Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH HADIST EKONOMI

“ HADIST- HADIST TENTANG FILANTROPI “

DOSEN PENGAMPU: RIZQA AMELIA M. Ag

DISUSUN OLEH: KELOMPOK X

KELAS: MANAJEMEN IV B

LAYLA NURUL SAKINAH (0506193140)

RAUDAH AZZAHRA MANURUNG (0506193139)

MAYA AMELIA (0506193131)

PROGRAM STUDI MANAJEMEN

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUMATERA UTARA

2020/2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah Swt. yang mana telah memberikan penulis
kekuatan serta kelancaran dalam menyelesaikan tugas makalah mata kuliah Hadis-hadis Ekonomi yang
berjudul “Hadis-hadis Tentang Filantropi” dapat selesai seperti waktu yang telah penulis rencanakan.
Tersusunnya makalah ini tentunya tidak lepas dari berbagai pihak yang telah memberikan bantuan
secara materil dan moril, baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu, penulis
mengucapkan terima kasih kepada :

1. Ibu Rizqa Amelia M.Ag selaku dosen mata kuliah Hadis-hadis Ekonomi kelas Manajemen IV B
Universitas Islam Negeri Sumatera Utara.

2. Orang tua yang telah memberikan dukungan dan bantuan kepada penulis sehingga makalah ini dapat
terselesaikan.

3. Teman-teman yang telah membantu dan memberikan dorongan semangat agar makalah ini dapat
diselesaikan.

Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik
dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu penulis harapkan demi kesempurnaan
makalah ini. Akhir kata, penulis sampaikan terima kasih banyak kepada semua pihak yang telah
membantu dalam proses penyusunan makalah ini dari awal hingga akhir. Semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi kita semua yang membacanya.

Medan, 04 Juli 2021

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................................................ii

DAFTAR ISI...........................................................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN........................................................................................................................1

1.2 Latar Belakang....................................................................................................................................1

2.2 Rumusan Masalah..............................................................................................................................1

2.3 Tujuan Penulisan................................................................................................................................1

BAB II PEMBAHASAN..........................................................................................................................2

2.1 Pengertian Filantropi Secara Umum...................................................................................................2

2.2 Pengertian Filantropi Islam.................................................................................................................2

2.3 Sejarah Filantropi Islam......................................................................................................................3

2.4 Bentuk Filantropi Islam......................................................................................................................4

2.5 Hadist-hadist tentang Filantropi.........................................................................................................7

BAB III PENUTUP..................................................................................................................................9

3.1 Kesimpulan.........................................................................................................................................9

3.2 Saran...................................................................................................................................................9

DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................................................iv

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Perilaku manusia berasal dari dorongan yang ada dalam diri manusia, sedangkan dorongan
merupakan usaha untuk memenuhi kebutuhan yang ada dalam diri manusia. Perilaku juga dapat disebut
dengan akhlak, karena akhlak adalah sifat-sifat yang dibawa manusia sejak lahir yang tertanam dalam
jiwanya dan selalu ada padanya. Perilaku merupakan perwujudan dan adanya kebutuhan. Perilaku
dikatakan wajar apabila ada penyesuaian diri yang harus diselaraskan peran manusia sebagai individu,
sosial, dan ketuhanan. Faktor-faktor yan mempengaruhi perilaku manusia adalah keturunan dan
lingkungan. Ilmu pengetahuan juga dapat mempengaruhi perilaku. Karena perilaku merupakan sesuatu
yang muncul dari pengetahuan.

Perilaku manusia berkenaan dengan diri sendiri dan sosial, perilaku filantropi merupakan salah satu
yang berkenaan dengan sosial. Dalam kamus ensiklopedia Inggris, filantropi diartikan sebagai affection
for mankind yang artinya kasih sayang untuk umat manusia. Jadi, pengertian perilaku filantropi adalah
tindakan sukarela untuk kepentingan publik.

Merupaka prinsip dasar Islam, bahwa seorang Muslim yang tergolong mampu dalam hal harta
diperintahkan oleh Allah Swt. untuk berbagi dan menolong kepada sesama umat Muslim. Maknanya
adalah jelas bahwa itu sudah tidak terlalu asing lagi, apalagi di Indonesia. Sudah banyak lembaga-
lembaga di Indonesia yang membantu menaungi dana bantuan kita seperti Dompet Dhuafa, Laziz
Muhammadiyah, Yayasan Dana Sosial, Yayasan Daarut Tauhid, dan lain-lain. Oleh sebab itu tidak ada
lagi halangan kita untuk tidak berbagi kepada semua.

