Anda di halaman 1dari 40

MAKALAH

“FILANTROPI ISLAM & KEUANGAN PUBLIK ISLAM”

Dosen Pengampu :

Disusun Oleh :

1. Birgita Anindya Afrialita (60120008)


2. Lussy Indah (60120028)
3. Ririn Masliha(60120044)

PRODI AKUNTANSI
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS SELAMAT SRI KENDAL
2022
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Alhamdulillah dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT yang Maha
Pengasih dan Maha Penyayang yang telah memberikan rahmat, hidayah dan inayahnya
kepada kami, sehingga dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini tentang “Filantropi
Islam”. Makalah ini merupakan salah satu tugas yang di berikan kepada kami dalam rangka
pengembangan dasar ilmu Pengantar Studi Islam yang berkaitan dengan Filantropi Islam .
Selain itu tujuan dari penyusunan makalah ini juga untuk menambah wawasan tentang
pengetahuan Islam secara meluas. Sehingga besar harapan kami, makalah yang kami sajikan
dapat menjadi konstribusi positif bagi pengembang wawasan pembaca.

Akhirnya saya menyadari dalam penulisan makalah ini jauh dari kesempurnaan. Oleh
karena itu, dengan segala kerendahan hati saya menerima kritik dan saran agar penyusunan
makalah selanjutnya menjadi lebih baik . Semoga laporan ini memberi manfaat bagi banyak
pihak. Amiin.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Kendal, 16 Juni 2022

Penulis
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL …………………………………………………………………..i

KATA PENGANTAR ………………………………………………………………...ii

DAFTAR ISI ………………………………………………………………………….iii

BAB I PENDAHULUAN ……………………………………………………………..1

Latar Belakang ………………………………………………………………...1

Rumusan Masalah……………………………………………………………...1

Tujuan Penulis ………………………………………………………………...1

BAB II PEMBAHASAN…………………………….…………………………...........2

1. Pengertian Filantropi secara Umum …………………………………………...2

2. Pengertian Filantropi Islam …………………………………………………....2

3. Historisitas Filantropi ……………………………………………………….....3

4. Kelembagaan Filantropi ……………………………………………………….5

5. Ruang Lingkup Filantropi Islam ………………………………………………6

BAB III KESIMPULAN DAN SARAN…………………………………………….8

DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………………………9


BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Merupakan prinsip dasar Islam, bahwa seorang muslim yang tergolong mampu dalam
hal harta diperintahkan oleh Allah SWT untuk berbagi dan menolong kepada sesamanya umat
muslim . Maknanya adalah jelas bahwa hal itu sudah tidak terlalu asing lagi, apalagi di
Indonesia . Sudah banyak lembaga-lembaga di Indonesia yang membantu menaungi dana
bantuan kita misalnya seperti Domper Dhu’afa , LAZIZ Muhammadiyah , Yayasan Dana
Sosial , Yayasan Daarut Tauhid , Yayasan Sosial Ummul Quro’ , Baitul Mal , Rumah Zakat ,
Bank Mu’amalat , dll. Oleh sebab itu tak ada lagi halangan kita untuk tidak berbagi kepada
sesama .

1.2. Rumusan Masalah

1. Menjelaskan apa yang dimaksud Filantropi

2. Menjelaskan pengertian Filantropi Islam?

3. Bagaimana sejarah Filantropi Islam ?

4. Apa saja ruang lingkup Filantropi Islam ?

1.3 Tujuan Penulisan


Agar pembaca bisa megetahui , memahami dan mengerti apa itu pengertian Filantropi Islam
yang masih cukup asing didengar . Agar pembaca juga dapat menambah wawasannya
mengenai ruang lingkup dan kajian mengenai Filantropi Islam.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Pendahuluan

A. Pengertian Filantropi secara Umum

Filantropi (bahasa Yunani: philein berarti cinta, dan anthropos berarti manusia) adalah
tindakan seseorang yang mencintai sesama manusia, sehingga menyumbangkan waktu,
uang, dan tenaganya untuk menolong orang lain. Istilah ini umumnya diberikan pada
orang-orang yang memberikan banyak dana untuk amal. Biasanya, filantropi seorang kaya
raya yang sering menyumbang untuk kaum miskin.

B. Pengertian Filantropi Islam

Filantropi berasal dari dunia Barat yang berarti kedermawanan . Filantropi Islam
dapat diartikan sebagai pemberian karitas (charity) yang berdasarkan pada pandangan
untuk mempromosikan keadilan social dan maslahat bagi masyarakat umum . Dalam
ajaran Islam , wacana filantropi sesungguhnya sudah ada dan melekat dalam system
teologi yang dimilikinya dan telah dipraktekan sejak dahulu dalam bentuk zakat , wakaf ,
dan sebagainya . Khusus di Indonesia , praktik-praktik tersebut masih berlangsung secara
konvensional , yaitu melalui hubungan perseorangna yang disalurkan secara langsung ,
sehingga kegiatan karitas lebih banyak bersifat konsumtif ketimbang produktif . Pada
gilirannya , hal itu tidak mampu mencapai keadilan social sebagaimana tujuan akhir dari
Filantropi Islam itu sendiri .

Secara factual, selama ini usaha-usaha Filantropis yang dilakukan oleh pemerintah ,
organisasi social Islam, LSM dan sebagainya , seperti Domper Dhu’afa , LAZIZ
Muhammadiyah , Yayasan Dana Sosial , Yayasan Daarut Tauhid , Yayasan Sosial Ummul
Quro’ , Baitul Mal , Rumah Zakat , Bank Mu’amalat , dll. Terbukti telah berhasil
menghasilkan dana sebesar 31.7 milliar dalam setahun . Maka , apabila segi-segi dan mutu
organisasional praktik filantropi islam ditingkatkan , maka bukan mustahil upaya ini dapat
menjadi kekuatan potensial untuk membangun masyarakat Indonesia yang potensial untuk
membangun masyarakat Indonesia yang sejahtera.

C.Historisitas Filantropi

Sejarah menunjukkan bahwa sesungguhnya pada masa awal-awal Islam, lembaga-


lembaga filantropi telah berdiri. Ada satu inklinasi (kecenderungan) di kalangan para
penguasa Muslim, sejak Daulah Abbasiyah hingga Turki Usmani, yang selalu
mengejawantahkan filantropi mereka dalam pelbagai bentuk kelembagaan khususnya
pendidikan dan madrasah. Kasus Madrasah Nizhamiyah di Baghdad abad ke-10 dan ke-11
layak menjadi acuan, dimana pemerintah memberikan support dana atas semua kegiatan
secara maksimal. Pendirian madrasah tersebut merupakan religious endowment (sedekah)
dari penguasa pada masa itu. Begitu pula Dinasti Turki Usmani pada abad ke-18 dan ke-19
M., menunjukkan religious endowment yang begitu besar dalam bentuk scholarly
endowment (bantuan beasiswa). Pemerintah Turki Usmani menyisihkan sejumlah tertentu
dari anggaran belanjanya untuk kepentingan beasiswa para penuntut ilmu di kota-kota
pusat keilmuan seperti Kairo, Makkah, dan Madinah.

Kita juga dapat belajar tentang filantropi Islam ini dari Universitas Al-Azhar, Mesir.
Al-Azhar adalah sebuah lembaga pendidikan yang amat kaya. Hal itu dapat dilihat dari
harta wakafnya dan juga hasil-hasil usaha lainnya. Aset Al-Azhar amat melimpah, hal itu
belum termasuk ZIS (zakat, infak, sedekah), yang terjadi sampai tahun 1961. Pemerintah
Mesir kala itu juga amat segan dengan eksistensi Al-Azhar. Namun demikian, Presiden
Mesir saat itu, Gamal Abdul Nasser, tampaknya sangat menyadari kekuatan baru yang
tersembunyi di Al-Azhar. Ia kemudian melakukan nasionalisasi secara paksa atas seluruh
harta wakaf Al-Azhar. Selanjutnya Al-Azhar dijadikan bagian dari struktur negara; Syaikh
Al-Azhar diangkat sebagai pejabat setingkat perdana menteri dan digaji oleh negara.
Akhirnya masyarakat menilai bahwa Al-Azhar tidak lagi menjadi lembaga independen
atau menjadi kekuatan penyeimbang kekuasaan. Sampai sekarang, dibawah pemerintahan
Husni Mubarak, Al-Azhar dikooptasi dan menjadi bagian negara. Di Indonesia sendiri,
filantropi ini mulai menguat dalam pelbagai bentuknya kira-kira pada abad ke-19 M. Hal
itu ditandai oleh pertumbuhan madrasah-madrasah, termasuk dengan pertumbuhan
pesantren-pesantren. Pada abad ke-20 M., sekolah-sekolah Islam, Muhammadiyah,
Nahdatul Ulama (NU), dan sejenisnya, sangat terkait dengan philantrophism tersebut
kolonial.

