Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH

MANAJEMEN ZAKAT DAN WAKAF

KONSEP ZAKAT DAN WAKAF DAN MANAJEMEN ZAKAT DAN WAKAF

DISUSUN OLEH :

SARITA AULIA NIM : 2230401107

DOSEN PENGAMPU :

TEZI ASMADIA

PROGRAM STUDI PERBANKAN SYARIAH

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM

UNIVERSITAS ISAM NEGERI MAHMUD YUNUS BATU SANGKAR

2023/2024
KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim,

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan penulis kemudahan dalam
menyelesaikan makalah tepat waktu. Tanpa rahmat dan pertolongan-Nya, penulis tidak akan
mampu menyelesaikan makalah ini dengan baik. Tidak lupa shalawat serta salam tercurahkan
kepada Nabi Muhammad SAW.

Penulis mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas limpahan nikmat-Nya, sehingga
makalah ini dapat diselesaikan. Makalah ini disusun guna memenuhi tugas mata kuliah
Manajemen Zakat dan Wakaf. Penulis berharap makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca.

Penulis menyadari makalah ini masih perlu banyak penyempurnaan karena kesalahan
dan kekurangan. Penulis terbuka terhadap kritik dan saran pembaca agar makalah ini dapat
lebih baik. Apabila terdapat banyak kesalahan pada makalah ini, baik terkait penulisan, kami
memohon maaf.

Demikianlah yang dapat penulis sampaikan. Akhir kata, semoga makalah ini dapat bermanfaat.

Wassalammua’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Batusangkar, 6 Maret 2024

Penulis.
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ...................................................................... i DAFTAR ISI


.......................................................................................................... ii BAB I
PENDAHULUAN............................................................................................ 1

A. Latar Belakang ............................................................................................. 1

B. Rumusan Masalah ........................................................................................ 2

C. Tujuan........................................................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN ...................................................................................... 3

A. pengertian zakat dan wakaf dan manajemen zakat dan wakaf........................ 3

B. dasar hukum zakat dan wakaf Informasi....................................................... 10

C. rukun dan syarat zakat dan wakaf................................................................... 14

D. pengertian zakat dan wakaf dan manajemen zakat dan wakaf........................ 3

E. penerima manfaat wakaf dan wakif.... .............................................................10

D. penerima manfaat wakaf dan wakif ................................................................ 14

F. ruang lingkup dan urgensi manajemen zakat dan wakaf ................................ 14

BAB III PENUTUP ............................................................................................. 18

A. Kesimpulan .......................................................................................................18

B. Saran..................................................................................................................18

DAFTAR PUSTAKA........................................................................................... 19
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Zakat adalah ibadah maliyah ijtima’iyah (ibadah yang berkaitan dengan


ekonomi keuangan masyarakat) dan merupakan salah satu dari lima rukun Islam yang
mempunyai status dan fungsi yang penting dalam syari‟at Islam. Jadi, zakat bukan
hanya sebatas urusan hamba dengan Allah SWT (hablun minallah) namun merupakan
ibadah yang berkaitan dengan harta yang perlu diberdayakan secara optimal untuk
memperbaiki ekonomi masyarakat. Oleh karena itu setiap muslim yang memiliki harta
dan memenuhi syarat-syarat tertentu diwajibkan mengeluarkan zakat untuk diberikan
kepada fakir miskin atau mereka yang berhak, dengan syarat-syarat yang ditentukan
sesuai ajaran agama Islam.

Secara substantif zakat, infak, dan sedekah adalah bagian dari mekanisme
keagamaan yang berintikan semangat pemerataan pendapatan. Dana zakat diambil dari
harta orang yang berlebihan dan disalurkan bagi orang yang kekurangan, namun zakat
tidak dimaksudkan memiskinkan orang yang kaya. Hal ini disebabkan karena zakat
diambil dari sebagian kecil hartanya dengan beberapa kriteria tertentu dari harta yang
wajib dizakati. Oleh karena itu, alokasi dana zakat tidak bisa diberikan secara
sembarangan dan hanya dapat disalurkan kepada kelompok

