Anda di halaman 1dari 32

AL-ISLAM DAN KEMUHAMMADIYAAN IV

GERAKAN DAN PEMIKIRAN-PEMIKIRAN


PEMBAHARUAN ISLAM DI INDONESIA

Disusun Oleh kelompok 3:


TETA REGISTA CAHYANI (122018006)
APRIZA SULISTIANI (122018024)
DELZHA PETRIAN SHANI (122018055)

Dosen Pembimbing :
S.Q. Ferdinan S.Ag., M.Si

PROGRAM STUDI TEKNIK KIMIA


FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PALEMBANG
TAHUN 2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur penyusun ucapkan kepada Allah SWT, yang telah memberikan rahmat dan
karunia-Nya sehingga makalah yang berjudul “Pembaharuan Islam di Indonesia” ini
dapat diselesaikan dengan baik. Tidak lupa shalawat dan salam semoga terlimpahkan
kepada Rasulullah Muhammad SAW, keluarganya, sahabatnya, dan kepada kita selaku
umatnya.
Makalah ini kami buat untuk melengkapi tugas kelompok mata pelajaran Geografi.
Kami ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam
penyusunan makalah ini. Dan kami juga menyadari pentingnya akan sumber bacaan dan
referensi internet yang telah membantu dalam memberikan informasi yang akan
menjadi bahan makalah.
Kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan
arahan serta bimbingannya selama ini sehingga penyusunan makalah dapat dibuat
dengan sebaik-baiknya. Kami menyadari masih banyak kekurangan dalam penulisan
makalah ini sehingga kami mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun
demi penyempurnaan makalah ini.
Kami mohon maaf jika di dalam makalah ini terdapat banyak kesalahan dan
kekurangan, karena kesempurnaan hanya milik Yang Maha Kuasa yaitu Allah SWT,
dan kekurangan pasti milik kita sebagai manusia. Semoga makalah ini dapat bermanfaat
bagi kita semuanya.

Penulis Kelompok

DAFTAR ISI

ii
Contents
KATA PENGANTAR..................................................................................................................ii
DAFTAR ISI...............................................................................................................................iii
BAB I...........................................................................................................................................1
PENDAHULUAN........................................................................................................................1
A. Latar Belakang........................................................................................................................1
B. Rumusan Masalah...................................................................................................................1
BAB II..........................................................................................................................................2
PEMBAHASAN..........................................................................................................................2
A. Penyebaran Gerakan Islam di Indonesia..................................................................................2
B. Bentuk-Bentuk Gerakan Pembaharuan Islam Di Indonesia.....................................................4
1. Tokoh-tokoh Pembaharuan Islam di Indonesia........................................................................5
2. Gerakan Politik Islam...............................................................................................................8
3. Gerakan Sosial Kemasyarakatan Islam...................................................................................11
C. Sejarah perkembangan islam di sumatera selatan..................................................................13
1. Masuknya Islam di Palembang...............................................................................................13
2. Perkembangan Islam di Palembang........................................................................................16
3. Proses Islamisasi di Palembang..............................................................................................20
4. Perkembangan Pendidikan Islam di Palembang.....................................................................24
BAB III......................................................................................................................................28
PENUTUP..................................................................................................................................28
A. Kesimpulan...........................................................................................................................28
B. Saran......................................................................................................................................29
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................................29

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kemajuan umat Islam di Indonesia tidak lepas dari peran tokoh dan berbagai
organisasi keislaman yang secara aktif melakukan kegiatan amal usaha yang meliputi
bidang agama, pendidikan, kemasyarakatan, dan lain sebagainya. Munculnya tokoh
dan berbagai organisasi Islam merupakan pendorong bagi proses transformasi sosial
dan budaya yang signifikan dalam sejarah bangsa Indonesia. Kolonialisme dan
kehidupan masyarakat dalam masa tradisional feodal ditengarai sebagai faktor
pendorong yang dominan bagi lahirnya berbagai organisasi keagamaan yang pada
umumnya ingin menggunakan organisasi tersebut sebagai wadah gerakan sosial
keagamaan.
Masyarakat kolonial yang eksploitatif dan penguasa feodal yang opresif dianggap
sebagai biang keladi bagi kemiskinan dan keterbelakangan yang melilit kehidupan
masyarakat pada umumnya. Kemiskinan dan keterbelakangan menimbulkan berbagai
penyakit masyarakat seperti bid’ah, takhayul, khurafat, serta perilaku yang
bertentangan dengan agama Islam. Masalah masyarakat yang kompleks itu menjadi
setting bagi munculnya berbagai gerakan sosial keagamaan di berbagai tempat di
Indonesia. Dalam tulisan ini, diketengahkan kondisi bagi lahirnya beberapa gerakan
sosial Islam, kegiatan amal usaha yang dilakukan, serta peran kaum modernis dalam
transformasi sosial yang terjadi di negeri ini.

B. Rumusan Masalah
Bagaimana penyebaran gerakan Islam di Indonesia?
Siapa saja tokoh-tokoh pembaharuan Islam di Indonesia?
Bagaimana proses penyebaran gerakan pembaharuan Islam di Indonesia?
Bagaimana pengaruh gerakan pembaharuan Islam di Indonesia?

1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Penyebaran Gerakan Islam di Indonesia
Abad ke-20 dinilai sebagai awal terjadinya gerakan untuk menegakkan Islam demi
kemuliaan agama Islam sebagai idealita dan kejayaan umat sebagai realitas dapat
diwujudkan secara konkret dengan menggunakan organisasi sebagai alat
perjuangannya. Kesadaran baru yang muncul saat itu adalah keyakinan bahwa cita-
cita yang besar dan berat itu hanya dapat direalisasikan dengan organisasi yang
efisien dan efektif. Disadari pula gagasan baru itu hanya akan tersebar luas jika
digunakan media yaitu majalah. Gagasan perlunya pembaharuan memang telah
muncul sebelum abad ke-20, yaitu sejalan dengan pulangnya ulama yang telah
menuntut ilmu di Mekah yang bersamaan pula dengan berkembangnya gerakan
Wahabi yang menginginkan pemurnian pelaksanaan ajaran Islam.
Gerakan yang muncul mulai dari upaya perseorangan dengan membuka surau atau
madrasah, penerbitan majalah, serta pembentukan organisasi sosial, ekonomi,
keagamaan, dan bahkan kemudian bergeser ke organisasi politik. Dalam bagian ini
akan dikemukakan organisasi yang muncul di Sumatra Barat yang dipelopori oleh
perseorangan atau ulama kemudian berhasil membuat jaringan dalam memerangi
kemaksiatan dan kemungkaran. Gerakan itu semula bertujuan melawan dominasi
Cina dalam perdagangan batik, serta gerakan yang bergiat dalam masalah sosial
kemasyarakatan seperti Al-Irsyad, Persatuan Islam, serta Muhammadiyah.
Para peneliti sering mengaitkan munculnya kegiatan pendidikan Islam dengan
masuknya Islam ke suatu daerah (Junus, 1985). Junus menyatakan bahwa masuknya
Islam ke Sumatra Barat yang diperkirakan pada tahun 1250 merupakan tonggak
pendidikan Islam di Mingkabau dimulai. Syekh Burhanuddin adalah ulama terkenal
yang dipercaya sebagai pendiri surau atau madrasah di Ulakan, tempat beliau
menetap. Surau ini dipercaya sebagai surau yang pertama kali didirikan di
Minangkabau. Sebelumnya, ia belajar ilmu agama di Kotaraja, Aceh pada Syekh
Abdul Rauf bin Ali dari Singkil. Selesai belajar di Kutaraja, Burhanuddin kembali ke
Pariaman di Kampong Sintuk, tempat kelahirannya, baru kemudian beliau pindah ke
Ulakan.
Meskipun data tentang sistem pendidikan yang dilakukan oleh Syekh Burhanuddin
tidak diketahui, dikisahkan bahwa sebelum datang ke Minangkabau beliau belajar

2
agama di Aceh selama 10 tahun. Di Minangkabau terdapat banyak ulama terkenal
yang aktif mengajarkan agama bukan saja di kampung halamannya, tetapi juga ke
daerah lain. Pada tahun 1603, terdapat tiga orang dari Minangkabau yaitu Datuk ri
Bandang, Datuk Patimang, dan Datuk di Tiro pergi ke Sulawesi, untuk menyiarkan
agama Islam. Syekh Burhanuddin mempunyai murid. Salah satu muridnya yang
termasyhur adalah Tuanku Mansiang Nan Tuo di Paninjauan. Selain itu, datang pula
seorang ulama, yaitu Tuanku di Tanah Rao dari Mekah, yang membawa ilmu mantiq
dan Ma’ani, yang menurunkan ilmunya kepada Tuanku nan Kacik dalam negeri Koto
Gedang.
Pada tahun 1803, tiga orang Minang, satu orang dari Sumanik, Tanah Datar, seorang
dari Pandai Sikat, dan seorang dari Piobang, Lima Puluh Koto, pergi berhaji dan
tinggal lima tahun di Mekah. Saat itu, gerakan Wahabi sedang berkembang di
Mekah. Kaum Wahabi melarang orang merokok, makan sirih, berpakaian yang
indah-indah, dan menyuruh rajin melakukan sembahyang. Sepulang ke Minang,
mereka menyaksikan praktik kehidupan di Minang sangat berbeda dengan apa yang
dilihatnya di Mekah. Ketiga orang ini membawa semangat Islam yang diilhami oleh
gerakan Wahabi yang puritan. Sementara itu, di di Luhak Agam para tuanku
mengadakan kebulatan tekad untuk menegakkan syara’ sekaligus memberantas
kemaksiatan yang mulai semarak dikerjakan oleh kaum adat. Para ulama tersebut
adalah Tuanku nan Renceh, Tuanku Bansa, Tuanku Galung, Tuanku Lubuk Aur,
Tuanku Padang Lawas, Tuanku Padang Luar, Tuanku Kubu Ambelan, dan Tuanku
Kubu Sanang. Di samping delapan tokoh itu, pembaharu Islam di Minangkabau
adalah kaum Paderi yaitu Muhammad Syahab yang membangun benteng di Bonjol
sehingga ia dikenal dengan Imam Bonjol.
Dalam melakukan pembaharuan banyak di antara mereka menggunakan cara
kekerasan sehingga terjadi konflik antara kaum Paderi dan kaum adat, yang diakhiri
dengan perang terbuka. Karena dalam pertempuran itu kaum adat selalu mengalami
kekalahan, kemudian mereka minta bantuan kepada Kompeni. Dengan senang hati
Kompeni menyanggupi. Perang babak baru dimulai setelah Kompeni mendatangkan
bala bantuannya untuk memerangi kaum Paderi. Mulai saat itu, kaum Paderi bukan
menghadapi kaum adat, melainkan perang melawan kaum kafir Belanda.

