Disusun Oleh:
Kelompok : 4
Rusyidatul Karimah : 2020110800
Faurina Azizah : 2020110804
Riska Maulida : 2020110799
Yahya : 2020110804
KELOMPOK 4
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR....................................................................................ii
DAFTAR ISI...................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN...............................................................................1
A. Latar Belakang......................................................................................1
B. Rumusan Masalah.................................................................................1
C. Tujuan Penulisan...................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN.................................................................................3
A. Sejarah Zakat di Indonesia....................................................................3
B. Zakat Menurut peraturan perundang-undangan di Indonesia...............6
C. Pengelolaan Zakat di Indonesi.............................................................. 9
D. Zakat Kontemporer Versi Indonesia.....................................................
BAB III PENUTUP.........................................................................................11
A. Kesimpulan...........................................................................................11
B. Saran.....................................................................................................11
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................12
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1
penerima zakat menjadi Pembayar zakat. Oleh karena itu, jika zakat diterapkan dalam
bentuk dan cara yang benar Dapat meningkatkan keimanan serta dapat mendorong
pertumbuhan ekonomi secara luas.
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Masalah
2
BAB II
PEMBAHASAN
1
Zusiana Elly Triantini, Perkembangan Pengelolaan Zakat Di Indonesia, Al-Ahwal, Vol.
3, No. 1, 2010, h. 92.
3
dicabut, karena Menteri Keuangan menolak gagasan legislasi zakat yang dibuat
setahun sebelumnya oleh Departemen Agama. Yang cukup mengundang tanda
tanya, langkah ini diambil tanpa menghiraukan anjuran Menteri Keuangan sendiri
bahwa keputusan tingkat menteri sudah cukup untuk mengatur administrasi zakat.
Namun, atas seruan dan dorongan Presiden berturut-turut pada peringatan
Isra‟ Mi‟raj dan Idul Fitri 1968 keluarlah Instruksi Menteri Agama No.1 tahun
1969 tentang Penundaan PMA No.4 dan 5 tahun 1968. Presiden Soeharto
menegaskan bahwa zakat harus diatur secara sistematis. Dalam rangka itu, seperti
dicatat Taufik Abdullah, “ia, sebagai seorang warganegara (yang beragama
Islam), bersedia menggalang „upaya massif berskala nasional untuk
mengumpulkan zakat‟ dan menyampaikan laporan tahunan tentang pengumpulan
dan pendistribusian zakat.
Setelah penundaan tersebut, perkembangan pengelolaan zakat oleh negara
mengalami stagnasi. Dan zakat yang pada dasarnya dapat menyumbang kemajuan
ekonomi masyarakat berfungsi secara kultural dan terbatas. Distribusi zakat
dilakukan melalui lembaga-lembaga agama seperti pesantren, panti asuhan, atau
melalui amil zakat yang dibentuk oleh masyarakat secara temporer (pada zakat
fitrah).2
Nafas baru pengelolaan zakat baru didapatkan kembali pada era 1990-an.
Negara mulai memberikan perhatian pada pengelolaan zakat melalui lembaga
yang dibentuknya yaitu baziz. Pada tahun 1991, pemerintah mengeluarkan Surat
Keputusan Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama Republik
Indonesia Nomor 29 dan 47 Tahun 1991 tentang Pembinaan Badan Amil Zakat,
Infaq dan shadaqah. Dan diikuti dengan Instruksi Menteri Agama Nomor 5 Tahun
1991 tentang Pembinaan Teknis Badan Amil Zakat, Infaq dan Shadaqah dan
Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 7 Tahun 1998 tentang Pembinaan Umum
Badan Amil Zakat, Infaq dan Shadaqah. Tentu hal ini juga dipengaruhi oleh relasi
Islam dan negara yang pada saat itu sedang mulai membaik sehingga ormas-ormas
Islam seperti Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama ikut berperan dalam
pengelolaan dan pendayagunaan zakat. Selain itu juga terdapat lembaga-lembaga
2
Ibid., h. 93.
4
zakat yang dikelola oleh masyarakat seperti LAZ (Lembaga Amil Zakat).