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah pengertian zakat dan wakaf dan manajemen zakat dan wakaf?
2. Bagaimanakah dasar hukum zakat dan wakaf?
3. Bagaimanakah rukun dan syarat zakat dan wakaf?
4. Bagaimanakah mustahik dan muzaki?
5. Bagaimanakah penerima manfaat wakaf dan wakif?
6. Bagaimanakah ruang lingkup dan urgensi manajemen zakat dan wakaf?
C. Tujuan
1. Mendeskripsikan pengertian zakat dan wakaf dan manajemen zakat dan wakaf
2. Mendeskripsikan dasar hukum zakat dan wakaf
3. Mendeskripsikan rukun dan syarat zakat dan wakaf
4. Mendeskripsikan mustahik dan muzaki
5. Mendeskripsikan penerima manfaat wakaf dan wakif
6. Mendeskripsikan ruang lingkup dan urgensi manajemen zakat dan wakaf
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian zakat dan wakaf dan manajemen zakat dan wakaf

1. Pengertian Manajemen
Manajemen dalam bahasa Inggris adalah "management" yang berasal dari
kata "manager" yang berarti "direct", "direct", "implement", "manage", sedangkan
"management" sendiri mempunyai dua pengertian yaitu pertama sebagai kata benda
yang berarti direksi atau pemimpin, dan yang kedua berarti manajemen,
administrasi, pengelolaan.. Kata manajemen kamus besar bahasa Indonesia berarti
penggunaan sumber daya atau sarana yang efektif untuk mencapai tujuan. Dalam
bahasa Arab, manajemen diartikan sebagai "nazzama" yang berarti
mengorganisasikan, menyesuaikan, mengontrol, mempersiapkan, mempersiapkan,
merencanakan.
Secara terminologi, ada dua pengertian manajemen yaitu manajemen
sebagai seni dan manajemen sebagai proses. Menurut Mary Parker Follet,
manajemen adalah: 'seni dalam menyelesaikan pekerjaan melalui orang lain. Hal
ini disebabkan karena kepemimpinan membutuhkan karisma, kestabilan emosi,
wibawa, integritas dan kemampuan untuk membangun hubungan, yang semuanya
berbakat dan sulit untuk dipelajari.
Muhammad Abdul Jawwad, manajemen adalah perbuatan mengatur,
mengatur dan berpikir oleh seseorang sehingga ia dapat mengurutkan, mengatur
dan merapikan hal-hal yang ada disekitarnya, mengetahui prioritasnya dan selalu
mengatur kehidupannya secara serempak dan harmonis dengan orang- orang di
sekitarnya.
2. Pengertian Zakat
Kata zakat secara bahasa berasal dari kata zaka-yazku-zaka'an-wa zakwan
yang berarti berkembang dan bertambah. Menurut al- Azhary sebagaimana yang
dikutip oleh Yusuf Qardhawi, yang berkembang bukan hanya harta dan kejiwaan
orang kaya, akan tetapi juga harta dan kejiwaan orang miskin. Zakat juga digunakan
untuk arti taharah (suci), barokah, dan salah (baik). Syaukany menjelaskan
mengapa zakat bermakna an-nima' (berkembang), dan al-Tathir (pensucian),
sebagai berikut: 'Adapun makna pertama, karena mengeluarkannya menjadi sebab
berkembangnya harta, atau karena pahala menjadi banyak karena sebab
mengeluarkannya, atau karena terkait dengan harta yang berkembang. Adapun
makna kedua, karena zakat mensucikan jiwa dari sifat buruk kikir, dan mensucikan
dari dosa-dosa.
Sedangkan pengertian zakat secara istilah, para ulama mazhab berbeda
pendapat, sebagai berikut:
a) Mazhab Syafi'i mengartikan zakat sebagai:,nama bagi sesuatu yang
dikeluarkan dari harta atau badan dengan cara yang tertentu'.
b) Mazhab Hanafi mengartikan zakat sebagai: 'memiliki bagian
tertentu dari harta tertentu untuk diberikan kepada orang tertentu yang telah
ditentukan oleh Allah SWT dalam rangka mengharap keridhaan-Nya'.
c) Mazhab Malikiyah mengartikan zakat sebagai:'mengeluarkan bagian
tertentu dari harta tertentu, yang telah mencapai nisab, kepada yang berhak, apabila
telah telah dimiliki secara sempurna dan telah satu tahun, selain barang tambang,
pertanian, dan barang temuan.
d) Mazhab Hambali mengartikan zakat sebagai 'hak yang wajib ditunaikan
pada harta tertentu, untuk kelompok tertentu, dan pada waktu tertentu.
Dalam UU No. 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat, disebutkan
pengertian zakat, yaitu sebagai: 'harta yang wajib dikeluarkan oleh seorang muslim
atau badan usaha untuk diberikan kepada yang berhak menerimanya sesuai dengan
syariat Islam'.
3. Pengertian Manajemen Zakat
Berdasarkan pengertian manajemen dan zakat di atas, maka manajemen
zakat dapat didefinisikan sebagai proses mewujudkan tujuan lembaga zakat dengan
atau melalui orang lain, melalui perencanaan, pengorganisasian, pengarahan dan
pengawasan sumber daya organisasi yang efektif dan efisien.
4. Pengertian manajemen wakaf
Wakaf adalah Al-habs, pengertian mengenai bahasa yang berasal dari kata
kerja habasa-yahbisu-habsan adalah menjauhkan orang dari sesuatu atau
memenjarakan yang kemudian berkembang menjadi habbasa yang berarti
mewakafkan harta karena Allah.
Kata wakaf sendiri berasal dari kata kerja waqata (fiil madi)-yaqifu (fiil
mudari)-waqdan (isim masdar), yang berarti berhenti atau berdiri, sedangkan wakaf
menurut istilah syara adalah menahan harta yang mungkin diambil manfaatnya
tanpa digunakan untuk kebaikan.
Para ulama telah berbeda pendapat mengenai arti wakaf secara istilah
(hukum), hal itu sesuai dengan perbedaan mahzab yang telah dianutnya. Adapun
pendapat masing-masing mahzab adalah sebagai berikut.
1. Menurut Mazhab Syafi'I, antara lain
a. Wakaf menurut Imam Nawawi, "Menahan harta yang dapat diambil
manfaatnya tetapi bukan untuk dirinya, sementara benda itu tetap ada padanya dan
digunakan manfaatnya untuk kebaikan dan mendekatkan diri kepada Allah".
b. Wakaf menurut Ibn Hajar Al-Haitami dan Syaikh Umairah, "Menahan
harta yang bisa dimanfaatkan dengan menjaga keutuhan harta tersebut, dengan
memutuskan kepemilikan barang tersebut dari pemiliknya untuk hal yang
dibolehkan”.