3
B. Bentuk-Bentuk Gerakan Pembaharuan Islam Di Indonesia
Islam telah mengalami sejumlah pergerakan kebangkitan kembali yang cukup besar
dalam dua abad terakhir, dimulai dengan gerakan wahabiah yang dipimpin oleh
Ibn’Abd-al-Wahhab pada abad ke-18 di Arab. Sementara suatu dorongan moral dan
spiritual umum seperti yang ada di balik Wahabisme masih tetap berpengaruh selama
abad ke-19 di Afrika dan anak benua India, ketika itu pula pergerakan intelektual
yang kuat lahir selama pertengahan terakhir abad ke-19 (Azra, 1985, p. 20). Hal ini
pula yang membawa pengaruh besar dalam pergerakan pembaharuan dalam dunia
Islam yang ada di negara-negara muslim khususnya Indonesia yang mengalami
gerakan moderenisme dalam Islam.
Gerakan pembaharuan Islam di Indonesia menurut tidaklah dimulai pada tahun 1911
dengan berdirinya Sarekat Dagang Islam atau juga tahun 1912 dengan berdirinya
Muhammadiyah bukan juga tahun 1906 dengan terbitnya majalah Al-Iman dan ada
juga lembaga pendidikan yang didirikan tahun 1905 di jakarta dengan nama Jami’at
Khair (Noer, 1980, hal. xi). Hal ini memang benar karena tahun-tahun yang
tercantum diatas merupakan tahun resmi berdirinya organisasi, berdirinya sekolah
maupun terbitnya majalah Islam. Namun, untuk awal gerakan entah berupa ajakan
maupun anjuran dalam pembaharuan Islam telah jauh terjadi sebelum itu.
Perkembangan gerakan Islam di Indonesia berkembang dengan pesat tidak terlepas
dari keadaan situasi politik dunia yang memanas, pada awalnya gerakan
pembaharuan Islam ini timbul akibat pemikiran Jamaludin al-Afgani mengenai Pan-
Islamisme atau pembaharuan dalam Islam untuk menjadikan satu dalam kekuatan.
Perkembangan Pan-Islamisme itu sendiri mencuat ke permukaan sekitar awal abad
ke-20 akibat kemunduran dunia Islam sementara dunia barat mengalami kemajuan
yang sangat pesat.
Tentu saja perkembangan pergerakan yang terjadi di dunia Islam ini mendorong
Indonesia juga untuk ikut bagian dalam gerakan pebaharuan ini. Selain di Indonesia
pengaru dari pemikiran pembaharuan Islam ini juga sampai ke negara-negara Islam
lainnya sperti Mesir, Libya, Irak, Iran dan Pakistan.
Sementara itu, banyak tumbuh dan lahir gerakan pembaharuan dan pemurnian
Agama Islam di beberapa tempat di Indonesia, yang satu sama lain mempunyai
penonjolan perjuangan dan sifat yang berbeda-beda. Akan tetapi, secara keseluruhan
mereka mempunyai cita-cita yang sama dan tunggal yaitu “Izzul Islam wal

4
Muslimin” atau kejayaan Agama Islam dan Kaum Muslimin. Di antara gerakan-
gerakan tersebut adalah Sarekat Islam yang nantinya bertransformasi menjadi Partai
Sarekat Islam Indonesia, Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama dan Persatuan Islam
(UMY, 2012).
Ada banyak bentuk pembaharuan dalam dunia Islam yang terjadi setelah
perkembangan Islam yang mantap pula di Indonesia, hal ini di dorong oleh sudah
banyaknya golongan intelektual di kalangan rakyat Indonesia akibat diterapkannya
politik etis oleh pemerintah kolonial. Pembaharuan Islam yang ada di Indonesia
cukup menarik karena Ada yang bergerak dalam bidang politik dan ada juga yang
bergerak dalam sosial kemasyarakatan.
Gerakan-gerakan tersebut, umumnya terbagi dalam dua golongan yaitu Gerakan
Modernis dan Gerakan Reformis. Yang dimaksud dengan Gerakan Modernis ialah
gerakan yang menggunakan organisasi sebagai alat perjuangannya. Jadi semua
Gerakan Islam tersebut dapat digolongkan sebagai gerakan Modernis. Sedangkan
Gerakan Reformis, berarti di samping gerakan ini menggunakan organisasi sebagai
alat perjuangannya, juga berusaha memurnikan Islam dan membangun kembali Islam
dengan pikiran-pikiran baru, sehingga Islam dapat mengarahkan dan membimbing
umat manusia dalam kehidupan mereka (UMY, 2012).

1. Tokoh-tokoh Pembaharuan Islam di Indonesia


Empat tokoh Islam berikut ini berperan besar dalam menjaga dan memperbarui Islam
di Indonesia. Mereka mendirikan organisasi Islam sebagai sarana perubahan dalam
berbagai bidang kehidupan.
1.1. K.H. Ahmad Dahlan

5
Muhammadiyah, salah organisasi Islam terpenting di Indonesia, didirikan Ahmad
Dahlan pada 18 November 1912. Tujuannya, “menyebarkan pengajaran Kanjeng
Nabi Muhammad SAW kepada penduduk bumiputera” dan “memajukan hal agama
Islam kepada anggota-anggotanya”. Organisasi ini bergerak di bidang
kemasyarakatan, kesehatan, dan pendidikan ketimbang politik. Dari ruang gerak
terbatas di Kauman, Yogyakarta, organisasi ini kemudian meluas ke daerah lain,
termasuk luar Jawa.
Dahlan lahir di Kauman, Yogyakarta, pada 1 Agustus 1868 dengan menyandang
nama kecil Muhammad Darwis. Ayahnya, KH Abubakar, seorang khatib masjid
besar di Kesultanan Yogyakarta, sedangkan ibunya, Siti Aminah, putri seorang
penghulu. Praktis, sejak kecil, dia mendapat didikan lingkungan pesantren serta
menyerap pengetahuan agama dan bahasa Arab.
Ketika menetap di Mekah, di usia 15 tahun, dia mulai berinteraksi dan tersentuh
dengan pemikiran para pembaharu Islam. Sejak itu, dia merasa perlunya gerakan
pembaharuan Islam di kampung halamannya, yang masih berbaur dengan
sinkretisme dan formalisme. Mula-mula dengan mengubah arah kiblat yang
sebenarnya, kemudian mengajak memperbaiki jalan dan parit di Kauman. Robert W
Hefner, Indonesianis asal Amerika Serikat, menyebut Dahlan merupakan sosok
pembaharu Islam yang luar biasa di Indonesia, bahkan pengaruhnya melampaui
batas puncak pemikiran Muhammad Abduh dari Mesir. Ahmad Dahlan wafat di
Yogyakarta pada 23 Februari 1923 dan dimakamkan di Karang Kuncen,
Yogyakarta.
1.2. Ahmad Surkati

Dalam Muktamar Islam I di Cirebon pada 1922, terjadi perdebatan antara Ahmad
Surkati dari Al-Irsyad dan Semaun dari Sarekat Islam Merah. Temanya mentereng:
“Dengan apa Indonesia ini bisa merdeka. Dengan Islamis mekah atau komunisme?”

6
Perdebatan berlangsung alot. Masing-masing kukuh pada pendapatnya. Toh, ini tak
mengurangi penghargaan di antara mereka. “Saya suka sekali orang ini, karena
keyakinannya yang kokoh dan jujur bahwa hanya dengan komunismelah tanah
airnya dapat dimerdekakan,” ujar Surkari.
Ahmad Surkati dilahirkan di pulau Arqu, daerah Dunggulah, Sudan, pada 1875.
Sempat mengenyam pendidikan di Al-Azhar (Mesir) dan Mekah, Surkati kemudian
datang ke Jawa pada Maret 1911. Ini bermula dari permintaan Jami’at Khair,
organisasi yang didirikan warga keturunan Arab di Jakarta, untuk mengajar. Karena
ketidakcocokkan, dia keluar serta mendirikan madrasah Al-Irsyad Al-Islamiyah di
Jakarta pada 6 September 1914. Tanggal pendirian madrasah itu kemudian menjadi
tanggal berdirinya Perhimpunan Al-Irsyad. Tujuan organisasi ini, selain
memurnikan Islam, juga bergerak dalam bidang pendidikan dan kemasyarakatan.
Sejarawan Belanda G.F. Pijper dalam Beberapa Studi tentang Sejarah Islam di
Indonesia 1900-1950 memandang hanya Al-Irsyad yang benar-benar gerakan
pembaharuan yang punya kesamaan dengan gerakan reformis di Mesir
sebagaimana dilakukan Muhammad Abduh dan Rashid Ridha. Dengan demikian,
Surkati juga seorang pembaharu Islam di Indonesia. Sukarno bahkan menyebut
Surkati ikut mempercepat lahirnya kemerdekaan Indonesia. Ahmad Surkati wafat
pada 6 September 1943. Sejak itu, perkembangan Al-Irsyad tersendat, sekalipun
tetap eksis hingga kini.
1.3. Ahmad Hasan

