Anda di halaman 1dari 22

ZAKAT DALAM PERSPEKTIF HUKUM POSITIF DAN

KELEMBAGAAN ZAKAT DI INDONESIA

Tugas Mata Kuliah : Hukum Zakat dan Wakaf di Indonesia


Dosen Pengajar : Muhammad Firliandi Noor Salim, S.S., M.H.

Oleh Kelompok 4 :

M. Maulana : NIM. 2020110829


\

PRODI HUKUM KELUARGA ISLAM


SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM
DARUL ULUM KANDANGAN
TAHUN 2023/2024
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang. Kita panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah
melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada kita, sehingga saya dapat
menyelesaikan makalah ilmiah.
Harapan saya semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan bagi para
pembaca. Terlepas dari semua itu, saya menyadari sepenuhnya bahwa masih ada
kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu
dengan tangan terbuka saya menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar saya
dapat memperbaiki makalah ilmiah ini.
Bagaimanapun latarbelakang biografis kita semua, menuntut ilmu
pengetahuan boleh bagi setiap orang, apa lagi menuntut ilmu pengetahuan agama
Islam sangat dianjurkan karena diwajibkan bagi setiap umat Islam menuntut ilmu
agamanya sendiri.
Akhir kata saya berharap semoga makalah ilmiah ini dapat memberikan
manfaat maupun motivasi terhadap pembaca.

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................................ I


DAFTAR ISI ....................................................................................................... II
BAB I PENDAHULUAN .............................................................................. 1
A. Latar Belakang Masalah ................................................................. 1
B. Rumusan Masalah .......................................................................... 1
C. Tujuan Penulisan ............................................................................ 1
BAB II PEMBAHASAN ................................................................................. 2
A. Sejarah Zakat di Indonesia ............................................................. 2
B. Zakat menurut peraturan perundang-undangan di Indonesia.......... 6
C. Pengelolaan Zakat di Indonesia...................................................... 8
D. Zakat Kontemporer Versi Indonesia............................................... 13
BAB III PENUTUP ........................................................................................... 17
A. Kesimpulan ..................................................................................... 17
B. Saran ............................................................................................... 17
DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Manusia adalah makhluk sosial yang tidak dapat hidup tanpabantuan orang
lain. Manusia selaku makhluk sosial memilikiketergantungan dengan manusia yang
lain. Sehingga salah satubentuk manusia berbagi dengan yang lain melalui zakat.
Zakatyang merupakan ibadah untuk mensucikan diri dari harta bendayang dimiliki.
Disisi lain zakat juga memiliki tujuan untukmendistribusikan kekayaan dari yang
memiliki kelebihan kepadayang kekurangan.
Namun di zaman modern sekarang ini pengelolaan zakat diupayakan dan
dirumuskan sedemikian rupa, sehingga dapat dikelola secara baik. Para pengelola
telah merumuskan pengelolaan zakat berbasis manajemen. Pengelolaan zakat
berbasis manajemen dapat dilakukan dengan asumsi dasar bahwa semua aktivitas
yang terkait dengan zakat dilakukan secara professional. Pengelolaan zakat secara
professional, perlu dilakukan dengan saling keterkaitan antara berbagai aktivitas
yang terkait dengan zakat. Dalam hal ini, keterkaitan antara sosialisasi,
pengumpulan, pendistribusian atau pendayagunaan, serta pengawasan. pendayaguaan
dan pengawasan Regulasi zakat di Indonesia terhitung masih baru apabila
dibandingkan dengan masa Islam masuk ke Indonesia.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Sejarah Zakat di Indonesia ?
2. Bagaimana Zakat menurut peraturan perundang-undangan di Indonesia ?
3. Seperti apa Pengelolaan Zakat di Indonesia ?
4. Seperti apa Zakat Kontemporer Versi Indonesia ?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui Sejarah Zakat di Indonesia.
2. Untuk mengetahui Zakat menurut peraturan perundang-undangan di
Indonesia.
3. Untuk mengetahui Pengelolaan Zakat di Indonesia.
4. Unruk mengetahui Zakat Kontemporer Versi Indonesia.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Sejarah Zakat di Indonesia


Sejak Pengelolaan zakat di Indonesia mengalami beberapa fase sejalan
dengan perkembangan sosial politik negara. Pengalaman itu dialami pada masa
penjajahan, kemerdekaan dan masa reformasi. Kecuali masa reformasi,
pengelolaan zakat pada masa penjajahan dan kemerdekaan (orde baru dan orde
lama) memberikan gambaran buram fungsi zakat di Indonesia. Antara komunitas
muslim dengan hasil zakat tidak memberikan gambaran seimbang.1
1. Masa Kerajaan Islam
Pengelolaan zakat pada masa kerajaan-kerajaan Islam, kemungkinannya,
memiliki spirit modern yang kuat. Zakat dimaknai sebagai sebuah semangat
yang memanifestasi dalam bentuk pembayaran pajak atas negara. Seorang
cendikiawan muslim kontemporer Indonesia, Masdar F. Mas'udi,
mengatakan, “zakat pada mulanya adalah upeti sebagaimana umumya berlaku
dalam praktik ketatanegaraan zaman dulu. Hanya saja, upeti yang secara
nyata telah membuat rakyat miskin semakin tenggelam dalam kemiskinannya,
dengan spirit zakat lembaga upeti itu justru harus menjadisarana yang efektif
bagi pemerataan dan penyejahteraan kaum miskin. Dengan kata lain, lembaga
upeti yang semula menjadi sumber kedhaliman, dengan spirit zakat Harus
ditransformasikan menjadi wahana penciptaan keadilan. 2 Dengan demikian,
dapat disimpulkan bahwa masyarakat sipil dapat secara leluasa
mempraktekkan zakat tanpa intervensi pemerintah. Sebaliknya, pemerintah
(kerajaan Islam) sangat mendukung praktek tersebut. Hanya saja keberadaan
amil sebagai pengumpul zakat pada fase ini kemungkinan besar belum ada,
sehingga zakat hanya dibayarkan oleh muzakki kepada mustahiq secara
langsung.
1
H. Aan Jaelani, Manajaemen Zakat di Indonesia dan Brunei Darussalam (Bandung: Nurati
Press, 2015), h.61.
2
Faisal, ‘Sejarah Pengelolaan Zakat Didunia Muslim Dan Di Indonesia’ Analisis, Vol. 11
No..12 (2011). h. 256.
4

