Anda di halaman 1dari 38

Rabu, 27 Januari 2016

MAKALAH PENGANTAR STUDI ISLAM “FILANTROPI ISLAM”

MAKALAH PENGANTAR STUDI ISLAM


“FILANTROPI ISLAM”

Disusun oleh Kelompok 13 :


Ellen Tinoko Ranti (15430019)
Milki Rizki Hasanah (15430020)
Desi Wulandari (15430021)

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN


UIN SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA 2015/2016
6

1
BAB II
PEMBAHASAN
A.Pengertian Filantropi secara Umum
Filantropi (bahasa Yunani: philein berarti cinta, dan anthropos berarti manusia)
adalah tindakan seseorang yang mencintai sesama manusia, sehingga menyumbangkan
waktu, uang, dan tenaganya untuk menolong orang lain. Istilah ini umumnya diberikan pada
orang-orang yang memberikan banyak dana untuk amal. Biasanya, filantropi seorang kaya
raya yang sering menyumbang untuk kaum miskin.
B.Pengertian Filantropi Islam
Filantropi berasal dari dunia Barat yang berarti kedermawanan . Filantropi Islam
dapat diartikan sebagai pemberian karitas (charity) yang berdasarkan pada pandangan untuk
mempromosikan keadilan social dan maslahat bagi masyarakat umum . Dalam ajaran Islam ,
wacana filantropi sesungguhnya sudah ada dan melekat dalam system teologi yang
dimilikinya dan telah dipraktekan sejak dahulu dalam bentuk zakat , wakaf , dan sebagainya .
Khusus di Indonesia , praktik-praktik tersebut masih berlangsung secara konvensional , yaitu
melalui hubungan perseorangna yang disalurkan secara langsung , sehingga kegiatan karitas
lebih banyak bersifat konsumtif ketimbang produktif . Pada gilirannya , hal itu tidak mampu
mencapai keadilan social sebagaimana tujuan akhir dari Filantropi Islam itu sendiri .
Secara factual, selama ini usaha-usaha Filantropis yang dilakukan oleh pemerintah ,
organisasi social Islam, LSM dan sebagainya , seperti Domper Dhu’afa , LAZIZ
Muhammadiyah , Yayasan Dana Sosial , Yayasan Daarut Tauhid , Yayasan Sosial Ummul
Quro’ , Baitul Mal , Rumah Zakat , Bank Mu’amalat , dll. Terbukti telah berhasil
menghasilkan dana sebesar 31.7 milliar dalam setahun . Maka , apabila segi-segi dan mutu
organisasional praktik filantropi islam ditingkatkan , maka bukan mustahil upaya ini dapat
menjadi kekuatan potensial untuk membangun masyarakat Indonesia yang potensial untuk
membangun masyarakat Indonesia yang sejahtera .
2
C.Historisitas Filantropi
Sejarah menunjukkan bahwa sesungguhnya pada masa awal-awal Islam, lembaga-
lembaga filantropi telah berdiri. Ada satu inklinasi (kecenderungan) di kalangan para
penguasa Muslim, sejak Daulah Abbasiyah hingga Turki Usmani, yang selalu
mengejawantahkan filantropi mereka dalam pelbagai bentuk kelembagaan khususnya
pendidikan dan madrasah. Kasus Madrasah Nizhamiyah di Baghdad abad ke-10 dan ke-11
layak menjadi acuan, dimana pemerintah memberikan support dana atas semua kegiatan
secara maksimal. Pendirian madrasah tersebut merupakan religious endowment (sedekah)
dari penguasa pada masa itu. Begitu pula Dinasti Turki Usmani pada abad ke-18 dan ke-19
M., menunjukkan religious endowment yang begitu besar dalam bentuk scholarly endowment
(bantuan beasiswa). Pemerintah Turki Usmani menyisihkan sejumlah tertentu dari anggaran
belanjanya untuk kepentingan beasiswa para penuntut ilmu di kota-kota pusat keilmuan
seperti Kairo, Makkah, dan Madinah.
Kita juga dapat belajar tentang filantropi Islam ini dari Universitas Al-Azhar, Mesir.
Al-Azhar adalah sebuah lembaga pendidikan yang amat kaya. Hal itu dapat dilihat dari harta
wakafnya dan juga hasil-hasil usaha lainnya. Aset Al-Azhar amat melimpah, hal itu belum
termasuk ZIS (zakat, infak, sedekah), yang terjadi sampai tahun 1961. Pemerintah Mesir kala
itu juga amat segan dengan eksistensi Al-Azhar. Namun demikian, Presiden Mesir saat itu,
Gamal Abdul Nasser, tampaknya sangat menyadari kekuatan baru yang tersembunyi di Al-
Azhar. Ia kemudian melakukan nasionalisasi secara paksa atas seluruh harta wakaf Al-Azhar.
Selanjutnya Al-Azhar dijadikan bagian dari struktur negara; Syaikh Al-Azhar diangkat
sebagai pejabat setingkat perdana menteri dan digaji oleh negara. Akhirnya masyarakat
menilai bahwa Al-Azhar tidak lagi menjadi lembaga independen atau menjadi kekuatan
penyeimbang kekuasaan. Sampai sekarang, dibawah pemerintahan Husni Mubarak, Al-Azhar
dikooptasi dan menjadi bagian negara. Di Indonesia sendiri, filantropi ini mulai menguat
dalam pelbagai bentuknya kira-kira pada abad ke-19 M. Hal itu ditandai oleh pertumbuhan
madrasah-madrasah, termasuk dengan pertumbuhan pesantren-pesantren. Pada abad ke-20
M., sekolah-sekolah Islam, Muhammadiyah, Nahdatul Ulama (NU), dan sejenisnya, sangat
terkait dengan philantrophism tersebut.
3
kolonial. Pasca kemerdekaan, nature ini tetap bertahan. Lembaga-lembaga pendidikan
Islam maupun masjid-masjid mampu mengurus diri mereka sendiri. Untuk kasus aktivitas
masjid misalnya, jika dibandingkan dengan Malaysia, maka terdapat perbedaan yang amat
mencolok. Di Malaysia, institusi rumah ibadah amat tergantung dengan pemerintah.
Konsekuensinya, para pengurus masjid maupun khatib menjadi tidak independen. Seorang
khatib tidak dapat berkhutbah kecuali dengan teks yang telah disiapkan dari kantor Perdana
Menteri. Di Indonesia hal itu tidak terjadi, salah satunya karena Departemen Agama tidak
cukup mempunyai wibawa untuk menyiapkan semua itu.
Pada tahun 90-an, eksistensi filantropi di Indonesia terlihat semakin membaik. Hal
tersebut terlihat tidak saja pada pendirian masjid, pesantren, maupun madrasah, tapi juga
penyaluran beasiswa untuk para penuntut ilmu. Tentu saja hal ini merupakan fenomena yang
menggembirakan dibanding dengan yang terjadi di Timur Tengah. Jika ada orang kaya Arab
yang ingin menyumbangkan uangnya, kebanyakan mereka memilih membangun masjid
ketimbang memberikan uangnya untuk berbagai ragam penelitian ilmiah dan pembiayaan
pendidikan mahasiswa. Padahal untuk konteks Indonesia, pemberian beasiswa jauh lebih
signifikan dibanding dengan membangun masjid. Mengingat di Indonesia sudah banyak
masjid, itupun tidak sedikit yang kosong. Apalagi di benak sebagian besar umat Islam
tersimpan keyakinan bahwa orang yang membangun masjid akan pula dibangunkan untuknya
rumah di surga kelak.
Karenanya, pelbagai bentuk terobosan baru di dalam filantropi Islam dalam rangka
merealisir keadilan sosial perlu ditingkatkan. Filantropi itu diharapkan tidak saja memberikan
terobosan-terobosan baru dalam bentuk kelembagaannya, tetapi dalam ranah interpretasi
doktrinalnya. Hal itu tentu saja akan menjadi sebuah landasan normatif baru yang mengarah
pada kemakmuran secara luas. Akibatnya seorang penderma merasa senang dan nyaman,
sementara pihak-pihak yang layak dibantu mendapatkan hak-haknya. Karena itu, eksistensi
filantropi Islam ini sangat menantang, kaitannya tidak hanya pada kemakmuran material, tapi
juga pencerdasan masyarakat melalui beragam beasiswa bagi para peserta didik di setiap level
pendidikan. Allahu a’lam.
4
D.Kelembagaan Filantropi
Menurut Khalid mas’ud, tidak tersedia data yang memadai mengenai sejarah
penghimpunan dan distribusi zakat pada masa awal islam. Beberapa informasi dapat di
telusuri dalam kitab-kitab fikih, namun secara keseluruhan tidak ada data terperinci mengenai
pengadministrasian zakat tersebut. Ada pandangan umum bahwa zakat mulai di perintahkan
untuk di tunaikan di kota madinah tahun ke dua pasca hijriah. Beberapa ahli hukum islam
menegaskan bahwwa ayat-ayat zakat yang di wahyukan di mekah sebagai asal muasal zakat.
Penghimpunan dan pendistribusian zakat di perkenalkan oleh nabi Muhammmad
SAW dan di perteguh kembali pada masa khalifah Abu Bakar. Namun khalifah umar lah
yang mensistemasi institusi tersebut. Umar memapankan pos pos penghimpunan zakat untuk
para pedagang, dan menghentikan pembayaran bagi non muslim. Memasuki abad ke 12
masehi tampaknya penghimpunan zakat oleh Negara telah berkurang. Penghimpunan yang
resmi lebih berkaitan dengan hasil ladang dan perdagangan.

Kelembagaan filantropi islam di Indonesia


Filantropi islam telah mengakar dalam praktik masyarakat islam di Indonesia sejak
lama. Zakat, yang menjadi focus utama kajian di sini, adalah suatu kegiatan keagamaan yang
nilai dan praktiknya setua masuknya islam di nusantara. Secara sepesifik, masyarakat muslim
telah mempraktikan zakat sejak abad ke 13 masehi ( Amelia fauzia dan Ari hermawan, 2003 ;
159-162) bahkan menurut Daud ali masyarakat islam di nusantara telah menggunakan zakat
sebagai sumber dana untuk menggembangkan ajaran islam, dan juga melawan penjajah.
Adalah K.H Ahmad dahlan pada awal abad ke 20 yang mengusulkan perlunya di
bentuk pengelolaan zakat secara terlembaga. Karenanya, fenomena kelembagaan filantropi
islam melalui organisasi modern di Indonesia adalah fenomena baru.

5
E.Ruang Lingkup Filantropi Islam di Indonesia
Ruang lingkup mengandung arti luasnya subjek yang tercakup. Ruang lingkup filantropi yang
di kenal luas mencakup kegiatan Zakat, Infaq, Shadaqoh, dan Wakaf.
1. Zakat
Menurut malik Ar-rahman, zakat berarti al-barakatu (kebrekahan). Sedangkan menurut
terminology syariah, zakat merupakan kewajiban atas sejumlah harta tertentu dalam waktu
tertentu. Harta yang di keluarkan zakatnya akan menjadi berkah, tumbuh, berkembang dan
tambah, suci dan membawa kebaikan
2. Infaq
Infaq berasal dari kata anfaqa yang berarti mengeluarkan sesuatu (harta) untuk kepentingan
sesuatu. Menurut terminologi syariah infaq berarti mengeluarkan sebagian dari harta atau
pendap[atan (penghasilan) untuk suatu kepentingan yang di perintahkan ajaran islam. Orang
yang mengeluarkan infaq adalah munfiq.
3. Sedekah
Sedekah berasal dari kata shadaqa yang berarti benar.orang yang suka bersedekah adalah
orang yang benar pengakuan imannya. Menurut etimologi sedekah = infaq, termasuk juga
ketentuan dan hukumnya.
4. Wakaf
Wakaf dikatakan sebagai jenis ibadah maliyah yang spesifik. Asal katanya dari kata wa-ka-fa
yang artinya tetap atau diam. Maksudnya bahwa seseorang menyerahkan harta yang tetap ada
terus wujudnya namun selalu memberikan manfaat dari waktu ke waktu tanpa kehilangan
benda aslinya.

6
Filantropi Islam
Melakukan tindakan amal untuk kepentingan orang lain adalah suatu bentuk
perbuatan yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Hampir semua tradisi
agama,tindakan memberikan bantuan materidan non materi pada orang lainadalah suatu
kewajiban sekaligus suatu bentuk ketaatan kepada tuhan. Filantropi sebenarnya merupakan
sebuah istilah untuk menunjukkan ragam bantuan tersebut. Kata itu dipilih,mengingat tidak
ada istilah yang lebih tepat digunakan untuk “pemberian” dalam konteks keagamaan maupun
sekuler (non keagamaan).

Penggalangan Dana Filantropi


Menurut survey PBB UIN Jakarta, terdapat tiga strategi yang di lakukan OFI untuk
meraih donor : pertama mempertahankan kejujuran dalam distribusi dalam keluarga
penerima, kedua mempertahankan citra yang baik dari anggota pengurus harian ketiga
mempertahankan prosedur-prosedur yang transparan. Dalam aspek penggalangan dana,
kreatifitas mutlak di butuhakan oleh OFI, mereka hanya mengandalkan sumber-sumber
pendanaan yang konvensional. Organisasi filantropi (LAZIS) akan gagal kalau tidak bias
mandiri atau hanya bergantung kepada bantuan pemerintah.

Distribusi Dana Filantropi


Aspek distribusi penting dalam kehadiran OFI. Bahkan, ia berperan sebagai satu tolak
ukur dalam menentukan apakah OFI berorientasi keadilan social atau karitas. Distribusi dana
filantropi terdapat dua pola penyaluran zakat yaitu pola tradisional (konsumtif/karitas) dan
pola penyaluran produktif ( pemberdayaan ekonomi/ social).

7
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Filantropi (bahasa Yunani: philein berarti cinta, dan anthropos berarti manusia)
adalah tindakan seseorang yang mencintai sesama manusia, sehingga menyumbangkan
waktu, uang, dan tenaganya untuk menolong orang lain. Istilah ini umumnya diberikan pada
orang-orang yang memberikan banyak dana untuk amal.
Filantropi berasal dari dunia Barat yang berarti kedermawanan . Filantropi Islam
dapat diartikan sebagai pemberian karitas (charity) yang berdasarkan pada pandangan untuk
mempromosikan keadilan social dan maslahat bagi masyarakat umum .Ruang Lingkup
Filantropi Islam di Indonesia. Ruang lingkup mengandung arti luasnya subjek yang tercakup.
Ruang lingkup filantropi yang di kenal luas mencakup kegiatan Zakat, Infaq, Shadaqoh, dan
Wakaf.
8
DAFTAR PUSTAKA

9
Diposkan oleh Nur Arifah di 11.36
Kedermawanan atau filantropi bukan hal yang baru dalam sejarah Islam. Masalah filantropi
menjadi salah satu bagian penting dari ajaran atau doktrin Islam, yang diterima Nabi
Muhammad saw. sejak lima belas abad lalu. Banyak ayat Al-Quran maupun Al-Hadits yang
menegaskan pentingnya berderma kepada sesama manusia.

