Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH

Proses Perwakafan Menurut Hukum Positif dan kebiasaan


Masyarakat Islam di Indonesia
Mata Kuliah: Hukum Zakat & Wakaf di Indonesia
Dosen Pengampu: Muhammad Firliadi Noor Salim, S.S.M.H

Disusun Oleh:
Kelompok : 4
Rusyidatul Karimah : 2020110800
Faurina Azizah : 2020110804
Riska Maulida : 2020110799
Yahya : 2020110804

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM


SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM
DARUL ULUM KANDANGAN
TAHUN 2022/2023
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
makalah ini. Shalawat serta salam semoga tercurahkan kepada Nabi Muhammad
SAW yang telah membawa kita semua dari alam yang gelap gulita menuju alam
yang terang benderang, yang bercahayakan Iman, Islam dan Ihsan.
Terima kasih pula kepada dosen, Bapak :Muhammad Firliadi Noor Salim,
S.S.M.H yang telah memberikan tugas kepada penulis untuk memenuhi mata
Kuliah Hukum zakat & Wakaf di Indonesia Penulis telah berupaya dengan daya
dan kemampuan yang penulis miliki guna menyelesaikan makalah ini. Namun
penulis menyadari bahwa makalah ini masih banyak kekurangannya dan masih
perlu dilakukan perbaikan-perbaikan. Oleh karena itu, penulis harapkan akan
adanya kritik dan saran yang membangun penulis butuhkan guna untuk menulis
Makalah-makalah selanjutnya.
Akhirnya penulis berharap semoga makalah ini membawa manfaat bagi
para pembaca dan khususnya penulis pribadi. Semoga usaha penulis ini diridhoi
oleh Allah SWT.

Kandangan, 24 Maret 2023

KELOMPOK 4

ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR....................................................................................ii
DAFTAR ISI...................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN...............................................................................1
A. Latar Belakang......................................................................................1
B. Rumusan Masalah.................................................................................1
C. Tujuan Penulisan...................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN.................................................................................3
A. Sejarah Zakat di Indonesia....................................................................3
B. Zakat Menurut peraturan perundang-undangan di Indonesia...............6
C. Pengelolaan Zakat di Indonesi.............................................................. 9
D. Zakat Kontemporer Versi Indonesia.....................................................
BAB III PENUTUP.........................................................................................11
A. Kesimpulan...........................................................................................11
B. Saran.....................................................................................................11
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................12

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A.Latar Belakang Masalah


Zakat merupakan sebuah ibadah yang tercakup dalam rukun Islam ketiga.
Dari segi pelaksanaannya zakat merupakan kewajiban sosial bagi para aghniya
(hartawan) setelah kekayaannnya memenuhi batas minimal (nishab) dan rentang
waktu setahun (haul). Di antara hikma disyariatkannya zakat adalah untuk
mewujudkan pemerataan keadilan dalam ekonomi. Sebagai salah stu aset lembaga
ekonomi Islam, zakat merupakan sumber dana potensial strategis bagi upaya
Manajemen Pengelolaan Zakat Yang Efektif Di Era membangun kesejahteraan
umat. Oleh karena itu al-Qur’an memberi rambu agar zakat yang dihimpun
disalurkan kepada mustahi (orang-orang yang benar-benar berhak menerima
zakat). Sumber-sumber pokok ajaran Islam (al-Qur’an dan Hadis) telah
menjelaskan bagaimana zakat harus ditata dan kelola dengan baik, terutama
dengan adanya amil sebagai salah satu kelompok yang mendapatkan dan
mendistribusikan zakat atas jasa profesionalitasnya dalam mengelola zakat.
Namun di zaman modern sekarang ini pengelolaan zakat diupayakan dan
dirumuskan sedemikian rupa, sehingga dapat dikelola secara baik. Para pengelola
telah merumuskan pengelolaan zakat berbasis manajemen. Pengelolaan zakat
berbasis manajemen dapat dilakukan dengan asumsi dasar bahwa semua aktivitas
yang terkait dengan zakat dilakukan secara professional. Pengelolaan zakat secara
professional, perlu dilakukan dengan saling keterkaitan antara berbagai aktivitas
yang terkait dengan zakat. Dalam hal ini, keterkaitan antara sosialisasi, pengumpulan,
pendistribusian atau pendayagunaan, serta pengawasan. pendayaguaan dan pengawasan
Regulasi zakat di Indonesia terhitung masih baru apabila dibandingkan dengan masa
Islam masuk ke Indonesia.
Zakat merupakan salah satu pilar utama dalam rukun Islam. Karena perintah
Mengenai zakat tidak sekedar praktik ibadah, Zakat merupakan ibadah dan kewajiban
sosial bagi umat Islam yang kaya ) ketika memenuhi nisab (batas minimal) dan hawl
(waktu satu Tahun). Secara sosiologis zakat bertujuan untuk menyamaratakan
kesejahteraan orang Kaya dan orang miskin secara adil dan berusaha untuk mengubah

1
penerima zakat menjadi Pembayar zakat. Oleh karena itu, jika zakat diterapkan dalam
bentuk dan cara yang benar Dapat meningkatkan keimanan serta dapat mendorong
pertumbuhan ekonomi secara luas.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana sejarah zakat di Indonesia?