2. Masa Kolonialisme
Ketika bangsa Indonesia sedang berjuang melawan penjajahan Barat dahulu,
zakat berperan sebagai sumber dana bagi perjuangan kemerdekaan tersebut.
Setelah mengetahui fungsi dan kegunaan zakat yang semacam itu, pemerintah
Hindia Belanda melemahkan sumber keuangan dan dana perjuangan rakyat
dengan cara melarang semua pegawai pemerintah dan priyayi pribumi
mengeluarkan zakat harta mereka. Kebijakan pemerintah Hindia Belanda ini
menjadi batu sandungan dan hambatan bagi terselenggaranya pelaksanaan
zakat. Namun kemudian, pada awal abad XX, diterbitkanlah peraturan yang
tercantum dalam Ordonantie Pemerintah Hindia Belanda Nomor 6200 tanggal
28 Februari 1950.3 Dalam pengaturan ini pemerintah Hindia Belanda tidak
akan lagi mencampuri urusan pengelolaan zakat, dan Sepenuhnya
pengelolaan zakat diserahkan kepada umat Islam.
3. Masa Awal Kemerdekaan
Setelah Indonesia memperoleh kemerdekaannya, zakat kembali menjadi
perhatian para ekonom dan ahli fiqih bersama pemerintah dalam menyusun
ekonomi Indonesia. Hal tersebut dapat kita lihat pada pasal-pasal dalam UUD
1945 yang berkaitan dengan kebebasan menjalankan syariat agama pasal 29
dan pasal 34 UUD 1945 yang menegaskan bahwa fakir miskin dan anak-anak
terlantar dipelihara negara. Kata-kata fakir miskin yang dipergunakan dalam
pasal tersebut jelas menunjukkan kepada mustahiq golongan yang berhak
menerima zakat.
Pada tahun 1951, Kementerian Agama mengeluarkan Surat Edaran Nomor:
A/VII/17367, tanggal 8 Desember 1951 tentang Pelaksanaan Zakat Fitrah.
Kementerian Agama melakukan pengawasan supaya pemakaian dan
pembagian hasil pungutan zakat berlangsung menurut hukum agama.
Kementerian Agama mulai menyusun Rancangan Undang-Undang (RUU)
tentang Pelaksanaan Zakat dan Rencana Peraturan Pemerintah Pengganti

3
Adanan Murrah Nasution, ‘Pengelolaan Zakat Di Indonesia’ Journal of Islamic Social
Finance Management, Vol. 1. No. 2 (2020). h. 298.
5

Undang-Undang (RPPPUU) tentang Pelaksanaan Pengumpulan dan


Pembagian Zakat serta Pembentukan Baitul Mal pada tahun 1964.4
Perhatian pemerintah terhadap lembaga zakat ini mulai meningkat sekitar
tahun 1968. Saat itu diterbitkanlah peraturan Menteri Agama Nomor 4
tentang Pembentukan Badan Amil Zakat dan Nomor 5/1968 tentang
pembentukan Baitul Mal (Balai Harta Kekayaan) di tingkat pusat, provinsi
dan kabupaten/kota madya. Namun pada tahun tersebut, Menteri Keuangan
menjawab putusan Menteri Agama dengan menyatakan bahwa peraturan
mengenai zakat tidak perlu dituangkan dalam undang-undang, cukup dengan
Peraturan Menteri Agama saja. Karena ada respons demikian dari Menteri
Keuangan, maka Menteri Agama mengeluarkan Instruksi Nomor 1 Tahun
1968, yang berisi penundaan pelaksanaan Peraturan Menteri Agama Nomor 4
dan Nomor 5 Tahun 1968.
4. Masa Orde Baru
Kepemimpinan Presiden Soeharto memberikan sedikit angin segar bagi umat
Islam dalam konteks penerapan zakat ini. Sesuai anjuran Presiden dalam
pidatonya saat memperingati Isra Mi’raj di Istana Negara tanggal 22 Oktober
1968 maka dibentuklah Badan Amil Zakat Infaq dan Shadaqah (BAZIS) yang
dipelopori oleh Pemerintah Daerah DKI Jaya . Sejak itulah, secara beruntun
badan amil zakat terbentuk di berbagai wilayah dan daerah seperti di
Kalimantan Timur (1972), Sumatra Barat (1973), Jawa Barat (1974), Aceh
(1975), Sumatra Selatan, Lampung (1975), Kalimantan Selatan (1977),
Sulawesi Selatan dan Nusa tenggara Barat (1985).
Pada tahun 1989 dikeluarkan Instruksi Menteri Agama Nomor 16 Tahun
1989 tentang Pembinaan Zakat, Infaq dan Shadaqah yang menugaskan sernua
jajaran Departemen Agama untuk membantu lembaga-lembaga keagamaan
yang mengadakan pengelolaan zakat, infaq dan shadaqah agar menggunakan
dana zakat untuk kegiatan pendidikan Islam dan lain-lain. Pada tahun 1991
telah dikeluarkan Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam

