Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH

ISU KONTEN PORER DAN KEUANGAN PUBLIK ISLAM


Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah keuangan pablik dan sosial islam

Dosen Pengampu:

Zaida I'tisoma Bilah M.E

Disusun Oleh

Diana Lisa Anggraini Zareta

Rahma Indrawati

M. Rizky Rahmanda

Iqvina Izzetillah
PROGRAM STUDI MANAJEMEN KEUANGAN SYARIAH

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM

UNIVERSITAS ISLAM ZAINUL HASAN

GENGGONG KRAKSAAN PROBOLINGGO

TAHUN AJARAN 2022-2023


KATA PENGANTAR
Puji syukur Alhamdulillah kami panjatkan atas kehadirat Allah azza
wajalla, dengan limpahan rahmat, taufik, hidayah dan inayah-NYA kami
kelompok 3 dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Anggaran Kas”.
Yang mana makalah ini bertujuan agar dapat menambah wawasan dan
pengetahuan tentang mata kuliah manajemen keuangan syariah.

Kami selaku penyusun berterimakasih kepada:

1. Bapak Abdul Aziz Wahab M.Ag selaku rector Universitas Islam Zainul
Hasan Genggong.
2. Bapak Nuntufa, S.E,M.M selaku Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Islam.
3. Ibu Zahida I’tisoma Billah, M.E. selaku Ketua Prodi Manajemen
Keuangan Syariah.
4. Ibu Zaida I' tisoma Billah M.E selaku pengampu Mata Kuliah Penggaran
Perusahaan

Makalah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan
dari anggota kelompok sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini.
Terlepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada
kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya.

Semoga makalah ini dapat bermanfaat walaupun masih banyak terdapat


kesalahan. Kami selaku penyusun mohon kritik dan saran yang membangun
agar dapt memperbaiki kesalahan pada makalh ini. Terima Kasih.

Probolinggo, 5 Desember 2022

Penulis

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...................................................................

DAFTAR ISI..................................................................................
BAB I PENDAHULUAN..............................................................

A. Latar Belakang......................................................................
B. Rumusan Masalah.................................................................
C. Tujuan Penulisan...................................................................

BAB II PEMBAHASAN ..............................................................

A. Wakaf Sebagai Sumber Keuangan Negara ..........................


B. Tabung Haji Sebagai Alternatif Keuangan Negara..............
C. Obligasi Syariah Sebagai Sumber Keuangan Negara...........
D. Optimalisasi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) ................

BAB III PENUTUP.......................................................................

A. Kesimpulan...........................................................................
B. Saran.....................................................................................

DAFTAR PUSTAKA....................................................................
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Harta merupakan titipan Allah SWT yang pada hakekatnya hanya
dititipkan kepada kita sebagai manusia ciptaan-Nya. Konsekuensi manusia
terhadap segala bentuk titipan yang dibebankan kepadanya mempunyai
aturan-aturan Tuhan, baik dalam pengembangan maupun dalam
penggunaan. Terdapat kewajiban yang dibebankan pada pemiliknya untuk
mengeluarkan zakat untuk kesejahteraan masyarakat, dan ada ibadah
maliyah sunnah yakni sedekah dan infaq. Karena pada hakekatnya segala
harta yang dimiliki manusia adalah titipan Allah SWT, maka setiap kita
manusia wajib melaksanakan segala perintah Allah mengenai hartanya.

Pembahasan tentang pembiayaan sektor publik oleh pemerintah, erat


kaitannya dengan pembahasan tentang peran dan fungsi negara dalam
perekonomian. Tantangan utama dalam penggalian sumber dana domestik
adalah cara mengoptimalkan upaya mendapatkan pendapatan dari
sumber-sumber yang tersedia dan mendistribusikannya secara efektif
untuk pembangunan serta meningkatkan kapasitas produksi nasional.
Maka dibutuhkan kebijakan makroekonomi yang kondusif untuk
mendukung pengalokasian yang efektif, penguatan sektor keuangan
negara yakni dengan pemobilisasian pendapatan pemerintah dan yang
terakhir adalah penguatan sektor keuangan domestik.

Infak, sedekah dan wakaf bukanlah instrumen wajib yang dikeluarkan


oleh individu muslim, namun ketiga instrumen tersebut memiliki peran
yang tidak kalah pentingnya dalam kegiatan keuangan publik. Menjadi
sumber pendapatan yang potensial jika dikelolah dengan efektif dan efisien
oleh lembaga yang bertanggungjawab.

Sayangnya, masih sedikit sekali umat muslim yang mau dengan suka
rela memberikan hartanya untuk infak, sedekah maupun wakaf. Untuk itu
dibutuhkan suatu pencerahan dan motivasi yang dapat mendorong
pemberdayaan infak, sedekah dan wakaf di kalangan masyarakat umum.
Mengabarkan betapa Allah sangat menghargai makhluknya yang mau
memberikan hartanya dijalanNya. Secara lebih jelas dan rinci akan
dibahas pada bab selnajutnya.

B. Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud Wakaf Sebagai Sumber Keuangan Negara


2. Bagaimana Pemanfaatan Tabung Haji Sebagai Alternatif Keuangan
Negara
3. Bagaimana Penerapan Obligasi Syariah Sebagai Sumber Keuangan
Negara
4. Bagaimana Cara Mengomtimalisasikan Badan Usaha Milik Negara

C. Tujuan Penulisan

1. Untuk mengetahui Pengertiaan tentang Wakaf Sebagai Sumber


Keuangan Negara
2. Untuk mengetahui tentang Tabungan Haji Sebagai Alternatif
Keuangan Negara
3. Untuk mengetahui tentang Obligasi Syariah Sebagai Sumber
Keuangan Negara
4. Untuk mengetahui tentang Mengoptimalisasikan Bdan Usaha Milik
Negara
BAB II
PEMBAHASAN
A. ISU KONTENPORER DAN KEUANGAN PUBLIK ISLAM
Wakaf merupakan potensi keuangan publik yang dimiliki oleh masyarakat
Muslim, dan merupakan salah satu bentuk pentingnya partisipasi publik di
dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dengan adanya partisipasi
publik, maka beban untuk mengentaskan kemiskinan dan memeratakan
kesejahteraan ekonomi secara adil men- jadi lebih ringan dan relatif lebih
mudah. Berbeda halnya apabila semua beban ini hanya dipikul oleh negara
semata, yang hanya mengandalkan pajak sebagai sumber pembiayaannya.
Meskipun pajak juga merupakan bentuk dari partisipasi publik, namun pajak
merupakan partisipasi yang sifatnya wajib dan memaksa, sedangkan wakaf
merupakan partisipasi yang sifatnya sukarela.