Pasca kemerdekaan, nature ini tetap bertahan. Lembaga-lembaga pendidikan Islam


maupun masjid-masjid mampu mengurus diri mereka sendiri. Untuk kasus aktivitas masjid
misalnya, jika dibandingkan dengan Malaysia, maka terdapat perbedaan yang amat
mencolok. Di Malaysia, institusi rumah ibadah amat tergantung dengan pemerintah.
Konsekuensinya, para pengurus masjid maupun khatib menjadi tidak independen. Seorang
khatib tidak dapat berkhutbah kecuali dengan teks yang telah disiapkan dari kantor
Perdana Menteri. Di Indonesia hal itu tidak terjadi, salah satunya karena Departemen
Agama tidak cukup mempunyai wibawa untuk menyiapkan semua itu.
Pada tahun 90-an, eksistensi filantropi di Indonesia terlihat semakin membaik. Hal
tersebut terlihat tidak saja pada pendirian masjid, pesantren, maupun madrasah, tapi juga
penyaluran beasiswa untuk para penuntut ilmu. Tentu saja hal ini merupakan fenomena
yang menggembirakan dibanding dengan yang terjadi di Timur Tengah. Jika ada orang
kaya Arab yang ingin menyumbangkan uangnya, kebanyakan mereka memilih
membangun masjid ketimbang memberikan uangnya untuk berbagai ragam penelitian
ilmiah dan pembiayaan pendidikan mahasiswa. Padahal untuk konteks Indonesia,
pemberian beasiswa jauh lebih signifikan dibanding dengan membangun masjid.
Mengingat di Indonesia sudah banyak masjid, itupun tidak sedikit yang kosong. Apalagi di
benak sebagian besar umat Islam tersimpan keyakinan bahwa orang yang membangun
masjid akan pula dibangunkan untuknya rumah di surga kelak.

Karenanya, pelbagai bentuk terobosan baru di dalam filantropi Islam dalam rangka
merealisir keadilan sosial perlu ditingkatkan. Filantropi itu diharapkan tidak saja
memberikan terobosan-terobosan baru dalam bentuk kelembagaannya, tetapi dalam ranah
interpretasi doktrinalnya. Hal itu tentu saja akan menjadi sebuah landasan normatif baru
yang mengarah pada kemakmuran secara luas. Akibatnya seorang penderma merasa
senang dan nyaman, sementara pihak-pihak yang layak dibantu mendapatkan hak-haknya.
Karena itu, eksistensi filantropi Islam ini sangat menantang, kaitannya tidak hanya pada
kemakmuran material, tapi juga pencerdasan masyarakat melalui beragam beasiswa bagi
para peserta didik di setiap level pendidikan. Allahu a’lam.

D. Kelembagaan Filantropi

Menurut Khalid mas’ud, tidak tersedia data yang memadai mengenai sejarah
penghimpunan dan distribusi zakat pada masa awal islam. Beberapa informasi dapat di
telusuri dalam kitab-kitab fikih, namun secara keseluruhan tidak ada data terperinci
mengenai pengadministrasian zakat tersebut. Ada pandangan umum bahwa zakat mulai di
perintahkan untuk di tunaikan di kota madinah tahun ke dua pasca hijriah. Beberapa ahli
hukum islam menegaskan bahwwa ayat-ayat zakat yang di wahyukan di mekah sebagai
asal muasal zakat.

Penghimpunan dan pendistribusian zakat di perkenalkan oleh nabi Muhammmad


SAW dan di perteguh kembali pada masa khalifah Abu Bakar. Namun khalifah umar lah
yang mensistemasi institusi tersebut. Umar memapankan pos pos penghimpunan zakat
untuk para pedagang, dan menghentikan pembayaran bagi non muslim. Memasuki abad ke
12 masehi tampaknya penghimpunan zakat oleh Negara telah berkurang. Penghimpunan
yang resmi lebih berkaitan dengan hasil ladang dan perdagangan.
Kelembagaan filantropi islam di Indonesia

Filantropi islam telah mengakar dalam praktik masyarakat islam di Indonesia sejak
lama. Zakat, yang menjadi focus utama kajian di sini, adalah suatu kegiatan keagamaan
yang nilai dan praktiknya setua masuknya islam di nusantara. Secara sepesifik, masyarakat
muslim telah mempraktikan zakat sejak abad ke 13 masehi ( Amelia fauzia dan Ari
hermawan, 2003 ; 159-162) bahkan menurut Daud ali masyarakat islam di nusantara telah
menggunakan zakat sebagai sumber dana untuk menggembangkan ajaran islam, dan juga
melawan penjajah.

Adalah K.H Ahmad dahlan pada awal abad ke 20 yang mengusulkan perlunya di
bentuk pengelolaan zakat secara terlembaga. Karenanya, fenomena kelembagaan
filantropi islam melalui organisasi modern di Indonesia adalah fenomena baru.

E. Ruang Lingkup Filantropi Islam di Indonesia

Ruang lingkup mengandung arti luasnya subjek yang tercakup. Ruang lingkup
filantropi yang di kenal luas mencakup kegiatan Zakat, Infaq, Shadaqoh, dan Wakaf.

1. Zakat

Menurut malik Ar-rahman, zakat berarti al-barakatu (kebrekahan). Sedangkan


menurut terminology syariah, zakat merupakan kewajiban atas sejumlah harta tertentu
dalam waktu tertentu. Harta yang di keluarkan zakatnya akan menjadi berkah, tumbuh,
berkembang dan tambah, suci dan membawa kebaikan

2. Infaq
Infaq berasal dari kata anfaqa yang berarti mengeluarkan sesuatu (harta) untuk
kepentingan sesuatu. Menurut terminologi syariah infaq berarti mengeluarkan sebagian
dari harta atau pendap[atan (penghasilan) untuk suatu kepentingan yang di perintahkan
ajaran islam. Orang yang mengeluarkan infaq adalah munfiq.

3. Sedekah

Sedekah berasal dari kata shadaqa yang berarti benar.orang yang suka bersedekah
adalah orang yang benar pengakuan imannya. Menurut etimologi sedekah = infaq,
termasuk juga ketentuan dan hukumnya.

4. Wakaf
Wakaf dikatakan sebagai jenis ibadah maliyah yang spesifik. Asal katanya dari kata
wa-ka-fa yang artinya tetap atau diam. Maksudnya bahwa seseorang menyerahkan harta
yang tetap ada terus wujudnya namun selalu memberikan manfaat dari waktu ke waktu
tanpa kehilangan benda aslinya.

Filantropi Islam

Melakukan tindakan amal untuk kepentingan orang lain adalah suatu bentuk
perbuatan yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Hampir semua tradisi
agama,tindakan memberikan bantuan materidan non materi pada orang lainadalah suatu
kewajiban sekaligus suatu bentuk ketaatan kepada tuhan. Filantropi sebenarnya merupakan
sebuah istilah untuk menunjukkan ragam bantuan tersebut. Kata itu dipilih,mengingat
tidak ada istilah yang lebih tepat digunakan untuk “pemberian” dalam konteks keagamaan
maupun sekuler (non keagamaan).

Penggalangan Dana Filantropi

Menurut survey PBB UIN Jakarta, terdapat tiga strategi yang di lakukan OFI untuk
meraih donor : pertama mempertahankan kejujuran dalam distribusi dalam keluarga
penerima, kedua mempertahankan citra yang baik dari anggota pengurus harian ketiga
mempertahankan prosedur-prosedur yang transparan. Dalam aspek penggalangan dana,
kreatifitas mutlak di butuhakan oleh OFI, mereka hanya mengandalkan sumber-sumber
pendanaan yang konvensional. Organisasi filantropi (LAZIS) akan gagal kalau tidak bias
mandiri atau hanya bergantung kepada bantuan pemerintah.

Distribusi Dana Filantropi

Aspek distribusi penting dalam kehadiran OFI. Bahkan, ia berperan sebagai satu
tolak ukur dalam menentukan apakah OFI berorientasi keadilan social atau karitas.
Distribusi dana filantropi terdapat dua pola penyaluran zakat yaitu pola tradisional
(konsumtif/karitas) dan pola penyaluran produktif ( pemberdayaan ekonomi/ social).