4
Muhammad Ngasifudin, ‘Konsep Sistem Pengelolan Zakat Di Indonesia Pengentas
Kemiskinan Pendekatan Sejarah’ Jurnal Ekonomi Syariah Indonesia, Vol. 5. No. 2.(2015). h. 244.
6

Negeri Nomor 29 dan 47 tentang Pembinaan Badan Amil Zakat Infaq dan
Shadaqah.5
5. Masa Reformasi
Terbentuknya Kabinet Reformasi memberikan peluang baru kepada umat
Islam, yakni kesempatan emas untuk kembali menggulirkan wacana RUU
Pengelolaan Zakat yang sudah 50 tahun lebih diperjuangkan. Komisi VII
DPR-RI yang bertugas membahas RUU tersebut. Penggodokan RUU
memakan waktu yang sangat panjang, hal itu disebabkan perbedaan visi dan
misi antara pemerintah dan anggota DPR. Satu pihak menyetujui apabila
persoalan zakat diatur berdasarkan undang-undang Sementara pihak lain tidak
menyetujui dan lebih mendorong supaya pengaturan zakat diserahkan kepada
masyarakat.
Pada tahun 1999, Undang-undang Nomor 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan
Zakat dikeluarkan oleh pemerintah. Pemerintah bersama Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR) berusaha memajukan kesejahteraan sosial dan perekonomian
bangsa dengan menerbitkan Undang-undang Nomor 38 tahun 1999 tentang
Pengelolaan Zakat. Kemudian dikeluarkan pula Keputusan Menteri Agama
Nomor 581 tahun 1999 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 38 tahun
1999 dan Keputusan Direktur Jendral Bimas Islam dan Urusan Haji Nomor
D-291 tahun 2000 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Zakat. 6 Semua
undang-undang yang diterbitkan di atas bertujuan untuk menyempurnakan
sistem pengelolaan zakat. Seperti pada masa pra kemerdekaan zakat sebagai
sumber dana perjuangan, maka pada era reformasi ini zakat diharapkan
mampu mengangkat keterpurukan ekonomi bangsa akibat resesi ekonomi
dunia dan krisis multidimensi yang datang melanda. Bahkan sebagian pihak
menilai bahwa terbentuknya undang-undang pengelolaan zakat di Indonesia
merupakan catatan yang patut dikenang oleh umat Islam.
Kelahiran Undang-undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat
menjadi sejarah penting dalam sejarah pengelolaan zakat di Indonesia.
5
Saifuddin, ‘Sejarah Pengelolaan Zakat di Indonesia’ Az Zarqa, Vol. 12.No. 2.(2020). h.84.
6
Hidayatina, “Sistem Pengelolaan Zakat Di Kota Lhokseumawe” (SkripsiSarjana; Jurusan
Ekonomi Islam: Lhokseumawe, 2018). h. 35
7

Undang-undang ini menjadi tonggak kebangkitan pengelolaan zakat di


Indonesia setelah sekian puluh tahun termarjinalkan dan titik balik terpenting
dunia zakat nasional. Jatuhnya rezim Orde Baru telah membuka peluang dan
membangkitkan kembali keinginan Departemen Agama untuk meregulasi
zakat di Indonesia. Upaya ini sebenamyaberakar panjang sejak tahun 1967 di
mana draft RUU Zakat pertama kali disampaikan Departemen Agama ke
parlemen. Pada tanggal 23 September 1999 draft UU Zakat disahkan menjadi
Undang-undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat.7
Dengan adanya regulasi atau landasan hukum zakat di Indonesia, maka
lembaga amil zakat di Indonesia memiliki ketentuan yang mengikat dalam
menerima, mengelola dan menyalurkan dana zakat kepada orang-orang yang
berhak menerimanya. Regulasi atau landasan hukum zakat di Indonesia, juga
meniscayakan lembaga amil zakat bersikap profesional dalam menyalurkan
dana zakat umat Islam kepada mereka yang berhak menerimanya.

B. Zakat menurut peraturan perundang-undangan di Indonesia


Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat resmi
diundangkan dan masuk dalam Lembaran Negara Republik Indonesia bernomor
115 setelah ditandatangani oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada
tanggal 25 November 2011. Lahirnya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011
menggantikan Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 yang sebelumnya telah
menjadi payung hukum pengelolaan zakat. Struktur dari Undang-Undang
Pengelolaan Zakat ini terdiri dari 11 Bab dengan 47 Pasal.
Secara eksplisit tujuan dari Undang-Undang Pengelolaan Zakat adalah
untuk mendongkrak dayaguna dan hasilguna pengelolaan zakat, infak dan
shadaqah di Indonesia. Karena itu pengelolaan zakat harus dilembagakan
(formalisasi) sesuai dengan syariat Islam. Dan harus memenuhi asas-asas
amanah, kemanfaatan, keadilan, kepastian hukum, terintegrasi, dan akuntabilias
sehingga dapat meningkatkan efektivitas dan efesiensi pelayanan.8
7
Muhammad Ngasifudin, loc. Cit.’ h. 266.
8
Muhammad Iqbal, Hukum Zakat Dalam Perspektif Hukum Nasional, Jurnal Asy-
Syukriyyah, Vol. 20, No. 1, 2019, h. 42.
8