Sebagai sebuah instrumen keuangan publik, wakaf dapat diman- faatkan


dalam berbagai hal yang terkait dengan kemaslahatan publik. karena syariat
Islam tidak mengatur penggunaan wakaf secara perinci seperti halnya zakat
yang hanya boleh disalurkan kepada delapan asnaf. Syariat hanya menghendaki
adanya syarat keabadian dari segi fisik atau tujuan penggunaan, yakni tujuan
dari penggunaan harta wakaf tidak boleh keluar dari tujuan wakif yang telah
diikrarkan di awalnya. Harta wakaf juga harus dapat dimanfaatkan tanpa
mengurangi nilai barang se- cara fisik. Artinya, barang yang telah diwakafkan
wajib dijaga oleh nazir supaya tetap abadi dan meskipun dimanfaatkan atau
difungsikan namun jumlah atau nilainya tidak mengalami penyusutan, sehingga
tetap dapat dimanfaatkan oleh publik secara perpetuitif atau berulang-ulang dan
berkelanjutan (Kahf, 2003). Oleh karena sifatnya yang perpetuitif ini, maka
Hassan dan Shahid (2010) berpendapat bahwa wakaf merupakan salah satu
bentuk ibadah yang tidak terputus amalnya, meskipun wakif telah meninggal
dunia, selama harta wakaf yang diwakafkan masih dimanfaatkan oleh umat
manusia. Hassan dan Shahid mendasarkan argumentasinya pada Hadis
Rasulullah SAW sebagaimana diriwayatkan oleh Muslim, "ketika seseorang
meninggal dunia, maka segala amal per- buatannya terputus kecuali tiga hal,
amal jariah, ilmu yang bermanfaat, dan anak yang saleh."
Meskipun Islam mencontohkan salah satu bentuk wakaf adalah berbentuk
barang tidak bergerak dan ditujukan sebagai tempat iba- dah, namun pada masa
setelah Rasulullah SAW, wakaf bisa ditunaikan dalam berbagai bentuk dan
tujuan. Tidak hanya terpaku pada harta tidak bergerak saja, namun banyak
objek harta yang dapat dijadikan sebagai harta wakaf, misalnya buku, senjata
perang, kendaraan, dan yang terakhir adalah wakaf berupa uang tunai. Jika
semua jenis harta ini merupakan harta yang berwujud, maka berdasarkan kajian
kontemporer, ada harta-harta yang tidak berwujud yang dapat diwakafkan,
misalnya hak atas kekayaan intelektual yang berupa hak cipta, hak paten yang
kesemuanya memiliki konsekuensi finansial, sebagaimana tercan- tum di dalam
Undang-Undang Republik Indonesia No. 4 Tahun 2004. Jangka waktu harta
menjadi harta wakaf juga tidak harus permanen atau selama-lamanya, namun
juga bisa ditunaikan dengan jangka waktuyang temporer atau sementara.
Berkaitan dengan jangka waktu, ada perdebatan sejak lama. Ada yang
berpendapat bahwa wakaf hanya dapat dilaksanakan apabila tidak dibatasi
jangka waktu artinya permanen, kelompok ini adalah Imam Syafii, Imam
Hanafi, dan Imam Hambali. Adapun kelompok yang berpendapat bahwa wakaf
dapat ditunaikan dalam jangka waktu terbatas atau temporer. Kelompok
berpendapat bahwa wakaf harus ditunaikan secara permanen adalah Imam
Maliki dan pengikutnya. Meskipun Imam Maliki berpendapat bahwa wakaf
dapat ditunaikan secara temporer, namun Imam Maliki berpendapat lain tentang
wakaf yang berkaitan dengan tempat ibadah atau masjid (Kahf, 1999).
Secara ekonomi, wakaf sebenarnya merupakan instrumen yang sangat
khas dimiliki oleh Islam dan dapat dimanfaatkan untuk mem- bangun kekuatan
ekonomi suatu bangsa. Wakaf sangat erat kaitannya dengan ide-ide dasar
tentang bagaimana meningkatkan kemakmuran masyarakat menurut ekonomi
yang berlandaskan syariat Islam. Salah satu bentuk nilai ekonomi yang
terkandung di dalam dan ingin dica- pai dari instrumen wakaf ialah untuk
meningkatkan kesejahteraan publik, melalui pemanfaatan sumber daya ekonomi
secara optimal. Pemanfaatan sumber daya ekonomi tersebut dapat diwujudkan
me- lalui upaya pendayagunaan aset yang idle atau berpotensi idle di dalam
perekonomian, sehingga dapat mendorong untuk menguatkan pereko- nomian
suatu negara secara signifikan.
Dengan pemanfaatan aset tidur tersebut, wakaf telah menjadi se- buah
instrumen yang mendorong terjadinya peningkatan utilitas dari sumber daya
ekonomi secara maksimal. Kemudian, ada salah satu syarat dari penggunaan
harta wakaf, yakni perpetuitas, di mana harta wakaf harus dapat dimanfaatkan
secara berkelanjutan dalam jangka waktu. yang lama. Syarat tersebut menjadi
bukti bahwa sebenarnya instrumen wakaf juga merupakan sebuah contoh nyata
bahwa Islam menghendaki dan mampu memberikan solusi agar setiap generasi
selalu peduli dengan sumber daya ekonomi yang mereka kuasai. Tidak
sertamerta kemudian menghabiskannya untuk kepentingan jangka pendek saja.
Namun harus tetap memerhatikan kebutuhan generasi yang akan datang,
sehingga generasi saat ini dituntut untuk menjaga dan mewariskan harta wakaf
tersebut secara estafet dari satu generasi ke generasi berikutnya. Selain sebagai
instrumen yang dapat diestafetkan, wakaf juga merupakan sebuah instrumen
yang sangat dekat dengan proses pemerataan kesempatan bagi publik untuk
dapat mengakses sumber daya yang seharusnya menjadi hak publik. Apabila hal
ini bisa terus dijaga sepanjang sejarah umat Muslim, maka Muslim akan mampu
membangun sebuah negara yang sangat kuat secara ekonomi, pendidikan,
militer, dan seluruh dimensi kehidupan lainnya. Potensi harta wakaf di tengah-
tengah masyarakat Muslim sebenar- nya sangat besar, apalagi untuk Indonesia
yang memiliki jumlah umat Muslim yang sangat mayoritas.
Potensi ini, apabila dikelola dengan manajemen yang tradisional tentunya
tidak akan memberikan dampak yang signifikan bagi penguatan ekonomi umat
Muslim dan negaranya. Salah satu bentuk pengelolaan harta wakaf yang
membaik adalah den- gan diterbitkannya Undang-Undang tentang Wakaf.
Dengan adanya undang-undang ini, maka status hukum harta wakaf menjadi
jelas. Siapa yang berwenang untuk meregulasi dan mengawasi seluruh harta
wakaf di Indonesia menjadi jelas pula, sehingga dibentuklah Badan Wakaf
Indonesia.

