Anda di halaman 1dari 26

MAKALAH

“LEMBAGA AMIL ZAKAT”


Dosen Pengampuh:Nurfitriani, M.M

Disusun Oleh:

KELOMPOK 11

Firnanda (2220203861206064)

Sitti Asma (2220203861206080)

PROGRAM STUDI PERBANKAN SYARIAH

FAKULTAS EKONOMI BISNIS DAN ISLAM

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PARE PARE

2023/2024
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kami panjatkan kepada Tuhan yang Maha Esa, karena berkat
kebaikan-Nya kami mampu menyelesaikan tugas makalah ini dengan baik dan tepat waktu.
Dan tak lupa pula kita kirimkan shalawat dan salam kepada junjungan Nabi kita Nabi
Muhammad SAW. yang telah menuntun kita dari jalan yang gelap gulita menuju jalan yang
terang benderang.

Tugas ini merupakan tugas mata kuliah Lembaga Keuangan Syariah dengan judul
“Lembaga Amil Zakat”. Terima kasih atas partisipasi dalam hal menyelesaikan makalah
ini sehingga dapat disusun dengan rapih. Kami menyadari bahwa makalah ini belum
sempurna maka dari itu jika terdapat kesalahan ataupun kekurangan dalam penyusunan
makalah ini, kami memohon maaf sebesar-besarnya kepada pembaca. Maka dari itu kami
mengharapkan saran dan kritik dari pembaca untuk demi kesempurnaan makalah ini.

Akhir kata. Kami berharap semoga makalah ini dapat membawa manfaat maupun
inspirasi terhadap pembaca dan kepada kami sebagai pemateri.

Pare-Pare, 12 November 2023

Kelompok 11

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ...............................................................................................................ii


DAFTAR ISI............................................................................................................................ iii
BAB II........................................................................................................................................ 1
PENDAHULUAN ..................................................................................................................... 1
A. Latar Belakang ................................................................................................................ 1
B. Rumusan Masalah ........................................................................................................... 2
C. Tujuan Masalah ............................................................................................................... 2
BAB II........................................................................................................................................ 3
PEMBAHASAN ........................................................................................................................ 3
A. Definisi Zakat.................................................................................................................. 3
B. Sejarah Zakat .................................................................................................................. 4
C. Lembaga Pengelola Zakat ............................................................................................. 14
D. Kendala Lembaga Amil Zakat ...................................................................................... 15
E. Strategi Pengembangan dalam Lembaga Amil Zakat ................................................... 19
BAB III .................................................................................................................................... 22
PENUTUP................................................................................................................................ 22
A. Kesimpulan ................................................................................................................... 22
B.
Saran.........................................................................................................................................22

DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................................. 23

iii
BAB II

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Zakat merupakan rukun Islam yang ketiga setelah salat dan puasa. Akan tetapi,
dalam hal implementasi ibadah, zakat masih tertinggal dari salat, bahkan dengan rukun
Islam seperti ibadah puasa dan ibadah haji yang tidak asing lagi umat muslim. Hal
tersebut tercermin dalam penyerapan zakat yang masih belum optimal dari lembaga
pengolahan zakat. Konsepsi zakat sebagai satu bagian dari rukun Islam merupakan salah
satu pilar dalam membangun perekonomian umat. Dimensi zakat tidak hanya bersifat
ibadah ritual saja, tetapi mencakup juga dimensi sosial, ekonomi, keadilan dan
kesejahteraan. Zakat adalah komponen utama dalam sistem keuangan publik serta
kebijakan fiskal utama dalam sistem ekonomi Islam.

Pengelolaan zakat oleh lembaga pengelola zakat yang memiliki kekuatan hukum
formal akan memiliki beberapa keuntungan, antara lain:

Pertama, untuk menjamin kepastian dan disiplin membayar zakat. Kedua, untuk
menjaga perasaan rendah diri para mustahik zakat apabila berhadapan langsung untuk
menerima zakat dari para muzaki. Ketiga, untuk mencapai efisiensi dan dan efektivitas,
serta sasaran yang tepat dalam penggunaan harta zakat menurut skala prioritas yang ada
pada suatu tempat. Keempat, untuk memperlihatkan syiar islam dalam semangat
penyelenggaraan pemerintah yang islami. Sebaliknya , jika zaat diserahkan langsung dari
muzaki kepada mustahik, meskipun secara hukum syariah adalah sah, akan tetapi
disamping akan terabaikannya hal-hal tersebut diatas, juga hikmah dan fungsi zakat,
terutama yang berkaitan dengan kesejahteraan umat, akan sulit diwujudkan.

Di Indonesia tujuan pengelolaan zakat dikemukakan dalam UU Bab II Pasal 5


bahwa:

1. Meningkatkan pelayanan bagi masyarakat dalam menunaikan zakat sesuai


dengan tuntutan agama.
2. Meningkatkan fungsi dan peranan-peranan keagamaan dalam upaya
mewujudkan keseahteraan masyarakat dan keadilan sosial.

1
3. Meningkatkan hasil guna dan daya guna zakat.

Pengelolaan zakat pada LAZ (Lembaga Amil Zakat) diatur dalam pasal 17
sampai pasal 20 pada UU Nomor 23 Tahun 2011. Dalam pasal tersebut diatur peran,
perizinan, tanggung jawab dan persyaratan. Peran dari LAZ yang tertulis adalah
membantu BAZNAS dalam pelaksanaan pengumpulan dan pendistribusian dan
pendayagunaan zakat, semua masyarakat dapat membentuk LAZ. Selain itu LAZ juga
memiliki tanggung jawab untuk melaporkan pelaksanaan pengumpulan,
pendistribusian dan pendayagunaan zakat yang telah diaudit kepada BAZNAS secara
berkala. Dalam pembentukan LAZ wajib mendapat izin menteri atau pejabat yang di
tunjuk oleh menteri dan untuk mendapatkan izin seluruh LAZ harus memenuhi
persyarataan yang telah tertulis

B. Rumusan Masalah
1. Apa definisi zakat ?
2. Bagaimana sejarah zakat ?
3. Apa saja lembaga pengelola zakat ?
4. Apa saja kendala lembaga amil zakat ?
5. Bagaimana strategi pengembangan lembaga amil zakat ?

C. Tujuan Masalah
1. Untuk mengetahui definisi zakat
2. Untuk mengetahui bagaimana sejarah zakat
3. Untuk mengetahui lembaga pengelola zakat
4. Untuk mengetahui kendala lembaga amil zakat
5. Untuk mengetahui strategi pengembangan lembaga amil zakat

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Definisi Zakat
Zakat secara etimologi diartikan berkembang, bertambah, dan berkah. Atau bisa
juga diartkan tumbuh, berkah, atau banyak kebaikan. Zakat ditinjau dari bahasa Arab
yakni merupakan asal kata dari ‫ زکا‬yang berarti berkah, tumbuh, bersih dan baik.
Sedangkan zakat secara terminologi berarti sejumlah harta tertetu yang diwajibkan oleh
Allah SWT untuk diberikan kepada yang berhak (mustahik) yang di sebutkan dalam Al-
Quran.1 Zakat mengandung makna thaharah yang berarti bersih atau kesucian. Zakat
menurut syariat ialah hak wajib dari harta tertentu pada waktu tertentu yang telah di
tetapkan.2

Zakat dari istilah fikih berarti sejumlah harta tertentu yang diwajibkan Allah
untuk diserahkan kepada orang-orang yang berhak. Legitimasi zakat sebagai kewajiban
terdapat beberapa ayat dalam Al-Quran. Kata zakat dalam bentuk ma’rifah disebut 30
kali di dalam Al-Quran, 27 kali di antaranya disebutkan dalam satu ayat bersama shalat,
dan sisanya disebutkan dalam konteks yang sama dengan shalat meskipun tidak di dalam
satu ayat. Diantara ayat tentang zakat yang cukup populer adalah surah Al-Baqarah ayat
110 yang berbunyi “ Dan dirikanlah shalat dan tunaikan zakat”

Sayyid Sabiq, mendefinisikan zakat adalah sebutan dari suatu hak Allah yang
dikeluarkan seorang untuk fakir miskin, dinamakan zakat, karena dengan mengeluarkan
zakat itu, di dalamnya terkandung harapan untuk memperoleh berkah, pembersih jiwa
dari sifat kikir bagi orang kaya dan menghilangkan rasa iri hati orang-orang miskin serta
memupuknya dengan berbagi kebajikan.