Lihat, misalnya, ayat Al- Quran (QS, Al-Tawbah, 9: 103) yang artinya; “Ambillah zakat dari
sebagian harta mereka. Dengan zakat itu, kamu membersihkan dan mensucikan mereka, dan
berdoalah untuk mereka. Sesungguhnya doamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka.
Dan, Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” Dalam beberapa ayat Al-Quran dan
Al-Hadis dapat kita temukan ajaran-ajaran Islam yang menganjurkan kedermawanan dalam
pelbagai bentuknya. Filantropi Islam sendiri memang memiliki cakupan yang sangat luas,
mulai dari masalah wakaf, infak, sedekah, hingga zakat. Bahkan, kedermawanan tidak hanya
terbatas pada hal-hal yang bersifat material, tetapi juga pada hal-hal yang bersifat spiritual.
Dalam hal ini, senyum dapat disebut sebagai salah satu bentuk kedermawanan.

Kedermawanan atau filantropi merupakan salah satu bentuk ajaran Islam tentang kepedulian
dan keadilan sosial kepada sesama manusia. Di dalam doktrin Islam, orangorang yang tidak
memiliki kepedulian terhadap anak yatim, orang fakir-miskin, dan kaum duafa lainnya,
misalnya, dikategorikan dan dimasukkan sebagai pendusta agama.

Hal ini dipertegaskan dalam ayat Al-Quran (QS Al-Mâ’ûn, 107: 1-7) yang artinya; “Tahukah
kamu (orang) yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim, dan
tidak menganjurkan memberi makan orang miskin, (yaitu) orang yang lalai dari salatnya,
orang-orang yang berbuat riya, dan enggan (menolong) dengan barang berguna.” Jadi,
pendusta agama adalah orang yang rajin mendirikan salat dan taat menjalankan ibadah-
ibadah wajib, namun tidak memiliki perilaku sosial yang baik terhadap sesama manusia.

Secara doktrinal, masalah filantropi memang telah ada sejak Islam diterima Rasulullah saw.
Namun, dari sudut akademis dan kelembagaan, masalah filantropi Islam merupakan salah
satu bidang yang tampaknya masih terbengkalai dan belum menjadi kajian serius, khususnya
di Indonesia. Secara historis disebutkan, bahwa ada suatu kecenderungan di kalangan para
penguasa muslim, sejak Daulah Abbasiyah hingga Turki Utsmani, yang selalu menunjukkan
filantropi mereka dalam pelbagai bentuk kelembagaan, khususnya pendidikan dan madrasah.
Dalam hal ini, menarik untuk dikaji pendirian lembagalembaga tersebut, yaitu berkenaan
dengan lembaga-lembaga yang disokong dan dibiayai sepenuhnya oleh penguasa atau
pemerintah. Sebagai contoh kasus adalah Madrasah Nizhamiyah yang didirikan pada abad
ke-10 dan ke-11 M. di Baghdad. Pendirian madrasah tersebut merupakan religious
endowment dari penguasa pada masa itu. Juga, Dinasti Turki Utsmani pada masa modern
(abad ke-18 dan ke-19 M.) yang memberikan religious endowment yang cukup besar dalam
bentuk scholarly endowment.

Kita tahu bahwa Pemerintah Turki Utsmani menyisihkan jumlah tertentu dari anggaran
belanjanya untuk kepentingan beasiswa bagi para penuntut ilmu di kota-kota pusat keilmuan
seperti Kairo, Makkah, dan Madinah. Sementara itu, Universitas Al-Azhar di Mesir menjadi
satu contoh filantropi Islam yang amat luar biasa dengan harta wakafnya dan juga hasil-hasil
usaha lainnya. Belum termasuk pula yang berbentuk charities dalam bentuk ZIS. Karenanya,
Universitas Al-Azhar menjadi sangat independen, bahkan anggaran belanja lembaga
pendidikan Islam ini lebih besar dari anggaran belanja negara Mesir sendiri. Tetapi, dalam
perkembangan berikutnya, pada 1961, pemerintah Mesir di bawah Presiden Nasser
melakukan nasionalisasi secara paksa atas seluruh harta wakaf Al-Azhar. Al-Azhar pun
kemudian dijadikan bagian dari struktur negara; anggarannya ditetapkan dan diberikan oleh
negera; Syaikh Al-Azhar dijadikan pejabat setingkat Perdana Menteri dan digaji Pemerintah.
Akibatnya, Al-Azhar tidak lagi menjadi lembaga independen atau menjadi kekuatan
penyeimbang kekuasaan.

Naskah-Naskah tentang Islamisasi Nusantara Nilai-nilai filantropi Islam tentu membawa


perubahan pada masyarakat Nusantara, dan zakat berperan besar di sini, karena walau
bagaimanapun juga, tampaknya masyarakat Nusantara mengharapkan bahwa Islam akan
dapat mengubah masyarakat sedikit demi sedikit dibandingkan ketika mereka masih
menyembah berhala.3 Memang tidaklah berlebihan bila dikatakan bahwa Islam banyak
membawa perubahan pada masyarakat di Nusantara. Sebagai contoh, kontrol sosial sebagai
manifestasi nilai-nilai keislaman di Nusantara tertuang dalam teks Tajul Salatin. Dalam salah
satu babnya, teks tersebut tertulis penuh celaan terhadap orang-orang bakhil dan pujian bagi
orang yang mau bermurah hati. “Hendaklah yang raja itu melebih hormat akan segala fakir
dan miskin dan dimuliakan mereka itu terlebih daripada segala orang kaya dan harus
senantiasa duduk dengan mereka itu…”.4 Semangat egalitarianisme di atas belum
sepenuhnya bisa dilakukan, terlebih lagi di kalangan elite kerajaan. Dalam Adat Raja-Raja
Melayu, sedekah dan zakat yang dikeluarkan oleh raja kepada fakir dan miskin diberikan
pada saat diadakan upacara kerajaan seperti Upacara Kelahiran, Upacara Memotong Rambut,
dan Upacara Membayar Nazar. Sedekah yang dikeluarkan raja pun tidak tanggung-tanggung,
yaitu berupa emas, perak, dan pakaian kepada fakir miskin di seluruh negeri.5 Sedekah dan
zakat yang diberikan raja dipakai sebagai alat melanggengkan kekuasaannya. Dalam kasus
Nusantara, zakat merupakan suatu anasir penting dari tata hukum yang ada, baik hukum
positif ataupun moralitas umum yang disosialisasikan melalui teks-teks bernafaskan Islam.

Semangat dalam naskah yang terdapat pada kerajaan-kerajaan di wilayah barat Nusantara
tidak banyak berbeda dengan teks-teks yang ditemukan sekitar abad ke-16 di wilayah Jawa
walau naskah ini adalah naskah-naskah fikih dan akhlak. Misalnya dalam Wejangan Sheh
Bari, di dalamnya terdapat satu bagian tentang kebajikankebajikan pemberian sedekah secara
diam-diam, yang tidak diketahui siapa pun kecuali kepada Tuhan.6 Sedangkan kitab tentang
Akhlak Islam yang disunting Drewes juga mengatakan tentang perlunya zakat: “Zakat itu
adalah kewajiban nyata yang harus ditunaikan sesuai dengan banyaknya harta milik masing-
masing (sakadare artane); barangsiapa mempunyai kekayaan entah disimpan entah diputarkan
tidak boleh tidak membayar zakat dengan sejujurnya tanpa kecurangan.”7 Sistem zakat ini
merupakan suatu perkembangan yang sangat luas implikasinya pada masyarakat Nusantara.
Lombard mengatakan bahwa cita-cita “masyarakat baru” ini, yang bersandarkan dirinya pada
hukum Islam, adalah suatu pergerakan menuju masyarakat yang bersifat egaliter.

Di dalam Undang-undang Melaka tidak dicantumkan pentingnya zakat, atau, secara spesifik
tidak mewajibkan para pedagang dan elite-elite masyarakat Nusantara yang bermukim di
Melaka untuk membayar zakat. Sehingga zakat mendapatkan status hukumnya dalam sebuah
konstitusi. Secara umum, Undang-undang Melaka berisi tentang hukum-hukum mengenai
pembunuhan, pelanggaran hak milik, pelecehan seksual, perlawanan terhadap pemerintah,
aturan-aturan mengenai perdagangan dan sistem agraria, dan hukum mengenai perbudakan.
Dari sini dapat diasumsikan bahwa lembaga filantropi Islam belum terejawantahkan pada
tatanan masyarakat Nusantara dalam bentuk pengelolaannya yang mapan. Paling tidak,
dengan munculnya teks-teks yang menganjurkan seseorang untuk bersedekah dan berzakat
dan tidak adanya ketentuan hukum mengenai hal tersebut dalam Undang-undang Melaka,
dapat dikatakan bahwa pada abad-abad pertama masuknya Islam di Indonesia, aspek
filantropi Islam masih sebatas tindakan imperatif-etis. Hal ini tampaknya terkait dengan
tahap-tahap Islamisasi yang terjadi secara gradual di Nusantara, dari “Islam campuran” atau
heterodoksi ke “Islam Skriptural” atau ortodoksi. Hal lain yang cukup penting adalah
semangat pemerintahan Muslim mewajibkan zakat dan menghukum orang yang tidak
melakukan kewajiban tersebut kemungkinan besar tidak sampai ke Nusantara (Amelia dan
Ary). Bahkan, menurut Gregory C. Kozlowski, sedikit sekali pemerintah Muslim yang
melakukan hal itu, kecuali pada masa awal perkembangan Islam.8 Masjid dan Administrasi
Kerajaan Masjid merupakan pusat kegiatan sosial-keagamaan umat Islam.

Di Aceh seorang imam ditunjuk untuk memimpin penyelenggaraan ritual-ritual keagamaan di


masjid, kemudian kita juga mengenal sebutan kadi atau penghulu. Jabatan ini selalu
dihubungkan dengan tugas-tugas keagamaan, terutama dalam bidang peradilan dan hukum
Islam. Seperti juga jabatan keagamaan yang ada di Jawa, di Palembang juga dikenal istilah
penghulu, yaitu jabatan keagamaan di bawah administrasi kesultanan untuk mengatur
persoalan-persoalan keagamaan. Oleh karena itu, penghulu berperan besar dalam mengelola
keuangan masjid (yang bersumber melalui zakat, sedekah, hibah maupun wakaf) karena
tugasnya adalah memimpin sebuah masjid.9 Praktik Filantropi dan Otoritas Keagamaan pada
Masa Kolonial Wacana keislaman pada periode kolonial tidak bisa mengesampingkan nama
Dr. C. Snouck Hurgronje (1857-1936) yang merupakan Penasihat Urusan Pribumi dan Islam,
bekerja pada Het Kantoor voor Inlandsche zaken mulai pada 1899 sampai 1906.

Data mengenai praktik filantropi sebagian besar didapat dari tulisan dan surat-surat Snouck
yang ditujukan kepada Gubernur Jenderal atau pejabat-pejabat daerah (Bupati, Residen,
Asisten Residen) di wilayah Hindia Belanda. Pengetahuan Snouck yang mendalam tentang
hukum Islam dan pranata sosial keagamaan di wilayah-wilayah Hindia Belanda membuat
nasihatnasihatnya begitu berarti dan penting. Namun statusnya sebagai pejabat kolonial yang
terkadang bertabrakan dengan semangat liberal yang dibawanya telah memberi wacana bagi
praktik filantropi Islam di Nusantara. Dengan nasihat-nasihatnya, Snouck adalah tokoh yang
paling berpengaruh dalam pemutusan kebijakan-kebijakan kolonial terhadap bentuk
pengelolaan kas masjid yang didapatkan melalui zakat dan biaya pernikahan, serta wakaf.
Pemerintah Kolonial dan Pengelolaan Zakat Dari hasil penelitian Snouck dan data yang
didapatkannya dari wilayah-wilayah di Nusantara, terlihat bahwa zakat mal, zakat fitrah,
sedekah, serta sumbangan-sumbangan lain keagamaan sudah melembaga dalam masyarakat.
Penekanan terhadap wajibnya zakat dan benda yang dikeluarkan zakatnya berbeda dari satu
tempat dengan tempat lainnya, misalnya, zakat ternak boleh dikatakan tidak pernah ditarik di
Jawa dan Madura.

Zakat logam mulia dan barang dagangan pun langka sekali. Di Priangan penarikan zakat hasil
pertanian padi begitu ditekankan, tapi tidak di wilayah Jawa.10 Zakat mal tidak banyak
ditemukan di Jawa, tapi tradisi pembagian zakat mal secara besar-besaran dilakukan di
Madura.11 Di Jawa, sifat zakat adalah sukarela dan tidak pernah seperti pajak. Hal ini
berbeda dengan di Priangan. Ada beberapa faktor penting yang membuat sifat zakat begitu
berbeda di dua tempat itu sehingga membuat penghasilan zakat yang sangat berbeda
banyaknya. Di Jawa, tekanan pajak yang begitu tinggi menjadi tidak mungkin untuk menarik
zakat hasil pertanian dari penduduk. Hal lain, menurut Snouck, terdapatnya pengetahuan
yang cukup mengenai syariat Islam, adanya ketekunan para pemimpin, kepemilikan tanah
secara komunal, dan rasa keagamaan yang tinggi di daerah Priangan. Bagi sebagian
penduduk, zakat fitrah itu dianggap sebagai tebusan dosa selama satu tahun. Tradisi
menyerahkan fitrah dalam bentuk uang, selain beras, juga sudah. Dan penduduk tidak merasa
memiliki kewajiban untuk mengeluarkan zakat itu termasuk kepada siapa zakat itu
diserahkan. Kebanyakan penduduk mengharapkan berkah dari zakat yang mereka keluarkan.
Dan, hanya petani kaya yang saleh saja yang mau mengeluarkan zakat pertanian dan barang
dagangan.12 Kepada siapa zakat diberikan? Menurut Snouck, di Jawa sama sekali tidak ada
aturan.

