Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Ekonomi Zakat Dan Wakaf
Kelompok 3
Ekonomi Islam 6 D
Makalah ini kami susun untuk memenuhi salah satu tugas perkuliahan semester enam pada mata
kuliah EKONOMI ZAKAT DAN WAKAF. Selain itu makalah ini disusun sebagai media pembelajaran bagi
kami, yang mana kami sangat berharap agar makalah kami ini dapat memberikan manfaat dan ilmu bagi
yang membacanya.
Kami sebagai penulis menyadari bahwa makalah ini jauh dari kata sempurna, dan masih
sangat banyak kesalahan dan kekurangan di dalamnya. Untuk itu, kami sangat berharap bagi
siapapun yang membaca makalah ini untuk dapat memberikan kritik dan saran, agar makalah ini
dapat lebih baik lagi dan apabila dalam pembuatan makalah selanjutnya kami menjadi lebih paham
dimana letak kesalahan dan kekurangan dalam penyusunan makalah. Dan apabila terdapat banyak
kesalahan kami mohon maaf sebesar-besarnya.
Demikianlah kami ucapkan terimakasih, Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.
Penyusun
i
DAFTAR ISI
3.1 Kesimpulan............................................................................................................. 14
ii
BAB I
PENDAHULUAN
Zakat, sebagai salah satu rukun Islam, tidak hanya menjadi kewajiban agama tetapi juga
instrumen redistribusi kekayaan yang bertujuan untuk mengurangi kesenjangan sosial dan
ekonomi. Sedangkan wakaf, dengan filosofi amal jariyahnya, memberikan kontribusi
berkelanjutan untuk kesejahteraan umat melalui penyediaan layanan sosial, pendidikan, dan
infrastruktur publik.
Dalam sejarah Indonesia, zakat dan wakaf telah menjadi pendorong utama dalam
pembangunan lembaga-lembaga sosial dan keagamaan. Pada masa kolonial, lembaga-lembaga
keagamaan seperti pesantren dan majelis-majelis agama turut berperan dalam mengelola dana
zakat dan wakaf untuk mendukung kegiatan sosial dan pendidikan. Setelah kemerdekaan, peran
pemerintah semakin terlihat dalam mengatur dan memfasilitasi lembaga-lembaga zakat dan wakaf.
Meskipun demikian, pelembagaan zakat dan wakaf di Indonesia masih dihadapkan pada
berbagai tantangan. Kurangnya kesadaran masyarakat tentang pentingnya zakat dan wakaf,
kurangnya transparansi dalam pengelolaan dana, dan kurangnya infrastruktur yang memadai
menjadi beberapa kendala utama. Namun, dengan meningkatnya kesadaran akan pentingnya zakat
dan wakaf, serta upaya pemerintah dan lembaga-lembaga terkait untuk memperkuat infrastruktur
dan regulasi, terbuka peluang besar untuk meningkatkan efektivitas pelembagaan zakat dan wakaf
dalam mendukung pembangunan ekonomi dan kesejahteraan sosial di Indonesia.
1
1.2 Rumusan Maslah
1.3 Tujuan
2
BAB II
PEMBAHASAN
Zakat adalah kewajiban yang diwajibkan Allah kepada umat Islam. Rukun Islam ketiga
juga termasuk zakat, yang merupakan sejenis ibadah. Menurut fikih, zakat mengacu pada jumlah
tertentu harta yang Allah harus mendistribusikan kepada mereka yang berhak. Zakat adalah
kewajiban sosial untuk aghniya' (kekayaan) setelah mencapai batas minimum (nishab) dan
berlangsung selama satu tahun penuh (haul). Menjamin pemerataan keadilan dalam perekonomian
merupakan salah satu ketentuan bijak zakat. Zakat, salah satu aset untuk membangun ekonomi
Islam, memiliki kemampuan sebagai sumber pendanaan yang strategis bagi inisiatif-inisiatif yang
bertujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.1
Secara bahasa kata zakat mempunyai arti, yaitu: keberkahan, pertumbuhan, perkembangan,
dan kesucian, secara istilah zakat adalah bagian dari harta dengan persyaratan tertentu yang
diwajibkan Allah SWT kepada pemiliknya untuk diserahkan kepada yang berhak menerimanya
dengan persyaratan tertentu pula. Dengan demikian pengertian zakat baik secara bahasa dan istilah
bahwa harta yang dikeluarkan zakatnya akan menjadi berkah, tumbuh, berkembang dan
bertambah, suci dan baik.2
Untuk memastikan bahwa zakat yang dikumpulkan diberikan kepada mustahiq (mereka
yang benar-benar memenuhi syarat untuk menerima zakat), Al-Qur'an memberikan indikator.
