyebab mendorong eksklusifitas dan karenanya
mendorong filantropi jangka panjang.

22
NEGARA, CIVIL SOCIETY DAN KEMANUSIAAN
DALAM LINTASAN SEJARAH FILANTROPI ISLAM DI INDONESIA

Penutup
Pada pembuka pidato ini saya memulai dengan pandemi dan
wabah untuk masuk pada fenomena praktik filantropi dalam
sejarah Indonesia. Dalam sejarah manusia dan kemanusiaan,
pandemi hanya lah salah satu dari sekian banyak problem
kemanusiaan yang direspon dengan praktik kedermawanan.
Sayangnya belum banyak upaya penggalian sejarah lampau
untuk memperkaya bukti-bukti tentang praktik filantropi Islam
dan filantropi secara umum. Padahal kekuatan tradisi
filantropi yang kita menikmati saat ini—salah satunya disebut
sebagai negara yang paling dermawan di dunia--adalah hasil
perjalanan panjang dari pemikiran dan kebudayaan
sebelumnya. Sekelumit temuan-temuan dari sejarah Islam di
Indonesia ini menguatkan argument mengenai adanya praktik
filantropi Islam yang berbasis kuat kepada kemanusiaan
inklusif. Masih banyak pekerjaan rumah untuk memperkuat
praktik filantropi Islam dan filantropi berbasis agama yang
menguatkan keseimbangan relasi antara negara dan agama.
Praktik filantropi menjadi salah satu tulang punggung untuk
civil society dan upaya untuk penguatan sisi kemanusiaan
inklusif yang menjadi krusial dalam konteks kebangsaan.

23
NEGARA, CIVIL SOCIETY DAN KEMANUSIAAN
DALAM LINTASAN SEJARAH FILANTROPI ISLAM DI INDONESIA

REFERENSI

Adatrechtbundel VII, hal. 324-30.


Al-Asqalani, Ibn Hajar. [1449]. Badzlu al Maun Fi Fadhli al
Thaun, Riyadh: Darul Asimah.
Anheier, Helmut K., Stefan Toepler. 2001.International
Encyclopedia of Civil Society, Springer 4 (Agustus 2001):
1-2.
Azra, Azyumardi. 1999. Menuju masyarakat madani:
gagasan, fakta, dan tantangan, Remaja Rosdakarya,
1999.
Baznas Centre for Strategic Studies. 2020a. Outlook Zakat
Indonesia 2021. Pusat Kajian Strategis Baznas.
Baznas Centre for Strategic Studies. 2020b. Zakat in Time of
Covid-19 Pandemic: Evidence from World Zakat Forum.
Pusat Kajian Strategis Baznas.
“Bestuurvergadering C.S.I,” Sinar Hindia, Desember 28, 1918;
Benthall, Jonathan. 2012. “Cultural Proximity” and the
Conjuncture of Islam with Modern Humanitarianism.
Sacred Aid: Faith and Humanitarianism.
------. 1997. “The Red Cross dan Red Crescent Movement dan
Islamic Societies, with Special Reference to Jordan.”
British Journal of Middle Eastern Studies, vol 24 no 2
(1997):157-77.
Bijblad op het Staatsblad van Nederlandsch Indie, onder
redactie van Mr. S.C.H. Nederburgh en C. De Waal,
ambtenaren ter algemeene secretarie. No 261-500. Deel
II. Batavia, Lange & Co. 1858)

24
NEGARA, CIVIL SOCIETY DAN KEMANUSIAAN
DALAM LINTASAN SEJARAH FILANTROPI ISLAM DI INDONESIA

Cortesao, Armando. 1944. The Suma Oriental of Tome Pires


and the Book of Francisco Rodrigues, vol. 2, London: The
Hakluyt Society.
Hazeu, “Korte Aantekeningen over Kaum Toestanden en
Moskeekassen. Archief.
Hadiz, Vedi. 2015. Islamici Populism in Indonesia and the
Middle East. Cambridge University Press.
“Kas Wakaf Kemerdikaan Pergerakan Sarekat Islam,” Sinar
Hindia, 31 Desember, 1918.
Casanova, Jose. 2001. “Civil society and religion:
Retrospective reflections on Catholicism and prospective
reflections on Islam”. Social Research; Winter 2001; 68,
4; ProQuest pg. 1041
Fauzia, Amelia. 2020b. The pandemic and shifting practices of
Islamic Charity. The Research blog of Asia Research
Institute, National University of Singapore, 2020 url
https://ari.nus.edu.sg/20331-43/
———. 2020c. Learning from Covid-19 pandemic: Islamic
philanthropy in Indonesia, published on blog
Philanthropy for Social Justice and Peace, 26 August
2020, http://www.psjp.org/learning-from-covid-19-
pandemic-islamic-philanthropy-in-indonesia/
———. 2020a. The Covid-19 and the Blessings of Online Zakat
in Indonesia, CoronAsur: Religion and COVID-19, The Asia
Research Institute, National University of Singapore, url:
https://ari.nus.edu.sg/20331-16/
-------. 2018a. ‘Islamic Charitable Networks: From Southeast
Asia to the Middle East,’ Insight, Middle East Institute, 19
November 2018, url
https://mei.nus.edu.sg/publication/insight-194-islamic-
25
NEGARA, CIVIL SOCIETY DAN KEMANUSIAAN
DALAM LINTASAN SEJARAH FILANTROPI ISLAM DI INDONESIA