1.2 Rumusan Masalah


a. Apa pengertian filantropi secara umum?
b. Apa pengertian filantropi Islam?
c. Bagaimana sejarah filantropi Islam?
d. Bagaimana bentuk filantropi Islam?
e. Bagaimana bunyi hadis-hadis tentang filantropi?
1.3 Tujuan Penulisan
a. Untuk mengetahui pengertian filantropi secara umum
b. Untuk mengetahui filantropi Islam
c. Untuk mengetahui sejarah filantropi Islam
d. Untuk mengetahui bentuk filantropi Islam
e. Untuk mengetahui hadis-hadis tentang filantropi

1
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Filantropi Secara Umum

Kata filantropi berasal dari kata Yunani, yaitu dari kata philo yang artinya cinta dan anthrophos
yang artinya manusia (Sulek, 2010: 386). Filantropi itu sendiri lebih dekat maknanya dengan charity,
kata yang berasal dari Bahasa Latin (caritas) yang artinya cinta tak bersyarat (unconditioned love).
Namun, sebenarnya terdapat perbedaan antara kedua istilah tersebut, charity cenderung mengacu pada
pemberian jangka pendek, sedangkan filantropi lebih bersifat jangka panjang (Anheier dan List, 2005:
196, Anderson, 2007: 26).

Makna filantropi di atas telah melahirkan beragam definisi. Filantropi diartikan sebagai
tindakan sukarela personal yang didorong kecenderungan untuk menegakkan kemaslahatan umum
(Friedman dan McGarvie, 2003: 37), atau perbuatan sukarela untuk kemaslahatan umum (Payton dan
Moody, 2008: 6).

Filantropi juga diartikan sebagai sumbangan baik materi maupun non materi untuk mendukung
sebuah kegiatan yang bersifat sosial tanpa balas jasa bagi pemberinya (Anheier dan List, 2005: 196).
Definisi di atas menunjukkan bahwa tujuan umum yang mendasari setiap definisi filantropi adalah cinta
yang diwujudkan dalam bentuk solidaritas sesama manusia (Sulek, 2010: 395).

Dalam bahasa Indonesia, istilah yang cukup sepadan dengan filantropi adalah “kedermawanan
sosial”, istilah yang sebenarnya hampir sama tidak populernya bagi rakyat kebanyakan, yang lebih
paham dengan istilah dan praktek seperti sedekah, zakat mal, zakat fitrah, sumbangan, dan wakaf.
Namun istilah filantropi dipakai karena ada ideologi di belakangnya yang diperjuangkan, seperti halnya
istilah masyarakat madani, civil society, dan gender. Filantropi adalah kedermawanan sosial yang
terprogram dan ditujukan untuk pengentasan masalah sosial (seperti kemiskinan) dalam jangka panjang,
misalnya bukan dengan cara memberi ikan tetapi memberi kail dan akses serta keadilan untuk dapat
memancing ikan.

2.2 Pengertian Filantropi Islam

Kata “filantropi” merupakan istilah baru dalam Islam, namun demikian belakangan ini
sejumlah istilah Arab digunakan sebagai padanannya. Filantropi kadang-kadang disamakan dengan al-
‘ata’ al-ijtima’i yang artinya pemberian sosial, al-takaful al-insani yang artinya solidaritas
kemanusiaan, ‘ata’ khayri yang artinya pemberian untuk kebaikan, atau sadaqah yang artinya sedekah
(Ibrahim, 2008: 11). Istilah sadaqah sudah dikenal dalam Islam, tetapi istilah filantropi Islam merupakan
pengadopsian kata pada masa sekarang.

2
Filantropi yang diwujudkan oleh masyarakat Islam awal sampai sekarang dalam berbagai
bentuk, seperti wakaf, shadaqah, zakat, infak, hibah dan hadiah.