Menurut Ibnu Taimiyah “jiwa orang yang berzakat itu menjadi bersih dan
kekayaannya akan bersih pula: bersih dan bertambah maknanya”. Arti tumbuh dan suci
tidak dipakaikan hanya untuk kekayaan, melainkan juga untuk jiwa orang yang
menzakatinya, sesuai dengan firman Allah dalam surat At-Taubah ayat 103:

1
Abdul Aziz, Manajemen Investasi Syariah (Bandung: Alfabeta, 2010), hlm 211
2
Fahrur Mu’is, Zakat A-Z (Solo: PT Tiga Serangkai Pustaka Mandiri, 2011), hlm 22

3
‫علِي ٌم‬ ‫سكَهٌ له ُه ْم ۗ َو ه‬
َ ‫ٱَّللُ سَمِ ي ٌع‬ َ َ‫صلَ َٰىت َك‬
َ ‫علَي ِْه ْم ۖ إِنه‬
َ ‫ص ِ ّل‬ َ ُ ‫ص َدقَةً ت‬
ِ ‫ط ِّه ُر ُه ْم َوت َُز ّك‬
َ ‫ِيهم بِهَا َو‬ َ ‫ُخ ْذ مِ ْه أ َ ْم َٰ َىل ِِه ْم‬

“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu
membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka.
Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan
Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui”

(Ambillah sedekah dari sebagian harta mereka, dengan sedekah itu kamu
membersihkan dan menyucikan mereka) dari dosa-dosa mereka, maka Nabi saw.
mengambil sepertiga harta mereka kemudian menyedekahkannya (dan berdoalah untuk
mereka). (Sesungguhnya doa kamu itu menjadi ketenangan jiwa) rahmat (bagi mereka)
menurut suatu pendapat yang dimaksud dengan sakanun ialah ketenangan batin lantaran
taubat mereka diterima. (Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui)3

B. Sejarah Zakat
Ada beberapa masa pada sejarah zakat diantaranya yaitu sebgai berikut: 4

1. Syariat Zakat Pra-Rasulullah

Pada dasarnya, semua agama, bahkan agama-agama ciptaan manusia yang


tidak mengenal hubungan dengan kitab suci yang berasal dari langit (samawi),
memberikan perhatian pada segi sosial, yang tanpa segi ini, persaudaraan dan
kehidupan yang sentosa tidak mungkin terwujud. Di lembah Eufrat – Tigris, 4000
SM, kita menemukan Hammurabi, seorang yang pertama kali menyusun peraturan
tertulis yang masih dapat dibaca sampai sekarang. Ia berkata bahwa Tuhan
mengirimkannya ke dunia untuk mencegah orang-orang kaya bertindak sewenang-
wenang terhadap orang yang lemah, membimbing manusia, dan menciptakan
kemakmuran untuk umat manusia. Bahkan, beribu ribu tahun sebelum Masehi,
orang-orang Mesir kuno selalu merasa menyandang tugas agama sehingga
mengatakan, “ Orang lapar kuberi roti orang tidak berpakaian kuberi pakaian,
kubimbing kedua tangan orang-orang yang tidak mampu berjalan ke seberang, dan

3
Jalaluddin Asy-Syuyuthi & Jalaluddin Muhammad Ibn Ahmad Al-Mahalliy, Tafsir Jalalin Digital (Tasikmalaya:
Pesantren Persatuan Islam, 2010)
4
M. Nur Rianto Al Arif, Lembaga Keuangan Syariah Suatu Kajian Teoritis Praktis, (Bandung: CV PUSTAKA
SETIA, 2012), hlm, 377-396

4
aku adalah ayah bagi anak-anak yatim, suami bagi janda-janda, dan tempat
menyelamatkan diri bagi orang-orang yang ditimpa hujan badai.”

Zakat bukan hanya dibawa oleh syariat Nabi Muhammad SAW., tetapi telah
lama diturunkan dan dikenal dalam risalah-risalah agama samawiyah sejak dahulu,
antara lain disampaikan dengan jalan wasiat. Allah mewasiatkan kepada para Rasul-
Nya, lalu mereka menyampaikan kepada umatnya untuk membayarkan zakat sebagai
kesatuan dengan pelaksanaan ibadah shalat.

Adapun Ahli Kitab secara umum memperoleh syariat zakat, dijelaskan dalam
surah Al- Bayyinah ayat 4-5:

َ ّ ٰ ‫َو َما ثَفَ َّر َق َّ ِاَّليۡ َن ُا ۡوثُوا الۡ ِك ٰت َب ِا ََّّل ِم ۢۡۡن ب َ ۡع ِد َما َجا ٓ َءۡتۡ ُ ُم الۡ َب ِي ّنَ ُة َو َم ۤا ُا ِم ُر ۤۡوا ِا ََّّل ِل َي ۡع ُبدُ وا‬
‫اّلل ُم ۡخ ِل ِص ۡ َۡي لَـ ُه ّ ِاليۡ َن‬

٥ َ ِ ‫الص ٰلو َة َوي ُ ۡؤثُوا َّالز ٰكو َة َو ٰذ‬


‫ِل ِديۡ ُن الۡقَ ِيّ َم ِة ؕ ‏‬ َّ ‫ُحنَفَا ٓ َء َوي ُ ِق ۡي ُموا‬

Artinya:

“ Dan tidaklah terpecah belah orang-orang Ahli Kitab melainkan setelah


datang kepada mereka bukti yang nyata. Padahal mereka hanya diperintah
menyembah Allah, dengan ikhlas menaati-Nya semata-semata karena
(menjalankan) agama, dan juga agar melaksanakan shalat dan menunaikan
Zakat, dan yang demikian itulah agama yang lurus (benar).” (Q.S. Al-
Bayyinah [98]: 4-5)

Jelas bahwa zakat telah lama disyariatkan sebelum Rasulullah SAW.


diutus untuk menyampaikan agama islam. Hanya, penjelasan Al-Quran
bersifat global, tidak memerinci mekanisme pengeluaran, pemungutan, dan
pemerataan zakat pada nabi-nabi terdahulu. Dengan demikian, kesimpulan
yang dapat ditarik adalah nasib orang-orang miskin dan lemah bergantung
pada belas kasih orang-orang kaya. Apabila orang-orang kaya bergerak untuk
berbuat baik, karena cinta kepada Allah, takut pada hari kiamat dan karena
ingin dipuji dan rasa kemanusiaan, mereka akan memberikan sesuatu,
sekalipun sedikit sekali kepada orang-orang lemah dan miskin, dan pastaslah
mereka disebut sebagai orang yang baik. Akan tetepai apabila mereka mabuk
akan harta dan materi, sengsaralah orang-orang miskin itu dan menjadi

5
mangsa cengkeraman kemelaratan. Orang-orang yang akan membela dan
memperjuangkan hak-hak mereka tidak ada karena mereka tidak memiliki
hak-hak yang jelas. Demikianlah, bahaya kebajikan yang diserahkan kepada
kemurahan hati mereka.