2. Menurut Mahzab Hanafi

a. Wakaf menurut A. Imam Syarkhasi, "Menahan harta dari jangkuan


kepemilikan orang lain (habsul mamluk 'an al-tamlik min al-ghair)".

b. Al-Murghiny mendefinisikan wakaf ialah menahan harta di bawah tangan


pemiliknya, disertai pemberian manfaat sebagai sedekah (habsul'aini ala
maliki al-Wakif wa tashaduq bi al- manfaat). (Guruh herman wasan,2023)

3. Menurut Mazhab Malikiyah

Ibn Arafah mendenifikan wakaf ialah memberikan manfaat se- suatu, pada
batas waktu keberadaannya, bersamaan tetapnya wakaf dalam kepemilikan si
pemiliknya meski hanya perkiraan (pengandaian).
Dalam Pasal 215 Ayat 1 Kompilasi hukum Islam, wakaf adalahManajemen
wakaf merupakan proses perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, dan
pengawasan dari sumber daya lembaga untuk mencapai tujuan. Oleh karena itu
setiap nazhir harus menjalankan fungsi-fungsi manajemen dalam
kelembagaannya. Saat ini perkembangan wakaf tidak hanya sebatas harta benda
tidak bergerak tetapi berkembang menjadi wakaf produktif yang hasilnya bisa
dirasakan oleh banyak orang. Wakaf uang memberikan peluang penciptaan
investasi yang strategis untuk menekan angka kemiskinan dan menangani
ketertinggalan di bidang ekonomi, Pendidikan, Kesehatan, dan lainnya. Buku ini
berisi tentang seputar wakaf di era kekinian yang memudahkan mahasiswa,
masyarakat dan para penggiat wakaf memahami cara manajemen wakaf yang tepat
menjadi seorang nazhir agar wakaf tersebut dapat dimanfaatkan berkelanjutan
dalam jangka panjang. (Trisno wardi putra, 2022)