F. KEUANGAN PUBLIK ISALM

Sejarah Keuangan Publik Islam

1. Keuangan Publik pada Masa Rasulullah SAW


Untuk memahami sejarah keuangan publik pada masa Rasulullah dan
Khulafaurrasyidin, dapat dilihat dari praktik dan kebijakan yang diterapkan oleh
beliau dan para sahabat. Bicara mengenai keuangan publik pada masa Rasulullah adalah
berangkat dari kedudukan beliau sebagai kepala negara. Demikian halnya dengan para
sahabat Khulafaurrasyidin, juga yang ditempatkan sebagai kepala negara. Sebab,
kedudukan sebagai kepala negara adalah identik dengan kedudukan melayani publik.
Setelah selama tiga belas tahun di Makkah, beliau hijrah ke Madinah (Yasrib). Pada
saat hijrah ke Madinah, kota ini masih dalam keadaan kacau, belum memiliki pemimpin
ataupun raja yang berdaulat. Di kota ini banyak suku, salah satunya adalah suku Yahudi
yang dipimpin oleh Abdullah Ibnu Ubay. Ia berambisi menjadi raja di Madinah. Suasana
kota ini sering terjadi pertikaian antar kelompok. Kelompok yang terkuat dan kaya adalah
Yahudi, namun kondisi ekonominya masih lemah dan hanya ditopang dari hasil pertanian.
Oleh karena itu, tidak ada hukum dan aturan, maka sistem pajak dan fiskal tidak berlaku.
Setelah Rasulullah hijrah ke Madinah, maka Madinah dalam waktu singkat
mengalami kemajuan yang pesat. Rasulullah berhasil memimpin seluruh pusat
pemerintahan Madinah, menerapkan prinsip-prinsip dalam pemerintahan ke organisasi,
membangun institusi-institusi, mengarahkan urusan luar negeri, membimbing para
sahabatnya dalam memimpin dan pada akhirnya melepaskan jabatannya secara penuh.
Sebagai negara yang baru terbentuk, ada beberapa hal yang segera mendapat perhatian
beliau, seperti: (1) membangun masjid utama sebagai tempat untuk mengadakan forum
bagi para pengikutnya; (2) merehabilitasi muhajirin Makkah di Madinah; (3) menciptakan
kedamaian dalam negara; (4) mengeluarkan hak dan kewajiban bagi warga negaranya; (5)
membuat konstitusi negara; (6) menyusun sistem pertahanan Madinah; (7) meletakkan
dasar-dasar sistem keuangan negara.
Dua hal penting yang telah dijalani dan diubah oleh Rasulullah pada waktu itu
adalah : Pertama, adanya fenomena unit, yaitu bahwa Islam telah membuang sebagian
besar tradisi, ritual, norma-norma, nilai-nilai, tanda- tanda, dan patung-patung dari masa
lampau dan memulai yang baru dengan negara yang bersih. Semua peraturan dan
deregulasi disusun berdasarlan Al Quran, dengan memasukkan karakteristik dasar Islam,
seperti persaudaraan, persamaan, kebebasan, dan keadilan. Kedua, negara baru dibentuk
tanpa mengguankan sumber keuangan ataupun moneter karena negara yang baru terbentuk
ini sama sekali tidak diwarisi harta, dana, maupun persediaan dari masa lampaunya.
Sementara sumber keuangan pun belum ada.
 Sumber Utama Keuangan Negara
Pada masa-masa awal pemerintahan kota Madinah, pendapatan dan pengeluaran
hampir tidak ada. Rasulullah SAW. sendiri sebagai seorang kepala negara, pemimpin di
bidang hukum, pemimpin dan penanggung jawab dari keseluruhan administrasi tidak
mendapat gaji sedikit pun dari negara atau masyarakat, kecuali hadiah kecil yang
umumnya berupa bahan makanan.
Pada masa Rasulullah hampir seluruh pekerjaan yang dikerjakan tidak mendapatkan
upah. Pada masa Rasulullah SAW. tidak ada tentara formal. Semua Muslim yang mampu
boleh menjadi tentara. Mereka tidak mendapatkan gaji tetap, tetapi mereka diperbolehkan
mendapatkan bagian dari rampasan perang, seperti senjata, kuda, unta, dan barang- barang
bergerak lainnya.
Situasi berubah setelah turunnya surat Al-Anfal (rampasan perang). Waktu turunnya
surat ini adalah masa perang Bard dan pembagian rampasan perang, pada tahun kedua
setelah Hijrah. Yaitu, sebagian ayat yang artinya: “Seperlima bagian adalah untuk Allah
dan Rasul-Nya (yaitu untuk negara digunakan untuk kesejahteraan umum) dan untuk
kerabat Rasul, anak yatim, orang yang membutuhkan dan orang yang sedang dalam
perjalanan”.
Pada tahun kedua setelah Hijrah, sedekah fitrah diwajibkan. Sedekah ini diwajibkan
setiap bulan Ramadhan. Semua zakat adalah sedekah, sedangkan sedekah wajib
disebut zakat. Zakat mulai diwajibkan pembayarannya pada tahun kesembilan Hijrah.
Dengan adanya perintah wajib ini, mulai ditentukan para pegawai pengelolanya, yang
mana mereka tidak digaji secara resmi, tetapi mereka mendapat bayaran tertentu dari mana
zakat.
Sampai tahun keempat Hijrah, pendapatan dan sumber daya negara masih sangat
kecil. Kekayaan pertama diperoleh dari Banu Nadir, salah satu suku yang tinggal di
pinggiran Madinah. Kelompok ini pernah mengikuti Pakta Madinah, tetapi mereka
melanggar perjanjian, bahkan berusaha membunuh Rasulullah SAW. Nabi meminta
mereka meninggalkan kota tetapi mereka menolaknya. Nabi pun mengerahkan tentara dan
mengepung mereka. Akhirnya, mereka menyerah dan setuju meninggalkan kota dengan
membawa barang-barang sebanyak daya angkut mereka, kecuali baju baja. Semua milik
Banu Nadir yang ditinggalkan menjadi milik Rasulullah menurut ketentuan Al Quran
(59:2), karena mereka mendapatkannya tanpa berperang. Rasulullah membagian
sebagian besar tanah mereka untuk Muhajirin dan orang Anshar yang miskin. Bagian
Rasulullah digunakan untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Mukhairik, seorang rabbi
Banu Nadir, yang telah masuk Islam memberikan tujuh kebunnya yang kemudian
oleh Rasulullah dijadikan tanah sedekah. Inilah waqaf Islam pertama.
Khaibar dikuasai pada tahun ketujuh Hijrah. Penduduknya menentang dan
memerangi kaum Muslim. Setelah pertempuran selama sebulan, mereka menyerah dan
syarat dan berjanji meninggalkan tanahnya. Syarat yang diajukan diterima. Mereka
mengatakan kepada Rasulullah, “Kami memiliki pengalaman khusus dalam bertani dan
berkebun kurma”, dan meminta izin untuk tetap tinggal di sana. Rasulullah
mengabulkan permintaan mereka dan memberikan mereka setegah bagian hasil panen dari
tanah mereka.
Jizyah adalah pajak yang dibayarkan oleh orang non-Muslim khususnya ahli kitab,
untuk jaminan perlindungan jiwa, harta atau kekayaan, ibadah, bebas dari nilai-nilai dan
tidak wajib militer. Pada zaman Rasulullah, besarnya jizyah adalah satu dinar per tahun
untuk orang dewasa yang mampu membayarnya. Pembayaran tidak harus berupa uang
tunai, tetapi dapat juga berupa barang dan jasa.
Kharaj atau pajak tanah dipungut dari non-Muslim ketika Khaibar ditaklukkan.
Tanahnya diambil alih oleh orang Muslim dan pemilik lamanya menawarkan untuk
mengolah tanah tersebut sebagai pengganti sewa tanah dan bersedia memberikan sebagian
hasil produksi kepada negara. Jumlah kharaj dari tanah ini tetap, yaitu setengah dari
hasil produksi. Rasulullah biasanya mengirim orang yang memiliki pengetahuan dalam
masalah ini untuk memperkirakan jumlah hasil produksi. Setelah mengurangi sepertiga
sebagain kelebihan perkiraan, dua per tiga bagian dibagikan dan mereka bebas memilih;
menerima atau menolak pembagian tersebut. Prosedur yang sama juga diterapkan di
daerah lain. Kharaj ini menjadi sumber pendapatan yang penting
Ushr adalah bea impor yang dikenakan kepada semua pedagang, dibayar
hanya sekali dalam setahun dan hanya berlaku terhadap barang yang nilainya lebih dari
200 dirham. Rasulullah berinisiatif mempercepat peningkatannya perdagangan,
walaupun menjadi beban pendapatan negara. Ia menghapuskan semua bea masuk dan
dalam banyak perjanjian dengan berbagai suku menjelaskan hal tersebut. Barang-barang
milik utusan dibebaskan dari bea impor di wilayah Muslim, bila sebelumnya telah terjadi
tukar-menukar barang.
Zakat dan ushr merupakan pendapatan yang paling utama bagi Negara pada masa
Rasulullah. Zakat dan ushr merupakan kewajiban agama dan termasuk salah satu pilar
islam. Pengeluaran untuk keduanya telah diatur dalam Alqur‟an (At-Taubah: 60) sehingga
pengeluaran untuk zakat tidak dapat dibelanjakan untuk pengeluaran umum Negara.
Pada masa Rasulullah, zakat dikenakan pada hal-hal sebagai berikut:
1) Benda logam yang terbuat dari emas, seperti koin, perkakas, ornament, atau
dalam bentuk lainnya.
2) Benda logam yang terbuat dari perak, seperti koin, perkakas, ornament atau
dalam bentuk lainnya.
3) Binatang ternak : unta, sapi, domba, kambing.
4) Berbagai jenis barang dagangan termasuk budak dan hewan.
5) Hasil pertanian termasuk buah-buahan.
6) Luqathah, harta benda yang ditinggalkan musuh.
7) Barang temuan.
Pencatatan seluruh penerimaan Negara pada masa Rasulullah tidak ada. Dalam
kebanyakan kasus pencatatan diserahkan pada pengumpul zakat, setiap orang pada
umumnya terlatih untuk dalam masalah pengumpulan zakat.
 Sumber Sekunder Keuangan Negara
Disamping sumber-sumber pendapatan primer yang digunakan sebagai penerimaan
fiscal pemerintahan pada masa Rasulullah Saw. Ada sumber pendapatan sekunder.
Diantaranya adalah sebagai berikut :
1) Uang tebusan untuk para tawanan perang. Pada perang Hunain, enam ribu
tawanan dibebaskan tanpa uang tebusan.
2) Pinjaman-pinjaman (setelah penaklukan kota Mekkah) untuk pembayaran uang
pembebasan kaum muslimin dari Judahaima atau sebelum pertempuran Hawazin 30.000
dirham (20.000 dirham menurut Bukhari) dari Abdullah bin Rabiah dan meminjam
beberapa pakaian dan hewan-hewan tunggangan dari Sofwan bin Umaiyah (sampai waktu
itu tidak ada perubahan).
3) Khumus atau rikaz harta karun temuan pada periode sebelum islam.
4) Amwal fadla (berasal dari harta benda kaum muslimin yang meninggal
tanpa waris, atau berasal dari barang-barang seorang muslim yang meninggalkan
negerinya.
5) Wakaf, harta benda yang didediakasikan kepada umat islam yang disebabkan
karena Allah dan pendapatannya akan didepositokan di baitul maal.
6) Nawaib, yaitu pajak yang jumlahnya cukup besar yang dibebankan pada kaum
muslimin yang kaya dalam rangka menutupi pengeluaran Negara selama masa darurat
dan ini pernah terjadi pada masa perang Tabuk.
7) Zakat fitrah
8) Bentuk lain sedekah, seperti qurban dan kafarat.
 Lembaga Keuangan Negara : Baitul Maal
Lima belas abad yang lampau tidak ada konsep yang jelas mengenai cara mengurus
keuangan dan kekayaan Negara di belahan dunia mana pun. Pemerintah suatu Negara
adalah badan yang dipercaya untuk menjadi pengurus tunggal kekayaan Negara dan
keuangan. Rasulullah adalah kepala Negara pertama yang memperkenalkan konsep baru di
bidang keuangan Negara abad ke tujuh, yaitu semua hasil pengumpulan Negara harus
dikumpulkan terlebih dahulu dan kemudian dikeluarkan sesuai dengan kebutuhan Negara.