Sebagian penduduk memberikan zakat fitrah anaknya yang masih kecil kepada bidan yang
menolong kelahiran anak tersebut; jika anak itu sudah mengaji, maka fitrah diberikan kepada
guru ngaji anak-anak tersebut, dan untuk penduduk dewasa, fitrah dapat diberikan kepada
lebai (yang suka membacakan doa), modin, amil, kiai, atau penghulu. Menurut Snouck, ada
penduduk yang berpandangan bahwa zakat fitrah disalurkan kepada kiai dengan harapan
mereka mendapat berkah dari kiai itu dan dari mustahik yang menerima zakat yang tersebut.
Namun sama sekali tidak ada pengawasan tentang bagaimana kiai atau penghulu mengelola
uang zakat atau fitrah. Namun di Priangan pengelolaannya sangat baik. Zakat mal dan zakat
fitrah dikumpulkan oleh para kiai. Setelah dipotong sekedarnya untuk bagian para kiai baru
uang itu dipertanggungjawabkan dan diserahkan kepada penghulu kecamatan dan
kewedanan. Setelah dipotong sekadarnya oleh penghulu kewedanan, uang itu diteruskan
kepada penghulu afdeeling, dan disebut sebagai “penghasilan agama”. Dengan cara seperti
ini, maka jumlah uang zakat mal dan zakat fitrah itu begitu besar. Dan karena itu sangat
rawan akan praktik korupsi.13 Tentang mustahik, atau kelompok yang berhak mendapat
zakat, walaupun berjumlah delapan, namun pada akhirnya, menurut Snouck, uang zakat
diberikan kepada wong putihan (di Jawa) atau santri, atau lebai yang masuk kategori fakir
dan miskin dalam arti yang lebih luas.

Karenanya, penghulu, naib, dan seluruh petugas masjid, guru agama, murid pesantren,
penjaga makam keramat, orang saleh fakir yang menganggur, dan para amil. Istilah amil atau
orang yang memungut/mengelola zakat diangkat oleh pejabat Islam, dan jabatan ini dulu
banyak terdapat di daerah Jawa Barat. Dan sejak 1892, jabatan tersebut sudah tidak
difungsikan lagi; namun sekarang ini istilah amil kembali digunakan pada masa Orde Baru.
Pemerintah kolonial tidak mau turut campur dalam hal pengelolaan uang zakat mal dan zakat
fitrah ini. Kebijakan ini sudah diterapkan jauh sebelum Snouck menjadi Penasihat Urusan
Pribumi dan Islam. Pemerintah sudah mengedarkan larangan tegas tertanggal 18 Agustus
1866 nomor 216 untuk menghapus semua campur tangan pemerintah daerah atas pungutan
sukarela keagamaan. Kebijakan ini diterapkan karena kekhawatiran pemerintah nantinya
disalahkan jika mengubah struktur pranata keagamaan masyarakat. Kekhawatiran ini sangat
beralasan karena sebagian besar pejabat pemerintah tidak tahu tentang Islam dan masyarakat
Muslim Nusantara. Dari sini cukup jelas bahwa walaupun tidak terdokumentasi dengan baik,
sistem dan kelembagaan zakat fitrah dan zakat mal tidak mengalami perubahan pada masa
kolonial. Pemerintah kolonial pun hanya mengawasi pelaksanaan dan pengelolaan zakat di
wilayah Jawa dan Madura, tidak termasuk wilayah vorstenlanden (kerajaan).

Kalaupun ada perubahan, bisa masuk lewat reformasi pranata Islam itu sendiri yang dibawa
oleh para pembaharu atau ulama-ulama dari luar wilayah Nusantara, khususnya dari Timur
Tengah bisa melalui media haji, komunitas Jawah, atau mahasiswa yang menuntut ilmu.
Walaupun demikian, kecil kemungkinan ada perubahan yang berarti karena wacana fikih
tidak banyak didiskusikan lagi. Kemungkinan perubahan ada dalam interpretasi mustahik dan
pengelolaan harta zakat yang lebih modern. Walaupun pada satu sisi Snouck bersikeras untuk
tidak mencampuri urusan sumbangan sukarela keagamaan ini, di sisi lain ia tidak bisa tinggal
diam melihat praktikpraktik kecurangan atau korupsi yang terjadi dalam pengelolaan
keuangan ini. Dan, melakukan campur tangan terutama dalam pengawasan dan pengelolaan
kas masjid. Campur-tangan Pemerintah dalam Pengumpulan Zakat Karel Steenbrink melihat
bahwa dalam praktiknya, penghulu adalah pejabat yang paling berhak untuk mengumpulkan
zakat, tetapi bukan untuk mustahik, melainkan untuk gajinya.14 Di beberapa daerah,
penghulu dianggap sebagai orang biasa yang hidup dalam lingkungan kolonial dan
memperoleh gaji langsung dari Batavia. Perbedaan antara kiai/guru dengan penghulu sangat
tegas pemisahannya.15 Kiai/guru biasanya mengajar di surau, langgar, madrasah, atau
pesantren. Mereka hidup dari uang sumbangan dan fitrah yang diberikan murid-murid dan
penduduk.

Sedangkan penghulu diangkat dan digaji dari pemerintah kolonial. Karenanya ketegangan
antara penghulu dan kiai lokal atau guru yang sudah ada sejak zaman kerajaan Islam kembali
berlanjut. Kalau ketika itu penghulu diangkat oleh sultan atau raja, maka pada masa kolonial
penghulu diangkat oleh pemerintah kolonial. Salah satu “tugas” penghulu adalah mengawasi
adanya usaha-usaha pemberontakan dan meredam ketenaran kiai lokal seperti dalam kasus
perselisihan antara Kiai Mutamakin dengan penghulu Batang. Dalam praktiknya di Jawa,
zakat hanya dianggap sebagai gaji pegawai masjid. Ini merupakan suatu pandangan umum
masyarakat sebagaimana diilustrasikan oleh kutipan Steenbrink dari Algemeen Verslag
Regenstchaap Sumenep over 1811, bahwa penghulu kerjaannya hanya mengurus persoalan
perkawinan dan kematian, tetapi setiap bulan puasa ia mendapat zakat fitrah, 4 katie beras
setiap satu orang, atau duit dan setiap bulan haji dia menerima daging kurban, bahkan
kambing yang masih hidup.16 Oleh karena itu, ketika pada 1866 dikeluarkan peraturan
bahwa pegawai negeri tidak boleh membantu pengumpulan zakat, maka kebanyakan
penduduk tidak lagi memberikan zakat kepada penghulu, tetapi kepada kiai yang lebih
dihormati dan dipercayai. Snouck dengan berat hati juga menegaskan bahwa penghulu tidak
mengurus soal zakat fitrah dan zakat mal. Lebih buruk lagi, Snouck juga melarang usaha lain
penghulu mendapatkan pemasukan dari orang yang akan berangkat haji.

Terdapat praktik ilegal bahwa penghulu, guru agama atau pemandu haji menarik zakat
sebesar dua setengah persen dari uang haji, dengan mengatakan bahwa haji yang tidak
membayarkan zakatnya tidak sah dan hajinya tidak halal.17 Pengembalian fungsi ini memang
pada satu sisi menguntungkan kiai dan guru termasuk guru tarekat dan merugikan bahkan
mengurangi pemasukan penghulu. Namun menurut Snouck hal ini penting untuk dilakukan
mengingat harus dikembalikannya kewibawaan lembaga penghulu dalam masyarakat. Karena
itu, penghulu mendapat gaji dari uang KTC (Kawin, Talak, Cerai) yang masuk ke kas masjid
dan itu pun cukup besar. Pada awal abad ke-20 M, filantropi Islam semakin berkembang di
Indonesia, yang ditandai oleh hadirnya sekolah-sekolah Islam, Muhammadiyah, Nahdlatul
Ulama, dan sejenisnya, termasuk organisasi-organisasi sosial-keagamaan besar semacam
Jami’at Khair dan Sarekat Islam. Kehadiran institusi-institusi pendidikan Islam dan
organisasi sosialkeagamaan di tengah-tengah masyarakat Islam Indonesia ini sangat terkait
dengan philanthrophisme itu, dan membuktikan bahwa mereka mampu menghidupi dirinya
sendiri secara mandiri.

Menguatnya filantropi terus bertahan hingga Indonesia merdeka pada 1945. Dalam masa-
masa berikutnya, khususnya sejak awal 1990-an —menjelang lengsernya Suharto dari kursi
kepresidenan, perkembangan filantropi Islam di Indonesia tidak dapat dicegah dan
dimundurkan kembali. Filantropi Islam di Indonesia sudah berkembang lebih jauh. Adalah
jelas bahwa philanthropisme tidak lagi terbatas pada pembangunan madrasah, pesantren, atau
masjid, misalnya, tetapi lebih menyentuh pada pemberdayaan ekonomi, pemberian beasiswa,
dan lain sebagainya. Fenomena ini tentu saja cukup menggembirakan bagi masyarakat Islam
Indonesia. Dalam beberapa tahun sejak 1990-an, potensi kedermawanan atau filantropi dalam
masyarakat kita terus meningkat. Kondisi ekonomi yang sulit karena terjadi multikrisis di
dalam masyarakat Indonesia sejak akhir 1997, ternyata tidak membuat filantropi merosot atau
menurun di Indonesia, tetapi sebaliknya justru cenderung terus meningkat. Miliaran dana
kemanusiaan dan kepedulian berhasil dikumpulkan media elektronik dan cetak, atau oleh
lembaga-lembaga yang memang bergerak dalam dunia filantropi. Bila dana kemanusiaan dan
kepedulian yang melimpah itu dikelola dengan managemen amanah dan jujur, insya Allah
public trust akan semakin tumbuh dan berkembang. Di kalangan umat Islam khususnya,
peningkatan filantropi dapat dilihat dari pertumbuhan dana yang secara fenomenal berhasil
dikumpulkan lembaga-lembaga filantropi seperti Dompet Dhuafa, Pos Keadilan Peduli Umat
(PKPU), Yayasan Daarut Tauhid, dan banyak lagi, yang ditangani dengan managemen swasta
dan profesional.

Lembaga-lembaga seperti ini hadir tidak sekadar melengkapi BAZIS dan LAZIS yang telah
ada sebelumnya —yang dikelola di bawah naungan pemerintahan, tetapi bahkan juga
menawarkan berbagai terobosan baru dalam manajemen pengumpulan dan distribusi dana
yang berhasil mereka kumpulkan dari masyarakat. Di tengah peningkatan filantropi di
kalangan masyarakat kita, persoalannya adalah seberapa jauh dana yang dikumpulkan
bermanfaat untuk meningkatkan keadilan sosial? Apakah dana filantropi yang demikian besar
masih didistribusikan secara konvensional, misalnya terutama untuk pembangunan rumah
ibadah, ataukah juga semakin banyak untuk membantu terciptanya kepedulian dan keadilan
sosial? Masalah-masalah seperti inilah yang, antara lain, menjadi tema pokok penelitian
berskala internasional yang dilakukan dan dikordinasi Pusat Bahasa dan Budaya (PBB),
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta sejak 2003. Penelitian yang
bertajuk “Philanthropy for Social Justice among Muslim Societies” itu bersifat komparatif
dengan melihat pengalaman umat Islam di negara-negara mayoritas Muslim, Indonesia,
Mesir, Turki, dan di Tanzania, India, dan Inggris, di mana umat Islam merupakan komunitas
minoritas. Setelah Lokakarya I dilakukan di Bali pada Juni 2003, Lokakarya II
diselenggarakan di Kairo, Mesir 9-10 Juni 2004, yang mengungkapkan banyak temuan
menarik dari lapangan.

Pertama, motivasi keagamaan merupakan motif dominan bagi sebagian besar penderma
untuk mendermakan sebagian harta mereka; kedua, meningkatnya kecenderungan filantropi
untuk memberdayakan lembaga, organisasi, dan kelompok keagamaan; dan ketiga
meningkatnya bentuk-bentuk baru dalam managemen pengelolaan dan distribusi dana
filantropi yang berhasil dikumpulkan. Lebih jauh, meski terdapat tanda-tanda peningkatan
kepedulian sosial dalam filantropisme, namun kedermawanan publik belum menjadikan
advokasi pemberdayaan civil society, HAM, atau kesetaraan gender dan semacamnya sebagai
salah satu prioritas pokok. Karena itu masih diperlukan waktu dan usaha sungguh-sungguh
untuk meyakinkan kaum filantropis muslim khususnya, bahwa semua hal ini juga merupakan
bagian penting pemberdayaan masyarakat dan penciptaan keadilan sosial dalam masyarakat
muslim secara keseluruhan. Dalam kerangka itu, penciptaan dan penguatan kerjasama dan
jaringan antara LSM-LSM dengan lembaga-lembaga filantropi sangat dibutuhkan.
PENGERTIAN ZAKAT, INFAQ, SHADAQAH, DAN WAQAF

Makna Zakat

Secara Bahasa (lughat), berarti : tumbuh; berkembang dan berkah (HR. At-Tirmidzi) atau
dapat pula berarti membersihkan atau mensucikan:

َ ُ ‫صدَقَةً ت‬
‫ط‬ َ ‫س ِمي ٌع َع ِلي ٌم ُخذْ ِم ْن أ َ ْم َوا ِل ِه ْم‬ ِّ ‫سك ٌَن لَّ ُه ْم َو‬
َ ُ‫ّللا‬ َ ‫ص ِِّل َعلَ ْي ِه ْم ِإ َّن‬
َ َ‫صالَتَك‬ َ ‫ِ ِّه ُر ُه ْم َوتُزَ ِ ِّكي ِهم ِب َها َو‬

“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan
(maksudnya: zakat itu membersihkan mereka dari kekikiran dan cinta yang berlebih-lebihan
kepada harta benda) dan mensucikan mereka (maksudnya: zakat itu menyuburkan sifat-sifat
kebaikan dalam hati mereka dan memperkembangkan harta benda mereka) dan berdoalah
untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan
Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS At Taubah 103)
Sedangkan istilah zakat berarti derma yang telah ditetapkan jenis, jumlah, dan waktu suatu
kekayaan atau harta yang wajib diserahkan; dan pendayagunaannya pun ditentukan pula,
yaitu dari umat Islam untuk umat Islam.

Makna Infaq
Pengertian infaq adalah lebih luas dan lebih umum dibanding dengan zakat. Tidak ditentukan
jenisnya, jumlahnya dan waktunya suatu kekayaan atau harta harus didermakan. Allah
memberi kebebasan kepada pemiliknya untuk menetukan jenis harta, berapa jumlah yang
yang sebaiknya diserahkan.

Makna Shadaqah
Adapun Shadaqoh mempunyai makna yang lebih luas lagi dibanding infaq. Shadaqah ialah
segala bentuk nilai kebajikan yang tidak terikat oleh jumlah, waktu dan juga yang tidak
terbatas pada materi tetapi juga dapat dalam bentuk non materi, misalnya menyingkirkan
rintangan di jalan, menuntun orang yang buta, memberikan senyuman dan wajah yang manis
kepada saudaranya, menyalurkan syahwatnya pada istri dsb. Dan shadaqoh adalah ungkapan
kejujuran (shiddiq) iman seseorang.