Dalam Pasal 6 dan Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun


2011 dijelaskan,22 peran BAZNAS menjadi lembaga yang berwenang
melakukan tugas pengelolaan zakat secara nasional. Fungsi BAZNAS disebutkan
sebagai perencanaan, pelaksana, pengendalian baik dalam pengumpulan,
pendistribusian, dan pendayagunaan zakat. Selain itu, pelaporan dan
pertanggungjawaban pelaksanaan pengelolaan zakat. Dalam hal ini BAZNAS
cukup punya kewenangan yang lebih. Jika kemampuan BAZNAS pada Undang-
Undang Nomor 38 Tahun 1999 memiliki kewenangan yang terbatas, sehingga
dari sisi pengumpulan maupun pendistribusian kalah jauh dengan LAZ. Akan
tetapi dengan kewenangan yang diberikan sekarang BAZNAS akan sangat
leluasa dengan memiliki hirarki dan jaringan hingga tingkat struktur yang paling
bawah.9
Salah satu hal terpenting dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011
tentang Pengelolaan Zakat di antaranya adalah terkait dengan penguatan
kelembagaan. Dalam Undang-undang ini BAZNAS (Badan Amil Zakat Nasional)
disebutkan sebagai lembaga pemerintah non struktural yang merupakan
perpanjangan tangan dari pemerintah. Dalam hal ini secara teknis BAZNAS di
bawah koordinasi Kementerian Agama. Jika pada Undang-Undang Nomor 38
Tahun 1999 yang duduk di BAZNAS disebut sebagai pengurus, maka di dalam
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat, sebutan
mereka tidak lagi sebagai pengurus, tetapi anggota komisioner.
BAZNAS sebagai lembaga yang diatur secara definitif dalam undang-
undang juga memiliki sifat mandiri, sebagaimana disebut Pasal 5 ayat (3)
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 BAZNAS merupakan lembaga
pemerintah nonstruktural yang bersifat mandiri. Namun, selain sifat mandiri, ada
dua unsur lain yang diatur dalam pasal tersebut, yaitu BAZNAS sebagai lembaga
pemerintah non-struktural, dan bertanggungjawab kepada Presiden melalui
Menteri Agama. Sifat mandiri dari lembaga yang dibentuk secara definitif dari
suatu undang-undang harus lepas dari kekuasaan eksekutif, legislatif, maupun
yudikatif. Kedudukan Presiden dalam Pasal 5 ayat (3) berkedudukan sebagai

9
Ibid., h.44
9

Kepala Pemerintahan, dan dibantu oleh Menteri dalam pelaksanaan tugasnya.


Sehingga, dengan adanya ketentuan bahwa BAZNAS bertanggungjawab kepada
Presiden melalui Menteri, sudah mengkonstruksikan bahwa kedudukan BAZNAS
berada di bawah kekuasaan eksekutif, yang secara otomatis mereduksi makna
dari sifat mandiri pada BAZNAS.10

C. Pengelolaan Zakat di Indonesia


1. Badan Amil Zakat Nsional Indonesia (BAZNAS)
Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) merupakan badan resmi dan
satu-satunya yang dibentuk oleh pemerintah berdasarkan Keputusan Presiden
RI No. 8 Tahun 2001 yang memiliki tugas dan fungsi menghimpun dan
menyalurkan zakat, infak, dan sedekah (ZIS) pada tingkat nasional. Lahirnya
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat semakin
mengukuhkan peran BAZNAS sebagai lembaga yang berwenang melakukan
pengelolaan zakat secara nasional. Dalam UU tersebut, BAZNAS dinyatakan
sebagai lembaga pemerintah nonstruktural yang bersifat mandiri dan
bertanggung jawab kepada Presiden melalui Menteri Agama.
Pembentukan BAZNAS sendiri dinilai sebagai sebuah keniscayaan
mengingat pentingnya sektor zakat yang menjadi area kerjanya. Pengelolaan
zakatbukanlah perkara yangmudah mengingat bangsa Indonesia sendiri,
terutama yang muslim, belum sepenuhnya menyadari letak urgensinya zakat
dan pendayagunaannya. Wajarlah jika potensi zakatyang ada belum terserap
sepenuhnya dan hanya menjadi kebanggaan karitatif semata.
BAZNAS merupakan lembaga pengelola zakat yang memilikitugas
utama pengelolaan zakat secara nasional. Dalam rangka melaksanakan
tugasnya sebagai lembaga pengelola zakat nasional, BAZNAS mejalankan
fungsi-fungsi utama, sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (1) UU Nomor
23/2011 adalah sebagai berikut:11

Ibid., h.45
10

Kementerian Agama RI, Standarisasi Amil Zakat di Indonesia, Jakarta: Direktorat Jenderal
11

Bimbingan Masyarakat Islam Direktorat Pemberdayaan Zakat, 2013), h. 47.