charitable-networks-from-southeast-asia-to-the-middle-
east/
-------. 2018b. ‘Indonesian aid to Rakhine State, Myanmar:
Islamic humanitarianism, soft diplomacy, and the
question of inclusive aid’, Oxford Department of
International Development. url:
http://www.qeh.ox.ac.uk/blog/indonesian-aid-rakhine-
state-myanmar-islamic-humanitarianism-soft-
diplomacy-and-question
--------, Sri Hidayati, Emi Ilmiah, dan Endi Aulia Garadian. 2018.
Ringkasan Eksekutif. Laporan Penelitian Fenomena
Praktik Filantropi Masyarakat Muslim dalam Kerangka
Keadilan Sosial di Indonesia, Jakarta, Divisi Penelitian
Social Trust Fund UIN Jakarta.
-------, 2017. Islamic Philanthropy in Indonesia: Modernization,
Islamization and Social Justice, ASEAS-Austrian Journal of
South-East Asian Studies, 10(2), pp. 223-236. (Dec,
online).
-------. 2017. Penolong Kesengsaraaan Umum, The charitable
activism of Muhammadiyah during the colonial period.
South East Asia Research 1-16. Volume: 25 issue, no 4,
379-394. December 1, 2017.
-------. 2016. Fenomena Wakaf di Indonesia: Tantangan
Menuju Wakaf Produktif. With Nani Almuin, Tati Rohayati
and Endi Aulia Garadian. Jakarta: Badan Wakaf Indonesia.
-------. 2016 Filantropi Islam. Sejarah dan Kontestasi
Masyarakat Sipil dan Negara di Indonesia, Yogyakarta:
Gading.
------. 2013. Faith and the State: A History of Islamic
Philanthropy in Indonesia, Leiden: Brill.

26
NEGARA, CIVIL SOCIETY DAN KEMANUSIAAN
DALAM LINTASAN SEJARAH FILANTROPI ISLAM DI INDONESIA

-------. dkk. 2006. Filantropi Islam dan Keadilan Sosial: Studi


tentang Potensi, Tradisi, dan Pemanfaatan Filantropi
Islam di Indonesia, diedit oleh Irfan Abubakar dan Chaider
S. Bamualim. Jakarta: Center for the Study of Religion dan
Culture.
-------. dkk. 2003. Filantropi untuk Keadilan Sosial Menurut
Tuntutan Al-Quran dan Hadis. Jakarta: Pusat Bahasa dan
Budaya.
------- dan Ary Hermawan. 2002. ‘Ketegangan antara
Kekuasaan dan Aspek Normatif Filantropi dalam Sejarah
Islam di Indonesia’. Dalam Berderma untuk Semua,
Praktek dan Wacana Filantropi Islam, diedit oleh Idris
Thaha. Jakarta: Pusat Bahasa dan Budaya & Teraju, Pp.
157-89.
Friedman, Lawrence J. dan Mark D. McGarvie, eds. 2003.
Charity, Philanthropy, and Civility in American History.
Cambridge: Cambridge University Press.
Hefner, Robert. 2000. Civil Islam: Muslims and
Democratisation in Indonesia (Princeton: Princeton
University Press.
Lombard, Denys. 1996. Nusa Jawa: Silang Budaya. Bagian
Kedua: Jaringan Asia, 2nd Vol. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama.
Malik, Adam. tt. Riwajat dan Perdjuangan sekitar Proklamasi
Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 (t.t.: [Stichting
Wakaf Republik]).
Mietzner, Marcus dan Burhanuddin Muhtadi. 2018.
“Explaining the 2016 Islamist Mobilisation in Indonesia:
Religious Intolerance, Militant Groups and the Politics of

27
NEGARA, CIVIL SOCIETY DAN KEMANUSIAAN
DALAM LINTASAN SEJARAH FILANTROPI ISLAM DI INDONESIA

Accommodation,” Asian Studies Review 42, no. 3 (2018):


1-19
McCarthy, Kathleen D. 2003. American Creed: Philanthropy
and the Rise of Civil Society, 1700-1865, Chicago: The
University of Chicago Press.
Norton, Augustus Richard, ed. 2005. Civil Society in the
Middle East. Vol I dan II. Leiden:
E.J. Brill.
Petersen, MJ. 2015. For Humanity Or For The Umma?: Aid
and Islam in Transnational Muslim NGOs, London: Hurst.
Putnam, Robert D. 2000. Bowling Alone The Collapse and
Revival of American Community. New York: Simon &
Schuster.
——— and David E. Campbell. 2010. American Grace: How
Religion Divides and Unites Us, New York: Simon &
Schuster.
———, Robert Leonardi, Raffaella Y. Nanetti. 1993. Making
Democracy Work: Civic Traditions in Modern Italy, New
Jersey: Princeton University Press.
Pemboekaan Polikliniek Moehammadijah di Soerabaia (1924)
Soeara Moehammadijah 8: 24
Redfield, Peter. “Humanitarianism”. In A Companion to Moral
Anthropology, Diedit oleh Didier Fassin. Willey
Blackwell.
Van Bruinessen, Martin. Contemporary Developments in
Indonesian Islam: Explaining the "conservative turn”,
Singapore: ISEAS, 2013.

