Anda di halaman 1dari 22

PENGELOLAAN ZAKAT

MAKALAH

Dosen pengampu : Dr. H Supani, M.A

Nama : Riska Anggriyani

Nim : 224110302125

Kelas : 3 HKI C

PROGRAM STUDI
FAKULTAS
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
PROFESOR KIAI HAJI SAIFUDDIN ZUHRI PURWOKERTO
2023
BAB I
PENDAHULUAN

Latar Belakang
Proses modernisasi pasca kemerdekaan negara-negara Islam pada
pertengahan abad ke-20 ini, di samping membawa kemajuan di beberapa bidang,
juga menimbulkan persoalan baru di dunia Islam. Berbagai perubahan tidak dapat
dihindari, termasuk perubahan-perubahan ke arah yang tidak dikehendaki. Islam
transformatif merupakan pencarian dialogis, bagaimana agama harus membaca
dan memberikan jawaban terhadap ketimpangan social dari perubahan-perubahan.
Adapun konsep teologis kritis disodorkan sebagai pendekatan memahami
hubungan agama dengan kekuasaan, modernisasi dan keadilan rakyat. Agama
pada dasarnya bukanlah identitas sekelompok manusia. Agama diturunkan
sebagai hidayah untuk membebaskan manusia dari segala bentuk penghambaan
yang melawan nilai-nilai dasar kemanusiaan.1
Dibidang ekonomi, Islam haruslah menjadi gerakan pemberdayaan
masyarakat yang mengarah pada pembebasan manusia dari kemiskinan,
keterbelakangan, ketidakadilan dan seterusnya. “Pembumian” Islam menjadi
corak paling dominan dari gerakan transformatif ini.
Salah satu langkah pembumian islam transformatif dibidang
ekonomi adalah melalui zakat. Zakat yang telah terkumpul dari para muzakki
haruslah diberikan kepada asnaf yang berhak menerima zakat dan dikelola
sedemikian rupa agar dapat membangun perekonomian asnaf yang berhak
menerimanya.

Rumusan Masalah
Dari sedikit latar belakang diatas, maka muncul beberapa masalah sebagai
berikut:
Bagaimana pengelolaan zakat di Indonesia?

1
Moeslim Abdurrahman, Islam Transformatif , Pustaka Firdaus, Jakarta, 1997, hlm. 66

1
BAB II
PEMBAHASAN

Lahirnya Pengelolaan Zakat di Indonesia

Sejak Islam datang ke tanah air kita, zakat telah menjadi satu sumber dana
untuk kepentingan pengembangan agama Islam. Dalam perjuangan bangsa
Indonesia menentang penjajahan Barat pendahulu, zakat merupakan sumber dana
perjuangan ketika satu persatu tanah air kita dikuasai oleh penjajah Belanda.
Pemerintah Kolonial itu mengeluarkan Bijblad Nomor 1892 tanggal 4 Agustus
1893 yang berisi kebijaksanaan pemerintah kolonial mengenai zakat. Yang
menjadi pendorong pengeluaran peraturan tentang zakat itu adalah alasan klasik
rezim kolonial yaitu mencegah terjadinya penyelewengan keuangan zakat oleh
para penghulu atau naib bekerja untuk melaksanakan administrasi kekuasaan
pemerintah Belanda, tapi tidak diberi gaji atau tunjangan untuk membiayai hidup
dan kehidupan mereka beserta keluarganya. Dan untuk melemahkan (dana)
kekuatan rakyat yang bersumber dari zakat itu. Pemerintah Hindia Belanda
melarang semua pegawai pemerintah dan priyayi pribumi ikut serta membantu
pelaksanaan zakat.2

Perhatian pemerintah terhadap lembaga zakat mulai meningkat pada tahun


1968. Pada tahun itu, pemerintah mengeluarkan peraturan Menteri Agama Nomor
4 dan Nomor 5 / 1968. Masing-masing tentang pembentukan Badan Amil Zakat
dan pembentukan Baitul Mal ( Balai Harta Kekayaan ) di tingkat pusat, propinsi
dan kabupaten/kotamadya. Setahun sebelumnya, yakni pada tahun 1967,
pemeritah telah pula menyiapkan RUU zakat yang akan diajukan kepada DPR
untuk disahkan menjadi undang-undang. Menteri Keuangan, pada waktu itu,
dalam jawabannya kepada Menteri Agama, menyatakan bahwa peraturan
mengenai zakat tidak perlu dituangkan dalam undang-undang, cukup dengan

2
Sumber : http://konsultasi-hukum-online.com/2013/07/sejarah-perkembangan-zakat-di-
indonesia/

2
peraturan Menteri Agama saja. Karena pendapat itu, Menteri menunda
pelaksanaan peraturan Menteri Agama No 4 dan No 5 Tahun 1968 tersebut di
atas. Kemudian beberapa hari setelah itu, pada peringatan Isra’ dan Mi’raj di
Istana Negara tanggal 22 Oktober 1968, Presiden Soeharto manganjurkan untuk
menghimpun zakat secara sistematis dan terorganisasi seperti Badan Amil Zakat
Nasional yang dipelopori oleh Pemerintah Daerah khusus Ibukota Jakarta.Dengan
di pelopori Pemerintah Daerah DKI Jaya yang pada waktu itu dipimpin oleh
Gubernur Ali Sadikin, berdirilah di Ibukota ini Badan Amil Zakat, Infak dan
Sedekah (disingkat BAZIS ). Pada tahun 1968 yang terbentuk diberbagai daerah.3

Sebagaimana dilansir dalam situs resmi Baznas, sejak tahun 1964 Indonesia
telah memulai penyusunan Rancangan Undang-Undang tentang Pelaksanaan
Zakat, dan rancangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tentang
Pelaksanaan Pengumpulan Pembagian Zakat serta pembentukan Baitul Maal.
Namun pada saat itu proses penyusunan rancangan UU tersebut berhenti di tengah
jalan karena situasi politik dan Negara yang tidak memungkinkan.4

Pada masa Orde Baru, rancangan UU tentang Zakat diajukan oleh Menteri
Agama pada saat itu KH M Dachlan kepada Pemimpin DPR-GR tahun 1967,
namun upaya tersebut gagal karena tidak tercapai kesepakatan dengan menteri
keuangan Frans Seda, yang berpendapat bahwa zakat tidak perlu diatur dalam
undang-undang.