10

a. perencanaan pengumpuLan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat;


b. pelaksanaan pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat;
c. pengendalian pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat;
dan
d. pelaporan dan pertanggungjawaban pelaksanaan pengelolaan zakat.
Secara umum, tugas dan fungsi BAZNAS adalah melakukan upaya
pengumpulan, pendistribusian, pendayagunaan, pelaporan dan pertanggung
jawaban atas pelaksanaan pengelolaan zakat.
Proses pengumpulan zakat dalam konteks masa kini lebih banyak
mengikuti konsep fundraising, yaitu suatu kegiatan yang memiliki tujuan
penggalangan dana untuk tujuan tertentu. Fundraising zakat berarti upaya
mengumpulkan zakat dari perorangan atau badan usaha untuk mencapai
tujuan zakat. Sumber utama fundraising zakat adalah muzaki.
Pendistribusian zakat dilakukan setelah potensi zakat
terkumpuLPengelolazakat melakukan pembagian zakat kepada orang-orang
yang berhak menerimanya. Permasalahan yang kerap terjadi di masyarakat,
pendistribusian zakat dilakukan secara langsung oleh pihak pengelola kepada
mustahik. Di banyak pedesaan di Indonesia, tidak sedikit yang membagikan
zakat harta secara langsung, baik yang dikirim melalui amplop maupun
dengan cara mengumpulkan mustahik pada suatu tempat tertentu. Fenomena
yang cukup memprihatinkan adalah, muzakki membagikan zakat hartanya
dengan cara membagikan kupon, lalu para mustahik berkumpul di depan
rumahnya dan saling berebut zakat yang dibagikan. Penyaluran zakat seperti
itu justru menimbulkan banyak korban dan, bahkan, dapat menghabiskan
biaya perawatan yang lebih besar daripada jumlah zakat yang diterima.12
Pendistribusian melalui cara tersebut juga dinilai banyak kalangan
sebagai pendistribusian secara konsumtif yaitu harta zakat yang diberikan
segera habis setelah digunakan. Kenyataan seperti itu menggugah para ulama
untuk merumuskan suatu skema pendistribusian zakat secara produktif agar
mustahik memperoleh manfaat pendaya-gunaan zakat yang lebih besar. Oleh

12
Ibid., h.50.
11

sebab itu, BAZNAS dituntut untuk dapat merumuskan pengalihan cara,


teknik, strategi dan metode dari mulai pengumpulan hingga pendistribusian
dan pendayagunaan zakat melalui program-program yang dapat diterima oleh
masyarakat.
2. Lembaga Amil Zakat (LAZ)
LembagaAmil lakat (LAl) merupakan lembagapengelola zakat yang
dibentuk oleh masyarakat. Keberadaan LAZ yang tetap dilindungi dan diberi
"keleluasaan" untuk mengelola zakat merupakan cara pemerintah untuk tetap
mendorong peran serta masyarakat di dalam pengelolaan zakat.
Menurut UU Nomor 23/2011, untuk dapat menjadi Lembaga Amil
Zakat (LAZ) harus memenuhi beberapa standar sebagai berikut:13

a. LAZ merupakan lembaga pengelola zakat yang dibentuk oleh masyarakat.

b. Mampu melaksanakan fungsi pengumpulan, pendistribusian, dan


pendayagunaan zakat.

c. Pembentukan LAZ harus mendapat izinMenteri atau pejabat yang


ditunjuk oleh Menteri.
Ketika Islam makin meluas, pendelegasian kewenangan pengelolaan
zakat diberikan kepada para gubernur untuk mengembangkan institusi 'amil
di wilayahnya masing-masing. Tugas pokoknya adalah menghimpun zakat
dari kelompok kava yang ada di wilayah tersebut, dan menyalurkannya
kepada kaum dhuafa yang ada di wilayah tersebut secara tepat dan efektif
Konsep BAZNAS yang dikembangkan oleh pemerintah memiliki analogi
yang sarna dengan konsep ini. Asumsi mengenai BAZNAS yang dinilai
sentralistis pun dinilai tidak tepat, karena posisi BAZNAS lebih banyak
menghimpun potensi zakat yang ada di wilayah pusat seperti PNS
kementerian, pegawai BUMN pusat, dan perusahaan-perusahaan nasional dan
multinasional untuk kemudian disalurkan ke daerah-daerah yang
memangkekurangan. Sedangkan potensi zakat yang ada di daerah ditangani
dan dikelola oleh BAZNAS daerah dan juga LAZ.