Pengelolaan zakat terus berkembang seiring dengan dinamisnya kondisi
politik dan ekonomi di Indonesia. Puncaknya pada 1999 dimana dikeluarkan UU
No 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat yang disusul dengan Keputusan
Menteri Agama No 581 Tahun 1999. Pada masa ini muncul Lembaga Amil Zakat
(LAZ) yang disahkan, yakni (1) Dompet Dhuafa, (2) Yayasan Amanah Takaful,
(3) Pos Keadilan Peduli Ummat (PKPU), (4) Yayasan Baitul Maal Muamalat, (5)
Yayasan Dana Sosial Al Falah, (6) Yayasan Baitul Maal Hidayatullah, (7) LAZ
Persatuan Islam (PERSIS), (8) Yayasan Baitul Maal Ummat Islam (BAMUIS) PT
BNI (persero) tbk, (9) LAZ Yayasan Bangun Sejahtera Mitra Umat, (10) LAZ
Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, (11) LAZ Yayasan Baitul Maal Bank
Rakyat Indonesia, (12) LAZIS Muhammadiyah, (13) LAZ Baitul Maal Wat
Tamwil (BMT), (14) LAZ Yayasan Dompet Sosial Ummul Quro (DSUQ), (15)
LAZ Baituzzakah Pertamina (BAZMA), (16) LAZ Dompet Peduli Ummat Daarut
Tauhid (DPUDT), (17) LAZ Nahdlatul Ulama (NU), dan (18) LAZ Ikatan
Persaudaraan Haji (IPHI).3
5
lagi yaitu Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat.
Secara eksplisit tujuan dari Undang-Undang Pengelolaan Zakat adalah
untuk mendongkrak dayaguna dan hasilguna pengelolaan zakat, infak dan
shadaqah di Indonesia. Karena itu pengelolaan zakat harus dilembagakan
(formalisasi) sesuai dengan syariat Islam. Dan harus memenuhi asas-asas amanah,
kemanfaatan, keadilan, kepastian hukum, terintegrasi, dan akuntabilias sehingga
dapat meningkatkan efektivitas dan efesiensi pelayanan.4
Dengan dikeluarkannya peraturan perundang-undangan tentang
pengelolaan zakat tersebut selangkah lebih maju Bangsa Indonesia untuk
meningkatkan kesadaran masyarakat dalam penunaian dan pelayanan ibadah zakat
khususnya bagi umat Islam, karena zakat sebagai rukun Islam merupakan
kewajiban setiap muslim yang mampu untuk membayarnya dan diperuntukkan
bagi mereka yang berhak menerimanya. Dengan pengelolaan yang baik
(profesional, amanah, transparan dan bertanggung jawab) maka zakat merupakan
sumber dana potensial yang dapat dimanfaatkan untuk memajukan bagi
kesejahteraan masyarakat terutama pengentasan kemiskinan dan pemberantasan
kesenjangan sosial.
Dalam Pasal 6 dan Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2011 dijelaskan, peran BAZNAS menjadi lembaga yang berwenang melakukan
tugas pengelolaan zakat secara nasional. Fungsi BAZNAS disebutkan sebagai
perencanaan, pelaksana, pengendalian baik dalam pengumpulan, pendistribusian,
dan pendayagunaan zakat. Selain itu, pelaporan dan pertanggungjawaban
pelaksanaan pengelolaan zakat. Dalam hal ini BAZNAS cukup punya kewenangan
yang lebih. Jika kemampuan BAZNAS pada Undang-Undang Nomor 38 Tahun
1999 memiliki kewenangan yang terbatas, sehingga dari sisi pengumpulan maupun
pendistribusian kalah jauh dengan LAZ. Akan tetapi dengan kewenangan yang
diberikan sekarang BAZNAS akan sangat leluasa dengan memiliki hirarki dan
jaringan hingga tingkat struktur yang paling bawah.
Salah satu hal terpenting dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011
tentang Pengelolaan Zakat di antaranya adalah terkait dengan penguatan
4
Muhammad Iqbal, Hukum Zakat Dalam Perspektif Hukum Nasional, Jurnal Asy-
Syukriyyah, Vol. 20, No. 1, 2019, h. 42.