Makna Waqaf
Secara etimologi, wakaf berasal dari perkataan Arab “Waqf” yang berarti “al-Habs”. Ia
merupakan kata yang berbentuk masdar (infinitive noun) yang pada dasarnya berarti
menahan, berhenti, atau diam. Apabila kata tersebut dihubungkan dengan harta seperti tanah,
binatang dan yang lain, ia berarti pembekuan hak milik untuk faedah tertentu (Ibnu Manzhur:
9/359).

Sebagai satu istilah dalam syariah Islam, wakaf diartikan sebagai penahanan hak milik atas
materi benda (al-‘ain) untuk tujuan menyedekahkan manfaat atau faedahnya (al-manfa‘ah)
(al-Jurjani: 328).

Hukum Zakat

Zakat sifatnya wajib bagi setiap muslim yang hartanya telah memenuhi syarat tertentu
sedangkan infaq atau shadaqah adalah sunnah. Dengan demikian ibadah wajib harus lebih
dahulu setelah sunnah.
Ancaman bagi yang meninggalkannya

“..Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan
Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang
pedih, pada hari dipanaskan emas perak itu dalam neraka jahannam, lalu dibakar dengannya
dahi mereka, lambung dan punggung mereka (lalu dikatakan) kepada mereka: "Inilah harta
bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah sekarang (akibat dari)
apa yang kamu simpan itu." (QS At Taubah : 34-35)

Orang yang berhak menerima Zakat

Orang yang berhak menerima zakat fitrah ditetapkan oleh Allah SWT dalam Al-Qur’an ada
delapan Golongan. “Sesungguhnya sedekah – sedekah (zakat) itu hanya untuk orang – orang
Fakir, Miskin, Pengurus zakat (amil),orang – orang yang telah dibujuk hatinya (muallaf),
Untuk memerdekakan budak – budak yang telah dijanjikan akan dimerdekakan, orang yang
berhutang (gharim) untuk dijalan Allah (sabilillah) dan untuk orang musafir (orang yang
dalam perjalanan). Yang demikian ketentuan Allah” (Q.S. At taubah : 60)

Penjelasan ayat tersebut menurut imam syafi’i sebagai berikut :

Fakir, adalah orang yang tidak mempunyai pekerjaan dan tidak memiliki harta.
Miskin, adalah orang yang memiliki pekerjaan namun penghasilanya tidak mencukupi
kebutuhannya.
Amil, adalah panitia yang menerima dan membagikan zakat.
Muallaf, adalah
Orang yang baru masuk Islam karena Imannya belum teguh.
Orang Islam yang berpengaruh pada kaumnya dengan harapan agar orang lain dari kaumnya
masuk Islam.
Orang Islam yang berpengaruh di orang Kafir agar kita terpelihara dari kejahatan orang –
orangkafir dibawah pengaruhnya.
Orang yang sedang menolak kejahatan dari orang – orang yang anti zakat.
Riqab, adalah budak yang ingin memerdekakan diri dengan membayar uang tebusan.
Gharim, adalah orang yang banyak hutang, baik untuk diri sendiri maupun untuk
mendamaikan orang yang berselisih maupun untuk menjamin hutang orang lain.
Sabilillah, adalah untuk kepentingan agama.
Ibnu sabil, adalah musafir yang kehabisan bekal.
View bbcode of Satria Awan's post
Satria Awan - 16/02/2012 01:13 PM
#3

SYARAT-SYARAT WAJIB UNTUK MENGELUARKAN ZAKAT

Islam; Zakat hanya diwajibkan bagi orang Islam saja.

Merdeka; Hamba sahaya tidak wajib mengeluarkan zakat kecuali zakat fitrah, sedangkan
tuannya wajib mengeluarkannya. Di masa sekarang persoalan hamba sahaya tidak ada lagi.
Bagaimanapun syarat merdeka tetap harus dicantumkan sebagai salah satu syarat wajib
mengeluarkan zakat karena persoalan hamba sahaya ini merupakan salah satu syarat yang
tetap ada.
Milik Sepenuhnya; Harta yang akan dizakati hendaknya milik sepenuhnya seorang yang
beragama Islam dan harus merdeka. Bagi harta yang bekerjasama antara orang Islam dengan
orang bukan Islam, maka hanya harta orang Islam saja yang dikeluarkan zakatnya.

Cukup Haul; cukup haul maksudnya harta tersebut dimiliki genap setahun, selama 354 hari
menurut tanggalan hijrah atau 365 hari menurut tanggalan mashehi.

cukup Nisab; Nisab adalah nilai minimal sesuatu harta yang wajib dikeluarkan zakatnya.
Kebanyakan standar zakat harta (mal) menggunakan nilai harga emas saat ini, jumlahnya
sebanyak 85 gram. Nilai emas dijadikan ukuran nisab untuk menghitung zakat uang
simpanan, emas, saham, perniagaan, pendapatan dan uang dana pensiun.

Jenis zakat

1. Zakat Maal (harta kekayaan)

2. Zakat Fitri

Zakat yang wajib dikeluarkan oelh setiap muslim atas nama dirinya dan yang dibawah
tanggung jawabnya (istri, anak besar/kecil, pembantu, dsb) pada setiap hari Idul Fitri, bila
pada dirinya ada kelabihan makanan untuk hari tersebut dan malamnya.

Adapun jumlah zakat yang dikeluarkan adalah bahan makanan pokok, sejumalh satu sho'
untuk setiap jiwa.

Adab Menunaikan Zakat

• Menyembunyikan dalam mengeluarkannya

• Tidak dengan caramembanggakan diri atau menyakiti orang yang menerima.

• Menyegerakan untuk mengeluarkannya, bila dating saatnya.

• Menganggap kecil dengan apa yang telah dikeluarkan.


View bbcode of Satria Awan's post
Satria Awan - 16/02/2012 01:16 PM
#4

Rukun Wakaf

Rukun Wakaf Ada empat rukun yang mesti dipenuhi dalam berwakaf. Pertama, orang yang
berwakaf (al-waqif). Kedua, benda yang diwakafkan (al-mauquf). Ketiga, orang yang
menerima manfaat wakaf (al-mauquf ‘alaihi). Keempat, lafadz atau ikrar wakaf (sighah).

Syarat-Syarat Wakaf
Syarat-syarat orang yang berwakaf (al-waqif)Syarat-syarat al-waqif ada empat, pertama
orang yang berwakaf ini mestilah memiliki secara penuh harta itu, artinya dia merdeka untuk
mewakafkan harta itu kepada sesiapa yang ia kehendaki. Kedua dia mestilah orang yang
berakal, tak sah wakaf orang bodoh, orang gila, atau orang yang sedang mabuk. Ketiga dia
mestilah baligh. Dan keempat dia mestilah orang yang mampu bertindak secara hukum
(rasyid). Implikasinya orang bodoh, orang yang sedang muflis dan orang lemah ingatan tidak
sah mewakafkan hartanya.
Syarat-syarat harta yang diwakafkan (al-mauquf)Harta yang diwakafkan itu tidak sah
dipindahmilikkan, kecuali apabila ia memenuhi beberapa persyaratan yang ditentukan oleh
ah; pertama barang yang diwakafkan itu mestilah barang yang berharga Kedua, harta yang
diwakafkan itu mestilah diketahui kadarnya. Jadi apabila harta itu tidak diketahui jumlahnya
(majhul), maka pengalihan milik pada ketika itu tidak sah. Ketiga, harta yang diwakafkan itu
pasti dimiliki oleh orang yang berwakaf (wakif). Keempat, harta itu mestilah berdiri sendiri,
tidak melekat kepada harta lain (mufarrazan) atau disebut juga dengan istilah (ghaira shai’).
Syarat-syarat orang yang menerima manfaat wakaf (al-mauquf alaih) Dari segi klasifikasinya
orang yang menerima wakaf ini ada dua macam, pertama tertentu (mu’ayyan) dan tidak
tertentu (ghaira mu’ayyan). Yang dimasudkan dengan tertentu ialah, jelas orang yang
menerima wakaf itu, apakah seorang, dua orang atau satu kumpulan yang semuanya tertentu
dan tidak boleh dirubah. Sedangkan yang tidak tentu maksudnya tempat berwakaf itu tidak
ditentukan secara terperinci, umpamanya seseorang sesorang untuk orang fakir, miskin,
tempat ibadah, dll. Persyaratan bagi orang yang menerima wakaf tertentu ini (al-mawquf
mu’ayyan) bahwa ia mestilah orang yang boleh untuk memiliki harta (ahlan li al-tamlik),
Maka orang muslim, merdeka dan kafir zimmi yang memenuhi syarat ini boleh memiliki
harta wakaf. Adapun orang bodoh, hamba sahaya, dan orang gila tidak sah menerima wakaf.
Syarat-syarat yang berkaitan dengan ghaira mu’ayyan; pertama ialah bahwa yang akan
menerima wakaf itu mestilah dapat menjadikan wakaf itu untuk kebaikan yang dengannya
dapat mendekatkan diri kepada Allah. Dan wakaf ini hanya ditujukan untuk kepentingan
Islam saja.
Syarat-syarat Shigah Berkaitan dengan isi ucapan (sighah) perlu ada beberapa syarat.
Pertama, ucapan itu mestilah mengandungi kata-kata yang menunjukKan kekalnya (ta’bid).
Tidak sah wakaf kalau ucapan dengan batas waktu tertentu. Kedua, ucapan itu dapat
direalisasikan segera (tanjiz), tanpa disangkutkan atau digantungkan kepada syarat tertentu.
Ketiga, ucapan itu bersifat pasti. Keempat, ucapan itu tidak diikuti oleh syarat yang
membatalkan. Apabila semua persyaratan diatas dapat terpenuhi maka penguasaan atas tanah
wakaf bagi penerima wakaf adalah sah. Pewakaf tidak dapat lagi menarik balik pemilikan
harta itu telah berpindah kepada Allah dan penguasaan harta tersebut adalah orang yang
menerima wakaf secara umum ia dianggap pemiliknya tapi bersifat ghaira tammah.

Macam-Macam Shadaqah

1. Tasbih, Tahlil dan Tahmid


2. Amar Ma’ruf Nahi Mungkar
3. Hubungan Intim Suami Istri
4. Bekerja dan memberi nafkah pada sanak keluarganya
5. Membantu urusan orang lain
6. Mengishlah dua orang yang berselisih
7. Berlomba-lomba dalam amalan sehari-hari
8. Berwajah manis atau memberikan senyuman
9. Menjenguk orang sakit

PERAN DAN FUNGSI ZAKAT, INFAQ, SHADAQAH,

DAN WAQAF

Tujuan

1. Menyucikan harta dan jiwa muzaki.


2. Mengangkat derajat fakir miskin.
3. Membantu memecahkan masalah para gharimin, ibnusabil, dan mustahiq lainnya.
4. Membentangkan dan membina tali persaudaraan sesama umat Islam dan manusia pada
umumnya.
5. Menghilangkan sifat kikir dan loba para pemilik harta.
6. Menghilangkan sifat dengki dan iri (kecemburuan sosial) dari hati orang-orang miskin.
7. Menjembatani jurang antara si kaya dengan si miskin di dalam masyarakat agar tidak ada
kesenjangan di antara keduanya.
8. Mengembangkan rasa tanggung jawab sosial pada diri seseorang, terutama bagi yang
memiliki harta.
9. Mendidik manusia untuk berdisiplin menunaikan kewajiban dan menyerahkan hak orang
lain padanya.
10. Zakat merupakan manifestasi syukur atas Nikmat Allah.

Fungsi Zakat, Infaq dan Shadaqah

Bagi yang mengeluarkan

Pertama, manifestasi rasa syukur atas limpahan ni'mat Allah swt yang tak terhitung
jumlahnya (Q.S. 14:34), baik lahir maupun batin (Q.S. 31:20), berupa ni'mat iman dan islam
(Q.S. 3:164), penglihatan, pendengaran, dan akal pikiran (Q.S. 16:78), istr-istri yang
menyenangkan (Q.S. 30:21), rizqi buah-buahan (Q.S. 2:21), dll.

Kedua, Pembebas dari kebinasaan (Q.S. 2:195), ketakutan dan kesedihan (Q.S. 2:274).

Ketiga, Pembersih harta, penyuci dan penenang jiwa (Q.S. 9:103).

Keempat, Peneguh kedudukan di muka bumi (Q.S. 22:41).

Kelima, Pelipat ganda rizqi (Q.S. 2:261, 265; 30:39).


Bagi Yang Menerima

Pertama, pemberdayaan dari kemiskinan. DR. KH. Didin Hafidhuddin, MS dalam bukunya
"Panduan Praktis Tentang ZIS" mengemukakan hadits riwayat Imam Al-Ashbahani bahwa
Rasulullah saw bersabda: "Sesungguhnya Allaw swt telah mewajibkan atas orang kaya suatu
kewajiban zakat yang dapat menanggulangi kemiskinan. Tidak mungkin terjadi fakir
menderita kelaparan atau kekurangan sandang kecuali dikarenakan kebakhilan orang kaya
muslim.
Ingatlah, Allah swt akan melakukan perhitungan yang teliti dan meminta
pertanggungjawaban mereka lalu menyiksa mereka dengan siksaan yang pedih".

Kedua, perwujudan kasih-sayang dan tolong-menolong sesama muslim, antara yang kaya
(punya kelebihan harta) dan yang miskin (kekurangan harta), sebagai bukti persaudaraan
antar mu'min (Q.S. 49:10;9:71).

Bagi Masyarakat Umum

ZIS merupakan realisasi kepedulian sosial, yang akan mencegah atau minimal mengurangi
terjadinya penumpukan atau konglomerasi dan perputaran harta di kalangan orang-orang
kaya saja (Q.S. 59:7). Dengan demikian, ZIS akan memperkecil kesenjangan sosial dan
mencegah munculnya penyakit hati akibat kecemburuan sosial.

Insya Allah, bila ZIS suatu negeri benar-benar dikelola dengan profesional dan transparan
maka negeri tersebut akan hidup aman-tenteram, sebagai indikasi dibukanya pintu barokah
dari langit dan bumi (Q.S. 7:96) dan negeri tersebut menjadi Baldatun Thoyyibatun wa
Rabbun Ghafuurun.

INTERELASI ZAKAT, INFAQ, SHADAQAH,

DAN WAQAF

Antara zakat, infak, dan shadaqah memiliki pengertian tersendiri dalam bahasan kitab-kitab
fiqh. Zakat yaitu kewajiban atas sejumlah harta tertentu dalam waktu tertentu dan untuk
kelompok tertentu.

