Anda di halaman 1dari 14

Perkembangan Wakaf Dalam Perekonomian Modern

( Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Manajemen Zakat, Infak dan Wakaf )

Dosen Pengampu : Adib Fachri, M.E.Sy

Disusun Oleh

Kelompok 4 :

1. Anisa Ade Novalinda 1951040239

2. Danu Zaki Azhar 1951040259

3. Desi Ambarwati 1951040268

4. Destin Fitria Anjayani 1951040271

5.Yuria Merlyantika 1951040207

Semester/Kelas : 4/C

PROGRAM STUDI MANAJEMEN BISNIS SYARIAH

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN INTAN LAMPUNG

TAHUN 1441 H/ 2021

i
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya haturkan kehadirat Allah Swt. Yang telah memberikan rahmat
dan hidayah-Nya. Sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “
Perkembangan Wakaf dalam Perekonomian Modern ”. Sebagai mata kuliah Manajemen
Zakat, Infaq, dan Wakaf.

Menyadari banyaknya kekurangan dalam penyusunan dalam makalah ini karena itu,
kami sangat mengharapkan kritikan dan saran dari para pembaca untuk melengkapi segala
kekurangan dan kesalahan makalah ini. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada pihak-
pihak yang telah membantu selama proses penyusunan makalah ini.

Bandar Lampung, 09 Maret 2021

Penyusun,

Kelompok 4

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR................................................................................................................ii

DAFTAR ISI..............................................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN...........................................................................................................1

A. Latar Belakang................................................................................................................1

B. Rumusan Masalah...........................................................................................................1

C. Tujuan.............................................................................................................................1

BAB II PEMBAHASAN............................................................................................................2

A. Potensi Wakaf..................................................................................................................2

B. Perkembangan Hukum Wakaf..........................................................................................4

C. Pajak dan Hubungannya dengan Wakaf...........................................................................6

D. Objek Wakaf : Wakaf Uang dan Saham...........................................................................7

BAB III PENUTUP..................................................................................................................10

Kesimpulan......................................................................................................................10

DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................................11

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Secara istilah, para ulama berbeda pendapat tentang arti wakaf. Mereka
mendeskripsikan wakaf dengan definisi yang beragam sesuai dengan perbedaan mazhab
yang dianut, meskipun maksudnya yaitu istilah untuk menunjuk suatu perbuatan hukum
melepaskan milik/aset pribadi untuk kepentingan keagamaan dan kemasyarakatan.

Wakaf merupakan salah satu ibadah maliyah yang penting dan mempunyai potensi
secara ekonomi yang tinggi. Jika wakaf pada masa lalu seringkali dikaitkan dengan benda
tidak bergerak, seperti tanah maupun bangunan, kini mulai dikembangkan wakaf dalam
bentuk lain, misalnya wakaf uang (cash waqf) yang penggunaannya di samping untuk
kepentingan tersebut, juga dapat dimanfaatkan secara fleksibel bagi pengembangan usaha
produktif. Ciri utama wakaf yang sangat membedakan dengan yang lainnya adalah ketika
wakaf ditunaikan terjadi pergeseran kepemilikan pribadi menuju kepemilikan Allah SWT
yang diharapkan abadi dan memberikan manfaat secara berkelanjutan. Melakukan wakaf
berarti mengembangkan harta produktif untuk generasi yang akan datang sesuai dengan
tujuan wakaf, baik berupa manfaat, pelayanan dan pemanfaatan hasilnya.

Dari berbagai pengertian tentang wakaf, dapat dimaknai bahwa wakaf merupakan
perbuatan hukum wakif untuk memindahkan hak kepemilikan suatu benda abadi tertentu
kepada orang lain (individu) atau organisasi/lembaga, untuk diambil manfaatnya dalam
rangka ibadah sesuai ajaran agama Islam.