Dalam hal ini Allah berfirman dalam surah At-Taubah ayat 103 Artinya: "Ambillah zakat dari
sebagian harta mereka, dengan zakat tersebut engkau membersihkan dan menyucikan mereka"
(Q.S. At-Taubah :103) Dalam zakat terdiri dari dua jenis zakat yaitu, zakat fitrah dan zakat mal.
Setiap muslim diwajibkan membayar zakat fitrah pada bulan Ramadhan setiap tahunnya dengan
tujuan mensucikan diri, memberi kepada mereka yang membutuhkan, dan berfungsi sebagai
pengingat terus menerus selama puasa Ramadhan.3
1
Salasiah Nuraini Utami and Faishol Luthfi, “Peran Zakat, Infak, Sedekah, Dan Waqaf Dalam Menanggulangi
Kemiskinan Studi Pada Baitulamaal Iltizam Indonesia” 1 (2023): 2023.
2
Yandi Bastiar and Efri Syamsul Bahri, “Model Pengkuran Kinerja Lembaga Zakat Di Indonesia,” ZISWAF : Jurnal
Zakat dan Wakaf 6, no. 1 (2019): 43.
3
Amelia Amelia, Muhammad Iqbal Fasa, and Suharto Suharto, “Implementasi Zakat Terhadap Pertumbuhan Ekonomi
3
Zakat mal, di sisi lain, terjadi ketika seorang Muslim harus membayar zakat sesuai dengan
nisab dan haulnya. Tidak ada batasan waktu kapan zakat mal dapat dikeluarkan. Zakat mal terdiri
dari beberapa kategori zakat yang berbeda, seperti zakat perdagangan, zakat pendapatan, zakat
pertanian, zakat kelautan, zakat pertambangan, zakat emas dan perak, zakat hasil ternak, dan lain-
lain. Setiap jenis zakat dihitung secara berbeda.4
Kata “wakaf” atau “waqf” berasal dari bahasa Arab “waqafa” yang berarti “menahan” atau
“berhenti”. Al Waqf dalam bahasa Arab mengandung beberapa pengertian yaitu menahan harta
untuk di wakafan. Secara syariah wakaf berarti menahan harta dan memberikan manfaatnya di
jalan Allah SWT.
Menurut Madzhab Hanafi adalah menahan suatu benda yang menurut hukum, tetap milik
si wakif/pewakaf dan mempergunakan manfaatnya untuk kebajikan. Hak kepemilikan tetap pada
pewakaf, maka atas harta yang diwakafkan dapat ditarik kembali, dijual dan jika si pewakaf wafat
maka harta itu menjadi harta warisan bagi ahli warisnya. Dengan demikian yang timbul dari wakaf
hanyalah menyumbangkan manfaat sementara kepemilikan tetap milik wakif. Wakaf menurut
madzhab Maliki adalah menahan benda milik pewakaf (dari penggunaan secara kepemilikan
termasuk upah) tetapi membolehkan pemanfaatan hasilnya untuk tujuan kebaikan, yaitu pemberian
manfaat benda secara wajar untuk suatu masa tertentu sesuai dengan akad wakaf dan tidak
dibolehkan sebagi wakaf lafa (selamanya).
Madzhab Syafi’I dan Ahmad bin Hambali berpendapat bahwa wakaf adalah menahan harta
pewakaf untuk bisa dimanfaatkan di segala bidang kemaslahatan dengan tetap melanggengkan
harta tersebut sebagai taqarub (mendekatkan diri) kepada Allah SWT. Pewakaf tidak dapat
melarang penyaluran harta tersebut, jika terdapat pelarangan maka hukum berhak memaksanya.