Baru pada masa pemerintahan BJ Habibie lahirlah UU Pengelolaan Zakat.


Menteri Agama pada saat itu yaitu Malik Fajar mengajukan UU ini kepada Ketua
DPR-MPR saat itu yaitu Harmoko. Perjalanan panjang UU Pengelolaan Zakat
mencapai babak baru ketika pada 27 Oktober 2011 Rapat Paripurna DPR-RI
mensahkan RUU Pengelolaan Zakat Infak dan Shadaqah menjadi Undang-
Undang Pengelolaan Zakat sebagai pengganti UU no.38 tahun 1999.

3
Ibid.
4
Sumber : http://pusat.baznas.go.id/berita-artikel/peran-parlemen-ri-dalam-penguatan-
institusi-zakat/

3
Pengelolaan zakat secara terlembaga di Indonesia terhitung sejak
berdirinya Bazis DKI pada tahun 1968, yang kemudian disusul pula oleh banyak
lembaga serupa. Peran lembaga-lembaga ini tidak hanya mengumpulkan zakat,
namun juga sebagai agen-agen untuk sosialisasi zakat yang dilakukan secara
terorganisir dan massif.

Namun lahirnya UU Pengelolaan Zakat ini bukannya tanpa kontroversi.


Sebagian pihak menganggap UU ini terlalu sentralistik dalam pelaksanaannya.
Sebagian lembaga amil zakat (LAZ) yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat
Zakat mengajukan permohonan uji materi terhadap UU Pengelolaan Zakat ini.
UU ini digugat ke Mahkamah Konstitusi karena tiga hal yaitu :

1. Pertama, terkait masalah sentralisasi dalam pengelolaan zakat dimana


pasal 6 dan pasal 17 UU ini menyatakan Badan Amil Zakat Nasional
(Baznas) lah yang berhak mengelola zakat di tanah air, sementara posisi
LAZ hanya untuk membantu Baznas.
2. Kedua, terkait dengan pembatasan pembentukan LAZ dimana pasal 18
ayat 2 UU zakat menyatakan LAZ hanya bisa berdiri di atas badan hukum
organisasi kemasyarakatan (ormas), padahal banyak LAZ yang telah lama
berdiri melalui badan di luar ormas.
3. Ketiga, terkait masalah kriminalisasi amil (pengelola) zakat dimana pasal
38 UU zakat menyatakan hanya pihak yang mendapat izin dari pejabat
yang berwenang yang dapat mengelola zakat. Padahal kenyataannya
banyak pengelolaan zakat di seluruh institusi Islam seperti di masjid-
masjid, atau mushala-mushala.5

Dalam kesempatan seminar membahas UU Pengelolaan Zakat tahun 2011


ini, Ketua Panja UU Zakat yaitu H. Gondo Radityo mengungkapkan bahwa UU
zakat ini mempunyai beberapa pesan dan muatan. Yang pertama, secara
konstitusional, bahwa UU Pengelolaan Zakat sesuai dengan UUD RI tahun 1945
pasal 20, 21, 29, dan 34 ayat 1. Kedua, secara ideologis, bahwa Negara

5
Sumber : http://nasional.news.viva.co.id/news/read/361993-mk-gelar-sidang-uji-materi-uu-
pengelolaan-zakat

4
berkewajiban menata dan mengatur tata laksana dalam rangka peningkatan
kualitas umat melalui pengelolaan zakat yang efektif dan efisien. Ketiga, secara
filosofis, UU Pengelolaan Zakat ini bertujuan memotong mata rantai kemiskinan.
Keempat, secara sosio-politik, UU ini hendak mendorong adanya integrasi, sinergi
dan koordinasi yang jelas dalam pengelolaan dana zakat dan dana sosial
keagamaan lainnya, serta dapat terpadu dari pusat sampai daerah sehingga
menciptakan program-program tepat sasaran, jumlah, dan waktu bagi para
mustahik zakat.6 Dalam UU zakat tahun 2011 ini pula tercetus usulan adanya
zakat sebagai unsur pengurang pajak.

Mengenai zakat sebagai pengurang pajak, Prof Dr Didin Hafidudin


mengatakan bahwa7 : Setiap muzaki yang melakukan pembayaran zakat melalui
Badan Amil Zakat (menurut nomenklatur dalam Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2011 berubah menjadi BAZNAS, BAZNAS Provinsi dan BAZNAS
Kabupaten/Kota) dan Lembaga Amil Zakat (LAZ) yang teregistrasi mendapat
insentif dalam kaitan dengan pembayaran pajak penghasilan, yaitu bukti
pembayaran zakat atau disebut Bukti Setoran Zakat diperhitungkan sebagai
komponen biaya yang menjadi pengurang penghasilan kena pajak atau disebut
“pengurang penghasilan bruto”. Pembayaran zakat atas gaji karyawan melalui
Unit Pengumpul Zakat (UPZ) Kementerian/Lembaga dan BUMN baik dilakukan
secara tunai maupun payroll system juga diakomodasi sebagai pengurang
penghasilan kena pajak, dengan syarat UPZ tersebut menyetorkan dana zakat yang
terkumpul kepada BAZNAS dan atas dasar itu BAZNAS menerbitkan kwitansi
bukti setoran zakat.Terkait dengan itu, dalam Undang-Undang tentang
Pengelolaan Zakat (UU No 23 Tahun 2011) bahwa BAZ atau LAZ wajib
memberikan bukti setoran zakat kepada setiap muzaki. Bukti setoran zakat
tersebut digunakan sebagai pengurang penghasilan bruto dalam pengisian SPT
tahunan.Pembayaran zakat sebagai pengurang penghasilan kena pajak
(penghasilan bruto) telah berlaku sejak 2001. Namun sampai saat ini masih
6
Notulensi Diskusi UU Zakat, tanggal 24 November 2011, di dalam tautan :
http://imz.or.id/new/uploads/2011/11/Notulensi-Diskusi-UU-Zakat-FOZ-24-November-2011.pdf
7
Sumber : http://pusat.baznas.go.id/berita-artikel/zakat-sebagai-pengurang-penghasilan-kena-
pajak/