28
NEGARA, CIVIL SOCIETY DAN KEMANUSIAAN
DALAM LINTASAN SEJARAH FILANTROPI ISLAM DI INDONESIA

UCAPAN TERIMA KASIH

Gelar guru besar ini tidak akan bisa saya capai tanpa
kedermawanan yang dilakukan oleh banyak orang di sekitar
saya, baik langsung maupun tidak langsung. Guru Besar ini
saya dedikasikan kepada almarhum Prof H Ridlo Masduki, alm
Prof. Mc Ricklefs, Prof Azyumardi Azra, Prof Komaruddin
Hidayat, Prof Nico Kaptein yang memberi saya kepercayaan
dan dukungan serta bimbingan studi, fellowship dan beragam
kegiatan yang saya lakukan.
Prof. Michael Feener, Prof Kenneth Dean (Asia Research
Institute NUS), Prof Kathleen McCharty dari Center of
philanthropy and civil society, dan associate Prof Minako
Sakai, school of Humanities and social science UNSW Australia
atas kesempatan fellowship yang mencerahkan dan produktif.
Suami tercinta Amir Maruf yang selalu mendampingi dalam
susah dan senang, dan menjadi partner riset terbaik; dua anak
saya, Elkana Alifi Maruf yang saat ini di Busan, Korea Selatan,
dan Farhan Erucakra Maruf yang saat ini di Singapura, terima
kasih atas dukungan yang tak terbatas.
Satu hal yang membuat saya menjadi spesialis dalam bidang
filantropi Islam adalah kesempatan untuk melakukan riset
mengenai filantropi untuk keadilan sosial yang dibiayai oleh
Ford Foundation. Terima kasih kepada Suzanne Siskel, Prof
Abdulllahi Ahmed Annaim, rekan-rekan di Ford Foundation
Jakarta, yang menginspirasi pembuatan lembaga Social Trust
Fund UIN Jakarta.
Lembaga UIN Jakarta, Rektor Prof Amany Lubis, Prof Dede
Rosada, Bapak Murni Djamal, Dekan fakultas adab Dr Saiful
Umam, Prof Oman Fathurrahman dan Prof Sukron kamil , yang
semuanya mendukung saya melakukan riset. Tidak lupa, para

29
NEGARA, CIVIL SOCIETY DAN KEMANUSIAAN
DALAM LINTASAN SEJARAH FILANTROPI ISLAM DI INDONESIA

pengurus Ikaluin yang memberi dorongan saya untuk selalu


berpikir dan berbuat.
Begitu juga keluarga besar STF UIN Jakarta serta kolega pegiat
filantropi Islam dari FOZ, Baznas, Perhimpunan Filantropi
Indonesia dan semua lembaga filantropi yang tidak saja telah
menjadi laboratorium bagi saya melakukan penelitian tapi
menjadi gerakan penguat civil society.
Achievement 10 tahun terakhir ini tidak bisa menghilangkan
kontribusi keluarga besar mbah Masduki dan Mbah Abdul
Wahab, keluarga besar Mbahimung Kroya, teman-teman
keluarga besar Darunnajah, khususnya Kyai Mahrus Amin,
teman2 HMI dan Muhammadiyah tempat saya belajar, dan
teman-teman Pencinta Alam Ranita. Dan semua yang telah
membantu yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu. Saya
ucapkan terima kasih banyak.

Assalamu’alaikum wr wb.

30
=====

BIO DATA

Prof. Amelia Fauzia, MA, PhD

Tangerang, 25 Maret, 1971


Gedung Fakultas Adab & Humaniora, lantai 3,
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Jln. Tarumanegara, Pisangan, Ciputat Timur, Tangerang Selatan,
Banten, INDONESIA 15419
Home address: Jln Ciberes no 9 RT 01/05 Kampung Batutapak
Desa Cidokom,Kec. Gunung Sindur, Bogor, Jawa Barat
Email: amelia_fauzia@yahoo.com, ameliafauzia@uinjkt.ac.id
Google Scholar ID:
https://scholar.google.com/citations?user=CEYFfTwAAAAJ&hl=fr

Research Gate :
https://www.researchgate.net/profile/Amelia_Fauzia

Scopus ID: 55949174100

Professional and Social Background


Amelia Fauzia has taught and conducted research related to
Islamic history of Indonesia, Islamic philanthropy, and
contemporary issues of Islam in Indonesia, such as on
radicalization, religion, and women. She is a professor in
Islamic history of Indonesia at Syarif Hidayatullah State Islamic
University or UIN Jakarta, at the faculty of arts and humanities
(commenced in 1999). Prof Fauzia was a Visiting Senior
Research Fellow at Cluster Religion and Globalisation, the Asia
Research Institute, National University of Singapore (NUS)
from 2015 to 2018. She has been Senior Visiting Fellow at the
faculty of Humanities and Social Sciences (UNSW Canberra)
since 2011 to 2021 (unpaid). From June 2019, she serves as
the head of the Magister Program of Islamic History and
Culture, Syarif Hidayatullah State Islamic University Jakarta.
From October 2020 to October 2021 she has joined as a
research fellow at RSIS, Nanyang Technological University,
Singapore.
Prof Fauzia’s previous career are Deputy Director (secretary)
of the Research Institute for Community Outreach (LP2M) of
UIN Jakarta from 2010 to March 2015, a fellow at the center
for the study of Islam and society (PPIM) from 2014 to 2015, a
Visiting fellow of Leiden Institute of Area Studies (LIAS) in
2014, and Visiting Fellow of International Institute of Asian
Studies, the Netherlands (2006).
She is cofounder of the Social Trust Fund, humanitarian and
charitable institution on UIN Jakarta, of which she became vice
director since 2011 and selected as Director in September
2015 to date. She established a center for rural community
development and social entrepreneurship (CERCONDESO)
located in Bogor, as a lab for Social Trust Fund and UIN Jakarta
community development activities. With her colleague, she
created community health saving program called
Bungkesmas—Tabungan Kesehatan Masyarakat (in 2010) for
poor people (especially women), an innovative health saving
with micro insurance program that runs from 2012 to date, in
collaboration with various NGOs, microfinance institutions
and local governments.
Prof Fauzia sits as a board member of National Waqf Board
(Badan Wakaf Indonesia) in Research and Development
division for 2010-2017 and as representative of Asian Muslim
Action Network (AMAN) and deputy from 2011-now. She
serves as one of managers (pengurus) of alumni association of
UIN Jakarta called IKALUIN, of which she was treasurer of
IKALUIN from 2012-2015. She is co-founder of Center for
Language and Culture (later become the Center for the Study
of Religion and Culture), was its executive secretary from 2000
to 2008 and was Director of the center from 2009 to 2010.
She holds a PhD in Islamic studies and Asian Studies from the
University of Melbourne (2009), based on research on Islamic
philanthropy. She has been focusing on this topic since 2002,
when she led a global project on Islamic philanthropy for social
justice, collaborating six countries (Egypt, India, Indonesia,
turkey, Tanzania and UK). She holds a master in Islamic Studies
from the University of Leiden, writing and doing research on
messianic movements in 19th-20th century Java (1998). Since
undergraduate studies, she has been active as a student
activist, such as became a chief of LS2KI (institute for the study
of Islamic history and civilization) 1993-1994, leadership of an
environmentalist club RANITA (1993-1995), and local branch
of Muslim Student Association (HMI).