Sekalipun kerap berpolemik, Bung Karno pernah berpolemik dan melakukan surat-
menyurat dengan Ahmad Hassan, sebagaimana tersurat dalam surat-surat dari
Endeh dalam buku di Bawah Bendera Revolusi. Tak heran jika Bung Karno begitu
menghargai pemikiran Islam Hassan. Nama kecilnya Hassan bin Ahmad, lahir di
Singapura pada 1887 dari keluarga campuran, Indonesia dan India. Semasa remaja

7
dia melakoni beragam pekerjaan; dari buruh hingga penulis, di Singapura maupun
Indonesia. Hassan pernah tinggal di rumah Haji Muhammad Junus, salah seorang
pendiri Persatuan Islam (Persis), di Bandung.
Ketika pabrik tekstilnya tutup, dia mengabdikan diri di bidang agama dalam
lingkungan Persis, dan segera popular di kalangan kaum muda progresif. Di
Bandung pula Hassan bertemu dengan Mohammad Natsir, kelak jadi tokoh penting
Persis, yang kemudian bersama-sama menerbitkan majalah Pembela Islam dan Al-
Lisan. Dia juga mendirikan pesantren Persis, di samping pesantren putri, untuk
membentuk kader, yang kemudian dipindahkan ke Bangil, Jawa Timur.
Persis didirikan di Bandung pada 12 September 1923 oleh aktivis keagamaan yang
dipimpin Haji Zamzam dan Haji Muhammad Yunus, keduanya pedagang. Dalam
Persatuan Islam: Pembaharuan Islam Indonesia Abad XX, Howard M. Federspiel
menulis bahwa Persis adalah organisasi biasa, kecil, tak kukuh serta tak bergigi
dalam percaturan politik saat itu. Namun, Persis berusaha keras memperbarui umat
Islam saat itu yang mengalami stagnasi pemikiran dan penuh bid’ah, takhayul, dan
khurafat.
Ahmad Hasan dikenal sebagai ulama pembaharu. Pikiran-pikirannya sangat tajam
dan kritis terutama dalam cara memahami nash (teks) Alquran maupun hadits.
Keahliannya dalam bidang hadits, tafsir, fikih, ushul fiqih, ilmu kalam, dan mantiq
menjadikannya sebagai rujukan para penanya dan pemerhati kajian Islam. Dia juga
ulama yang produktif menulis. Ahmad Hassan tutup usia pada 10 November 1958
dalam usia 71 tahun.
1.4. K.H. Hasyim Asy’ari

Lahir pada 14 Februari 1871 di Desa Nggedang-Jombang, Jawa Timur, Hasyim


Asy’ari adalah pendiri Nahdlatul Ulama, artinya kebangkitan ulama, organisasi
Islam terbesar di Indonesia. Dia mendirikannya bersama Kyai Wahab Chasbullah
pada 31 Januari 1926 guna mempertahankan paham bermazhab dan membendung
paham pembaharuan.

8
Hasyim pernah belajar pada Syaikh Mahfudz asal Termas, ulama Indonesia yang
jadi pakar ilmu hadits pertama, di Mekah. Ilmu hadits inilah yang kemudian
menjadi spesialisasi Pesantren Tebuireng, yang kelak didirikannya di Jombang
sepulangnya dari Tanah Suci. Lewat pesantren inilah K.H. Hasyim melancarkan
pembaharuan sistem pendidikan keagamaan Islam tradisional. Dia memperkenalkan
pengetahuan umum dalam kurikulum pesantren, bahkan sejak 1926 ditambah
dengan bahasa Belanda dan sejarah Indonesia. Dalam buku Tradisi Pesantren: Studi
tentang Pandangan Hidup Kyai, Zamakhsyari Dhofier manggambarkan Hasyim
Asy’ari sebagai sosok yang menjaga tradisi pesantren.
Di masa Belanda, Hasyim bersikap nonkooperatif. Dia mengeluarkan banyak fatwa
yang menolak kebijakan pemerintah kolonial. Yang paling spektakuler adalah fatwa
jihad: “Wajib hukumnya bagi umat Islam Indonesia berperang melawan Belanda.”
Fatwa ini dikeluarkan menjelang meletusnya Peristiwa 10 November di Surabaya.
Hasyim Asy’ari wafat pada 25 Juli 1947. Dalam perjalanannya, NU larut dalam
politik praktis hingga akhirnya kembali ke khitah 1926.

2. Gerakan Politik Islam


2.1. Serekat Islam
Sebelum menjadi Sarekat Islam, pada mulanya berasal organisasi dagang yang
bernama Sarekat Dagang Islam. Didirikan pada 1911 oleh seorang pengusaha batik
terkenal di Sala, yaitu Haji Samanhudi. Anggota-anggotanya terbatas pada para
pengusaha dan pedagang batik, sebagai usaha untuk membela kepentingan mereka
dari tekanan politik Belanda dan monopoli bahan-bahan batik oleh para pedagang
Cina. Kemudian akibat pelarangan terhadap Sarekat Dagang Islam oleh Residen
Surakarta, maka pada 1912 kedudukannya dipindah ke Surabaya dan namanya pun
berganti menjadi Sarekat Islam.
Sarekat Islam dipimpin oleh Haji Umar Said Cokroaminoto. Dan dibawah
kepemimpinannya Sarekat Islam berkembang mewnjadi sebagai organisasi besar
dasn berpengaruh, anggota-anggotanya semakin Banyak dan meliputi seluruh
lapisan masyarakat dan cabang-cabangnya berdiri dimana-mana. Tujuannya
diperluas, tidak saja urusan dagang dan perekonomiannya, melainkan lebih luas dan
besar yaitu: menentang politik kolonial Belandadalam segala seginya dengan
menggunakan dasar perjuangan islam. Dengan tujuan tersebut akhirnya Sarekat

9
Islam memasuki bidang politik dan menginginkan suatu pemerintahan yang bebas
dari penjajahan Belanda.
Karena Sarekat Islam diselundupi oleh orang-orang komunis yang tergabung dalam
organisasi Indische Social Democratische Vereniging (ISDV) pimpinan Sneevliet,
seorang kader komunis yg berasal dari negeri Belanda, akhirnya tak dapat
mengelakkan diri dari perpecacahan, dan menjadilah SI Putih SI Merah yang
beraliran komunis . Sarekat Islam Putih kemudian meningkatkan diri menjadi satu
organisasi politik Partai Sarekat Islam Indonesia yang diresmikan pada tahun 1929.
2.2. Partai Islam Masjumi
Partai Islam Masjumi berdiri pada tanggal 7 November 1945 sebagai hasil
keputusan Muktamar Umat Islam Indonesia I yang berlangsung di Yogyakarta
(Gedung Madrasah Mualimin Muhammadiyah) pada tanggal 7-8 November 1945.
Kongres ini dihadiri oleh hampir semua tokoh dari berbagai organisasi Islam dari
masa sebelum perang serta pada masa pendudukan Jepang, seperti Muhammadiyah,
Nahdlatul Ulama, Sarekat Islam, al-Wasliyah, Persis, al-Irsyad, serta tokoh
intelektual muslim yang pada zaman Belanda aktif dalam Jong Islamiten Bond dan
Islam Study Club dan sebagainya. Dalam kongres tersebut disepakati dan
diputuskan untuk mendirikan Majlis Syura Pusat bagi umat Islam Indonesia.
Sesungguhnya Partai Masjumi ini merupakan kelanjutan dari kegiatan politik
organisasi Islam pada akhir zaman penjajah Belanda yang dikenal dengan nama
MIAI (Majlis Islam A’la Indonesia). MIAI adalah suatu wadah federasi dari semua
organisasi Islam, baik yang bergerak dalam bidang politik praktis maupun yang
bergerak dalam bidang sosial kemasyarakatan yang didirikan pada tanggal 21
September 1937 di Surabaya atas inisiatif KH Mas Masyur (Muhammadiyah), KH
Wahab Hasbullah (NU), dan Wondo Amiseno (Sarekat Islam). Kemudian pada
masa pendudukan Jepang gabungan gerakan Islam yang juga bersifat federasi
semacam MIAI ini dinamakan Majlis Syura Muslimin Indonesia (Masjumi).
Partai Masjumi yang mencanangkan tujuannya dengan rumusan “Terlaksananya
syari’at Islam dalam kehidupan orang-seorang, masyarakat, dan Negara Republik
Indonesia” dalam kiprah politiknya sepanjang masa hidupnya, baik dalam bentuk
program maupun kebijakan-kebijakan partai menampakan sikap yang tegar,

10
istiqomah, konsisten terhadap prinsip-prinsip Islam yang bersumber pada Al-
Qur’an maupun Al-Hadits.
Politik yang dianut oleh Partai Masjumi adalah politik yang menggunakan
parameter Islam, artinya bahwa semua program atau kebijakan partai harus terukur
secara pasti dengan nilai-nilai Islam. Ungkapan bahwa politik itu kotor, menurut
keyakinan Partai Masjumi tidak mungki terjadi manakala sikap, langkah, dan pola
perjuangannya selalu berada di atas prinsip-prinsip ajaran Islam. Masjumi
mengakui terhadap realitas yang terjadi di tengah-tengah arena politik bahwa
politik itu memang kotor, kalau politik itu didasarkan pada “politik bebas nilai”
atau politik yang diajarkan oleh Nicollo Machiavelli bahwa “tujuan menghalalkan
semua cara”. Politik Islam sebagaimana yang dianut oleh Partai masjumi adalah
politik yang mengharamkan tujuan yang ditempuh dengan semua cara. Islam
mengajarkan bahwa “Tujuan yang baik harus dicapai dengan cara-cara yang baik
pula”.
Pada tanggal 15 Desember 1955 diadakan Pemilu, Partai Masjumi mendapatka 57
kursi di pemerintahan. Akan tetapi karena Bung Karno termakan oleh bujukan dari
Komunis sehingga pada tanggal 17 Agustus 1960 mengeluarka Surat Keputusan
(SK) Presiden Nomor 200 tahun 1960 untuk membubarkan Partai Islam Masjumi
dari pusat sampai ranting di seluruh wilayah NKRI. Pada tanggal 13 September
1960 DPP Masjumi membubarkan Masjumi dari pusat sampai ke ranting-
rantingnya.