B. Dasar Hukum Zakat dan Wakaf


1. Dasar Hukum Zakat dan Wakaf Menurut Hukum Syariah
Telah dapat diketahui beberapa ayat dalam Al Quran dan Hadis Nabi Muhammad
SAW mengenai wakaf adalah sebagai berikut.
1. Surat Al Hajj Ayat 77, artinya wahai orang-orang yang beriman, ruku dan
sujudlah kamu dan sembahlah Tuhanmu serta ber- buatlah kebaikan supaya kamu
berbahagia.
2. Surat An-Nahl Ayat 97, artinya barang siapa yang berbuat kebaik- an, laki-laki
atau perempuan dan ia beriman, niscaya akan Aku beri pahala yang lebih bagus dari
apa yang mereka amalkan.
3. Surat Ali Imran Ayat 92, artinya kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebaikan,
sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai.
4. Surat Al Baqarah Ayat 267, artinya wahai orang-orang yang ber- iman
nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagaian dari hasil usahamu yang baik-baik dan
sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu
memilih yang buruk-buruk lalu nafkahkan dari padanya, padahal kamu sendiri tidak
mau mengambilnya melainkan kamu akan memicingkan mata pada- Nya, dan
ketahuilah bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.
5. Sunnah Rasulullah SAW dari Abu Hurairah, sesungguhnya
Rasulullah SAW bersabda, "Apabila anak Adam (manusia) meninggal dunia, maka
putuslah amalnya, kecuali tiga perkara, yakni shadaqah jariyah yang mengalir terus
menerus, ilmu yang bermanfaat dan anak sholeh yang mendoakan orang tuanya"
(HR. Muslim).
6. Hadis Nabi yang lebih tegas menggambarkan dianjurkannya ibadah wakaf, yaitu
perintah Nabi kepada Umar ra untuk mewakaf- kan tanahnya yang ada di Khaibar,
"Dari Ibnu Umar ra berkata bahwa sahabat Umar ra memperoleh sebidang tanah di
Kahaibar, kemudian menghadap kepada Rasulullah untuk memohon petunjuk.
Umar berkata, "Ya Rasulullah, saya mendapatkan sebidang tanah di Kahibar, saya
belum pernah mendapatkan harta sebaik itu maka apakah yang engkau perintahkan
kepadaku? Rasulullah menjawab, "Bila kamu suka, kamu tahan (pokoknya) tanah
itu dan kamu sedekahkan (hasilnya)”. Kemudian, Umar melakukan shadaqah, tidak
dijual, tidak diwariskan, dan tidak juga dihibah- kan. Berkata Ibnu Umar, "Umar
menyedekahkannya kepada or- ang-orang fakir, kaum kerabat, budak belian,
sabilillah, ibnu sabil dan tamu. Dan tidak mengapa atau tidak dilarang bagi yang
me- nguasai tanah wakaf itu (pengurusnya) makan dari hasilnya dengan cara baik
(sepantasnya) atau makan dengan tidak bermaksud menumpuk harta" (HR.
Muslim).
Menurut Hukum Indonesia
Pengaturan perwakafan di Indonesia diatur dalam berbagai pengaturan
dalam perundang-undangan.
1. Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960, pada Pasal 5, Pasal 14
Ayat 1 dan Pasal 49 memuat rumusan-rumusan antara lain sebagai berikut.
a. Pasal 5 UUPA menyatakan bahwa hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan
ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan
nasional dan negara... segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang ber-
sandar pada hukum agama.
Dalam rumusan pasal ini telah jelas bahwa hukum adat yang menjadi dasar hukum
agraria Indonesia, yaitu hukum Indo- nesia asli yang tidak tertulis dalam bentuk
undang-undang Republik Indonesia bahwa di sana sini mengandung unsur agama
yang telah di revisi dalam lembaga hukum adat, khusus- nya lembaga wakaf.
b. Pasal 14 Ayat 1 menyatakan bahwa pemerintah dalam rangka sosialisme
Indonesia, membuat suatu rencana umum mengenai persediaan, peruntukan, dan
penggunaan bumi, air, dan ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya untuk keperluan negara, untuk keperluan peribadatan dan keperluan suci
lainnya sesuai dengan dasar Ketuhanan yang Maha Esa dan seterusnya.
c. Pasal 49 UUPA menyatakan bahwa hak tanah-tanah badan
keagamanan dan sosial sepanjang dipergunakan untuk usaha dalam bidang
keagamaan sosial telah diakui dan dilindungi. Badan-badan tersebut dijamin akan