Education
PhD program at Asia Institute, the University of Melbourne, in
Indonesian History and Philanthropic Studies, Jan 2004-Sept
2008. (Funded by the scholarship from the AusAid).
Master Degree Program (S2) in Islamic Studies at the
University of Leiden, 1996-1998, cum laude. (Funded by the
scholarship of INIS, the Netherlands).
Undergraduate Degree (S1) at the Department of Islamic
History and Civilizations at IAIN (State Institute of Islamic
Studies) Jakarta, 1990-1995, cum laude.
Islamic Boarding School (pesantren senior & junior high
school) at Darunnajah Jakarta, 1984-1990.

Academic International Board/Committee Members


Board Member, Academic Publication of IRASEC, 2018-
Board Member, International Center for Aceh and Indian
Ocean Studies (ICAIOS), 2016-2018
Steering Committee, Asia Research Institute (ARI), National
University of Singapore, Jan-Dec 2016.

Grants and Fellowships (selected)


1. Research fellowship, RSIS. Nanyang Technological
University 2020-2021
2. Research on business models to foster the economic
empowerment of Muslim women, a religious
economy, tolerance, and moderate communities,
action research, supported by The Ford Foundation,
Sept 2018 – 2020. Principal investigator and project
leader.
2. Research “Development of Practices of Islamic
Philanthropy in Indonesia”, Syarif Hidayatullah Islamic
University Jakarta and National University of
Singapore, funded by The Ford Foundation,
September 2017 – December 2019. Principal
Investigator.
3. Research with minako Sakai on women Islam and
entrepreneurship, supported by UNSW, Canberra,
2016-2017.
4. Research fellowship on Islam, NGOs and
Humanitarianism, Asia Research Institute, National
University of Singapore, 2015-2018, funded by Asia
Research Institute, National University of Singapore.
5. Reducing inequality through providing health
protection program Bungkesmas, advocacy project
for the university’s Social Trust Fund, in partnership
with various stakeholders, to expand the Bungkesmas
savings and health insurance program to ten
provinces in Indonesia, funded by Ford Foundation,
2017-19.
6. Research on waqf cemetery, Indonesia waqf board
2015.
7. Research on the Indigenization of Islam in Indonesia:
the Ratu Adil Movements, June-December 2014,
funded by Ministry of Religion, as a lead researcher,
collaborated with LIAS, Netherlands.
8. Grant for preparation of book manuscript,
Philanthropy for Social Justice in Muslim Societies, the
Ford Foundation, 2012-2014.
9. Development of Community Health Saving
(Bungkesmas) for farmers in rural areas of South
Sulawesi & Maluku, advocacy project of Social Trust
Fund, funded by Ford Foundation, 2014-16. Project
leader.
10. The scaling up of Bungkesmas – a health saving and
insurance product for the poor- by Islamic financial co-
operatives in four provinces, 2012-2013, Social Trust
Fund of UIN Jakarta, a research and advocacy grant
from the Ford Foundation. (as project leader). The
product Bungkesmas runs in 72 micro finance
institutions and supported by a multi-national
insurance companies.
11. Islamic credit co-operatives in South Sulawesi to Pilot
a health savings product linked to Islamic
Philanthropic Resources, 2010-2012, Center for the
Study of Religion and Culture of UIN Jakarta, a
research and advocacy grant from the Ford
Foundation. (as project leader).
12. “Wakaf Produktif” in DKI Jakarta, Research Institute of
Syarif Hidayatullah State Islamic University Jakarta,
December 2011-March 2012, funded by the Indonesia
Waqf board. (as lead researcher).
13. Visiting fellow. Young Muslim leaders program
entitles Religion and Disaster in Iwate and Tokyo, held
by the Japan Foundation, November-December 2011.
14. Research for preparation on book publication Faith
and the State: A History of Islamic Philanthropy in
Indonesia, National University of Singapore, February-
March 2011.
15. UNSW Rector’s visiting fellow, School of Humanities
and Social Sciences, University of New South Wales
(UNSW) Canberra, August – September 2011. Unpaid
visiting fellow from 2012 to now.
16. Perception of UIN Jakarta’s students and staff on
Islamic radicalism, research grant from state Islamic
university Jakarta, 2010. (as lead researcher).
17. Islamisation of Public Sphere: Islamic Identity
&Negotiating the Future of Democracy in Indonesia,
2010, Research grant from Konrad Adenauer Stiftung,
CSRC (lead researcher & project leader).
18. Senior international fellow, on community
foundation, working on faith-based community
(philanthropy) foundation in the United States, Center
on Philanthropy and Civil Society (CPCS) City
University New York, New York City, 19 Oct – 20 Nov
2009.
19. Research fellow, historical resources on Indonesian
Islamic philanthropy, the International Institute of
Asian Studies (IIAS), Leiden, February-March 2005.
(funded by the Ford Foundation).
20. Islamic philanthropy for social justice in Muslim
Societies, 2002-2004, research grant from the Ford
Foundation, involving 6 countries (Indonesia, Egypt,
India, Tanzania, Turkey and UK). (as global project
coordinator and Indonesia lead researcher).
21. Baseline Studies and Institutional Analysis Gender
Mainstreaming of State Islamic University Jakarta,
2003, research grant from McGill university project.
(As lead researcher).
22. Lead Researcher. Potensi Wisata Ziarah Islam di DKI
Jakarta [Potentials of Islamic Religious Visits in the
Province of Jakarta]. The Center for Language &
Culture, Dec 2001. Funded by the Provincial
Government of DKI Jakarta. (team leader and lead
researcher)
23. Research, Islam and Gender: Critical Analysis on
Women during the Colonial Period: A study on
newspaper Istri Soesila Taman Moeslimah and
Perempoen Bergerak, funded by the State Islamic
University Syarif Hidayatullah Jakarta, 2001.
ACADEMIC PUBLICATIONS