2.3 Sejarah Filantropi Islam

Dalam perkembangan sejarah Islam, kegiatan filantropi ini dikembangkan dengan berdirinya
lembaga-lembaga yang mengelola sumber daya yang berasal dari kegiatan filantropi yang didasari
anjuran bahkan perintah yang terdapat dalam Alquran dan Hadis. Selanjutnya lembaga filantropi ini
semakin menunjukkan signifikansinya, di antaranya karena perannya dalam upaya mengurangi
kesenjangan sosial (ekonomi) dalam masyarakat, begitu juga dalam bidang pendidikan, yang memiliki
misi dakwah dan penyebaran ilmu. Lebih jauh munculnya berbagai lembaga pendidikan Islam, baik
yang disebut madrasah, maupun zawiyah tidak dapat dipisahkan dari peran filantropi Islam.1

Sejarah panjang Islam di Nusantara memperlihatkan praktik kedermawanan menjadi sentral


dalam kehidupan masyarakat. Kedermawanan ini menyerap nilai-nilai lokal serta ajaran Islam yang
dibawa oleh para pedagang serta guru sufi dan dai baik secara langsung dari jazirah Arabia maupun dari
tempat lain. Praktik filantropi semakin lama semakin kuat mengakar sebagai tradisi, dan bertahan
bahkan menjadi semakin penting pada periode modern.

a. Filantropi pada masa pra modern (Kerajaan Islam)

Pada periode ini, praktik filantropi Islam telah muncul sejak periode awal datangnya Islam di
Nusantara, dan terus berlangsung seiring dengan perkembangan Islam. Eksistensi civil society Muslim
sudah ada, walau masih pada tahap rendah, yaitu dipresentasikan oleh kelompok independen seperti
ulama, tarekat, lembaga pengelola wakaf, dan masjid. Pada masa ini hubungan antara masyarakat sipil
dan penguasa sangat beragam, disebabkan karena beragamnya model kekuasaan yang ada, serta
perbedaan wilayah dan periode di Nusantara zaman pra-modern (abad ke-13-19 M). Ada kerajaan yang
sangat ketat memberlakukan zakat di bawah sentralisasi kerajaan (misalnya kerajaan Aceh dalam
beberapa periode sultan), ada kerajaan yang hanya mengatur pajak saja, sedangkan semua praktik
kedermawanan berbasis agama diserahkan kepada masing-masing individu dan ulama (kerajaan
Mataram Islam), dan ada pula kerajaan yang memang lebih mementingkan pajak ketimbang zakat
(Kerajaan Islam Banjar). Sejalan pada masuk abad ke 19 dan 20 M, berangsur-angsur terdapat
kecenderungan penurunan jumlah pengelolaan zakat yang awalnya diberikan kepada kerajaan (otoritas
publik lokal), menjadi diserahkan kepada pemuka agma lokal serta lembaga non negara/kerajaan, atau
diberikan langsung kepada fakir miskin dan lembaga non pemerintah.2

b. Filantropi Islam masa pemerintahan non-muslim (Kolonial Belanda)

1
Abdiansyah Linge.Filantropi Islam Sebagai Instrumen Keadilan Ekonomi. (Jurnal Perspektif Ekonomi
Darussalam: 2015) Vol. 1 No. 2 hal 158.
2
PPLM UIN JAKARTA. Islam Kontemporer di Indonesia dan Australia. Australia Global Alumni, hal 275.

3
Pada perode ini diluar dugaan, civil society menjadi kuat dan modern akibat negara yang sekular
dan politik tidak turut campur kolonial Belanda untuk urusan agama dan filantropi (dana masyarakat).
Pada masa ini juga terjadi proses ‘privatisasi’ yaitu transformasi zakat menjadi kedermawanan yang
bersifat individu, terpisah dari pengelolaan negara. Pesantren, masjid dan kemudian panitia-panitia
kegiatan kedermawanan serta organisasi modern berperan menjadi pusat-pusat filantropi masyarakat
dan menjadi bukti atas munculnya masyarakat sipil Muslim. Selain itu, masa ini memperlihatkan dua
tipe tradisi filantropi:

1) Pedesaaan, yang menjadi figurnya adalah pesantren, masjid dan ulama tradisional
2) Tradisi Urban, yang menjadi figurnya adalah organisasi kemasyarakatan Islam Modernis.