B. Rumusan Masalah

1. Apa potensi wakaf ?

2. Bagaimana perkembangan hukum wakaf ?

3. Bagaimana pajak dan hubungannya dengan Wakaf ?

4. Apa saja Objek Wakaf : Wakaf uang dan saham ?

C. Tujuan

1. Untuk mengetahui Potensi Wakaf.

2. Untuk mengetahui Perkembangan Hukum Wakaf.

3. Untuk mengetahui Pajak dan Hubungannya dengan Wakaf.

4. Untuk mengetahui Objek Wakaf : Wakaf Uang dan Saham.

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. POTENSI WAKAF

Praktek sejenis wakaf sudah dikenal di berbagai kelompok masyarakat


manusia jauh sebelum islam muncul. Salah satu tujuan mereka mengeluarkan
sebagian harta mereka adalah untuk mendirikan bangunan tempat penyembahan.
Demikian juga halnya dengan yang dilakukan oleh masyarakat muslim. Wakaf untuk
masjid merupakan salah satu bentuk wakaf yang paling awal yang mereka lakukan.
Masjid merupakan salah satu kebutuhan pokok umat dalam kehidupan beragama
mereka sekaligus merupakan tuntutan doktrin keagamaan. Di sanalah mereka
melakukan ibadah ritual dan kegiatan kegiatan keagamaan yang lain. Salah satu
keutamaan bagi orang yang membangun masjid sebagaimana hadist Nabi Saw.:
“Barang siapa yang membangun masjid, maka Allah akan bangunkan baginya
semisalnya si surga.”(HR.Bukhari Muslim)
Oleh karena itu, tidak mengherankan jika semangat mengeluarkan sebagian
harta mereka berupa wakaf untuk membangun masjid tumbuh begitu besar dikalangan
umat islam. Bangunan masjid bertebaran diseluruh di seluruh penjuru tanah air.
Dimana satu komunitas muslim terbentuk, maka disana pula berdiri masjid. Bahkan,
dibanyak tempat satu kampong bisa lebih dari satu masjid. Belum lagi dihitung
bangunan mushala dan majlis ta’lim yang biasanya juga berasal dari harta wakaf.
Menurut data Departemen Agama tahun 1987, luas tanah wakaf yang dipakai untuk
bangunan masjid berjumlah 65.655 lokasi atau 30,94% dari jumlah total tanah wakaf
dengan luas 84.699.935,86 m dan mushalla berjumlah 79.594 lokasi atau 37,55% dari
jumlah total tanah wakaf dengan luas 35.060.094,40 m.
Jika kita memperhatikan sejarah perwakafan, terlihat bahwa wakaf yang
pertama kali dilakukan oleh sahabat Umar bin Khatab atas petunjuk Nabi Saw, yang
kemudian diambil menjadi definisi wakaf adalah wakaf dalam bidang sosial ekonomi.
Sahabat Umar mewakafkan sebidang tanah di Khaibar yang manfaatnya ia
sedekahkan kepada orang yang membutuhkan. Namun demikian, wakaf yang
berkembang saat ini lebih banyak untuk keperluan ibadah ritual dalam bentuk masjid
dan mushalla. Sedangkan wakaf untuk pemberdayaan ekonomi masyarakat kurang
popular. Bahakan, cenderung ada anggapan bahwa wakaf dalam bidang non-masjid
dan mushalla kurang nilai kebaikannya. Hal ini bisa dilihat dari data penggunaan
tanah wakaf.
Mustafa E. Nasution menyampaikan beberapa penyebab relative kecilnya peran
lembaga wakaf dalam perekonomian suatu negara antara lain adalah:
1. Berbagai masalah yang berkaitan dengan pengelolaan lembaga wakaf
2. Masyarakat masih tergiur dengan sistem ekonomi non syariah
3. Belum adanya undang undang wakaf yang komprehensif-integral
4. Berbagai masalah yang berkaitan dengan fikih wakaf

2
Ungkapan Nasution diatas menunjukkan bahwa peran wakaf sebenarnya dapat
ditingkatkan untuk kemaslahatan umat diberbagai bidang, hanya saja permasalahan-
permasalahan klasik yang terkadang sulit ditemukan ujung pangkalnya membutuhkan
para pemikir wakaf ynag serius merancang dan menyajikan ide baru demi
berkembangnya wakaf di masa depan. Hal ini perlu di evaluasi karena jumlah umat
islam yang terbesar di dunia terutama di Indonesia merupakan asset terbesar untuk
penghimpunan dan pengembangan wakaf kedepannya. Jika sebelumnya disampaikan
mengenai potensi jenis wakaf yang berupa tanah dan bangunan yang merupakan harta
tak bergerak, terdapat juga dana potensial wakaf uang yang dapat dipergunakan bagi
kemaslahatan dan kesejahteraan umat. Mustafa E. nasution menjelaskan tentang
potensi wakaf di Indonesia dengan jumlah umat muslim yang dermawan diperkirakan
sebesar 10 juta jiwa dengan rata-rata penghasilan Rp 500.000 hingga Rp 10.000.000,
maka paling tidk akan terkumpul dana sekitar 3 triliun pert tahun dari dana wakaf
seperti perhitungan tabel berikut:

Tingkat Jumlah Besar Potensi Potensi


penghasilan/bulan muslim wakaf/bulan wakaf wakaf
uang/bulan uang/tahun
Rp 500.000 4 juta Rp 5.000 Rp 20 milyar Rp 240
milyar
Rp 1 juta – 2 juta 3 juta Rp 10.000 Rp 30 milyar Rp 360
milyar
Rp 2 juta – 5 juta 2 juta Rp 50.000 Rp 100 Rp 1,2 triliun
milyar
Rp 5 juta 1 juta Rp 100.000 Rp 100 Rp 1,2 triliun
milyar
Total Rp 3 triliun

Sedangkan menurut Cholis Nafis, jika 20 juta umat islam Indonesia mau
mengumpulkan wakaf uang senilai Rp 100 ribu setiap bulan, maka dana yang
terkumpul berjumlah Rp 24 triliun setiap tahun. Jika 50 juta orang yang berwakaf,
maka setiap tahun akan terkumpul dana wakaf sebesar Rp 60 triliun. Jika saja terdapat
1 juta umat muslim yang mewakafkan dananya sebesar Rp 100.000 perbulan, maka
akan diperoleh pengumpulan dana wakaf sebesar Rp 100 milyar setiap bulannya (Rp
1,2 triliun per tahun).1

B. PERKEMBANGAN HUKUM WAKAF

1
Bashlul Hazami, “Peran dan Aplikasi Wakaf dalam Mewujudkan Kesejahteraan Umat di Indonesia”
Analisis Vol XVI, Nomor 1, juni 2016.

3
Sejak dan setelah datangnya Islam ke Indonesia, sebagian besar masyarakat Indonesia
melaksanakan wakaf berdasarkan paham keagamaan yang dianut, yaitu paham Syafi’iyah dan
adat kebiasaan setempat. Sebelum adanya UU No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok Agraria dan PP No 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik, masyarakat Islam
masih menggunakan kebiasaan keagamaan, seperti kebiasaan melakukan perbuatan hukum
perwakafan tanah melalui lisan atas dasar saling percaya kepada seseorang atau lembaga
tertentu. Kebiasaan-kebeiasaan tersebut seringkali dilakukan tanpa harus melaui prosedur
administrative dan menganggap harta wakaf adalah milik Allah semata dan tak tidak akan
ada seorang pun yang berani mengganggu gugat tanpa seizin Allah.2

Pemahaman seperti ini memunculkan persoalan mengenai validitas legal tentang harta
wakaf yang berujung pada timbulnya persengketaan-persengketaan karena tiada bukti yang
mampu menunjukkan bahwa benda-benda bersangkutan telah diwakafkan. Selain tradisi lisan
dan tingginya kepercayaannya kepada penerima amanah dalam melakukan wakaf, umat islam
Indonesia lebih banyak mengambil pendapat dari golongan Syafi’iyah sebagaimana mereka
mengikuti mazhabnya. Beberapa penjelasan klasik mengenai paham ini adalah :

1. Ikrar wakaf

Kebiasaan masyarakat sebelum adanya Undang-undang yang mengatur tentang wakaf


yaitu menggunakan pernyataan lisan saja yang didasarkan pada adat kebiasaan keagamaan
yang bersifat lokal. Namun demikian ketika seseorang mewakafkan hartanya dengan tulisan
atau isyarat untuk menyatakan dan menjelaskan kehendaknya bukan berarti wakaf yang
dilakukan tidak sah. Justru dengan langkah ini bisa menjadi bukti yang kuat bahwa si wakif
telah melakukan wakaf.