5
banyak Wajib Pajak orang pribadi pemeluk agama Islam atau pembayar zakat
(muzaki) yang belum memanfaatkan pengurangan penghasilan bruto atas Pajak
Penghasilan (PPh) tersebut. Untuk itu amil zakat dan pegawai pajak di semua
kantor pelayanan diharapkan dapat memberi informasi dan penjelasan kepada para
muzaki dan Wajib Pajak yang dilayaninya.Penting diketahui bahwa pengurang
penghasilan bruto sebetulnya tidak hanya zakat atas penghasilan yang dibayarkan
oleh Wajib Pajak orang pribadi pemeluk agama Islam, tetapi juga berlaku untuk
zakat penghasilan yang dibayarkan oleh Wajib Pajak badan dalam negeri yang
dimiliki oleh pemeluk agama Islam kepada badan atau lembaga zakat yang
dibentuk atau disahkan oleh pemerintah.

Dalam ketentuan perpajakan yang berlaku di negara kita, khususnya yang


terkait dengan PPh adalah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak
Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-
Undang Nomor 36 Tahun 2008 dan diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Pemerintah Nomor 60 Tahun 2010 bahwa zakat atau sumbangan keagamaan yang
sifatnya wajib dikurangkan dari penghasilan bruto. Kebijakan Ditjen Pajak juga
menetapkan bahwa terhadap Wajib Pajak orang pribadi yang ketika penyampaian
SPT Tahunan PPh yang menyatakan kelebihan bayar (termasuk lebih bayar
karena pemotongan zakat), niscaya akan dilakukan pengembalian kelebihan
pembayaran pajaknya tanpa melalui pemeriksaan, tetapi cukup dengan penelitian
oleh pegawai pajak.

Upaya mensosialisasikan zakat sebagai pengurang penghasilan bruto, tidak


cukup hanya dilakukan oleh BAZNAS dan Kementerian Agama saja. Tetapi
membutuhkan koordinasi, kerjasama dan sinergi dengan instansi terkait, terutama
jajaran Direktorat Jenderal Pajak. Koordinasi, kerjasama dan sinergi itulah yang
ke depan perlu dibangun di tingkat institusi, karena bagi umat Islam zakat dan
pajak adalah dua kewajiban yang seiring dan paralel.

Potensi zakat yang sangat besar untuk kemajuan umat Islam dan rakyat
Indonesia secara keseluruhan sudah seharusnya dikelola dengan baik agar dapat

6
digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Potensi zakat di Indonesia
per tahun, sekitar 217 triliun Rupiah menurut Aida S. Budiman – Direktur
Eksekutif Departemen Internasional Bank Indonesia. 8 Namun dari nilai tersebut
hanya sekitar 2,7 triliun Rupiah saja potensi zakat yang berhasil diserap oleh
Baznas beserta lembaga amil zakat lain di seluruh Indonesia. Penyerapan itupun
sebagian besar habis untuk membeli sembako saja, padahal masih banyak
program jangka panjang yang bisa didanai dengan dana zakat contohnya untuk
dana pendidikan.

Pengertian Pengelolaan Zakat

Zakat merupakan ibadah yang wajib dikerjakan oleh setiap umat Islam,
sepanjang memenuhi syarat kriteria kewajiban berzakat. Zakat adalah ibadah yang
bertujuan untuk membersihkan atau mensucikan harta kekayaan yang dimiliki
oleh setiap umat Islam. Apabila ditinjau dari sifatnya, ada yang bersifat
pembersihan jiwa seorang muslim tanpa terkecuali, yang wajib kita keluarkan
pada saat selesai bulan Ramadhan, yaitu zakat fitrah. Dan kedua, adalah yang
bersifat pembersihan harta yang diwajibkan untuk kalangan tertentu, yang terikat
oleh jumlah dan waktunya, atau biasa disebut zakat maal. Contoh dari zakat tipe
kedua ini adalah zakat harta kekayaan, zakat emas, zakat harta temuan, zakat
pertanian atau peternakan. 9

Secara historis, zakat bermula berupa infak yang harus dikeluarkan kepada
fakir miskin dan demi kepentingan pembelaan agama pada masa awal-awal
berkembangnya Islam. Al Quran berisi wahyu yang mewajibkan bagi setiap umat
Islam untuk memberikan sedekah (pemberian yang sifatnya bebas, tidak wajib).
Namun di kemudian hari, umat Islam diperintahkan untuk membayar zakat. 10

Menurut Al-Furqon Hasbi dalam bukunya “125 Masalah Zakat”


disebutkan bahwa awal Nabi Muhammad hijrah ke Madinah, zakat belum

8
Sumber : http://www.tribunnews.com/bisnis/2014/10/29/potensi-zakat-di-indonesia-
mencapai-rp-217-triliun
9
Sumber : http://pusat.baznas.go.id/zakat-peternakan/
10
Sumber : http://id.wikipedia.org/wiki/Zakat

7
dijalankan. Pada waktu itu, Nabi Muhammad, para sahabat, serta kaum muhajirin
yang turut hijrah bersama Nabi dari Mekah ke Madinah masih disibukkan dengan
usaha untuk menghidupi diri dan keluarganya di tempat baru tersebut. Saat itu,
tidak semua orang mempunyai kecukupan dalam perekonomian, kecuali Usman
bin Affan, karena harta kekayaan semua mereka tinggalkan di Mekah ketika
hijrah. 11

Kaum Anshor, yaitu orang-orang Madinah yang menyambut dan


membantu Nabi dan para sahabat yang berhijrah dari Mekah, pada saat itu
menyambut dan memberikan keramahtamahan yang luar biasa, namun bukan lah
adat orang Arab pada saat itu untuk membebani orang lain. Itu pula sebabnya
mereka bekerja keras agar bisa memperoleh kehidupan yang baik.