Madzhab syafi’I mendefinisikan wakaf dengan tidak melakukan tindakan atas suatu benda yang
statusnya dimiliki oleh Allah SWT dengan menyedekahkan manfaatnya untuk kepentingan sosial.
Pendapat lainnya memiliki pengertian yang sama dengan pendapat ke tiga namun memiliki
perbedaan pada kepemilikan atas benda yang diwakafkan yaitu menjadi pemilik penerima wakaf,
meskipun ia tidak berhak melakukan suatu tindakan atas harta wakaf tersebut, baik menjualnya
Dilihat Dari Perspektif Ekonomi Islam,” Jurnal Bina Bangsa Ekonomika 15, no. 1 (2022): 211–219.
4
E Haryono, “Pemberdayaan Ekonomi Islam Melalui Optimalisasi Zakat,” Al fattahejournalsmaalmuhammadcepu 1,
no. 1 (2023): 17–30.
4
ataupun menghibahkannya.5
Sedangkan Wakaf dalam pasal 1 Undang-Undang Nomor 41 2004 tentang wakaf adalah
perbuatan hukum waqif untuk memisahkan dan atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya
untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingan guna
keperluan ibadah dan atau kesejahteraan umm menurut syariah. Dengan demikian wakaf
merupakan suatu perbuatan sunnah untuk tujuan kebaikan, seperti membantu perkembangan
sektor keagamaan baik pembangunan dibidang material maupun spiritual.6
5
Septi Purwaningsih and Dewi Susilowati, “Peran Wakaf Dalam Meningkatkan Pemberdayaan Ekonomi Umat,”
Jurnal Ekonomi, Bisnis, dan Akuntansi 22, no. 2 (2020): 191–203.
6
Nanda Suryadi and Arie Yusnelly, “Pengelolaan Wakaf Uang Di Indonesia,” Syarikat: Jurnal Rumpun Ekonomi
Syariah 2, no. 1 (2019): 27–36.
7
Aden Rosadi, Zakat Dan Wakaf Konsep, Regulasi, Dan Implementasi, Simbiosa Rekatama Media, 2019,
http://digilib.uinsgd.ac.id/21442/1/Hukum Zakat dan Wakaf.pdf.
5
pendistribusian dan pendayagunaan zakat, penggolongan LAZ dan hal lain yang dianggap
menambah luas deskripsi OPZ. Berdasarkan latar belakang di atas, maka tulisan ini dimaksudkan
untuk mendeskripsikan apa yang dimaksud Organisasi Pengelola Zakat (OPZ).
Keberadaan Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS), secara hukum sesuai dengan Keputusan
Presiden Republik Indonesia nomor 14 Tahun 2014. Alasan dibentuknya Badan Amil Zakat
Nasional adalah dalam rangka pengelolaan zakat secara lebih berdaya guna dan berhasil guna serta
dapat dipertanggungjawabkan. Secara struktural Badan Amil Zakat, merupakan organisasi
pengelola zakat yang dibentuk oleh pemerintah, sehingga kedudukkannya akan disesuaikan dengan
struktural pemerintah, seperti terlihat dalam tabel berikut
6
b. Lembaga Amil Zakat (LAZ)
1. Kententuan Umum
1) Pembentukan LAZ wajib mendapat izin Menteri atau pejabat yang ditunjuk oleh Menteri.
Dilihat dari sejarah pendirian LAZ yang menjadi target populasi penelitian ini, terbagi
menjadi lima kelompok bedasarkan alasan dan sejarah pendirian (Sri Fadilah.2012), yaitu:
1) Selain Badan Amal Zakat Nasional, Pemerintah Melalui Kementerian Agama juga
mengesahkan Lembaga AMal Zakat (LAZ) skala Nasional: LAZ Yayasan Baitul Maal
Muamalat, LAZ Perkumpulan Persatuan Islam, LAZ Nurul Hayat, LAZ Yayasan Global
Zakat, LAZ Dompet Dhuafa Republika, LAZ Yayasan Dana social Al Falah, LAZ Bairul
Maal Hidayatullah, LAZ lembaga Manajemen Infak Ukhuwah Islamiyah, LAZ Dompet
Peduli Umat Daarut Tauhid, LAZ Yayasan Rumah Zakat Indonesia, LAZ dewan da’wah
Islamiyah Indonesia, LAZ Inisiatif Zakat Indonesia, LAZ Pesantren Islam Al Azhar dan LAZ
Yayasan Yatim Mandiri Surabaya.
