Anda di halaman 1dari 13

Kata Pengantar

Assalamu’alaikum Wr. Wb.


            Alhamdulillah dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT yang
Maha Pengasih dan Maha Penyayang yang telah memberikan rahmat, hidayah dan
inayahnya kepada kami, sehingga dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini
tentang “Filantropi Islam”
Makalah ini merupakan salah satu tugas yang di berikan kepada kami dalam
rangka pengembangan dasar ilmu Pengantar Studi Islam yang berkaitan dengan
Filantropi Islam . Selain itu tujuan dari penyusunan makalah ini juga untuk
menambah wawasan tentang pengetahuan Islam secara meluas. Sehingga besar
harapan kami, makalah yang kami sajikan dapat menjadi konstribusi positif bagi
pengembang wawasan pembaca.
            Akhirnya saya menyadari dalam penulisan makalah ini jauh dari
kesempurnaan. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati saya menerima kritik
dan saran agar penyusunan makalah selanjutnya menjadi lebih baik .Semoga laporan
ini memberi manfaat bagi banyak pihak. Amiin.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Yogyakarta , 15 Desember 2015

Penulis
Daftar Isi
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Merupakan prinsip dasar Islam, bahwa seorang muslim yang tergolong
mampu dalam hal harta diperintahkan oleh Allah SWT untuk berbagi dan
menolong kepada sesamanya umat muslim . Maknanya adalah jelas bahwa hal itu
sudah tidak terlalu asing lagi, apalagi di Indonesia . Sudah banyak lembaga-
lembaga di Indonesia yang membantu menaungi dana bantuan kita misalnya
seperti Domper Dhu’afa , LAZIZ Muhammadiyah , Yayasan Dana Sosial ,
Yayasan Daarut Tauhid , Yayasan Sosial Ummul Quro’ , Baitul Mal , Rumah
Zakat , Bank Mu’amalat , dll. Oleh sebab itu tak ada lagi halangan kita untuk
tidak berbagi kepada sesama .

B. Rumusan Masalah
a) Pengertian filantropi
b) Sejarah filantropi
c) Konsep filantropi
d) Macam-macam filantropi
e) Praktik filantropi di muhammadiyah
f) Ruang lingkup filantropi
C. Tujuan
Mahasiswa mengetahui tentang
a) Pengertian filantropi
b) Sejarah filantropi
c) Konsep filantropi
d) Macam-macam filantropi
e) Praktik filantropi di muhammadiyah
f) Ruang lingkup filantropi
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Filantropi
Istilah Filantropi berasal dari bahasa latin, philanthropia, atau bahasa Yunani,
Philo dan Anthropos, yang berarti “cinta manusia’. Filantropi Adalah kepedulian
seseorang atau sekelmpok orang kepada orang lain berdasarkan kecintaan pada
sesame manusia. (Melayani ummat, Hilman Latief). Adapun menurut sifatnya
dikenal dua bentuk Filantropi, yaitu Filantropi Tradisional dan Filantropi Modern.
Filantropi Tradisional adalah filantropi berbasis Karitas (Charity) atau belas
kasihan yang pada umumnya di masyarakat dikenal dengan bentuk pemberian
para dermawan kepada kaum miskin untuk membantu kebutuhan makanan,
pakaian, tempat tinggal, dan lainnya. Dengan demikian orientasi Filantropi
Tradisional lebih bersifat individual dalam konteks luas (makro) Filantropi
Tradisional hanya mampu mengobati penyakit kemiskinan, akibat ketidakadilan
struktur. Adapun Filantropi Modern yang lazim disebut Filantropi pembangunan
social dan keadilan social dengan kata lain menjembatani antara si kaya dan si
miskin dengan orientasi pada perubahan institusional dan sistematik. Sejarah
Filantropi di Indonesia, berawal dari unsur Filantropi Tradisional yang bersumber
dari agama baik Kristen maupun Islam. Filantropi kegamaan di Indonesia terkait
dengan kegiatan misionaris dan dakwah. Kegiatan penyebaran agama dilakukan
dengan penyediaan pelayanan social terutama pendidikan, kesehatan, dan
kesejahteraan social (pantipanti sosial). Secara normatif filantropi dalam Islam
sudah sangat jelas di bahasakan didalam Al-Qur’an dan Al Hadits. Yang
setidaknya kita mengenal minimal ada dua tradisi kedermawanan (filantropi)
yakni kedermawanan bersifat wajib berbentuk zakat, dan kedeemawanan bersifat
tidak wajib (sunnah) seperti melaksnakan infaq, sedekah, dan wakaf.