Kebetulan, kaum Muhajirin yang mengikuti Nabi berhijrah kebanyakan


adalah ahli berdagang. Dikisahkan, pada suatu hari Saad bin ArRabi menawarkan
hartanya kepada Abdurrahman bin Auf, tapi Abdurahman menolaknya, dan
sebaliknya ia hanya minta ditunjukkan jalan ke pasar. Ternyata sesampai di pasar,
Abdurrahman mulai berdagang mentega dan keju, dan dalam waktu tidak terlalu
lama perdagangannya semakin maju dan ia menjadi kaya kembali sebagaimana
sewaktu di Mekah. Kesukaan orang Mekah pada perdagangan ini sampai
diungkapkan dalam Al Quran yaitu antara lain di Surat An Nur ayat 37 :

“Orang yang tidak dilalaikan oleh perdagangan dan jual beli dari
mengingat Allah, melaksanakan shalat, dan menunaikan zakat. Mereka
takut kepada hari ketika hati dan penglihatan menjadi guncang (hari
kiamat).”

Pada saat itu, tidak semua orang Muhajirin mencari nafkah dengan
berdagang, sebagian ada yang menggarap tanah milik orang-orang Anshor. Tidak
sedikit pula yang mengalami kesulitan dalam hidupnya. Untuk mereka yang
mengalami kesulitan perekonomian tersebut, Nabi menyediakan tempat berupa
11
Sebagaimana disebutkan dalam ulasan Republika di tautan
http://www.republika.co.id/berita/ensiklopedia-islam/dakwah/10/12/24/154145-sejarah-awal-
mula-kewajiban-zakat

8
sebuah shufa (bagian masjid yang beratap) sebagai tempat tinggal mereka. Oleh
karena itu, mereka disebut Ahlush Shuffa (penghuni shuffa). Untuk mencukupi
kebutuhan para ahlush shuffa ini kaum Muhajirin maupun Anshor yang mampu
membantu berupa sedekah. 12

Ketika para ahlush shuffa ini mulai meningkat kehidupannya maka pada
saat itu pula mulai keluar perintah untuk berzakat. Zakat ini pada mulanya berupa
infaq yang harus dikeluarkan seseorang kepada fakir miskin dan kepentingan
pembelaan agama. Sementara jumlah banyak dan sedikitnya sendiri tidak atau
belum ada batasan. Baru pada tahun ke dua setelah Hijrah, zakat kemudian
dijadikan pokok ibadah yang harus dilakukan oleh setiap muslim apabila telah
memiliki harta pada batas-batas yang ditetapkan, sebagaimana tertera di dalam Al-
Qur'an surah Al-Baqarah ayat 267, yang artinya kurang lebih sebagai berikut:

"Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian


dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari hasil usahamu yang
baik-baik dan sebagian dari apa yang kami keluarkan dari bumi untuk
kamu. Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu
nafkahkan dari padanya, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya
melainkan dengan memicingkan mata terhadapnya. Dan ketahuilah, bahwa
Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji."

Selain itu Al Quran surah al-Baqarah ayat 277, juga menyebutkan tentang zakat,
yang artinya kurang lebih sebagai berikut:

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal shaleh lagi


mendirikan shalat dan membayar zakat, untuk mereka itu pahala di sisi
Tuhannya dan tidak ada rasa ketakutan atas mereka dan tiada rasa berduka
cita bagi mereka.”

12
Ibid.

9
Setelah turunnya ayat ini, kewajiban zakat juga kemudian dirinci lagi melalui
ayat-ayat yang turun kemudian, dan juga melalui penjelasan dari Nabi, sehingga
kewajiban zakat menjadi semakin jelas.

Dilihat dari pembahasan fiqih tentang basis-basis keuangan Islam, zakat


dan sedekah digunakan secara bergantian. Namun jika melihat kata zakat, yang
berasal dari bahasa Arama, memiliki arti yang lebih spesifik daripada sedekah
(shadaqah) –yang diberikan dengan sukarela—dan secara tidak langsung
mengungkapkan pemberian yang bersifat amaliah umum.13

Secara terminologis, zakat merupakan bagian dari harta yang wajib


dibayarkan oleh setiap muslim yang memenuhi syarat, untuk diberikan kepada
orang-orang yang berhak menerimanya menurut ajaran Islam. Kewajiban zakat
sangat fundamental, dan berkaitan erat dengan aspek-aspek ketuhanan maupun
sosial ekonomi. Secara sederhana, zakat menurut pengertian secara istilah syar'i
adalah kadar harta yang tertentu, diberikan kepada yang berhak menerimanya
dengan syarat-syarat tertentu pula.14

Dalam Al Quran, posisi zakat dan sholat dianggap hampir sama


pentingnya. Kita bisa melihat ini dari 30 ayat yang dalam Quran yang menyebut
tentang zakat, ada 27 ayat diantaranya dimana kewajiban berzakat disebutkan
bersama-sama dengan kewajiban sholat. Kita lihat misalnya surah al-Baqarah [2]:
83, 110; An-Nisa[4]:77; At-Taubah [9]:5,11,18,71; Maryam[19]:31,55; Al-
Anbiya[21]: 73; Al-Hajj[22]:41; An-Nur[24]:55-56; An-Naml[27]:3; dan
Lukman[31]:4). Nabi pun menegaskan bahwa zakat merupakan kewajiban yang
termasuk pada pilar utama yang menegakkan rukun Islam. Sabda Nabi
Muhammad tentang hal ini yaitu sesuai diriwayatkan oleh Bukhori dan Muslim :

"Islam adalah engkau menyembah Allah dan tidak menyekutukan-Nya,


Engkau mengerjakan Shalat, membayar zakat, dan Shaum di bulan

13
Irfan Mahmud Ra’ana, System Ekonomi Pemerintahan umar Ibn al-Khatab, terj. Mansuruddin
Djoely, Pustaka Firdaus, Jakarta, 1990, hlm: 75
14
ibid

10
Ramadhan"

Tidak terdapat informasi yang jelas apakah sebelum datangnya Islam di


jazirah Arab pernah ada pajak atau pungutan yang berbentuk seperti zakat.