2) LAZ yang berbasis masjid LAZ didirikan dengan basis masjid seperti: LAZ Rumah Amal
Salman (masjid Salman ITB); LAZ Al Azhar Peduli (masjid Al Azhar); dan LAZ DPU-DT
(masjid Daarut Tauhid). Umumnya, pendirian LAZ ini sebagai akibat dari perkembangan
yang pesat dalam manajemen masjid dan kepercayaan masyarakat (jamaah masjid),
7
khususnya berkaitan dengan pengelolaan keuangan masjid (termasuk dana ZIS oleh DKM
masjid). Selanjutnya adanya dana yang besar harus dikelola lebih profesional melalui
pendirian LAZ sebagai bentuk tangung jawab pengelola dan untuk meningkatkan peran
masjid kepada masyarakat, baik masyarakat sekitar masjid maupun masyarakat luas.
3) LAZ yang berbasis Organisasi Massa (Ormas) LAZ pada kelompok ini, didirikan dengan
basis organisasi masa ormas) seperti LAZ Pusat Zakat Ummat (Ormas Persis), LAZ NU
(Ormas NU), dan LAZ Muhammadiyah (Ormas Muhammadiyah). Umumnya, LAZ didirikan
dalam rangka dan menjadi media untuk meningkatkan peran organisasi masa bagi
masyarakat, baik masyarakat anggota organisasi masa tersebut maupun masyarakat luas.
4) LAZ berbasis Perusahaan (Corporate) LAZ didirikan dengan basis perusahaan (corporate)
seperti: LAZ Baitul Maal Muttaqien (PT. Telkom); Baitul Maal Muammalat (Bank
Muammalat Indonesia); Baitul Maal BRI (Bank BRI); Baitul Maal Pupuk Kujang (PT. Pupuk
Kijang Cikampek). Umumnya pendirian LAZ ini, sebagai bagian dari program
pertanggungjawaban sosial perusahaan (CSR). Selanjutnya untuk mengelola dana CSR
perusaha- an yang besar, perlu lembaga yang profesional, diantara- nya dengan mendirikan
LAZ. Kemudian, diharapkan dengan pendirian LAZ, program-program CSR peru- sahaan
akan lebih terarah, bersifat sistematis dan berdampak jangka panjang, juga meningkatkan
peran perusahaan bagi masyarakat khususnya bidang sosial kemasyarakatan.
5) LAZ berbasis sebagai Organisasi Pengumpul Zakat (OPZ) LAZ didirikan dengan tujuan awal
sebagai organisasi pengelola zakat (OPZ). LAZ dalam kelompok ini seperti: LAZ Rumah
Zakat Indonesia; LAZ Dompet Dhuafa; LAZ Rumah Yatim Arrohman. Alasan pendirian
LAZ ini, sebagai bentuk partisipasi masyarakat (civil society) berkaitan dengan pengelolaan
dana ZIS yang lebih profesional.
1) Penghimpunan Zakat
8
Sholikul Hadi et al., Manajemen Zakat Dan Wakaf : Zakat Produktif, Pustaka Radja, 2015.
9
2.3. PEMBENTUKAN DAN PERKEMBANGAN BWI
9
Dunyati Ilmiah, “Optimalisasi Asset Wakaf Melalui Sukuk Wakaf Di Indonesia,” JESI (Jurnal Ekonomi Syariah
Indonesia) 9, no. 2 (2019): 127–137.
10
N. Oneng Nurul Bariyah, “DINAMIKA ASPEK HUKUM ZAKAT DAN WAKAF,” Ahkam: Jurnal Ilmu Syariah
16, no. 2 (2016): 197–212.
10
2. Masa Dinasti-dinasti Islam
1) Pada Masa Dinasti Umayya
Praktek wakaf menjadi luas pada masa dinasti Umaiyyah dan dinasti Abbasiyah. Pada
masa Umaiyah yang emnjadi hakim Mesir adalah Taubah bin Ghar al-Hadhramiy pada
masa khalifah Hisyam bin Abd. Malik. Ia sangat perhatian dan tertarik dengan
pengembangan wakaf sehingga terbentuk lembaga wakaf tersendiri sebagaimana lembaga
lainnya dibawah pengawasan hakim.Lembaga wakaf inilah yang pertama kali dilakukan
dalam administrasi wakaf di Mesir, bahkan di seluruh Negara Islam.