3. Gerakan Sosial Kemasyarakatan Islam


3.1. Muhammadiyah
Sejak tahun 1905, Kyai Haji Ahmad Dahlan telah banyak melakukan dakhwah dan
pengajian-pengajian yang berisi faham baru dalam islam dan menitik beratkan pada
segi alamiyah. Baginya, Islama adalah agama amal, suatau agama yang mendorong
umatnya untuk banyak melakukan kerja dan berbuat sesuatu yang bermanfaat.
Dengan bekal pendalaman beliau terhadap Al- Qura’an dan sunannah Nabi, sampai
pada pendirian dan tindakana yang banyak bersifat pengalaman Islam dalam
kehidupan nyata.

11
Dari kajian – kajian Kyai Haji Ahmad Dahlan ,akhirnya timbul pertanyaan kenapa
banyak gerakan-gerakan islamyang tidak berhasil dalam usahanya? Hal ini tidak
lain di sebabkan banyak orang yang bergerak dan berjuang tetapi tidak berilmu luas
serta sebaliknya banyak orang yang berilmu akan tetapi tidak mau mengamalkan
ilmunya.
Atas dasar keyakinannya itulah, Kyai Haji Ahmad Dahlan ,pada tahun 1991
mendirikan “sekolah Muhammadiyah” yang menempati sebuah ruangan dengan
meja dan papan tulis. Dalam sekolah tersebut, di masukkan pula beberapa pelajaran
yang lazim di ajarkan di sekolah-sekolah model Barat, seperti Ilmu Bumi, Ilmu
Alam, Ilmu Hayat dan sebagainya. Begitu pul;a di perkenalkan cara-cara baru
dalam pengajaran ilmu-ilmu keagamaan sehingga lebih menarik dan lebih
menyerap. Dengan murid yang tidak begitu banyak,jadilah sekolah Muhammadiyah
tersebut sebagai tempat persemaian bibit-bibit pembaruan dalam Islam Indonesia.
Dan sebagai puncaknya berdirilah gerakan Muhammadiyah pada tanggal 8
Dzulhijjah 1330 yang bertepatana dengan tanggal 18 November 1992, yang di
dalam Anggaran Dasarnya yang pertama kali bertujuan: “ Menyebarkan Pengajarn
Kanjeng Nabi Muhammad SAW kepada penduduk bumi putera,di dalam residensi
yogyakarta” serta “ Memajukan hal agama Islam kepada sekutu-sekutunya.
3.2. Nahdlatul Ulama
Nahdlatul Ulama merupakan salah satu organisasi Islam besar lainnya di Indonesia.
Organisasi ini berdiri pada 31 Januari 1926 dan bergerak di bidang pendidikan,
sosial, dan ekonomi. Keterbelakangan baik secara mental, maupun ekonomi yang
dialami bangsa Indonesia, akibat penjajahan maupun akibat tradisi yang sudah
menjadi adat kehidupan masyarakat Islam yang ada di Indonesia di Jawa khususnya
telah menggugah kesadaran kaum terpelajar untuk memperjuangkan martabat
bangsa ini, melalui jalan pendidikan dan organisasi. Gerakan yang muncul 1908
tersebut dikenal dengan "Kebangkitan Nasional". Semangat kebangkitan memang
terus menyebar ke mana-mana - setelah rakyat pribumi sadar terhadap penderitaan
dan ketertinggalannya dengan bangsa lain. Sebagai jawabannya, muncullah
berbagai organisasi pendidikan dan pembebasan.
Kalangan pesantren yang selama ini gigih melawan kolonialisme, merespon
kebangkitan nasional tersebut dengan membentuk organisasi pergerakan, seperti

12
Nahdlatul Wathan (Kebangkitan Tanah Air) pada 1916. Kemudian pada tahun 1918
didirikan Taswirul Afkar atau dikenal juga dengan "Nahdlatul Fikri" (kebangkitan
pemikiran), sebagai wahana pendidikan sosial politik kaum dan keagamaan kaum
santri. Dari situ kemudian didirikan Nahdlatut Tujjar, (pergerakan kaum saudagar).
Serikat itu dijadikan basis untuk memperbaiki perekonomian rakyat. Dengan
adanya Nahdlatul Tujjar itu, maka Taswirul Afkar, selain tampil sebagai kelompok
studi juga menjadi lembaga pendidikan yang berkembang sangat pesat dan
memiliki cabang di beberapa kota.
Dalam menjalankan organisasinya Nahdlatul Ulama dalam Wikipedia memiliki
tujuan utama yakni, menegakkan ajaran Islam menurut paham Ahlussunnah
waljama'ah di tengah-tengah kehidupan masyarakat, di dalam wadah Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
3.3. Persatuan Islam
Persatuan Islam (Persis) didirikan di Bandung pada 17 September 1923 oleh K.H.
Zamzam, seorang ulama berasal dari Palembang. Persis bertujuan mengembalikan
kaum muslimin kepada pimpinan AL-Qur’an dan sunnah Nabi dengan jalan
mendirikan madrasah-madrasah, pesantren dan tabliqh pidato ataupun tulisan.
Selain itu, menerbitkan pula majalah yang cukup menonjol pada zamannya, yaitu
“Pembela Islam” dan majalah Al Muslimin. Selain itu juga Persis memiliki tujuan
lain yakni untuk memberikan pemahaman Islam yang sesuai dengan aslinya yang
dibawa oleh Rasulullah Saw dan memberikan pandangan berbeda dari pemahaman
Islam tradisional yang dianggap sudah tidak orisinil karena bercampur dengan
budaya lokal, sikap taklid buta, sikap tidak kritis, dan tidak mau menggali Islam
lebih dalam dengan membuka Kitab-kitab Hadits yang shahih. Oleh karena itu,
lewat para ulamanya seperti Ahmad Hassan yang juga dikenal dengan Hassan
Bandung atau Hassan Bangil, Persis mengenalkan Islam yang hanya bersumber dari
Al-Quran dan Hadits (sabda Nabi).
Persis sangat menonjol dalam usahanya memberantas segala macam bid’ah dan
khufarat , dengan cara-cara radikal dan tidak tanggung- tanggung. Lebih-lebih
setelah Persis berda dalam kepemimpinan ustadz A. Hasan, yang terkenal tajam
pena dan lidahnya menegakkan kemurnian agama, maka Persis semakin hari
semakin bertambah luas dan berkembang. Diantara alumni pendidikan Persis yang

13
terkemuka adalah M.Natsir, seorang tokoh cendikiawan dan pemimpin Islam
Indonesia yang juga pernah menjadi Perdana Menteri RI dan menduduki jabatan-
jabatan penting dalam Lembaga Islam International.

C. Sejarah perkembangan islam di sumatera selatan


1. Masuknya Islam di Palembang
Berdasarkan sumber-sumber Arab dan Cina, pada abad ke-9 di Palembang, yang
diyakini sebagai ibukota Kerajaan Buddha Sriwijaya, telah terdapat sejumlah
pemeluk Islam di kalangan penduduk pribumi Palembang. Hal ini merupakan
konsekwensi dari interaksi antara penduduk Sriwijaya dengan kaum Muslimin Timur
Tengah yang sudah berlangsung sejak masa awal kelahiran Islam. Meskipun
Sriwijaya merupakan pusat keilmuan Buddha terkemuka di Nusantara, ia merupakan
kerajaan yang kosmopolitan. Penduduk Muslim tetap dihargai hak-haknya sebagai
warga kerajaan sehingga sebagian dari mereka tidak hanya berperan dalam bidang
perdagangan tetapi juga dalam hubungan diplomatik dan politik kerajaan. Sejumlah
warga Muslim telah dikirim oleh Pemerintah Sriwijaya sebagai duta kerajaan, baik
ke Negeri Cina maupun ke Arabia.
Bukti-bukti historis tersebut membantah pendapat sejarawan terkenal Thomas
Arnold yang menyatakan bahwa Islam pertama kali masuk ke Sumatera Selatan
dibawa oleh Raden Rahmat atau Sunan Ampel kira-kira tahun 1440. Pendapat ini
juga dibantah oleh Taufik Abdullah yang menyatakan bahwa Islam masuk ke
Sumatera Selatan lebih dahulu dari Minangkabau, pedalaman Jawa, atau bahkan
Sulawesi Selatan. Sejarawan Indonesia terkenal ini bahkan menduga bahwa sejak
akhir abad ke-15 Palembang telah menjadi daerah enclave Islam terpenting di
Nusantara sehingga Raden Fatah yang lahir di Jawa belajar agama Islam di
Palembang.
Pada awal masuknya Islam di Nusantara, Palembang merupakan salah satu tempat
yang pertama kali mendapat pengaruh Islam. Tome Pires, seorang ahli obat-obatan
dari Lisabon (yang lama menetap di Malaka, yaitu pada tahun 1512 hingga 1515),
pada tahun 1511, mengunjungi Jawa dan giat mengumpulkan informasi mengenai
seluruh daerah Malaya-Indonesia. Dalam bukunya yang berjudul Summa Oriental,
sebagaimana yang dikutip Ricklefs (1995), dia mengatakan bahwa pada waktu itu
sebagian besar raja-raja Sumatera beragama Islam, tetapi masih ada negeri-negeri