B. Sejarah Gerakan Filantropi


Sejarah menunjukkan bahwa sesungguhnya pada masa awal-awal Islam,
lembaga-lembaga filantropi telah berdiri. Ada satu inklinasi (kecenderungan) di
kalangan para penguasa Muslim, sejak Daulah Abbasiyah hingga Turki Usmani,
yang selalu mengejawantahkan filantropi mereka dalam pelbagai bentuk
kelembagaan khususnya pendidikan dan madrasah. Kasus Madrasah Nizhamiyah
di Baghdad abad ke-10 dan ke-11 layak menjadi acuan, dimana pemerintah
memberikan support dana atas semua kegiatan secara maksimal. Pendirian
madrasah tersebut merupakan religious endowment (sedekah) dari penguasa pada
masa itu. Begitu pula Dinasti Turki Usmani pada abad ke-18 dan ke-19 M.,
menunjukkan religious endowment yang begitu besar dalam bentuk scholarly
endowment (bantuan beasiswa). Pemerintah Turki Usmani menyisihkan sejumlah
tertentu dari anggaran belanjanya untuk kepentingan beasiswa para penuntut ilmu
di kota-kota pusat keilmuan seperti Kairo, Makkah, dan Madinah.
Kita juga dapat belajar tentang filantropi Islam ini dari Universitas Al-Azhar,
Mesir. Al-Azhar adalah sebuah lembaga pendidikan yang amat kaya. Hal itu dapat
dilihat dari harta wakafnya dan juga hasil-hasil usaha lainnya. Aset Al-Azhar amat
melimpah, hal itu belum termasuk ZIS (zakat, infak, sedekah), yang terjadi
sampai tahun 1961. Pemerintah Mesir kala itu juga amat segan dengan eksistensi
Al-Azhar. Namun demikian, Presiden Mesir saat itu, Gamal Abdul Nasser,
tampaknya sangat menyadari kekuatan baru yang tersembunyi di Al-Azhar. Ia
kemudian melakukan nasionalisasi secara paksa atas seluruh harta wakaf Al-
Azhar. Selanjutnya Al-Azhar dijadikan bagian dari struktur negara; Syaikh Al-
Azhar diangkat sebagai pejabat setingkat perdana menteri dan digaji oleh negara.
Akhirnya masyarakat menilai bahwa Al-Azhar tidak lagi menjadi lembaga
independen atau menjadi kekuatan penyeimbang kekuasaan. Sampai sekarang,
dibawah pemerintahan Husni Mubarak, Al-Azhar dikooptasi dan menjadi bagian
negara. Di Indonesia sendiri, filantropi ini mulai menguat dalam pelbagai
bentuknya kira-kira pada abad ke-19 M. Hal itu ditandai oleh pertumbuhan
madrasah-madrasah, termasuk dengan pertumbuhan pesantren-pesantren. Pada
abad ke-20 M., sekolah-sekolah Islam, Muhammadiyah, Nahdatul Ulama (NU),
dan sejenisnya, sangat terkait dengan philantrophism tersebut.
Pada tahun 90-an, eksistensi filantropi di Indonesia terlihat semakin
membaik. Hal tersebut terlihat tidak saja pada pendirian masjid, pesantren,
maupun madrasah, tapi juga penyaluran beasiswa untuk para penuntut ilmu.
Tentu saja hal ini merupakan fenomena yang menggembirakan dibanding dengan
yang terjadi di Timur Tengah. Jika ada orang kaya Arab yang ingin
menyumbangkan uangnya, kebanyakan mereka memilih membangun masjid
ketimbang memberikan uangnya untuk berbagai ragam penelitian ilmiah dan
pembiayaan pendidikan mahasiswa. Padahal untuk konteks Indonesia, pemberian
beasiswa jauh lebih signifikan dibanding dengan membangun masjid. Mengingat
di Indonesia sudah banyak masjid, itupun tidak sedikit yang kosong. Apalagi di
benak sebagian besar umat Islam tersimpan keyakinan bahwa orang yang
membangun masjid akan pula dibangunkan untuknya rumah di surga kelak.
Karenanya, pelbagai bentuk terobosan baru di dalam filantropi Islam dalam
rangka merealisir keadilan sosial perlu ditingkatkan. Filantropi itu diharapkan
tidak saja memberikan terobosan-terobosan baru dalam bentuk kelembagaannya,
tetapi dalam ranah interpretasi doktrinalnya. Hal itu tentu saja akan menjadi
sebuah landasan normatif baru yang mengarah pada kemakmuran secara luas.
Akibatnya seorang penderma merasa senang dan nyaman, sementara pihak-pihak
yang layak dibantu mendapatkan hak-haknya. Karena itu, eksistensi filantropi
Islam ini sangat menantang, kaitannya tidak hanya pada kemakmuran material,
tapi juga pencerdasan masyarakat melalui beragam beasiswa bagi para peserta
didik di setiap level pendidikan. Allahu a’lam.