Pada masa dinasti Abbasiyah Pada masa dinasti Abbasiyah terdapat lembaga wakaf
yang disebut dengan “Shadr al- Wukuuf” yang mengurus administrasi dan memilij staf
pengelola lembaga wakaf.
A. Perkembangan Wakaf
Praktek wakaf di Indonesia sudah ada sejak Islam datang dan diterima oleh
masyarakat Indonesia, jauh sebelum penjajahan dan kemerdekaan Indonesia. Dalam tradisi
masyarakat adat, hukum wakaf belum tertulis, tetapi berlaku secara turun-temurun dari satu
generasi ke generasi. Pada zaman Pemerintahan Kolonial Hindia Belanda telah dikeluarkan
peraturan-peraturan.
Pertama, Surat Edaran Sekretaris Gubernemen Pertama tanggal 31 Januari 1905 No.
435 sebagaimana termuat dalam Bijblad 1905 Nomor 6196 tentang Toezicht op den bouw
van Muhammedaansche bedenhuizen. Surat edaran ini ditujukan kepada para kepala
daerah di Jawa dan Madura kecuali daerah swapraja untuk melakukan pendataan dan harus
dimuat asal-usul tiap rumah ibadat dipakai shalat Jumat atau pendaftaran tanah-tanah atau
tempat ibadah Islam yang ada di daerah masing-masing.
12
Kedua, Surat Edaran Sekretaris Guvernemen tanggal 04 Juni 1931 Nomor 1361/A
termuat dalam Bijblad No. 125/3 tahun 1931 nomor 125/A tentang Toezich van de
regeering op Muhammadaansche bedehuizen Vrijdag diensten en Wakafs. Surat edaran ini
merupakan kelanjutan dan perubahan dari Bijblad tahun 1905 No. 6196, yaitu tentang
pengawasan Pemerintah atas rumah-rumah peribadatan orang Islam, sembahyang jum’at
dan wakaf. Untuk mewakafkan tanah tetap harus ada izin Bupati dan dimasukan dalam
daftar yang dipelihara oleh Ketua Pengadilan Agama. Dari semua pendaftaran
diberitahukan kepada Asisten Wedana untuk bahan baginya dalam pembuatan laporan
kepada kantor Landrente.
Ketiga, Surat Edaran Sekretari Governemen tanggal 24 Desember 1934 Nomor
3088/A termuat dalam Bijblad No. 13390 tahun 1934 tentang Toezicht van de Regeering
op Mohammedaansche bedehuizen Vrijdag diensten en Wakafs. Surat edaran ini
mempertegas Surat edaran sebelumnya yang memberikan wewenang kepada Bupati dalam
menyelesaikan sengketa tanah wakaf.
Keempat, Surat Edaran Sekretari Governemen tanggal 27 Mei 1935 Nomor 1273/A
termuat dalam Bijblad No. 13480 tahun 1935 tentang Toezicht van de Regeering op
Muhammedaansche bedehuizen Vrijdag diensten en Wakafs. Dalam surat edaran ini antara
lain ditentukan bahwa Bijblad No. 61696 menginginkan registrasi tanah wakaf.
Pada zaman kemerdekaan telah dikeluarkan pula beberapa ketentuan tentang wakaf
ini, baik penunjukkan instansi yang mengurusnya dan juga teknis pengurusan- nya.
Ketentuan-ketentuan tersebut adalah sebagai berikut:
Pertama, Surat Edaran Kementerian Agama. Setelah Kementerian Agama dibentuk
pada tanggal 3 januari 1936, urusan tanah wakaf menjadi urusan kementrian agama bagian
D (ibadah social). Selanjutnya, pada tanggal 8 oktober 1956, Kementerian Agama
mengeluarkan surat edaran nomor 5/D/1956 tentang prosedur perwakafan tanah.21
Kedua, Peraturan Pemerintah. Ada beberapa pe- raturan pemerintah yang
dikeluarkan terkait dengan wakaf pasca kemerdekaan, yaitu:
(1) PP. No. 33 Tahun 1949 jo. No. 8 Tahun 1950;
(2) Peraturan Menteri Agama RI No. 2 Tahun 1958 tentang lapangan tugas, susunan,
dan Pimpinan Kementrian Agama RI;
(3) Peraturan Menteri Agama No. 3 Tahun 1958.