13
Ibid., h. 59.
12

BAZNAS lebih diposisikan sebagai koordinator antar berbagai lembaga


pengelola zakat seperti BAZNAS provinsi, BAZNAS Kabupaten/Kota, dan
LAZ. Artinya, keberadaan LAZ yang sudah ada saat ini tidak dimatikan,
melainkan tetap dapat berfungsi dan dilindungi. Selanjutnya, Didin
menambahkan. Kata membantu dalam pasal 17 (UU Nomor 23/2011) tidak
berarti membatasi ruang gerak LAZ, atau LAZ berkewajiban menyetorkan
zakatnya ke Baznas. Namun dernikian, ada satu kewajiban tambahan LAZ
yakni memberikan laporan kepada Baznas. Dan hal ini kan bisa diartikan
sebagai bagian dari integras.
3. Unit Pengumpul Zakat (UPZ)
Kekhawatiran mengenai potensi kriminalisasi dan pelemahan lembaga
pengelola zakat yang sudah ada akibat lahirnya UU Nomor 23/2011, selain
berlebihan juga perlu direnung ulang. UU Nomor 23/2011 berupaya
melakukan penataan terhadap lembaga pengelola zakat yang sudah ada
sehingga potensi zakat dapat terhimpun secara maksimal. Oleh sebab itu,
tidak terdapat sarna sekali semangat di dalam UU Nomor 23/2011 tersebut
untuk melemahkan atau membunuh keberadaan lembaga penghimpun zakat
yang ada di masyarakat.
Dalam konteks penataan pengelolaan zakat, institusi-institusi
masyarakat yang selama ini melakukan penghimpunan zakat dapat
memosisikan did sebagai Unit Pengumpul Zakat (UPZ) untuk bekerja sarna
dan/atau melakukan koordinasi dengan BAZNAS atau LAZ.
Menurut UU Nomor 23/2011, di dalamPasal16 disebutkan bahwa
UnitPengumpulZakatdibentukolehBAlNAS, BAZNAS Provinsi dan
BAZNAS Kabupaten/Kota, Pembentukan UPZ tersebut dapat dilakukan pada
instansi pernerintah, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Usaha
Milik Daerah (BUMD), perusahaan swasta, perwakilan RI di luar negeri, dan
dapat membentuk UPZ pada tingkat kecamatan, kelurahan, bahkan di masjid-
masjid dan majelis taklim.14

14
Ibid.. h. 66.
13

Dengan demikian, paling tidak terdapat dua hal yang patut dijadikan
catatan. Pertama, kenyataan adanya masjid-masjid atau sekolah-sekolah dan
majelis taklim yang selama ini melakukan penghimpunan zakat dari
masyarakat sama sekali tidak bertentangan dengan Undang-Undang. Bahkan
jika memungkinkan, institusi-institusi sosial tersebut dapat dijadikan sebagai
UPZ. Kedua, kalaupun kemudian masih terdapat banyak muzakki yang
langsung memberikan zakatnya kepada mustahik(direct zakat system), hal itu
pun tidak bertentangan dengan Undang-Undang. Hanya saja, jika kenyataan
tersebut dibiarkan, visi dan misi zakat untuk mengentaskan kemiskinan dan
memberdayakan umat menjadi sulit terlaksana. Disinilah perlunya BAZNAS,
LAZ, dan juga masyarakat untuk melakukan pendidikan dan penyadaran
publik agar animo dan motivasi berzakat melalui lembaga pengelola zakat
resmi terus mengalami peningkatan.
4. Panitia penerima zakat berbasis masjid
Sejak awal masjid dijadikan pusat kegiatan umat, Rasulullah SAW
membicarakan semua persoalan umat dan negara di masjid, termasuk masalah
pengelolaan zakat dimulai di masjid. Berdasar atas pertimbangan di atas
BAZNAS menggalang perencanaan gerakan memakmurkan masjid melalui
unit pengumpul zakat masjid. Jadi masjid diberdayakan kembali
sebagaimana yang telah dilakukan zaman rasulullah SAW sehingga problem
kemiskinan masyrakat sekitar masjid teratasi oleh jamahnya sendiri.15
Masjid biasanya dikelola oleh Dewan Kemakmuran Masjid (DKM),
yaitu organisasi yang menghimpun umat Islam di sekitar masjid dan
merupakan salah satu bentuk dari organisasi dakwah Islamiyah. Dalam
rangka menuju pengelolaan zakat yang berbasis masjid maka BAZNAS
membentuk UPZ Masjid paling tidak diawali di setiap kecamatan masing-
masing satu unti Pengumpul Zakat.
Beda lagi ceritanya kalau panitia penerimanya hanya dari
masjid/musholla saja tidak tergabung ke dalam UPZ maka, panitia Zakat itua

Iwan Wisandani, Model Optimalisasi Pengelolaan Zakat Berbasis Masjid, Syakhsia: Jurnal
15

Hukum Perdata Islam, Vol. 12, No. 1, 2015, h. 112.


14

statusnya sebagai wakil muzakki (pemberi zakat), maka zakat belum


dianggap sah sebelum sampai kepada mustahiq. Dan waktu menyerahkan
kepada mustahiq ini terbatas yaitu tidak boleh sampai melewati matahari
terbenam tanggal 1 Syawal. Sedangkan Amil Zakat adalah statusnya sebagai
wakil mustahiq (penerima zakat), maka zakat sudah dianggap sah setelah
diserahkan kepada amil. Tugas amil menyalurkan zakat kepada mustahiq.
Dan ini tidak terbatas waktunya. Sedangkan.16

D. Zakat Kontemporer Versi Indonesia


1. Zakat dengan uang
Zakat dengan uang menjadi salah satu bentuk zakat yang paling umum
dilakukan oleh masyarakat. Para pemikir ekonomi Islam kontemporer
mendefinisikan zakat mal sebagai harta yang telah ditetapkan oleh pemerintah
atau pejabat berwenang, kepada masyarakat umum atau individu yang
bersifat mengikat dan final, tanpa mendapat imbalan tertentu yang dilakukan
pemerintah sesuai dengan kemampuan pemilik harta, yang dialoksikan untuk
memenuhi kebutuhan delapan golongan yang telah ditentukan oleh Al
Terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam memberikan zakat
dengan uang di era zakat kontemporer ini, di antaranya adalah:17
a. Memilih lembaga amil zakat terpercaya: dengan semakin pesatnya
perkembangan zaman yang menyebabkan banyak bermunculan lembaga
amil zakat di Indonesia, oleh karena itu perlu untuk memilih yang paling
terpercaya dan terjamin untuk menyalurkan zakat uang tersebut.
b. Memakai teknologi karena pada masa kini sudah masuk era berkembang
dan teknologi sudah ada dimana-mana, maka perlu untuk dimanfaatkan
dalam pengelolaan zakat berupa uang agar memudahkan proses
pengumpulan, pengolahan, dan penyaluran zakat dengan berbagai platfom
digital seperti website dan aplikasi yang telah bermitra dengan lembaga
16
https://www.laduni.id/post/read/71683/perbedaan-status-hukum-antara-amil-zakat-dan-
panitia-zakat-di-masjid-atau-mushola, diakses pada 28 Maret 2023 pukul 20.34.
17
Nurdin Muhd Ali, Zakat Sebagai Instrument Dalam Kebijakan Fiskal, (Jakarta : Raja
Grafindo Persada, 2006), h. 6.
15