2. Masa Rasulullah SAW.

Sebagaimana yang disyariatkan kepada para Rasul terdahulu, zakat juga


disyariatkan kepada Rasulullah SAW. Pensyariatan zakat telah terjadi sejak Nabi
berada di Mekah, bersamaan dengan perintah mendirikan shalat. Dalam Al-Quran
terdapat tidak kurang dari 82 ayat yang berisi perintah meramaikan zakat bersamaan
dengan perintah mendirikan shalat, baik perintah tersebut menggunakan lafazh
sedekah maupun zakat. Dari sekian ayat itu, di antaranya ayat-ayat Makiyah.
Perhatian Islam yang besar terhadap penanggulangan problem kemiskinan dan
orang-orang miskin dapat dilihat dari kenyataan bahwa islam semenjak di Kota
Mekah saat umat Islam hanya beberapa orang dan hidup tertekan sudah mempunyai
kitab suci yang memberikan perhatian penuh dari terus-menerus pada masalah sosial
penanggulangan kemiskinan tersebut.

Ayat-ayat tentang zakat yang diturunkan pada periode Mekah secara tegas
menyatakan kewajiban zakat, tetapi umumnya lebih bersifat informatif. Misalnya
bercerita tentang hak-hak fakir miskin ketenteraman dan kebahagiaan orang-orang
yang menunaikan zakat. Ayat-ayat yang diturunkan pada periode Mekah hanya
bersifat anjuran mengenai bersedekah. Lafazh yang digunakan pun lebih banyak
menggunakan lafazh sedekah daripada zakat. Beberapa ayat, bahkan disandingkan
dengan imbauan untuk tidak mengambil riba, meskipun larangan tersebut belum
bersifat larangan. Pada periode Mekah, syariat zakat belum menjadi syariat yang
bersifat wajib dan masih bersifat imbauan dan anjuran karena ayat-ayat Mekah tidak
memakai sighat amar. Hal itu misalnya bisa diperhatikan dalam ayat Makiyah
tentang zakat berikut ini.

Pada surat Luqman ayat 2-4 disebutkan bahwa orang yang mendirikan shalat
dan menunaikan zakat adalah orang-orang yang berbuat kebaikan.

6
َّ ‫ۡل ٰايٰ ُت الۡ ِك ٰت ِب الۡ َح ِك ۡي هُدًى َّو َر ۡ َۡح ًة لِ ّلۡ ُم ۡح ِس نِ ۡ َۡي َّ ِاَّليۡ َن ي ُ ِق ۡي ُم ۡو َن‬
‫الص ٰلو َة َوي ُ ۡؤث ُۡو َن َّالز ٰكو َة َو ُ ُۡه ِِب ۡ َّٰل ِخ َرة ُ ُۡه‬ َ ۡ ِ‫ث‬
‫ي ُ ۡو ِقنُ ۡو َن‬

Artinya:

"Inilah ayat-ayat Al-Quran yang mengandung hikmah, sebagai petunjuk dan


rahmat bagi orang-orang yang berbuat kebaikan, (yaitu) orang-orang yang
melaksanakan shalat, menunaikan zakat, dan mereka yakin akan adanya akhirat."
(QS. Luqman [31]: 2-4)

Keseluruhan ayat Makiyah di atas bersifat informatif, belum menetapkan zakat


sebagai kewajiban seorang muslim, baik zakat harta maupun zakat fitrah. Zakat hanya
dipandang sebagai ciri perilaku orang-orang yang terpuji, ciri orang yang beriman,
bertakwa, dan saleh. Ayat-ayat zakat yang turun pada periode Mekah bersifat umum.
Belum ada ketentuan detail hukum dan jenis harta yang wajib dizakati serta batasan
nishab dan kadar zakat yang harus dikeluarkan. Semua itu diserahkan pada rasa iman,
kemurahan hati, dan tanggung jawab seseorang atas orang lain. Ayat-ayat yang turun
di Mekah tidak hanya mengimbau agar orang-orang miskin diperhatikan dan diberi
makan, dan mengancam bila dibiarkan terlunta-lunta, tetapi lebih dari itu, membebani
setiap orang mukmin mendorong pula orang lain memberi makan dan memerhatikan
orang-orang miskin tersebut dan menjatuhkan hukuman kafir kepada orang-orang
yang tidak mengerjakan kewajiban itu serta pantas menerima hukuman
Allah di akhirat.

Adapun pada periode Madinah, secara politis, kaum muslim telah menjadi
sebuah kekuataan masyarakat yang mandiri. Mereka mendirikan negara sendiri,
menerapkan hukum dan memiliki wilayah kekuasaan sendiri. Mereka terdiri atas
penguasa, pemilik tanah, pedagang, dan sebagainya. Mereka sudah
merupakan jamaah yang memiliki daerah, eksistensi, dan pemerintahan sendiri. Oleh
karena itu, beban tanggung jawab mereka mengambil bentuk baru sesuai dengan
perkembangan tersebut, yaitu bentuk hukum yang bukan hanya mengikat pesan-pesan
yang bersifat anjuran. Penerapannya pun memerlukan kekuasaan di samping
didasarkan atas perasaan iman tersebut. Dalam kondisi demikian, umat Islam
memerlukan perantara untuk mengikat dan memperkuat kesatuan politik yang telah

7
terbentuk itu. Ayat-ayat Madaniyah tentang zakat yang mulai memperlihatkan unsur
kewajibannya, sebagai bagian dari mekanisme untuk merekatkan kesatuan politik itu.
Zakat pada periode Madinah telah menjadi instrumen fiskal utama yang cukup
menentukan. Ayat- ayat yang turun di Madinah menegaskan zakat itu wajib dalam
bentuk perintah yang tegas dan instruksi pelaksanaan yang jelas.

Pada tahun kedua Hijriah, turun ayat dengan aturan yang lebih khusus, yaitu
penetapan kelompok yang berhak untuk menerima zakat (mustahiq az-zakat). Saat itu,
mustahik zakat hanya terbatas pada dua kalangan, yaitu fakir dan miskin. Hal ini
karena pada masa itu, zakat telah diarahkan sebagai instrumen fiskal yang berfungsi
sebagai instrumen pemerataan atas ketimpangan dan ketidakmerataan distribusi
pendapatan yang terjadi di masyarakat.

Dalam praktiknya, Nabi membagi rata hasil zakat yang terkumpul pada
delapan kelompok tersebut. Nabi membagi sesuai kebutuhan yang diperlukan oleh
setiap kelompok tersebut. Konsekuensinya, ada salah satu kelompok yang tidak
memperoleh zakat karena persediaan zakat dialokasikan kepada kelompok lain yang
lebih membutuhkan. Pertimbangan yang dilakukan Nabi berdasarkan asas manfaat
dan prioritas. Kelompok-kelompok yang harus menjadi prioritas utama untuk
dibagikan zakat dan kelompok yang menjadi prioritas terakhir. Skala prioritas ini
dapat berubah dari waktu ke waktu. Untuk mempermudah mekanisme pemungutan
dan penyaluran zakat, Nabi mengangkat petugas khusus yang dikenal sebagai amil.
Amil yang diangkat Rasul ada dua macam. Pertama, amil yang berdomisili di dalam
kota Madinah, statusnya bersifat free- lance, tidak memperoleh gaji tetap, hanya
memperoleh honorarium sebagai balas jasa atas kerjanya dalam pendayagunaan zakat.
Di antara sahabat nabi yang pernah berstatus demikian adalah Umar bin Khaththab.
Kedua, amil yang tinggal di luar kota Madinah, statusnya sebagai wali pemerintah
pusat (pemerintah daerah) yang merangkap menjadi amil. Di antara sahabat yang
pernah menduduki jabatan ini adalah Muaz bin Jabal. Sebagai amil, mereka
diperbolehkan mengambil bagian dari zakat dan diperkenankan untuk langsung
mendistribusikannya kepada yang membutuhkan di daerah tersebut. Jadi, konsep
pendistribusian pada masa nabi adalah langsung menghabiskan seluruh dana zakat
yang diterima dan sudah mengenal konsep desentralisasi distribusi zakat. Nabi
memandang bahwa setiap daerah memiliki kebutuhan dan orang-orang yang
akan dibantu sendiri.