2. Harta yang boleh diwakafkan

Benda yang diwakafkan dipandang sah apabila memenuhi syarat-syarat sebagai


berikut:

a. Benda harus memiliki nilai guna. Tidak sah hukumnya mewakafkan sesuatu yang
tidak berupa benda. Seperti hak irtifaq, hak irigasi, hak pakai, dan lain sebagainya.
b. Benda tetap atau benda bergerak yang dibenarkan untuk diwakafkan. Kebiasaan
masyarakat Indonesia hingga sekarang pada umumnya mewakafkan harta yang
berupa harta yang berupa yang tidak bergerak, seperti tanah, bangunan masjid,
madrasah, pesantren, panti asuhan , dan sebagainya.
c. Benda yang diwakafkan harus tertentu (diketahui) ketika terjadi akad wakaf.
Penentuan tersebut bisa ditetapkan jumlahnya atau nisbahnya.
d. Benda yang diwakafkan telah menjadi milik tetap (milk attamm) si wakif.

3. Kedudukan harta setelah diwakafkan

2
Acmad Djunaidi, Menuju Era Wakaf Produktif : Sebuah Upaya Progresif untuk Kesejahteraan Umat, (Jakarta
: Mitra Abadi Press), 2006.

4
Di lingkungan Indonesia bahwa semangat pelaksanaan wakaf lebih bisa dilihat
dari adanya kekekalan fungsi atau manfaat untuk kesejahteraan umat atau
kemaslahatan umat agama, baik terhadap diri maupun lembaga yang telah ditunjuk
oleh wakif. Wakif sudah tidak memiliki hak terhadap benda itu. Bahkan ia tidak
berhak mengikrarkan benda itu menjadi hak milik orang lain, menjual menggadaikan,
menghibahkan, dan mewariskan.3

4. Harta Wakaf ditujukan kepada siapa?


Dalam realitas masyarakat kita wakaf yang ada selama ini ditujukan kepada dua
pihak :
a) Keluarga atau orang tertentu (wakaf ahli) yang ditunjuk oleh wakif. Dalam
wakaf ahli terdapat dua kebaikan, yatiu kebaikan amal ibadah dan kebaikan
silaturahin yang diberi amanah wakaf. Akan tetapi wakaf ahli seringkali
menimbulkan masalah, apalagi anak cucu si wakif berkembang sedemikian
rupa akan menyulitkan cara pembagian hasil harta wakaf.
b) Wakaf untuk kepentingan agama atau kemasyarakatan (wakaf khairi) wakaf
ini bisa berupa pembangunan masjid, sekolah, jembatan, rumah sakit dan lain-
lain.
c) Boleh tidaknya menukar harta wakaf. Dalam kasus masjid, tidak boleh
menjual masjid wakaf secara mutlah, sekalipun masjid itu roboh. Berbeda
dengan pandangan Ahmad bin Hanbal justru membolehkan menjual harta
wakaf dengan harta yang lain. Dalam kasus yang sama (masjid), boleh dijual
apabila masjid itu sudah tidak lagi sesuai dengan tujuan pokok perwakafan
sebagaimana tujuan dan niat wakif saat akad wakaf dilangsungkan.

5. Adanya kebiasaan masyarakat kita yang ingin mewakafkan sebagian hartanya dengan
mempercayakan penuh kepada seseorang yang dianggap tokoh dalam masyarakat
sekitar, seperti kyai, ulama, ustadz, dan lain-lain sebagai nadzir. Selain itu, dalam
pengelolaan harta wakaf produktif, pihak yang paling berperan adalah Nadzir wakaf,
yaitu seseorang atau sekelompok orang dari badan hukum yang diserahi tugas oleh
wakif untuk mengelola wakaf. Memang terlalu banyak contoh pengelolaan harta
wakaf yang dikelola oleh nadzir yang tidak memiliki kemampuan memadai, sehingga
harta wakaf tidak berfungsi secara maksimal, bahkan sering membebani dan tidak
member manfaat sama sekali kepada sasaran wakaf.4

Pengelolaan harta wakaf produktif, pihak yang paling berperan berhasil tidaknya dalam
pemanfaatan harta wakaf adalah Nazhir yaitu seseorang atau kelompok orang dan badan
hukum yang diserahi tugas oleh wakif untuk mengelola harta wakafnya.
Menurut Eri Sudewo, mantan CEO Dompet duafa republika menyatakan bahwa Nazhir
minimal harus mempunyai persyaratan yaitu syarat moral yang meliputi pemahaman serta

3
Indonesia, Perkembangan Pengelolaan Wakaf di Indonesia, (Indonesia : Direktorat Pemerdayaan Wakaf
Depag),2006.
4
Http://anninoviana.blogspot.com/pengelolaan-benda-wakaf-wakaf-produktif.html

5
spiritual yang baik dan syarat manajemen dan bisnis. 5 Untuk itulah profesionalisme nadzir
menjadi ukuran yang paling penting dalam pengelolaan wakaf apapun.