(i) Scholarly books

1. 2020 Filantropi Berkeadilan Sosial untuk Milenial.


With Endi Aulia Garadian. Jakarta: STF UIN Jakarta.
2. 2019 Sejarah Kementerian Agama Periode Orde
Lama: Kebijakan Agama dalam Masa Revolusi,
Demokrasi Liberal, dan Terpimpin. With Usep Abdul
Matin. Depok: Rajawali Pers.
3. 2016 Fenomena Wakaf di Indonesia: Tantangan
Menuju Wakaf Produktif. With Nani Almuin, Tati
Rohayati and Endi Aulia Garadian. Jakarta: Badan
Wakaf Indonesia.
4. 2016 Filantropi Islam. Sejarah dan Kontestasi
Masyarakat Sipil dan Negara di Indonesia,
Yogyakarta: Gading.
5. 2013 Faith and the State: A History of Islamic
Philanthropy in Indonesia, E.J. Brill, Leiden, Boston.
6. 2011 Islamization and Public Sphere: Islamic Identity
and Negotiating Democracy in Indonesia, with Sukron
Kamil, Ridwan Al-Makassary, et al, edited by Winfred
Weck, Noorhaidi Hasan, and Irfan Abubakar, Center
for the Study of Religion and Culture, Jakarta.
7. 2010 Pandangan Sivitas Akademika UIN Jakarta
terhadap Radikalisme Islam, with Sukron Kamil and Sri
Hidayati, Lembaga Penelitian UIN Jakarta (The
Research Institute), Jakarta.
8. 2010 Benih Islam Radikal di Masjid [Seeds of Radical
Islam in Mosques], with Ridwan Al-Makassary, and
Irfan Abubakar, eds. Center for the Study of Religion
and Culture, Jakarta.
9. 2010 Masjid dan Pembangunan Perdamaian (Mosque
and Peace Building), eds with Ridwan Al-Makassary
and I. Abubakar, Center for the Study of Religion and
Culture, Jakarta.
10. 2006 Filantropi Islam dan Keadilan Sosial (Social
Justice Philanthropy), with team, eds by Andi Agung
Prihatna, CS. Bamualim and I Abubakar, Center for the
Study of Religion &Culture, Jakarta.
11. 2006 Filantropi di Berbagai Tradisi Dunia (translation
of Philanthropy in the World Traditions), with Dick van
Der Meij, eds, Center for the Study of Religion and
Culture, Jakarta.
12. 2004 Baseline Studies and Institutional Analysis
Gender Mainstreaming of State Islamic Univ Jkt, with
Lisa Noor Humaidah, Yuniyanti Chuzaifah and
Nooryamin Aini, McGill equity project, Jakarta.
13. 2004 Realita dan Cita Kesetaraan Gender di UIN
Jakarta (penulis). Tim penulis. Diterbitkan oleh McGill
IAIN Indonesia Social Equity Project, UIN Jakarta.
14. 2003 Apakah Islam Agama untuk Perempuan? (Is
Islam a Religion for Women?), with Yuniyanti
Chuzaifah, Center for Languages and Cultures, Jakarta.
15. 2003 Filantropi untuk Keadilan Sosial Menurut
Tuntutan Al-Qur’an dan Hadith (Social Justice
Philanthropy according to Qur’an &Hadith), with a
team, Center for Language & Cultures, Jakarta.
16. 2003 Konflik Komunal di Indonesia Saat Ini (Communal
Conflicts in Contemporary Indonesia), (as team
member of Jakarta eds), Series of INIS Publication,
Jakarta, Leiden.
(ii) Scholarly book chapters