B. TABUNG HAJI SEBAGAI SUMBER KEUANGAN PUBLIK


Sumber lain yang bisa dijadikan alternatif untuk membiayai ang- garan dan
pengeluaran negara adalah dana haji. Tabung haji adalah dana yang dihimpun
dari masyarakat Muslim yang telah merencanakan ibadah haji sehingga mereka
menyetorkan dana ibadah hajinya ke- pada lembaga penyelenggara haji. Dana
ini sangat fantastis jumlahnya. Misalnya saja, pada 2010 yang lalu, Indonesia
mengirimkan jemaah haji sebanyak 211 ribu orang. Apabila rata-rata dana haji
setiap orang Rp 30.000.000,-, maka potensi dana haji yang dapat dikumpulkan
per tahunnya adalah sebesar 6,3 triliun rupiah. Belum lagi dana jemaah haji
yang telah mendaftarkan jauh-jauh hari melalui sistem antrian karena adanya
batasan kuota haji untuk Indonesia. Calon jemaah haji yang telah mendaftar
antrian untuk tahun-tahun berikutnya bisa mencapai jutaan orang, dan dana
yang terkumpul pun akan mencapai jumlah yang fantastis. Bahkan ada pihak
tertentu yang mengklaim bahwa potensidana tabungan haji mencapai hampir
480 triliun rupiah. Meskipun nilai ini masih harus diverifikasi lagi, namun
apabila hal ini benar adanya. maka nilainya sama dengan hampir separuh nilai
APBN Indonesia 2010.
Potensi dana yang sangat besar tersebut, tentunya menyimpan pula
potensi ekonomi yang luar Potensi tersebut, dapat dimanfaatkan baik untuk
kemakmuran jamaah haji sendiri maupun untuk kemak- muran seluruh
masyarakat Indonesia, Bila kita mencontoh pada konsep yang diterapkan di
Malaysia, dana tabungan haji dimanfaatkan untuk kegiatan investasi yang sesuai
dengan syariah, mulai pembangunan gedung perkantoran, perkebunan,
perdagangan, penyertaan saham, dan investasi lainnya yang menguntungkan
(Mannan, 1996), Dana tersebut dikelola oleh sebuah lembaga yang bernama
Tabung Haji yang didirikan pada 1969 dan masih tetap eksis hingga saat ini.
Untuk Indonesia, pemanfaatan dana haji untuk kepentingan publik masih
sangat terbatas. Namun perkembangan terakhir, Indonesia sudah mulai
memanfaatkan dana haji untuk membeli sukuk yang dikeluarkan oleh
pemerintah. Meskipun langkah ke arah tersebut penuh dengan kontroversi,
karena perbankan syariah merasa terganggu apabila dana haji ditarik semua oleh
Kementerian Agama lalu dialihkan ke sukuk. Bank-bank syariah merasa akan
terganggu likuiditasnya apabila dana ini ditarik. Namun pihak Kementerian
Agama tetap menjalankan ren- cana penarikan dana haji, karena mereka
beralasan bahwa jaminan atas tabungan dana haji yang disimpan di bank sangat
kecil bila dibanding- kan dengan nilai dana haji tersebut yang sangat besar.
Dana haji yang digunakan untuk membeli sukuk atau obligasi syariah milik
pemerintah sudah mencapai 10 triliun rupiah. Sukuk yang diterbitkan oleh
pemerintah tersebut memang secara khusus diter- bitkan untuk dana haji
sehingga dinamai Sukuk Dana Haji Indonesia. Dari sukuk ini, pemerintah telah
mendapatkan tambahan dana untuk pembangunan dan belanja negara sehingga
defisit anggaran dapat ditutupi. Terhadap SDHI ini, pemerintah memiliki
kewajiban untuk mengembalikan dana pokoknya saja, sedangkan retur dari
sukuk dana haji ini adalah berupa jasa pengurusan jamaah haji yang diberikan
oleh pemerintah kepada seluruh jemaah haji setiap tahunnya.
Jika dilihat secara makro, dana haji bahkan bisa dianggap sebagai sebuah
instrumen moneter yang sangat kuat dan signifikan dampaknya, mengingat
jumlahnya yang fantastis setiap tahun (Mannan, 1996). Dana haji tersebut terus
mengalir dari tahun ke tahun dan dapat dipastikan, pemerintah akan sangat
terbantu dengan adanya skema pembelian su kuk dengan menggunakan dana
haji tersebut. Secara makroekonomi, pemerintah tidak perlu mencetak uang
namun dapat meningkatkan perputaran uang melalui belanja negara. Sementara
untuk pengem baliannya, pemerintah dapat mengambil celah dari terus
bergulirnya rutinitas setoran dana haji oleh jamaah dari tahun ke tahun. Sebagai
sebuah instrumen, dana haji dapat pula dikategorikan sebagai instru- men yang
bersifat ekspansif. Seandainya tidak diorganisasi dengan baik, maka dana yang
potensi besarannya hampir 480 triliun itu hanya akan menjadi aset tidur di
rumah masing-masing calon jamaah haji, karena disimpan di bawah bantal atau
di lemari. Dengan adanya pemanfaatan seperti ini, maka aset yang sangat besar
tersebut dapat diputar lagi dan membantu perekonomian untuk tumbuh.
Meskipun untuk kasus Indonesia, pemerintah dapat menikmati dana haji
sebagai penambal defisit anggaran secara gratis, namun hal ini belumlah
merupakan kondisi yang terbaik. Akan menjadi lebih tepat lagi apabila
pemerintah menggunakan dana haji yang terus bergulir dari tahun ke tahun itu
untuk membangun infrastruktur atau proyek yang profitabel, misalnya rel kereta
api trans-Sumatera, dan pembangkit listrik. Dengan cara seperti ini, tidak semua
fasilitas publik tersebut harus dibangun dengan dana investasi yang di kemudian
hari menuntut adanya retur yang reasonable. Dengan dana haji ini, pemerintah
dapat mengarahkannya proyek kepada dua opsi, apakah pemerintah akan
memberikan profit atas hasil operasional dari proyek sebagai retur yang
diberikan kepada jemaah haji atau cukup dengan menjadikan jasa pengurusan
jemaah sebagai imbalannya.