6
kelembagaan. Dalam Undang-undang ini BAZNAS (Badan Amil Zakat Nasional)
disebutkan sebagai lembaga pemerintah non struktural yang merupakan
perpanjangan tangan dari pemerintah. Dalam hal ini secara teknis BAZNAS di
bawah koordinasi Kementerian Agama. Jika pada Undang-Undang Nomor 38
Tahun 1999 yang duduk di BAZNAS disebut sebagai pengurus, maka di dalam
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat, sebutan
mereka tidak lagi sebagai pengurus, tetapi anggota komisioner.
BAZNAS sebagai lembaga yang diatur secara definitif dalam undang-
undang juga memiliki sifat mandiri, sebagaimana disebut Pasal 5 ayat (3) Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2011 BAZNAS merupakan lembaga pemerintah
nonstruktural yang bersifat mandiri. Namun, selain sifat mandiri, ada dua unsur
lain yang diatur dalam pasal tersebut, yaitu BAZNAS sebagai lembaga pemerintah
non-struktural, dan bertanggungjawab kepada Presiden melalui Menteri Agama.
5
Kementerian Agama RI, Standarisasi Amil Zakat di Indonesia, Jakarta: Direktorat
Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Direktorat Pemberdayaan Zakat, 2013), h. 47.
7
b. pelaksanaan pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat;
8
perawatan yang lebih besar daripada jumlah zakat yang diterima.
Pendistribusian melalui cara tersebut juga dinilai banyak kalangan
sebagai pendistribusian secara konsumtif yaitu harta zakat yang diberikan
segera habis setelah digunakan. Kenyataan seperti itu menggugah para ulama
untuk merumuskan suatu skema pendistribusian zakat secara produktif agar
mustahik memperoleh manfaat pendaya-gunaan zakat yang lebih besar. Oleh
sebab itu, BAZNAS dituntut untuk dapat merumuskan pengalihan cara, teknik,
strategi dan metode dari mulai pengumpulan hingga pendistribusian dan
pendayagunaan zakat melalui program-program yang dapat diterima oleh
masyarakat.
6
Ibid., h. 59.
9
muzaki datang ke kantor atau kantor layanan Lazismu untuk menyalurkan ZIS
nya. Strategi kedua Lazismu menjemput langsung dana ZIS kepada para
donatur pribadi maupun institusi. Strategi menjemput ZIS ini diwujudkan
dalam program layanan jemput zakat.
Lazismu melakukan sosialisasi secara masif untuk mengenalkan program
program Lazismu kepada masyarakat Kota Medan, terkhusus dikalangan
Muhammadiyah dengan tujuan warga Muhammadiyah mengetahui eksistensi
Lazismu di Kota Medan. Hal ini dimaksudkan untuk menimbulkan minat
warga Muhammadiyah untuk datang ke kantor Lazismu dalam rangka
menyalurkan ZIS nya. Lazismu melakukan sosialisasi pada setiap kegiatan
pengajian Muhammadiyah yang dilaksanakan dari tingkatan Pimpinan Ranting
Muhammadiyah (PRM), Pimpinan Cabang Muhammadiyah (PCM) sampai
Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Kota Medan. Lazismu juga
melakukan sosialisasi dengan menggunakan media sosial.
Lazismu tidak memiliki perbedaan strategi penghimpunan Zakat, Infaq
dan Shadaqah secara signifikan. Strategi penghimpunan yang sudah
dirumuskan dimaksudkan untuk menghimpun Zakat, Infaq dan Shadaqah
secara bersamaan. Lazismu hanya memiliki fasilitas lebih untuk menghimpun
zakat yaitu layanan hitung zakat. Hal ini dilakukan karena masih banyak
masyarakat yang belum mengerti atau mampu untuk menghitung zakatnya
sendiri. Persamaan penghimpunan ini dapat dilihat dari implementasi metode
tunggu bola dan jemput bola. Lazismu melakukan sosialisasi secara bersamaan
terkait dengan penghimpunan zakat, infaq dan shadaqah. Fundraiser
menjelaskan programprogram milik Lazismu secara keseluruhan baik dari
program-program zakat, infaq maupun shadaqah kepada calon muzaki dan
donatur, dan memberikan keluasaan kepada calon muzaki dan donatur untuk
menyerahkan dana zakatnya atau infaq dan shadaqahnya serta tidak menutup
kemungkinan untuk menyerahkan zakat, infaq dan shadaqahnya secara
bersamaan.