pengelolaan zakat di Indonesia dalam rangka membayar zakat dengan


uang.
c. Mengetahui jenis-jenis zakat uang: Zakat uang tidak hanya dalam bentuk
uang tunai, tetapi juga dapat dalam bentuk tabungan, deposito, saham,
atau instrumen keuangan lainnya. Oleh karena itu, perlu mengetahui jenis-
jenis zakat uang yang ada dan cara menghitungnya
d. Menyalurkan zakat dengan tepat sasaran: Zakat dengan uang harus
disalurkan dengan tepat sasaran kepada penerima zakat yang berhak
menerimanya, seperti orang miskin, fakir, janda, dan yatim piatu.
Lembaga amil zakat dapat memastikan bahwa zakat yang diterima
digunakan dengan baik dan membantu orang yang membutuhkan.
2. Zakat profesi
Menurut Hafiduddin, zakat profesi adalah zakat yang dikenakan pda
tiap pekerjaan tau keahlian professional tertentu, baik yang dilakukan
sendirian maupun yang dilakukan bersama dengan orang atau lembaga lain,
yang mendatangkan penghasilan (uang) yang memenuhi nisab (batas
minimum untuk bisa membayar zakat. Sebagai contoh profesi, profesi dokter,
konsultan, advokasi, dosen, seniman perancang busana dan lain sebagainya.
Yang terpenting, profesi-profesi tersebut menghasil uang yang halal dan baik.
Zakat profesi adalah zakat atas penghasilan yang diperoleh dari
pengembangan potensi diri yang dimiliki seseorang dengan cara yang sesuai
syariat, seperti upah kerja rutin, profesi dokter, pengacara, arsitek dan lain-
lain. Dari berbagai pendapat dinyatakan bahwa landasan zakat profesi
dianalogikan kepada zakat hasil pertanian yaitu dibayarkan ketika
mendapatkan hasilnya, demikian juga dengan nishabnya yaitu sebesar 524 kg
makanan pokok, dan dibayarkan dari pendapatan kotor. Sedangkan tarifnya
adalah dianalogikan kepada zakat emas dan perak yaitu sebesar 2,5 %.
Abu Zahrah dan Abd Wahab Khalaf mewajibakan zakat atas
penghasilan yang didapat dari profesi dengan dasar pemikiran yang diambil
oleh Abu Hanifah dan dua sahabatnya. Abu Yusuf dan Muhammad yang
berpendapat bahwa perkiraan nisab dilihat di awal haul dan akhir haul tanpa
16

terpengaruh dengan bertambah atau berkurangnya harta pada masa haul


tersebut. Atas dasar pendapat tersebut, maka kedua ulama kontemporer di
atas menyimpulkan bahwa zakat penghasilan wajib dikeluarkan setiap
tahunnya selama mencapai nishab di awal dan akhir tahun. Hal ini
disandarkan oleh riwayat Imam Ahmad mengenai orang yang mendapat
penghasilan penyewaan rumah dan uang hasil penyewaan tersebut mencapai
nishabnya.18
Syekh Yusuf al-Qardhawi berkesimpulan bahwa pengambilan dari
pendapatan atau gaji bersih dimaksudkan agar hutang dapat dibayar apabila
mempunyai hutang dan biaya hidup terendah seseorang dan yang menjadi
tanggungannya bisa dikeluarkan karena biaya minimal kehidupan seseorang
merupakan kebutuhan pokok seseorang, sedangkan zakat diwajibkan atas
jumlah senisab yang sudah melebihi kebutuhan pokok. Selain itu juga harus
dikeluarkan biaya dan ongkos-ongkos untuk melakukan pekerjaan tersebut,
berdasarkan pada pengkiasannya kepada hasil bumi dan kurma (zira’ah) serta
sejenisnya, bahwa biaya harus dikeluarkan terlebih dahulu baru zakat
dikeluarkan zakatnya dari sisa. Maka, berdasarkan hal itu maka sisa gaji dan
pendapatan setahun wajib zakat bila mencapai nisab uang, sedangkan gaji dan
upah setahun yang tidak mencapai nisab uang-setelah biaya-biaya di atas
dikeluarkan misalnya gaji pekerja-pekerja dan pegawai-pegawai kecil, tidak
wajib zakat.

