Disusun Oleh:
KELOMPOK 11
Firnanda (2220203861206064)
2023/2024
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur kami panjatkan kepada Tuhan yang Maha Esa, karena berkat
kebaikan-Nya kami mampu menyelesaikan tugas makalah ini dengan baik dan tepat waktu.
Dan tak lupa pula kita kirimkan shalawat dan salam kepada junjungan Nabi kita Nabi
Muhammad SAW. yang telah menuntun kita dari jalan yang gelap gulita menuju jalan yang
terang benderang.
Tugas ini merupakan tugas mata kuliah Lembaga Keuangan Syariah dengan judul
“Lembaga Amil Zakat”. Terima kasih atas partisipasi dalam hal menyelesaikan makalah
ini sehingga dapat disusun dengan rapih. Kami menyadari bahwa makalah ini belum
sempurna maka dari itu jika terdapat kesalahan ataupun kekurangan dalam penyusunan
makalah ini, kami memohon maaf sebesar-besarnya kepada pembaca. Maka dari itu kami
mengharapkan saran dan kritik dari pembaca untuk demi kesempurnaan makalah ini.
Akhir kata. Kami berharap semoga makalah ini dapat membawa manfaat maupun
inspirasi terhadap pembaca dan kepada kami sebagai pemateri.
Kelompok 11
ii
DAFTAR ISI
iii
BAB II
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Zakat merupakan rukun Islam yang ketiga setelah salat dan puasa. Akan tetapi,
dalam hal implementasi ibadah, zakat masih tertinggal dari salat, bahkan dengan rukun
Islam seperti ibadah puasa dan ibadah haji yang tidak asing lagi umat muslim. Hal
tersebut tercermin dalam penyerapan zakat yang masih belum optimal dari lembaga
pengolahan zakat. Konsepsi zakat sebagai satu bagian dari rukun Islam merupakan salah
satu pilar dalam membangun perekonomian umat. Dimensi zakat tidak hanya bersifat
ibadah ritual saja, tetapi mencakup juga dimensi sosial, ekonomi, keadilan dan
kesejahteraan. Zakat adalah komponen utama dalam sistem keuangan publik serta
kebijakan fiskal utama dalam sistem ekonomi Islam.
Pengelolaan zakat oleh lembaga pengelola zakat yang memiliki kekuatan hukum
formal akan memiliki beberapa keuntungan, antara lain:
Pertama, untuk menjamin kepastian dan disiplin membayar zakat. Kedua, untuk
menjaga perasaan rendah diri para mustahik zakat apabila berhadapan langsung untuk
menerima zakat dari para muzaki. Ketiga, untuk mencapai efisiensi dan dan efektivitas,
serta sasaran yang tepat dalam penggunaan harta zakat menurut skala prioritas yang ada
pada suatu tempat. Keempat, untuk memperlihatkan syiar islam dalam semangat
penyelenggaraan pemerintah yang islami. Sebaliknya , jika zaat diserahkan langsung dari
muzaki kepada mustahik, meskipun secara hukum syariah adalah sah, akan tetapi
disamping akan terabaikannya hal-hal tersebut diatas, juga hikmah dan fungsi zakat,
terutama yang berkaitan dengan kesejahteraan umat, akan sulit diwujudkan.