14
yang masih belum menganut Islam. Menurut Pires, mulai dari Aceh di sebelah utara
terus menyusur daerah pesisir timur hingga Palembang, para penguasanya beragama
Islam. Di sebelah selatan Palembang dan di sekitar ujung selatan Sumatera hingga
pesisir barat, sebagian besar penguasanya tidak beragama Islam. Di Pasai terdapat
komunitas dagang Islam internasional yang sedang berkembang pesat dan Pires
menghubung-hubungkan penegakan pertama agama Islam di Pasai dengan kelihaian
para pedagang Muslim itu. Akan tetapi, penguasa Pasai belum berhasil meng-Islam-
kan penduduk pedalaman. Raja Minangkabau dan seratus pengikutnya disebutkan
sudah menganut agama Islam, tetapi penduduk Minangkabau lainnya belum.
Meskipun demikian, Pires menyebutkan bahwa agama baru itu makin hari makin
bertambah pemeluknya di Minangkabau.
Hurgronje (1973),berpendapat bahwa agama Islam secara perlahan-lahan masuk ke
daerah-daerah pantai Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, dan pulau-pulau kecil
lainnya di seluruh Kepulauan Nusantara sejak kira-kira setengah abad sebelum
Baghdad (pusat Khilafah Abbassiyah) jatuh ke tangan Hulagu (raja Mongol) pada
tahun 1258. Hurgronje mengemukakan bahwa Islam masuk ke Indonesia dari
Hindustan yang dibawa oleh pedagang-pedagang Gujarat. Usaha penyebaran Islam
ke pedalaman seterusnya dilakukan juga oleh orang Muslim pribumi sendiri, dengan
daya tariknya pula, tanpa campur tangan penguasa negara.
Hasil penelitian L.W.C. van den Berg menunjukkan bahwa orang Arab Hadramaut
mulai datang secara massal ke Nusantara pada tahun-tahun terakhir abad ke-18,
sedangkan kedatangan mereka di Pantai Malabar jauh lebih awal. Perhentian mereka
yang pertama adalah Aceh. Dari sana kemudian sebagian menyebar ke Palembang
dan Pontianak.
Sejak abad yang lalu, di Pulau Sumatera koloni Arab yang besar hanya ada di Aceh
dan Palembang. Koloni Arab yang ada di Palembang dianggap yang paling menarik,
baik dari sudut pandang sosial maupun dari sudut pandang ekonomi perdagangan.
Pada awal abad ke-19, Sultan Pealembang, Sultan Mahmud Badaruddin, memberi
kesempatan sebesar-besarnya kepada bangsa Arab untuk menetap di ibukota
negerinya.
Setelah penduduk Kota Palembang, menganut Islam, daerah Iliran yang berada di
bawah pengaruh budaya Kota Palembang pun mengalami proses Islamisasi. Daerah

15
Uluan meskipun kemudian juga menganut agama Islam, tetap memperlihatkan ciri
khas yang berbeda. Penyebab utamanya adalah komunikasi yang sulit dengan
Palembang, yang terpisah lebih dari seminggu waktu perjalanan, sehingga
menyulitkan terjadinya interaksi antara masyarakat Uluan dengan masyarakat kota.
Tidak banyak diketahui mengenai perkembangan Islam di Sumatera Selatan sampai
menjelang berdirinya Kesultanan Palembang Darussalam. Selama kira-kira dua abad
Palembang menjadi wilayah kekuasaan kerajaan-kerajaan Islam di Jawa. Palembang
baru resmi menjadi kesultanan yang berdiri sendiri ketika Raden Tumenggung
memproklamasikan dirinya menjadi Sultan Ratu Abdurrahman pada tahun 1666 dan
kemudian mengambil gelar Sultan Jamaluddin pada tahun 1681. Tidak begitu jelas
apakah hal ini menunjukkan bahwa Islam sebagai kekuatan politik di Palembang
termasuk lemah atau kuatnya pengaruh kultur Jawa di Palembang dan lemahnya
identitas Melayu Palembang. Namun yang menarik adalah bahwa, sejak Palembang
resmi memisahkan diri dari protektorat Kerajaan Mataram, semakin ditingkatkan
usaha menerapkan hukum Islam di kelsultanan. Struktur Kesultanan Palembang terus
mengalami penyesuaian dengan ajaran Islam

2. Perkembangan Islam di Palembang


Tome Pires, berpendapat bahwa setelah melemahnya pengaruh Majapahit dan Cina
di Palembang adalah akibat perkembangan Islam yang pesat di kalangan masyarakat
Melayu Palembang. Hal ini juga terkait dengan kebangkitan Islam di Nusantara,
terutama kerajaan-kerajaan Islam di Pantai Utara Jawa dan kerajaan-kerajaan Islam
yang ada di luar Jawa, termasuk di Pelembang sendiri. Situasi dan kondisi ini
menempatkan Palembang menjadi wilayah perlindungan kerajaan Islam Demak,
sehingga apapun yang terjadi di Demak, akan sangat mempengaruhi Palembang.
Menurut B.H.M. Vlekke, adanya bukti-bukti ekspansi Islam kebagian timur Jawa
saat itu. Di bagian barat, terus-menerus adanya tekanan oleh Pangeran Demak.
Cirebon mereka taklukkan sekitar tahun 1475, dan kemudian menyerang dan
mengalahkan Palembang dan Jambi di Sumatera yang diperkirakan terjadi pada
tahun 1500.
Setelah diserang dan dikalahkan oleh Demak, dalam waktu relatif singkat armada
laut Palembang bangkit kembali, yaitu pada tahun 1512-1513 armada laut ini
bergabung dengan armada Pati Unus dari Jepara menyerang Malaka yang telah

16
diduduki oleh Portugis tahun 1511. Korban pasukan gabungan ini sangat besar.
Tome Pires mengatakan banyak orang Palembang yang mati dan armada gabungan
ini hanya kembali dengan 10 jung dan 10 kapal barang.
Seperti telah diketahui bahwa selama berabad-abad tidak ada seorang pun yang
mengungkapkan adanya serangan Demak atas Palembang, apalagi raja Demak yang
pertama, Raden Patah, adalah kelahiran Palembang. Lebih memantapkan hubungan
Palembang dengan Demak menurut Serat Khanda, dinyatakan bahwa istri Pangeran
Trenggana, adalah putri dari tokoh legenda Aria Damar yang berasal dari Palembang.
Dari pernyataan di atas dapat dikatakan bahwa perkembangan Islam di Palembang
adalah sejalan dengan berdirinya Kerajaan Palembang Darussalam atau masa
kesultanan di palembang. Berdirinya Kesultanan Palembang diawali dengan
peristiwa perebutan kekuasaan di Demak pada tahun 1546. Ki Gede Ing Suro,
pengikut setia Pangeran Aria Penangsang yang tewas dalam perebutan kekuasaan
yang kemudian dimenangkan oleh Pangeran Adiwijaya, Sultan Pajang. Ki Gede Ing
Suro berpendapat bahwa meskipun berada di bawah kekuasaan Demak, Palembang
tidak perlu menyerang Pajang. Oleh karena Kerajaan Demak sudah dikuasai oleh
Pajang, maka Ki Gede Ing Suro menganggap Palembang secara otomatis kemudian
menjadi wilayah merdeka. Ki Gede Ing Suro kemudian mendirikan Kesultanan
Palembang dengan meletakkan dasar-dasar keraton Jawa di Palembang. Kapan
waktu persis berdirinya Kesultanan Palembang tidak dapat diperkirakan. Ada yang
memperkirakan pada tahunh 1542 atau 959 H, tetapi beberapa catatan menyebutkan
waktunya bahkan lebih awal, yaitu dengan adanya catatan mengenai berakhirnya
masa kekuasaan Ki Gede Ing Suro (tua) pada tahun 966 H (dari pemerintahannya
selama 22 tahun). Berdasarkan keterangan terakhirt ini, berarti Kesultanan
Palembang mulai berdiri tahun 944 H. Hal ini sesuai dengan catatan R.A. Bakri dan
koleksi Tropen Institut.
Dari beberapa catatan mengenai Palembang, Ki Gede Ing Suro (tua) setelah
memerintah selama 22 tahun kemudian menyerahkan kekuasaannya kepada
saudaranya Ki Gede Ing Ilir yang berkuasa selama lebih dari 10 tahun. Kemudian,
pada tahun 1587. Ki Gede Ing Suro (muda) dengan beberapa orang pengikutnya
melarikan diri dari Demak ke Palembang dan menerima kekuasaan dari ayahnya, Ki
Gede Ing Ilir. Oleh karena dinobatkan di Palembang, Ki Gede Ing Suro (muda) lebih