Dalam teori sosiologi, kemiskinan akan berakibat keresahan jika terjadi


dalam situasi yang berhadapan secara kontras dengan kemewahan. Oleh sebab itu
Islam tidak melarang umatnya untuk mencari kekayaan sebanyak-banyaknya
asalkan ia mampu menjaga kestabilan kondisi sosial (mencegah terjadinya social
unrest) yakni dengan mendistribusikan kekayaannya kepada orang yang kurang
beruntung. Atau dengan kata lain, kekayaan yang berhasil dikumpulkan oleh umat
Islam tersebut mengandung suatu hak kaum lain yang mana wajib atasnya untuk
dikeluarkan, yaitu hak para mustahik zakat, terutama fakir miskin. Di bawah ini
adalah golongan mereka yang berhak menerima zakat :

1. Fakir; mereka yang hampir tidak memiliki apa-apa sehingga tidak mampu
memenuhi kebutuhan pokok hidup
2. Miskin; mereka yang memiliki harta namun tidak cukup untuk memenuhi
kebutuhan dasar untuk hidup
3. Amil; mereka yang mengumpulkan dan membagikan zakat
4. Mu’allaf; mereka yang baru masuk Islam dan membutuhkan bantuan
untuk menyesuaikan diri dengan keadaan barunya
5. Hamba sahaya; budak yang memerdekakan dirinya
6. Gharimin; mereka yang berhutang untuk kebutuhan yang halal dan tidak
sanggup untuk memenuhinya
7. Fisabilillah; mereka yang berjuang di jalan Allah, melalui perang, dakwah,
dan sebagainya
8. Ibnu Sabil; mereka yang kehabisan biaya di tengah perjalanan15

Dengan melihat tujuan zakat dan faktor terjadinya permasalahan hubungan


sosial, maka jelas bahwa kedudukan zakat dalam Islam, selain fungsi religius
15
Sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/Zakat

11
sebagai tempat membuktikan ketaqwaan terhadap aturan-aturan Allah SWT.,
zakat juga mempunyai fungsi sosiologis yaitu menetralisis hal-hal yang
menyebabkan terjadinya ketidakharmonisan kehidupan bermasyarakat yaitu faktor
kesejahteraan masyarakat.

Zakat juga mengarahkan umat Islam ke arah yang lebih mulia, yaitu
dengan kekuatan ekonomi yang dibangun dari kesadaran berzakat umat, maka
umat Islam telah menguatkan agama dan saudara sesama muslim. Laik jika
kemudian Nabi Muhammad Rasulallah SAW menganjurkan kepada para amil
zakat atau siapapun yang menerima harta zakat, untuk mendoakan mereka dengan
sholawat, doa yang sama yang diucapkan untuk Nabi.

Pengelolaan Zakat di Indonesia dan management pengelolaannya


Zakat merupakan ibadah yang berkaitan dengan hata benda. Seseorang
yang telah memenuhi syarat-syaratnya dituntut untuk menunaikannya, bukan
semata-mata atas kemurahan hatinya, tetapi kalau terpaksa dengan tekana
npenguasa. Oleh karena itu, agama menetapkan amilin atau petugas-petugas
khusus yang mengelolanya, disamping menetapkan sanksi-sanksi duniawi dan
ukhrawi terhadap mereka yang enggan.16
Dalam perkembangannya, zakat secara historis memainkan peran ganda,
sebagai instrumen pelaksanaan kewajiban ritual yang berorientasi pada
kepentingan-kepentingan individual yang bersifat vertikal (hablun mina Allah)
dalam rangka tazkiyat an nufus sebagaimana dikatakan di atas pada satu sisi, juga
sebagai instrumen ekonomi transformatif, yaitu dalam memberdayakan ekonomi
dan pemecahan permasalahan kemiskinan umat pada satu sisi yang lain.
Menurut Muhammad A. Mannan, zakat mempunyai enam prinsip yang
tidak bisa terpisah antara satu dengan yang lainnya, yaitu:
1. Prinsip keyakinan keagamaan,
2. Prinsip keadilan,
3. Prinsip produktivitas,
4. Prinsip nalar,
16
M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an: fungsi dan peran wahyu dalam kehidupan
masyarakat, Mizan, Bandung, 1994, hlm. 323