C. Konsep Filantropi Islam


Terdapat tiga konsep utama mengenai Filantropi Islam di antaranya pertama,
kewajiban Agama, moralitas agama, keadilan sosial. Konsep pertama tersebut
menjadi panduan umum, konsep kedua berkaitan dengan moralitas sosial, dan
konsep ketiga menyentuh inti tujuan dari Filantropi dan Agama itu sendiri, yaitu
keadilan sosial. Banyaknya aya-ayat dalam Al-Qur’an tentang masing masing
konsep tersebut memiliki korelasi yang signifikan dengan makna dan ide yang
terkandung didalamnya. Yang paling dasar adalah kewajiban agama, dimana
jumlah ayatnya paling banyak. Diatasnya ada ayat-ayat tentang moralitas agama,
dan yang paling sedikit adalah ayat-ayat tentang keadilan sosial. Muhammadiyah
dan gerakan Filantropinya sejak berdiri hingga memasuki abad ke 2 tidak
meninggalkan spirit kemanfaatan jariyah hal ini terbukti di awal berdirinya
Muhammadiyah, founding fathers K.H. Ahmad Dahlan dengan gagasan sosial
melihat realitas kauman berujung kepekaaan sosial (keshalihan sosial) hingga
terbentuklah Muhammadiyah salah satunya salah satu lembaga yang memiliki
peran penting dalm membentuk citra Muhammadiyah sebagai gerakan sosial
adalah PKO (Penolong Kesengsaraan Oemoem). PKO hanyalah sebuah unit
kegiatan kesehatan poliklinik untuk masyarakat. Unit ini didirikan untuk
memberikan pelayanan kesehatan dan kesejahteraan kepada kaum dhuafa
disekitar kota Yogyakarta. Dan berbagai upaya Filantropi lainnya baik berupa
panti asuhan dan sebagainya. Abad ke-2 Muhammadiyah dengan lantang
menyuarakan bakti untuk negeri “Ta’awun Untuk Negeri” sebagai upaya praksis
Filantropi sebagai Gerakan Reflektif melalui
MDMC, LAZISMU, MPM. Menjadi peranan penting mengarungi abad ke-2
Muhammadiyah. Filantropi sebagai wujud Gerakan Reflektif, tentunya upaya –
upaya Filantropi yang terus berorientasi pada pemberdayaan masyarakat dengan
tujuan terciptanya keberfungsian social tidak hanya sebatas ritual mengatas
namakan Filantropi yang sejatinya hanya sebuah eksistensi gerakan social tanpa
ada upaya pendampingan dan pemberdayaan. Akhirnya upaya Filantropi akan
mampu menjadi Gerakan Reflektif ketika Filantropi berorientasi kepada
keberfungsian sosial masyarakat yang berkeadaban tentunya melalui perubahan
institusional yang sistematik.(ditulis oleh Baharuddin Rohim)

D. Macam - macam Gerakan Filantropi


1. Filantropi tradisional adalah filantropi berbasis karitas (charity) atau belas
kasih yang pada umumnya di kenal masyarakat dengan bentuk pemberian
para dermawan kepada kaum miskin untuk membantu kebutuhan makanan,
pakaian, tempat tinggal dan lainnya. Filantropi tradisional bersifat individual
dalam konteks luas atau makro hanya mampu mengobati penyakit
kemiskinan akibat ketidak adilan struktur.
2. Filantropi modern disebut juga filantropi pembangunan sosial dan keadilan
sosial dengan kata lain menjembatani antara si kaya dan si miskin dengan
orientasi pada perubahan institusional dan sistematik.