Kedua tradisi ini sama-sama memiliki sifat-sifat yang independen dari negara (walau tidak
sepenuhnya). Masa kolonial Belanda juga memunculkan praktik filantropi Islam yang infklusif dan
humanis, ditujukan untuk yang membutuhkan tidak membedakan kelompok dan agama.3

c. Filantropi Islam pada masa pemerintahan Indonesia (sejak kemerdekaan hingga saat ini)

Organisasi filantropi berkembang pesat setelah Indonesia merdeka, khususnya pada periode
reformasi. Namun organisasi bukanlah satu-satunya faktor yang menentukan kekuatan civil society
karena negara juga intervensi dan terlibat mengelola filantropi. Walau demikian, kelompok civil society
Muslim semakin kuat dan modern, berupaya membawa filantropi supaya ada di bawah pengaruh civil
society. Mereka bersaing dengan kekuatan pemerintah dan sesama organisasi civil society lain yang
menginginkan zakat dan aktivitas filantropi dikelola oleh negara. Karena itu, pada masa modern,
organisasi civil society dan para aktivis zakat dalam hal ini terbelah, ada yang mendukung pemerintah
untuk mengelola dan sentralisasi zakat beberapa dengan pemahaman dan kepentingan mereka sendiri-
atau ada yang menentang usaha pemerintah untuk campur tangan dan mengelola zakat dan urusan
filantropi Islam. Persaingan/kontestasi antara negara dan civil society ini memanas dan sepertinya akan
tetap berlanjut untuk urusan yang terkait dengan agama dan filantropi.4

2.4 Bentuk-bentuk Filantropi Islam

a. Zakat

Zakat merupakan komponen utama kebijakan fiskal dalam ekonomi Islam. Dana zakat merupakan
sumber pertama dan terpenting dari penerimaan negara, pada awal pemerintahan Islam (Shaikh, 2010:
1-18). Pada beberapa ayat Al-Quran zakat beberapa kali di sejajarkan dengan kewajiban shalat. Hal ini
memang tidak diherankan karena zakat pun menjadi salah satu dari lima perkara yang harus dilakukan
oleh seorang muslim, dimana Nabi Muhammad Saw., bersabda, “Islam dibangun di atas lima perkara:

3
PPLM UIN JAKARTA. Islam Kontemporer di Indonesia dan Australia. Australia Global Alumni, hal 275-276.
4
PPLM UIN JAKARTA. Islam Kontemporer di Indonesia dan Australia. Australia Global Alumni, hal 276.

4
bersaksi bahwa tiada Ilah yang berhak disembah selain Allah dan Nabi Muhammad utusan Allah,
menegakkan shalat, menunaikan zakat, melaksanakan haji, dan puasa Ramadhan.” (HR. Bukhari dan
Muslim).

Konsep zakat secara mendasar tidak mengalami perubahan yang signifikan dari waktu ke
waktu. Hal yang membedakan hanyalah masalah operasional penghimpunan dan pemberdayaan dana
zakat, karena konsep fikih zakat menyebutkan bahwa sistem zakat berusaha untuk mempertemukan
pihak surplus muslim dengan pihak defisit muslim. Hal ini dengan harapan terjadi proyeksi pemerataan
pendapatan antara surplus dan defisit muslim atau bahkan menjadikan kelompok yang defisit (mustahik)
menjadi surplus (muzakki) (Nasution dan Wibisono, 2005: 48).

Perkembangan kajian dan pembahasan tentang zakat di Indonesia telah memasuki babak baru
pasca disahkannya Undang-Undang nomor 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat. Dalam Undang-
Undang tersebut, zakat didefinisikan sebagai harta yang wajib disisihkan oleh seorang muslim atau
badan yang dimiliki oleh orang muslim sesuai dengan ketentuan agama untuk diberikan kepada yang
berhak menerimanya. Zakat adalah bagian dari harta dengan persyaratan tertentu, yang Allah Swt.
mewajibkan kepada pemiliknya, untuk diserahkan kepada yang berhak menerimanya, dengan
persyaratan tertentu pula. Dengan pemahaman ini, zakat dapat dikategorikan sebagai ibadah maaliyah
ijtima’iyyah, artinya ibadah di bidang harta yang memiliki kedudukan yang sangat penting dalam
membangun masyarakat (Syafei, 2015: 155-164).