2. Bagaimana zakat menurut peraturan perundang-undangan di Indonesia ?

3. Bagaimana Bagaimana pengelolaan zakat di Indonesia ?

4. Bagaimana zakat kontemporer versi Indonesia ?

C. Tujuan Masalah

1. Untuk mengetahui tentang sejarah zakat di Indonesia.

2. Untuk mengetahui tentang zakat menurut peratutan perundang-undangan di


Indonesia

3. Untuk mengetahui tentang bagaimana pengelolaan zakat di Indonesia.

4. Untuk mengetahui tebtang zakat kontemporer versi Indonesia.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Sejarah zakat di Indonesia


Jika menggali sejarah pengelolaan zakat di Indonesia maka akan kita
temukan pola-pola yang cenderung berbeda dari masa-ke masa. Pada masa
Kolonial, pengelolaan ini diserahkan pada masyarakat, negara kolonial
menghindari campur tangan. Dengan berkembangnya pesantren, madrasah, dan
organisasi civil society Islam, zakat dan sadaqah masyarakat berkembang dengan
sendirinya. Zakat dan sadaqah memberi sumbangan besar untuk kemerdekaan
Republik Indonesia pada zaman kemerdekaan, misalnya di Aceh, di Pulau Jawa,
dan beberapa daerah lainnya.
Pada zaman Orde Lama, negara hanya memberikan supervise dengan
mengeluarkan Surat Edaran Kementrian Agama No.A/VII/17367 tahun 1951 yang
melanjutkan ketentuan ordonasi Belanda bahwa negara tidak mencampuri urusan
pemungutan dan pembagian zakat, tetapi hanya melakukan pengawasan.
Baru pada masa Orde Baru, negara mulai terlibat dan ikut mengelola zakat
melalui beberapa regulasi pemerintah. Pada tahun 1964 misalnya, Kementrian
Agama menyususn RUU pelaksanaan zakat dan rancangan Perpu pengumpulan
dan pembagian zakat dan pembentukan baitul mal. Akan tetapi, keduanya belum
sempat diajukan ke DPR dan Presiden. Baru pada tahun 1967, sebagai sebuah
langkah tindak lanjut Menteri Agama mengirimkan RUU pelaksanaan zakat
kepada DPR-GR. Point penting dari surat pengajuan Menteri Agama pada saat itu
adalah pembayaran zakat merupakan keniscayaan bagi umat Islam di Indonesia,
dan negara mempunyai kewajiban moril untuk mengaturnya.1
Satu tahun kemudian, berdasarkan saran dan masukan dari berbagai pihak
Menteri Agama menerbitkan Peraturan Menteri Agama No. 4 tahun 1968 tentang
Pembentukan Badan Amil Zakat dan Peraturan Menteri Agama No.5 tahun 1968
tentang Pembentukan Baitul Mal yang berfungsi sebagai pengumpul zakat untuk
kemudian disetor kepada BAZ. Namun demikian, kedua keputusan itu segera

1
Zusiana Elly Triantini, Perkembangan Pengelolaan Zakat Di Indonesia, Al-Ahwal, Vol.
3, No. 1, 2010, h. 92.

3
dicabut, karena Menteri Keuangan menolak gagasan legislasi zakat yang dibuat
setahun sebelumnya oleh Departemen Agama. Yang cukup mengundang tanda
tanya, langkah ini diambil tanpa menghiraukan anjuran Menteri Keuangan sendiri
bahwa keputusan tingkat menteri sudah cukup untuk mengatur administrasi zakat.
Namun, atas seruan dan dorongan Presiden berturut-turut pada peringatan
Isra‟ Mi‟raj dan Idul Fitri 1968 keluarlah Instruksi Menteri Agama No.1 tahun
1969 tentang Penundaan PMA No.4 dan 5 tahun 1968. Presiden Soeharto
menegaskan bahwa zakat harus diatur secara sistematis. Dalam rangka itu, seperti
dicatat Taufik Abdullah, “ia, sebagai seorang warganegara (yang beragama
Islam), bersedia menggalang „upaya massif berskala nasional untuk
mengumpulkan zakat‟ dan menyampaikan laporan tahunan tentang pengumpulan
dan pendistribusian zakat.
Setelah penundaan tersebut, perkembangan pengelolaan zakat oleh negara
mengalami stagnasi. Dan zakat yang pada dasarnya dapat menyumbang kemajuan
ekonomi masyarakat berfungsi secara kultural dan terbatas. Distribusi zakat
dilakukan melalui lembaga-lembaga agama seperti pesantren, panti asuhan, atau
melalui amil zakat yang dibentuk oleh masyarakat secara temporer (pada zakat
fitrah).2
Nafas baru pengelolaan zakat baru didapatkan kembali pada era 1990-an.
Negara mulai memberikan perhatian pada pengelolaan zakat melalui lembaga
yang dibentuknya yaitu baziz. Pada tahun 1991, pemerintah mengeluarkan Surat
Keputusan Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama Republik
Indonesia Nomor 29 dan 47 Tahun 1991 tentang Pembinaan Badan Amil Zakat,
Infaq dan shadaqah. Dan diikuti dengan Instruksi Menteri Agama Nomor 5 Tahun
1991 tentang Pembinaan Teknis Badan Amil Zakat, Infaq dan Shadaqah dan
Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 7 Tahun 1998 tentang Pembinaan Umum
Badan Amil Zakat, Infaq dan Shadaqah. Tentu hal ini juga dipengaruhi oleh relasi
Islam dan negara yang pada saat itu sedang mulai membaik sehingga ormas-ormas
Islam seperti Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama ikut berperan dalam
pengelolaan dan pendayagunaan zakat. Selain itu juga terdapat lembaga-lembaga