E. Praktik Filantropi di Muhammadiyah


Sebagai pelopor gerakan pembaruan di Indonesia, Muhammadiyah di abad
pertamanya sukses melakukan gerakan reformasi keagamaan. Menurut kajian
Alfian dalam Politik Kaum Modernis (2010), masa-masa kejayaannya
berlangsung 1934-1942. Di tengah pusaran politik itu, Muhammadiyah dibalik
kekuatannya menyambut modernisme Islam. Organisasi ini mendapat tempat
begitu penting dengan caranya yang unik. Masih dalam catatan Alfian (2010: 4)
terutama dalam politik Indonesia, walaupun dengan karakter non politiknya yang
nyata sebagai gerakan sosio-relijius, Muhammadiyah tidak mampu menghindar
terlibat dalam politik.
Sejauh itu, transformasi gerakan modern yang diusungnya menampilkan
wajah gerakan Islam puritan yang ditandai dengan ikhtiar memperkuat majelis
tarjih yang intens mengupas soal fikih dan bertalian dengan responnya terhadap
gejala TBC yang meradang dalam tradisi, adat dan budaya Jawa. Menurut
Ahmad Najib Burhani, strategi gerakan dakwah yang dilancarkan
Muhammadiyah tidak bisa dilepaskan dari identitas Jawa. Dicatat dalam bukunya
Muhammadiyah Jawa (2010) bahwa selain melancarkan agenda pembaruan,
upaya penolakan praktik-praktik mistis dengan virus TBC semakin melapangkan
Muhammadiyah untuk mendirikan sekolah dan lembaga-lembaga sosial termasuk
PKO dalam mengikis penyakit itu.
Dengan ditopang oleh perilaku kedermawanan (filantropi) lembaga
pendidikan, sosial dan kesehatan berdiri mengiringi masa kejayaannya hingga 1
abad perjalanannya. Muhammadiyah tumbuh di pelosok nusantara dengan amal
usaha yang terus berkembang. Manfaatnnya telah dirasakan hingga detik ini.
Tentu masing-masing daerah memiliki tantangan dakwah yang berbeda-beda,
tidak sama saat Kiai Haji Ahmad Dahlan pertama kali dakwah di Kauman,
Yogyakarta.
Pada abad pertama itu, lembaga pendidikan, kesehatan dan tabligh dalam
aspek sosiologis sukses mencuri perhatian. Hajriyanto Y Thohari, menyebut
gerakan awal itu sebagai trisula lama yang perlu dipertahankan. Hanya saja di
jaman yang sudah begitu cepat berubah ini, Muhammadiyah sejatinya dapat
mereproduksi makna gerakannya yang lebih segar. Kendati demikian, di awal
gerakannya Muhammadiyah memberikan perhatian penuh kepada kelompok
miskin-dhuafa. Aksi-aksi pelayanan Muhammadiyah dicurahkan untuk
memberikan pemberdayaan kepada masyarakat miskin dan membutuhkan.
Bedirinya rumah sakit, panti asuhan, sekolah lebih banyak didedikasikan untuk
menolong mereka yang mustadz’afin.
Bahkan perhatian kepada orang miskin dan dhuafa menjadi prioritas gerakan
Muhammadiyah. Dalam perkembangannya, muhammadiyah tumbuh menjadi
besar. Tidak hanya lembaga sosial, pendidikan dan tabligh yang berdiri kokoh.
Saat ini, Muhammadiyah memiliki lembaga zakat, infak dan sedekah (filantropi),
majelis pemberdayaan masyarakat dan lembaga penanggulangan bencana.
Hajriyanto Y. Thohari menyebutnya sebagai trisula baru gerakan
Muhammadiyah. Artinya potensi gerakan sosial dan dakwah Muhammadiyah ke
depan akan semakin besar di luar isu-isu strategis dan ke-Islaman (kalam jadid).
Dalam konteks ini, masih segar ingatan kita terutama Muktamar
Muhammadiyah di Makassar kemarin, Lazismu bersama bersama Program Studi
Muamalah-Ekonomi dan Perbankan Islam (EPI)-Fakultas Agama Islam UMY,
Lembaga Penelitian, Publikasi dan Pengembangan Pendidikan (LP3M) UMY
dalam paparan publiknya (public expose) perihal Perilaku dan Potensi Filantropi
Warga Muhammadiyah yang berlangsung 4 Agustus 2015, merilis hasil
surveinya di 11 kota besar di Indonesia, yaitu Padang, Pekanbaru, Jakarta,
Bandung, Yogyakarta, Surakarta, Surabaya, Mataram, Makasar, Pontianak, dan
Balikpapan.
Berdasarkan hasil temuannya, Hilman Latief, mengtaakan, perilaku umum
berderma dari warga Muhammadiyah sebagai warga kelas menengah Muslim
Indonesia menunjukkan bahwa mayoritas pengeluaran zakat, infak dan sedekah
(ZIS) sebanding dengan tingkat pendapatan mereka. Donasi ZIS yang dikeluarkan
pada kisaran 2,5 % dari pendapatan. Kendati demikian, penelitian ini juga
mencatat bahwa pendapatan yang tinggi itu tidak menjamin berdermanya juga
tinggi, begitu sebaliknya. Yang berpendapatan rendah nominal berdermanya ada
yang di atas 10 % dari total pendapatannya, kata Hilman.
Dalam temuan yang lain, Hilman memaparkan sekitar 41,2 % warga
muhammadiyah menyalurkan ZIS melalui dua lembaga. Dan sekitar 22,3 % saja
hanya melalui satu lembaga. Di luar itu, ada warga yang menyalurkan donasinya
langsung kepada mustahiq. Jumlah orangnya tergolong cukup besar sekitar 30,8
%. Sementara itu, 81 % warga muhammadiyah mengaku menyalurkan ZIS
dengan cara tunai. Selebihnya, memanfaatkan layanan jemput zakat dan cara
transfer belum dimanfaatkan secara optimal oleh warga Muhammadiyah.
Selain itu, kecenderungan mayoritas warga lebih suka menyalurkan ZIS-nya
dengan datang langsung ke lembaga amil zakat. Tidak sedikit pula warga
menyalurkan sendiri zakatnya kepada mustahik, sekitar 28,44 %. Yang menarik
dari hasil temuan Hilman Latief bersama Tim Survei adalah jumlah potensi
filantropi dari AUM. Seperti sekolah mampu menyisihkan dana sosialnya kurang
dari 50 juta per tahun, sedangkan sebagian lainnya 250500 juta. Bahkan ada yang
di atas 1-2 miliyar pe rtahun seperti rumah sakit dan perguruan tinggi
Muhammadiyah yang besar. Berdasarkan kapasitas yang dimiliki AUM,
setidaknya terdapat potensi dana filantropi yang jika dihimpun lebih dari 365
miliyar rupiah dan dapat dimanfaatkan setiap tahunnya.
Bila mampu disinergikan dengan majelis dan lembaga yang ada di
Muhammadiyah, tidak mustahil gelombang baru gerakan Muhammadiyah dapat
segera terwujud dengan dukungan penuh kekuatan filantropi. Tugas
pemberdayaan adalah tugas kemanusiaan. Oleh Karena itu, sebagai gelombang
baru gerakan Muhammadiyah pemberdayaan warga atau masyarakat penting
dilakukan untuk menjalin kekuatan komunikasi dan memupuk kesadaran kritis
sesama warga Muhammadiyah dan masyarakat sekitarnya.(ditulis oleh Nazhori
Authar)