C. OBLIGASI SYARIAH SEBAGAI SUMBER KEUANGAN


NEGARA
Sukuk (bahasa Arab: F‫صكوك‬, jamak of ‫ صك‬sakk, "instrumen legal, amal,
cek") adalah istilah dalam bahasa Arab yang digunakan untuk obligasi yang
berdasarkan prinsip syariah. Dalam Fatwa Nomor 32/ DSN-MUI/IX/2002,
Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia mendefinisikan sukuk
sebagai surat berharga jangka panjang berdasar- kan prinsip syariah yang
dikeluarkan emitan kepada pemegang obligasi syariah yang mewajibkan emitan
membayar pendapatan kepada peme- gang obligasi syariah berupa bagi hasil
margin atau fee, serta membayar kembali dana obligasi saat jatuh tempo
(sumber: Wikipedia). Adapun secara singkat The Accounting and Auditing
Organisation for Islamic Financial Institutions (AAOIFI) mendefinisikan sukuk
sebagai sertifikat bernilai sama yang merupakan bukti kepemilikan yang tidak
dibagikan atas suatu aset, hak manfaat, dan jasa-jasa atau kepemilikan atas
proyek atau kegiatan investasi tertentu.
Dalam penafsiran lain, sukuk ini sama dengan SUN (Surat Utang Negara)
yang menjadi salah satu instrumen pembiayaan negara ketika negara mengalami
defisit anggaran serta menutup kekurangan kas jang- ka pendek dalam satu
tahun anggaran. Hal yang membedakan hanyalah mekanisme pengadaannya
yang berdasarkan prinsip-prinsip syariah, seperti dewan pengawas sebagai
subjek pengawasnya dan prinsip bagi hasil margin atau (fee) yang berbeda
dengan sistem obligasi konvensional pada umumnya yang dalam penerapannya
selalu menggunakan bunga sebagai jaminannya di bawah underlying contract.
Sesungguhnya, sukuk/obligasi syariah ini bukan merupakan istilah yang
baru dalam sejarah Islam. Istilah tersebut sudah dikenal sejak Abad
Pertengahan, di mana umat Islam menggunakannya dalam konteks perdagangan
internasional. Sukuk merupakan bentuk jamak dari kata sakk. Ia digunakan oleh
para pedagang pada masa itu sebagai doku- men yang menunjukkan kewajiban
finansial yang timbul dari usaha perdagangan dan aktivitas komersial lainnya
(Ayub, 2005). Namun demikian, sejumlah penulis Barat yang memiliki
perhatian khusus terhadap sejarah Islam dan bangsa Arab, menyatakan bahwa
sakk inilah yang menjadi akar kata "cheque" dalam bahasa Latin, yang saat ini
telah menjadi sesuatu yang lazim digunakan dalam transaksi dunia perbankan
kontemporer (Adam, 2005).
Dalam perkembangannya, Islamic Jurispudence Council (IJC) kemudian
mengeluarkan fatwa yang mendukung berkembangnya sukuk Hal tersebut
mendorong Otoritas Moneter Bahrain (BMA-Bahrain Monetary Agency) untuk
meluncurkan salam sukuk berjangka waktu 91 hari dengan nilai 25 juta dollar
AS pada 2001. Kemudian, Malaysia pada tahun yang sama meluncurkan global
corporate sukuk di pasar keuangan Islam internasional. Inilah sukuk global yang
pertama kali muncul di pasar internasional.
Selanjutnya, penerbitan sukuk di pasar internasional terus bermun- culan
bak cendawan di musim hujan. Tidak ketinggalan, pemerintahan di dunia Islam
pun mulai melirik hal tersebut. Sebagai contoh, pada tahun 2002 Pemerintah
Malaysia menerbitkan sukuk dengan nilai 600 juta dollar AS dan terserap habis
oleh pasar dengan cepat, bahkan sam- pai terjadi over subscribe. Begitu pula
pada Desember 2004, Pemerintah Pakistan menerbitkan sukuk di pasar global
dengan nilai 600 juta dollar AS dan langsung terserap habis oleh pasar. Masih
banyak contoh lainnya. Harus kita akui, bahwa sukuk atau obligasi syariah ini
adalah salah satu bentuk terobosan baru dalam dunia keuangan Islam, meskipun
istilah tersebut adalah istilah yang memiliki akar sejarah yang panjang. Inilah
salah satu bentuk produk yang paling inovatif dalam pengembangan sistem
keuangan syariah kontemporer.Selanjutnya, penerbitan sukuk di pasar
internasional terus bermun- culan bak cendawan di musim hujan. Tidak