memperoleh tanah yang cukup untuk bangunan dan usahanya dalam bidang
keagama- an dan sosial. Oleh karena itu, perwakafan tanah diatur dalam PP No. 28
Tahun 1977.
2. Peranturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977.
Peraturan ini dikeluarkan untuk memberikan jaminan kepastian hukum mengenai
tanah wakaf serta pemanfaatannya sesuai dengan tujuan wakaf.
3. Peraturan Menteri Agama Nomor 1 Tahun 1978.
Peraturan ini dikeluarkan sebagai perincian terhadap PP No. 28 Tahun 1977 tentang
tata cara perwakafan tanah milik, antara lain akta ikrar wakaf, hak dan kewajiban
nadzir, perubahan perwakafan tanah milik, pengawasan dan bimbingan,
penyelesaian perselisih- an wakaf, serta biaya perwakafan tanah milik.
4. Instruksi Bersama Menteri Agama Republik Indonesia dan Kepala Badan
Pertahanan Nasional Nomor 4 Tahun 1990, Nomor 24 Tahun 1990 tentang
Sertifikasi Tanah Wakaf.
5. Badan Pertanahan Nasional Nomor 630.1-2782 tentang Pelaksanaan
Penyertifikatan Tanah Wakaf.
6. Intruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam.
Hukum mengenai perwakafan sebagaimana diatur dalam kompilasi hukum Islam
pada dasarnya sama dengan hukum per- wakafan yang telah diatur dalam
perundang-undangan yang telah ada sebelumnya, sehingga kompilasi hukum Islam
merupakan pengembangan dan penyempurnaan terhadap materi perwakafan yang
ada pada perundang-undangan sebelumnya.
7. Surat Keputusan Direktorat Bank Indonesia Nomor 32/34/KEP/ DIR tentang
Bank Umum Berdasarkan Prinsip Syari'ah.
Pasal 29 Ayat 2 berbunyi, bank dapat bertindak sebagai lembaga baitul mal, yaitu
menerima dana yang berasal dari zakat, infaq, shadaqah, wakaf, hibah, atau dana
sosial lainnya dan menyalurkannya kepada yang berhak dalam bentuk santunan
dan/atau pinjaman kebajikan.
8. Surat Keputusan Direktorat Bank Indonesia Nomor 32/36/KEP/ DIR tentang
Bank Perkreditan Rakyat berdasarkan Prinsip Syaria'ah.
Pasal 28 berbunyi, BPRS dapat bertindak sebagai lembaga baitul mal, yaitu
menerima dana yang berasal dari zakat, infaq, shadaqah,wakaf hibah atau dana
sosial lainnya dan menyalur- kannya kepada yang berhak dalam bentuk santunan
dan/atau pinjaman kebajikan (Elsi kartika sari,2006,56-59).
C. Rukun dan Syarat Zakat dan Wakaf
Rukun dan Syarat zakat dan wakaf
Mengutip dari buku Hukum Wakaf di Indonesia dan Proses Penanganan
Sengketanya susunan Dr Ahmad Mujahidin S H M H, rukun wakaf terdiri atas pewakaf,
mauquf, mauquf 'alaih, dan sighat.
Rukun pertama ialah pewakaf. Pewakaf harus memenuhi sejumlah syarat
seperti, berusia baligh, berakal sehat, dan menjadi pemilik sah dari barang yang akan
diwakafkan. Selain itu, tidak ada paksaan dalam proses mewakafkan dan tidak ada
larangan bagi wakif untuk menghibahkan harta tersebut.
Kedua ialah mauquf. Mauquf adalah harta yang dapat diwakafkan adalah harta
yang kepemilikannya sah dan halal. Termasuk dalam kategori ini adalah barang-barang
yang dapat dipindahkan seperti buku, kendaraan, dan sejenisnya, serta barang-barang
yang tidak dapat dipindahkan seperti tanah atau rumah.
Ketiga mauquf 'alaih yang artinya penerima wakaf perorangan harus disebutkan
namanya. Namun, jika nama penerima tidak disebutkan maka harta wakaf akan
diberikan kepada para fakir miskin. Penerima wakaf tidak memiliki kepemilikan
pribadi atas harta tersebut, melainkan hanya dapat memanfaatkannya.
Terakhir ialah sighat. Artinya, pernyataan wakaf ini merupakan kewajiban yang
harus dilakukan oleh pihak yang mewakafkan. Beberapa ulama juga berpendapat
bahwa sighat dapat dilakukan baik secara lisan maupun tertulis oleh pewakaf.
Sebaiknya, proses pengikraran wakaf sebaiknya disaksikan oleh minimal dua
orang saksi. Bahkan lebih baik jika ada kehadiran seorang notaris dan dokumen wakaf
juga diresmikan melalui sertifikat.
Sementara itu, masih dari sumber yang sama, Prof Dr Abdullah bin Muhammad
ath-Thayyar mengemukakan syarat wakaf terdiri atas 4 hal, antara lain ialah:

1. Wakaf dilakukan pada barang yang boleh dijual dan diambil manfaatnya dalam keadaan
barangnya masih tetap utuh, seperti harta tidak bergerak, hewan, perkakas, senjata, dan
lain sebagainya
2. Wakaf digunakan untuk kebaikan, seperti kepentingan orang-orang miskin, masjid,
kaum kerabat yang muslim atau ahli dzimmi
3. Wakaf dilakukan pada barang yang telah ditentukan. Dengan demikian, tidak sah wakaf
pada barang yang tidak diketahui
4. JWakaf dilakukan tanpa syarat. Wakaf dengan syarat tidak sah kecuali jika seseorang
mengatakan "itu adalah harta wakaf setelah aku meninggal dunia," wakaf tetap sah
dengan syarat seperti ini.

Adapun, dalam UU Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, syarat wakaf terdiri atas 6 hal yang
mencakup:

• Wakif atau orang yang mewakafkan harta


• Nazir atau orang yang bertanggung jawab mengelola harta wakaf tersebut
• Harta benda wakaf atau harta yang diwakafkan
• Ikrar wakaf untuk kehendak mewakafkan sebagian harta bendanya demi kepentingan
orang banyak
• Peruntukan harta benda wakaf atas harta yang tersedia
• Jangka waktu wakaf (detik.com)

D. Mustahik dan Muzaki


Istilah muzaki dan mustahik memiliki keterkaitan yang sangat besar dalam
pelaksanaan zakat fitrah di bulan suci Ramadan. Dalam buku "Aqidah dan Syariah
Islam (Sebuah Bunga Rampai)" karya M. Adiguna Bimasakti, muzakki memiliki
pengertian seseorang yang wajib membayar zakat.
Sedangkan mustahik artinya penerima zakat. Adapun mereka yang berhak menerima
zakat telah diatur dalam Al-Qur'an surah QS At-Taubah ayat 90 yang berbunyi:

ِ ٰ ‫ي َسبِ ْي ِل‬
‫ّللا َواب ِْن‬ ْ ِ‫ب َو ْال ٰغ ِرمِ يْنَ َوف‬
ِ ‫الر َقا‬ َ َ‫صد َٰقت ل ِْلفقَ َر ۤاءِ َو ْال َمسٰ ِكي ِْن َو ْالعٰمِ ِليْن‬
ِ ‫علَ ْي َها َو ْالم َؤلَّفَ ِة قل ْوبه ْم َوفِى‬ َّ ‫اِنَّ َما ال‬
‫ع ِليْم َح ِكيْم‬
َ ‫ّللا‬ ِ ٰ َ‫ضة مِ ن‬
ٰ ‫ّللا َو‬ َ ‫ال َّس ِب ْي ِل ف َِر ْي‬

Artinya: "Sesungguhnya zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang miskin, amil
zakat, yang dilunakkan hatinya (mualaf), untuk (memerdekakan) hamba sahaya, untuk
(membebaskan) orang yang berutang, untuk jalan Allah dan untuk orang yang sedang
dalam perjalanan, sebagai kewajiban dari Allah. Allah Maha Mengetahui, Mahabijaksana."

Zakat sendiri hukumnya wajib dalam Islam. Zakat merupakan bagian tertentu dari harta yang
wajib dikeluarkan oleh setiap muslim apabila telah mencapai syarat yang ditetapkan.

Mereka yang disebut wajib membayar zakat atau muzakki memiliki syarat tersendiri.

Syarat syarat muzakki


1. Merdeka

Maksudnya, zakat tidak diwajibkan bagi hamba sahaya atau budak karena mereka tidak
mempunyai hak milik. Muzakki diharuskan merdeka.

2. Islam

Seperti yang kita ketahui, zakat sendiri merupakan salah satu ibadah yang diwajibkan bagi
setiap umat muslim. Zakat disebut sebagai pilar agama Islam, dengan begitu zakat tidak
diwajibkan atas orang non-muslim ataupun kafir karena zakat merupakan ibadah yang suci.

3. Balig dan berakal

Seorang muzaki harus balig dan berakal. Sebagaimana pendapat ulama mazhab Hanafi, orang
yang wajib membayar zakat adalah orang yang sudah dewasa dan berakal.

Maka dari itu, harta anak kecil dan orang dalam gangguan jiwa tidak wajib mengeluarkan
zakat.

Selain ketiga syarat tersebut, ulama fiqih juga menjelaskan syarat lain dalam pelaksanaan
zakat, antara lain yaitu:

Syarat Pelaksanaan Zakat

1. Niat

Zakat adalah ibadah madhah atau jenis ibadah dimana penetapannya berasal dari dalil syariat.
Tujuan dari zakat sendiri yaitu mencapai pahal dan keridaan Allah SWT yang sama nilainya
dengan ibadah ibadah lain.