8
3. Masa Khulafaur Rasyidin

Pada masa Abu Bakar, selama dua tahun sepeninggal wafatnya Rasullulah
SAW., belum terjadi perubahan mendasar tentang kebijakan dalam pengelolaan zakat
dibandingkan dengan masa Rasullulah. Hal ini karena kebijakan yang diambil oleh
Abu Bakar secara garis besar sama dengan pada masa Rasulullah. Akan tetapi, pada
periode ini terjadi sebuah peristiwa penting menyangkut zakat, yakni menjamurnya
para pembangkang zakat di berbagai wilayah Islam. Sebagian kaum muslim
menganggap bahwa hanya Nabi yang berhak memungut zakat karena beliau yang
diperintahkan untuk memungut pajak.

Demikian pula, hanya pemungutan yang dilakukan Nabi yang dapat


membersihkan dan menghapuskan dosa mereka. Dengan demikian, zakat hanya
menjadi kewajiban mereka ketika Rasullulah masih hidup. Ketika Rasul telah wafat,
mereka terbebas dari kewajiban berzakat. Kelompok pembangkang zakat antara lain
dipimpin oleh Musailamah Al-Kadzdzab dari Yamamah, dan Sajah Tulaihah. Abu
Bakar kemudian menyatakan perang kepada mereka karena mereka dinilai telah
murtad. Kebijakan Abu Bakar ini mulanya ditentang oleh Umar bin Khaththab. Umar
bin Khaththab berpegang kepada hadis nabi yang menyatakan, "Saya diutus untuk
memerangi manusia sampai ia mengucapkan kalimat La llahaillah." Bagi Umar,
masuk Islam, yang dibuktikan dengan mengucapkan lafazh syahadat, sudah menjamin
bahwa darah dan kekayaan seseorang berhak memperoleh perlindungan. Akan tetapi,
Abu Bakar beragumen bahwa teks hadis di atas memberi syarat terjadinya
perlindungan tersebut, yaitu, "kecuali bila terdapat kewajiban dalam darah dan
kekayaan itu." Zakat adalah yang harus ditunaikan dalam kekayaan. Abu Bakar juga
menganalogikan zakat dengan shalat karena pentasyri'an. Keduanya memang sejajar.
Dengan argumentasi semacam itu, Umar menyetujui Abu Bakar pun beragumentasi
pada Al-Quran bahwa negara diberikan kekuasaan untuk memungut secara paksa
zakat dari masyarakat yang akan dipergunakan kembali sebagai dana
pembangunan negara.

Ketika Abu Bakar meninggal, dan usai dikebumikan, Umar bin Khaththab
memanggil sahabat terpecayanya, antara lain Abdurrahman bin Auf dan Usman bin
Affan untuk masuk dalam baitul mal yang berisi satu dirham. Pada masa Umar
menjadi khalifah, situasi Jazirah Arab relatif lebih stabil dan tenteram. Semua kabila

9
menyambut seruan zakat dengan sukarela. Umar melantik amil-amil untuk bertugas
mengumpulkan zakat dari orang-orang dan kemudian mendistribusikan kepada
golongan yang berhak menerimanya. Sisa zakat itu kemudian diberikan kepada
khalifah. Untuk mengelola wilayah yang semakin luas dan dengan persoalan yang
semakin kompleks, Umar kemudian membenahi struktur pemerintahannya dengan
membentuk beberapa lembaga baru yang bersifat ekseklusif-operasional. Di antara
lembaga baru yang dibentuk adalah baitu mal. Lembaga yang berfungsi mengelola
sumber-sumber keuangan, termasuk zakat. Umar menentukan satu tahun anggaran
selama 360 hari, dan menjadi tanggung jawab Umar untuk membersihkan baitul mal
dalam setiap tahun selama sehari. Umar berkata, “Untuk mendapatkan ampunan dari
Allah, aku tidak sedikit pun meninggalkan harta di dalamnya.”

Ada perkembangan menarik tentang implementasi zakat pada periode Umar,


yaitu Umar membatalkan pemberian zakat kepada muallaf. Di sini , Umar
melakukan ijtihad. Umar memahami bahwa sifat muallaf tidak melekat selamanya
pada diri seseorang. Pada situasi tertentu, memang dipandang perlu menjinakkan hati
seseorang agar menerima islam dengan memberikan tunjangan. Akan tetapi, jika ia
telah diberi cukup kesempatan untuk memhami islam dan telah memeluknya dengan
baik, lebih baik tunjangan itu dicabut dan diberikan kepada orang lain yang lebih
memerlukan. Pada masa beliau pun mulai diperkenalkan sistem cadangan devisa,
yaitu tidak semua dana zakat yang diterima langsung didistribusikan sampai habis,
tetapi ada pos cadangan devisa yang dialokasikan apabila terjadi kondisi darurat,
seperti bencana alam atau perang. Hal ini merupakan terobosan baru dalam
pengelolaan zakat yang dilakukan oleh Umar bin Khaththab.

Pada periode Usman bin Affan pengelolaan zakat pada dasarnya melanjutkan
dasar-dasar kebijakanyang telah ditetapkan dan dikembangkan oleh Umar bin
Khaththab. Pada masa Usman, kondisi ekonomi umat sangat makmur, bahkan
diceritakan Usman harus juga mengeluarkan zakat dari harta kharaj dan jizyah
yang diterimanya. Harta zakat pada periode Usman mencapai rekor tertinggi
dibandingkan pada masa-masa sebelumnya. Usman melantik Zaid bin Sabit untuk
membagi-bagikan harta kepada yang berhak, tetapi masih tersisah seribu dirham.
Usman menyuruh Zaid untuk membelanjakan sisa dana tersebut untuk membangun
dan memakmurkan Masjid Nabawi.

10
Pada periode ini ada sinyalemen bahwa perhatian khalifah pada pengelolaan
zakat tidak sepenuh pada khalifah sebelumnya. Pada periode ini, wilayah
kekhalifahan Islam semakin luas dan pengelolaan zakat semakin sulit terjangkau oleh
aparat birokrasi yang terbatas, sementara itu telah terdapat sumber pendapatan negara,
selain zakat yang memadai, yakni kharaj dan jizyah. Oleh karena itu, khalifah lebih
fokus dalam pengelolaan pendapatan negara yang lain seperti kharaj dan jizyah yang
besaran persentasenya dapat diubah, berbeda dengan zakat yang besarannya harus
mengikuti tuntunan syariat.