1. 2020 ‘Azyumardi Azra: Intelektual Muslim Dunia,


Pendorong Transformasi dan Demokrasi’, in 100
Tokoh Terkemuka Alumni UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, Depo: PT Raja Grafindo Persada, p. 18-21
2. 2020 ‘Komaruddin Hidayat: Filosof Pluralis Sufistik dan
Ilmuwan Publik’, in 100 Tokoh Terkemuka Alumni UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta, Depo: PT Raja Grafindo
Persada, p.26-30.
3. 2020 ‘Murni Djamal: Meningkatkan Kapasitas
Perguruan Tinggi Islam’, in 100 Tokoh Terkemuka
Alumni UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Depo: PT Raja
Grafindo Persada, p. 134-137.
4. 2019 ‘Saatnya Memikirkan Amil’, dalam Amil Zakat
Easy Going oleh Nana Sudiana, Jakarta: IZI, p. xxxiii-
xxxvi.
5. 2018 ‘Beyond the Classroom: Menumbuhkan Studi
Sejarah Islam di Luar Kelas,’ in Kontribusi FAH untuk
Bangsa: Memotret Dunia Membangun Peradaban,
Jakarta: Adabia Press: 157-163.
6. 2017 ‘Muslim Business Women Moderating Islamic
Practices in Contemporary Indonesia,’ with Minako
Sakai, 1-27, in Samina Yasmeen and Minako Sakai
(eds), Narratives of Muslim Womanhood and
Women’s Agency, London, Routledge.
7. 2017. Filantropi Islam: Hubungan Negara dan Agama,
serta Penguatan Masyarakat Sipil, in Islam
Kontemporer di Indonesia dan Australia, edited by
Jamhari Makruf, Badrus Sholeh, Yanuardi Syukur and
Syahmedi Dean, Jakarta: PPIM, pp 270-79.
8. 2016 ‘Menghidupi Filantropi Islam’, Dari Pesantren
untuk Dunia, Kisah-kisah Inspiratif Kaum Santri, ed.
Komaruddin Hidayat, Jakarta: Prenada, pp. 406-439.
9. 2014 ‘Key factors for capacity building of disaster
relief operations: Indonesian examples’ with Minako
Sakai, in Sakai, M. et al. (eds) Agency in Asia Pacific
Disaster Relief: Connectivity, Conflict and Community
Resilience, Routledge, London.
10. 2013 ‘Religious Practices: Zakat (Almsgiving):
Indonesia.’ Encyclopedia of Women & Islamic
Cultures. General Editor Suad Joseph. Brill Online,
2013. Reference.
<http://www.paulyonline.brill.nl/entries/encyclopedi
a-of-women-and-islamic-cultures/religious-practices-
zakat-almsgiving-indonesia-COM_001464>
11. 2012 ‘Dilema Masjid di Lahan bukan Wakaf’, dalam
Status Tanah Masjid Harus Wakaf: Sudut pandang
Empiris dan Hukum Islam, Jakarta: Badan Wakaf
Indonesia, 2012.
12. 2008 ‘Women, Islam and Philanthropy in
Contemporary Indonesia’ edited by Susan Blackburn
et al, Indonesian Islam in a New Era. How Women
Negotiate their Muslim Identities. Monash University
Press, Melbourne, pp.167-190.
13. 2007 ‘Political-Social Movements: Millenarian:
Southeast Asia’, in Encyclopedia of Women and
Islamic Culture, Vol. VI, E.J. Brill, The Netherlands,
pp.71-73.
14. 2006 ‘Challenge and Opportunity of Government
Based Islamic Philanthropic Organization’, in Chaider
S Bamualim, Irfan Abubakar and Cheyne Scott. (eds)
Philanthropy and Social Development, Jakarta: Center
for the Study of Religion and Culture, 2006, pp.31-60.
15. 2004 ‘Darul Islam Movement’ in Southeast Asia: A
Historical Encyclopedia, edited by Ooi Keat Gin, pp.
401-402.
16. 2003 ‘Gerakan Modernisme’ (Modernism Movement)
with Kurniati. In Ensiklopedi Tematis Dunia Islam
(Islamic Thematic Encyclopedia), Vol.5. Asia Tenggara.
Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, pp.347-376.
17. 2003 Struktur Politik Ulama di Indonesia (Political
construction of ‘ulama in Indonesia) with Rahim, H,
Burhanudin, J. In Ensiklopedi Tematis Dunia Islam
(Islamic Thematic Encyclopedia). Vol 5 Asia Tenggara,
edited by Azyumardi Azra, Jakarta, PT Ichtiar Baru Van
Hoeve, pp. 91-103.
18. 2003 Dunia Islam Bagian Timur (Eastern part of the
Islamic World), with Hafsin, A, Abdul Hakim,
Sudarnoto, in Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, Vol 2,
Khilafah, edited by Taufik Abdullah. Jakarta, PT Ichtiar
Baru van Hoeve, 149-195.
19. 2002. ‘Ketegangan antara Kekuasaan dan Aspek
Normatif Filantropi dalam Sejarah Islam di Indonesia’
[Tensions between the Authority and A Normative
Aspect of Philanthropy in the History of Islam in
Indonesia], with A Hermawan. In Berderma untuk
Semua, Praktek dan Wacana Filantropi Islam,
[Philanthropy for All, Practice and Discourse of Islamic
Philanthropy] edited by Idris Thaha. Jakarta: Pusat
Bahasa dan Budaya & Teraju, Pp. 157-89.