Hasil pengumpulan itu adalah milik Negara dan bukan milik individu. Tempat
pengumpulan ini disebut Baitul Maal atau bendahara Negara.
Semasa Rasulullah masih hidup, Masjid Nabawi digunakan sebagai kantor pusat
Negara sekaligus menjadi tempat tinggalnya dan Baitul Maal. Namun, binatang-binatang
tidak bias disimpan di Baitul Maal sesuai dengan alamnya, binatang-binatang tersebut
ditempatkan di padang terbuka. Pemasukan yang sangat sedikit yang diterima Negara
disimpan di masjid dalam jangka waktu yang pendek, kemudian didistribusikan
kepada masyarkat tanpa ada sisa. Dalam buku-buku budaya dan sejarah terdapat empat
puluh nama sahabat yang jika digunakan istilah modern disebut pegawai secretariat
Rasulullah, namun tidak disebutkan adanya seorang bendahara Negara. Hal in hanya
dimungkinkan terjadi didalam lingkungan yang memiliki pengawasan yang ketat. Pada
perkembangan selanjutnya institusi ini memainkan peranaktif dalam bidang keuangan dan
administrasi
pada awal periode islam terutama pada masa kepemimpinan
Khulafaurrasyidin.
Keuangan Publik pada Masa Khulafaurrasyidin
a) Masa Khalifah Abu Bakar Siddiq
Abu Bakar Siddiq terpilih sebagai khalifah dalam kondisi miskin, sebagai pedagang
dengan hasil yang tidak mencukupi kebutuhan keluarga. Sejak menjadi khalifah,
kebutuhan keluarga Abu Bakar diurus oleh kekayaan dari Baitul Maal ini. Menurut
beberapa keterangan, beliau diperbolehkan mengambil dua setengah atau dua tiga
perempat dirham setiap harinya dai Baitul Maal dengan tambahan makanan berupa daging
domba dan pakaian biasa. Setelah berjalan beberapa waktu, ternyata tunjangan tersebut
kurang mencukupi sehingga ditetapkan 2.000 atau 2.500 dirham dan menurut keterangan
lain 6.000 dirham per tahun.
Selama sekitar 27 bulan di masa kepemimpinannya, Abu Bakar Siddiq menolak
membayar zakat kepada Negara. Abu Bakar Siddiq sangat memerhatikan keakuratan
perhitungan zakat. Zakat selalu didistribusikan setiap periode dengan tanpa sisa. Sistem
pendistribusian ini tetap dilanjutkan, bahkan hingga beliau wafat hanya satu dirham yang
tersisa dalam perbendaharaan keuangan. Sumber pendanaan Negara yang semakin
menipis, menjelang mendekati wafatnya menyebabkan kekayaan pribadinya dipergunakan
untuk pembiayaan Negara.
b) Masa Khalifah Umar bin Khattab Al-Faruqi
Ada beberapa hal penting yang perlu dicatat berkaitan dengan masalah kebijakan
keuangan Negara pada masa khalifah Umar, diantaranya adalah masalah : (1) Baitul Maal;
(2) Kepemilikan tanah; (3) Zakat dan Ushr; (4) Sedekah untuk non-muslim; (5) Mata
uang; (6) Klasifikasi pendapatan Negara; dan (7) Pengeluaran. Dengan penjelasan singkat
sebagai berikut :
1. Baitul Maal
Pada tahun 16 H, Umar mengumpulkan dana kharaj senilai 500.000 dirham, hasil
dari Abu Huraira, Amil Bahrain, untuk disimpan sebagai cadangan darurat, membiayai
angkatan perang, dan kebutuhan lain untuk umat. Untuk menyimpan dana tersebut, maka
Baitil Maal regular dan permanen didirikan untuk pertama kalinya di ibukota, kemudiaan
dibangun cabang-cabangnya di ibukota provinsi. Setelah menaklukkan Syiria, Sawad dan
Mesir, penghasilan Baitul Maal meningkat, kharaj dari Sawad mencapai seratus juta dinar
dan dari Mesir dua juta dinar.
Property Baitul Maal dianggap sebagai “harta kaum muslim” sedangkan khalifah
dan amil-amilnya hanyalah pemegang kepercayaan. Jadi merupakan tanggung jawab
Negara untuk menyediakan tunjangan yang berkesinambungan untuk janda, anak yatim,
anak terlantar, membiayai penguburan orang miskin, membayar utang orang-orang
bangkrut, membayar uang diyat untuk kasus-kasus tertentu dan untuk memberikan
pinjaman tanpa bunga untuk urusan komersial. Bahkan Umar pernah meminjam sejumlah
uang untuk keperluan pribadinya.
Bersamaan dengan reorganisasi Batul Maal, Umar mendirikan lembaga keuangan
Negara pertama yang disebut Al-Diwan. Sebenarnya itu adalah sebuah kantor yang
ditujukan untuk mengurusi pembayaran tunjangan-tunjangan angkatan perang dan
pension serta tunjangan-tunjangan lainnya dalam basis yang regular dan tepat.
2. Kepemilikan Tanah
Sepanjang pemerintahan Umar, banyak daerah yang ditaklukkan melalui perjanjian
damai. Disinilah mulai timbul permasalahan bagaimana pembagiannya, diantaranya
sahabat ada yang menuntut agar kekayaan tersebut didistribusikan kepada para pejuang,
sementara yang lainnya menolak. Oleh karena itu, dicarilah suatu rencana yang cocok baik
untuk mereka yang dating pertama maupun yang datang terakhir.
Setelah melakukan proses syuro, Umar memutuskan untuk memperlakukan tanah-
tanah tersebut sebagai fay, dan prinsip yang sama diadopsi untuk kasus-kasus yang akan
datang. Ali bin Abi Thalib tidak hadir dalam peremuan tersebut karena ia sedang
menggantikan tampuk pemerintahan Khalifah di Madinah. Dilaporkan bahwa ia
menganut pandangan yang seluruhnya berlawanan. Ia memihak pendistrubusian seluruh
penghasilan tanpa menyisakan apapun sebagai cadangan.
Daerah penumpukan kharaj mencakup bagian yang cukup besar dari kerajaan Roma
dan Sassanid, karena itu system yang terelaborasi dibutuhkan untuk penilaian,
pengumpulan dan pendistribusian penghasilan yang diperoleh dari tanah-tanah
tersebut. Berdasarkan itu, Umar mengirimkan Ibn Hunaif Al-Anshari, untuk membuat
survey, luas tanah di daerah tersebut 36 juta jarib. Setiap jarib dinilai angka dan jumlahnya
kemudian dikirimkan proposalnya ke Khalifah untuk persetujuan. Umar menerapkan
beberapa peraturan mengenai kepemilikan sebagai berikut.
a) Wilayah Iraq yang ditaklukkan dengan kekuatan, menjadi milik muslim dan
kepemilikan ini tidak dapat diganggu gugat, sedangkan bagian yang berada dibawah
perjanjian damai tetap dimiliki oleh pemilik sebelumnya dan kepemilikan tersebut dapat
dialihkan.
b) Kharaj dibebankan pada semua tanah yang berada dibawah kategori pertama,
meskipun pemilik tersebut kemudian memeluk islam. Dengan demikian, tanah seperti itu
tidak dapat dikonversikan menjadi tanah ushr.
c) Bekas pemilik tanah diberi hak kepemilikan, sepanjang mereka membayar kharaj
dan jizyah.
d) Sisa tanah yang tidak ditempati atau ditanami (tanah mati) atau tanah yang di
klaim kembali (seperti Basra) bila ditanami oleh kaum Muslim diperlakukan sebagai tanah
ushr.
e) Di Sawad, kharaj dibebankan sebesar satu dirham dan satu rafiz (satu ukuran
local) gandum dan barley (jenis gandum), dengan anggapan tanah tersebut dapat dialui
air. Harga yang lebih tinggi dikenakan kepada ratbah (rempaha atau cengkeh) dan
perkebunan.
f) Di Mesir, menurut sebuah perjanjian Amar, dibebankan dua dinar, bahkan
hingga tiga irdab gandum, dua qist untuk setiap minyak, cuka dan madu, rancangan ini
telah disetujui Khalifah.
g) Perjanjian Damaskus (Syiria) menetapkan pembayaran tunai, pembagian tanah
dengan kaum Muslim. Beban per kepala sebesar satu dinar dan beban jarib (unit berat)
yang diproduksi jarib (ukuran) tanah.
3. Zakat dan Ushr
Zakat yang ditetapkan adalah seperduapuluh untuk madu yang pertama dan
seperduapuluh untuk madu jenis kedua.
4. Pembayaran Sedekah oleh Non-Muslim
Tidak ada ahli kitab yang membayar sedekah atas ternaknya kecuali orang Kristen
Banu Taghlib yang keseluruhan kekayaannya terdiri dari ternak. Mereka membayar dua
kali lipat dari yang dibayar kaum Muslim. Banu Taghlib adalah suku Arab Kristen yang
menderita akibat peperangan. Umar mengenakan jizyah kepada mereka, tetapi mereka
terlalu gengsi sehingga menilak membayar jizyah dan malah membayar sedekah. Namun,
ibn Zuhra memberikan alasan untuk kasus mereka. Ia mengatakan bahwa pada dasarnya
tidaklah bijaksana memperlakukan mereka seperti musuh dan seharusnya keberanian
mereka menjadi aset Negara. Umar pun memanggil mereka dan menggandakan
sedekah yang harus mereka bayar, dengan syarat mereka setuju untuk tidak membaptis
seorang anak atau memaksakannya untuk menerima kepercayaan mereka.
5. Mata uang
Pada masa Nabi dan sepanjang masa Khulafaurrasyidin mata uang asing dengan
berbagai bobot sudah dikenal di Arabia, seperti dinar, sebuah koin emas dan dirham
sebuah koin perak. Bobot dinar adalah sama dengan satu mistqal atau sama dengan dua
puluh qirat atau seratus grain barley.
6. Klasifikasi Pendapatan Negara
Pada periode awal islam, para khalifah mendistribusikan semua pendapatan yang
diterima. Kebijakan tersebut berubah pada masa Umar. Pendapatan yang diterima di Baitul
Maal terbagi dalam empat jenis, yaitu :
a. Zakat dan Ushr : Dana ini dipungut secara wajib diperoleh dari kaum Muslimin
dan didistribusikan kepada delapan asnaf dalam tingkat lokal. Kelebihan disimpan
di Baitul Maal pusat, dan akan dibagikan kembali.
b. Khums dan Sedekah : Dana ini dibagikan kepada kepada orang yang sangat
membutuhkan dan fakir miskin atau untuk membiayai kegiatan mereka dalam
kesejahteraan tanpa diskriminasi.
c. Kharaj, Fay, Jizyah, Ushr dan sewa tetap tahunan tanah : Dana ini diperoleh dari
pihak luar (Non-Muslim/Non-warga) dan didistribusikan untuk membayar dana pension
dan dana bantuan, serta menutupi pengeluaran operasional administrasi, kebutuhan militer
dan sebagainya.
d. Berbagai macam pendapatan yang diterima dari semua macam sumber. Dana ini
dikeluarkan untuk para pekerja, pemeliharaan anak-anak terlantar, dan dana sosial lainnya.
7. Pengeluaran
Bagian pengeluaran yang paling penting dari endapatan keseluruhan adalah dana
pensiun kemudian diikuti oleh dana pertahanan Negara dan dana pembangunan. Secara
garis besar pengeluaran Negara pada masa kehilafahan Umar dikeluarkan untuk kebutuhan
yang mendapat prioritas pertama, yaitu pengeluaran dana pensiun bagi mereka yang
bergabung dalam kemiliteran, baik Muslim maupun non-Muslim. Dana tersebut juga
termasuk pensiunan bagi pegawai sipil.
c) Masa Kekhalifahan Usman
Usman bin Affan adalah khalifah ketiga. Khalifah Usman tidak mengambil upah dari
kantornya. Sebaliknya, dia meringankan beban pemerintah dalam hal yang serius. Dia
bahkan menyimpan uangnya di bendahara Negara. Hal ini menimbulkan kesalahpahaman
antara Khalifah dan Abdullah bin Arqam, salah seorang sahabat Nabi yang terkemuka,
yang berwenang melaksanakan kegiatan Baitul Maal Pusat. Beliau juga berusaha
meningkatkan pengeluaran pertahanan dan kelautan, meningkatkan dana pensiun dan
pembangunan di wilayah taklukan baru, Khalifah membuat beberapa perubahan
administrasi dan meningkatkan kharaj dan jizyah dari Mesir.