1
3. Meningkatkan hasil guna dan daya guna zakat.
Pengelolaan zakat pada LAZ (Lembaga Amil Zakat) diatur dalam pasal 17
sampai pasal 20 pada UU Nomor 23 Tahun 2011. Dalam pasal tersebut diatur peran,
perizinan, tanggung jawab dan persyaratan. Peran dari LAZ yang tertulis adalah
membantu BAZNAS dalam pelaksanaan pengumpulan dan pendistribusian dan
pendayagunaan zakat, semua masyarakat dapat membentuk LAZ. Selain itu LAZ juga
memiliki tanggung jawab untuk melaporkan pelaksanaan pengumpulan,
pendistribusian dan pendayagunaan zakat yang telah diaudit kepada BAZNAS secara
berkala. Dalam pembentukan LAZ wajib mendapat izin menteri atau pejabat yang di
tunjuk oleh menteri dan untuk mendapatkan izin seluruh LAZ harus memenuhi
persyarataan yang telah tertulis
B. Rumusan Masalah
1. Apa definisi zakat ?
2. Bagaimana sejarah zakat ?
3. Apa saja lembaga pengelola zakat ?
4. Apa saja kendala lembaga amil zakat ?
5. Bagaimana strategi pengembangan lembaga amil zakat ?
C. Tujuan Masalah
1. Untuk mengetahui definisi zakat
2. Untuk mengetahui bagaimana sejarah zakat
3. Untuk mengetahui lembaga pengelola zakat
4. Untuk mengetahui kendala lembaga amil zakat
5. Untuk mengetahui strategi pengembangan lembaga amil zakat
2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi Zakat
Zakat secara etimologi diartikan berkembang, bertambah, dan berkah. Atau bisa
juga diartkan tumbuh, berkah, atau banyak kebaikan. Zakat ditinjau dari bahasa Arab
yakni merupakan asal kata dari زکاyang berarti berkah, tumbuh, bersih dan baik.
Sedangkan zakat secara terminologi berarti sejumlah harta tertetu yang diwajibkan oleh
Allah SWT untuk diberikan kepada yang berhak (mustahik) yang di sebutkan dalam Al-
Quran.1 Zakat mengandung makna thaharah yang berarti bersih atau kesucian. Zakat
menurut syariat ialah hak wajib dari harta tertentu pada waktu tertentu yang telah di
tetapkan.2
Zakat dari istilah fikih berarti sejumlah harta tertentu yang diwajibkan Allah
untuk diserahkan kepada orang-orang yang berhak. Legitimasi zakat sebagai kewajiban
terdapat beberapa ayat dalam Al-Quran. Kata zakat dalam bentuk ma’rifah disebut 30
kali di dalam Al-Quran, 27 kali di antaranya disebutkan dalam satu ayat bersama shalat,
dan sisanya disebutkan dalam konteks yang sama dengan shalat meskipun tidak di dalam
satu ayat. Diantara ayat tentang zakat yang cukup populer adalah surah Al-Baqarah ayat
110 yang berbunyi “ Dan dirikanlah shalat dan tunaikan zakat”
Sayyid Sabiq, mendefinisikan zakat adalah sebutan dari suatu hak Allah yang
dikeluarkan seorang untuk fakir miskin, dinamakan zakat, karena dengan mengeluarkan
zakat itu, di dalamnya terkandung harapan untuk memperoleh berkah, pembersih jiwa
dari sifat kikir bagi orang kaya dan menghilangkan rasa iri hati orang-orang miskin serta
memupuknya dengan berbagi kebajikan.
Menurut Ibnu Taimiyah “jiwa orang yang berzakat itu menjadi bersih dan
kekayaannya akan bersih pula: bersih dan bertambah maknanya”. Arti tumbuh dan suci
tidak dipakaikan hanya untuk kekayaan, melainkan juga untuk jiwa orang yang
menzakatinya, sesuai dengan firman Allah dalam surat At-Taubah ayat 103:
1
Abdul Aziz, Manajemen Investasi Syariah (Bandung: Alfabeta, 2010), hlm 211
2
Fahrur Mu’is, Zakat A-Z (Solo: PT Tiga Serangkai Pustaka Mandiri, 2011), hlm 22
3
علِي ٌم سكَهٌ له ُه ْم ۗ َو ه
َ ٱَّللُ سَمِ ي ٌع َ َصلَ َٰىت َك
َ علَي ِْه ْم ۖ إِنه
َ ص ِ ّل َ ُ ص َدقَةً ت
ِ ط ِّه ُر ُه ْم َوت َُز ّك
َ ِيهم بِهَا َو َ ُخ ْذ مِ ْه أ َ ْم َٰ َىل ِِه ْم
“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu
membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka.
Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan
Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui”
(Ambillah sedekah dari sebagian harta mereka, dengan sedekah itu kamu
membersihkan dan menyucikan mereka) dari dosa-dosa mereka, maka Nabi saw.
mengambil sepertiga harta mereka kemudian menyedekahkannya (dan berdoalah untuk
mereka). (Sesungguhnya doa kamu itu menjadi ketenangan jiwa) rahmat (bagi mereka)
menurut suatu pendapat yang dimaksud dengan sakanun ialah ketenangan batin lantaran
taubat mereka diterima. (Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui)3
B. Sejarah Zakat
Ada beberapa masa pada sejarah zakat diantaranya yaitu sebgai berikut: 4
3
Jalaluddin Asy-Syuyuthi & Jalaluddin Muhammad Ibn Ahmad Al-Mahalliy, Tafsir Jalalin Digital (Tasikmalaya:
Pesantren Persatuan Islam, 2010)
4
M. Nur Rianto Al Arif, Lembaga Keuangan Syariah Suatu Kajian Teoritis Praktis, (Bandung: CV PUSTAKA
SETIA, 2012), hlm, 377-396
4
aku adalah ayah bagi anak-anak yatim, suami bagi janda-janda, dan tempat
menyelamatkan diri bagi orang-orang yang ditimpa hujan badai.”