10
pengelola zakat yang sudah ada akibat lahirnya UU Nomor 23/2011, selain
berlebihan juga perlu direnung ulang. UU Nomor 23/2011 berupaya melakukan
penataan terhadap lembaga pengelola zakat yang sudah ada sehingga potensi
zakat dapat terhimpun secara maksimal. Oleh sebab itu, tidak terdapat sarna
sekali semangat di dalam UU Nomor 23/2011 tersebut untuk melemahkan atau
membunuh keberadaan lembaga penghimpun zakat yang ada di masyarakat.
Dalam konteks penataan pengelolaan zakat, institusi-institusi masyarakat
yang selama ini melakukan penghimpunan zakat dapat memosisikan did
sebagai Unit Pengumpul Zakat (UPZ) untuk bekerja sarna dan/atau melakukan
koordinasi dengan BAZNAS atau LAZ.
Menurut UU Nomor 23/2011, di dalamPasal16 disebutkan bahwa
UnitPengumpulZakatdibentukolehBAlNAS, BAZNAS Provinsi dan BAZNAS
Kabupaten/Kota, Pembentukan UPZ tersebut dapat dilakukan pada instansi
pernerintah, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Usaha Milik Daerah
(BUMD), perusahaan swasta, perwakilan RI di luar negeri, dan dapat
membentuk UPZ pada tingkat kecamatan, kelurahan, bahkan di masjid-masjid
dan majelis taklim.7
Dengan demikian, paling tidak terdapat dua hal yang patut dijadikan
catatan. Pertama, kenyataan adanya masjidmasjid atau sekolah-sekolah dan
majelis taklim yang selama ini melakukan penghimpunan zakat dari
masyarakat sama sekali tidak bertentangan dengan Undang-Undang. Bahkan
jika memungkinkan, institusi-institusi sosial tersebut dapat dijadikan sebagai
UPZ. Kedua, kalaupun kemudian masih terdapat banyak muzakki yang
langsung memberikan zakatnya kepada mustahik(direct zakat system), hal itu
pun tidak bertentangan dengan Undang-Undang. Hanya saja, jika kenyataan
tersebut dibiarkan, visi dan misi zakat untuk mengentaskan kemiskinan dan
memberdayakan umat menjadi sulit terlaksana. Disinilah perlunya BAZNAS,
LAl, dan juga masyarakat untuk melakukan pendidikan dan penyadaran publik
agar animo dan motivasi berzakat melalui lembaga pengelola zakat resmi terus
mengalami peningkatan.
7
Ibid., h. 66.
11
4. Panitia penerima zakat berbasis masjid
Sejak awal masjid dijadikan pusat kegiatan umat, Rasulullah SAW
membicarakan semua persoalan umat dan negara di masjid, termasuk masalah
pengelolaan zakat dimulai di masjid. Berdasar atas pertimbangan di atas
BAZNAS menggalang perencanaan gerakan memakmurkan masjid melalui
unit pengumpul zakat masjid. Jadi masjid diberdayakan kembali sebagaimana
yang telah dilakukan zaman rasulullah SAW sehingga problem kemiskinan
masyrakat sekitar masjid teratasi oleh jamahnya sendiri.8
Untuk mengawal konsistensi peribadatan kita, maka peraturan
pemerintah harus memastikan tentang tempat penyaluran zakat, adalah masjid
yang paling efektif dan paling efesien. Di negara kita, mungkin tidak kurang
satu juta masjid yang tersebar di seluruh pelosk. Tentu saja memerlukan
persiapan dan pengaturan yang cermat dengan tahapan kerja, misalnya:
12
Zakat dengan uang menjadi salah satu bentuk zakat yang paling
umum dilakukan oleh masyarakat. Para pemikir ekonomi Islam
kontemporer mendefinisikan zakat mal sebagai harta yang telah ditetapkan
oleh pemerintah atau pejabat berwenang, kepada masyarakat umum atau
individu yang bersifat mengikat dan final, tanpa mendapat imbalan tertentu
yang dilakukan pemerintah sesuai dengan kemampuan pemilik harta, yang
dialoksikan untuk memenuhi kebutuhan delapan golongan yang telah
ditentukan oleh Al - Qur’an, serta untuk memenuhi tuntutan politik bagi
keuangn Islam.9 Terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam
memberikan zakat dengan uang di era zakat kontemporer ini, di antaranya
adalah:
9
Nurdin Muhd Ali, Zakat Sebagai Instrument Dalam Kebijakan Fiskal, (Jakarta : Raja
Grafindo Persada, 2006), h. 6.