12
5. Prinsip kebebasan,
6. Prinsip etik dan kewajaran.17
Zakat berfungsi sebagai sarana mendekatkan diri kepada Allah,
membersihkan diri dan harta kekayaan dari kotoran-kotoran, juga menjadi batu
harapan bagi kaum fakir miskin dan menjadi sarana penunjang, pengembangan,
dan pelestarian ajaran Islam dalam masyarakat.18 Zakat dapat membantu,
mencukupi dan menolong masyarakat untuk mengatasi kesulitan-kesulitan yang
dihadapi dan dirasakan masyarakat.
Zakat merupakan instrumen pencipta (stabilizer) kerukunan hidup antara
golongan kaya dengan kaum fakir miskin, karena ia merupakan sumber dana tetap
yang cukup potensial untuk memperbaiki dan meningkatkan kualitas hidup
manusia, baik jasmani maupun rohani.
Untuk menciptakan pengelolaan yang baik dan profesional diperlukan
kualifikasi-kualifikasi sebagai berikut:
1. perlu adanya penyuluhan terhadap masyarakat tentang ketentuan-ketentuan zakat,
sehingga mereka sadar akan makna, tujuan, dan hikmah dari zakat tersebut.
2. Menginventarisir orang-orang yang wajib zakat dan orang-orang yang berhak
menerima zakat serta mendeteksi mustahik zakat yang lebih membutuhkannya.19
3. Amil zakat benar-benar orang terpercaya, karena zakat adalah masalah yang
sensitif. Oleh karenanya dibutuhkan kejujuran dan keikhlasan amil zakat untuk
menumbuhkan adanya kepercayaan masyarakat terhadap amil zakat.
4. Perlu adanya perencanaan dan pengawasan atas pelaksanaan dan pemungutan
zakat yang baik.20
Sebelum melakukan pemungutan zakat, sedapat mungkin sudah dapat
diinventerisir dan direncanakan terlebih dahulu jenis-jenis kekayaan masyarakat
yang dapat dijadikan sumber zakat, siapa-siapa yang dikenakan zakat, bagaimana
cara pemungutannya, bagaimana kiat pemeliharaannya, siapa-siapa yang berhak

17
Muhammad Abdul Mannan, Islamic Economics; Theory and Practice, terj. M. Nastangin, PT.
Intermasa, Jakarta, 1992, hlm. 257
18
Direkotorat Pembinaan Perguruan Tinggi Agama Islam, IlmuFiqih, Jilid I, P3S PTA /IAIN,
Jakarta, 1983, hlm. 267
19
A. Rahman Ritonga dan Zainuddin, Fiqh Ibadah, Gaya Media Pratama, Jakarta, 1997, hlm. 208
20
Dirbinpertais, op.cit., hlm. 268

13
menerimanya, bagaimana perimbangan pembagian di antara asnaf yang delapan
itu.
Dalam pelaksanaan pengumpulan, pemeliharaan dan pembagian zakat
agar betul-betul dapat dilakukan seoptimal mungkin, sehingga tidak terjadi
penyelewengan. Dalam peraturan asnaf yang delapan itu, benar-benar sudah dapat
dibahas sektor-sektor mana yang lebih diprioritaskan mendapat pembagian yang
lebih besar dari lainnya, sehingga dapat diaplikasikan azas manfaat yang sebesar-
besarnya dan prinsip efektifitas dan efisiensi kerja di dalam pengelolaan zakat. 21
Pemanfaatan hasil zakat akan lebih baik apabila dapat dipertimbangkan
pemenuhan kebutuhan jangka pendek dan pemenuhan jangka panjang bagi fakir
miskin. Sekalipun peruntukan zakat adalah untuk individu, akan tetapi
penggunaannya tidak harus konsumtif. Berpegang pada ajaran Rasulullah SAW
yang lebih suka memberikan pancing ketimbang ikan, maka penyaluran zakat
untuk tujuan produktif akan lebih bermakna karena hasilnya akan dapat dinikmati
secara terus-menerus.22 Misalnya sebagian dari hasil pemungutan zakat itu
dijadikan modal suatu usaha atau koperasi dimana fakir miskin yang berhak
menjadi pemegang saham. Dengan demikian hasil zakat tidak semata-mata
dikonsumir tetapi juga diproduksikan.
Salah satu perkembangan yang dapat kita amati sekarang ini ialah adanya
perpindahan arus agama, sehingga sejumlah non Islam masuk menganut agama
Islam, karenanya perlu menaruh perhatian pada kelompok mu’allaf ini.
Selain itu, zakat dapat juga digunakan untuk membiayai pembangunan
atau perbaikan masjid dan lain-lain kepentingan umum (maslahah ‘ammah).
Terdapat kecenderungan mengkategorikan hal tersebut dalam (sabilullah).23
Di lain pihak biaya untuk kepentingan umum (maslahah ‘ammah) dalam
rumusan biasa dari fikih tertampung dalam sahm al-gharim. Sebagian ulama
berpendapat bahwa zakat dapat diberikan kepada orang yang meminjam untuk
membiayai kepentingan umum, dan tidak secara langsung membiayai kepentingan
21
Ibid
22
Jusmailani dan Muhammad Soekarni (ed.), Kebijakan Ekonomi dalam Islam, Kreasi Wacana,
Yogyakarta, 2005, hlm. 182-183
23
Ali Hamzah Harahap , (2011), Pengelolaan Zakat Menurut Islam, (online),
http://ah96708.blogspot.com/2011/06/pengelolaan-zakat-menurut-islam.html (9 Mei 2014)

14
umum tersebut dari semula, misalnya untuk membangun masjid, membangun
madrasah, menebus tawanan, dan lain-lain.
Dalam hal ini, penulis sependapat bila zakat itu digunakan kepentingan
umum (maslahah ‘ammah) yang diambil bagian sabilullah dan al-gharim, tetapi
jangan secara langsung untuk membiayai kepentingan umum dari sejak awal, dan
zakat ini diserahkan si muzaki kepada panitia pembanguann dan oleh panitia
pembangunan disalurkan untuk pembangunan (kepentingan umum) tadi, apakah
untuk bangunan masjid, madrasah, rumah sakit Islam, dan lain-lain.