Zakat bukan hanya dibawa oleh syariat Nabi Muhammad SAW., tetapi telah
lama diturunkan dan dikenal dalam risalah-risalah agama samawiyah sejak dahulu,
antara lain disampaikan dengan jalan wasiat. Allah mewasiatkan kepada para Rasul-
Nya, lalu mereka menyampaikan kepada umatnya untuk membayarkan zakat sebagai
kesatuan dengan pelaksanaan ibadah shalat.
Adapun Ahli Kitab secara umum memperoleh syariat zakat, dijelaskan dalam
surah Al- Bayyinah ayat 4-5:
َ ّ ٰ َو َما ثَفَ َّر َق َّ ِاَّليۡ َن ُا ۡوثُوا الۡ ِك ٰت َب ِا ََّّل ِم ۢۡۡن ب َ ۡع ِد َما َجا ٓ َءۡتۡ ُ ُم الۡ َب ِي ّنَ ُة َو َم ۤا ُا ِم ُر ۤۡوا ِا ََّّل ِل َي ۡع ُبدُ وا
اّلل ُم ۡخ ِل ِص ۡ َۡي لَـ ُه ّ ِاليۡ َن
Artinya:
5
mangsa cengkeraman kemelaratan. Orang-orang yang akan membela dan
memperjuangkan hak-hak mereka tidak ada karena mereka tidak memiliki
hak-hak yang jelas. Demikianlah, bahaya kebajikan yang diserahkan kepada
kemurahan hati mereka.
Ayat-ayat tentang zakat yang diturunkan pada periode Mekah secara tegas
menyatakan kewajiban zakat, tetapi umumnya lebih bersifat informatif. Misalnya
bercerita tentang hak-hak fakir miskin ketenteraman dan kebahagiaan orang-orang
yang menunaikan zakat. Ayat-ayat yang diturunkan pada periode Mekah hanya
bersifat anjuran mengenai bersedekah. Lafazh yang digunakan pun lebih banyak
menggunakan lafazh sedekah daripada zakat. Beberapa ayat, bahkan disandingkan
dengan imbauan untuk tidak mengambil riba, meskipun larangan tersebut belum
bersifat larangan. Pada periode Mekah, syariat zakat belum menjadi syariat yang
bersifat wajib dan masih bersifat imbauan dan anjuran karena ayat-ayat Mekah tidak
memakai sighat amar. Hal itu misalnya bisa diperhatikan dalam ayat Makiyah
tentang zakat berikut ini.
Pada surat Luqman ayat 2-4 disebutkan bahwa orang yang mendirikan shalat
dan menunaikan zakat adalah orang-orang yang berbuat kebaikan.
6
َّ ۡل ٰايٰ ُت الۡ ِك ٰت ِب الۡ َح ِك ۡي هُدًى َّو َر ۡ َۡح ًة لِ ّلۡ ُم ۡح ِس نِ ۡ َۡي َّ ِاَّليۡ َن ي ُ ِق ۡي ُم ۡو َن
الص ٰلو َة َوي ُ ۡؤث ُۡو َن َّالز ٰكو َة َو ُ ُۡه ِِب ۡ َّٰل ِخ َرة ُ ُۡه َ ۡ ِث
ي ُ ۡو ِقنُ ۡو َن
Artinya:
Adapun pada periode Madinah, secara politis, kaum muslim telah menjadi
sebuah kekuataan masyarakat yang mandiri. Mereka mendirikan negara sendiri,
menerapkan hukum dan memiliki wilayah kekuasaan sendiri. Mereka terdiri atas
penguasa, pemilik tanah, pedagang, dan sebagainya. Mereka sudah
merupakan jamaah yang memiliki daerah, eksistensi, dan pemerintahan sendiri. Oleh
karena itu, beban tanggung jawab mereka mengambil bentuk baru sesuai dengan
perkembangan tersebut, yaitu bentuk hukum yang bukan hanya mengikat pesan-pesan
yang bersifat anjuran. Penerapannya pun memerlukan kekuasaan di samping
didasarkan atas perasaan iman tersebut. Dalam kondisi demikian, umat Islam
memerlukan perantara untuk mengikat dan memperkuat kesatuan politik yang telah
7
terbentuk itu. Ayat-ayat Madaniyah tentang zakat yang mulai memperlihatkan unsur
kewajibannya, sebagai bagian dari mekanisme untuk merekatkan kesatuan politik itu.