Infak memiliki arti lebih luas dari zakat, yaitu mengeluarkan atau menafkahkan uang. Infak
ada yang wajib, sunnah dan mubah. Infak wajib di antaranya adalah zakat, kafarat, infak
untuk keluarga dan sebagainya. Infak sunnah adalah infak yang sangat dianjurkan untuk
melaksanakannya namun tidak menjadi kewajiban, seperti infak untuk dakwah,
pembangunan masjid dan sebagainya. Sedangkan infak mubah adalah infak yang tidak masuk
dalam kategori wajib dan sunnah, serta tidak ada anjuran secara tekstual ayat maupun hadits,
diantaranya seperti infak untuk mengajak makan-makan dan sebagainya.

Shadaqah lebih luas dari sekedar zakat maupun infak. Karena shadaqah tidak hanya berarti
mengeluarkan atau mendermakan harta. Namun shadaqah mencakup segala amal atau
perbuatan baik. Dalam sebuah hadits digambarkan, “Memberikan senyuman kepada
saudaramu adalah shadaqah.”

Makna shadaqah yang terdapat dalam hadits di atas adalah mengacu pada makna shadaqah di
atas. Bahkan secara tersirat shadaqah yang dimaksudkan dalam hadits adalah segala macam
bentuk kebaikan yang dilakukan oleh setiap muslim dalam rangka mencari keridhaan Allah
swt. Baik dalam bentuk ibadah atau perbuatan yang secara lahiriyah terlihat sebagai bentuk
taqarrub kepada Allah swt., maupun dalam bentuk aktivitas yang secara lahiriyah tidak
tampak seperti bertaqarrub kepada Allah, seperti hubungan intim suami istri, bekerja, dsb.
Semua aktivitas ini bernilai ibadah di sisi Allah swt.
View bbcode of Satria Awan's post
Satria Awan - 16/02/2012 01:18 PM
#5

Rukun Wakaf

Rukun Wakaf Ada empat rukun yang mesti dipenuhi dalam berwakaf. Pertama, orang yang
berwakaf (al-waqif). Kedua, benda yang diwakafkan (al-mauquf). Ketiga, orang yang
menerima manfaat wakaf (al-mauquf ‘alaihi). Keempat, lafadz atau ikrar wakaf (sighah).

Syarat-Syarat Wakaf

Syarat-syarat orang yang berwakaf (al-waqif)Syarat-syarat al-waqif ada empat, pertama


orang yang berwakaf ini mestilah memiliki secara penuh harta itu, artinya dia merdeka untuk
mewakafkan harta itu kepada sesiapa yang ia kehendaki. Kedua dia mestilah orang yang
berakal, tak sah wakaf orang bodoh, orang gila, atau orang yang sedang mabuk. Ketiga dia
mestilah baligh. Dan keempat dia mestilah orang yang mampu bertindak secara hukum
(rasyid). Implikasinya orang bodoh, orang yang sedang muflis dan orang lemah ingatan tidak
sah mewakafkan hartanya.
Syarat-syarat harta yang diwakafkan (al-mauquf)Harta yang diwakafkan itu tidak sah
dipindahmilikkan, kecuali apabila ia memenuhi beberapa persyaratan yang ditentukan oleh
ah; pertama barang yang diwakafkan itu mestilah barang yang berharga Kedua, harta yang
diwakafkan itu mestilah diketahui kadarnya. Jadi apabila harta itu tidak diketahui jumlahnya
(majhul), maka pengalihan milik pada ketika itu tidak sah. Ketiga, harta yang diwakafkan itu
pasti dimiliki oleh orang yang berwakaf (wakif). Keempat, harta itu mestilah berdiri sendiri,
tidak melekat kepada harta lain (mufarrazan) atau disebut juga dengan istilah (ghaira shai’).
Syarat-syarat orang yang menerima manfaat wakaf (al-mauquf alaih) Dari segi klasifikasinya
orang yang menerima wakaf ini ada dua macam, pertama tertentu (mu’ayyan) dan tidak
tertentu (ghaira mu’ayyan). Yang dimasudkan dengan tertentu ialah, jelas orang yang
menerima wakaf itu, apakah seorang, dua orang atau satu kumpulan yang semuanya tertentu
dan tidak boleh dirubah. Sedangkan yang tidak tentu maksudnya tempat berwakaf itu tidak
ditentukan secara terperinci, umpamanya seseorang sesorang untuk orang fakir, miskin,
tempat ibadah, dll. Persyaratan bagi orang yang menerima wakaf tertentu ini (al-mawquf
mu’ayyan) bahwa ia mestilah orang yang boleh untuk memiliki harta (ahlan li al-tamlik),
Maka orang muslim, merdeka dan kafir zimmi yang memenuhi syarat ini boleh memiliki
harta wakaf. Adapun orang bodoh, hamba sahaya, dan orang gila tidak sah menerima wakaf.
Syarat-syarat yang berkaitan dengan ghaira mu’ayyan; pertama ialah bahwa yang akan
menerima wakaf itu mestilah dapat menjadikan wakaf itu untuk kebaikan yang dengannya
dapat mendekatkan diri kepada Allah. Dan wakaf ini hanya ditujukan untuk kepentingan
Islam saja.
Syarat-syarat Shigah Berkaitan dengan isi ucapan (sighah) perlu ada beberapa syarat.
Pertama, ucapan itu mestilah mengandungi kata-kata yang menunjukKan kekalnya (ta’bid).
Tidak sah wakaf kalau ucapan dengan batas waktu tertentu. Kedua, ucapan itu dapat
direalisasikan segera (tanjiz), tanpa disangkutkan atau digantungkan kepada syarat tertentu.
Ketiga, ucapan itu bersifat pasti. Keempat, ucapan itu tidak diikuti oleh syarat yang
membatalkan. Apabila semua persyaratan diatas dapat terpenuhi maka penguasaan atas tanah
wakaf bagi penerima wakaf adalah sah. Pewakaf tidak dapat lagi menarik balik pemilikan
harta itu telah berpindah kepada Allah dan penguasaan harta tersebut adalah orang yang
menerima wakaf secara umum ia dianggap pemiliknya tapi bersifat ghaira tammah.

Macam-Macam Shadaqah

1. Tasbih, Tahlil dan Tahmid


2. Amar Ma’ruf Nahi Mungkar
3. Hubungan Intim Suami Istri
4. Bekerja dan memberi nafkah pada sanak keluarganya
5. Membantu urusan orang lain
6. Mengishlah dua orang yang berselisih
7. Berlomba-lomba dalam amalan sehari-hari
8. Berwajah manis atau memberikan senyuman
9. Menjenguk orang sakit

PERAN DAN FUNGSI ZAKAT, INFAQ, SHADAQAH,

DAN WAQAF

Tujuan

1. Menyucikan harta dan jiwa muzaki.


2. Mengangkat derajat fakir miskin.
3. Membantu memecahkan masalah para gharimin, ibnusabil, dan mustahiq lainnya.
4. Membentangkan dan membina tali persaudaraan sesama umat Islam dan manusia pada
umumnya.
5. Menghilangkan sifat kikir dan loba para pemilik harta.
6. Menghilangkan sifat dengki dan iri (kecemburuan sosial) dari hati orang-orang miskin.
7. Menjembatani jurang antara si kaya dengan si miskin di dalam masyarakat agar tidak ada
kesenjangan di antara keduanya.
8. Mengembangkan rasa tanggung jawab sosial pada diri seseorang, terutama bagi yang
memiliki harta.
9. Mendidik manusia untuk berdisiplin menunaikan kewajiban dan menyerahkan hak orang
lain padanya.
10. Zakat merupakan manifestasi syukur atas Nikmat Allah.

Fungsi Zakat, Infaq dan Shadaqah

Bagi yang mengeluarkan

Pertama, manifestasi rasa syukur atas limpahan ni'mat Allah swt yang tak terhitung
jumlahnya (Q.S. 14:34), baik lahir maupun batin (Q.S. 31:20), berupa ni'mat iman dan islam
(Q.S. 3:164), penglihatan, pendengaran, dan akal pikiran (Q.S. 16:78), istr-istri yang
menyenangkan (Q.S. 30:21), rizqi buah-buahan (Q.S. 2:21), dll.

Kedua, Pembebas dari kebinasaan (Q.S. 2:195), ketakutan dan kesedihan (Q.S. 2:274).
Ketiga, Pembersih harta, penyuci dan penenang jiwa (Q.S. 9:103).

Keempat, Peneguh kedudukan di muka bumi (Q.S. 22:41).

Kelima, Pelipat ganda rizqi (Q.S. 2:261, 265; 30:39).


Bagi Yang Menerima

Pertama, pemberdayaan dari kemiskinan. DR. KH. Didin Hafidhuddin, MS dalam bukunya
"Panduan Praktis Tentang ZIS" mengemukakan hadits riwayat Imam Al-Ashbahani bahwa
Rasulullah saw bersabda: "Sesungguhnya Allaw swt telah mewajibkan atas orang kaya suatu
kewajiban zakat yang dapat menanggulangi kemiskinan. Tidak mungkin terjadi fakir
menderita kelaparan atau kekurangan sandang kecuali dikarenakan kebakhilan orang kaya
muslim.

Ingatlah, Allah swt akan melakukan perhitungan yang teliti dan meminta
pertanggungjawaban mereka lalu menyiksa mereka dengan siksaan yang pedih".

Kedua, perwujudan kasih-sayang dan tolong-menolong sesama muslim, antara yang kaya
(punya kelebihan harta) dan yang miskin (kekurangan harta), sebagai bukti persaudaraan
antar mu'min (Q.S. 49:10;9:71).

Bagi Masyarakat Umum

ZIS merupakan realisasi kepedulian sosial, yang akan mencegah atau minimal mengurangi
terjadinya penumpukan atau konglomerasi dan perputaran harta di kalangan orang-orang
kaya saja (Q.S. 59:7). Dengan demikian, ZIS akan memperkecil kesenjangan sosial dan
mencegah munculnya penyakit hati akibat kecemburuan sosial.

Insya Allah, bila ZIS suatu negeri benar-benar dikelola dengan profesional dan transparan
maka negeri tersebut akan hidup aman-tenteram, sebagai indikasi dibukanya pintu barokah
dari langit dan bumi (Q.S. 7:96) dan negeri tersebut menjadi Baldatun Thoyyibatun wa
Rabbun Ghafuurun.

INTERELASI ZAKAT, INFAQ, SHADAQAH,

DAN WAQAF

Antara zakat, infak, dan shadaqah memiliki pengertian tersendiri dalam bahasan kitab-kitab
fiqh. Zakat yaitu kewajiban atas sejumlah harta tertentu dalam waktu tertentu dan untuk
kelompok tertentu.

Infak memiliki arti lebih luas dari zakat, yaitu mengeluarkan atau menafkahkan uang. Infak
ada yang wajib, sunnah dan mubah. Infak wajib di antaranya adalah zakat, kafarat, infak
untuk keluarga dan sebagainya. Infak sunnah adalah infak yang sangat dianjurkan untuk
melaksanakannya namun tidak menjadi kewajiban, seperti infak untuk dakwah,
pembangunan masjid dan sebagainya. Sedangkan infak mubah adalah infak yang tidak masuk
dalam kategori wajib dan sunnah, serta tidak ada anjuran secara tekstual ayat maupun hadits,
diantaranya seperti infak untuk mengajak makan-makan dan sebagainya.

Shadaqah lebih luas dari sekedar zakat maupun infak. Karena shadaqah tidak hanya berarti
mengeluarkan atau mendermakan harta. Namun shadaqah mencakup segala amal atau
perbuatan baik. Dalam sebuah hadits digambarkan, “Memberikan senyuman kepada
saudaramu adalah shadaqah.”

Makna shadaqah yang terdapat dalam hadits di atas adalah mengacu pada makna shadaqah di
atas. Bahkan secara tersirat shadaqah yang dimaksudkan dalam hadits adalah segala macam
bentuk kebaikan yang dilakukan oleh setiap muslim dalam rangka mencari keridhaan Allah
swt. Baik dalam bentuk ibadah atau perbuatan yang secara lahiriyah terlihat sebagai bentuk
taqarrub kepada Allah swt., maupun dalam bentuk aktivitas yang secara lahiriyah tidak
tampak seperti bertaqarrub kepada Allah, seperti hubungan intim suami istri, bekerja, dsb.
Semua aktivitas ini bernilai ibadah di sisi Allah swt.
View bbcode of Satria Awan's post
mujahid_gaza - 16/02/2012 07:40 PM
#6

Mau tanya dong gan.

Bagaimana hukumnya zakat yang dihutangkan, seperti untuk modal usaha ?


soalnya yg ane tahu zakat itu disalurkan kepada para mustahiq.
sekalian dasar hukumnya ya gan.
thx
View bbcode of mujahid_gaza's post
Satria Awan - 17/02/2012 11:22 AM
#7

Quote:
Original Posted By mujahid_gaza ►
Mau tanya dong gan.

Bagaimana hukumnya zakat yang dihutangkan, seperti untuk modal usaha ?


soalnya yg ane tahu zakat itu disalurkan kepada para mustahiq.
sekalian dasar hukumnya ya gan.
thx

Harta zakat itu pada prinsipnya adalah hak 8 asnaf sebagaimana yang disebutkan di dalam
surat At-Taubah ayat 60. Dan tugas dari amil zakat adalah bagaimana mengumpulkan harta
zakat dari orang-orang kaya yang wajib berzakat lalu menyalurkannya kepada orang-orang
tadi. Sedangkan bila amil zakat ingin memanfaatkan dana zakat yang telah terkumpul, maka
pada dasarnya mereka telah menggunakan harta yang bukan hak mereka. Kecuali bila telah
ada kesepakatan antara para amil zakat itu dengan para mustahik zakat bahwa harta zakat
yang telah menjadi hak mereka dikoordinir oleh amil zakat untuk membangun rumah. Atau
pengecualian lainnya adalah bila status dana yang digunakan itu bentuknya adalah pinjaman
baik secara al-qardhul hasan (pinjaman bebas bunga) maupun akad murabahah.