Pengelolaan Zakat di Indonesia


Pengelolaan zakat di Indonesia telah diatur dalam undang-undang
tentang pengelolaan zakat, yaitu Undang-Undang Nomor 23 Tahun2011 dan PP
Nomor14 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Zakat.
1. Badan Pengelola Zakat, terdiri dari:
a. Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS)
Badan amil zakat dan lembaga amil zakat dibentuk pada semua
tingkatan, mulai tingkat nasional sampai tingkat lokal. Dalam BAZ,
kepengurusannya memiliki struktur baku sesuai dengan wilayah dalam
ketatanegaraan. Struktur tertinggi ada di pusat dan terendah di tingkat kecamatan.
Sedang di desa atau di kelurahan tidak sampai pada tingkatan BAZ tetapi hanya
terbatas pada unit pengumpul (UPZ). BAZ tingkat nasional pembentukannya
disahkan oleh presiden, di propinsi oleh Gubernur dan seterusnya sampai tingkat
kecamatan.
Dalam melaksanakan tugasnya, Baznas menyelenggarakan fungsi:
1) Perencanaan pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat
2) Pelaksanaan pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat
3) Pengendalian, pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat; dan
4) Pelaporan dan pertanggungjawaban pelaksanaan Pengelolaan Zakat.
Menurut PP ini, untuk melaksanakan tugas dan fungsi Baznas dapat
dibentuk unit pelaksana yang melaksanakan fungsi perencanaan, pelaksanaan,
pengendalian, pelaporan, dan pertanggungjawaban dalam pengumpulan,

15
pendistribusian, dan pendayagunaan zakat secara nasional. “Pegawai unit
pelaksana sebagaimana dimaksud bukan merupakan pegawai negeri,” bunyi Pasal
31 Ayat (3) PP No. 14/2014, sementara di ayat berikut ditambahkan bahwa
ketentuan mengenai unit pelaksana akan diatur dengan Peraturan Menteri Agama.
b. Lembaga Amil Zakat (LAZ)
Masyarakat dapat membentuk Lembaga Amil Zakat (LAZ), dengan
syarat wajib mendapat izin Menteri Agama atau pejabat yang ditunjuk Menteri
Agama setelah memenuhi persyaratan. Dalam perkembangan organisasi dan
keuangannya, pemerintah berhak untuk mengawasinya.

Managemen Pengelolaan Zakat


PP ini menegaskan, Baznas berwenang melakukan pengumpulan zakat
melalui UPZ dan/atau secara langsung. Pengumpulan zakat melalui UPZ
dilakukan dengan cara membentuk UPZ pada:
a. Lembaga negara;
b. Kementerian/LKNP;
c. BUMN;
d. Perusahaan swasta nasional dan asing;
e. Perwakilan RI di luar negeri;
f. Kantor-kantor perwakilan negara asing/lembaga asing; dan
g. Masjid negara.
Adapun pengumpulan zakat secara langsung dilakukan melalui sarana
yang telah disediakan oleh Baznas. Kewenangan pengumpulan zakat secara
langsung ini juga dimiliki oleh Baznas Provinsi, dan Baznas Kabupaten/Kota.
Upaya Baznas dalam menyalurkan dana ZIS (Zakat, Infaq, Shadaqah)
yang bersifat produktif adalah melalui program ekonomi, yaitu pemberdayaan
usaha kecil baik yang dilakukan secara langsung melalui Unit Salur Zakat (USZ)
konter maupun dilakukan oleh USZ mitra. Program ekonomi dijalankan melalui
tahap-tahap yang disusun sedemikian rupa dengan harapan pemberdayaan yang
dilakukan tidak hanyadirasakan manfaatnya oleh perotangan, akan tetapi juga

16
dalam lingkup komunitas. Diharapkan dalam wilayah Baznas akan terjadi
semacam pemberdayaan masyarakat (community development).24
Undang-Undang zakat secara garis besar memuat aturan tentang
pengelolaan dana zakat yang terorganisir dengan baik, transparan dan
professional, dilakukan oleh amil yang resmi ditunjuk oleh pemerintah. Jurnal
dikeluarkan secara periodik dan pengawasannya akan dilakukan oleh ulama,
tokoh masyarakat dan pemerintah. Apabila terjadi kelalaian atau kesalahan dalam
pencatatan harta zakat, bisa dikenakan sanksi sehingga memungkinkan harta zakat
akan terhindar dari bentuk-bentuk penyelewengan dan dikelola dengan baik sesuai
dengan visi dan misinya.25
UU zakat juga menyebutkan jenis-jenis harta yang dikenai zakat yang
belum ada pada zaman Rasulullah SAW yaitu hasil pendapatan dan jasa. Jenis
harta ini merupakan zakat untuk penghasilan pekerja modern, yang disebut
dengan zakat profesi. Bentuk zakat baru ini merupakan langkah maju, mengingat
seiring dengan perkembangan zaman maka hukum pun berkembang
mengiringinya, karena hukum agama Islam adalah universal, elastis dan tidak
hanya untuk pada saat itu saja. 26
Selain itu, dalam undang-undang juga diatur tentang aturan pembayaran
zakat sekaligus pajak. Yaitu bagi masyarakat yang sudah membayar zakat, maka
pembayaran pajaknya akan dikurangi dengan sejumlah zakat yang telah
dibayarkan. Hal ini merupakan jalan tengah yang lebih baik dan bisa diterima di
tengah perdebatan pihak-pihak tertentu yang ingin menyamakan zakat dan pajak.
Karena bagaimanapun juga zakat tidak bisa disamakan dengan pajak. Zakat
adalah kewajiban yang harus ditunaikan atas dasar Al- Qur’an dan Sunnah,
sedangkan pajak adalah kewajiban atas dasar pemerintah.
Kehadiran Undang-Undang zakat tersebut, juga memberikan semangat
agar pengelolaan zakat ditangani oleh negara seperti yang telah dilakukan pada
masa awal Islam. Dalam ajaran Islam, zakat sebaiknya dipungut oleh negara dan

24
Jusmailani dan Muhammad Soekarni (ed.), Op.Cit, hlm 181
25
Muhamad, Zakat Profesi :Wacana Pemikiran Zakat Dalam Fiqh Kontemporer, Salemba
Diniyah, Jakarta, 2002, hlm. 42
26
Ibid

17
pemerintah kepada orang-orang kaya dan untuk dibagikan kepada para fakir
miskin sebagai haknya. 27