2
Ibid., h. 93.

4
zakat yang dikelola oleh masyarakat seperti LAZ (Lembaga Amil Zakat).
Pengelolaan zakat terus berkembang seiring dengan dinamisnya kondisi
politik dan ekonomi di Indonesia. Puncaknya pada 1999 dimana dikeluarkan UU
No 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat yang disusul dengan Keputusan
Menteri Agama No 581 Tahun 1999. Pada masa ini muncul Lembaga Amil Zakat
(LAZ) yang disahkan, yakni (1) Dompet Dhuafa, (2) Yayasan Amanah Takaful,
(3) Pos Keadilan Peduli Ummat (PKPU), (4) Yayasan Baitul Maal Muamalat, (5)
Yayasan Dana Sosial Al Falah, (6) Yayasan Baitul Maal Hidayatullah, (7) LAZ
Persatuan Islam (PERSIS), (8) Yayasan Baitul Maal Ummat Islam (BAMUIS) PT
BNI (persero) tbk, (9) LAZ Yayasan Bangun Sejahtera Mitra Umat, (10) LAZ
Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, (11) LAZ Yayasan Baitul Maal Bank
Rakyat Indonesia, (12) LAZIS Muhammadiyah, (13) LAZ Baitul Maal Wat
Tamwil (BMT), (14) LAZ Yayasan Dompet Sosial Ummul Quro (DSUQ), (15)
LAZ Baituzzakah Pertamina (BAZMA), (16) LAZ Dompet Peduli Ummat Daarut
Tauhid (DPUDT), (17) LAZ Nahdlatul Ulama (NU), dan (18) LAZ Ikatan
Persaudaraan Haji (IPHI).3

B. Zakat menurut peraturan Perundang-Undangan di Indonesia


Penunaian zakat bagi umat Islam Indonesia telah lama dilaksanakan
sebagai dorongan pengalaman dan penyempurnaan ajaran agamanya, walaupun
pelaksanaan dan pemberdayaannya masih bersifat tradisional, akan tetapi lambat
laun dalam perkembangannya mulai disadari bahwa jumlah umat Islam mayoritas
sebenarnya zakat merupakan sumber dana potensial namun belum dimanfaatkan
dan dikelola secara baik, terpadu dan optimal dalam rangka meningkatkan
kesejahteraan umat. Karena itu, dalam proses perjalanan sejarah, maka pada
tanggal 23 September 1999 Bangsa Indonesia telah memiliki hukum berupa
Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat, yang
pelaksanaan dan pedoman teknis diatur dalam Keputusan Menteri Agama Nomor
581 Tahun 1999 yang telah disempurnakan dengan keputusan Menteri Agama No.
373 tahun 2003 dan Keputusan Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Nomor
D-29 Tahun 2000. Dalam Perkembangannya UndangUndang Zakat disempurnakan
3
Ibid., h. 94.

5
lagi yaitu Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat.
Secara eksplisit tujuan dari Undang-Undang Pengelolaan Zakat adalah
untuk mendongkrak dayaguna dan hasilguna pengelolaan zakat, infak dan
shadaqah di Indonesia. Karena itu pengelolaan zakat harus dilembagakan
(formalisasi) sesuai dengan syariat Islam. Dan harus memenuhi asas-asas amanah,
kemanfaatan, keadilan, kepastian hukum, terintegrasi, dan akuntabilias sehingga
dapat meningkatkan efektivitas dan efesiensi pelayanan.4
Dengan dikeluarkannya peraturan perundang-undangan tentang
pengelolaan zakat tersebut selangkah lebih maju Bangsa Indonesia untuk
meningkatkan kesadaran masyarakat dalam penunaian dan pelayanan ibadah zakat
khususnya bagi umat Islam, karena zakat sebagai rukun Islam merupakan
kewajiban setiap muslim yang mampu untuk membayarnya dan diperuntukkan
bagi mereka yang berhak menerimanya. Dengan pengelolaan yang baik
(profesional, amanah, transparan dan bertanggung jawab) maka zakat merupakan
sumber dana potensial yang dapat dimanfaatkan untuk memajukan bagi
kesejahteraan masyarakat terutama pengentasan kemiskinan dan pemberantasan
kesenjangan sosial.
Dalam Pasal 6 dan Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2011 dijelaskan, peran BAZNAS menjadi lembaga yang berwenang melakukan
tugas pengelolaan zakat secara nasional. Fungsi BAZNAS disebutkan sebagai
perencanaan, pelaksana, pengendalian baik dalam pengumpulan, pendistribusian,
dan pendayagunaan zakat. Selain itu, pelaporan dan pertanggungjawaban
pelaksanaan pengelolaan zakat. Dalam hal ini BAZNAS cukup punya kewenangan
yang lebih. Jika kemampuan BAZNAS pada Undang-Undang Nomor 38 Tahun
1999 memiliki kewenangan yang terbatas, sehingga dari sisi pengumpulan maupun
pendistribusian kalah jauh dengan LAZ. Akan tetapi dengan kewenangan yang
diberikan sekarang BAZNAS akan sangat leluasa dengan memiliki hirarki dan
jaringan hingga tingkat struktur yang paling bawah.
Salah satu hal terpenting dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011
tentang Pengelolaan Zakat di antaranya adalah terkait dengan penguatan
4
Muhammad Iqbal, Hukum Zakat Dalam Perspektif Hukum Nasional, Jurnal Asy-
Syukriyyah, Vol. 20, No. 1, 2019, h. 42.