ketinggalan, pemerintahan di dunia Islam pun mulai melirik hal tersebut.
Sebagai contoh, pada tahun 2002 Pemerintah Malaysia menerbitkan sukuk
dengan nilai 600 juta dollar AS dan terserap habis oleh pasar dengan cepat,
bahkan sam- pai terjadi over subscribe. Begitu pula pada Desember 2004,
Pemerintah Pakistan menerbitkan sukuk di pasar global dengan nilai 600 juta
dollar AS dan langsung terserap habis oleh pasar. Masih banyak contoh lainnya.
Harus kita akui, bahwa sukuk atau obligasi syariah ini adalah salah satu bentuk
terobosan baru dalam dunia keuangan Islam, meskipun istilah tersebut adalah
istilah yang memiliki akar sejarah yang panjang. Inilah salah satu bentuk produk
yang paling inovatif dalam pengembangan sistem keuangan syariah
kontemporer.
Merupakan bukti kepemilikan suatu aset berwujud atau hak man- faat
(beneficial title); pendapatan berupa imbalan (kupon), margin, dan bagi hasil,
sesuai jenis akad yang digunakan; terbebas dari unsur riba, gharar, dan maysir,
penerbitannya melalui special purpose vehicle (SPV); memerlukan underlying
asset. Penggunaan proceess harus sesuat prinsip syariah.
Tujuan penerbitan Sukuk Berharga Syariah Negara (SBSN):
1.Memperluas basis sumber pembiayaan anggaran negara.
2. Mendorong pengembangan pasar keuangan syariah.
3. Menciptakan benchmark di pasar keuangan syariah.
4. Diversifikasi basis investor.
5. Mengembangkan alternatif instrumen investasi.
6. Mengoptimalkan pemanfaatan barang milik negara.
7. Memanfaatkan dana-dana masyarakat yang belum terjaring oleh sistem
perbankan konvensional.
Kelebihan berinvestasi dalam sukuk negara, khususnya untuk struktur
ijarah. Memberikan penghasilan berupa imbalan atau nisbah bagi hasil yang
kompetitif dibandingkan dengan instrumen keuangan lain. Pembayaran imbalan
dan nilai nominal hingga sukuk jatuh tempo dijamin oleh pemerintah. Dapat
diperjualbelikan di pasar sekunder. Memungkinkan diperolehnya tambahan
penghasilan berupa margin (capital gain). Aman dan terbebas dari riba (ushur),
gharar (ketidak- pastian), dan maysir (judi). Berinvestasi sambil mengikuti dan
melak- sanakan syariah.
Jenis-jenis Sukuk
Berbagai jenis struktur sukuk yang dikenal secara internasional dan telah
mendapatkan endorsement dari The Accounting and Auditing Organization
for Islamic Financial Institutions (AAOIFI), antara lain:

1. Sukuk Ijarah, yaitu sukuk yang diterbitkan berdasarkan perjanjian atau


akad ijarah di mana pihak bertindak sendiri atau melalui wakilnya menjual
atau menyewakan hak manfaat atas suatu aset kepada pihak lain
berdasarkan harga dan periode yang disepakati, tanpa diikuti dengan
pemindahan kepemilikan aset itu sendiri. Sukuk ijarah dibedakan menjadi
ijarah al-Muntahiya Bittamlik (Sale and Lease Back) dan ijarah Headlease
and Sublease.

2.Sukuk Mudarabah, yaitu sukuk yang diterbitkan berdasarkan perjanjian


atau akad mudarabah di mana satu pihak menyediakan modal (rab al-Maal)
dan pihak lain menyediakan tenaga dan ke- ahlian (mudarib), keuntungan
dari kerja sama tersebut akan dibagi berdasarkan perbandingan yang telah
disetujui sebelumnya. Ke- rugian yang timbul akan ditanggung sepenuhnya
oleh pihak yang menjadi penyedia modal.

3. Musyarakah, yaitu sukuk yang diterbitkan berdasarkan per janjian atau


akad musyarakah di mana dua pihak atau lebih bekerja sama
menggabungkan modal untuk membangun proyek baru, mengembangkan
proyek yang telah ada, atau membiayai kegiatan usaha. Keuntungan
maupun kerugian yang timbul ditanggung bersama sesuai dengan jumlah
partisipasi modal masing-masing pihak.

4. Istisna, yaitu sukuk yang diterbitkan berdasarkan perjanjian atau akad


istisna di mana para pihak menyepakati jual beli dalam rangka pembiayaan
suatu proyek/barang. Adapun harga, waktu penyerah- an, dan spesifikasi
barang/proyek ditentukan terlebih dahulu ber- dasarkan kesepakatan.