d) Masa Kekhalifahan Ali bin Abi Thalib
Setelah meninggalnya Usman, Ali terpilih sebagai khalifah dengan suara bulat. Ali
menjadi khalifah selama lima tahun. Dalam hal penerimaan Negara, Ali masih
membebankan pungutan khums atas ikan atau hasil hutan. Menurut Baladhuri, Ali
membebankan para pemilik hutan (Ajmat) 4.000 dirham. Di hutan ini, terdapat ngarai
yang dalam, yang menurut beberapa orang tanahnya dibuat untuk batu- batu istana dan
menurut yang lainnya itu adalah tanah longsor.
Berbeda dengan khalifah Umar, Khalifah Ali mendistribusikan seluruh
pendapatan di Baitul Maal ke provinsi yang ada di Baitul Maal Madinah, Busra dan Kzufa.
System distribusi setiap pecan sekali untuk pertama kalinya diadopsi. Hari kamis adalah
hari pendistribusian atau hari pembayaran pada hari itu semua penghitungan diselesaikan
dan pada hari Sabtu dimulai perhitungan baru.
Karakteristik Keuangan Publik
1. Pandangan Ahli Fiqh terhadap Zakat dan Pajak
Zakat merupakan kewajiban yang dibebankan kepada setiap orang Islam setelah
memenuhi kriteria tertentu. Dalam Al-Quran terdapat 32 kata zakat, dan 82 kali diulang
dengan menggunakan istilah yang merupakan sinonim dari kata zakat, yaitu kata sedekah
dan infaq.
Dilihat dari segi kebahasaan, teks-teks Alquran yang mengungkapkan perihal
zakat, sebagian besar dalam bentuk amr (perintah) dengan menggunakan atu, (tunaikan),
yang berarti berketetapan, segera, sempurna sampai akhir, kemudahan, mengantar, dan
seorang yang agung. Kata tersebut bermakna al- I‟tha‟, suatu perintah untuk menunaikan
atau membayarkan.
Alquran menampilkan kata zakat dalam empat gaya bahasa (uslub), yaitu :
a) Menggunakan uslub insyai, yaitu berupa perintah terlihat dalam QS Al- Baqarah [2]:
42, 83, 110; Al-Hajj [22]: 78; Al-Ahzab [33]:33, Al-Nur [241:56; Al-Muzammil
[73]: 20, dengan menggunakan kata atu atau anfiqu. Dalam ayat lain digunakan pula
kata kerja dengan menggunakan kata khuz, yaitu perintah untuk mengambil dan
memungut zakat (shadaqah), seperti terdapat dalam QS At-Taubah [9]: 103. Sasaran
perintah ini adalah para penguasa (amil zakat) untuk memungut dan mengelola zakat
dari para wajib zakat.
b) Menggunakan uslub targhib (motivatif), yaitu suatu dorongan untuk tetap mendirikan
shalat dan membayarkan zakat yang merupakan cirri orang yang keimanan dan
ketaqwaannya dianggap benar, kepada mereka dijanjikan akan memperoleh ganjaran
berlipat ganda dari Tuhan. Salah satu bentuk traghib ini dapat ditemukan pada QS. Al
Baqarah : 277
c) Menggunakan uslub tarhib (intimidatif/peringatan) yang ditujukan kepada orang-orang
yang menumpuk harta kekayaan dan tidak mau mengeluarkan zakatnya. Orang-orang
semacam ini diancam dengan azab yang pedih sebagaimana disebutkan dalam QS At-
Taubah : 34
d) Menggunakan uslub madh (pujian/sanjungan), yaitu pujian Tuhan terhadap
orang-orang yang menunaikan zakat. Mereka disanjung sebagai penolong (wall) yang
disifati dengan sifat ketuhanan, kerasulan, dan orang-orang yang beriman karena
kesanggupan mereka memberikan yang mereka senangi berupa zakat kepada orang
lain yang tertuang dalam Al-Maidah [5]: 55
Dalam perjalanan sejarah, penerimaan Negara islam bukan hanya bersumber dair
zakat, namun banyak sumber lain baik sebagai sumber utama ataupaun sekunder.
Pajak, yang dewasa ini menjadi sumber penerimaan utama di hampir setiap Negara, juga
mendapat perhatian oleh para ahli fiqh dewasa ini. Namun pandangan ahli fiqh klasik
masalah pajak belum banyak yang membahas. Para ahli fiqh ini lebih banyak membahas
tentang fa‟I, ghanimah, jizyah dan kharaj. Pembahasan mereka berkisar tentang
definisi, pembagian, dan penggunaannya.
Pungutan yang diwajibkan oleh pemerintah selain zakat dan kharaj di dalam sejarah
Islam disebut dharibah. Dharibah yang dikenal dengan istilah pajak adalah harta yang
diwajibkan dibayar oleh kaum Muslim untuk membiayai berbagai kebutuhan dan pos-pos
pengeluaran yang memang diwajibkan atas mereka, pada kondisi di Baitul Maal tidak ada
uang/harta. Selain sumber-sumber pendapatan yang telah difardhukan oleh Allah, yang
telah dinyatakan oleh syariah semisal jizyah dan kharaj, terdapat pula sumber-sumber
pendapatan yang telah difardhukan oleh Allah kepada kaum Muslimin untuk dibelanjakan
pada kebutuhan yang difardhukan kepada mereka secara keseluruhan, semisal jalan-jalan
dan sekolah-sekolah. Sedangkan bea cukai tidak termasuk dalam kategori pajak yang
boleh diambil. Namun ia hanyalah praktik muamalah Negara dengan muamalah sepadan
yang kita lakukan, bukan pajak, yang berfungsi untuk mencukupi kekurangan baitul
maal. Dimana syara‟ telah menyebut praktik tersebut dengan sebutan cukai (mukus)
dan melarang mengambilnya dari kaum Muslimin serta kafir dzimmi.
Sabda Rasulullah Saw: “Tidak boleh ada bahaya (dhahar) dan (saling)
membahayakan.” Allah Swt memberikan hak kepada Negara untuk mendapatkan harta
dalam rangka menutupi berbagai kebutuhan dan kemashlahatan tersebut dari kaum
Muslim. Namun, kewajiban membayar dharibah tersebut hanya dibebankan atas
mereka yang mempunyai kelebihan dalam memenuhi kebutuhan pokok dan pelengkap
dengan cara yang ma‟ruf.
Dharibah ini diutamakan diperuntukkan sebagai:
a) Pembiayaan jihad dan segala hal yang harus dipenuhi yang terkait dengan jihad
b) Pembiayaan industri militer dan industri serta pabrik-pabrik penunjangnya,
yang memungkinkan Negara memiliki industri senjata.
c) Pembiayaan para fuqara, orang miskin, dan ibnu sabil.
d) Pembiayaan untuk gaji tentara, para pegawai, para hakim, para guru dan lain-lain
yang melaksanakan pekerjaan untuk kemashlahatan umat.
e) Pembiayaan yang harus dikeluarkan untuk kemashlahatan dan kemanfaatan umat,
yang keberadaannya sangat dibutuhkan dan jika tidak dibiayai maka bahaya akan
menimpa umat.
f) Pembiayaan untuk keadaan darurat,, seperti : bencana alam, dan mengusir musuh.
Yusuf Al-Qardawi menyimpulkan, tidak bolehnya memperhitungkan pajak
sebagai kewajiban zakat adalah karena yang demikian akan menghilangkan lembaga
zakat itu sendiri, yang berarti menghilangkan salah satu syiar Islam. Amir Syarifuddin,
setelah memerhatikan kelemahan memperhitungkan pajak sebagai zakat,
mengemukakan alternatif pemecahannya, yaitu:
1. Dari segi kadar, seseorang yang dikenal kewajiban zakat dalam harta tertentu, harus
mengeluarkan zakat menurut kadar tersebut. Seandainya yang demikian dianggap kurang
menurut perhitungan pajak, maka dia harus memenuhi kekurangannya atas nama pajak.
Seandainya zakat berlebih dari perhitungan pajak, maka kadar zakatlah yang
diperhitungkan. Terhadap harta kekayaan lain yang tidak terkena kewajiban zakat, tetapi
terkena kewajiban pajak, harus dibayar atas nama pajak.
2. Dari segi niat zakat. Pada saat menyerahkan kewajiban dalam bentuk zakat dia harus
meniatkan zakatnya. Untuk maksud ini akan lebih utama bila petugas yang memungutnya
adalah dari amil zakat, atau petugas Negara yang menerimanya atas nama zakat dengan
tanda terima zakat. Adapun kewajibannya atas nama pajak diserahkan sebagai pajak dalam
kualitas apapun. Niat ganda dalam hal ini perlu dihindarkan untuk meyakinkan sahnya niat
zakat.
3. Dari segi penggunaan. Bila seseorang telah mengeluarkan zakatnya kepada petugas
yang ditentukan atas nama zakat, maka kewajibannya telah terpenuhi. Tinggal lagi pihak
yang menerima penyerahan amanat tersebut untuk menyampaikannya kepada sasaran yang
telah ditentukan sesuai dengan tujuan penggunaan zakat. Begitu pula dengan penyerahan
kewajibannya kepada petugas atas nama pajak, maka selesailah kewajibannya.
Mungkinkan Zakat dan Pajak Dapat Diintegrasikan
Dalam catatan Qardhawi, beberapa ulama mendukung pengintegrasian zakat pajak,
tetapi baru pada sebatas niat saja. Imamam Nawawi dari mahzab Syafi‟I, Imamm Ahmad,
dan Ibn Taimiyah berpendapat bahawa membayar pajak dengan niatan zakat dibolehkan,
dan karenanya kaum Muslim cukup membayar pajak. Pembahasan tentang pajak dan zakat
lainnya dilakukan oleh Muhammad (2000) yang membagi secara sistematis bait mal terdiri
dari penerimaan fay‟, jizyah, kharaj, khumus, rikaz, anfal, ghanimah, pendapatan dari
milik umum, pendapatan dari milik Negara, usyur, zakat sebagai pendapatan yang bersifat
utama, dan dhaibah sebagai pendapatan temporal.
Dari sisi pengeluran, terdapat enam pengeluaran yaitu (1) pengeluaran bagi delapan
asnaf melalui zakat (2) pengeluaran bagi delapan asnaf selain zakat (3) pengeluaran bagi
orang yang menjalankan pelayanan negara, seperti pegawai, pejabat, dan tentara (4)
pembangunan sarana umum (5) kelayakan dan kesempurnaan anggaran dan (6)
pengeluaran untuk bencana alam.
Kajian terhadap pajak dan zakat lainnya dilakukan oleh Monzet Kahf (1999) dalam
artikelnya “the principle of socio economic justice in the contemporary fiqh of zakah”
yang menjelaskan tentang fenomena persoalan zakat dan pajak di negara – negara Timur
Tengah. Adapun Faruq al- Nabbahan mengemukaakan bahwa apabila pemerintah menarik
zakat, maka telah membangun pilar penting penyejahteraan rakyat dan keadilan social.
Namun demikian, pemikiran tentang pengelolaan zakat oleh pemerintah juga banyak
ditentang. Dawan Raharjo (1993), dengan membandingkan antara pajak dan zakat
menunjukkan bahwa signifikansi keduanya berbeda, dimana pengelolaan zakat oleh
pemerintah dikhawatirkan akan hilanya substansi zakat sebagai perintah Allah Swt.
Tetapi Dawan tidak memberikan penjelasan yang kritis tentang perbandingan yang
dilakukannya dengan pendekatan sejarah politik ekonomi.
Selain itu, S.A Siddiqi (1982) juga membahasa berbagai persoalan seputar dikotomi
zakat dan pajak negara – negara Muslim dalam bukunya Public Finance in Islam. Dalam
bukunya tersebut Siddiqi membahas tentang sumber – sumber pendapatan dan
pengeluaran negara. Siddiqi tidak bermaksud melakukan studi perbandingan antara
zakat dan pajak, tetapi mendeskripsikan sumber – sumber zakat dan pajak serta
distribusinya dalam pengeluaran negara.
Di masa modern sekarang wacana tersebut terus bergulir. Sebut saja Yusuf Qardawi
(1997:999-1115), seorang cendekiawan Muslim asal Mesir yang mengurai secara panjang
lebar tentang perbandingan zakat dan pajak. Dalam karya monumentalnya yang banyak
menjadi rujukan di Indonesia, Fiqh Zakat, Yusuf Qardhawi membandingkan zakat dan
pajak sebagai sesuatu yang berbeda dan tidak dapat distukan bahkan Qardhawi
membolehkan adanya pajak di samping kewajiban zakat.
2. Prinsip Penerimaan Publik