Hal ini pernah terjadi di masa Rasulullah SAW dimana ada seorang shahabat yang meminjam
uang dari baitul mal untuk dibelikan kambing, lalu ketika sudah untung, maka dia
mengembalikan dengan kambing yang lebih baik. Tapi kebijakan untuk boleh meminjamkan
dana zakat ini harus dibuat seketat mungkin, karena pada prinsipnya dana itu adalah amanah
dan hak milik para mustahik. Jangan sampai masih ada mustahik yang kelaparan, tapi dana
zakatnya malah dipinjam-pinjamkan kepada pihak lain yang sudah kekenyangan. Apalagi
masih ada resiko pinjaman itu tidak dikembalikan dan sebagainya. Maka tentu hal itu akan
menimbulkan masalah baru. Namun ada juga pendapat ulama yang membolehkan dana zakat
digunakan untuk membangun proyek usaha, asal hal itu memang dilakukan oleh pihak negara
sebagai penanggung-jawab dari amilin. Ini adalah pendapat dari Umar bin Al-Khattab dan
juga Imam Atho dari kalangan tabi’in yang intinya membenarkan bila negara menggunakan
uang zakat itu untuk proyek yang menguntungkan dan keuntungannya digunakan sepenuhnya
untuk para mustahik.

Keterangan ini kami dapat dalam kitab Fiqih Zakat karya Al-Qaradawi pada halaman 532.
Menganalogikan hal itu, Dr. Didin Hafidhuddin membolehkan bila Lajnah Zakat melakukan
hal serupa. Namun dia mengedepankan masalah bahwa lajnah zakat itu seharusnya adalah
yang profesional, amanah dan jujur yang melakukan usaha produktif dari dana zakat.
Menurut beliau, dana zakat bukan pemberian sesuap dua suap nasi dalam jangka sehari dua
hari kemudian para mustahik menjadi miskin lagi, tapi dana zakat itu harus bisa memenuhi
kebutuhan hidup secara lebih baik dalam waktu yang relatif lama. (lihat Panduan Zakat
Bersama KH. Didin Hafidhuddin hal. 145).
View bbcode of Satria Awan's post
waluhGtm - 17/02/2012 02:30 PM
#8

Pelipat ganda rizqi, bagaimana penjelasannya gan?


View bbcode of waluhGtm's post
mujahid_gaza - 17/02/2012 03:40 PM
#9

Quote:
Original Posted By Satria Awan ►
Harta zakat itu pada prinsipnya adalah hak 8 asnaf sebagaimana yang disebutkan di dalam
surat At-Taubah ayat 60. Dan tugas dari amil zakat adalah bagaimana mengumpulkan harta
zakat dari orang-orang kaya yang wajib berzakat lalu menyalurkannya kepada orang-orang
tadi. Sedangkan bila amil zakat ingin memanfaatkan dana zakat yang telah terkumpul, maka
pada dasarnya mereka telah menggunakan harta yang bukan hak mereka. Kecuali bila telah
ada kesepakatan antara para amil zakat itu dengan para mustahik zakat bahwa harta zakat
yang telah menjadi hak mereka dikoordinir oleh amil zakat untuk membangun rumah. Atau
pengecualian lainnya adalah bila status dana yang digunakan itu bentuknya adalah
pinjaman baik secara al-qardhul hasan (pinjaman bebas bunga) maupun akad murabahah.

Hal ini pernah terjadi di masa Rasulullah SAW dimana ada seorang shahabat yang
meminjam uang dari baitul mal untuk dibelikan kambing, lalu ketika sudah untung, maka dia
mengembalikan dengan kambing yang lebih baik. Tapi kebijakan untuk boleh meminjamkan
dana zakat ini harus dibuat seketat mungkin, karena pada prinsipnya dana itu adalah
amanah dan hak milik para mustahik. Jangan sampai masih ada mustahik yang kelaparan,
tapi dana zakatnya malah dipinjam-pinjamkan kepada pihak lain yang sudah kekenyangan.
Apalagi masih ada resiko pinjaman itu tidak dikembalikan dan sebagainya. Maka tentu hal
itu akan menimbulkan masalah baru. Namun ada juga pendapat ulama yang membolehkan
dana zakat digunakan untuk membangun proyek usaha, asal hal itu memang dilakukan oleh
pihak negara sebagai penanggung-jawab dari amilin. Ini adalah pendapat dari Umar bin Al-
Khattab dan juga Imam Atho dari kalangan tabi’in yang intinya membenarkan bila negara
menggunakan uang zakat itu untuk proyek yang menguntungkan dan keuntungannya
digunakan sepenuhnya untuk para mustahik.

http://archive.kaskus.co.id/thread/13119284/0/diskusi-tentang-zakat-infak-wakaf-dan-filantropi-
islam
Monday, 1 September 2008
Filantropi Menurut Al- Quran & Hadist

Oleh : Slamet Wiharto

Istilah Filantropi, berasal dari Bahasa Yunani yaitu “Philanthropy.” Kata philantropy itu terdiri dari
dua kata yaitu “philos” dan “anthropos”, kata philos yang berarti cinta atau kasih, dan anthropos
yang berarti manusia. Dan bila diartikan, kira-kira berarti cinta atau belas kasih kepada sesama
manusia. Maka filantropi dapat diartikan sebagai, upaya menolong sesama, kegiatan berderma, atau
kebiasaan beramal dari seseorang yang dengan ikhlas menyisihkan sebagian harta atau sumberdaya
yang dimilikinya untuk disumbangkan kepada orang lain yang memerlukan, atau sebagai kebaikan
hati yang diwujudkan dalam perbuatan baik, dengan menolong dan memberikan sebagian harta,
tenaga maupun fikiran secara sukarela untuk kepentingan orang lain.

Bila dilihat dalam kehidupan kita sekarang ini, di zaman yang serba sulit dan penuh dengan ketidak
pastian, sangat terlihat sekali jurang pemisah antara si kaya dan si miskin yang sangat dapat memicu
kecemburuan sosial dalam hidup bermasyarakat. filantropi dalam hal ini sangat berperan penting
dalam menjembatani antara si kaya dan si miskin dalam kehidupannya.

Dalam ajaran Islam sangat dianjurkan/ diperintahkan kepada umatnya, khususnya orang kaya, untuk
perduli kepada orang miskin, atau orang yang berkelebihan harta untuk memberikan sebahagian
hartanya kepada orang yang kekurangan. Karena seperti halnya menyantuni anak yatim, janda
miskin, orang yang terbelit oleh hutang dan orang yang kekurangan adalah suatu amanah dalam
keagamaan yang luhur. Upaya atau kegiatan berderma inilah yang disebut sebagai filantropi Islam.
Perintah atau anjuran berderma inilah terkandung nilai nilai ideal kemurahan hati, keadilan sosial,
saling berbagi dan saling memperkuat diantara umat islam.

Dalam Ajaran Islam, perintah atau anjuran untuk mengupayakan kegiatan- kegiatan dalam
berderma, dapat di wujudkan dengan kegiatan berzakat, berinfak, bershadaqah dan berwakaf.
Dengan perwujudan upaya- upaya itulah maka, Istilah filantropi dalam Islam sangat populer dengan
kata “ZISWAF” yaitu sebuah singkatan dari kata; Zakat, Infak, Sedekah dan Wakaf .

Pengaturan perintah atau anjuran dalam ZISWAF telah diatur dalam Al-Quran dan Hadist. Al-Quran
dan Hadist adalah pedoman/ pegangan hidup yang berisi tentang perintah, aturan larangan dan
anjuran dalam berkehidupan agar selamat dunia maupun akherat bagi umat dan ajaran Islam.
Seperti dalam Al-Quran :

Surah Al- Baqarah : 177


177. Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi
sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-
kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-
orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan
(memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang
menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan
dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-
orang yang bertakwa.

Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa Qatadah menerangkan tentang kaum Yahudi yang
menganggap bahwa yang baik itu shalat menghadap ke barat, sedang kaum Nashara mengarah ke
timur, sehingga turunlah ayat tersebut di atas (S. 2: 177). (Diriwayatkan oleh Abdur-razzaq dari
Ma'mar, yang bersumber dari Qatadah. Diriwayatkan pula oleh Ibnu Abi Hatim yang bersumber dari
Abil 'Aliyah.) Dalam riwayat lain dikemukakan bahwa turunnya ayat ini (S. 2: 177) sehubungan
dengan pertanyaan seorang laki-laki yang ditujukan kepada Rasulullah SAW tentang "al-Bir"
(kebaikan). Setelah turun ayat tersebut di atas (S. 2. 177) Rasulullah SAW memanggil kembali orang
itu, dan dibacakannya ayat tersebut kepada orang tadi. Peristiwa itu terjadi sebelum diwajibkan
shalat fardhu. Pada waktu itu apabila seseorang telah mengucapkan "Asyhadu alla ilaha illalah, wa
asyhadu anna Muhammadan 'Abduhu wa rasuluh", kemudian meninggal di saat ia tetap iman,
harapan besar ia mendapat kebaikan. Akan tetapi kaum Yahudi menganggap yang baik itu ialah
apabila shalat mengarah ke barat, sedang kaum Nashara mengarah ke timur.
(Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dan Ibnu Mundzir yang bersumber dari Qatadah.)

Ayat ini diturunkan untuk menolak anggapan orang-orang Yunani dan Nasrani yang menyangka
bahwa kebajikan itu dapat diartikan dengan menghadapkan wajah ke arah timur dan barat sewaktu
sholat. Lalu dijelaskanlah bagaimana ciri orang yang beriman, dan salah satunya adalah orang yang
memberikan harta yang dicintainya untuk kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, orang-
orang yang dalam perjalanan, orang-orang yang meminta-minta, dan pada budak (sedekah, infak
dan wakaf), juga orang orang yang menunaikan zakat.

Surah Al-Baqarah : 267


267. Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang
baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu
memilih yang buruk-buruk lalu kamu nafkahkan daripadanya, padahal kamu sendiri tidak mau
mengambilnya melainkan dengan memicingkan mata terhadapnya. Dan ketahuilah, bahwa Allah
Maha Kaya lagi Maha Terpuji.

Surah Al-Imran : 92
92. Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan
sebahagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan, maka sesungguhnya Allah
mengetahuinya.

Surah Al-Imran : 133


133. Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas
langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa,

Surah Al-Imran : 134


134. (yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan
orang-orang yang menahan amarahnya dan mema`afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-
orang yang berbuat kebajikan.
Surah At- Taubah : 103
103. Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan
mensucikan mereka, dan mendo`alah untuk mereka. Sesungguhnya do`a kamu itu (menjadi)
ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.

Begitupun dengan Hadist, seperti dalam Hadist :


36.Hadist yang bersumber dari Malik bin Anas dari pamannya Abu Suhail bin Malik dari ayahnya
bahwasannya ia telah mendengar Thalhah bin Ubaidillah berkata : “ Seorang laki- laki penduduk Najd
datang kepada Rasulullah Saw., Morak- marik (rambut) kepalanya, kami mendengar dengan
suaranya dan kami tidak memahami apa yang dikatakannya sehingga dekat, tiba- tiba ia tanya
tentang Islam. Lalu Rasulullah Saw. Bersabda : Shalat lima kali dalam sehari semalam”. Lalu ia
berkata : “ Apakah ada kewajiban atasku selainnya?” Beliau bersabda : “ Tidak kecuali yang sunnah”.
Rasulullah Saw. Bersabda : “ Dan puasa Ramadhan”. Ia bertanya : “ Apakah ada kewajiban atasku
selainnya?” Beliau bersabda : “ Tidak kecuali sunnah”. Thalhah berkata : “ Dan Rasulullah
menuturkan kepadanya zakat”. Ia berkata : Apakah wajib atasku selainnya?” Beliau bersabda : “
Tidak kecuali sunnah”. Thalhah berkata : Lalu laki- laki itu berpaling seraya berkata : “ Demi Allah
saya tidak menambah atas ini dan tidak pula menguranginya”. Rasulullah Saw. Bersabda : “
Berbahagialah dia, jika benar”.

Hadist yang diriwayatkan oleh Muadz bin Jabal r.a. bahwa Rasulullah bersabda,
“ Maka, ajaklah mereka untuk bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah dan Muhammad adalah
Rasulullah.” Kemudian Rasulullah menyebutkan perintah shalat, lalu bersabda, “ Apabila mereka
menantimu, maka beritahukanlah kepada mereka bahwa Allah mewajibkan sedekah atas orang-
orang kaya dan diberikan kepada orang- orang fakir dari mereka.” (Muttafaq Alaih).
Dalam hadist diatas Rasulullah menjadikan keislaman seseorang sebagai syarat kewajiban zakat
atasnya.

Hadist yang diriwayatkan oleh Muadz bin Jabal r.a. ketika Rasulullah mengutusnya ke Yaman bahwa
Rasulullah bersabda, “ Dan beritahukanlah mereka bahwa Allah telah mewajibkan Zakat atas
mereka, yang diambil dari orang- orang kaya dan diberikan kepada para fakir di antara mereka.”
(Muttafaq Alaih)

Hadist yang diriwayatkan Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, dan Nasa’I bahwa Rasulallah
bersabda, “ Sedekahmu kepada kerabatmu adalah sedekah dan penyambung tali silahturahmi.” (HR
Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, dan Nasa’I)

Rasulullah bersabda,” Sesungguhnya sedekah memadamkan amarah Tuhan dan menolak kematian
yang buruk.” (HR Tirmidzi, dan ia mengatakan bahwa hadist ini adalah Hasan)

Dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim disebutkan, “ Ada tujuh orang yang mendapat naungan
Allah pada hari ketika tidak ada naungan kecuali naungan Allah…”
yang salah satunya adalah, “ Seseorang yang bersedekah dan merahasiakannya, hingga tangan
kirinya tidak tahu apa yang disedekahkan oleh tangan kanannya.”

Rasulullah bersabda, “ Sedekah yang diberikan kepada orang miskin adalah sekedar sedekah,
sedangkan sedekah kepada kerabat adalah sedekah dan pererat silahturahmi.” (HR Bukhari, Muslim,
Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa’I dan Ibnu Maajah)

501.Hukum wajib zakat.


Diriwayatkan dari Ibn ‘abbas r.a.: Mu’adz berkata, “ Rasulullah pernah mengutus saya. Beliau
bersabda. ‘ Kamu akan mendatangi orang- orang ahli kitab, ajaklah mereka agar mengakui bahwa ‘
tiada tuhan kecuali Allah dan aku utusan Allah’, kalau mereka sudah mematuhinya, beritahukanlah
kepada mereka bahwa Allah mewajibkan mereka untuk mengerjakan shalat lima kali sehari
semalam. Kalau mereka sudah mematuhinya, beritahukanlah kepada mereka bahwa Allah
mewajibkan mereka mengeluarkan zakat, yang dipungut dari orang- orang kaya diantara mereka,
kemudian di berikan kepada orang- orang fakir di antara mereka. Kalau mereka sudah mematuhinya,
tinggalkanlah harta- harta pilihan mereka, dan takutlah doa orang yang teraniaya karena
sesungguhnya tidak ada penghalang antara doanya dan Allah.’’’ (1:37-38—S.M)

Zakat Fitrah hukumnya wajib, seperti dalam hadist yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar, “Rasulullah
Saw. Mewajibkan zakat fitrah di bulan Ramadhan sebesar satu Sha’ qamh (jenis gandum) atau sya’ir
(jenis gandum) bagi setiap muslim, baik laki- laki maupun perempuan, merdeka atau budak, besar
ataupun kecil.”