Zakat pada periode Madinah telah menjadi instrumen fiskal utama yang cukup
menentukan. Ayat- ayat yang turun di Madinah menegaskan zakat itu wajib dalam
bentuk perintah yang tegas dan instruksi pelaksanaan yang jelas.
Pada tahun kedua Hijriah, turun ayat dengan aturan yang lebih khusus, yaitu
penetapan kelompok yang berhak untuk menerima zakat (mustahiq az-zakat). Saat itu,
mustahik zakat hanya terbatas pada dua kalangan, yaitu fakir dan miskin. Hal ini
karena pada masa itu, zakat telah diarahkan sebagai instrumen fiskal yang berfungsi
sebagai instrumen pemerataan atas ketimpangan dan ketidakmerataan distribusi
pendapatan yang terjadi di masyarakat.
Dalam praktiknya, Nabi membagi rata hasil zakat yang terkumpul pada
delapan kelompok tersebut. Nabi membagi sesuai kebutuhan yang diperlukan oleh
setiap kelompok tersebut. Konsekuensinya, ada salah satu kelompok yang tidak
memperoleh zakat karena persediaan zakat dialokasikan kepada kelompok lain yang
lebih membutuhkan. Pertimbangan yang dilakukan Nabi berdasarkan asas manfaat
dan prioritas. Kelompok-kelompok yang harus menjadi prioritas utama untuk
dibagikan zakat dan kelompok yang menjadi prioritas terakhir. Skala prioritas ini
dapat berubah dari waktu ke waktu. Untuk mempermudah mekanisme pemungutan
dan penyaluran zakat, Nabi mengangkat petugas khusus yang dikenal sebagai amil.
Amil yang diangkat Rasul ada dua macam. Pertama, amil yang berdomisili di dalam
kota Madinah, statusnya bersifat free- lance, tidak memperoleh gaji tetap, hanya
memperoleh honorarium sebagai balas jasa atas kerjanya dalam pendayagunaan zakat.
Di antara sahabat nabi yang pernah berstatus demikian adalah Umar bin Khaththab.
Kedua, amil yang tinggal di luar kota Madinah, statusnya sebagai wali pemerintah
pusat (pemerintah daerah) yang merangkap menjadi amil. Di antara sahabat yang
pernah menduduki jabatan ini adalah Muaz bin Jabal. Sebagai amil, mereka
diperbolehkan mengambil bagian dari zakat dan diperkenankan untuk langsung
mendistribusikannya kepada yang membutuhkan di daerah tersebut. Jadi, konsep
pendistribusian pada masa nabi adalah langsung menghabiskan seluruh dana zakat
yang diterima dan sudah mengenal konsep desentralisasi distribusi zakat. Nabi
memandang bahwa setiap daerah memiliki kebutuhan dan orang-orang yang
akan dibantu sendiri.
8
3. Masa Khulafaur Rasyidin
Pada masa Abu Bakar, selama dua tahun sepeninggal wafatnya Rasullulah
SAW., belum terjadi perubahan mendasar tentang kebijakan dalam pengelolaan zakat
dibandingkan dengan masa Rasullulah. Hal ini karena kebijakan yang diambil oleh
Abu Bakar secara garis besar sama dengan pada masa Rasulullah. Akan tetapi, pada
periode ini terjadi sebuah peristiwa penting menyangkut zakat, yakni menjamurnya
para pembangkang zakat di berbagai wilayah Islam. Sebagian kaum muslim
menganggap bahwa hanya Nabi yang berhak memungut zakat karena beliau yang
diperintahkan untuk memungut pajak.
Ketika Abu Bakar meninggal, dan usai dikebumikan, Umar bin Khaththab
memanggil sahabat terpecayanya, antara lain Abdurrahman bin Auf dan Usman bin
Affan untuk masuk dalam baitul mal yang berisi satu dirham. Pada masa Umar
menjadi khalifah, situasi Jazirah Arab relatif lebih stabil dan tenteram. Semua kabila
9
menyambut seruan zakat dengan sukarela. Umar melantik amil-amil untuk bertugas
mengumpulkan zakat dari orang-orang dan kemudian mendistribusikan kepada
golongan yang berhak menerimanya. Sisa zakat itu kemudian diberikan kepada
khalifah. Untuk mengelola wilayah yang semakin luas dan dengan persoalan yang
semakin kompleks, Umar kemudian membenahi struktur pemerintahannya dengan
membentuk beberapa lembaga baru yang bersifat ekseklusif-operasional. Di antara
lembaga baru yang dibentuk adalah baitu mal. Lembaga yang berfungsi mengelola
sumber-sumber keuangan, termasuk zakat. Umar menentukan satu tahun anggaran
selama 360 hari, dan menjadi tanggung jawab Umar untuk membersihkan baitul mal
dalam setiap tahun selama sehari. Umar berkata, “Untuk mendapatkan ampunan dari
Allah, aku tidak sedikit pun meninggalkan harta di dalamnya.”