Kebijakan Ali tentang zakat mengikuti kebijakan pengelolaan zakat seperti


pada khalifah-khalifah sebelumnya. Bahkan, Ali terkenal sangat berhati-hati dalam
mengelola dan mendayagunakan dana hasil zakat. Seluruh harta yang ada di baitul
mal selalu di distribusikan untuk kepentingan umat Islam. Ia tidak pernah mengambil
harta tersebut untuk kepentingan pribadi dan keluarganya. Ia kembali menerapkan
kebijakan sesuai dengan kebijakan seperti pada masa Rasulullah dan Abu Bakar yang
langsung mendistribusikan keseluruhan dana zakat sampai habis, dan meninggalkan
sistem cadangan devisa yang telah dikembangkan pada masa Umar bin Khaththab.
Meskipun masa kekhalifahannya menghadapi persoalan berat, akibat peristiwa
terbunuhnya Usman yang rentan dengan masalah politik, Ali tidak pernah
mengabaikan tugasnya sedikit pun sebagai khalifah, termasuk dalam pengelolaan
zakat. Ali sangat memerhatikan fakir miskin dan sangat bersimpati kepada nasib
mereka. Ali memandang penting zakat sebagai instrumen fiskal yang bertujuan untuk
memecahkan permasalahan sosial dan mengatasi ketimpangan distribusi pendapatan
yang terjadi pada masyarakat.

4. Zakat di Indonesia

Sejak awal masuknya Islam ke Indonesia, zakat merupakan salah satu sumber
dana untuk pengembangan ajaran Islam dan sebagai pendanaan dalam perjuangan
bangsa Indonesia melawan penjajahan Belanda. Di Sumatra misalnya, Belanda
terlibat dalam perang besar berkepanjangan melawan orang-orang Aceh yang fanatik,
dan juga di tempat-tempat lain yang penduduknya mayoritas beragama Islam, yang
kuat dan gigih dalam melawan penjajahan Belanda, karena mereka memiliki sumber
dana yang kuat berupa hasil zakat. Tempat yang dijadikan pengelolaan sumber-
sumber tersebut adalah masjid, surau, atau langgar.

11
Sebelum datang penjajah di Indonesia, terdapat beberapa kesultanan yang
mencapai kejayaan berkat dukungan dana intern dari umat Islam. Misalnya,
Kesultanan di Aceh, Sumatra Barat, Banten, Mataram, Demak, Gowa, dan Ternate.
Kesultanan tersebut tercatat telah berhasil mendayagunakan potensi ekonomi umat
dengan memperbaiki kualitas ekonomi rakyat, antara lain dengan mengatur sumber-
sumber keuangan Islam, seperti pendayagunaan zakat, pemeliharaan harta wakaf,
wasiat, infak, dan sedekah. Dana yang bersumber dari umat cukup memadai untuk
membiayai kepentingan Islam.

Saat itu, seorang ulama kenamaan, Muhammad Arsyad Al- Banjari, telah
menggulirkan gagasan brilian tentang zakat. Menurutnya, zakat tidak hanya bersifat
konsumtif, tetapi juga harus bersifat produktif, sehingga hasilnya bisa dimanfaatkan
secara berkesinambungan oleh mustahik. Zakat yang hanya konsumtif tidak akan
mampu mengangkat harkat kemanusiaan dan kemiskinan. Zakat yang bersifat
konsumtif tidak akan membantu mereka untuk menjadi mandiri, justru mereka akan
menjadi semakin malas. Hal ini berakibat bahwa pengelolaan zakat yang bertujuan
untuk membantu mengentaskan kemiskinan, justru menjadi membantu menyuburkan
kemiskinan.

Oleh karena itu, menurut Al-Banjari, pola alokasi zakat harus dibagi ke dalam
tiga kategori. Pertama, bagi fakir miskin yang tidak memiliki keterampilan,
hendaknya tidak diberi emas, perak, atau uang tetapi berupa barang atau
keterampilan dan keahlian yang bisa tidak dimanfaatkan dalam jangka waktu lama
serta dapat membuat mereka menjadi lebih mandiri. Kedua, bagi fakir miskin yang
memiliki keterampilan, diberikan alat-alat keterampilan yang dibutuhkan dalam
mewujudkan keterampilan dan keahlian yang mereka miliki. Ketiga, bagi fakir
miskin yang telah memiliki pekerjaan, tetapi belum memenuhi kebutuhan hidupnya,
mereka diberi modal usaha agar dapat berdagang sebagai pemasukan hidupnya,
sebab ada hadis yang berkata bahwa 9 dari 10 pintu rezeki terdapat pada perniagaan.

Pada masa penjajahan, semula pemerintah Hindia Belanda belum


mencampuri urusan sumber-sumber keuangan Islam karena hal itu dipandang sebagai
urusan intern umat Islam. Menurut Pasal 134 ayat 2 Indische Staatsregeling (IS),
pemerintah Hindia Belanda harus bersikap netral terhadap semua agama yang ada di

12
seluruh daerah kekuasaannya (Policy of religion neutrality). Hal ini karena mereka
belum memandang besarnya potensi zakat sebagai sumber keuangan umat, terutama
sebagai pendanaan dalam perjuangan melawan penjajahan Belanda dan dalam
membantu menyejahterakan umat. Akan tetapi, setelah melihat besarnya potensi
sumber keuangan Islam, yang umumnya dikelola di masjid-masjid dalam mendukung
perjuangan antikolonial, seperti pengalaman Perang Paderi di Sumatra (1821-1837),
Perang Diponegoro di Jawa Tengah (1825- 1830), dan Perang Aceh (1873-1903),
mereka mulai mengatur sumber- sumber keuangan tersebut dalam ketentuan khusus.
Pada tanggal 4 Agustus 1893, pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan Bijblad
nomor 1892 yang berisi kebijakan pemerintah untuk mengawasi pelaksanaan zakat
yang dilakukan oleh penghulu atau naib. Untuk melemahkan kekuatan rakyat yang
bersumber dari zakat, pemerintah Hindia Belanda melarang semua pegawai dan
priayi pribumi ikut serta membantu pelaksanaan zakat. Larangan itu dituangkan
dalam Bijblad nomor 6200 tanggal 28 Februari 1905

Setelah Indonesia merdeka, seluruh potensi sumber keuangan Islam dikuasai


kembali oleh umat Islam. Kalangan cendekiawan muslim pada periode awal
kemerdekaan mulai menengok potensi besar ini sebagai salah satu alternatif untuk
memperbaiki ekonomi Indonesia yang berantakan. Hal ini karena zakat dapat
dijadikan sebagai salah satu instrumen fiskal bagi negara, terutama setelah melihat
potensi yang dapat dihimpun. Yusuf Wibisono, saat bertindak sebagai menteri
keuangan RI, tertarik memasukkan sumber-sumber keuangan Islam sebagai salah
satu komponen dalam sistem perekonomian Indonesia, mengingat besarnya potensi
zakat yang dapat dikumpulkan. Demikian pula, kalangan parlemen ketika itu
menghendaki pengaturan sumber keuangan Islam dalam undang-undang khusus yang
mengatur bahwa pengelolaan zakat langsung ditangani oleh negara. Akan tetapi,
situasi saat itu tidak memungkinkan lahirnya sebuah undang-undang. Hal ini terkait
dengan kondisi sosial politik yang belum stabil ditambah dengan terdapatnya
kemungkinan agresi Belanda. Dalam situasi itu, seseorang pakar hukum terkemuka,
Prof. Hazairin, mengembangkan sebuah pola pemahaman yang mendukung gagasan
keterlibatan negara, termasuk dengan perangkap perundangan dalam pengelola zakat.
Gagasan tersebut bagi Hazairin tidak bertentangan dengan falsafah Pancasila dan
UUD 1945. Sebaliknya, Pancasila dan UUD 1945 "merestui" pemerintahan untuk
membantu memungut, mengelola, dan mendayagunakan zakat bagi kepentingan

13
kemaslahatan umat. Pada dasawarsa awal setelah kemerdekaan dan pengelola zakat
masih belum terorganisasi secara rapi, setiap individu menunaikan zakatnya sesuai
dengan pengetahuannya. Pengembangan zakat di beberapa kelompok masyarakat
secara terbatas dan tidak teratur. Kadang- kadang, ada kelompok fakir miskin yang
tidak menerima dana zakat Sebagaimana masyarakat, ada yang memberikan zakatnya
kepada kalangan tertentu, seperti ustaz, guru ngaji, dan ulama setempat. Para tokoh
tersebut mendistribuskan dengan cara-cara yang masih tradisional, yaitu dengan
hanya memberikan bantuan konsumtif semata, yang selamanya tidak akan membantu
mereka untuk menjadi mandiri. Dengan demikian, tujuan zakat yang antara lain
untuk menciptakan keadilan ekonomi, sulit terwujud.