Penanganan wakaf secara produktif di Indonesia masih sangat kecil dan sedikit jumlahnya.
Namun terdapat beberapa lembaga yang berhasil dan menjadi panutan dalam mengelola harta
wakaf bergerak ataupun tidak bergerak di Indonesia. Misalnya PB Matla’ul Anwar dengan
“Dana Firdaus”, Dompet Dhuafa Republika, Baitul Maal Muamalat”, Universitas Indonesia,
dan sebagainya.

C. PAJAK DAN HUBUNGANYA DENGAN WAKAF

Pajak, menurut pasal 1 angka 1 UU No. 6 Tahun 1983 sebagaimana telah


disempurnakan terakhir dengan UU No.28 thun 2007 tentang ketentuan umum dan tata cara
perpajakan, pajak adalah kontribusi wajib terhadap negara yang terutang oleh orang pribadi
atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang Undang, dengan tidak mendapat
timbal balik secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat.
Tanah wakaf yang bersertifikat wakaf tidak dikenakan Pajak Bumi dan Bangunan
(PBB). Dasar hukumnya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan
Bangunan, pasal 3 ayat 1 menyatakan objek pajak yang tidak dikenakan Oajak Bumi dan
Bangunan adalah objek pajak yang antara lain digunakan semata-mata untuk melayani
kepentingan umum dibidang ibadah, sosial, kesehatan, pendidikan dan kebidayaan nasional
yang tidak dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan.

Hubungan sistem kolaborasi antara pajak dengan wakaf:

Pertama, wakaf dapat ditujukan kepada semua kalangan, tidak seperti zakat yang
selama ini menjadi bahan perdebatan karena membandingkannya dengan pajak. Perdebatan
muncul karena zakat hanya boleh diterima oleh 8 golongan saja, sedngkan pajak ditujukan
kepada semua golongan.

Kedua, penyaluran dana pajak salah satunya adalah untuk pengadaan infrastruktur
umum. Ini dapat dikaitkan dengan wakaf yang memiliki tujuan untuk melayani kebutuhan
umat.

Ketiga, sekarang telah hadir wakaf uang yakni wakaf yang dilakukan seseorang,
kelompok orang, lembaga atau badan hukum dalam bentuk uang tunai. Menurut fatwa MUI
pada 11 Mei 2002, wakaf uang ini diperbolehkan dengan syarat nilai pokok wakaf uang harus
dijamin kelestariannya, tidak boleh dijual, dihibahkan, dan atau diwariskan. Oleh karena itu,

5
Indonesia, Perkembangan Pengelolaan Wakaf di Indonesia, (Indonesia : Direktorat Pemerdayaan Wakaf
Depag),2006.

6
pembangunan infrastruktur seperti sekolah, jembatan, masjid atau bangunan produktif
lainnya dapat menggunakan dana wakaf.

Wajib Pajak ketika membayar pajak melalui aplikasi E-Billing, boleh memilih dana
pajak akan dialokasikan ke mana dananya, apakah untuk wakaf atau pajak. Jika memilih
wakaf, jenis wakaf bidang apa yang diambil, misalnya untuk pembangunan waduk di
Kabupaten Lombok Timur dibutuhkan dana Rp 100 miliar. Wajib pajak bisa mengalokasikan
pajaknya untuk pembangunan tersebut. Nantinya wajib pajak diberi sertifikat terkait wakaf
atas waduk itu.