Pada periode Usman bin Affan pengelolaan zakat pada dasarnya melanjutkan
dasar-dasar kebijakanyang telah ditetapkan dan dikembangkan oleh Umar bin
Khaththab. Pada masa Usman, kondisi ekonomi umat sangat makmur, bahkan
diceritakan Usman harus juga mengeluarkan zakat dari harta kharaj dan jizyah
yang diterimanya. Harta zakat pada periode Usman mencapai rekor tertinggi
dibandingkan pada masa-masa sebelumnya. Usman melantik Zaid bin Sabit untuk
membagi-bagikan harta kepada yang berhak, tetapi masih tersisah seribu dirham.
Usman menyuruh Zaid untuk membelanjakan sisa dana tersebut untuk membangun
dan memakmurkan Masjid Nabawi.
10
Pada periode ini ada sinyalemen bahwa perhatian khalifah pada pengelolaan
zakat tidak sepenuh pada khalifah sebelumnya. Pada periode ini, wilayah
kekhalifahan Islam semakin luas dan pengelolaan zakat semakin sulit terjangkau oleh
aparat birokrasi yang terbatas, sementara itu telah terdapat sumber pendapatan negara,
selain zakat yang memadai, yakni kharaj dan jizyah. Oleh karena itu, khalifah lebih
fokus dalam pengelolaan pendapatan negara yang lain seperti kharaj dan jizyah yang
besaran persentasenya dapat diubah, berbeda dengan zakat yang besarannya harus
mengikuti tuntunan syariat.
4. Zakat di Indonesia
Sejak awal masuknya Islam ke Indonesia, zakat merupakan salah satu sumber
dana untuk pengembangan ajaran Islam dan sebagai pendanaan dalam perjuangan
bangsa Indonesia melawan penjajahan Belanda. Di Sumatra misalnya, Belanda
terlibat dalam perang besar berkepanjangan melawan orang-orang Aceh yang fanatik,
dan juga di tempat-tempat lain yang penduduknya mayoritas beragama Islam, yang
kuat dan gigih dalam melawan penjajahan Belanda, karena mereka memiliki sumber
dana yang kuat berupa hasil zakat. Tempat yang dijadikan pengelolaan sumber-
sumber tersebut adalah masjid, surau, atau langgar.
11
Sebelum datang penjajah di Indonesia, terdapat beberapa kesultanan yang
mencapai kejayaan berkat dukungan dana intern dari umat Islam. Misalnya,
Kesultanan di Aceh, Sumatra Barat, Banten, Mataram, Demak, Gowa, dan Ternate.
Kesultanan tersebut tercatat telah berhasil mendayagunakan potensi ekonomi umat
dengan memperbaiki kualitas ekonomi rakyat, antara lain dengan mengatur sumber-
sumber keuangan Islam, seperti pendayagunaan zakat, pemeliharaan harta wakaf,
wasiat, infak, dan sedekah. Dana yang bersumber dari umat cukup memadai untuk
membiayai kepentingan Islam.
Saat itu, seorang ulama kenamaan, Muhammad Arsyad Al- Banjari, telah
menggulirkan gagasan brilian tentang zakat. Menurutnya, zakat tidak hanya bersifat
konsumtif, tetapi juga harus bersifat produktif, sehingga hasilnya bisa dimanfaatkan
secara berkesinambungan oleh mustahik. Zakat yang hanya konsumtif tidak akan
mampu mengangkat harkat kemanusiaan dan kemiskinan. Zakat yang bersifat
konsumtif tidak akan membantu mereka untuk menjadi mandiri, justru mereka akan
menjadi semakin malas. Hal ini berakibat bahwa pengelolaan zakat yang bertujuan
untuk membantu mengentaskan kemiskinan, justru menjadi membantu menyuburkan
kemiskinan.