6
kelembagaan. Dalam Undang-undang ini BAZNAS (Badan Amil Zakat Nasional)
disebutkan sebagai lembaga pemerintah non struktural yang merupakan
perpanjangan tangan dari pemerintah. Dalam hal ini secara teknis BAZNAS di
bawah koordinasi Kementerian Agama. Jika pada Undang-Undang Nomor 38
Tahun 1999 yang duduk di BAZNAS disebut sebagai pengurus, maka di dalam
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat, sebutan
mereka tidak lagi sebagai pengurus, tetapi anggota komisioner.
BAZNAS sebagai lembaga yang diatur secara definitif dalam undang-
undang juga memiliki sifat mandiri, sebagaimana disebut Pasal 5 ayat (3) Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2011 BAZNAS merupakan lembaga pemerintah
nonstruktural yang bersifat mandiri. Namun, selain sifat mandiri, ada dua unsur
lain yang diatur dalam pasal tersebut, yaitu BAZNAS sebagai lembaga pemerintah
non-struktural, dan bertanggungjawab kepada Presiden melalui Menteri Agama.

C. Pengelolaan zakat di Indonesia

1. Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS)

Pembentukan BAZNAS sendiri dinilai sebagai sebuah keniscayaan


mengingat pentingnya sektor zakat yang menjadi area kerjanya. Pengelolaan
zakatbukanlah perkara yangmudah mengingat bangsa Indonesia sendiri,
terutama yang muslim, belum sepenuhnya menyadari letak urgensinya zakat
dan pendayagunaannya. Wajarlah jika potensi zakatyang ada belum terserap
sepenuhnya dan hanya menjadi kebanggaan karitatif semata.

BAZNAS merupakan lembaga pengelola zakat yang memilikitugas


utama pengelolaan zakat secara nasional. Dalam rangka melaksanakan
tugasnya sebagai lembaga pengelola zakat nasional, BAZNAS mejalankan
fungsi-fungsi utama, sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (1) UU Nomor
23/2011 adalah sebagai berikut:5

a. perencanaan pengumpuLan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat;

5
Kementerian Agama RI, Standarisasi Amil Zakat di Indonesia, Jakarta: Direktorat
Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Direktorat Pemberdayaan Zakat, 2013), h. 47.

7
b. pelaksanaan pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat;

c. pengendalian pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat;


dan

d. pelaporan dan pertanggungjawaban pelaksanaan pengelolaan zakat UU ini


belum memperjelas apakah pengumpulan tersebut sama dengan
pernungutan. Ataukah itu sekadar imbauan yang bersifat informatif kepada
masyarakat untuk menyalurkan zakat ke lembaga pengelola zakat. Berbeda
dengan di Pakistan, lembaga pengelola zakatnya-Central Zakat Fund
(CZF)- memiliki wewenang untuk memungut zakat dari para muzakki.
Karena asumsi pengumpulan zakat di sini memiliki perbedaan dengan
pemungutan, proses pengumpulan yang dilakukan BAZNAS sudah barang
tentu memerlukan kesadaran dan kepercayaan penuh dari muzakki untuk
menyetor zakatnya melalui BAZNAS.

Proses pengumpulan zakat dalam konteks masa kini lebih banyak


mengikuti konsep fundraising, yaitu suatu kegiatan yang memiliki tujuan
penggalangan dana untuk tujuan tertentu. Fundraising zakat berarti upaya
mengumpulkan zakat dari perorangan atau badan usaha untuk mencapai tujuan
zakat. Sumber utama fundraising zakat adalah muzakki.
Pendistribusian zakat dilakukan setelah potensi zakat terkumpuL
Pengelolazakat melakukan pembagian zakat kepada orang-orang yang berhak
menerimanya. Permasalahan yang kerap terjadi di masyarakat, pendistribusian
zakat dilakukan secara langsung oleh pihak pengelola kepada mustahik. Di
banyak pedesaan di Indonesia, tidak sedikit yang membagikan zakat harta
secara langsung, baik yang dikirim melalui amplop maupun dengan cara
mengumpulkan mustahik pada suatu tempat tertentu. Fenomena yang cukup
memprihatinkan adalah, muzakki membagikan zakat hartanya dengan cara
membagikan kupon, lalu para mustahik berkumpul di depan rumahnya dan
saling berebut zakat yang dibagikan. Penyaluran zakat seperti itu justru
menimbulkan banyak korban dan, bahkan, dapat menghabiskan biaya

8
perawatan yang lebih besar daripada jumlah zakat yang diterima.
Pendistribusian melalui cara tersebut juga dinilai banyak kalangan
sebagai pendistribusian secara konsumtif yaitu harta zakat yang diberikan
segera habis setelah digunakan. Kenyataan seperti itu menggugah para ulama
untuk merumuskan suatu skema pendistribusian zakat secara produktif agar
mustahik memperoleh manfaat pendaya-gunaan zakat yang lebih besar. Oleh
sebab itu, BAZNAS dituntut untuk dapat merumuskan pengalihan cara, teknik,
strategi dan metode dari mulai pengumpulan hingga pendistribusian dan
pendayagunaan zakat melalui program-program yang dapat diterima oleh
masyarakat.