(iii) Refereed journal articles

1. 2019 with Gustav Brown (editors), Special Issue, ‘Civil


Islam Revisited: Indonesia and Beyond’. Journal of
Asian Studies Review, 2019.
2. 2019. ‘Review of Soul Catcher: Java’s Fiery Prince
Mangkunagara I, 1726-1795 by MC. Ricklefs.’
Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde", vol
175, issue 2-3, July 2019, p 394-397.
3. 2018. ‘Waqf making and commercial cemeteries:
religious circulation and commodification of the
economy of giving’, The Muslim World. 108, no 4, 1
December 2018, pp. 676-701.
4. 2018. with Till Mostowlansky and Nurfadzilah Yahaya
(editors), Special Issue on ‘Muslim Endowments in
Asia: Waqf, Charity and Circulations,’ The Muslim
World, 108, no 4, December 2018, pp. 587-592.
5. 2018. ‘Review of Islam in Indonesia: The Contest for
Society, Ideas and Values by Carool Kersten’, Journal
Southeast Asian Studies, 49 (1), 159-161.
6. 2017. Islamic Philanthropy in Indonesia:
Modernization, Islamization and Social Justice, ASEAS-
Austrian Journal of South-East Asian Studies, 10(2),
pp. 223-236. (Dec, online).
7. 2017. Penolong Kesengsaraaan Umum, The charitable
activism of Muhammadiyah during the colonial
period. South East Asia Research 1-16. Volume: 25
issue, no 4, 379-394. December 1, 2017.

8. 2017. ‘Review of Jonathan Benthall. Islamic Charities


and Islamic Humanism in the troubled times’, Journal
of Contemporary Islam.
9. 2016. Review of John Casey: The Nonprofit World. Civil
Society and the Rise of the Nonprofit Sector,
VOLUNTAS: International Journal of Voluntary and
Nonprofit Organizations, 1-2. Springer.
10. 2016 (16 February) ‘Performing Muslim Womanhood:
Muslim Business Women Moderating Islamic
Practices in Contemporary Indonesia,’ with Minako
Sakai, Islam and Christian-Muslim Relations,
http://dx.doi.org/10.1080/09596410.2015.1114243.
11. 2013 (April 2013) ‘Islamic orientations in
contemporary Indonesia: Islamism on the Rise?’ with
Minako Sakai, Asian Ethnicity.
DOI:10.1080/14631369.2013.784513.
12. 2012 ‘Pandangan Sivitas Akademika UIN Jakarta atas
Radikalisme Islam’, Mimbar, Vol 28, No 3, pp. 34-54.
13. 2010 ‘Philanthropy, Social Justice and Islamic
Tradition’, Alliance, Vol 15, No 4, Dec 2010, pp 31-32.
https://www.alliancemagazine.org/feature/philanthr
opy-social-justice-and-the-islamic-tradition/
14. 2010 ‘Tukarguling Wakaf: Tinjauan Sosiologis’
(Exchange of Waqfs: Sociological Perspective), jurnal
Awqaf, 10-21.
15. 2010 ‘Sejarah dan Imaginasi Sejarah’ (History and
Historical Imagination), Lektur Keagamaan, Vol 8, No
2, pp. 361-372.
16. 2010 ‘Religious Giving di Indonesia: Studi Kasus
Filantropi Islam’, Dialog, No 69, XXXIII, July 2010, 51-
64.
17. 2007 ‘Perempuan dalam Filantropi Islam’ (Women in
Islamic Philanthropy), journal Galang, Vol 2. No 2,
2007, 54-64.
18. 2004 ‘No Money No Worry; Islamic Civil Society in
Indonesia has a great Role to Play in Community
Development’, In Inside Indonesia, Vol 77, Jan-March
2004, pp. 18-19.
19. Amelia Fauzia. In Search of Justice: Ratu Adil
Movement in Banyumas Residency. In Journal Kultur,
no 1, year 1, December 2000.

(iv) Online Academic Website

The pandemic and shifting practices of Islamic Charity,


published on 28 August 2020 at the Research blog of Asia
Research Institute, National University of Singapore, url
https://ari.nus.edu.sg/20331-43/

Learning from Covid-19 pandemic: Islamic philanthropy in


Indonesia, published on blog Philanthropy for Social Justice
and Peace, 26 August 2020, http://www.psjp.org/learning-
from-covid-19-pandemic-islamic-philanthropy-in-indonesia/
Covid-19 and the Blessings of Online Zakat in Indonesia,
published on the Research blog of Asia Research Institute,
National University of Singapore, 11 June 2020, url
https://ari.nus.edu.sg/20331-16/

12 June 2020. The Covid-19 and the Blessings of Online Zakat


in Indonesia, CoronAsur: Religion and COVID-19, The Asia
Research Institute, National University of Singapore, url:
https://ari.nus.edu.sg/20331-16/

19 November 2018. ‘Islamic Charitable Networks: From


Southeast Asia to the Middle East,’ Insight, Middle East
Institute, 19 November 2018, url
https://mei.nus.edu.sg/publication/insight-194-islamic-
charitable-networks-from-southeast-asia-to-the-middle-east/

31 January, 2018. ‘Indonesian aid to Rakhine State, Myanmar:


Islamic humanitarianism, soft diplomacy, and the question of
inclusive aid’, Oxford Department of International
Development. url:
http://www.qeh.ox.ac.uk/blog/indonesian-aid-rakhine-state-
myanmar-islamic-humanitarianism-soft-diplomacy-and-
question

2018. Hari-hari Indah bersama Leukemia. editor, Yogyakarta:


MataKojiro.