Oleh karena itu, menurut Al-Banjari, pola alokasi zakat harus dibagi ke dalam
tiga kategori. Pertama, bagi fakir miskin yang tidak memiliki keterampilan,
hendaknya tidak diberi emas, perak, atau uang tetapi berupa barang atau
keterampilan dan keahlian yang bisa tidak dimanfaatkan dalam jangka waktu lama
serta dapat membuat mereka menjadi lebih mandiri. Kedua, bagi fakir miskin yang
memiliki keterampilan, diberikan alat-alat keterampilan yang dibutuhkan dalam
mewujudkan keterampilan dan keahlian yang mereka miliki. Ketiga, bagi fakir
miskin yang telah memiliki pekerjaan, tetapi belum memenuhi kebutuhan hidupnya,
mereka diberi modal usaha agar dapat berdagang sebagai pemasukan hidupnya,
sebab ada hadis yang berkata bahwa 9 dari 10 pintu rezeki terdapat pada perniagaan.
12
seluruh daerah kekuasaannya (Policy of religion neutrality). Hal ini karena mereka
belum memandang besarnya potensi zakat sebagai sumber keuangan umat, terutama
sebagai pendanaan dalam perjuangan melawan penjajahan Belanda dan dalam
membantu menyejahterakan umat. Akan tetapi, setelah melihat besarnya potensi
sumber keuangan Islam, yang umumnya dikelola di masjid-masjid dalam mendukung
perjuangan antikolonial, seperti pengalaman Perang Paderi di Sumatra (1821-1837),
Perang Diponegoro di Jawa Tengah (1825- 1830), dan Perang Aceh (1873-1903),
mereka mulai mengatur sumber- sumber keuangan tersebut dalam ketentuan khusus.
Pada tanggal 4 Agustus 1893, pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan Bijblad
nomor 1892 yang berisi kebijakan pemerintah untuk mengawasi pelaksanaan zakat
yang dilakukan oleh penghulu atau naib. Untuk melemahkan kekuatan rakyat yang
bersumber dari zakat, pemerintah Hindia Belanda melarang semua pegawai dan
priayi pribumi ikut serta membantu pelaksanaan zakat. Larangan itu dituangkan
dalam Bijblad nomor 6200 tanggal 28 Februari 1905
13
kemaslahatan umat. Pada dasawarsa awal setelah kemerdekaan dan pengelola zakat
masih belum terorganisasi secara rapi, setiap individu menunaikan zakatnya sesuai
dengan pengetahuannya. Pengembangan zakat di beberapa kelompok masyarakat
secara terbatas dan tidak teratur. Kadang- kadang, ada kelompok fakir miskin yang
tidak menerima dana zakat Sebagaimana masyarakat, ada yang memberikan zakatnya
kepada kalangan tertentu, seperti ustaz, guru ngaji, dan ulama setempat. Para tokoh
tersebut mendistribuskan dengan cara-cara yang masih tradisional, yaitu dengan
hanya memberikan bantuan konsumtif semata, yang selamanya tidak akan membantu
mereka untuk menjadi mandiri. Dengan demikian, tujuan zakat yang antara lain
untuk menciptakan keadilan ekonomi, sulit terwujud.
2. Menghilangkan rasa rikuh dan canggung yang mungkin dialami oleh mustahik ketika
berhubungan dengan muzakki (orang yang berzakat);
14
1. Independen. Dengan dikelola secara independen artinya lembaga ini tidak
mempunyai ketergantungan kepada orang-orang tertentu atau lembaga lain. Lembaga
ini lebih leluasa untuk memberikan pertanggungjawaban kepada masyarakat donatur.
2. Netral. Karena didanai oleh masyarakat, lembaga ini milik masyarakat. Oleh karena
itu, dalam menjalankan aktivitasnya. lembaga tidak boleh menguntungkan golongan
tertentu. Jika tidak, tindakan itu telah menyakiti hati donatur yang berasal dari
golongan lain.
3. Tidak berpolitik praktis. Lembaga tidak terjebak dalam kegiatan politik praktis. Hal
ini perlu dilakukan agar donatur dari partai yang berbeda-beda yakin bahwa dana itu
tidak digunakan untuk kepentingan politik praktis suatu partai.
4. Tidak bersifat diskriminatif. Kekayaan dan kemiskinan bersifat universal. Di mana
pun, kapan pun, dan siapa pun dapat menjadi kaya atau miskin. Karena itu,
penyaluran dananya, lembaga tidak boleh mendasarkan atas suku atau golongan,
tetapi harus memiliki parameter yang jelas.