Di sisi lain wajib pajak dapat membagi dana untuk wakaf dan pajak. Persentase wakaf yang
disalurkan tetap mengikuti sistem wakaf sebelumnya. Sementara, dana pajak akan dikelola
untuk dana selain yang dipilih.6

D. OBJEK WAKAF: WAKAF UANG DAN SAHAM

Wakaf yang kita jumpai pada umumnya lebih banyak bersifat konsumtif dan lebih
terfokus untuk kepentingan pembangunan atau keperluan sarana dan prasarana ibadah seperti
masjid, musholla, madrasah, yayasan yatim piatu dan lain-lain.Hal-hal tersebut dikarenakan
pada masa lalu masyarakat hanya mengenal benda atau objek wakaf berupa benda tetap
(tidak bergerak) seperti tanah dan bangunan.7

Seiring dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 41 tahun 2004 yang mana di


dalamnya selain mengatur objek wakaf yang tidak bergerak juga mengatur dan
mengembangkan tentang benda atau objek wakaf yang berupa benda bergerak seperti uang,
saham atau surat-surat berharga, maka perubahan paradigma masyarakat sedikit mengalami
perubahan tentang objek benda yang boleh di wakafkan.

Secara rinci dijelaskan bahwa Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 memperkuat


posisi wakaf :

1. Pertama, dinaikkan posisinya dari Peraturan Pemerintah dan Insruksi Presiden


menjadi Undang-Undang
2. Kedua, cakupan objek wakaf yang pada awlnya terbatas pada tanah dan benda
diperluas hingga mencakup benda-benda yang tidak berwujud seperti Hak Kekayaan
Intelektual (HAKI).
3. Ketiga, dalam rangka menggunakan sarana wakaf sebagai media untuk menciptakan
kesejahteraan umum serta pemerintah dapat memperluas aparat penegakan hukum
wakaf, termasuk Pembentukan Badan Wakaf Indonesia.8

6
https://news.ddtc.co.id/kolaborasi-pajak-dengan-wakaf-mungkinkah-14693
7
Perkembangan Pengelolaan Wakaf Di Indonesia, (Jakarta: Direktorat Jendral Bimbingan
Masyarakat Islam Dan Penyelenggaraan Haji, 2003)
8
Kartini Muljadi & Gunawan widjaja, Kedudukan Berkuasa dan Hak Milik, (Jakarta: Prenada Media,

7
Menurut Hazmah salah satu anggota Badan Peradilan Agama, Subtansi pada poin inti
Undang-Undang Wakaf ini cukup signifikan dalam dunia perwakafan, karena wakaf seperti
uang, saham dan surat berharga lainnya merupakan stimulus riil dalam pembangunan
ekonomi. Aset kemanfaatan dzat atau benda wakaf bergerak menjadi esensi dari jenis benda
wakaf ini diharapkan bisa menggerakkan seluruh potensi wakaf untuk kesejahteraan
masyarakat luas.Perubahan sosial pada lembaga perwakafan dapat dilihat bahwa sekarang
perwakafan harus memiliki peran sosial yang lebih baik, dan memiliki implikasi positif.
Dengan adanya lembaga perwakafan dapat menjamin status hukum waqif maupun status
kepemilikan mauquf alaih dalam kegiatan perwakafan tersebut. Dengan begitu adanya
lembaga perwakafan sangat membantu kegiatan perwakafan dari segi ketertiban dari segi
prosedural, teknik dan administratif di bidang penyelenggaraan perwakafan, dan menjamin
maksimalisasi perolehan manfaat secara optimal dengan tetap memperhatikan azas dan
hukum syariat Islam.

Dengan demikian dapat dikatakan, bahwa sesungguhnya lembaga perawakafan saat


itu telah memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada masyarakat dan umat Islam
untuk (dapat) mewakafkan sebagian benda harta kekayaan miliknya untuk memajukan
kesejahteraan umum, yang kesemuanya dimaksudkan untuk pengembangan dan pemanfaatan
potensi kekuatan ekonomi umat Islam dalam rangka untuk memajukan kesejahteraan umum,
di samping dalam rangka menyediakan berbagai sarana ibadah keagamaan dan sosial.9

Kelahiran Undang-undang No. 41 Tahun 2004, merupakan fiqih Indonesia sebagai


hasil ijtihad para ulama Indonesia yang sesuai dengan kebutuhan dan setting sosial pada saat
ini. Tetapi ijtihad ulama-ulama Indonesia ini tidak bisa membatalkan ijtihad ualam-ulama
fiqih terdahulu. Hal ini sesuai dengan kaidah kuliyyah :

Dalam Undang-undang Nomor 41 tahun 2004 dijelaskan bahwa Hak Kekayaan


Intelektual merupakan bagian dari benda tidak berwujud (immateriil) dan merupakan benda
bergerakselain uang yang bisa menjadi objek harta yang dapat diwakafkan, karena Peraturan
Perundang-undangan menyebutkan hal itu termasuk dalam benda yang dapat di wakafkan
sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip syariah.7 Hak Kekayaan Intelektual
dianggap sebagai benda yang dapat dimiliki karena pada dasarnya Pengertian benda secara
yuridis ialah secara segala sesuatu yang menjadi objek hak. Sedangkan yang menjadi objek
hak itu tidak hanya benda berw jud tetapi juga benda tidak berwujud.