2. Hak milik

Artinya, apabila seorang muzakki hendak berzakat pastikan bahwa hartanya memang hak
milik. Harta yang diberikan kepada mustahik harus bersifat pemilikan.

Lebih lanjut terkait syarat harta yang harus dikeluarkan zakatnya oleh muzakki diantaranya
adalah:

1. Milik penuh, jadi harta yang wajib dizakatkan oleh seorang muzakki harus milik sendiri.

2. Cukup senisab. Nisab sendiri artinya batas minimal jumlah harta yang wajib dikeluarkan
zakatnya berdasarkan ketentuan
3. Melebihi kebutuhan pokok. Mereka yang tergolong sebagai muzakki berarti hartanya sudah
melebihi kebutuhan pokok minimal, ketentuan ini dijelaskan dalam firman Allah pada QS Al
Baqarah ayat 219 yang artinya:

"Dan mereka bertanya engkau Muhammad apayang dizakatkan, katakanlah yang lebih
darikeperluan."

4. Bebas dari hutang, syarat yang satu ini dimaksudkan dengan melunasi utang jumlah harta
tidak akan mengurangi nisab yang ditentukan.

5. Haul atau melewati satu tahun. Harta yang wajib dizakatkan merupakan harta yang
kepemilikannya sudah mencapai setahun.

6. Harta itu berkembang. Artinya, kekayaan dengan sengata atau mempunyai potensi untuk
berkembang. Pengertian berkembang sendiri dimaksudkan menghasilkan keuntungan atau
pemasukan.

Itulah pengertian muzaki dan mustahik, lengkap dengan syarat seorang muzakki beserta harta
yang harus dizakatkan. Semoga bermanfaat bagi detikers yang hendak menunaikan ibadah
wajib zakat. (detik.com)