2. Lembaga Amil Zakat (LAZ)


Lembaga Amil Zakat (LAZ) merupakan lembagapengelola zakat yang
dibentuk oleh masyarakat. Keberadaan LAl yang tetap dilindungi dan diberi
"keleluasaan" untuk mengelola zakat merupakan cara pemerintah untuk tetap
mendorong peran serta masyarakat di dalam pengelolaan zakat.
Menurut UU Nomor 23/2011, untuk dapat menjadi Lembaga Amil Zakat
(LAZ) harus memenuhi beberapa standar sebagai berikut:6

a. LAZ merupakan lembaga pengelola zakat yang dibentuk oleh


masyarakat.

b. Mampu melaksanakan fungsi pengumpulan, pendistribusian, dan


pendayagunaan zakat.

c. Pembentukan LAZ harus mendapat izinMenteri atau pejabat yang


ditunjuk oleh Menteri.

d. Siap melakukan koordinasi dengan BAlNAS dalam rangka


mengoptimalkan fungsi pengelolaan zakat.
Sebagai salah satu contoh pengelolaan LAZ adalah pada dana ZIS
LAZISMU kota Medan yaitu, Lazismu memiliki dua strategi dalam
menghimpun ZIS. Strategi pertama Lazismu menunggu para donatur atau

6
Ibid., h. 59.

9
muzaki datang ke kantor atau kantor layanan Lazismu untuk menyalurkan ZIS
nya. Strategi kedua Lazismu menjemput langsung dana ZIS kepada para
donatur pribadi maupun institusi. Strategi menjemput ZIS ini diwujudkan
dalam program layanan jemput zakat.
Lazismu melakukan sosialisasi secara masif untuk mengenalkan program
program Lazismu kepada masyarakat Kota Medan, terkhusus dikalangan
Muhammadiyah dengan tujuan warga Muhammadiyah mengetahui eksistensi
Lazismu di Kota Medan. Hal ini dimaksudkan untuk menimbulkan minat
warga Muhammadiyah untuk datang ke kantor Lazismu dalam rangka
menyalurkan ZIS nya. Lazismu melakukan sosialisasi pada setiap kegiatan
pengajian Muhammadiyah yang dilaksanakan dari tingkatan Pimpinan Ranting
Muhammadiyah (PRM), Pimpinan Cabang Muhammadiyah (PCM) sampai
Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Kota Medan. Lazismu juga
melakukan sosialisasi dengan menggunakan media sosial.
Lazismu tidak memiliki perbedaan strategi penghimpunan Zakat, Infaq
dan Shadaqah secara signifikan. Strategi penghimpunan yang sudah
dirumuskan dimaksudkan untuk menghimpun Zakat, Infaq dan Shadaqah
secara bersamaan. Lazismu hanya memiliki fasilitas lebih untuk menghimpun
zakat yaitu layanan hitung zakat. Hal ini dilakukan karena masih banyak
masyarakat yang belum mengerti atau mampu untuk menghitung zakatnya
sendiri. Persamaan penghimpunan ini dapat dilihat dari implementasi metode
tunggu bola dan jemput bola. Lazismu melakukan sosialisasi secara bersamaan
terkait dengan penghimpunan zakat, infaq dan shadaqah. Fundraiser
menjelaskan programprogram milik Lazismu secara keseluruhan baik dari
program-program zakat, infaq maupun shadaqah kepada calon muzaki dan
donatur, dan memberikan keluasaan kepada calon muzaki dan donatur untuk
menyerahkan dana zakatnya atau infaq dan shadaqahnya serta tidak menutup
kemungkinan untuk menyerahkan zakat, infaq dan shadaqahnya secara
bersamaan.