Dalam Undang-Undang No 19 Tahun 2002 yang menjelaskan bahwa hak cipta dapat
beralih dan di alihkan, baik seluruhnya maupun sebagian karena:

1. Pewarisan
2. Hibah
3. Wasiat
4. Perjanjian tertulis

2005)
9
Jaih Mubarok, Wakaf Produktif, (Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2008)

8
5. Sebab-sebab lain yang dibenarkan oleh perundang-undangan.10

BAB III

PENUTUP

1. Kesimpulan

Praktek sejenis wakaf sudah dikenal di berbagai kelompok masyarakat manusia jauh sebelum
islam muncul. Salah satu tujuan mereka mengeluarkan sebagian harta mereka adalah untuk
mendirikan bangunan tempat penyembahan.

10
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004, Pasal 21 ayat 2

9
Sejak dan setelah datangnya Islam ke Indonesia, sebagian besar masyarakat Indonesia
melaksanakan wakaf berdasarkan paham keagamaan yang dianut, yaitu paham Syafi’iyah dan adat
kebiasaan setempat. Sebelum adanya UU No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria
dan PP No 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik, masyarakat Islam masih menggunakan
kebiasaan keagamaan, seperti kebiasaan melakukan perbuatan hukum perwakafan tanah melalui lisan
atas dasar saling percaya kepada seseorang atau lembaga tertentu.

Kebiasaan-kebeiasaan tersebut seringkali dilakukan tanpa harus melaui prosedur


administrative dan menganggap harta wakaf adalah milik Allah semata dan tak tidak akan ada seorang
pun yang berani mengganggu gugat tanpa seizin Allah.

Pajak, menurut pasal 1 angka 1 UU No. 6 Tahun 1983 sebagaimana telah


disempurnakan terakhir dengan UU No.28 thun 2007 tentang ketentuan umum dan tata cara
perpajakan, pajak adalah kontribusi wajib terhadap negara yang terutang oleh orang pribadi
atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang Undang, dengan tidak mendapat
timbal balik secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat.

Seiring dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 41 tahun 2004 yang mana di dalamnya
selain mengatur objek wakaf yang tidak bergerak juga mengatur dan mengembangkan tentang benda
atau objek wakaf yang berupa benda bergerak seperti uang, saham atau surat-surat berharga, maka
perubahan paradigma masyarakat sedikit mengalami perubahan tentang objek benda yang boleh di
wakafkan.

DAFTAR PUSTAKA

Acmad Djunaidi, Menuju Era Wakaf Produktif : Sebuah Upaya Progresif untuk
Kesejahteraan Umat, (Jakarta : Mitra Abadi Press), 2006.

Bashlul Hazami, “Peran dan Aplikasi Wakaf dalam Mewujudkan Kesejahteraan Umat di
Indonesia” Analisis Vol XVI, Nomor 1, juni 2016.

10
Http://anninoviana.blogspot.com/pengelolaan-benda-wakaf-wakaf-produktif.html
https://news.ddtc.co.id/kolaborasi-pajak-dengan-wakaf-mungkinkah-14693

Indonesia, Perkembangan Pengelolaan Wakaf di Indonesia, (Indonesia : Direktorat


Pemerdayaan Wakaf Depag),2006.

Indonesia, Perkembangan Pengelolaan Wakaf di Indonesia, (Indonesia : Direktorat


Pemerdayaan Wakaf Depag),2006.

Kartini Muljadi & Gunawan widjaja, Kedudukan Berkuasa dan Hak Milik, (Jakarta: Prenada
Media, 2005)

Perkembangan Pengelolaan Wakaf Di Indonesia, (Jakarta: Direktorat Jendral Bimbingan


Masyarakat Islam Dan Penyelenggaraan Haji, 2003)

Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004, Pasal 21 ayat 2

11

Anda mungkin juga menyukai