2016. ‘Religion, Citizenship and Democracy in Indonesia: Any


Correlation?’ with Amir Maruf, The Jakarta Post, 16 August.
http://www.thejakartapost.com/academia/2016/08/16/religi
on-citizenship-and-democracy-in-indonesia-any-
correlation.html
2012 ‘Fenomena Masjid di atas Tanah bukan Wakaf: Sebuah
Kajian Empiris’, Bagian pertama (Phenomenon of Mosques on
Waqf Lands: an Empirical Study), Badan Wakaf Indonesia.
http://bwi.or.id/index.php?option=com_content&view=articl
e&id=999%3Amasjid-di-atas-tanah-bukan-wakaf-sebuah-
kajian-empiris&catid=27%3Aopini&Itemid=137&lang=in.
published 09 July.

Fenomena Masjid di atas Tanah Bukan Wakaf: Sebuah Kajian


Empiris (Bagian kedua), Website BWI, url:
http://bwi.or.id/index.php/in/publikasi/artikel/1003-
fenomena-masjid-di-atas-tanah-bukan-wakaf-sebuah-kajian-
empiris-2-.html dimuat pada tanggal 17 Juli 2012.

Fenomena Masjid di atas Tanah Bukan Wakaf: Sebuah Kajian


Empiris (Bagian ketiga)
http://bwi.or.id/index.php/ar/publikasi/artikel/1008-
fenomena-masjid-di-atas-tanah-bukan-wakaf-sebuah-kajian-
empiris-3-habis.html, dimuat pada 26 Juli 2012.

2012 ‘The Face of Japan as Seen through Disaster: Tradition


Living in Modernisation (Religion and Disaster in
Contemporary Japan)’, published online in Japan Foundation
Website, February 7, 2012. http://www.jpf.or.id/artikel/studi-
jepang-pertukaran-intelektual/report-papers-japan-
foundation%E2%80%99s-invitation-program-youn

2017 ‘Religion, citizenship and democracy in Indonesia: Any


correlation?’ with Amir Maruf, The Jakarta Post, 16 August
2016.

2004 ‘Inilah Realitas Politik Indonesia [This is the Reality of


Indonesian Politics]. Media Indonesia newspaper. Jakarta, 7
June.
2001 ‘Mendekati Sistem Kepercayaan Tinjauan Kritis terhadap
The Religion of Java. Potret Sosio-religiusitas Masyarakat
Cirebon’. In Gatra Magazine, no. 24, VII, Mei.

2000. ‘Sejarah Kota yang Langka’. In Gatra, no. 32, VI, June
2000, p. 58.

TEACHINGS EXPERIENCE

1. English, Dutch, and Islamic History, at undergraduate


studies, Faculty of Arts, Syarif Hidayatullah Islamic
University, 2015-2018.
2. Introduction to Islamic Studies, Islamic History and
Social Issues, Research Methodology in Islamic Studies
at Graduate school of UIN Jakarta and Magister
Program of UIN Jakarta.
3. Guest lecture on Islamic history at Teachers’ Training
College of Austria (IRPA) funded by the Austrian
Ministry of Foreign Affairs, June-July 2012.
4. Guest Lecture on Women Islamic Movements in
Indonesia, on Contemporary Islam in South-east Asia,
15 September 2011; Guest lecture on Ziarah on 11
August 2011, both coordinated by Dr. Minako Sakai,
School of Humanities and Social Sciences, UNSW
Canberra.
5. Graduate school of UIN Jakarta, 2010-2012, teaching
subject: Islamic economy in Muslim countries
(including zakat, sedekah and waqf), Religious
education in worlds´ religions; Politics of Arabic
language; Islam and world ideologies; Seminar on
thesis/dissertation proposal.
6. Undergraduate studies at faculty of Arts. Subjects
include: history of Islam in Indonesia, History of Islam
in Southeast Asia, research methodology, Dutch,
English, Seminar on Islam in contemporary southeast
Asia, Intellectual history of Islam in Indonesia, and
Modern history of the Middle East, philology.
7. Guest lecture in The Contemporary Issues on
Indonesia, a course coordinated by assoc professor S.
Adelaar, at University of Melbourne, July 2008. Title of
lecture “Islamic Philanthropy in Indonesia”,
8. Guest lecture, in Contemporary Issues in Indonesia, a
course organized by Asian Studies, University of
Sydney. 1 May 2008. Title of lecture: “Islamisasi di
Indonesia”
9. Guest lecture in Islam and the state, a course at the
Asia Institute, University of Melbourne, coordinated
by Prof. Arief Budiman, 2007. Title of lecture: “Islam
and the State in Indonesia: the Case of Islamic
Philanthropy.”

FACILITATORS, CONSULTANTS

1. Consultant for UNDP program on PROTECT program


2020-2022
2. Facilitator on Islamic philanthropy and health saving
program, various trainings held by Social Trust Fund UIN
Jakarta, in 2011- 2018.
3. Facilitator/trainer on various trainings on religion and
human rights held by the Center for the Study of
Religion and Culture and Konrad Adenauer Stiftung, in
twenty cities in Indonesia, in 2009- 2010.
4. Providing various briefings on Indonesia and Islam for
the Australian Volunteers International, held in
Melbourne, in the period of 2004 to 2007.
Social Trust Fund UIN Jakarta
“Making Philanthropy Work for a Better World for Humanity”
Gedung ex-Farmasi Kampus 1. UIN Syarif Hidayatullah
Jl. Ir. H. Juanda No.95, Ciputat Timur, Tangerang Selatan
Banten, Indonesia, 15412
+62(21) 7499531 socialtrustfund@uinjkt.ac.id

@STF_Uinjkt @stfuinjakarta Social Trust Fund UIN Jakarta

Anda mungkin juga menyukai