C. Lembaga Pengelola Zakat


Zakat merupakan ibadah yang sifatnya memiliki dimensi sosial kemanusiaan.
Penyaluran zakat dapat dilakukan secara langsung atau melalui institusi amil zakat, baik
berupa Badan Amil Zakat (BAZ) yang dikelola oleh pemerintah maupun Lembaga Amil
Zakat (LAZ) yang dikelola oleh swasta. Ada beberapa alasan pembayaran zakat
sebaiknya melalui institusi pengelola zakat, yaitu.

1. Dalam rangka menjamin ketaatan pembayaran;

2. Menghilangkan rasa rikuh dan canggung yang mungkin dialami oleh mustahik ketika
berhubungan dengan muzakki (orang yang berzakat);

3. Mengefisienkan dan mengefektifkan pengalokasian dana zakat;

4. Alasan caesoropapisme yang menyatakan ketidakterpisahan antara agama dan negara


karena zakat termasuk urusan negara. Selain itu, untuk menegaskan bahwa Islam bukan
agama yang menganut prinsip sekulerisme yang membedakan urusan dunia dan akhirat

Di Indonesia, pengelolaan zakat diatur berdasarkan Undang- Undang No. 38 tahun


1999 tentang Pengelolaan Zakat. Dalam undang- undang tersebut disebutkan bahwa
lembaga pengelola zakat yang ada di Indonesia dapat berupa Badan Amil Zakat yang
dikelola oleh pemerintah serta dapat pula berupa Lembaga Amil Zakat yang dikelola oleh
swasta. Meskipun dapat dikelola oleh dua pihak, yaitu negara dan swasta, lembaga
pengelola zakat harus bersifat sebagai berikut:

14
1. Independen. Dengan dikelola secara independen artinya lembaga ini tidak
mempunyai ketergantungan kepada orang-orang tertentu atau lembaga lain. Lembaga
ini lebih leluasa untuk memberikan pertanggungjawaban kepada masyarakat donatur.
2. Netral. Karena didanai oleh masyarakat, lembaga ini milik masyarakat. Oleh karena
itu, dalam menjalankan aktivitasnya. lembaga tidak boleh menguntungkan golongan
tertentu. Jika tidak, tindakan itu telah menyakiti hati donatur yang berasal dari
golongan lain.
3. Tidak berpolitik praktis. Lembaga tidak terjebak dalam kegiatan politik praktis. Hal
ini perlu dilakukan agar donatur dari partai yang berbeda-beda yakin bahwa dana itu
tidak digunakan untuk kepentingan politik praktis suatu partai.
4. Tidak bersifat diskriminatif. Kekayaan dan kemiskinan bersifat universal. Di mana
pun, kapan pun, dan siapa pun dapat menjadi kaya atau miskin. Karena itu,
penyaluran dananya, lembaga tidak boleh mendasarkan atas suku atau golongan,
tetapi harus memiliki parameter yang jelas.

D. Kendala Lembaga Amil Zakat


Minimnya penerimaan dana zakat yang diterima oleh para amilin, baik yang
dikelola oleh pemerintah maupun swasta menunjukkan bahwa masih rendahnya tingkat
kesadaran membayar zakat dari masyarakat. Hampir setiap lembaga pengelola zakat, baik
yang tradisional maupun yang sudah menerapkan manajemen modern, apabila kita
hendak membuat grafik penerimaan, tampak bahwa penerimaan zakat paling tinggi
terjadi pada saat bulan Ramadhan. Setelah bulan Ramadhan, penerimaan zakat kembali
rendah atau bahkan tidak ada penerimaan zakat sama sekali. Hal ini karena sebagian besar
kaum muslim memahami dan memaknai syariat zakat tersebut hanya wajib dibayarkan
pada saat bulan Ramadhan, sedangkan di luar bulan Ramadhan, tidak perlu. Pemaknaan
kembali kepada masyarakat bahwa zakat tidak hanya pada bulan Ramadhan sangat
penting untuk mencegah pemahaman yang keliru tentang waktu pelaksanaan zakat.

Ada beberapa penyebab penerimaan zakat tersebut sangat kecil. Pertama, karena
besarnya PDB Indonesia sebagian besar merupakan sumbangsih dari penduduk
nonmuslim. Karena gairah dan semangat mereka bekerja yang lebih tinggi, serta
penguasaan terhadap sumber daya dan modal yang besar di berbagai sektor ekonomi.

15
Kedua, masih rendahnya kesadaran masyarakat untuk membayar zakat. Dalam
benak sebagian besar masyarakat, zakat masih diartikan dengan zakat fitrah yang
dibayarkan setiap bulan Ramadhan. Jika telah membayar zakat fitrah, tuntaslah kewajiban
zakat yang dikenakan kepada kaum muslim.

Ketiga, pengelolaan dana zakat yang masih tradisional di beberapa tempat,


terutama di daerah. Masyarakat menyerahkan pengelolaan zakat kepada ulama, ustaz,
atau kiai setempat -bahkan di beberapa tempat, zakat disalurkan kepada ustaz tersebut
dianggap sebagai hak ustaz dan tidak disalurkan kembali, dan disalurkan hanya dalam
bentuk konsumtif yang menurut penulis, hanya semacam seremonial dan formalitas, tanpa
memikirkan keberlanjutan nasib atas mustahik yang diberikan bantuan.

Keempat, sistem penghimpunan dananya masih bersifat tunggu bola, yaitu hanya
menunggu kerelaan muzakkir untuk menyalurkan zakatnya kepada mereka, sementara
pada sisi lain, pada era yang serba teknologi sistem, tunggu bola tersebut sudah kuno.
Seharusnya, strategi penghimpunan adalah bersifat jemput bola, yaitu lembaga amil harus
melakukan berbagai strategi fundraising agar muzakki menyalurkan dananya untuk
membantu program lembaga amil tersebut.

Kelima, masih kakunya pemahaman fiqh para amilin turut pula menjadi salah satu
faktor rendahnya pengaruh zakat dalam perekonomian. Mereka memahami fiqh hanya
secara tekstual, tanpa memungkinkan timbulnya perluasan pemahaman terhadap konsep
tersebut. Sebagai contoh permasalahan bentuk penyaluran, yang dalam pandangan kaum
tradisionalis, zakat hanya dapat diberikan dalam bentuk konsumtif. Bahkan, di daerah
pedesaan, zakat diberikan kepada tokoh agama setempat yang sering oleh tokoh agama
bahwa dana tersebut dianggap sebagai haknya karena masuk ke dalam asnaf fisabilillah.