509.Perintah untuk meminta kerelaan kepada orang yang berzakat.


Diriwayatkan dari Jarir bin ‘Abdillah r.a. : Ada beberapa orang Arab Badui datang menemui
Rasulullah Saw. Dan berkata, “Banyak orang yang bersedekah datang kepada kami, lalu mereka
menganiaya kami.” Jarir berkata, “ Lalu Rasulullah Saw. Bersabda, ‘ Mintalah kerelaan terhadap
orang- orang yang bersedekah kepadamu.’’’ Jarir berkata, “ Sejak saya mendengar Rasulullah Saw.
Bersabda demikian, saya mendapatkan semua orang yang datang kepada saya memberikan sedekah
(Zakat), pasti dia sudah rela terhadap saya.” (3 : 74—S.M.)

510.Mendoakan orang yang berzakat.


Diriwayatkan dari ‘ Abdullah bin Abu Aufa r.a.: Apabila ada suatu kaum yang datang menghadap
Rasulullah Saw. Menyerahkan sedekah (zakat) mereka, beliau berdoa, “ Wahai Allah, ampunilah
mereka.” Lalu Abu Aufa datang menyerahkan sedekahnya, beliau berdoa, “ Wahai Allah, ampunilah
keluarga Abu Aufa.” (3 : 121—S.M.)

511.Pemberian zakat kepada orang yang lemah iman .


Diriwayatkan dari Sa’ad bin abi waqqash r.a.: Rasulullah Saw. Pernah membagi- bagikan harta
rampasan perang. Lalu saya mengatakan kepada beliau, “ Wahai Rasulullah, berilah si fulan itu
kerena dia adalah seorang mukmin.” NabiSaw. Bertanya, “ Ataukah dia itu muslim?” saya
mengatakan sampai tiga kali, dan beliau mengulanginya tiga kali juga, yaitu, “ Ataukah dia itu
muslim?” Selanjutnya, beliau bersabda, “ (Sungguh, saya memberikan harta rampasan perang)
kepada seseorang, padahal aku lebih mencintai orang lain, yang demikian ini karena aku khawatir
dapat menjerumuskannya ke dalam api neraka.” (1 : 91—S.M.)

523.Anjuran Bersedekah.
Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a. : Nabi Saw. Bersabda, “ Aku tidak suka sekiranya gunung Uhud di
ubah menjadi emas untukku, lalu disimpan di rumahku selama tiga hari, sedangkan masih ada
padaku sisa uang satu dinar yang memang aku persiapkan untuk pembayaran utang.” (3 : 75—S.M.)

525.Anjuran menginfakan harta


Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a. : Rasulullah Saw. bersabda, “ Allah Tabaraka wa taala berfirman,
wahai anak Adam, berinfaklah! Niscaya aku akan berinfak kepadamu,’’’ Lalu beliau bersabda, “
Tangan kanan Allah itu penuh, tidak kurang sedikitpun, baik pada malam maupun pada siang hari.”
(3 : 77—S.M.)

526.Anjuran bersedekah sebelum (tiba waktunya) ketika tak seorang pun mau menerimanya
Diriwayatkan dari Haritsah bin wahb r.a.: Saya pernah mendengar Rasulullah Saw. Bersabda, “
Bersedekahlah, hampir saja tiba waktunya orang yang berjalan kaki sambil membawa harta
sedekahnya, lalu orang yang mau diberi itu berkata, ‘ Kalau saja anda mendatangi kami kemarin,
tentu saya akan menerimanya, adapun sekarang, saya tidak membutuhkannya lagi.’’’ Maka, dia tidak
mendapatkan seorang pun yang mau menerima sedekahnya. (3 : 84—S.M.)

533.Anjuran untuk bersedekah kepada orang yang membutuhkannya


Diriwayatkan dari Jarir bin ‘Abdillah r.a.: Pada suatu pagi, kami pernah berkumpul bersama
Rasulullah Saw. , lalu datanglah suatu kaum dengan berkaki telanjang, berpakaian loreng dan
compang- camping sambil menyandang pedang. Kebanyakan dari mereka itu dari Suku Mudhar,
bahkan semuanya dari Suku Mudhar. Oleh karena itu, berubahlah wajah Rasulullah Saw. Setelah
mengetahui kefakiran mereka. Beliau masuk, lalu keluar lagi, kemudian beliau menyuruh Bilal
mengumandangkan Azan dan Iqamah, terus beliau mengerjakan shalat. Setelah itu beliau
berkhutbah, diantara khutbah itu, beliau bersabda, “ Wahai sekalian manusia, takutlah kepada
Tuhanmu yang telah menciptakanmu dari diri yang satu (Adam) , dan darinya Allah menciptakan
istrinya; dan dari keduanya itulah Allah mengembangbiakan Laki- laki dan perempuan yang banyak.
Dan bertakwalah kepada Allah, yang dengan menyebut- Nya kamu saling meminta, dan peliharalah
hubungan silahturahmi. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.’’ Lalu beliau
membaca ayat dalam surah Al- Hasyr, “ Wahai orang- orang yang beriman, bertakwalah kepada
Allah, dan hendaklah setiap diri memerhatikan apa yang telah di perbuatnya untuk hari esok
(kiamat).” Oleh karena itu, hendaknya seseorang mendermakan dinarnya, dirhamnya, pakaiannya,
gandumnya dan kurmanya sehingga beliau bersabda, “ (Bersedekahlah) walaupun hanya dengan
separuh buah kurma.” Lalu seorang laki- laki Anshar datang membawa satu kantong yang berat,
yang hampir- hampir dia tidak kuat mengangkatnya. Kemudian orang- orang mengikutinya
berderma, sampai terlihat dua tumpukan makanan dan pakaian, dan saya melihat wajah Rasulullah
Saw. Cemerlang berseri- seri. Kemudian Rasulullah Saw. Bersabda “ Barang siapa yang membuat
suatu jejak kebaikan dalam Islam, dia mendapatkan pahalanya dan pahala orang yang
mengerjakannya sesudahnya, tidak mengurai sedikitpun pahala orang yang mengerjakannya. Barang
siapa yang membuat suatu jejak kejelekan dalam Islam, dia mendapatkan dosanya dan dosa orang
yang menerjakannya dan sesudahnya, tidak sedikit pun dosa orang yang mengerjakannya.” (3 : 86-
87—S.M.)

543A. Orang yang banyak bersedekah dan beramal baik.


Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a. : Rasulullah Saw. bersabda, “ Siapakah diantara kalian yang
berpuasa hari ini?” Abu Bakar menjawab, “ Saya.” Beliau bertanya lagi, “ Siapakah diantara kalian
yang hari ini ikut mengantarkan jenazah?” Abu Bakar menjawab, “ Saya.” Beliau bertanya lagi, “
Siapakah diantara kalian yang hari ini memberi makan orang miskin?” Abu Bakar menjawab, “ Saya.”
Beliau bertanya lagi, “ Siapakah diantara kalian yang pada hari ini menjenguk orang sakit?” Abu
Bakar menjawab, “ Saya.” Lalu Rasulullah Saw. Bersabda, “ Seseorang yang terkumpul padanya
perkara- perkara tersebut, pasti akan masuk surga.” (3 : 92—S.M.)

543B. Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a. : Rasulullah Saw. bersabda, “ Barang siapa membelanjakan
sepasang harta kekayaannya (Kuda, Unta, dan sebagainya) di jalan Allah, di surga nanti akan dia akan
mendapatkan panggilan, ‘ Wahai hamba Allah, inilah suatu keberuntungan besar!’ orang yang ahli
shalat, dipanggil dari pintu shalat; orang yang ahli berjuang (jihad), dipanggil dari pintu jihad; orang
yang ahli sedekah, dipanggil dari pintu sedekah; dan orang yang ahli puasa, dipanggil dari pintu
Rayyan.” Lalu Abu Bakaar Al- Shiddiq bertanya, “ Tiadalah seseorang harus dipanggil dari semua
pintu itu, maka adakah seseorang yang dipanggil dari semua pintu itu?” Rasulullah Saw. Menjawab, “
ya, dan saya berharap kamu termasuk diantara mereka yang dipanggil dari semua pintu itu.” (3 :
91—S.M.)

Semua kebaikan itu adalah sedekah


544. Diriwayatkan dari Hudzaifah r.a., dari Nabi Saw.: Beliau bersabda, “ Semua kebaikan itu adalah
sedekah. “ (3 : 82—S.M.)

Tangan yang di atas ( pemberi ) lebih baik dari tangan yang di bawah (peminta )
560. Diriwayatkan dari Abdulah bin Umar r.a. : Rasulullah Saw. Berkutbah di atas mimbar, beliau
menyebut- nyebut sedekah dan menahan diri dari meminta- minta. Beliau bersabda, “ Tangan yang
di atas lebih baik daripada tangan yang di bawah; tangan yang di atas adalah pemberi, sedangkan
tangan yang di bawah adalah peminta.” (3 : 94—S.M.)

561.Diriwayatkan dari Hakim bin Hisam r.a. : saya pernah meminta sesuatu kepada Nabi Saw., lalu
beliau memberinya. Kemudian saya meminta lagi, beliau memberi lagi, Kemudian saya meminta lagi,
beliau memberi lagi. Setelah itu beliau bersabda, “ Sesungguhnya, harta benda ini melimpah dan
menyenangkan, barang siapa yang menerimanya dengan jiwa bersih, diberkatilah dia. Barang siapa
yang menerimanya dengan jiwa serakah , tidak diberkatilah dia; dia tak ubahnya seperti orang
makan yang tak kenal kenyang. Tangan di atas itu lebih baik dari tangan di bawah.” lalu beliau
memberinya. Kemudian saya meminta lagi, beliau memberi lagi,”(3 : 94—S.M.)

Mewakafkan industri dan menyedekahkan produksi


1000. Diriwayatkan dari Ibn ‘Umar r.a.: ‘ Umar r.a. pernah mendapatkan bagian kebun (dari hasil
rampasan perang) di Khaibar. Lalu dia menghadap Nabi Saw. Untuk memohon fatwa tentang kebun
itu. Dia berkata, “ Wahai Rasulullah, saya mendapatkan bagian kebun di Khaibar, yang belum pernah
saya mendapatkan suatu harta yang lebih berharga daripada kebun itu. Maka, apakah yang harus
saya lakukan terhadap kebun itu?” Beliau bersabda, “ Jika kamu mau wakafkanlah kebun itu dan
sedekahkanlah hasilnya!” Kemudian ‘Umar menyedekahkan hasil kebun itu, sedangkan kebunnya
tidak dijual, tidak dibeli, tidak diwariskan, dan tidak dihibahkan. Selanjutnya, dia berkata,” ‘Umar
menyedekahkan hasil kebun itu kepada orang- orang fakir, kaum kerabat, budak, sabilillah ( di jalan
Allah ), ibn sabil ( musafir ),dan tamu. Tiada berdosa orang yang mengurusinya untuk memakan
sebagian dari penghasilan wakaf itu dengan cara baik atau memberi makan kawannya tanpa
menganggapnya sebagai harta miliknya sendiri ( tidak sewenang- wenang mempergunakannya
seperti miliknya sendiri ).” ( 5 : 74—S.M. )

Pahala yang menyertai seseorang sepeninggalnya.


1001. Dari Abu Hurairah r.a.: Rasulullah Saw. Bersabda, “ Apabila seseorang meninggal, putuslah
amalnya, kecuali tiga perkara, yaitu amal jariah, ilmu yang bermanfaat, dan anak saleh yang
mendoakannya.” ( 5 : 73—S.M. )

Hadits Arba'in An-Nawawi dengan Syarah Ibnu Daqiqil 'Ied


Hadist ke- 25, Bersedekah tidak mesti dengan harta
Dari Abu Dzar radhiallahu 'anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, ia berkata: Sesungguhnya
sebagian dari para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam berkata kepada Nabi Shallallahu
‘alaihi wa Sallam : “Wahai Rasulullah, orang-orang kaya lebih banyak mendapat pahala, mereka
mengerjakan shalat sebagaimana kami shalat, mereka berpuasa sebagaimana kami berpuasa, dan
mereka bersedekah dengan kelebihan harta mereka”. Nabi bersabda : “Bukankah Allah telah
menjadikan bagi kamu sesuatu untuk bersedekah ? Sesungguhnya tiap-tiap tasbih adalah sedekah,
tiap-tiap tahmid adalah sedekah, tiap-tiap tahlil adalah sedekah, menyuruh kepada kebaikan adalah
sedekah, mencegah kemungkaran adalah sedekah dan persetubuhan salah seorang di antara kamu
(dengan istrinya) adalah sedekah “. Mereka bertanya : “ Wahai Rasulullah, apakah (jika) salah
seorang di antara kami memenuhi syahwatnya, ia mendapat pahala?” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa Sallam menjawab : “Tahukah engkau jika seseorang memenuhi syahwatnya pada yang haram, dia
berdosa, demikian pula jika ia memenuhi syahwatnya itu pada yang halal, ia mendapat pahala”.
[Muslim no. 1006]
Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam “menyuruh kepada kebaikan adalah shadaqah, mencegah
kemungkaran adalah shadaqah” menyatakan pengakuan bahwa setiap orang yan melakukan amar
ma’ruf dan nahi mungkar dipandang melakukan shadaqah, yang hal ini akan memperjelas makna
tasbih dan hal-hal yang disebut sebelumnya, karena amar ma’ruf dan nahi mungkar adalah fardhu
kifayah, sekalipun bisa juga menjadi fardhu ‘ain. Berbeda halnya dengan dzikir yang merupakan
perbuatan sunnah, pahala atas perbuatan wajib lebih banyak daripada perbuatan sunnah, seperti
yang disebutkan dalam sebuah Hadits Qudsi yang diriwayatkan oleh Bukhari, Allah berfirman :
“Tidaklah hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan perbuatan yang Aku cintai yang Aku
wajibkan kepadanya”.