17
dikenal sebagai cikal bakal penguasa Kerajaan Palembang sampai berakhirnya
Kesultanan Palembang Darussalam.
Pada sekitar tahun 1575 Ki Gede Ing Suro (muda) wafat dan dimakamkan di daerah
I-Ilir Palembang. Sebagai penggantinya kemudian adalah Ki Mas Adipati yang
mempunyai empat orang putra dan satu orang putri. Ia memerintah sampai tahun
1587. Setahun kemudian, putranya yang bernama Den Arya naik tahta menggantikan
dirinya. Den Arya hanya sebentar memerintah, karena dia kemudian terbunuh oleh
kelakuannya yang kurang baik. Yang menggantikan Den Arya sebagai raja adalah
adiknya yang bernama Pangeran Seda Ing Pura yang memerintah Palembang tahun
1630-1639.
Penguasa Palembang yang dikenal sebagai tokoh pembangunan modern adalah
Sultan Mahmud Badaruddin I atau yang juga dikenal dengan nama Sultan mahmud
Badaruddin Jayo Wikramo, yang memerintah pada tahun 1724-1758. Selama masa
pemerintahannya, Sultan ini banyak melakukan pembangunan kota, di antaranya
adalah makam Lembang atau yang dikenal juga dengan nama Kawah Tengkurep
(1728), Kuto Batu (Kuto Lamo, 29 September 1737), Masjid Agung (26 Mei 1748),
dan terusan-terusan (kanal) di sekitar Kota Palembang. Sultan ini pulalah yang konon
kabarnya memprakarsai pembangunan Benteng Kuto Besak. Selain itu Sultan
Mahmud Badaruddin I juga mengembangkan tambang timah di Bangka dan menata
sistem perdagangan agar lebih menguntungkan kesultanan.
Kawasan inti keraton kesultanan Palembang Darussalam pada masa pemerintahan
Sultan Mahmud Badaruddin I luasnya sekitar 50 hektar dengan batas-batas di sebelah
utara berbatasan dengan Sungai Kapuran, di sebelah timur berbatasan dengan Sungai
Tengkuruk (sekarang menjadi Jalan Sudirman), di sebelah selatan berbatasan dengan
Sungai Musi, dan di sebelah barat berbatasan dengan Sungai Sekanak. Pada awalnya
di areal tanah yang luasnya sekitar 50 hektar ini hanya terdapat bangunan (benteng)
Kuto Batu atau Kuto Tengkuruk dan bangunan Masjid Agung dengan sebuah menara
yang atapnya berbentuk kubah.[10]
Selain melakukan pembangunan fisik di Palembang, pada masa pemerintahan Sultan
Mahmud Badaruddin I, juga diperhatikan pengolahan sumber penghasilan
kesultanan, antara lain dengan memperluas penambangan timah di Bangka. Pada
masa pemerintahannya, untuk memperluas areal tambang didatangkan orang-orang

18
Cina sebagai pekerja. Kontrak perdagangan timah dengan V.O.C. diperbaharui,
tetapi banyak pula perdagangan timah ilegal yang dilakukan dengan negara
tetangganya, misalnya dengan Riau. Dengan datangnya kemakmuran akibat
perdagangan timah dan lada, berkembang pula karya seni pembuatan barang-barang
lakuer dan tenun songket.
Pengganti Sultan Mahmud Badaruddin I, berturut-turut adalah Sultan Ahmad
Najamuddin I (1768-1776), Sultan Muhammad Baharuddin (1776-1804), Sultan
Mahmud Badaruddin II (1804-1821), Sultan Ahmad Najamuddin II atau Sultan
Husin Diauddin (1813-1817) yang memerintah secara bergantian dengan Sultan
Mahmud Badaruddin II, Sultan Ahmad Najamuddin III (1819-1921), dan Sultan
Ahmad Najamuddin IV (1821-1823) yang merupakan sultan terakhir.
Perkembangan Islam di Sumatera Selatan pada periode klasik kesultanan, menurut
Taufik Abdullah, berlangsung tersendat-sendat tidak hanya karena kecilnya peranan
istana dalam proses tersebut tetapi juga karena ulama sibuk melayani kebutuhan dan
tugas dari istana. Menurut Abdullah, para Sultan Palembang terlalu sibuk dengan
persoalan-persoalan politik dan ekonomi dengan kesultanan-kesultanan lain dan
pemerintah Hindia Belanda sehingga kesempatan untuk mengadakan Islamisasi
menjadi berkurang. Di samping itu, sultan juga harus menyelesaikan persoalan
kesetiaan daerah pedalaman yang merupakan daerah sumber ekspor. Ulama pada
periode ini juga tergolong ulama birokrat yang waktu dan pikirannya lebih
tercurahkan pada persoalan-persoalan di istana. Sementara ulama tidak mempunyai
corak hubungan yang intim dengan sultan dan pengaruh mereka sangat tergantung
dengan kemampuannya meyakinkan Sultan. Akan tetapi, kalau analisis ini tepat, ia
harus dipahami dari perspektif perbandingan dengan proses perkembangan Islam di
kesultanan-kesultanan lain di Nusantara.
Betapa pun lambannya perkembangan Islam di Sumatera Selatan, tetapi hasil usaha
para sultan dan ulama masih nampak dalam realitas historis. Di samping peningkatan
kualitas Islam kultural maupun politis, Islam menjadi agama yang dianut penduduk
di berbagai daerah di pedalaman Sumatera Selatan. Institusi-institusi keagamaan
seperti masjid turut mengalami perkembangan. Sultan Abdurrahman pada tahun
1663 mendirikan sebuah masjid yang kemudian lebih dikenal dengan sebutan Masjid
Lama. Pada tanggal 25 Jumi 1748 sebuah masjid besar diresmikan penggunaannya

19
oleh Sultan Mahmud Badaruddin Jayo Wikramo. Masjid yang berlokasi di pusat
Kota Palembang ini sekarang dikenal dengan sebutan Masjid Agung. Setelah
runtuhnya Kesultanan Palembang, beberapa masjid didirikan oleh ulama yang kaya
dengan mendapat dukungan dari masyarakat.
Kesultanan Palembang dihapus oleh Belanda pada tanggal 7 Oktober 1823. Mulai
saat itu Palembang menjadi daerah administrasi Hindia Belanda dengan Joan
Cornelis Reijnst sebagai residen. Pada tahun 1825, I.I. van Sevenhoeven ditempatkan
sebagai Resident Palembang.[13] Direbutnya keraton Kesultanan Palembang oleh
pasukan Belanda pada tahun 1821 berakibat besar bagi perbandingan intern elite
Palembang. Dengan jatuhnya keraton, penghasilan yang dulu diperoleh kaum ningrat
palembang dari sistem pajak lama dihapuskan. Dengan demikian Priyayi kehilangan
wibawa ekslusif mereka atas penduduk kota lain. Perkembangan ini juga
mempengaruhi pembagian status dan kekuasaan di kalangan elite kota demi
kepentingan sayid. Para saudagar kaya justru berhasil memperkuat kedudukan
mereka dengan bertindak sebagai pelindung agama. Klien rakyat jelata mereka
diwajibkan setia mematuhi kewajiban moral yang berkenaan dengan upacara agama,
sementara itu tanpa perlindungan, para priyayi dibiarkan mngalami proses
kemiskinan yang tak dapat dielakkan secara perlahan-lahan. Satu-satunya kenangan
hak istimewa ini ialah pembayaran pensiun yang dilakukan penguasa kolonial
kepada anggota keluarga paling penting.

3. Proses Islamisasi di Palembang


Walaupun pada masa Kerajaan Sriwijaya, sudah ada penduduk Muslim, agama Islam
belum menjadi agama negara. Setelah melalui proses yang panjang yang
berhubungan erat dengan kerajaan-kerajaan besar di Pulau Jawa, seperti Kerajaan
Majapahit, Demak, Pajang, dan Mataram. Raden Patah alias Raden Panembahan
Palembang yang lahir di Palembang, sebagai Pendiri dan Raja Demak yang pertama
(1478-1518), sangat besar pengaruhnya terhadap Palembang atau sebaliknya. Raden
Patah berhasil memperbesar kekuasaan dan menjadikan Demak sebagai kerajaan
Islam pertama di Jawa. Akibat pertentangan politik, Kerajaan Demak tidak dapat
bertahan lama. Perebutan kkuasaan antara Aria Penangsang dari Jipang dan Pangeran
Adiwijaya dari Pajang disebabkan masalah suksesi dan warisan Kerajaan Demak,

20
mengakibatkan Demak tidak dapat bertahan lama. Kemunduran Demak mendorong
tumbuhnya Kesultanan Pajang. Penyerangan Kesultanan Pajang ke Demak
mengakibatkan sejumlah bangsawan Demak melarikan diri ke Palembang.
Rombongan dari Demak yang dikepalai Ki Gede Ing Lautan (1547-1552) termasuk
kelompok Jipang yang kalah dalam pertarungan kekuatan politik tersebut berlari dan
menetap di Palembang Lamo (Kelurahan 1 Ilir) dan mendirikan Keraton Tradisional
Jawa di Palembang yang diyakini pada masa itu sebagian penduduknya telah
beragama Islam. Pimpinan yang berkuasa saat itu adalah Dipati Karang Widara,
keturunan Libar Daun. Keraton yang didirikan adalah istana Kuto Gawang dan
masjid di Candi Laras. Berita ini dibuktikan dari laporan Jonathan Claesen (tanggal
30 Juni 1663) yang menyatakan antara lain, bahwa dia tidak mendapatkan kuli untuk
membangun Loji Sungai Aur, karena penduduk tiap-tiap hari sedang membangun
sebuah masjid baru. Istilah baru ini oleh JWJ Wellan (Bijdrage tot de Geschiedenis
van de Masjid lama te Palembang, Culturell Indie, Vol. I, 1939, hlm. 305-314),
berkesimpulan seandainya masjid yang dibangun oleh Sultan Abdurrahman adalah
masjid baru berarti sebelumnya sudah ada masjid tua. Menurut JWJ Wellan masjid
tua dimaksud terletak di Kuto Gawang tersebut. Masjid ini kemudian dihancurkan
oleh ekspedisi Mayor Joan van der Laen pada tahun 1659, di mana saat itu terjadi
perang pertama antara Belanda dengan Palembang.
Pengganti Pangeran Sido Ing Lautan adalah Ki Gede Ing Suro Tuo (1552-1573),
kemudian sebagai pengganti selanjutnya adalah Kemas Anom Adipati Ing Suro / Ki
Gede Ing Suro Mudo (1573-1590). Berturut-turut setelah Ki Gede Ing Suro Mudo
wafat, naik tahta Kiemas Adipati, Kemudian Sultan Jamaluddin Mangkurat I Madi
Ing Angsoko, Sultan Jamaluddin Mangkurat II Madi Alit, Sultan Jamaluddin
Mangkurat III Sedo Ing Puro, Sultan Jamaluddin Mangkurat IV Sedo Ing Kenayan,
Sultan Jamaluddin Mangkurat V Sedo Ing Pasarean, Sultan Jamaluddin Mangkurat
VI Sedo Ing Rajek. Kemudian diganti Sultan Jamaluddin Mangkurat VII Susuhunan
Abdurrahman Candi Welan yang juga bernama Pangeran Ario Kesumo (Kiemas
Hindi) (1659-1706) yang memproklamirkan Palembang menjadi Kesultanan
Palembang Darussalam pada tahun 1675. Susuhunan bergelar Sultan Abdurrahman
Khalifatul Mukminin Sayidul Imam.