Dalam observasi yang dilakukan di kota-kota besar di jawa terungkap bahwa hal
itu lebih disebabkan oleh titik lemah organisasi dalam aspek pencitraan Tidak sedikit
organisasi amil zakat bercitra negatif sehingga kepercayaan muzakki terhadap organisasi
tersebut rendah. Berdasarkan hal tersebut beberapa kendala umum yang sering dihadapi
oleh lembaga amil zakat adalah:5

1. Minimnya sumber daya manusia yang berkualitas

5
Umrotul Khasanah, Manajemen Zakat Modern: Instrumen Pemberdayaan Ekonomi Umat, (Malang:UIN
Maliki,2010), hlm. 223

16
Pekerjaan menjadi seorang pengelola zakat (amil) belumlah menjadi tujuan
hidup atau profesi dari seseorang. bakan dari lulusan ekonomi syariah sekalipun. Para
pemuda ini meskipun dari lulusan ekonomi syariah lebih memilih untuk berkarir di
sektor keuangan seperti perbankan atau asuransi. akan tetapi hanya sedikit orang
yang memilih untuk berkarir menjadi pilihan hidup dari para pemuda kita, karena
tidak ada daya tarik berkarir disana Padahal lembaga amil membutuhkan banyak
sumber daya manusia yang berkualitas agar pengelolaan zakat dapat profesional,
amanah, akuntabel dan transparan Karena sesungguhnya kerja menjadi seorang amil
mempunyai dua aspek tidak hanya aspek materi semata namun aspek sosial juga
sangat menonjol

Ada beberapa kriteria pengelola zakat agar mampu menjadi suatu lembaga
zakat agar menjadi suatu lembaga zakat yang profesional, yaitu (1) amanah, (2)
manajemen skills, (3) ikhlas, (4) leadership skills, (5) inovatif, (6) no profit motives.

2. Pemahaman fiqh amil yang belum memadai


Masih minimnya pemahaman fiqh zakat dari para amil masih menjadi salah
satu hambatan dalam pengelolaan zakat. Sehingga menjadi fiqh hanya dimengerti
dari segi tekstual semata bukan konteksnya. Banyak para amil terutama yang masih
bersifat tradisional, mereka sangat kaku memahami fiqh, sehingga tujuan utama zakat
tidak tercapai Sebenamya dalam penerapan zakat di masyarakat yang harus diambil
adalah ide dasamya, yaitu bermanfaat dan berguna bagi masyarakat serta dapat
memberikan kemaslahatan bagi umat dan mampu menjadikan mustahik tersebut
pribadi yang mandiri dan tidak tergantung oleh pihak lain

Namun bukan berarti para amil diberikan kesempatan untuk berjihad dan
berkereasi tanpa batas, mereka tetap harus berusaha melakukan terobosan-terobosan
baik pengelolaan zakat, agar tetap sesuai dengan syariah. Sistem pengawasan yang
terdapat di semua institusi keuangan syariah termasuk di dalamnya institusi pengella
zakat, mewajibkan adanya unsur Dewan Pengawas Syariah di dalam struktur
organisasinya yang berfungsi untuk melakukan pengawasan terhadap pengelolaan
manajemen agar tidak menyimpang dari aturan syariat

3. Rendahnya Kesadaran Masyarakat

17
Masih minimnya kesadaran masyarakat membayar zakat dari masyarakat
menjadi salah satu kendala dalam pengelolaan dana zakat agar dapat berdayaguna
dalam perekonomian. Karena sudah melekat dalam benak sebagian kaum muslim
bahwa perintah zakat itu hanya diwajibkan pada bulan Ramadhan saja itupun
masih terbatas pada pembayaran zakat fitrah. Padahal zakat bukanlah sekedar
ibadah diterapkan pada bulan Ramadhan semata, melainkan juga dapat dibayarkan
pada bulan-bulan selain Ramadhan Sehingga ide dasar zakat untuk kemaslahatan
umat telah bergeser mendai sekedar ibadah ntual semata yang dikerjakan bersamaan
dengan ibadah puasa. Terdapatnya syarat haul menandakan bahwasanya zakat
tersebut tidak mengenal pembayaran pada satu bulan tertentu saja, melankan setiap
bulan zakat dapat dibayarkan Apabila kesadaran masyarakat akan pentingnya zakat
bagi peningkatan kesejahteraan dan kemakmuran umatApabila kesadaran masyarakat
akan pentingnya zakat bagi peningkatan kesejahteraan dan kemakmuran umat sudah
semakin baik, hal ini akan berimbas pada peningkatan penerimaan zakat

4. Teknologi yang digunakan

Penerapan teknologi yang ada pada suatu lembaga zakat masih sangat jaduh
bila dibandingkan dengan yang sudah diterapkan institusi keuangan Hal ini turut
menjadi salah satu kendala penghambat kemajuan pendayagunaan zakat. Teknologi
yang diterapkan pada lembaga amil masih terbatas pada teknologi standar biasa.
Sistem n menengah atas yang notabenya memiliki dana berlebih. Mobilitas tinggi
membutuhkan teknologi tinggi yang menunjang pula, bila lembaga amil zakat
mampu melakukan inovasi dalam memberikan kemudahan kepada muzakki, maka
akan semakin mampu mempertinggi proses penghimpunan dana.

5. Sistem informasi zakat

Inilah salah satu hambatan utama yang menyebabkan zakat belum mampu
memberikan pengaruh yang signifikan dalam perekonomian. Lembaga amil zakat
yang ada belum mampu mempunyai atau menyusun suatu sistem informasi zakat
yang terpadu antar amil. Sehingga para lembaga amil zakat ini saling terintegrasi
satu dengan yang lainnya. Sebagai contoh penerapan ini adalah pada database
muzakki dan mustahik. Dengan adanya sistem informasi ini tidak akan terjadi pada

18
muzakki yang sama didekati oleh beberapa lembaga amil, atau mustahik yang sama
diberi bantuan oleh beberapa lembaga amil zakat.6

E. Strategi Pengembangan dalam Lembaga Amil Zakat


Dalam proses pengelolaan dana zakat yang dijalankan baik oleh BAZ maupun
LAZ dimulai dari proses perencanaan perolehan zakat, strategi penghimpunan, rencana
penyaluran serta komposisi distribusi, dan berakhir dengan pertnggungjawaban.
Penilaian atas tehapan pengelolaan zakat kemudian melahirkan kebijakan korektif yang
harus dijalankan oleh Badan Pelaksana dengan pengawasan oleh Komisi Pengawas.
Kebijakan korektif ini diambil untuk digunakan sebagai dasar bagi langkah-langkah
pengembangan lebih lanjut.

Selain secara internal oleh komosi Pengawas, pengawasan terhadap kegiatan


lembaga amil zakat secara eksternal juga dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat.
Namun, pengawasan eksternal ini bisa dilaksanakan apabila LAZ yang bersangkutan
bersikap terbuka dengan pengelolaan keuangannya dan menaati peraturan perundangan
yang berlaku, penerapan prinsip syariah dan kinerja lembaga secara keseluruhan.
Pengawasan eksternal secara aktif oleh masyarakat diperlukan, mengingat lembaga amil
zakat merupakan organisasi publik dan mengingat hal itu apapun keberhasilan yang
dicapai memang semestinya dipublikasikan secara terbuka. LAZ harus berani melakukan
publikasi secara terbuka melalui media massa dan sekaligus menyakinkan kinerja
pnegembangan program pemberdayaan,serta membangun dan memperbesar kepercayaan
para muzakki, di samoing tentunya ynag paling utama sebagai bentuk pertanggung
jawaban publik.7

Beberapa strategi pengembangan dalam pengelolaan zakat adalah:

1. Membudayakan Kebiasaan Membayar Zakat

Harus mulai dicanangkan gerakan membayar zakat melalui tokoh-


tokoh agama atau bahkan dengan cara memasang iklan di media massa baik
cetak maupun elektronik. Selain itu harus mulai membiasakan sedari dini
kepada para pelajar agar mau menyisihkan sebagian rezekinya untuk berbagi
dengan sesama dengan melatih para generasi muda sedari dini, maka akan

6
Nurianto Al Arif, https://nuriantolarif.wordpress.com/2008/12/21/7/, diakses 2 Desember 2015
7
Umrotul Khasanah, Manajemen Zakat Modern: Instrumen Pemberdayaan Ekonomi Umat, hlm. 216

19
mampu menjadi nafkah. Rasa empati dan sosial pun akan timbul dari
budaya membayar zakat ini.