Menurut Chapra (1992: 1-4), zakat adalah instrumen pemerataan pendapatan dan kekayaan.
Zakat merupakan tindakan bantu diri sosial yang mendapat dukungan kuat dari agama untuk menolong
orang-orang miskin dan yang tidak beruntung yang tidak mampu berdiri sendiri sehingga
menghapuskan penderitaan dan kemiskinan dari masyarakat muslim. Zakat bukanlah pengganti bagi
program pembiayaan diri yang dibuat dalam masyarakat modern untuk menyediakan perlindungan
jaminan sosial bagi pengangguran, kecelakaan, manula dan kesehatan, lewat pengurangan dari gaji
pekerja dan kontribusi majikan. Hikmah dan manfaat zakat tersebut diantaranya:

1) sebagai perwujudan keimanan kepada Allah Swt., mensyukuri nikmat-Nya, menumbuhkan akhlak
mulia dengan rasa kemanusiaan yang tinggi;
2) membantu dan membina mustahik, terutama fakir miskin, ke arah kehidupan yang lebih baik dan
lebih sejahtera, sehingga mereka dapat memenuhi kebutuhan hidupnya dengan layak, dapat
beribadah kepada Allah Swt.;
3) sebagai pilar amal bersama antara orang-orang kaya yang berkecukupan hidupnya dan para
mujahid, serta menjadi salah satu bentuk konkret dari jaminan sosial yang disyariatkan oleh ajaran
Islam;
4) sebagai salah satu sumber dana bagi pembangunan sarana maupun prasarana umat Islam;

5
5) untuk memasyarakatkan etika bisnis yang benar, sebab zakat itu bukanlah membersihkan harta yang
kotor, akan tetapi mengeluarkan bagian dari hak orang lain dari harta kita yang kita usahakan
dengan baik dan benar;
6) merupakan salah satu instrumen pemerataan pendapatan; dan
7) mendorong umat Islam untuk mampu bekerja dan berusaha sehingga memiliki harta kekayaan
untuk bekal beribadah (Hafidhuddin, 2002: 11).5

b. Infak

Secara bahasa, kata infak berarti hal menafkahkan, membelanjakan, dan berarti pula
mengeluarkan sesuatu (harta) untuk kepentingan sesuatu. Sedang kan menurut terminologi syariat,
infak berarti mengeluarkan sebagian harta untuk suatu kebaikan yang diperintahkan Allah SWT
(Djuanda, dkk., 2006: 11). Atau infak adalah pengeluaran suka rela yang dilakukan seseorang, setiap
kali kita memperoleh rizki, sebanyak yang ia kehendakinya sendiri. Infak berarti memberikan harta
dengan tanpa konpensasi apapun (Bremer, 2004: 1-26).

Infak tidak mengenal nisab, sehingga infak dikeluarkan oleh setiap orang yang beriman yang
berpenghasilan tinggi maupun rendah dan disaat lapang ataupun sempit. Zakat harus diberikan kepada
mustahik tertentu, tapi dalam infak boleh diberikan kepada siapa saja, misalnya untuk kedua orang tua,
istri, anak yatim, dan sebagainya (Fauzia, 2008: 60-88).

Islam telah menentukan tatacara berinfak yaitu membuat ketentuan-ketentuannya, dan tidak
membiarkan pemilik harta bebas mengelolanya dan menafkahkan sekehendaknya. Wujud pelaksanaan
infak seseorang bisa dengan cara mentransfer hartanya dengan tanpa kompensasi kepada orang lain,
kepada diri sendiri, ataupun kepada orang yang nafkahnya menjadi kewajiban. Wujud infak, bila
kegiatan dilaksanakan ketika masih hidup, seperti hibah, hadiah, sedekah, serta nafkah, bila
dilaksanakan setelah meninggal seperti wasiat. Islam mengajarkan manusia untuk suka memberi
berdasarkan kebajikan, kebaktian, dan keikhlasan, serta melalui cara-cara yang baik. Infak merupakan
amalan yang mulia jika dilakukan denga ikhlas semata-mata karena Allah, maka akan mendapat pahala
yang baik di akhirat kelak.6

c. Sedekah

Kata sedekah berasal dari bahasa arab yaitu shadaqa, artinya benar, menurut terminologi
syariah, pengertian sedekah sama dengan pengertian infak, termasuk juga hukum dan ketentuannya,
penekanan infak berkaitan dengan materi, sedangkan sedekah memiliki arti lebih luas menyangkut hal