21
Dengan diproklamirkannya Kesultanan Palembang Palembang Darussalam ini maka
Agma Islam resmi sebagai Agama Kerajaan (negara) sampai masa berakhirnya.
Dengan Proklamasi Kesultanan Palembang ini, keterkaitan dengan Mataram, baik
kultural maupun politik terputus, dan Palembang mengembangkan pemerintahan dan
kehidupan masyarakat dengan tradisi dan kepribadian sendiri. Kultural jawa yang
selama ini tertanam sebagai dasar legitimasi keraton Palembang yang menumbuhkan
keterkaitan sembah atau upeti dengan Pajang dan Mataram sudah tidak terjadi lagi.
Kultural masyarakat Palembang lebih banyak didasari kultural Melayu.
Sultan Palembang ini mempunyai minat dan perhatian khusus pada agama Islam.
Beliau mendorong tumbuhnya ilmu pengetahuan dan budaya Islam. Sultan ini
melakukan usaha-usaha tertentu untuk menarik dan merangkul para ulama Arab
untuk menetap di wilayahnya. Akibatnya para imigran Arab terutama dari
Hadramaut mulai hijrah ke Palembang dalam jumlah yang semakin bertambah yang
selanjutnya menjadi pemukim terbesar kedua di Indonesia setelah Surabaya.
Ulama-ulama Arab ini memegang peranan penting dalam kehidupan dan
penghidupan penduduk. Pengaruh tradisi, ilmu pengetahuan maupun budaya Islam
sangat besar. Atas dorongan para ulama Arab ini pula Sultan Abdurrahman
membangun Istana Beringin Janggut dan Masjid, setelah Kuto Gawang terbakar.
Masjid yang dibangun ini sekarang dikenal dengan nama Masjid Lama yang terletak
di Beringin Janggut Kelurahan 17 Ilir.
Dalam abad ke-18 dan 19, Palembang telah berperan sangat besar dalam
mengembangkan budaya Islam di wilayah Sumatera Selatan maupun Nusantara.
Palembang menjadi salah satu Pusat Pengkajian Islam berbahasa Melayu, selain
Aceh, Banjarmasin, dan Minangkabau.[16]
Gambaran tentang kehidupan beragama pada paruh pertama bad ke-19 di Palembang
berdasarkan Laporan Tahunan Residen Palembang dari tahun 1834 dan 1835,
menyatakan bahwa di Palembang pada waktu itu golongan ulama (priesterstand)
cukup besar, tetapi mereka tidak bersikap keras terhadap pemerintah kolonial.
Ustadz-ustadz ini hanya mencoba meningkatkan ketaatan beribadah masyarakat
palembang; suatu usaha yang belum menghasilkan bukti yang nyata pada tahun
1830-an. Dalam pembicaraannya dengan Residen Palembang, Pangeran Penghulu
sebagai kepala birokrasi agama malah mengeluh tentang tidak adanya ketekunan

22
agama di kalangan penduduk Palembang. Kurangnya perhatian masyarakat terhadap
agama antara lain terlihat dari sedikitnya jamaah yang mengikuti shalat Jumat di
Masjid Agung, satu-satunya masjid di Kota Palembang yang pada saat itu telah
berpenduduk lebih dari 20.000 orang.[17]
Kenyataan ini menyebabkan penguasa kolonial tidak menganggap Islam sebagai
ancaman terhadap status quo mereka. Akan tetapi, mulai pertengahan abad ke-19
pendapat penguasa kolonial tentang Islam di Palembang mengalami perubahan yang
mendasar. Sesudah tahun 1850, di kalangan pegawai pemerintahan kolonial terdapat
pendapat umum bahwa penduduk kota justru sangat shaleh, dan taat memenuhi
kewajiban agama mereka. Meskipun demikian, orang Palembang belum dianggap
fanatik oleh penguasa Belanda; kehidupan beragama tetap terbatas pada penunaian
ibadah, seperti Sembahyang Jumat dan berpuasa pada Bulan Ramadhan. Gambaran
tentang Islam ini masih diu;angi sampai tahun 1870-an dalam Laporan Tahunan
Keresidenan Palembang, yang secara teratur ditutup dengan kalimat: Meskipun
shaleh secara lahiriah, rakyat (Palembang) tidak bersifat fanatik dan sama sekali
tidak terlihat gerakan (subversif) yang bersifat keagamaan.[18]
Istilah fanatik baru pertama kali muncul dalam wacana kolonial mengenai
Palembang pada tahun 1880-an, dan selanjutnya menjadi ungkapan tetap untuk
60.000 penduduk kota fanatik yang mengaji Al-Quran dengan suara keras. Perilaku
ritual Islam di Palembang mulai ditaati dengan ketelitian yang mencolok, Masjid
Agung ramai dikunjungi pada hari Jumat, baik oleh masyarakat dari strata sosial
tinggi maupun rendah.
Tahun 1881 merupakan titik balik citra Islam di mata kolonial. Sebelumnya pegawai
kolonial tidak melihat Islam sebagai ancaman, namun sesudah tahun 1881, ibukota
Palembang dianggap sebagai sarang kejahatan haji fanatik dan orang Arab,
perubahan citra ini terutama tercermin dalam perubahan siklus terhadap masyarakat
Hadramaut di Palembang. Penangkapan Syarif Abdullah Aisegaf dipandang sebagai
bukti keterlibatan Alawiyin dalam propaganda Pan-Islamistis. Sebenarnya sebagian
besar Sayid tidak turut campur. Akan tetapi, ide bahwa jaringan orang Turki dan
Arab secara rahasia terlibat dalam persiapan perang suci, sudah tertanam di benak
penguasa kolonial. Selama hari-hari pertama kepanikan, berita menggemparkan dari
Sumatera ditafsirkan begitu rupa oleh Batavia, sehingga orang mengganggap telah

23
ditemukan komplotan para pemimpin Arab di Palembang, meskipun pendapat ini
segera dikoreksi, pemerintah kolonial tetap menganggap Palembang sebagai pusat
perlawanan terhadap negara kolonial, berkat semangat fanatik yang dimiliki
penduduk kota.
Kebangkitan Islam di Palembang mulai terlihat tanda-tandanya antara tahun 1913
dan 1916. Pada bulan November 1913, di Palembang didirikan cabang Syarekat
Islam (SI), yang dengan cepat merambat ke pedalaman. Selama tiga tahun, SI amat
berhasil di Sumatera Selatan, dan dalam waktu singkat, pimpinan gerakan
memobilisir rakyat pedesaan untuk memakai lambang agama. Sebagai tanda
semangat keagamaan, pegawai Belanda memperhatikan, pada puncak gerakan politik
tahun 1915 dan 1916, masjid-masjid di Keresidenan palembang ramai dikunjungi
orang. Bahkan di Uluan Palembang, penduduk desa, yang semula tidak
menghiraukan kewajiban ritual mereka, kelihatan ramai mengunjungi masjid waktu
sembanhyang Maghrib dan Isya. Akan tetapi, mobilisasi massa ini, yang sifatnya
sementara saja, belum mampu menerobos secara definitif dalam imbangan kekuatan
kebudayaan. Dengan dihapuskannya agitasi politik pada tahun 1916, lenyap pula
minat rakyat pedesaan untuk melaksanakan kewajiban religius.[20] Jika politik
belum mampu mengubah pola kebudayaan yang lama dibekukan birokrasi kolonial,
kekuatan ekonomi pada dasawarsa berikut justru berhasil mendobrak status quo.
Dengan peningkatan kesejahteraan pada tahun 1925, hasrat untuk memperluas agama
bertambah dengan cepat smpai ke pelosok pedesaan.
Di balik proses Islamisasi ini, uang merupakan motor yang kuat. Sesungguhnya
dalam kebudayaan Palembang, kekayaan tidak cukup untuk menjamin prestise sosial.
Dalam masyarakat perkotaan, yang didominasi elite Hadramaut, uang hanya menjadi
lambang sosial jika modal ekonomi ditransformir menjadi modal religius. Dasar
materiil proses ini ialah prasarana agama seperti masjid, langgar (surau), dan sekolah
agama, yang didirikan oleh pelindung yang kaya. Patron wakaf ini sangat bergantung
pada para pedagang elite dan oleh karena itu sangat peka terhadap perkembangan
konjungtur. Cara perlindungan ini menjelaskan pula, mengapa sebagai akibat
konjungtur tinggi pada tahun 1920-an, prakarsa baru dikembangkan di bidang
agama. Kekayaan baru yang dihasilkan kopi dan karet, baik di kota maupun di
pedesaan, diinvestasikan lagi di bidang agama dalam bentuk wakaf. Akibat etos

24
religius ini, sesudah tahun 1925 terjadi persaingan yang meningkat antara pedagang
kaya, sebagai pelindung agama.