27
Ibid, hlm. 43

18
BAB III
PENUTUP

I. KESIMPULAN
1. Zakat merupakan ibadah yang berkaitan dengan hata benda. Seseorang
yang telah memenuhi syarat-syaratnya dituntut untuk menunaikannya.
Pemanfaatan hasil zakat akan lebih baik apabila dapat dipertimbangkan
pemenuhan kebutuhan jangka pendek dan pemenuhan jangka panjang
bagi fakir miskin. Sekalipun peruntukan zakat adalah untuk individu,
akan tetapi penggunaannya tidak harus konsumtif. Berpegang pada ajaran
Rasulullah SAW yang lebih suka memberikan pancing ketimbang ikan,
maka penyaluran zakat untuk tujuan produktif akan lebih bermakna
karena hasilnya akan dapat dinikmati secara terus-menerus.
2. Pengelolaan zakat di Indonesia telah diatur dalam undang-undang tentang
pengelolaan zakat, yaitu Undang-Undang Nomor 23 Tahun2011 dan PP
Nomor14 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Zakat.

II. KRITIK DAN SARAN


Seperti halnya kata pepatah, tiada gading yang tak retak. Begitu
juga dalam penulisan ini, penulis mohon maaf jika terdapat kesalahan-
kesalahan yang terjadi. Oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan
saran untuk bisa lebih baik dalam penulisan yang akan datang. Dan semoga
bermanfaat. Amin

19
DAFTAR PUSTAKA

A. Rahman Ritonga dan Zainuddin, Fiqh Ibadah, Gaya Media Pratama, Jakarta,
1997.
Direkotorat Pembinaan Perguruan Tinggi Agama Islam, Ilmu Fiqih, Jilid I, P3S
PTA /IAIN, Jakarta, 1983.
Jusmailani dan Muhammad Soekarni (ed.), Kebijakan Ekonomi dalam Islam,
Kreasi Wacana, Yogyakarta, 2005.
M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an: fungsi dan peran wahyu dalam
kehidupan masyarakat, Mizan, Bandung, 1994.
Moeslim Abdurrahman, Islam Transformatif, Pustaka Firdaus, Jakarta,1997.
Muhamad, Zakat Profesi :Wacana Pemikiran Zakat Dalam Fiqh Kontemporer,
Salemba Diniyah, Jakarta, 2002.
Muhammad Abdul Mannan, Islamic Economics; Theory and Practice, terj. M.
Nastangin, PT. Intermasa, Jakarta, 1992.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2014
Ali Hamzah Harahap, (2011), Pengelolaan zakat menurut islam, (online),
http://ah96708.blogspot.com/2011/06/pengelolaan-zakat-menurut-
islam.html (9 Mei 2014)
Abdurrahman, M. (1997). Islam Transformatif. Pustaka Firdaus, Jakarta.
Hamzah Harahap, A. (2011). Pengelolaan Zakat Menurut Islam. Diakses dari
http://ah96708.blogspot.com/2011/06/pengelolaan-zakat-menurut-
islam.html
Irfan Mahmud Ra’ana. (1990). System Ekonomi Pemerintahan Umar Ibn al-
Khatab (terj. Mansuruddin Djoely). Pustaka Firdaus, Jakarta.
Mahmud, M. Q. (1994). Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu
dalam Kehidupan Masyarakat. Mizan, Bandung.
Mannan, M. A. (1992). Islamic Economics: Theory and Practice (terj. M.
Nastangin). PT. Intermasa, Jakarta.
Direktorat Pembinaan Perguruan Tinggi Agama Islam. (1983). Ilmu Fiqih, Jilid I.
P3S PTA/IAIN, Jakarta.

20
Ritonga, A. R., & Zainuddin. (1997). Fiqh Ibadah. Gaya Media Pratama, Jakarta.
Jusmailani & Soekarni, M. (Eds.). (2005). Kebijakan Ekonomi dalam Islam.
Kreasi Wacana, Yogyakarta.
Muhamad. (2002). Zakat Profesi: Wacana Pemikiran Zakat Dalam Fiqh
Kontemporer. Salemba Diniyah, Jakarta.
Republika. (2010). Sejarah Awal Mula Kewajiban Zakat. Diakses dari
http://www.republika.co.id/berita/ensiklopedia-islam/dakwah/10/12/24/15
4145-sejarah-awal-mula-kewajiban-zakat
Konsultasi Hukum Online. (2013). Sejarah Perkembangan Zakat di Indonesia.
Diakses dari http://konsultasi-hukum-online.com/2013/07/sejarah-
perkembangan-zakat-di-indonesia/
Baznas. (n.d.). Peran Parlemen RI dalam Penguatan Institusi Zakat. Diakses dari
http://pusat.baznas.go.id/berita-artikel/peran-parlemen-ri-dalam-
penguatan-institusi-zakat/
VIVA. (n.d.). MK Gelar Sidang Uji Materi UU Pengelolaan Zakat. Diakses dari
http://nasional.news.viva.co.id/news/read/361993-mk-gelar-sidang-uji-
materi-uu-pengelolaan-zakat
FOZ. (2011). Notulensi Diskusi UU Zakat, tanggal 24 November 2011. Diakses
dari http://imz.or.id/new/uploads/2011/11/Notulensi-Diskusi-UU-Zakat-
FOZ-24-November-2011.pdf
Baznas. (n.d.). Zakat Sebagai Pengurang Penghasilan Kena Pajak. Diakses dari
http://pusat.baznas.go.id/berita-artikel/zakat-sebagai-pengurang-
penghasilan-kena-pajak/
Tribunnews. (2014). Potensi Zakat di Indonesia Mencapai Rp 217 Triliun.
Diakses dari http://www.tribunnews.com/bisnis/2014/10/29/potensi-zakat-
di-indonesia-mencapai-rp-217-triliun
Wikipedia. (n.d.). Zakat. Diakses dari http://id.wikipedia.org/wiki/Zakat

21

Anda mungkin juga menyukai