13
Lembaga amil zakat dapat memastikan bahwa zakat yang diterima
digunakan dengan baik dan membantu orang yang membutuhkan.
2. Zakat Profesi
Menurut Hafiduddin (1998: 103) zakat profesi adalah zakat yang
dikenakan pda tiap pekerjaan tau keahlian professional tertentu, baik yang
dilakukan sendirian maupun yang dilakukan bersama dengan orang atau
lembaga lain, yang mendatangkan penghasilan (uang) yang memenuhi nisab
(batas minimum untuk bisa membayar zakat. Sebagai contoh profesi, profesi
dokter, konsultan, advokasi, dosen, seniman perancang busana dan lain
sebagainya. Zakat profesi adalah zakat atas penghasilan yang diperoleh dari
pengembangan potensi diri yang dimiliki seseorang dengan cara yang sesuai
syariat, seperti upah kerja rutin, profesi dokter, pengacara, arsitek dan lain-
lain. Dari berbagai pendapat dinyatakan bahwa landasan zakat profesi
dianalogikan kepada zakat hasil pertanian yaitu dibayarkan ketika
mendapatkan hasilnya, demikian juga dengan nishabnya yaitu sebesar 524 kg
makanan pokok, dan dibayarkan dari pendapatan kotor. Sedangkan tarifnya
adalah dianalogikan kepada zakat emas dan perak yaitu sebesar 2,5 %, atas
dasar kaidah “Qias Asysyabah”.
Menurut ulama’ fikih kontemporer, zakat penghasilan atau profesi
merupakan zakat yang diwajibkan oleh kaum muslimin dewasa ini.
Maksudnya, belum pernah terjadi pada masa Rasulullah Saw., apalagi hal itu
juga masuk dalam bab ijtihad, di mana tidak ada nash yang sharih dari al-
Qur’an maupun al-Sunnah. Maka para ulama’ pun mempunyai pendapat yang
beragam tentang hal ini.10
Abu Zahrah dan Abd Wahab Khalaf mewajibakan zakat atas penghasilan
yang didapat dari profesi dengan dasar pemikiran yang diambil oleh Abu
Hanifah dan dua sahabatnya. Abu Yusuf dan Muhammad yang berpendapat
bahwa perkiraan nisab dilihat di awal haul dan akhir haul tanpa terpengaruh
dengan bertambah atau berkurangnya harta pada masa haul tersebut. Atas
10
Ahmad Atabik, Manajemen Pengelolaan Zakat Yang Efektif Di Era Kontemporer,
ZISWAF, Vol. 2, No. 1, 2015, h.46.
14
dasar pendapat tersebut, maka kedua ulama kontemporer di atas
menyimpulkan bahwa zakat penghasilan wajib dikeluarkan setiap tahunnya
selama mencapai nishab di awal dan akhir tahun. Hal ini disandarkan oleh
riwayat Imam Ahmad mengenai orang yang mendapat penghasilan penyewaan
rumah dan uang hasil penyewaan tersebut mencapai nishabnya.
Zakat diwajibkan atas jumlah senisab yang sudah melebihi kebutuhan
pokok. Selain itu juga harus dikeluarkan biaya dan ongkos-ongkos untuk
melakukan pekerjaan tersebut, berdasarkan pada pengkiasannya kepada hasil
bumi dan kurma (zira’ah) serta sejenisnya, bahwa biaya harus dikeluarkan
terlebih dahulu baru zakat dikeluarkan zakatnya dari sisa. Maka, berdasarkan
hal itu maka sisa gaji dan pendapatan setahun wajib zakat bila mencapai nisab
uang, sedangkan gaji dan upah setahun yang tidak mencapai nisab uang-
setelah biaya-biaya di atas dikeluarkan misalnya gaji pekerja-pekerja dan
pegawai-pegawai kecil, tidak wajib zakat.
15
amil zakat yang akan menerima zakat tersebut.