3. Unit Pengumpul Zakat (UPZ)


Kekhawatiran mengenai potensi kriminalisasi dan pelemahan lembaga

10
pengelola zakat yang sudah ada akibat lahirnya UU Nomor 23/2011, selain
berlebihan juga perlu direnung ulang. UU Nomor 23/2011 berupaya melakukan
penataan terhadap lembaga pengelola zakat yang sudah ada sehingga potensi
zakat dapat terhimpun secara maksimal. Oleh sebab itu, tidak terdapat sarna
sekali semangat di dalam UU Nomor 23/2011 tersebut untuk melemahkan atau
membunuh keberadaan lembaga penghimpun zakat yang ada di masyarakat.
Dalam konteks penataan pengelolaan zakat, institusi-institusi masyarakat
yang selama ini melakukan penghimpunan zakat dapat memosisikan did
sebagai Unit Pengumpul Zakat (UPZ) untuk bekerja sarna dan/atau melakukan
koordinasi dengan BAZNAS atau LAZ.
Menurut UU Nomor 23/2011, di dalamPasal16 disebutkan bahwa
UnitPengumpulZakatdibentukolehBAlNAS, BAZNAS Provinsi dan BAZNAS
Kabupaten/Kota, Pembentukan UPZ tersebut dapat dilakukan pada instansi
pernerintah, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Usaha Milik Daerah
(BUMD), perusahaan swasta, perwakilan RI di luar negeri, dan dapat
membentuk UPZ pada tingkat kecamatan, kelurahan, bahkan di masjid-masjid
dan majelis taklim.7
Dengan demikian, paling tidak terdapat dua hal yang patut dijadikan
catatan. Pertama, kenyataan adanya masjidmasjid atau sekolah-sekolah dan
majelis taklim yang selama ini melakukan penghimpunan zakat dari
masyarakat sama sekali tidak bertentangan dengan Undang-Undang. Bahkan
jika memungkinkan, institusi-institusi sosial tersebut dapat dijadikan sebagai
UPZ. Kedua, kalaupun kemudian masih terdapat banyak muzakki yang
langsung memberikan zakatnya kepada mustahik(direct zakat system), hal itu
pun tidak bertentangan dengan Undang-Undang. Hanya saja, jika kenyataan
tersebut dibiarkan, visi dan misi zakat untuk mengentaskan kemiskinan dan
memberdayakan umat menjadi sulit terlaksana. Disinilah perlunya BAZNAS,
LAl, dan juga masyarakat untuk melakukan pendidikan dan penyadaran publik
agar animo dan motivasi berzakat melalui lembaga pengelola zakat resmi terus
mengalami peningkatan.

7
Ibid., h. 66.

11
4. Panitia penerima zakat berbasis masjid
Sejak awal masjid dijadikan pusat kegiatan umat, Rasulullah SAW
membicarakan semua persoalan umat dan negara di masjid, termasuk masalah
pengelolaan zakat dimulai di masjid. Berdasar atas pertimbangan di atas
BAZNAS menggalang perencanaan gerakan memakmurkan masjid melalui
unit pengumpul zakat masjid. Jadi masjid diberdayakan kembali sebagaimana
yang telah dilakukan zaman rasulullah SAW sehingga problem kemiskinan
masyrakat sekitar masjid teratasi oleh jamahnya sendiri.8
Untuk mengawal konsistensi peribadatan kita, maka peraturan
pemerintah harus memastikan tentang tempat penyaluran zakat, adalah masjid
yang paling efektif dan paling efesien. Di negara kita, mungkin tidak kurang
satu juta masjid yang tersebar di seluruh pelosk. Tentu saja memerlukan
persiapan dan pengaturan yang cermat dengan tahapan kerja, misalnya:

a. Dimulai dengan identifikasi kualifikasi, kalau perlu dilakukan


sertifikasi, masjid di segala pelosok negara.

b. Kemudian penugasan masjid untuk menyediakan database mustahir


secara akurat.

c. Selanjutnya dipersiapakan SDM masjid yang mumpuni untuk


pemberdayaaan masyrakat. Masjid secaranyata adalah salah satu bentuk
kerja yang baik.
Masjid biasanya dikelola oleh Dewan Kemakmuran Masjid (DKM), yaitu
organisasi yang menghimpun umat Islam di sekitar masjid dan merupakan
salah satu bentuk dari organisasi dakwah Islamiyah. Dalam rangka menuju
pengelolaan zakat yang berbasis masjid maka BAZNAS membentuk UPZ
Masjid paling tidak diawali di setiap kecamatan masing-masing satu unti
Pengumpul Zakat.

A. Zakat Kontemporer Versi Indonesia

1. Zakat dengan Uang


8
Iwan Wisandani, Model Optimalisasi Pengelolaan Zakat Berbasis Masjid, Syakhsia:
Jurnal Hukum Perdata Islam, Vol. 12, No. 1, 2015, h. 112.

12
Zakat dengan uang menjadi salah satu bentuk zakat yang paling
umum dilakukan oleh masyarakat. Para pemikir ekonomi Islam
kontemporer mendefinisikan zakat mal sebagai harta yang telah ditetapkan
oleh pemerintah atau pejabat berwenang, kepada masyarakat umum atau
individu yang bersifat mengikat dan final, tanpa mendapat imbalan tertentu
yang dilakukan pemerintah sesuai dengan kemampuan pemilik harta, yang
dialoksikan untuk memenuhi kebutuhan delapan golongan yang telah
ditentukan oleh Al - Qur’an, serta untuk memenuhi tuntutan politik bagi
keuangn Islam.9 Terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam
memberikan zakat dengan uang di era zakat kontemporer ini, di antaranya
adalah:

a. Menggunakan lembaga amil zakat yang terpercaya: Seiring dengan


perkembangan zaman, kini telah banyak bermunculan lembaga amil
zakat di Indonesia. Oleh karena itu, perlu memilih lembaga amil zakat
yang terpercaya dan memiliki akuntabilitas yang baik untuk
menyalurkan zakat dengan uang

b. Menggunakan teknologi dalam pengelolaan zakat: Teknologi dapat


dimanfaatkan dalam pengelolaan zakat dengan uang untuk
memudahkan proses pengumpulan, pengolahan, dan penyaluran zakat.
Kini, terdapat berbagai platform digital atau aplikasi zakat yang dapat
dimanfaatkan untuk memberikan zakat dengan uang.