Dari berbagai bentuk instrument penerimaan public diatas, dapat dianalisisi


secara ekonomi prinsip dasar pemungutan dana public pada awal Islam tersebut

Tabel 13.1

Prinsip Pokok Sumber Keuangan Publik Islam Klasik


Sumber Karakteristik Utama
Penerimaan
Merupakan kewajiban langsung dari Allah (Alquran)
Pembayar zakat adalah:
o Khusus individu Muslim
o Mampu secara material, melebihi satu nishab
Tingginya tariff dipengaruhi oleh:
o Kemampuan material membayar jizya
o Bias membayar individual atau kolektif
Dipungut permanen, kecuali jika dzimmi berpindah ke agama
Islam, maka terkenan kewajiban sebagai Muslim

Ghanimah Merupakan harta yang diperoleh secara paksa melalui perang


Ditujukan terutama untuk pembiayaan perang dan
kesejahteraan tentara (80%)
Sebagian, 20%, dialokasikan untuk sabilillah, sebagaimana
terif zakat yang dikenakan atas harta temuan (rikaz)

Fai‟ Merupakan harta yang diperoleh dari non – Muslim secara


damai atau non – perang
Prinsipnya adalah pemanfaatan harta yang menganggur
Dimiliki oleh pemilk asala jika ia masih hidup atau masuk ke
dalam Islam, dan menjadi milik negara jika pemilik asala
meninggal atau tetap non – Muslim
Beberapa pendapatan bias dikategorikan sebagai fai‟, seperti
jizyah, upeti, bea cukai, denda, kharaj, amwal fadhila, dsb.