Ketiga, UU No. 5 Tahun 1960. UU Pokok Agraria No 5 tahun 1960 dalam pasal 5,
13
pasal 14 ayat (1) dan pasal 49 ayat (1), (2), dan (3). Pasal 49 berbunyi:
“Hak milik tanah badan-badan keagamaan dan sosial sepanjang dipergunakan untuk
usaha dalam bidang keagamaan dan sosial, diakui dan dilindungi. Badan- badan tersebut
dijamin pula akan memperoleh tanah yang cukup untuk bangunan dan usahanya dalam
bidang keagamaan dan sosial”
“Untuk keperluan peribadatan dan keperluan suci lainnya sebagai dimaksud dalam
pasal 14 dapat diberikan tanah yang dikuasai langsung oleh Negara dengan hak pakai.”
“Perwakafan tanah milik dilindungi dengan Peraturan Pemerintah.”
11
Juliana Nasution, Ekonomi Zakat Wakaf (Medan : FEBI UIN-SU Press,2023), Hal 23.
Romi Suradi and Bustami, “Peran Pemerintah Dalam Pengelolaan Zakat Menurut Abu Ubaid Al Qasim ( Studi
12
Kasus Kota Pontianak ),” JIEI: Jurnal Ilmiah Ekonomi Islam 8, no. 03 (2022): 3333–3348.
14
pengoordinasian dalam pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat yang bertujuan
untuk meningkatkan efektifitas dan efisiensi pelayanan dalam pengelolaan zakat dan
meningkatkan manfaat zakat untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan penanggulangan
kemiskinan (Undang-Undang Republik Indonesia, 2011).Badan Amil Zakat Nasional atau
BAZNAS merupakan lembaga yang berwenang melakukan tugas pengelolaan zakat secara
nasional, dalam melaksanakan tugas dan fungsinya, BAZNAS dapat bekerja sama dengan pihak
terkait sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan (Undang-Undang Republik
Indonesia, 2011).Termasuk di antaranya pengelolaaan zakat di tingkat daerah dan kota.
Adapun Peran pemerintah dalam zakat dapat mencakup beberapa hal, termasuk:
1. Regulasi: Pemerintah dapat mengatur dan memastikan adanya kerangka hukum
yang jelas untuk pengelolaan dan distribusi zakat, termasuk penegakan aturan terkait
transparansi, akuntabilitas, dan keadilan dalam pengumpulan dan penggunaan zakat.
2. Pengelolaan: Pemerintah dapat mendirikan lembaga atau badan khusus yang
bertanggung jawab untuk mengumpulkan, mengelola, dan mendistribusikan zakat
secara efisien dan adil kepada yang berhak menerima.
3. Edukasi dan Kesadaran: Pemerintah dapat memainkan peran penting dalam
meningkatkan pemahaman masyarakat tentang pentingnya zakat, hakikatnya, dan
bagaimana zakat dapat digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan sosial dan
mengurangi kesenjangan ekonomi.
4. Pemberdayaan Masyarakat: Pemerintah dapat melibatkan masyarakat dalam
pengumpulan dan distribusi zakat, serta memfasilitasi pembentukan komunitas dan
program yang bertujuan untuk meningkatkan kemandirian ekonomi dan
kesejahteraan sosial melalui zakat.
5. Penegakan Hukum: Pemerintah dapat menegakkan hukum terkait zakat untuk
mencegah penyalahgunaan dana zakat, seperti penipuan atau penggunaan yang tidak
sesuai dengan prinsip-prinsip syariah.
Dengan demikian, peran pemerintah dalam zakat sangat penting untuk memastikan
bahwa zakat dapat berfungsi secara efektif sebagai instrumen redistribusi kekayaan yang
mengurangi kesenjangan sosial dan meningkatkan kesejahteraan umum.