Hadits Arba'in An-Nawawi dengan Syarah Ibnu Daqiqil 'Ied


Hadist ke-26, Segala perbuatan baik adalah sedekah
Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, ia berkata : “Telah bersabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
Sallam : ‘Setiap anggota badan manusia diwajibkan bershadaqah setiap hari selama matahari masih
terbit. Kamu mendamaikan antara dua orang (yang berselisih) adalah shadaqah, kamu menolong
seseorang naik ke atas kendaraannya atau mengangkat barang-barangnya ke atas kendaraannya
adalah shadaqah, berkata yang baik itu adalah shadaqah, setiap langkah berjalan untuk shalat adalah
shadaqah, dan menyingkirkan suatu rintangan dari jalan adalah shadaqah ”. [Bukhari no. 2989,
Muslim no. 1009]
Dalam shahih Muslim disebut jumlah anggota badan ada tiga ratus enam puluh. Qadhi ‘Iyadh
berkata : “Pada asalnya kata “sulaama” bermakna tulang, telapak tangan, jari-jari dan kaki,
kemudian kata tersebut biasa dipakai dengan arti seluruh anggota badan”.Sebagian ulama berkata :
“Yang dimaksud di sini adalah shadaqah anjuran atau peringatan, bukan berarti shadaqah yang
wajib. Sabda beliau “kamu mendamaikan antara dua orang (yang berselisih) adalah shadaqah” yaitu
mendamaikan keduanya secara adil.
Pada Hadits lain riwayat Muslim disebutkan :“Setiap anggota badan dari seseorang di antara kamu
dapat berbuat shadaqah. Setiap tasbih adalah shadaqah, setiap tahmid adalah shadaqah, setiap
tahlil adalah shadaqah, setiap takbir adalah shadaqah, amar ma’ruf adalah shadaqah, tetapi
semuanya itu bisa Dicukupkan dengan (melakukan) dua raka’at shalat Dhuha”.
Maksudnya, semua shadaqah yang dilakukan oleh anggota badan tersebut dapat diganti dengan dua
raka’at shalat Dhuha, karena shalat merupakan kerja dari semua anggota badan. Jika seseorang
shalat, maka seluruh anggota badannya menjalankan fungsinya masing-masing. Wallahu a’lam.

Filantropi Islam, yang di wujudkan dalam zakat, infak, sedekah dan wakaf. Zakat adalah salah satu
upaya atau kegiatan aktivitas dalam Filantropi Islam. Zakat merupakan salah satu rukun Islam yang
ketiga. Zakat berasal bentukan kata “zaka” yang berarti suci, baik, berkah, tumbuh dan berkembang.
Menurut terminologi syariah (istilah). Kaitan antara makna secara bahasa dan istilah ini sangat erat
sekali. Zakat adalah bagian dari harta yang wajib diberikan oleh setiap muslim yang memenuhi
syarat kepada orang- orang tertentu, dengan syarat- syarat tertentu pula. Harta yang dikeluarkan
itu, akan membersihkan, mensucikan, diberkahi, semua harta yang dizakati, dan memelihara
pertumbuhannya. Adapun persyaratan harta yang wajib dizakatkan itu, antara lain sebagai berikut.
Pertama Al- milk at- tam yang berarti harta itu dikuasai secara penuh dan dimili secara sah, yang di
dapat dari usaha, bekerja, warisan, atau pemberian yang sah, dimungkinkan untuk dipergunakan
dan diambil manfaatnya, atau kemudian disimpan. Di luar itu seperti hasil korupsi, kolusi, suap, atau
perbuatan tercela lainnya, tidak sah dan tidak akan diterima zakatnya. Dalam hadist riwayat Imam
Muslim, Rasulullah pernah bersabda bahwa Allah SWT tidak akan menerima zakat atau sedekah dari
harta yang ghulul (didapatkan dengan cara batil). Kedua, an-namaa adalah harta yang berkembang
jika di usahakan atau memiliki potensi untuk berkambang misalnya hata perdagangan, peternakan,
pertanian, deposito mudharabah, usaha bersama, obligasi, dan lain sebagainya. Ketiga, telah
mencapai nisab, Harta itu telah mencapai ukuran tertentu. Keempat, telah melebihi kebutuhan
pokok, yaitu kebutuhan minimal yang dibutuhkan seseorang dan keluarganya yang menjadi
tanggungannya untuk kelangsungan hidupnya. Kelima, telah mencapai satu tahun untuk harta- harta
tertentu, misalnya perdagangan. Akan tetapi tanaman dikeluarkan zakatnya pada saat memanennya.
Zakat dapat dibedakan antara; Zakat mall dan zakat fitrah. Zakat mall adalah bagian dari harta
kekayaan seseorang (badan hukum) yang wajib dikeluarkan untuk golongan orang- orang tertentu
setelah dipunyai selama jangka waktu tertentu dalam jumlah minimal tertentu pula. Kekayaan yang
wajib dikeluarkan zakatnya itu adalah :
Emas, perak dan uang
Barang dagangan
Binatang ternak
Hasil bumi, hasil laut serta hasil jasa seseorang
Barang tambang & barang hasil temuan
Masing- masing golongan harta kekayaan ini berbeda nisab, yakni jumlah minimum harta kekayaan
yang wajib dikeluarkan zakatnya. Haul yaitu jangka waktu yang ditentukan bila seseorang wajib
mengeluarkan zakat hartanya, dan Qadar zakatnya yakni ukuran besarnya zakat yang harus di
keluarkan. Tuhan menyebut delapan golongan orang- orang yang berhak menerima zakat (8
Asnaf)yaitu:
Fakir
miskin
Amil (orang yang mengurus zakat.)
Muallaf (orang yang baru masuk Islam yang lemah imannya.)
Riqab (hamba sahaya atau budak belian yang baru diberi kebebasan berusaha untuk menebus
dirinya supaya menjadi orang merdeka.)
Gharim (orang yang berhutang)
Sabilillah (orang yang dengan segala usaha yang baik, dilakukannya untuk kepentingan agama dan
ajaran Islam)
Ibnussabil (orang yang kehabisan biaya dalam perjalanan yang bermaksud baik)

Sedangkan zakat fitrah adalah pengeluaran yang wajib dilakukan oleh setiap muslim yang
mempunyai kelebihan dari nafkah keluarga yang wajar pada malam sebelum hari raya Idulfitri.
Banyaknya 2,5 kg atau 3,5 liter beras yang dapat dibayar dengan uang seharga tiga setengah liter
beras itu. Beras yang dikeluarkan untuk zakat fitrah harus sama kualitasnya dengan beras yang biasa
dikonsumsi oleh orang yang bersangkutan sehari- hari. Seorang kepala keluarga, selain dari
memfitrahi dirinya sendiri wajib juga memfitrahi semua orang yang menjadi tanggungannya,
termasuk istri, anak- anak, orangtua, bahkan pembantu rumah tangganya. Pengeluaran zakat fitrah
boleh dilakukan sejak permulaan bulan Ramadhan, namun yang paling utama adalah pada malam
sebelum Idulfitri (akhir ramadhan). Selambat- lambatnya pagi 1 syawal sebelum shalat Idulfitri
dimulai. Fitrah yang dibayar setelah dilakukannya shalat Idulfitri maka dianggap sedekah biasa,
bukan zakat fitrah lagi. Yang diutamakan menerima zakat fitrah adalah fakir miskin (Hadist).
Infak berasal dari kata “anfaqa” yang berarti mengeluarkan sesuatu (harta) untuk kepentingan
sesuatu. Termasuk pengertian ini, infak yang dikeluarkan orang kafir untuk kepentingan agamanya
(surah al- anfal : 36). Sedangkan menurut terminologi syariah, infak berarti mengeluarkan sebagian
dari harta atau pendapatan/ penghasilan untuk sutu kepentingan yang diperintahkan ajaran Islam.
Jika Zakat ada nisabnya, infak tidak mengenal nisabnya. Infak dikeluarkan oleh setiap orang yang
beriman, baik yang barpenghasilan tinggi maupun rendah, apakah ia disaat lapang maupun sempit.
Jika zakat harus diberikan pada orang yang berhak dizakati atau 8 asnaf, maka infak dapat diberikan
kepada siapa pun juga, misalnya untuk kedua orang tua, anak yatim, dan sebagainya. Infak juga
berarti, pengeluaran sukarela yang dilakukan seseorang setiap kali ia memperoleh rezeki, sebanyak
yang dikehendakinya sendiri.
Sedekah berasal dari kata “Shadaqa” yang berarti “benar” orang yang suka bersedekah adalah orang
yang benar pengakuan imannya. Menurut terminologi syariah, pengertian sedekah sama dengan
pengertian infak, termasuk hukum dan ketentuan- ketentuannya. Hanya saja, jika infak berkaitan
dengan materi, sedekah memili arti lebih luas, menyangkut hal yang bersifat nonmateriil. Seringkali
kata- kata sedekah dipergunakan dalam al-quran, tetapi maksud sesungguhnya adalah zakat. Yang
perlu diperhatikan, jika seseorang telah berzakat tetapi masih memiliki kelebihan harta, sangat
dianjurkan sekali untuk berinfak dan bersedekah, Berinfak adalah ciri utama orang yang bertakwa,
ciri mukmin yang sungguh- sungguh imannya, ciri mukminin yang mengharapkan keuntungan abadi.
Berinfak akan melipat gandakan pahala di sisi Allah. Sebaliknya, tidak mau berinfak sama dengan
menjatuhkan diri pada kebinasaan. Sedekah adalah pemberian sukarela yang dilakukan seseorang
kepada orang lain, terutama kepada orang- orang miskin, setiap kesempatan terbuka yang tidak
ditentukan baik jenis, jumlah maupun waktunya. Lembaga sedekah sangat digalakan oleh ajaran
Islam untuk menanamkan jiwa sosial dan mengurangi penderitaan orang lain. Sedekah tidak terbatas
pada pemberian yang bersifat material saja, tetapi juga dapat berupa jasa yang bermanfaat bagi
orang lain. Bahkan senyum yang dilakukan dengan ikhlas untuk menyenangkan orang lain, termasuk
dalam katagori sedekah.
Secara harfiah, wakaf berarti “al- habsu” “menahan” atau “mendiamkan sesuatu”, wakaf adalah
menahan atau mendiamkan sesuatu benda sehingga tidak bisa dimanfaatkan lagi oleh pemiliknya
semula karena telah berubah status kepemilikannya. Contohnya : sebidang tanah yang awalnya
adalah milik Pak Ahmad, kemudian diwakafkan kepada suatu yayasan untuk dibangun di atasnya
sebuah masjid maka sejak itu tanah tersebut tidak bisa lagi dimanfaatkan oleh Pak Ahmad. Tanah
tersebut telah berubah kepemilikannya dari hakkul- adam ‘ hak manusia ‘ menjadi hakkullahi ‘ hak
Allah ‘. Karena itu,wakaf tidak boleh diperjual belikan, diwariskan, atau diberikan kepada orang
(pihak lain) yang menyebabkan hilangnya wakaf tersebut. Wakaf artinya menahan sesuatu benda
yang kekal zatnya untuk diambil manfaatnya sesuai dengan ajaran Islam. Orang yang telah
mewakafkan hartanya tidak berhak lagi atas barang atau benda yang diwakafkan itu karena selain
dari ia telah menanggalkan haknya atas bekas hartanya itu, peruntukannya pun telah berbeda pula
yakni untuk kepentingan orang lain atau untuk kepentingan umum. Wakaf adalah salah satu
lembaga pemanfaatan yang sangat digalakan dalam ajaran Islam karena merupakan perbuatan baik
yang pahalanya tidak putus- putus diterima oleh yang melakukannya, selam barang yang diwakafkan
itu tidak musnah dan terus dimanfaatkan orang. Menuru ketentuan Islam, ada beberapa unsur dan
syarat yang harus dipenuhi agar wakaf terwujud, yaitu : Ada orang yang mewakafkan hartanya, ada
harta yang di wakafkan, ada tujuan yang jelas, ada pernyataan atau ikrar dari orang yang berwakaf
dan Ikrar itu (di Indonesia) harus di ucapkan menurut ketentuan yang berlaku.
Filantropi Islam sebagai wujud nyata dalam pemerataan pendapatan, dari suatu hasil ekonomi,
berdasarkan syariah Islam yang bersumber dari Al- Quran dan Hadist. Pemerataan hasil kegiatan
ekonomi untuk kemaslahatan umat Islam, atau harus dapat dirasakan oleh seluruh umat Islam, tidak
ada kecemburuan sosial antara si kaya dan si miskin, tidak ada lagi jurang pemisah diantara mereka,
semua saling cinta kasih, saling membantu antara yang mampu dengan yang tidak mampu, saling
tolong menolong, saling menghargai hak dan kewajiban masing – masing dan hidup damai, Dengan
Filantropi Islam ( ZISWAF) diharapkan semua umat Islam dapat hidup makmur sejahtera dan bahagia
dunia maupun akherat.
Daftar Pustaka

Hadist 36. TERJEMAH HADIST SHAHIH BUKHARI AL IMAM AL BUKHARI oleh UmairulAhbab Baiquni,
penerbit “ HUSAINI” Bandung.
MENJAWAB PERSOALAN FIQIH IBADAH, Ahmad Zubaidi, dkk, penerbit“ Al- Mawardi Prima”
PANDUAN PRAKTIS TENTANG ZAKAT, INFAK, SEDEKAH, DRS. K.H. Didin Hafidhuddin, M.Sc. , penerbit
“Gema Insani”.
PEDOMAN ZAKAT, Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, penerbit “ PT. Pustaka Rizki Putra”
Semarang.
SISTEM EKONOMI ISLAM ZAKAT DAN WAKAF, Mohammad Daud Ali, penerbit Universitas Indonesia.
FIQIH SEHARI- HARI, Saleh Al- Fauzan, penerbit “ Gema Insani” Jakarta 2006.
PEDOMAN HIDUP MUSLIM, Abu Bakr Jabir Al- Jaza’iri, penerbit “ Litera AntarNusa”.
Hadist 501, 509, 510, 511, 523, 525, 526, 533, 543A, 543B, 544, 560, 561, 1000, 1001, RINGKASAN
SHAHIH MUSLIM, disusun oleh, Al- Hafizh Zaki Al-Din ‘Abd Al- ‘ Azhim Al-Mundziri, penerjemah :
Syinqithy Djamaluddin dan H.M. Mochtar Zoerni, penerbit, “ Mizan”.
Hadist Arba’in An- Nawawi dengan Syarah Ibnu Daqiqil’ Ied, “ Versi 1.0”, Dzulqa’dah 1426 H
(Desember 2005).
Al- Quran Digital, “ Versi 2.1”, Jumadil akhir 1425 H (Agustus 2004)
Pengenalan Eksklusif EKONOMI ISLAM, Mustafa Edwin Nasution dkk, “ Kencana Prenada Media
Group” Jakarta 2006.
Literatur dari Internet, “ Filantropiuntuk keadilan sosial”.

Posted by Mamet at 16:37

Labels: Ekonomi

http://slamet-wiharto.blogspot.co.id/2008/09/manajemen-zis-menurut-al-quran-hadist-i.html

Anda mungkin juga menyukai