Pihak-pihak yang terlibat dalam penerbitan sukuk:

1. Obligor adalah pihak yang bertanggung jawab atas pembayaran im- balan
dan nilai nominal sukuk yang diterbitkan hingga sukuk jatuh tempo. Dalam
hal sovereign sukuk, obligornya adalah pemerintah.
2. Special Purpose Vehicle (SPV) adalah badan hukum yang didirikan
khusus untuk penerbitan sukuk dengan fungsi: (i) sebagai penerbit sukuk,
(ii) menjadi counterpart pemerintah dalam transaksi peng- alihan aset, dan
(iii) bertindak sebagai wali amanat (trustee) untuk mewakili kepentingan
investor.

3. Investor adalah pemegang sukuk yang memiliki hak atas imbalan,


margin, dan nilai nominal sukuk sesuai partisipasi masing-masing.

Penggunaan Underlying Asset


Penerbitan sukuk memerlukan sejumlah tertentu aset yang akan menjadi
objek perjanjian (underlying asset). Aset yang menjadi objek perjanjian harus
memiliki nilai ekonomis, dapat berupa aset berwujud atau tidak berwujud,
termasuk proyek yang akan atau sedang dibangun.
Fungsi underlying asset tersebut antara lain: (1) untuk menghindari riba; (ii)
sebagai prasyarat untuk dapat diperdagangkannya sukuk di pasar sekunder; dan
(iii) akan menentukan jenis struktur sukuk. Dalam sukuk ijarah al-Muntahiya
Bittamlik atau ijarah Sale and Lease Back, penjualan aset tidak disertai
penyerahan fisik aset tetapi yang dialihkan adalah hak manfaat (beneficial title)
sedangkan kepemilikan aset (legal title) tetap pada obligor. Pada akhir periode
sukuk, SPV wajib menjual kembali aset kepada obligor.

Perbandingan Sukuk dan Obligasi Syariah Compliance


Penerbitan sukuk harus terlebih dahulu mendapatkan pernyataan kesesuaian
prinsip syariah (syariah compliance endorsement) untuk meyakinkan investor
bahwa sukuk telah distruktur sesuai syariah. Pernyataan syariah compliance
tersebut bisa diperoleh dari individu yang diakui secara luas pengetahuannya di
bidang syariah atau institusi yang khusus membidangi masalah syariah. Untuk
penerbitan sukuk di dalam negeri, syariah compliance endorsement dapat
dimintakan kepada Dewan Syariah Nasional-MUI. Untuk penerbitan sukuk
internasional, diperlukan endorsement dari ahli/lembaga syariah yang diakui
komu- nitas syariah internasional, misalnya IIFM.

D. OPTIMALISASI BADAN USAHA MILIK NEGARA (BUMN)

1. Esensi BUMN1.
Setelah sebelumnya dibahas tentang beberapa alternatif sumber pembiayaan
bagi anggaran negara, maka pada poin ini akan dibahas sumber lain, yakni
mengenai optimalisasi BUMN atau Badan Usaha Milik Negara. BUMN
merupakan alat yang sangat penting bagi peme- rintah, baik untuk menciptakan
pendapatan negara maupun meme- ngaruhi perekonomian. Hampir seluruh di
dunia ini memiliki BUMN, dan dengan BUMN ini, pemerintah dapat
mengendalikan perekono- mian dengan mudah. Dengan BUMN, pemerintah
dapat menjalankan kebijakan-kebijakan ekonomi lebih mudah, karena BUMN
milik pemerintah pada umumnya lebih dari satu dan menguasai seluruh lini
perekonomian.

Dengan penguasaan yang kuat terhadap sektor-sektor perekono- mian itu,


maka setiap perkembangan yang terjadi di BUMN akan cepat terasa dampaknya
bagi perekonomian. Selain sebagai alat intervensi bagi perekonomian, BUMN
bisa juga menjadi alat bantu pemerintah untuk

mendorong perekonomian melalui penciptaan lapangan kerja baru dan/ atau


pembukaan lapangan usaha baru. Selain lapangan kerja yang ada di dalam
BUMN itu sendiri, BUMN juga akan memiliki dampak yang sangat luat, berupa
lembaga-lembaga usaha di luar BUMN yang men jadi support terhadap
berjalannya BUMN akan banyak terbentuk dan ini juga akan turut menciptakan
lapangan pekerjaan dan menstimulasi ekonomi juga.

Dalam perkembangan zaman, negara dengan kompleksitas permasalahannya


tidaklah mungkin hanya seorang kepala negara yang meru- nut semua peristiwa
dan mengambil kebijakan secara langsung. Pastilah ada lapis kedua dan ketiga
pengambil kebijakan atas persoalan-persoalan negara yang dihadapi. Hal ini
jauh berbeda seperti managemen di zaman Rasulullah dan sahabat. Mereka
dengan syura sudah mampu menyele saikan persoalan negara di suatu tempat,
yaitu di masjid. Masjid yang juga berfungsi sebagai tempat berkumpul sebagai
gudang solusi atas permasalahan perekonomian negara, permasalahan sosial
negara, dan permasalahan militer negara. Selain tentunya sebagai tempat
ibadah.

Dalam praktiknya, Islam telah memberikan petunjuk lewat sabda Nabi SAW,
sesungguhnya manusia itu berserikat atas tiga hal, yaitu api, air, dan padang
rumput. Hal ini pulalah yang mungkin secara insani membawa Hadis ini pada
konten-konten materi kepemilikan BUMN di mana dalam hal ini negara
menjadi domain atas kepemilikan tiga hal tersebut.
Salah satu lembaga BUMN di bawah kendali langsung Nabi SAW adalah
baitulmal. Satu-satunya lembaga yang mempunyai sejarah pan- jang dalam
peradaban ekonomi Islam. Rasulullah SAW dan para sahabat menjadikan pusat
pengendalian ekonomi tersebut sebagai alat kontrol dan alat pengumpul zakat
serta pajak negara. Tentunya peran baitulmal saat itu hanyalah sekadar
instrumen distribusi dari zakat atau pajak dan sebagian ganimah yang telah
terkumpul untuk kemudian dibagikan kepada rakyat. Berperan dalam koridor
ekonomi dan berperan pula dalam koridor sosial.