Amwal Merupakan harta yang diperoleh karena tidak ada yang


fadhila memiliki baik karena ditingalkan pemiliknya ataupun tanpa
ahli waris

Nawaib Merupakan harta yang secara sukarela diserahkan


kepemilikannya oleh seorang muslim untuk digunakan
kemashlahatan umat islam
Dikhususkan pada harta yang memiliki manfaat jangka
panjang
Tidak ada ketentuan mengenai besarannya, tergantung
kemauan waqif
Wakaf Merupakan harta yang secara sukarela diserahkan
kepemilikannya oleh seorang Muslim untuk digunakan
kemashlahatan umat Islam
Dikhususkan pada harta yang memiliki manfaat jangka
panjang
Tidak ada ketentuan mengenai besarannya, tergantung

kemauan waqif
Sedekah Merupakan harta yang secara sukarela diserahkan
kepemilikannya oleh seorang muslim untuk digunakan
kemashlahatan umat Islam
Tidak ada ketentuan mengenai besarannya, tergantung
kemauan pemberi sedekah

Dari uraian pada tabel 13.1 dapat ditarik suatu kesimpulan mengenai prinsip –prinsip yang
diterapkan dalam penerimaan publik Islam yaitu:

a.
kemauan waqif
Sedekah Merupakan harta yang secara sukarela diserahkan
kepemilikannya oleh seorang muslim untuk digunakan
kemashlahatan umat Islam
Tidak ada ketentuan mengenai besarannya, tergantung
kemauan pemberi sedekah

System pungutan wajib (dharibah) harus menjamin bahwa hanya golongan kaya
dan mempunyai kelebihanlah yang memikul beban utama dharibah

b. Berbagai pungutam dharibah tidak dipungut atas dasar besarnya input/ sumberdaya
yang digunakan, melainkan atas hasil usaha ataupun tabungan yang terkumpul

c. Islam tidak mengarahkan pemerintah mengambil sebagian harta milik masyarakat


secara paksa, meskipun kepada orang kaya. Sesulit apa pun kehidupan Rasulullah Saw di
Madinah beliau tidak pernah menentukan kebijakan pungutan pajak
d. Islam memperlakukan kaum Muslimin dan non - Muslimin secara adil. Pungutan
dikenakan proporsional terhadap manfaat yang diterima pembayar.

e. Islam telah menentukan sektor – sektor penerimaan negara menjadi empat jenis:

1. Zakat, yaitu pungutan wajib atas Muslim yang ketentuaannya sudah diatur
oleh Allah. Pemerintah tidak memiliki hak untuk mengubah hal itu semua, tetapi dapat
mengadakan perubahan dalam struktur harta yang wajib dizakati dengan berpegang pada
nash – nash umum yang ada dan pemahaman terhadap realita modern

2. Asset dan kekayaan non keuangan, yang diperoleh dari ghanimah, fai‟,
ataupun amwal fadhila. Aset ini memungkinkan negara untuk memilki perusahaan dan
menciptakan penerimaan sendiri dengan mengelola sumberdaya yang dikuasakan kepada
pemerintah

3. Dharibah, yaitu pungutan wajib yang nilainya ditentukan oleh pemerintah.


Dharibah meliputi jizyah kharaj, ushr, nawaib, dan sebagainya.

4. Penerimaan publik sukarela, yaitu yang objek dan besarannya diserahkan


kepada pembayar. Jenis penerimaan ini meliputi infaq, sedekah, waqf, hadiah, utang, dan
sebagainya. Penerimaan jenis ini dimanfaatkan untuk melengkapi atas kekurangan zakat
dan pungutan yang dilakukan oleh pemerintah.

Dalam hal pengenaan pungutan wajib, dharibah terdapat beberapa ketentuan yang
perlu diperhatikan, yaitu:

a. Dharibah bias dikenakan untuk berbagai tujuan, yaitu:

1) Untuk menghindari pengangguran sumberdaya

2) Mewujudkan perdagangan yang fair, adil, dan efisien b. Dharibah dikenakan


berdasarkan asas:

1) Kebutuhan keuangan negara tidak bersifat permanen

2) Keadilan dalam makna:

Pembayar dharibah mendapatkan manfaat dari jasa yang diberikan pemerintah.


Proporsional, sesuai dengan kemampuan material individu c. Besarnya tariff dharibah
mempertimbangkan beberapa aspek:

1) Volume dan nilai produksi, bukan nilai input atau modal yang digunakan
2) Peran SDM dalam pengelolaan sumberdaya. Semakin tinggi peran SDM,
semakin rendah tariff dharibah yang dikenakan

3) Berprinsip „tidak menghambat perkembangan usaha‟

4) Berprinsipkah „kemampuan bayar‟

3. Prinsip Pengeluaran Publik

Berdasarkan analisis ekonomi terhadap sejarah pengeluaran publik Islam


semasa Rasulullah Saw dan Khulaffaurrasyidin serta kaidah fiqh muamalah, pada
hakikatnya prinsip utama dalam pengalokasiaan dana publik adalah peningkatan mashlahat
tertinggi. Khalifah Umar telah berani melakukan distribusi/alokasi pendapatan yang
diperoleh, dimana alokasi dana disesuaikan dengan jenis yang masuk. Secara umum,
belanja negara dapat dikategorikan menjadi empat:

a. Pemberdayaan fakir miskin dan muallaf. Dana ini pada umumnya diambil dari
zakat dan ushr.

b. Biaya rutin pemerintahan. Dana ini pada umumnya diambilkan dari kharaj, fai,
jizya, dan ushr.

c. Biaya pembangunan dan kesejahteraan social. Dana ini pada umumnya


diambilkan dari dana lainnya, khums, dan sedekah.

d. Biaya lainnya, seperti biaya emergency, pengurusan anak terlantar, dan


sebaginya. Dana ini pada umumnya diambilkan dari waqf, utang publik, dan sebagainya.

Dengan empat jenis alokasi keuangan publik diatas, besaran dan skala prioritas
alokasi tidaklah selalu sama di setiap negara ataupun waktu. Secara garis besar, prinsip
yang harus diterapkan dalam pengeluaran publik adalah:
a. Alokasi zakat merupakan kewenangan Allah, bukan kewenangan amil atau
pemerintah. Amil hanya berfungsi menjalankan manajeman zakat sehingga dapat
dicapai pendistribusian yang sesuai ajaran Islam.

b. Penerimaan selain zakat dialokasikan mengikuti beberapa prinsip pokok,


dianataranya (Chapra: 1995, 288-289):

1) Belanja negara harus diarahkan untuk mewujudkan semaksimal mungkin


maslahah

2) Menghindari masyaqqah kesulitan dan madharat harus didahulukan daripada


melakukan perbaikan

3) Madharat individu dapat dijadikan alas an demi menghindari madharat dalam


skala yang lebih luas

4) Pengornbanan individu dapat dilakuakan dan kepentingan individu dapat


dikorbankan demi menghindari kerugian dan pengorbanan dalam skala umum

5) Manfaat publik yang didistribusikan adalah seimbang dengan penderitaan atau


kerugian yang ditanggung

6) Jika suatu belanja merupakan syarat untuk ditegakkannya syariat

Islam, maka belanja tersebut harus diwujudkan.

4. Keseimbangan Sektor Publik dan Anggaran

Dengan mempertimbangkan aspek penerimaan dan pengeluaran sektor publik, maka


dimungkinkan terjadi adanya kelebihan penerimaan publik (surplus) ataupun defisit sektor
publik. Namun, karena alokasi zakat sudah ditentukan oleh Allah dan bukan
merupakan kewenangan amil untuk menentukan, maka dimungkinkan terjadi pada
suatu waktu terdapat sisa dana dan zakat dengan belum terpenuhinya kebutuhan yang tidak
dimungkkinkan, dibiayai dengan zakat. Misalnya biaya rutin pemerintahan dan militer
dalam sepanjang sejarah Islam tidak dibiayai dari zakat, namun dari pendapatan lain jika
memungkinkan seperti ghanimah dan jizyah. Namun disisi lain, hal yang sebaliknya tidak
mungkin terjadi, yaitu ketika terjadi surplus di peneriman publik non – zakat, maka surplus
ini bias digunakan untuk menutupi kekurangan – kekurangan di distribusi zakat.

Sumber penerimaan publik:

GR = Zakat + Dharibah + Aset + Sedekah

Alokasi sektor publik meliputi:

GE = Miskin + Rutin + pembangunan + Emergency

Meskipun Rasulullah Saw, tidak melakukan estimasi tahanan mengenai berapa besar
belanja yang dibutuhkan dan sumber – sumber penerimaannya, namun beliau telah
melakukan penyeimbangan antar tujuan dalam instrument publik pemerintah, dalam arti
penerimaan dan pengeluaran pemerintah. Konsep anggaran yang merupakan suatu
rancangan kegiatan dan pendekatan terhadap pengeluaran pemerintah pada setiap segmen
adalah merupakan hal yang relative baru dalam sejarah Islam. Dengan demikian,
tidaklah diperolah informasi normative mengenai bagaimana proses penyusunan anggaran
maupun besarnya dalam perspektif Islam.

C. Instrumen Pembiayaan Publik


Berbagai instrument yang bias digunakan sebagai pembiayaan negara pada
dasarnya dapat dikembangkan karena pada hakikatnya hal ini merupakan aspek muamalah,
kecuali dalam hal zakat. Artinya selama dalam proses penggalian sumberdaya tidak
terdapat pelanggaran syariah Islam, maka selama itu pula

diperkenankan menurut Islam. Oleh karena itu, terdapat beberapa instrument yang
biasa digunakan sebagai instrumen pembiayaan publik, yaitu sebagai berikut:

1. Zakat

Pengeluaran/ pembayaran zakat di dalam Islam mulai efektif dilaksanakan sejak


hijrah dan terbentuknya negara Islam di madinah. Orang – orang yang beriman dianjurkan
untuk membayar sejumlah tertentu dari hartanya, dalam bentuk zakat. Pembayaran
zakat merupakan kewajiban agama dan merupakan salah satu dari lima rukun Islam.
Kewajiban itu berlaku bagi setiap muslim yang telah dewas, merdeka, berakal sehat, dan
telah memiliki harta itu setahun penuh dalam memenuhi nisab. Zakat dikenakan atas harta
kekayaan berupa: emas, perak, barang dagangan, binatang ernak tertentu, barang tambang,
harta karun, dan hasil panen.