c. Mengetahui jenis-jenis zakat uang: Zakat uang tidak hanya dalam


bentuk uang tunai, tetapi juga dapat dalam bentuk tabungan, deposito,
saham, atau instrumen keuangan lainnya. Oleh karena itu, perlu
mengetahui jenis-jenis zakat uang yang ada dan cara menghitungnya.

d. Menyalurkan zakat dengan tepat sasaran: Zakat dengan uang harus


disalurkan dengan tepat sasaran kepada penerima zakat yang berhak
menerimanya, seperti orang miskin, fakir, janda, dan yatim piatu.

9
Nurdin Muhd Ali, Zakat Sebagai Instrument Dalam Kebijakan Fiskal, (Jakarta : Raja
Grafindo Persada, 2006), h. 6.

13
Lembaga amil zakat dapat memastikan bahwa zakat yang diterima
digunakan dengan baik dan membantu orang yang membutuhkan.

2. Zakat Profesi
Menurut Hafiduddin (1998: 103) zakat profesi adalah zakat yang
dikenakan pda tiap pekerjaan tau keahlian professional tertentu, baik yang
dilakukan sendirian maupun yang dilakukan bersama dengan orang atau
lembaga lain, yang mendatangkan penghasilan (uang) yang memenuhi nisab
(batas minimum untuk bisa membayar zakat. Sebagai contoh profesi, profesi
dokter, konsultan, advokasi, dosen, seniman perancang busana dan lain
sebagainya. Zakat profesi adalah zakat atas penghasilan yang diperoleh dari
pengembangan potensi diri yang dimiliki seseorang dengan cara yang sesuai
syariat, seperti upah kerja rutin, profesi dokter, pengacara, arsitek dan lain-
lain. Dari berbagai pendapat dinyatakan bahwa landasan zakat profesi
dianalogikan kepada zakat hasil pertanian yaitu dibayarkan ketika
mendapatkan hasilnya, demikian juga dengan nishabnya yaitu sebesar 524 kg
makanan pokok, dan dibayarkan dari pendapatan kotor. Sedangkan tarifnya
adalah dianalogikan kepada zakat emas dan perak yaitu sebesar 2,5 %, atas
dasar kaidah “Qias Asysyabah”.
Menurut ulama’ fikih kontemporer, zakat penghasilan atau profesi
merupakan zakat yang diwajibkan oleh kaum muslimin dewasa ini.
Maksudnya, belum pernah terjadi pada masa Rasulullah Saw., apalagi hal itu
juga masuk dalam bab ijtihad, di mana tidak ada nash yang sharih dari al-
Qur’an maupun al-Sunnah. Maka para ulama’ pun mempunyai pendapat yang
beragam tentang hal ini.10
Abu Zahrah dan Abd Wahab Khalaf mewajibakan zakat atas penghasilan
yang didapat dari profesi dengan dasar pemikiran yang diambil oleh Abu
Hanifah dan dua sahabatnya. Abu Yusuf dan Muhammad yang berpendapat
bahwa perkiraan nisab dilihat di awal haul dan akhir haul tanpa terpengaruh
dengan bertambah atau berkurangnya harta pada masa haul tersebut. Atas

10
Ahmad Atabik, Manajemen Pengelolaan Zakat Yang Efektif Di Era Kontemporer,
ZISWAF, Vol. 2, No. 1, 2015, h.46.

14
dasar pendapat tersebut, maka kedua ulama kontemporer di atas
menyimpulkan bahwa zakat penghasilan wajib dikeluarkan setiap tahunnya
selama mencapai nishab di awal dan akhir tahun. Hal ini disandarkan oleh
riwayat Imam Ahmad mengenai orang yang mendapat penghasilan penyewaan
rumah dan uang hasil penyewaan tersebut mencapai nishabnya.
Zakat diwajibkan atas jumlah senisab yang sudah melebihi kebutuhan
pokok. Selain itu juga harus dikeluarkan biaya dan ongkos-ongkos untuk
melakukan pekerjaan tersebut, berdasarkan pada pengkiasannya kepada hasil
bumi dan kurma (zira’ah) serta sejenisnya, bahwa biaya harus dikeluarkan
terlebih dahulu baru zakat dikeluarkan zakatnya dari sisa. Maka, berdasarkan
hal itu maka sisa gaji dan pendapatan setahun wajib zakat bila mencapai nisab
uang, sedangkan gaji dan upah setahun yang tidak mencapai nisab uang-
setelah biaya-biaya di atas dikeluarkan misalnya gaji pekerja-pekerja dan
pegawai-pegawai kecil, tidak wajib zakat.