Pembayaran zakat melalui aplikasi juga dapat dilakukan dengan aman
dan terpercaya. Biasanya, aplikasi yang digunakan telah memiliki sertifikasi
dan keamanan yang tinggi, sehingga informasi yang Anda berikan akan
terjaga kerahasiaannya.
Namun, sebelum melakukan pembayaran zakat melalui aplikasi, Anda
sebaiknya memastikan terlebih dahulu bahwa lembaga amil zakat yang akan
menerima zakat tersebut telah terdaftar dan terpercaya. Pastikan juga bahwa
informasi yang Anda berikan dalam proses pembayaran telah benar dan
akurat.
Dalam melakukan pembayaran zakat melalui aplikasi, penting juga
untuk tetap menjaga niat dan tujuan dari zakat itu sendiri, yaitu untuk
membantu sesama yang membutuhkan dan mendapatkan ridha Allah SWT.
16
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Sejarah pengelolaan zakat di Indonesia cenderung berbeda dari masa-ke
masa. Pada masa Kolonial, pengelolaan ini diserahkan pada masyarakat, negara
kolonial menghindari campur tangan. Pada zaman Orde Lama, negara hanya
memberikan supervise dengan mengeluarkan Surat Edaran Kementrian Agama
No.A/VII/17367 tahun 1951 yang melanjutkan ketentuan ordonasi Belanda bahwa
negara tidak mencampuri urusan pemungutan dan pembagian zakat, tetapi hanya
melakukan pengawasan. Baru pada masa Orde Baru, negara mulai terlibat dan
ikut mengelola zakat melalui beberapa regulasi pemerintah.
Dalam proses perjalanan sejarah, maka pada tanggal 23 September 1999
Bangsa Indonesia telah memiliki hukum berupa Undang-Undang Nomor 38
Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat, yang pelaksanaan dan pedoman teknis
diatur dalam Keputusan Menteri Agama Nomor 581 Tahun 1999 yang telah
disempurnakan dengan keputusan Menteri Agama No. 373 tahun 2003 dan
Keputusan Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Nomor D-29 Tahun 2000.
Dalam Perkembangannya UndangUndang Zakat disempurnakan lagi yaitu
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat.
Dengan dikeluarkannya peraturan perundang-undangan tentang pengelolaan
zakat tersebut selangkah lebih maju Bangsa Indonesia untuk meningkatkan
kesadaran masyarakat dalam penunaian dan pelayanan ibadah zakat khususnya
bagi umat Islam, karena zakat sebagai rukun Islam merupakan kewajiban setiap
muslim yang mampu untuk membayarnya dan diperuntukkan bagi mereka yang
berhak menerimanya.
B. Saran
Makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, maka dari itu para pembaca
disarankan untuk membaca tentang merancang dan mengelola saluran pemasaran
teritegrasi pada referensi–referensi lainnya, agar pengetahuan pembaca semakin
17
banyak sehingga memperluas khazanah keilmuan kita.
18
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Nurdin Muhd. Zakat Sebagai Instrument Dalam Kebijakan Fiskal, (Jakarta :
Raja Grafindo Persada, 2006.
Atabik, Ahmad. Manajemen Pengelolaan Zakat Yang Efektif Di Era
Kontemporer, ZISWAF, Vol. 2, No. 1, 2015.
Hendarsyah, Decky. “Keamanan Layanan Internet Banking Dalam Transaksi
Perbankan”, jurnal Iqtishaduna, Vol. 1, No. 1, Juni 2012, Bengkalis.
Iqbal, Muhammad. Hukum Zakat Dalam Perspektif Hukum Nasional, Jurnal Asy-
Syukriyyah, Vol. 20, No. 1, 2019.
Kementerian Agama RI, Standarisasi Amil Zakat di Indonesia, Jakarta: Direktorat
Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Direktorat Pemberdayaan Zakat,
2013.
Triantini, Zusiana Elly. Perkembangan Pengelolaan Zakat Di Indonesia, Al-
Ahwal, Vol. 3, No. 1, 2010.
Wisandani, Iwan. Model Optimalisasi Pengelolaan Zakat Berbasis Masjid,
Syakhsia: Jurnal Hukum Perdata Islam, Vol. 12, No. 1, 2015.
19