Ada beberapa penyebab penerimaan zakat tersebut sangat kecil. Pertama, karena
besarnya PDB Indonesia sebagian besar merupakan sumbangsih dari penduduk
nonmuslim. Karena gairah dan semangat mereka bekerja yang lebih tinggi, serta
penguasaan terhadap sumber daya dan modal yang besar di berbagai sektor ekonomi.
15
Kedua, masih rendahnya kesadaran masyarakat untuk membayar zakat. Dalam
benak sebagian besar masyarakat, zakat masih diartikan dengan zakat fitrah yang
dibayarkan setiap bulan Ramadhan. Jika telah membayar zakat fitrah, tuntaslah kewajiban
zakat yang dikenakan kepada kaum muslim.
Keempat, sistem penghimpunan dananya masih bersifat tunggu bola, yaitu hanya
menunggu kerelaan muzakkir untuk menyalurkan zakatnya kepada mereka, sementara
pada sisi lain, pada era yang serba teknologi sistem, tunggu bola tersebut sudah kuno.
Seharusnya, strategi penghimpunan adalah bersifat jemput bola, yaitu lembaga amil harus
melakukan berbagai strategi fundraising agar muzakki menyalurkan dananya untuk
membantu program lembaga amil tersebut.
Kelima, masih kakunya pemahaman fiqh para amilin turut pula menjadi salah satu
faktor rendahnya pengaruh zakat dalam perekonomian. Mereka memahami fiqh hanya
secara tekstual, tanpa memungkinkan timbulnya perluasan pemahaman terhadap konsep
tersebut. Sebagai contoh permasalahan bentuk penyaluran, yang dalam pandangan kaum
tradisionalis, zakat hanya dapat diberikan dalam bentuk konsumtif. Bahkan, di daerah
pedesaan, zakat diberikan kepada tokoh agama setempat yang sering oleh tokoh agama
bahwa dana tersebut dianggap sebagai haknya karena masuk ke dalam asnaf fisabilillah.
Dalam observasi yang dilakukan di kota-kota besar di jawa terungkap bahwa hal
itu lebih disebabkan oleh titik lemah organisasi dalam aspek pencitraan Tidak sedikit
organisasi amil zakat bercitra negatif sehingga kepercayaan muzakki terhadap organisasi
tersebut rendah. Berdasarkan hal tersebut beberapa kendala umum yang sering dihadapi
oleh lembaga amil zakat adalah:5
5
Umrotul Khasanah, Manajemen Zakat Modern: Instrumen Pemberdayaan Ekonomi Umat, (Malang:UIN
Maliki,2010), hlm. 223
16
Pekerjaan menjadi seorang pengelola zakat (amil) belumlah menjadi tujuan
hidup atau profesi dari seseorang. bakan dari lulusan ekonomi syariah sekalipun. Para
pemuda ini meskipun dari lulusan ekonomi syariah lebih memilih untuk berkarir di
sektor keuangan seperti perbankan atau asuransi. akan tetapi hanya sedikit orang
yang memilih untuk berkarir menjadi pilihan hidup dari para pemuda kita, karena
tidak ada daya tarik berkarir disana Padahal lembaga amil membutuhkan banyak
sumber daya manusia yang berkualitas agar pengelolaan zakat dapat profesional,
amanah, akuntabel dan transparan Karena sesungguhnya kerja menjadi seorang amil
mempunyai dua aspek tidak hanya aspek materi semata namun aspek sosial juga
sangat menonjol
Ada beberapa kriteria pengelola zakat agar mampu menjadi suatu lembaga
zakat agar menjadi suatu lembaga zakat yang profesional, yaitu (1) amanah, (2)
manajemen skills, (3) ikhlas, (4) leadership skills, (5) inovatif, (6) no profit motives.