F. Ruang Lingkup Filantropi Islam di Indonesia


Ruang lingkup mengandung arti luasnya subjek yang tercakup. Ruang
lingkup filantropi yang di kenal luas mencakup kegiatan Zakat, Infaq, Shadaqoh,
dan Wakaf.
1.      Zakat
Menurut malik Ar-rahman, zakat berarti al-barakatu (kebrekahan).
Sedangkan menurut terminology syariah, zakat merupakan kewajiban atas
sejumlah harta tertentu dalam waktu tertentu. Harta yang di keluarkan
zakatnya akan menjadi berkah, tumbuh, berkembang dan tambah, suci dan
membawa kebaikan
2.      Infaq
Infaq berasal dari kata anfaqa yang berarti mengeluarkan sesuatu (harta)
untuk kepentingan sesuatu. Menurut terminologi syariah  infaq berarti
mengeluarkan sebagian dari harta atau pendap[atan (penghasilan) untuk
suatu kepentingan yang di perintahkan ajaran islam. Orang yang
mengeluarkan infaq adalah munfiq.
3.      Sedekah
Sedekah berasal dari kata shadaqa yang berarti benar.orang yang suka
bersedekah adalah orang yang benar pengakuan imannya. Menurut
etimologi sedekah = infaq, termasuk juga ketentuan dan hukumnya.
4.      Wakaf
Wakaf dikatakan sebagai jenis ibadah maliyah yang spesifik. Asal katanya
dari kata wa-ka-fa yang artinya tetap atau diam. Maksudnya bahwa
seseorang menyerahkan harta yang tetap ada terus wujudnya namun selalu
memberikan manfaat dari waktu ke waktu tanpa kehilangan benda aslinya.
G.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
B. Saran
ISLAM DAN ILMU TEKNOLOGI
GERAKAN FILANTROPI

Anda mungkin juga menyukai