15
B. Peran Pemerintah dalam wakaf
peran pemerintah dalam wakaf juga sangat penting, dan serupa dengan peran dalam zakat,
beberapa aspeknya meliputi:
1. Regulasi: Pemerintah dapat membuat regulasi yang jelas dan adil terkait pengelolaan,
perlindungan, dan penggunaan aset wakaf. Ini termasuk pembuatan undang-undang dan
kebijakan yang mengatur pendaftaran, pengelolaan, dan pemantauan wakaf.13
2. Pengelolaan Aset: Pemerintah dapat membentuk lembaga atau badan yang bertanggung jawab
untuk mengelola dan memperoleh manfaat dari aset wakaf secara efisien, serta memastikan
bahwa aset tersebut digunakan sesuai dengan tujuan wakaf dan kepentingan umum.
3. Pembangunan Infrastruktur Sosial: Pemerintah dapat menggunakan dana wakaf untuk
membangun dan memelihara infrastruktur sosial seperti sekolah, rumah sakit, pusat kesehatan,
masjid, dan tempat ibadah lainnya yang memberikan manfaat bagi masyarakat.14
4. Edukasi dan Kesadaran: Pemerintah dapat memainkan peran penting dalam meningkatkan
pemahaman masyarakat tentang konsep wakaf, pentingnya wakaf dalam pembangunan sosial
dan ekonomi, serta cara-cara untuk mengelola dan memanfaatkan aset wakaf secara efektif.
5. Pengawasan dan Penegakan Hukum: Pemerintah bertanggung jawab untuk mengawasi
pengelolaan dan penggunaan aset wakaf, serta menegakkan hukum terkait penyalahgunaan atau
pelanggaran terhadap hukum wakaf.15
Dengan demikian, peran pemerintah dalam wakaf sangat penting untuk memastikan bahwa
aset wakaf dapat digunakan secara optimal untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan
memenuhi kebutuhan umum.
13
Agung Abdullah, “Nadzir Dalam Perspektif Kelembagaan Wakaf Di Indonesia,” Jurnal Ilmiah Ekonomi Islam 6, no.
3 (2020): 403.
14
Asti Nur Wilda Ariza et al., “Peran Institusi Zakat Dan Wakaf Sebagai Pilar Dalam Sistem Perekonomian
Indonesia,” Jurnal Ilmiah Research and Development Student 2, no. 1 (2024): 108–115.
15
Ibid.
16
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Pelembagaan zakat dan wakaf di Indonesia adalah bahwa pelembagaan ini merupakan langkah
penting dalam mengoptimalkan potensi zakat dan wakaf sebagai sumber pembiayaan pembangunan
dan kesejahteraan sosial. Meskipun telah ada upaya-upaya pelembagaan, masih terdapat beberapa
tantangan seperti koordinasi antarlembaga, kesadaran masyarakat, dan regulasi yang masih perlu
diperbaiki. Namun, dengan adanya upaya pelembagaan yang berkelanjutan dan sinergi antara
pemerintah, lembaga keuangan, dan masyarakat, diharapkan potensi zakat dan wakaf di Indonesia
dapat terus berkembang untuk meningkatkan kesejahteraan umat dan pembangunan berkelanjutan.
Pengumpulan dana zakat oleh badan dan lembaga amil zakat nasional di Indonesia semakin
bervariasi sesuai dengan perkembangan zaman dan teknologi. Selain menggunakan metode
sederhana seperti muzaki menyetor langsung ke badan dan lembaga zakat yang ada, masing-masing
BAZ dan LAZ mengembangkan cara-cara alternatif lain seperti layanan jemput zakat, online
payment, via ATM, maupun via payroll system yang akan semakin memudahkan muzaki dalam
memenuhi kewajibannya untuk membayar zakat.
Peran pemerintah sangatlah penting dalam mengatasi tantangan tersebut dan memfasilitasi
pengembangan zakat dan wakaf di Indonesia. Beberapa aspek peran pemerintah meliputi:
*Regulasi*: Pemerintah dapat membuat regulasi yang jelas dan adil terkait pengelolaan,
perlindungan, dan penggunaan aset zakat dan wakaf.
*Pengelolaan Aset*: Pemerintah dapat membentuk lembaga atau badan yang bertanggung
jawab untuk mengelola dan memperoleh manfaat dari aset zakat dan wakaf secara efisien.