5
Udin Saripudin. Filantropi Islam dan Pemberdayaan Ekonomi. (Jurnal Bisnis dan Manajemen Islam: 2016). Vol.
4 No.2. hal 168-170.
6
Udin Saripudin. Filantropi Islam dan Pemberdayaan Ekonomi. (Jurnal Bisnis dan Manajemen Islam: 2016). Vol.
4 No.2. hal 170-172.

6
yang bersifat non-materi (Kato, 2014: 90-105). Sedekah juga diartikan sebagai pemberian seseorang
secara ikhlas, kepada yang berhak menerimanya yang diiringi oleh pemberian pahala dari Allah
(Makhrus dan Utami, 2015: 175-184).

Islam memperbolehkan adanya kepemilikan pribadi, sehingga secara fitrah terdapat individu-
individu yang berinisiatif untuk memperoleh kekayaan sebanyak banyaknya. Karena Al-Qur’an
mendorong semua orang untuk berusaha mencari kekayaan untuk dirinya sendiri. Akan tetapi perlu
untuk diakui adanya seseorang lebih kaya dari yang lainnya.

Islam tidaklah menetapkan seberapa besar harta yang disedekahkan, namun mendidik manusia
untuk mengeluarkan harta dalam bersedekah dan berinfak baik dikala susah ataupun senang, siang
ataupun malam, dan secara sembunyisembunyi ataupun terang-terangan sesuai dengan kemampuan.
Jika manusia enggan berinfak atau bersedekah, maka sama halnya dengan menjatuhkan diri pada
kebinasaan. edekah tidak ditentukan jumlah dan sasaran penggunaannya, yaitu semua kebaikan yang
diperintahkan oleh Allah. Wujud sedekah tidaklah terbatas hanya pada halhal yang material saja, akan
tetapi dalam sedekah tercakup halhal yang bersifat non-material, yaitu memberi nasihat, melaksanakan
amar ma‟ruf nahyi munkar, mendamaikan yang berseteru, membaca tasbih, tahmid, tahlil, dan
sebagainya (Retsikas, 2014: 337-357).7

2.5 Hadis-hadis tentang Filantropi

Hadis 1

:َ‫ فَإِّ ْن لَ ْم يَ ِّجدْ؟ قَال‬:‫صد َُّق» قَالُوا‬ َ ‫ فَيَ ْنفَ ُع نَ ْف‬،ِّ‫ « َي ْع َم ُل بِّيَ ِّده‬:َ‫ فَ َم ْن لَ ْم يَ ِّجدْ؟ قَال‬،ِّ‫َّللا‬
َ َ‫سهُ َو َيت‬ َّ ‫ي‬ َّ ِّ‫ يَا نَب‬:‫ فَقَالُوا‬،»‫صدَقَة‬
َ ‫َعلَى ُك ِّل ُم ْس ِّل ٍم‬

َ ُ‫ فَإِّنَّ َها لَه‬،‫ش ِّر‬


‫صدَقَة‬ ْ ‫ َو ْلي ُْمس‬،‫وف‬
َّ ‫ِّك َع ِّن ال‬ ِّ ‫ «فَ ْل َي ْع َم ْل بِّ ْال َم ْع ُر‬:َ‫ فَإِّ ْن لَ ْم يَ ِّجدْ؟ قَال‬:‫وف» قَالُوا‬
َ ‫«ي ُِّعينُ ذَا ال َحا َج ِّة ال َم ْل ُه‬

“ Atas setiap muslim ada kewajiban sedekah. Mereka bertanya: Wahai Nabi Allah, lalu orang yang
tidak mampu? Beliau bersabda: Hendaknya dia berusaha dengan tangannya sehingga memberi
manfaat untuk dirinya dan bisa bersedekah. Mereka bertanya: Kalau dia tidak mampu? Beliau
menjawab: Hendaknya dia menolong orang yang membutuhkan dan kepayahan. Mereka bertanya:
Kalau dia tidak mampu? Beliau menjawab: Hendaklah dia mengerjakan yang ma’ruf dan menahan
diri dari kejelekan. Sesungguhnya itu adalah sedekah untuknya.” [Muttafaqun alaih]

Hadis 2

7
Udin Saripudin. Filantropi Islam dan Pemberdayaan Ekonomi. (Jurnal Bisnis dan Manajemen Islam:2016 ) Vol.
4 No.2. hal 172-173.