Namun berbeda dengan kini, BUMN di zaman kini tidak hanya berperan
dalam pengendalian ekonomi atau sosial semata, tetapi lebih jauh adalah juga
sebagai sumber pembiayaan Negara dengan meng- hasilkan produk pelayanan
yang biasanya tersebar dalam barang dan jasa. Dalam pengertiannya, BUMN ini
bisa berupa perusahaan nirlaba (perusahaan yang berkarakter sosial-nonprofit)
demi penyediaan pelayanan rakyat. Namun bukan berarti semua BUMN
berkarakter demikian, terkadang BUMN diperkuat dengan regulasi mampu
menjadi dominan atas semua masyarakat. Dengan demikian, maksud dari
pembiayaan negara atas optimalisasi BUMN tersebut terwujud. Misal PLN,
yang hampir 100 persen menguasai seluruh total pelayanan negara atau
perusahaan perkeretaapian Indonesia, hampir tidak ada peran swasta di sana
dalam pengendalian pelayanan. Adapun BUMN yang kepemilikannya berbagi
antara swasta dengan pemerintah, dengan demikian diharapkan pula BUMN
tersebut bisa go public dan menguntungkan bagi kinerja pemerintah (artinya,
pengawasan pemerintah tidak terlalu mendominasi), profesionalisme kompetitif
dan outputnya jelas menguntungkan pada level sharing return-nya. Pada status
inilah BUMN mengalami privatisasi artinya negara tidak mempunyai
kepemilikan 100% saham atas BUMN tersebut.

Hal yang paling diharapkan oleh pemerintahan dari BUMN sebe- narnya
adalah setoran dividen dari sahamnya yang tertanam di BUMN tersebut.
Dividen ini, tentunya hanya dapat diberikan oleh BUMN yang berkinerja baik,
sehingga mampu menghasilkan profit. Jika profitnya besar, maka pemerintah
dapat meminta kepada BUMN agar menye- torkan dividen yang besar pula bagi
pemerintah. Oleh karena itu, pemerintah harus serius meregulasi dan
mengawasi BUMN, Bentuk dari pengawasan pemerintah terhadap BUMN
antara lain melalui kontrol pemilihan dewan direksi, komisaris, dan peraturan
yang terkait dengan jenis usaha yang dijalani oleh BUMN tersebut. Hal yang
perlu diingat terkait dengan pengendalian BUMN oleh pemerintah ini adalah
jangan sampai BUMN menjadi pemain di dalam perekonomian yang menguasai
pasar secara monopolistik, sehingga menghalangi pesaing untuk masuk pasar.
Jika kondisi ini terjadi, maka penegakan syariat Islam di dalam perekonomian
harus dievaluasi lagi.

2. BUMN di Indonesia

Pada awalnya, BUMN adalah hasil nasionalisasi eks-perusahaan asing


(Belanda) yang kemudian ditetapkan sebagai perusahaan negara. Kemudian
degan UU No. 1 Prp 1969 dibentuklah pembagian tiga jenis bentuk Badan
Usaha Milik Negara menjadi perusahaan jawatan (Perjan), perusahaan umum
(Perum), dan Pesero. Pembagian ini dibentuk sesuai dengan tugas, fungsi, dan
misi usaha pada waktu itu.

Filosofi mengapa dibentuk Badan Usaha Milik Negara adalah karena


berdasarkan pada bunyi ketentuan UU Pasal 33 khususnya ayat (2) dan (3) yang
mengandung maksud bahwa; cabang-cabang produksi penting bagi negara yang
menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. Kemudian, bumi, air,
dan kekayaan alam yang terkan- dung di dalamnya dikuasai oleh negara dan
digunakan untuk sebesar- besarnya kemakmuran rakyat.

Dengan demikian, tugas pertama negara dengan membentuk badan usaha


adalah untuk memenuhi segala kebutuhan masyarakat, manakala sektor-sektor
tersebut belum dapat dilakukan oleh swasta. Kemudian, tugas-tugas seperti itu
diterjemahkan sebagai bentuk "pioneering" usaha oleh negara yang membuat
BUMN menjadi agen pembangunan/agent of development.

Pemahaman BUMN sebagai agent of development berlanjut hingga periode


80-an, yang kemudian pemahaman tersebut membawa dampak "negatif/minir"
karena fungsi kontrol terhadap BUMN dianggap sangat lemah, BUMN sebagai
sarang korupsi, dan lain-lain.

Pada periode akhir 80-an, tepatnya 1989, manajemen BUMN dibenahi


sekaligus diluruskan kembali fokus usahanya serta ditata kembali pola
reporting-nya, yaitu dengan ditetapkannya Keputusan Menteri Keuangan No.
741/1989 yang mewajibkan manajemen BUMN membuat laporan kerja dan
laporan keuangannya sekaligus memublika- sikannya. Hal ini sebenarnya
merupakan cerminan dari pemberlakuan program-program Good Corporate
Governance, antara lain dengan memublikasikan laporan keuangan berarti telah
terjadi pembelajaran dan pendisiplinan BUMN terhadap pelaksanaan prinsip
GCG (keterbukaan) sekaligus pembelajaran penerapan protokol pasar modal
(capital market protocol) mulai pada waktu itu. Dengan penerapan prinsip-
prinsip GCG, sekaligus terkandung maksud untuk dapat memisahkan fungsi
kepemilikan dan fungsi sebagai regulator. Hal ini bila tidak di- pahamkan
tentang pemisahan fungsi dimaksud akan membawa akibat adanya intervensi
yang dimulai dari pemilik kemudian akan diikuti oleh pihak-pihak lain yang
mempunyai kepentingan.