*Pembangunan Infrastruktur Sosial*: Pemerintah dapat menggunakan dana zakat dan wakaf
untuk membangun dan memelihara infrastruktur sosial yang memberikan manfaat bagi masyarakat.
*Edukasi dan Kesadaran*: Pemerintah dapat memainkan peran penting dalam meningkatkan
pemahaman masyarakat tentang zakat dan wakaf serta pentingnya peran keduanya dalam
pembangunan sosial dan ekonomi.
*Pengawasan dan Penegakan Hukum*: Pemerintah bertanggung jawab untuk mengawasi
pengelolaan dan penggunaan aset zakat dan wakaf serta menegakkan hukum terkait pelanggaran dalam
pengelolaan dan penggunaan aset tersebut.
17
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Agung. “Nadzir Dalam Perspektif Kelembagaan Wakaf Di Indonesia.” Jurnal Ilmiah
Ekonomi Islam 6, no. 3 (2020): 403.
Amelia, Amelia, Muhammad Iqbal Fasa, and Suharto Suharto. “Implementasi Zakat Terhadap
Pertumbuhan Ekonomi Dilihat Dari Perspektif Ekonomi Islam.” Jurnal Bina Bangsa
Ekonomika 15, no. 1 (2022): 211–219.
Asti Nur Wilda Ariza, Abdul Bahri Sukartono, Angga Teguh Susilo, Ade Gunawan, and
Muhammad Taufiq Abadi. “Peran Institusi Zakat Dan Wakaf Sebagai Pilar Dalam Sistem
Perekonomian Indonesia.” Jurnal Ilmiah Research and Development Student 2, no. 1 (2024):
108–115.
Bastiar, Yandi, and Efri Syamsul Bahri. “Model Pengkuran Kinerja Lembaga Zakat Di Indonesia.”
ZISWAF : Jurnal Zakat dan Wakaf 6, no. 1 (2019): 43.
Hadi, Sholikul, Ilyas Supena, Ahmad Dakhoir, Khoirul Abror, and amelia ananda Bahru.
Manajemen Zakat Dan Wakaf : Zakat Produktif. Pustaka Radja, 2015.
Haryono, E. “Pemberdayaan Ekonomi Islam Melalui Optimalisasi Zakat.” Al
fattahejournalsmaalmuhammadcepu 1, no. 1 (2023): 17–30.
Ilmiah, Dunyati. “Optimalisasi Asset Wakaf Melalui Sukuk Wakaf Di Indonesia.” JESI (Jurnal
Ekonomi Syariah Indonesia) 9, no. 2 (2019): 127–137.
Oneng Nurul Bariyah, N. “DINAMIKA ASPEK HUKUM ZAKAT DAN WAKAF.” Ahkam:
Jurnal Ilmu Syariah 16, no. 2 (2016): 197–212.
Purwaningsih, Septi, and Dewi Susilowati. “Peran Wakaf Dalam Meningkatkan Pemberdayaan
Ekonomi Umat.” Jurnal Ekonomi, Bisnis, dan Akuntansi 22, no. 2 (2020): 191–203.
Rosadi, Aden. Zakat Dan Wakaf Konsep, Regulasi, Dan Implementasi. Simbiosa Rekatama Media,
2019. http://digilib.uinsgd.ac.id/21442/1/Hukum Zakat dan Wakaf.pdf.
Suradi, Romi, and Bustami. “Peran Pemerintah Dalam Pengelolaan Zakat Menurut Abu Ubaid Al
Qasim ( Studi Kasus Kota Pontianak ).” JIEI: Jurnal Ilmiah Ekonomi Islam 8, no. 03 (2022):
3333–3348.
Suryadi, Nanda, and Arie Yusnelly. “Pengelolaan Wakaf Uang Di Indonesia.” Syarikat: Jurnal
Rumpun Ekonomi Syariah 2, no. 1 (2019): 27–36.
Utami, Salasiah Nuraini, and Faishol Luthfi. “Peran Zakat, Infak, Sedekah, Dan Waqaf Dalam
18
Menanggulangi Kemiskinan Studi Pada Baitulamaal Iltizam Indonesia” 1 (2023): 2023.
19