7
َ َ‫صدَّقَ َوأَ ْنت‬
‫ص ِّحيح ش َِّحيح‬ َ َ ‫ «أَ ْن ت‬:َ‫ظ ُم أَجْ ًرا؟ قَال‬ َ ‫صدَقَ ِّة أ َ ْع‬ ُّ َ ‫ أ‬،ِّ‫َّللا‬
َّ ‫ي ال‬ َّ ‫سو َل‬ ُ ‫ َيا َر‬:َ‫سلَّ َم فَقَال‬َ ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِّه َو‬
َ ِّ ‫َجا َء َر ُجل ِّإلَى النَّ ِّبي‬
‫ َو ِّلفُالَ ٍن َكذَا َوقَدْ َكانَ ِّلفُالَ ٍن‬،‫ قُ ْلتَ ِّلفُالَ ٍن َكذَا‬،‫وم‬ ِّ َ‫ َوالَ ت ُ ْم ِّه ُل َحتَّى ِّإذَا َبلَغ‬،‫ َوت َأ ْ ُم ُل ال ِّغنَى‬،‫ت َْخشَى الفَ ْق َر‬
َ ُ‫ت ال ُح ْلق‬

"Seorang lelaki datang kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam lalu berkata: Wahai Rasulullah,
sedekah apa yang paling besar pahalanya? Beliau menjawab: Engkau bersedekah ketika kondisi baik,
merasa kikir, khawatir menjadi faqir, dan menangankan kekayaan. Janganlah engkau menunda hingga
sampainya (nyawa) ke tenggorokan. Engkau mengatakan, ‘untuk si fulan begini dan untuk si fulan
begini’. Padahal, ia telah menjadi milik si fulan.” [Muttafaqun alaih]

Hadis 3

‫صلَة‬
ِّ ‫صدَقَة َو‬ َّ ‫ي َعلَى ذِّي‬
ِّ ‫الر ِّح ِّم ثِّ ْنت‬
َ :‫َان‬ َ ‫ َو ِّه‬،‫صدَقَة‬ ِّ ‫علَى ْال ِّم ْس ِّك‬
َ ‫ين‬ َ ُ‫صدَقَة‬
َّ ‫ال‬

"Sedekah atas orang miskin itu adalah satu (pahala) sedekah dan dia atas yang memiliki hubungan
rahim itu dua (pahala): sedekah dan silaturrahim.” [Hr. At-Tirmidzi]

Hadis 4

ٍ ‫صلَ َوا‬
‫ت‬ َ ‫ض َعلَ ْي ِّه ْم خ َْم‬
َ ‫س‬ َّ ‫طاعُوا ِّلذَلِّكَ فَأ َ ْع ِّل ْم ُه ْم أَ َّن‬
َ ‫َّللاَ قَ ِّد ا ْفت ََر‬ َ َ ‫ فَإ ِّ ْن ُه ْم أ‬، ِّ‫َّللا‬ ُ ‫ َوأَنِّى َر‬، ُ‫َّللا‬
َّ ‫سو ُل‬ َّ َّ‫ش َهادَةِّ أ َ ْن الَ ِّإلَهَ ِّإال‬
َ ‫ع ُه ْم ِّإلَى‬
ُ ْ‫اد‬
‫ تُؤْ َخذُ ِّم ْن أَ ْغ ِّن َيا ِّئ ِّه ْم َوت ُ َردُّ َعلَى‬، ‫صدَقَةً فِّى أ َ ْم َوا ِّل ِّه ْم‬ َّ ‫طاعُوا ِّلذَلِّكَ فَأ َ ْع ِّل ْم ُه ْم أ َ َّن‬
َ ‫َّللاَ ا ْفت ََر‬
َ ‫ض َعلَ ْي ِّه ْم‬ َ َ ‫ فَإ ِّ ْن ُه ْم أ‬، ‫ِّفى ُك ِّل َي ْو ٍم َولَ ْيلَ ٍة‬
‫فُقَ َرائِّ ِّه ْم‬