Kewajiban zakat secara tegas dinyatakan, dalam Alquran, yaitu:

Zakat itu hanyalah untuk orang – orang fakir, orang – orang yang mengurusnya,
orang – orang yang dibujuk hatinya, untuk memerdekakakn budak, untuk orang – orang
yang berutang, untuk jalan Allah dan orang – orang yang dalam perjalanan; merupakan
suatu ketentuan dari Allah. Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (QS At- Taubah:
60)

Zakat merupakan sumber pertaman dan terepenting dari penerimaan negara,


pada awaal pemerintahan Islam. Sumber penerimaan lain sebagaimanman yang akan
diuraikan pada bagiabn setelah ini. Perlu dicatat, bahwa zakat bukanlah meupakan sumber
penerimaan biasa bagi negara – negara di dunia, karena itu juga tidak dianggap sebagai
sumber pembiayaan utama. Dengan demikian, negara bertanggangung jawab dalam
penghimpunan dan menggunakannya secara layak, dan penghasilan dari zakat tidak boleh
dicampur dengan penerimaan publik lainnya.

2. Aset dan Perusahaan Negara

Di samping negara mendapatkan penerimaan berupa zakat, yang bias dibayarkan


dalam berupa zakat, yang biksa dibayarkan dalam bentuk barang ataupun uang, negara
Islam memiliki sumber pendanaan negara dalam bentuk barang, yaitu ghanimah dan fai‟.
Kedua harta ini diperoleh dari masyarakat non – Muslim, baik melalui pemaksaan perang
ataupun melalui jalan damai. Meskipun demikian, harta ghanimah bukanlah merupakan
tujuan utama peperangan. Sebagian besar harta ghanimah dipergunakan untuk
kesejahteraan tentara dan sebagian kecil untuk umat Islam. Anggota pasukan akan
mendapatkan bagian sebesar empat per lima atau delapan puluh persen. Alquran telah
mengatur hal ini secara jelas dalam QS Al- Anfal ayat 41, yaitu:

Katakanlah, sesungguhnya apa saja yang kamu peroleh sebagai rampasan perang
(ghanimah), maka sesungguhnya seperlima untuk Allah, rasul, kerabat Rasul, anak –
anak yatim, orang – orang miskin, dan ibnu sabil, jika kamu beriman kepada Allah dan
kepada apa yang kami turunkan kepada hamba Kami (Muhammad) di hari (Furqan), yaitu
hari bertemunya dua pasukan. (QS Al-Anfal [8]: 41)
Dalam konteks kehidupan modern ini, dimana peperangan fisik sudah tidak lagi
dilakukan atau para pasukan merupakan pasukan professional yang digaji, maka ghanimah
tidak dapat dijadikan sebagai sumber pendapatan. Pemerintah hanya mengambil 20% dari
ghanimah untuk pengentasan kefakiran – kemiskinan, anak yatim, dan ibnu sabil. Dari sini
bias diterik kesimpulan bahwa fai‟ diatur Rasulullah Saw sebagai harta negara dan
dikeluarkan untuk memenuhi kebutuhan pangan masyarakat umum, seperti fungsi kelima
dari penggunaan ghanimah. Alokasi dari pembagiannya berbeda – beda dari satu
pemerintah kepada yang lainnya, tergantung pada kebijaksanaan masing – masing kepada
negara dan lembaga musyawarah yang dipimpinnya.

3. Kharaj

Kharaj atau biasa disebut dengan pajak tanah. Dalam pelaksanaanya kharaj
dibedakan menjadi dua, yaitu proporsional dan tetap. Secara proporsional artinya
dikenakan sebagai bagian total dari

hasil produksi pertanian, misalnya seperempat, seperlima, dan sebagianya. Secara


tetap artinya pajak tetap atas tanah. Dengan kata lain, kharaj proporsional adalah tidak
tetap tergantung pada hasil dan harga setiap jenis hasil pertanian. Sedangkan kharaj tetap
dikenakan pada setahun sekali.

Kharaj diperkenalkan pertama kali setelah perang Khaibar, ketika Rasullulah Saw
membolehkan orang – orang Yahudi Khaibar kembali ke tanah milik mereka dengan
syarat mau membayar separuh dari hasil panennya kepada pemerintah Islam, yang disebut
kharaj.

Di dalam hukum Islam kharaj dikenakan atas seluruh tanah di daerah yang
ditaklukkan dan tidak dibagikan kepada anggota pasukan perang, olh negara dibiarkan
dimiliki oleh pemilik awal atau dialokasikan kepada petani non – Muslim dari mana saja.
Selama masa pemerintahan Islam, kaharaj menjadi sumber penerimaan utama dari
negara Islam, dana itu dikuasai oleh komunitas dan bukan kelompok – kelompok
tertentu.

4. Jizyah

Salah satu cirri khas masyarakat Muslim adalah menjaga saudaranya


Muslim dan non – Muslim dari rasa aman. Oleh karena itu, pada masa Rasulullah, orang –
orang Kristen dan Yahudi, dikecualikan dari kewajiban menjadi anggota militer Islam.
Mereka meperbolehkan konsesi bahwa negara Islam akan menjamin keamanan pribadi dan
hak milik mereka. Sebagai gantinya maka orang – orang non – Muslim diwajibkan
mengganti dengan membayar jizyah. Dijelaskan dengan firman – Nya: Perangilah
orang – ornag yang tidak beriman kepada Allah dan tidak pula kepada hari kemudian dan
mereka tidak mengharamkan apa yang telsah diharamkan apa yang telah diharamkan oleh
Allah dan Rasul – Nya dan tidak beragama yang benar agama Allah), (yaitu orang – orang)
yang diberi Al – Kitab kepada mereka sampai mereka mebayar jizyah yang patuh,
sedang mereka dalam keadaan tunduk (QS At- Taubah [9]: 29).

Meskipun jizyah merupakan hal wajib, namun dalam ajaran Islam ada ketentuan,
yaiyu bahwa jizyah dikenakan kepada seluruh non –

Muslim dewasa, laki – laki, yang mampu membayarnya. Sedang bagi perempuan ,
anak- anak, orangtua dan pendeta dikecualikan sebagai kelompok yang tidak wajib ikut
bertempur dan tidak diharapkan mapu ikut bertempur. Orang – orang miskin,
penganggur, pengemis, tidak dikenakan pajak. Jumlah jizyah yang harus dibayar, sangat
bervariasi antara 12 dan 48 dirham setahun, sesuai dengan kondisi keuangan mereka. Jika
seseorang memeluk agama Islam, kewajiban membayar jizyah itu ikut gugur.

5. Wakaf
Dalam hukum islam waqaf berarti menyerahkan suatu hak milikm yang tahan lama
zatnya kepada seseorang atau nadzir (penjaga waqaf) baik berupa perorangan maupun
lembaga, dengan ketentuan bahwa hasilnya digunakan sesuai dengan syariat Islam. Harta
yang telah diwakafkan keluar dari hak milik yang mewakafkan (wakif), an bukan pula hak
milik nadzir/ lembaga pengelola wakaf, tetapi menjadi hak milik Allah yang harus
dimanfaatkan untuk kesejahteraan masyarakat. Filsafat yang terkandung dalam amalan
wakaf menghendaki agar harta wakaf itu tidak boleh hanya dipendam tanpa hasil yang
dapat dinikmati oleh mawquf – alaih (pihak yang berhak menerima hasil wakaf). Makin
banyak hasil harta wakaf yang dapat dinikmati oleh yang berhak, makin besar pula pahala
yang akan mengalir kepada wakif.

Abad ke – 8 dan ke – 9 Hijriah dipandang sebagai zaman keemasan perkembangan


wakaf. Ketika itu wakaf meliputi berbagai asset semacam masjid, mushala, sekolah, tanah
pertanian, rumah, took, kebun, pabrik roti, bangunan kantor, gedung pertemuan, tempat
perniagaan, pasar, tempat pemandian, gudang beras, dan lain – lain (Uswatun Hasanah,

2001: 13 dari Hasan Langgulung, 1991: 173). Tempat peribadatan dan pendidikan
memang ada, namun hanya sebagian kecil dari jenis – jenis asset yang diwakafkan.
BAB III
PENUTUP

1.1. Kesimpulan

Filantropi (bahasa Yunani: philein berarti cinta, dan anthropos berarti manusia) adalah
tindakan seseorang yang mencintai sesama manusia, sehingga menyumbangkan waktu, uang,
dan tenaganya untuk menolong orang lain. Istilah ini umumnya diberikan pada orang-orang
yang memberikan banyak dana untuk amal.

Filantropi berasal dari dunia Barat yang berarti kedermawanan . Filantropi Islam dapat
diartikan sebagai pemberian karitas (charity) yang berdasarkan pada pandangan untuk
mempromosikan keadilan social dan maslahat bagi masyarakat umum .Ruang Lingkup
Filantropi Islam di Indonesia. Ruang lingkup mengandung arti luasnya subjek yang tercakup.
Ruang lingkup filantropi yang di kenal luas mencakup kegiatan Zakat, Infaq, Shadaqoh, dan
Wakaf.

1.2 Saran
Penulis menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini masih banyak terdapat
kesalahan dan kekurangan, maka dari itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari semua
pihak demi perbaikan makalah ini di masa yang akan datang.
DAFTAR PUSTAKA

 https://ekonomimikroislam.blogspot.com/2013/07/makalah-ekonomi-mikro-islam.html

 http://repositori.iain-bone.ac.id/110/1/Ilmu%20Ekonomi%20Mikro%20Islam.pdf

Anda mungkin juga menyukai