Namun bukan berarti para amil diberikan kesempatan untuk berjihad dan
berkereasi tanpa batas, mereka tetap harus berusaha melakukan terobosan-terobosan
baik pengelolaan zakat, agar tetap sesuai dengan syariah. Sistem pengawasan yang
terdapat di semua institusi keuangan syariah termasuk di dalamnya institusi pengella
zakat, mewajibkan adanya unsur Dewan Pengawas Syariah di dalam struktur
organisasinya yang berfungsi untuk melakukan pengawasan terhadap pengelolaan
manajemen agar tidak menyimpang dari aturan syariat
17
Masih minimnya kesadaran masyarakat membayar zakat dari masyarakat
menjadi salah satu kendala dalam pengelolaan dana zakat agar dapat berdayaguna
dalam perekonomian. Karena sudah melekat dalam benak sebagian kaum muslim
bahwa perintah zakat itu hanya diwajibkan pada bulan Ramadhan saja itupun
masih terbatas pada pembayaran zakat fitrah. Padahal zakat bukanlah sekedar
ibadah diterapkan pada bulan Ramadhan semata, melainkan juga dapat dibayarkan
pada bulan-bulan selain Ramadhan Sehingga ide dasar zakat untuk kemaslahatan
umat telah bergeser mendai sekedar ibadah ntual semata yang dikerjakan bersamaan
dengan ibadah puasa. Terdapatnya syarat haul menandakan bahwasanya zakat
tersebut tidak mengenal pembayaran pada satu bulan tertentu saja, melankan setiap
bulan zakat dapat dibayarkan Apabila kesadaran masyarakat akan pentingnya zakat
bagi peningkatan kesejahteraan dan kemakmuran umatApabila kesadaran masyarakat
akan pentingnya zakat bagi peningkatan kesejahteraan dan kemakmuran umat sudah
semakin baik, hal ini akan berimbas pada peningkatan penerimaan zakat
Penerapan teknologi yang ada pada suatu lembaga zakat masih sangat jaduh
bila dibandingkan dengan yang sudah diterapkan institusi keuangan Hal ini turut
menjadi salah satu kendala penghambat kemajuan pendayagunaan zakat. Teknologi
yang diterapkan pada lembaga amil masih terbatas pada teknologi standar biasa.
Sistem n menengah atas yang notabenya memiliki dana berlebih. Mobilitas tinggi
membutuhkan teknologi tinggi yang menunjang pula, bila lembaga amil zakat
mampu melakukan inovasi dalam memberikan kemudahan kepada muzakki, maka
akan semakin mampu mempertinggi proses penghimpunan dana.
Inilah salah satu hambatan utama yang menyebabkan zakat belum mampu
memberikan pengaruh yang signifikan dalam perekonomian. Lembaga amil zakat
yang ada belum mampu mempunyai atau menyusun suatu sistem informasi zakat
yang terpadu antar amil. Sehingga para lembaga amil zakat ini saling terintegrasi
satu dengan yang lainnya. Sebagai contoh penerapan ini adalah pada database
muzakki dan mustahik. Dengan adanya sistem informasi ini tidak akan terjadi pada
18
muzakki yang sama didekati oleh beberapa lembaga amil, atau mustahik yang sama
diberi bantuan oleh beberapa lembaga amil zakat.6
6
Nurianto Al Arif, https://nuriantolarif.wordpress.com/2008/12/21/7/, diakses 2 Desember 2015
7
Umrotul Khasanah, Manajemen Zakat Modern: Instrumen Pemberdayaan Ekonomi Umat, hlm. 216
19
mampu menjadi nafkah. Rasa empati dan sosial pun akan timbul dari
budaya membayar zakat ini.
20
dan mneyenangkan. Profesi amil mempunyai dua dimensi yang berbeda yaitu
di satu sisi mereka mencari materi untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan
di sisi lain mereka bekerja sambil beribadah mengamalkan ilmunya untuk
kemaslahatan umat.
5. Fokus dalam Program
21
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Zakat secara etimologi diartikan berkembang, bertambah, dan berkah. Atau bisa
juga diartkan tumbuh, berkah, atau banyak kebaikan. Zakat ditinjau dari bahasa Arab
yakni merupakan asal kata dari زکاyang berarti berkah, tumbuh, bersih dan baik.
Sedangkan zakat secara terminologi berarti sejumlah harta tertetu yang diwajibkan oleh
Allah SWT untuk diberikan kepada yang berhak (mustahik) yang di sebutkan dalam Al-
Quran.
Sejarah zakat ada empat yaitu, Syariat Zakat Pra-Rasulullah, Masa Rasulullah,
Masa Khulafaur Rasyidin, dan Zakat di Indonesia.
Kendala lembaga amil zakat yang sering dihadapi yaitu: Minimnya sumber
daya manusia yang berkualitas, Pemahaman fiqh amil yang belum memadai, Rendahnya
kesadaran Masyarakat, Teknologi yang digunakan, dan Sistem informasi zakat.
B. Saran
22
DAFTAR PUSTAKA
M. Nur Rianto Al Arif. Lembaga Keuangan Syariah Suatu Kajian Teoritis Praktis.
Bandung: CV PUSTAKA SETIA. 2012.
23