Dapat dikatakan bahwa BUMN merupakan salah satu indikator tentang


dinamisnya perdagangan saham dan obligasi di bursa efek, di mana 12 BUMN
yang listed saham di bursa (12 BUMN) mencapai 36,8% pada 2004, dan 34,2%
pada 2006 dari nilai transaksi perdagangan di bursa, dengan total kapitalisasi
pasar BUMN sejak 2001 s/d 2006 mencapai ± Rp 273 triliun. Belum lagi bila
dihitung dengan atraktifnya perdagangan obligasi yang di-issued oleh BUMN.

Namun patut kita cermati, bahwa kinerja yang tergambar terse- but tidak
tersebar secara di semua BUMN. Jika kita urutkan BUMN berdasarkan angka
harta/aset, ekuitas, penjualan, dan laba bersih, kemudian kita pilih BUMN yang
memiliki setidaknya tiga figur yang termasuk 25 terbesar pada kategorinya,
maka akan kita dapatkan 22 BUMN yang memenuhi kategori ini dan bisa kita
katakan sebagai BUMN terbesar, di mana delapan di antaranya yaitu BUMN
Tbk. Bila dibandingkan dengan jumlah agregat seluruh BUMN, maka 22
BUMN ini memiliki 92,21% aset, 92,64% ekuitas, 87.16% penjualan, dan
91,78% laba bersih, atau dengan kata lain dari 139 BUMN yang kita miliki, 117
BUMN di antaranya hanya memiliki proporsi kurang dari 10% terhadap
keseluruhan BUMN. Hal ini mengimplikasikan adanya kinerja yang tidak
optimal pada sebagian besar BUMN dan urgensi pertimbangan mengenai
jumlah dan besaran BUMN yang ideal (rightsizing policy).

Disadari atau tidak, kinerja BUMN di Indonesia sesungguhnya masih jauh


dari optimal. Tentu saja, hal ini akan mengundang kritik yang tak sedikit.
Banyak pengamat ekonomi atau pengamat BUMN khususnya menyesali hal ini.
Ketidakoptimalan yang terjadi disebabkan oleh beberapa hal, di antaranya
seperti yang diutarakan oleh LPEMUI, kelemahan-kelemahan struktural yang
melekat pada BUMN yaitu: kualitas direksi, yang disebabkan karena orang-
orang yang ditunjuk sebagai direksi bukanlah orang-orang yang terpilih dan
terbaik. Tetapi, banyak di antara mereka yang karena penunjukan politis atau
adanya kepentingan-kepentingan tertentu dari golongan tertentu. Yang jadi
kriteria bukanlah kapabilitas, tetapi loyalitas, besarnya setoran, sehingga banyak
terjadi KKN.

Kemudian posisi monopoli dari beberapa BUMN yang merugikan


konsumen, karena perusahaan ini bekerja semaunya, mengurangi jum- lah
produksi, menjual dengan harga tinggi, dan mengambil keuntungan yang tinggi.
Memang bukanlah tujuan utama dari BUMN untuk mencari keuntungan yang
sebesar-besarnya, tetapi mengabdi kepada rakyat dan bahkan kadang harus
merugi karena mengemban misi tertentu dari pemerintah.

Jadi, BUMN monopoli tidaklah sama dengan swasta monopoli. Tetapi,


karena kerjanya sering tidak efisien dan banyak terjadi kebocor- an, maka harga
jual barang dan jasa perusahaan BUMN bisa lebih tinggi dari seandainya
perusahaan ini dikelola swasta. Pengelolaan BUMN umumnya tidak sebaik
perusahaan swasta, karena direksi BUMN bu kanlah pemilik perusahaan dan
kalau perusahaannya merugi, ini bukan uang pribadinya, dan negara tidak akan
membiarkan perusahaan ini bangkrut sehingga diselamatkan terus.

Kalau di perusahaan swasta, yang dipertaruhkan adalah uangnya sendiri,


manajer yang tidak sesuai dengan keahliannya tidak akan di- biarkan, tetapi
akan segera diganti. KKN juga terdapat di perusahaan swasta, tetapi tidak
seumum atau seluas di BUMN. Salah satu sumber dari inefisiensi adalah terlalu
banyaknya karyawan yang dipekerjakan, meskipun ini adalah peninggalan dari
zaman Orde Lama tetapi berlangsung terus hingga kini.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Wakaf merupakan potensi keuangan publik yang dimiliki oleh
masyarakat Muslim, dan merupakan salah satu bentuk pentingnya
partisipasi publik di dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Dengan adanya partisipasi publik, maka beban untuk mengentaskan
kemiskinan dan memeratakan kesejahteraan ekonomi secara adil men-
jadi lebih ringan dan relatif lebih mudah. Berbeda halnya apabila semua
beban ini hanya dipikul oleh negara semata, yang hanya mengandalkan
pajak sebagai sumber pembiayaannya. Meskipun pajak juga merupakan
bentuk dari partisipasi publik, namun pajak merupakan partisipasi yang
sifatnya wajib dan memaksa, sedangkan wakaf merupakan partisipasi
yang sifatnya sukarela.
Sumber lain yang bisa dijadikan alternatif untuk membiayai ang- garan
dan pengeluaran negara adalah dana haji. Tabung haji adalah dana yang
dihimpun dari masyarakat Muslim yang telah merencanakan ibadah haji
sehingga mereka menyetorkan dana ibadah hajinya ke- pada lembaga
penyelenggara haji.

B. KRITIK DAN SARAN

Dalam penyusunan makalah ini kami selaku kelompok satu


meminta maaf jika terdapat kesalahan di dalam nya,dan kami sangat
mengharapkan kritik dan saran dari pembaca terutama dari dosen
pembimbing agar kami dapat memperbaiki penyusunan makalah
kedepannya.

DAFTAR PUSTAKA
Buku Keuangan Publik Islam,/penuli, Nurul Huda/ Penerbit,
Kencana/tahun diterbitkan 2012/, kota RawanganguRawangangung
Jakarta

Anda mungkin juga menyukai