“ Ajaklah mereka untuk bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah selain Allah dan
aku adalah utusan Allah. Jika mereka menaati itu, beritahukanlah pada mereka bahwa Allah telah
mewajibkan kepada mereka shalat lima waktu sehari semalam. Jika mereka menaati itu,
beritahukanlah pada mereka bahwa Allah telah mewajibkan kepada mereka zakat yang wajib dari
harta mereka diambil dari orang kaya di antara mereka dan disalurkan pada orang miskin di tengah-
tengah mereka.” [HR. Bukhari, no. 1395 dan Muslim, no. 19].

Hadis 5

َ ‫اء َولَ ْوالَ ْالبَ َهائِّ ُم لَ ْم يُ ْم‬


‫ط ُروا‬ ِّ ‫س َم‬ ْ َ‫َولَ ْم يَ ْمنَعُوا زَ كَاة َ أ َ ْم َوا ِّل ِّه ْم إِّالَّ ُمنِّعُوا ْالق‬
َّ ‫ط َر ِّمنَ ال‬

“Tidaklah suatu kaum enggan mengeluarkan zakat harta mereka, melainkan mereka akan dicegah dari
mendapatkan hujan dari langit. Sekiranya bukan karena binatang-binatang ternak, niscaya mereka
tidak diberi hujan.” [HR. Ibnu Majah]

8
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Istilah filantropi merupakan hal baru dalam Islam, meskipun demikian praktik filantropi
sebenarnya telah dipraktikan jauh sebelum istilah filantropi itu sendiri muncul. Berbagai bentuk
filantropi diajarkan dalam Islam seperti; zakat, infak dan sedekah. Sebagai Negara dengan mayoritas
penduduk beragama Islam, potensi zakat, infak dan sedekah di Indonesia sangatlah besar. Besarnya
potensi zakat nasional telah banyak diungkap oleh berbagai penelitian.

Zakat, infak dan sedekah merupakan instrument keadilan distribusi dalam ekonomi Islam. Jika
dikelola dengan baik dan professional, fotensi dana zakat yang besar ini akan berdampak signifikan
terhadap perekonomian Indonesia, khususnya dalam upaya pengentasan kemiskinan di Indonesia.
Distribusi zakat yang baik akan meningkatkan daya beli masyarakat dan menyebabkan pemerataan
pendapatan, sehingga mampu meminimalisir kesenjangan yang terjadi di masyarakat. Zakat dan
sedekah terlibat dalam pengentasan kemiskinan melalui distribusi pendapatan dan mentransfer
kekayaan. Zakat juga digunakan untuk investasi jangka panjang untuk meningkatkan aspek non
pendapatan dari orang miskin seperti kesehatan, pendidikan, sumber daya fisik, dan pekerjaan.

3.2 Saran

Kita sebagai sesama muslim sebaiknya tidak lagi berat untuk zakat, infak, dan sedekah. Karena,
melakukan hal tersebut sama sekali tidak membuat rezeki kita berkurang, hal itu juga merupakan bentuk
rasa syukur atas nikmat yang Allah Swt. berikan.

9
DAFTAR PUSTAKA

1. Udin Saripudin. 2016. Filantropi Islam dan Pemberdayaan Ekonomi. Jurnal Bisnis dan
Manajemen Islam. Vol. 4 No.2.
2. PPLM UIN JAKARTA. Islam Kontemporer di Indonesia dan Australia. Australia Global
Alumni.
3. Abdiansyah Linge. 2015. Filantropi Islam Sebagai Instrumen Keadilan Ekonomi. Jurnal
Perspektif Ekonomi Darussalam Vol. 1 No. 2.
4. Hafifuddin Didin, (2002). Zakat Infak dan Sodakoh, Jakarta: Gema Insani
5. Sukirno Sadono, (2005). Mikro Ekonomi Suatu Pengantar, edisi ketiga (Jakarta : Raja
Grafindo Persada.
6. Hafifuddin Didin, (2002), Zakat Dalam Perekonomian Modern, cet 2 Jakarta: Gema Insani
Pers.

iv

Anda mungkin juga menyukai