4. Perkembangan Pendidikan Islam di Palembang


Persaingan yang terjadi antara pedagang kaya di ibukota Keresidenan Palembang
menyebabkan perubahan struktural di bidang pengajaran agama. Sesudah tahun
1925, pengajaran agama di Palembang masih bersifat tradisional. Pengajaran hanya
diberikan di langgar dan masjid kepada kelompok murid dari usiayang berbeda-beda.
Pertama-tama diajarkan mengaji Al-Quran tanpa terlalu memperhatikan
pemahamannaskah yang dibaca maupun lagu yang tepat. Tahap awal ini kemudian
disusul dengan pengajaran bahasa Arab yang terutama terdiri dari menghafal naskah
sederhana. Mereka yang dengan cara ini telah menguasai bahasa Arab, diizinkan
untuk mengikuti pelajaran yang diberikan ulama terkemuka, yang membacakan kitab
kuning dalam bahasa Arab dan memberikan komentar dalam bahasa Melayu.
Sesudah tahun 1900, bentuk tradisional demikian makin dikritik. Untuk dapat
bersaing dengan sektor pendidikan kolonial, guru agama Islam mulai mengadakan
pembaharuan sehingga isi maupun organisasi pengajaran agama berubah banyak
sekali. Dalam dasawarsa pertama abad ke-20, di Jawa dan di Minangkabau didirikan
madrasah, yang untuk pertama kali memberikan pelajaran di dalam kelas. Di sekolah
baru ini, perhatian banyak diberikan kepada pelajaran bahasa Arab, supaya murid
lebih mengerti naskah, dan untuk itu dikembangkan bahan pelajaran baru dibantu
alat didaktis yang lain, seperti papan tulis dan bangku sekolah, yang untuk pertama
kali diperkenalkan di kelas. Di berbagai sekolah agama sebagian dari kurikulum
disediakan untuk mata pelajaran umum seperti sejarah dan ilmu bumi.
Pada awal abad ke-20, bentuk pengajaran baru seperti ayng dikembangkan di Jawa,
belum mendapat banyak perhatian di Palembang. Di ibukota Keresidenan Palembang
pendidikan agama Islam baru menerima impuls pembaharuan ketika pada tahun 1924
beberapa saudagar berkumpul untuk mendirikan suatu organisasi perdagangan
Perkoempoelan Dagang Islam Palembang. Pada rapat pertama, dirumuskan dwi-
tujuan organisasi yang akan memperjuangkan kepentingan ekonomi anggota,
sekaligus meningkatkan kualitas pengajaran agama Islam di Palembang (IPO 1924:
370). Pada tahun berikut, dimulai pengumpulan uang, dan dengan dana ini PDIP
kemudian mendirikan madrasah di Kampung Sekanak, dekat dermaga perdagangan.

25
Madrasah Diniyah Aliyah ini bukan saja contoh yang baik dari hubungan erat antara
perdagangan dan lembaga Islam, melainkan juga merupakan ilustrasi nyata dari
peranan bentuk perlindungan dalam proses Islamisasi, dan persaingan antara
pelindung agama yang meningkat pesat selama periode konjungtur tinggi.
Pada awalnya madrasah ini dimaksudkan sebagai proyek kolektif kaum dagang di
Palembang. Pada rapat pertama pengumuman pendirian sekolah agama disambut
dengan penuh antusias, kemudian diadakan acara buka dompet guna mengumpulkan
dana bagi pembangunan gedung sekolah. Sayangnya antusiasme para pendiri PDIP
cepat berkurang, sehingga dalam praktiknya Madrasah Diniyah Aliyah semata-mata
mengandalkan bantuan firma H. Akil , suatu perusahaan besar yang aktif dalam
perdagangan kopi dan karet di pelabuhan Palembang. Perkoempoelan Dagang Islam
Palembang dengan cara halus kemudian diubah menjadi Perkoempoelan Dagang
Bangsa Melajoe.
Bagi masyarakat Palembang yang didominasi minoritas Arab, perubahan nama ini
bukan tanpa arti. Pada tahun 1907, beberapa keluarga Arab telah mengembangkan
prakarsa baru di bidang pendidikan dengan mendirikan suatu perkumpulan Arab
yang bernama Al-Ihsan. Inisiatif ini agak dirangsang oleh rasa persaingan yang kuat
dengan minorits Cina, yang terlebih dahulu telah membuka sekolahnya.
Perkumpulan Al-Ihsan kemudian mendirikan sekolah dengan nama sama demi
kepentingan pendidikan kaum sayid. Selain sekolah Al-Ihsan, pada tahun 1914
didirikan Madrasah Arabiyah di Kampung 13 Ulu, tempat tinggal marga Al-
Munawar, yang termasuk sayid kelas tinggi.Sekolah yang dibiayai keluarga Al-
Munawar ini, terutama dikunjungi oleh anak-anak (Arab) dari kampung-kampung
sekitar 13 Ulu. Di kedua madrasah ini, pengajaran masih diatur menurut model
tradisional sehingga tidak jauh berbeda dengan isi kurikulum seperti yang diberikan
di langgar. Oleh karena itu, minat masyarakat Palembang di luar kampung Arab
untuk mengikuti pelajaran di madrasah ini tidak terlalu besar sehingga sekolah itu
hidup agak lesu.
Persaingan dari Madrasah Diniyah Aliyah yang dibiayai Perkoempoelan Dagang
Bangsa Melajoe mengakhiri keadaan ini, dan dengan begitu rangsangan baru
diberikan kepada lembaga pendidikan kaum sayid. Dua puluh tahun sesudah
pendirian Madrasah Al-Ihsan yang pertama, perkumpulan ini didirikan lagi dan

26
kemudian disusun suatu panitia sekolah yang terdiri atas anggota muda bangsa
Alawiyin yang terutama berasal dari bagian ilir kota. Di sekolah baru ini pengajaran
diberikan dengan sistem kelas, berdasarkan kelompok umur, kepada anak lelaki
maupun perempuan di tingkat sekolah dasar (ibtidaiyah). Di bagian Ulu kota,
prakarsa Al-Ihsan diambil alih oleh Sayid Muhammad Al-Munawar, yang pada tahun
yang sama mengadakan reorganisai di Madrasah Arabiyah. Guna meningkatkan
mutu pendidikan, didatangkan guru dari Jamiat Al-Khair di Betawi, dan kemudian
pengetahuan umum seperti bahasa Belanda dan Inggris, dimasukkan dalam
kurikulum Madrasah Arabiyah.
Walaupun madrasah-madrasah yang didirikan sesudah tahun 1925 berhasil
melakukan pembaharuan di bidang pendidikan agama, jika ditinjau dari segi sosial,
lembaga ini masih mewakilki pola lama yang telah dikembangkan selama abad ke-
19. Hampir semua madrasah yang didirikan sesudah tahun 1925 menggantungkan
diri pada dukungan pelindunganya. Ketergantungan ini tidak hanya terasa di bidang
keuangan tetapi juga mendapat ekspresi secara simbolis. Para pelindung madrasah
menjadi pusat perhatian masyarakat, dan rangkaian seremoni baru diperkenalkan
untuk menegaskan martabat dan penampilan mereka.
Pendidikan Islam di Palembang dan Sumatera Selatan pada umumnya, menurut
Mahmud Yunus, lebih banyak mengikuti pendidikan Islam di Jawa ketimbang
Minangkabau. Pesantren-pesantren lama yang ada di Sumatera Selatan hampir sama
dengan pesantren-pesantren yang ada di Jawa. Di Sumatera Selatan tidak dikenal
kitab Dlammun, sebagaimana juga di Jawa. Begitu juga kitab Safinatun Najah yang
tidak dikenal di Minangkabau dikenal di Sumatera Selatan dan Jawa.

27
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa gerakan Islam merupakan satu
fenomena yang mencerminkan jiwa zamannya. Lingkungan kultural dan sosial
mendorong seseorang untuk berbuat sesuatu dan membangun jaringan, merumuskan
masalah, mencari jalan keluar, dan melakukan tindakan reformasi sosial dan kultural.
Faktor eksternal yang merupakan faktor penentu bagi munculnya proses transformasi
dapat berlangsung secara lebih cepat daripada faktor internal. Peran media massa
sangat menunjang keberhasilan sosialisasi gagasan baru baik dalam skala nasional
maupun internasional.

28
Gerakan reformasi Islam telah berhasil menunjukkan keberhasilannya secara fisik.
Lembaga pendidikan, fasilitas pelayanan sosial, seperti rumah sakit, gedung
perkantoran, dan sarana-prasarana fisik lainnya, sudah berhasil diwujudkan.
Efektivitas dari gerakan reformasi yang sudah berlangsung hampir satu abad masih
memendam pertanyaan besar yaitu seberapa jauh gerakan ini berhasil menjawab
tantangan jaman. Negara Indonesia yang mengalami krisis kepemimpinan saat ini
belum mampu menghadirkan tokoh yang bisa memberikan keteladanan.

B. Saran
Saran bagi yang sempat membaca makalah ini agar bisa mengambil hikmah dari
sebuah cerita awal kelahiran Islam di Indonesia, terutama pada organisasi Islam
seperti Muhammadiyah, Persatuan Islam, NU dan Masumi yang bertujuan untuk
melancarkan kemurnian akidah Islam.

DAFTAR PUSTAKA

Alfian, 1989. Muhammadiyah the Political Behavior of a Muslim Modernist Organization under
Dutch.
Dobbin, C. 1992. Kebangkitan Islam dalam Ekonomi Petani yang Sedang Berubah, Sumatra
Tengah 1794-1847. Jakarta: INIS.
Sari. 2012, Gerakan Pembaharuan Islam Di Indonesia.

29

Anda mungkin juga menyukai