3. Pembayaran zakat dengan aplikasi


Pembayaran zakat dengan aplikasi merupakan salah satu cara yang
semakin populer dan mudah digunakan dalam era digital saat ini. Beberapa
aplikasi yang dapat digunakan untuk membayar zakat di Indonesia seperti
Dompet Dhuafa,BSM Mobile Banking, Dana, Linkaja, dan lain sebagainya
yang telah mempunyai bermitra dengan BAZNAS maupun Lembaga
Pengelola Zakat lainnya agar dapat membayar zakat melalui smartphone.
18
Ahmad Atabik, Manajemen Pengelolaan Zakat Yang Efektif Di Era Kontemporer,
ZISWAF, Vol. 2, No. 1, 2015, h. 46.
17

Pembayaran zakat dengan aplikasi memiliki beberapa keuntungan,


antara lain lebih cepat dan mudah dilakukan, tidak perlu datang ke kantor
lembaga zakat, serta lebih aman karena transaksi dilakukan secara online.
Namun, sebelum menggunakan aplikasi tersebut, pastikan bahwa aplikasi
tersebut resmi dan terpercaya, serta sesuai dengan aturan dan ketentuan yang
berlaku.
Dan tentunya dalam melakukan segala hal tidak terlepas dari niat dari
berzakat itu sendiri, yaitu untuk membantu sesama kaum muslimin yang
membutuhkan agar terciptanya kesejahteraan.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Sejarah zakat di Indonesia terbagi menjadi lima masa yaitu, pada masa
kerajaan Islam, Masa Kolonialisme, Masa awal kemerdekaan, Masa Orde Baru, dan
Masa Reformasi, yang memiliki cerita tersendiri disetiap masanya.
Secara eksplisit tujuan dari Undang-Undang Pengelolaan Zakat adalah untuk
mendongkrak dayaguna dan hasilguna pengelolaan zakat, infak dan shadaqah di
Indonesia. Karena itu pengelolaan zakat harus dilembagakan (formalisasi) sesuai
dengan syariat Islam. Dan harus memenuhi asas-asas amanah, kemanfaatan,
keadilan, kepastian hukum, terintegrasi, dan akuntabilias sehingga dapat
meningkatkan efektivitas dan efesiensi pelayanan.
Pengelolaan Zakat di Indonesia ditangani oleh BAZNAS (Tingkat Nasional,
Provinsi, Kab/Kota), LAZ (Lembaga Amil Zakat yang berasal dari masyarakat untuk
membantu Baznas dalam tugasnya), UPZ (Lembaga yang dinaungi langsung oleh
BAZNAS salam penerimaan, pengelolaan, dan penyaluran di plosok-plosok), dan
Panitia penerima zakat berbasis masjid (sebagai wakil dari muzakki untuk menerima
dan menyalurkan ke mustahik tetapi bukan amil zakat).
Zakat Kontemporer Versi Indonesia di Makalah ini meliputi prmbayaran zakat
dengan uang, zakat profesi dan pembayaran zakat lewat aplikasi dengan semakin
berkembangnya teknologi di zaman ini.
B. Saran
Makalah ini masih sangatlah jauh dari sempurna, karena masih banyak
referensi-refesensi yang dapat digunakan. Keterbatasan kemampuan penulislah yang
masih kurang dalam memaksimalkan penulisan ini. Kritik dan saran sangat
diharapkan dari dosen dan rekan-rekan mahasiswa agar penulisan yang akan datang
menjadi lebih baik lagi.
DAFTAR PUSTAKA

Ali, Nurdin Muhd. Zakat Sebagai Instrument Dalam Kebijakan Fiskal.


Jakarta : Raja Grafindo Persada. 2006.
Atabik, Ahmad. Manajemen Pengelolaan Zakat Yang Efektif Di Era
Kontemporer, ZISWAF, Vol. 2. No. 1. 2015.
Faisal, ‘Sejarah Pengelolaan Zakat Didunia Muslim Dan Di Indonesia’
Analisis, Vol. 11. No. 12. 2011.
Hidayatina. “Sistem Pengelolaan Zakat Di Kota Lhokseumawe”.
SkripsiSarjana; Jurusan Ekonomi Islam: Lhokseumawe. 2018.
https://www.laduni.id/post/read/71683/perbedaan-status-hukum-antara-amil-
zakat-dan-panitia-zakat-di-masjid-atau-mushola, diakses pada 28 Maret 2023 pukul
20.34.
Iqbal, Muhammad. Hukum Zakat Dalam Perspektif Hukum Nasional, Jurnal
Asy- Syukriyyah, Vol. 20. No. 1. 2019.
Jaelani, H. Aan. Manajaemen Zakat di Indonesia dan Brunei Darussalam.
Bandung: Nurati Press. 2015.
Kementerian Agama RI. Standarisasi Amil Zakat di Indonesia. Jakarta:
Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Direktorat Pemberdayaan Zakat.
2013.
Nasution, Adanan Murrah. ‘Pengelolaan Zakat Di Indonesia’ Journal of
Islamic Social Finance Management. Vol. 1. No. 2. 2020.
Ngasifudin, Muhammad. ‘Konsep Sistem Pengelolan Zakat Di Indonesia
Pengentas Kemiskinan Pendekatan Sejarah’ Jurnal Ekonomi Syariah Indonesia, Vol.
5. No. 2. 2015.
Saifuddin. ‘Sejarah Pengelolaan Zakat di Indonesia’ Az Zarqa. Vol. 12. No.
2. 2020.
Wisandani, Iwan. Model Optimalisasi Pengelolaan Zakat Berbasis Masjid.
Syakhsia: Jurnal Hukum Perdata Islam. Vol. 12. No. 1. 2015.

Anda mungkin juga menyukai