3. Pembayaran zakat dengan aplikasi


Pembayaran zakat melalui aplikasi menjadi salah satu cara yang
semakin populer dan mudah dilakukan oleh umat Muslim di era digital saat
ini. Beberapa aplikasi yang dapat digunakan untuk membayar zakat adalah
aplikasi zakat resmi dari lembaga amil zakat, aplikasi perbankan, dan aplikasi
pembayaran online.
Dalam sistem online untuk melihat atau mengakses informasi ataupun
bertransaksi sering menggunakan website yang diakses melalui web browser.
Kemudian dalam sistem online untuk melakukan transaksi keuangan
perbankan salah satunya menggunakan fasilitas internet banking melalui
website. Jadi kedua hal tersebut sangat erat kaitannya dalam pemanfaatan
zakat online.11
Melalui aplikasi, pembayaran zakat dapat dilakukan dengan mudah dan
cepat. Anda hanya perlu mengunduh aplikasi yang diinginkan, memasukkan
informasi mengenai jumlah zakat yang akan dibayarkan, dan memilih lembaga
11
Decky Hendarsyah, 2012, “Keamanan Layanan Internet Banking Dalam Transaksi
Perbankan”, dalam jurnal Iqtishaduna, Vol. 1, No. 1, Juni 2012, Bengkalis, h. 13.

15
amil zakat yang akan menerima zakat tersebut.
Pembayaran zakat melalui aplikasi juga dapat dilakukan dengan aman
dan terpercaya. Biasanya, aplikasi yang digunakan telah memiliki sertifikasi
dan keamanan yang tinggi, sehingga informasi yang Anda berikan akan
terjaga kerahasiaannya.
Namun, sebelum melakukan pembayaran zakat melalui aplikasi, Anda
sebaiknya memastikan terlebih dahulu bahwa lembaga amil zakat yang akan
menerima zakat tersebut telah terdaftar dan terpercaya. Pastikan juga bahwa
informasi yang Anda berikan dalam proses pembayaran telah benar dan
akurat.
Dalam melakukan pembayaran zakat melalui aplikasi, penting juga
untuk tetap menjaga niat dan tujuan dari zakat itu sendiri, yaitu untuk
membantu sesama yang membutuhkan dan mendapatkan ridha Allah SWT.

16
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Sejarah pengelolaan zakat di Indonesia cenderung berbeda dari masa-ke
masa. Pada masa Kolonial, pengelolaan ini diserahkan pada masyarakat, negara
kolonial menghindari campur tangan. Pada zaman Orde Lama, negara hanya
memberikan supervise dengan mengeluarkan Surat Edaran Kementrian Agama
No.A/VII/17367 tahun 1951 yang melanjutkan ketentuan ordonasi Belanda bahwa
negara tidak mencampuri urusan pemungutan dan pembagian zakat, tetapi hanya
melakukan pengawasan. Baru pada masa Orde Baru, negara mulai terlibat dan
ikut mengelola zakat melalui beberapa regulasi pemerintah.
Dalam proses perjalanan sejarah, maka pada tanggal 23 September 1999
Bangsa Indonesia telah memiliki hukum berupa Undang-Undang Nomor 38
Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat, yang pelaksanaan dan pedoman teknis
diatur dalam Keputusan Menteri Agama Nomor 581 Tahun 1999 yang telah
disempurnakan dengan keputusan Menteri Agama No. 373 tahun 2003 dan
Keputusan Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Nomor D-29 Tahun 2000.
Dalam Perkembangannya UndangUndang Zakat disempurnakan lagi yaitu
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat.
Dengan dikeluarkannya peraturan perundang-undangan tentang pengelolaan
zakat tersebut selangkah lebih maju Bangsa Indonesia untuk meningkatkan
kesadaran masyarakat dalam penunaian dan pelayanan ibadah zakat khususnya
bagi umat Islam, karena zakat sebagai rukun Islam merupakan kewajiban setiap
muslim yang mampu untuk membayarnya dan diperuntukkan bagi mereka yang
berhak menerimanya.

B. Saran

Makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, maka dari itu para pembaca
disarankan untuk membaca tentang merancang dan mengelola saluran pemasaran
teritegrasi pada referensi–referensi lainnya, agar pengetahuan pembaca semakin

17
banyak sehingga memperluas khazanah keilmuan kita.

18
DAFTAR PUSTAKA

Ali, Nurdin Muhd. Zakat Sebagai Instrument Dalam Kebijakan Fiskal, (Jakarta :
Raja Grafindo Persada, 2006.
Atabik, Ahmad. Manajemen Pengelolaan Zakat Yang Efektif Di Era
Kontemporer, ZISWAF, Vol. 2, No. 1, 2015.
Hendarsyah, Decky. “Keamanan Layanan Internet Banking Dalam Transaksi
Perbankan”, jurnal Iqtishaduna, Vol. 1, No. 1, Juni 2012, Bengkalis.
Iqbal, Muhammad. Hukum Zakat Dalam Perspektif Hukum Nasional, Jurnal Asy-
Syukriyyah, Vol. 20, No. 1, 2019.
Kementerian Agama RI, Standarisasi Amil Zakat di Indonesia, Jakarta: Direktorat
Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Direktorat Pemberdayaan Zakat,
2013.
Triantini, Zusiana Elly. Perkembangan Pengelolaan Zakat Di Indonesia, Al-
Ahwal, Vol. 3, No. 1, 2010.
Wisandani, Iwan. Model Optimalisasi Pengelolaan Zakat Berbasis Masjid,
Syakhsia: Jurnal Hukum Perdata Islam, Vol. 12, No. 1, 2015.

19

Anda mungkin juga menyukai