Sosialisasi kebiasaan membayar zakat harus dilakukan secara serentak


dan dengan koordinasi yang matang antar lembaga, agar dapat menjadi
budaya positif di masyarakat. Himbauan moral harus selalu dikumandangkan
baik oleh tokoh-tokoh formal di masyarakat maupun tooh informal

2. Penghimpunan yang cerdas

Pada masa sekarang strategi penghimpunan yang tradisional sudah


tidak dapat dipergunakan lagi, yaitu strategi penghimpunan yabg hanya
tunggu bola, menunggu datangnya muzakki yang datang ketempat amil. Saat
ini amil harus mau untuk lebih bekerja keras dalam menghimpun dana
masyarakat , strategi yang dipakai adalah strategi jemput bola, yaitu amil
harus mendatangani dan mendekati para muzakki agar mau menyisihkan
sebagian dananya untuk sesama.

3. Perluasan Bentuk Penyaluran

Pola-pola penyaluran tradisional yang selama ini banyak diterapkan


oleh lembaga pengelola zakat masjid atau tradisional harus diubah agar
bentuk penyaluran yang ada mampu menjadikan manusia tersebut menjadi
mandiri dan tidak tergantung kepda pihak lain. Janganlah selalu memberi
mereka ikan, akan tetapi mereka harus pula diberi kail agar meraka pada
akhirnya mampu memperoleh ikan mereka sendiri, bahkan mereka mampu
memberi ikan yang peroleh kepada pihak lain. Hal ini menimbulkan
impilkasi bahwa zakat akan mampu menciptakan kemaslahatan dan
kemudharatan bagi umat.

4. Sumber Daya Manusia yang Berkualitas


Peningkatan kualitas sumber daya manusia merupakan salah satu
persyarat agar suatu lembaga amil zakat untuk semakin berkembang dan
mamou mendayagunakan dana zakat yang mereka miliki agar berguna bagi
kemaslahatan umat. Lembaga amil zakat harus mampu memberikan
penghargaan yang seimbang sesuai dengan prestasi kerja para staf pengelola,
agar mereka mau menjadikan amil tersebut menjadi profesi yang bergensi

20
dan mneyenangkan. Profesi amil mempunyai dua dimensi yang berbeda yaitu
di satu sisi mereka mencari materi untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan
di sisi lain mereka bekerja sambil beribadah mengamalkan ilmunya untuk
kemaslahatan umat.
5. Fokus dalam Program

Seringkali kelemahan para lembaga pengelola zakat saat ini adalah


mereka memiliki ambisi untuk menjangkau seluruh aspek kehidupan hal ini
berakibat pada tidak fokusnya program-program yang mereka lakukan.
Sehingga dapat mengakibatkan tujuan utama pendayagunaan zakat untuk
mengentaskan mustahik dari jurang kemiskinan justru tidak menjadi
optimal. Lembaga amil zakat yang memiliki fokus utama terhadap suatu
sektor tertentu akan lebih efektif dalam pengelolaan.

6. Cetak Biru Pengembangan Zakat


Setiap elemen dan institusi yang terkait dengan pengembangan dan
pengelolaan zakat di Indonesia haruslah secara bersama-sama dengan
pemerintah merumuskan suatu arahan dan target-target jangka pendek,
menengah maupun panjang dari pengelolaan zakat di Indonesia agar zakat
mampu berdayaguna dan dapat mensejahterakan serta memakmurkan
masyarakat. Apabila institusi keuangan lain sudah memiliki suatu cetak biru
pengembangan zakat, maka institusi zakat pun wajib memiliki cetak biru
pengembangan zakat. Namun untuk menyatukan semua elemen tersebut
iealnya pemerintah turut mengambil peranan yaitu dengan membentuk
suatu kementerian khusus yang bertugas untuk mengeloah zakat

21
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Zakat secara etimologi diartikan berkembang, bertambah, dan berkah. Atau bisa
juga diartkan tumbuh, berkah, atau banyak kebaikan. Zakat ditinjau dari bahasa Arab
yakni merupakan asal kata dari ‫ زکا‬yang berarti berkah, tumbuh, bersih dan baik.
Sedangkan zakat secara terminologi berarti sejumlah harta tertetu yang diwajibkan oleh
Allah SWT untuk diberikan kepada yang berhak (mustahik) yang di sebutkan dalam Al-
Quran.

Sejarah zakat ada empat yaitu, Syariat Zakat Pra-Rasulullah, Masa Rasulullah,
Masa Khulafaur Rasyidin, dan Zakat di Indonesia.

Di Indonesia, pengelolaan zakat diatur berdasarkan Undang- Undang No. 38


tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat. Dalam undang- undang tersebut disebutkan
bahwa lembaga pengelola zakat yang ada di Indonesia dapat berupa Badan Amil Zakat
yang dikelola oleh pemerintah serta dapat pula berupa Lembaga Amil Zakat yang
dikelola oleh swasta.

Kendala lembaga amil zakat yang sering dihadapi yaitu: Minimnya sumber
daya manusia yang berkualitas, Pemahaman fiqh amil yang belum memadai, Rendahnya
kesadaran Masyarakat, Teknologi yang digunakan, dan Sistem informasi zakat.

Strategi pengembangan lembaga amil zakat yaitu terdiri dari, Membudayakan


kebiasaan membayar zakat, Penghimpunan yang cerdas, Perluasan bentuk penyaluran,
Sumber daya manusia yang berkualitas, Fokus dalam program,dan Cetak biru
pengembangan zakat.

B. Saran

Kami berharap makalah ini dapat bermanfaat dan menambah wawasan


pengetahuan terkait “Lembaga Amil Zakat”. Kami mengetahui bahwa makalah ini
tidaklah sempuran, untuk itu diperlukan kritik dan saran yang membangun dari para
pembaca demi memperbaiki makalah ini.

22
DAFTAR PUSTAKA

Al Arif, Nurianto. https://nuriantolarif.wordpress.com/2008/12/21/7/


Abdul Aziz. Manajemen Investasi Syariah. Bandung : Alfabeta. 2010.
Fahrur Mu’is. Zakat A-Z . Solo: PT Tiga Serangkai Pustaka Mandiri. 2011).
Jalaluddin Asy-Syuyuthi & Jalaluddin. Muhammad Ibn Ahmad Al-Mahalliy. Tafsir
Jalalin Digital. Tasikmalaya: Pesantren Persatuan Islam. 2010.

M. Nur Rianto Al Arif. Lembaga Keuangan Syariah Suatu Kajian Teoritis Praktis.
Bandung: CV PUSTAKA SETIA. 2012.

Umrotul Khasanah. Manajemen Zakat. Modern: Instrumen Pemberdayaan Ekonomi


Umat. Malang:UIN Maliki,2010.

23

Anda mungkin juga menyukai