E. Penerima Manfaat Wakaf dan wakif


Dalam wakaf yang menjadi esensinya adalah mawquf alayh yaitu manfaat
wakaf yang diterima oleh pihak yang ditetapkan oleh wakif pada saat ikrar wakaf, atau
berfungsinya harta benda wakaf sesuai dengan tujuan wakaf yang selain untuk
memenuhi ibadah kepada Allah SWT, juga untuk kepentingan sosial, dakwah, dan
ekonomi, seperti: menyediakan fasilitas umum, sarana dan kegiatan ibadah, dakwah,
pendidikan serta kesehatan, bantuan kepada fakir msikin, anak terlantar, yatim piatu,
pengembangan sumber daya manusia atau pemberian beasiswa, bantuan permodalan,
penyediaan lapangan kerja, mengurangi kemiskinan, meningkatkan ekonomi umat, dan
mengurangi beban anggaran negara. Manfaat wakaf yang diterima oleh mawquf alayh
secara berkelanjutan inilah yang menjadikan wakaf sebagai sedekah jariyah yang
pahalanya terus mengalir kepada wakif meskipun ia telah meninggal dunia.
Pemenuhan hak mawquf alayh dari harta benda wakaf dapat dilakukan secara
langsung melalui wakaf langsung atau dari hasil pengelolaan dan pengembangan harta
benda wakaf melalui wakaf produktif. Yang dimaksud dengan wakaf langsung adalah
wakaf
yang digunakan untuk memberikan pelayanan langsung kepada mawquf alayh
seperti masjid sebagai tempat shalat, sekolah sebagai tempat belajar, majelis taklim
tempat mengaji, dan pelayanan langsung lainnya yang mencerminkan manfaat nyata
atas harta benda wakaf. Adapun yang dimaksud dengan wakaf produktif adalah wakaf
untuk kegiatan-kegiatan usaha produktif atau wakaf yang tidak dimaksudkan untuk
dimanfaatkan secara langsung, namun dikelola secara produktif yang hasilnya untuk
kepentingan mawquf alayh.
Berbeda dengan zakat yang sudah ditetapkan dalam al-Qur'an siapa saja
mustahik yang berhak menerima zakat, dalam wakaf tidak ada ketetapan secara khusus
pihak mana saja yang berhak menerima manfaat wakaf, sehingga bentuknya bisa
bermacam- macam sesuai dengan yang dikehendaki oleh wakif pada saat ikrar wakaf,
atau sesuai dengan tujuan wakaf, atau sesuai dengan semangat filantropi Islam lainnya
yaitu zakat, infak, dan sedekah yang tujuan utamanya adalah membantu fakir miskin
dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Dalam wakaf, wakif memiliki kebebasan atau
otoritas penuh untuk menetapkan mawquf alayh pada saat ikrar wakaf dan ketetapannya
bersifat mengikat, tidak boleh diubah, dan harus dilaksanakan. Namun, jika ada wakaf
yang belum ditetapkan mawquf alayh-nya oleh wakif, penetapan mawquf alayh
dilakukan sesuai dengan tujuan wakaf atau untuk keperluan fakir miskin.
Kebebasan dalam menetapkan mawquf alayh ini dalam praktiknya
memunculkan banyak kreasi yang dibuat oleh lembaga wakaf dalam membuat produk
wakaf untuk menarik minat orang atau lembaga agar mau berwakaf, ada yang membuat
produk wakaf dan menawarkannya kepada publik dengan menetapkan mawquf alayh-
nya dalam bentuk insentif guru mengaji, umrah marbot, makam untuk dhuafa, dan
sebagainya. Bahkan ada juga yang ingin menetapkan wakif sebagai mawquf alayh
dalam produk wakafnya dengan memberikan manfaat wakaf atau sebagian dari
keuntungan pengelolaan wakaf kepada wakif, dengan alasan produk wakaf akan mudah
diterima dan untuk mendorong percepatan penghimpunan wakaf.
Meskipun mawquf alayh bentuknya bisa bermacam-macam tetapi dalam
penetapannya ada batasan-batasan atau syarat-syarat yang telah ditetapkan oleh para
ulama, yaitu:
1. Mawquf alayh harus berbentuk kebajikan sebagai wujud ketaatan kepada
Allah dan qurbah atau pendekatan diri kepada-Nya. Ulama Hanafiyyah mensyaratkan
pendekatan diri kepada Allah yang sesuai dengan syariah Islam dan keyakinan wakif,
sehingga mereka berpendapat sah hukumnya wakaf dari seorang muslim atau non
muslim untuk sekolah, yatim piatu, dhuafa, fakir miskin yang muslim dan yang non
muslim, dan yang semisalnya. Tidak sah wakaf dari seorang muslim atau non muslim
untuk tempat ibadah non muslim seperti gereja, dan tidak sah wakaf dari non muslim
untuk masjid kecuali untuk baitul maqdis. Sementara ulama Syafi'iyyah, Hanabilah,
dan Malikiyyah tidak mensyaratkan qurbah tetapi mensyaratkan tidak boleh untuk
kemaksiatan atau diberikan kepada pelaku maksiat, seperti pencuri dan peminum
khamr.
2. Mawquf alayh harus merupakan pihak yang tidak terputus. Dalam membahas
syarat yang kedua ini, ada dua istilah yang perlu dipahami yaitu al-waqf al-munqati'
dan al-waqf gayr al- munqati'. Al-waqf al-munqati' adalah wakaf yang manfaatnya
diberikan kepada pihak yang bisa punah, dan setelahnya tidak ada ketetapan untuk
diberikan kepada pihak yang tidak terputus. Adapun al-waqf gayr al-munqati' adalah
wakaf yang manfaatnya diberikan kepada pihak yang tidak bisa punah seperti fakir
miskin, atau wakaf yang manfaatnya diberikan kepada pihak secara berkelanjutan tanpa
putus. Ulama
Syafi'iyyah dan Hanafiyyah berpendapat tidak boleh manfaat wakaf diberikan
kepada pihak yang terputus, tetapi menurut Hanabilah manfaat wakaf boleh diberikan
kepada pihak yang terputus, sedangkan menurut ulama Malikiyyah al-waqf al- munqati'
tidak boleh karena mereka membolehkan wakaf untuk jangka waktu tertentu atau wakaf
sementara dan wakaf untuk jangka waktu selamanya atau wakaf selamanya, jika pihak
yang menerima manfaat wakaf terputus maka diberikan kepada fakir miskin yang
paling dekat silsilahnya dengan wakif untuk wakaf selamanya, sedangkan untuk wakaf
sementara yang penerima manfaat wakafnya terputus maka wakafnya kembali menjadi
milik wakif atau ahli warisnya.
3. Manfaat wakaf tidak boleh kembali kepada wakif atau wakif tidak boleh
menerima manfaat wakaf dengan menjadi mawquf alayh. Hal ini karena dengan telah
diwakafkannya harta benda milik wakif maka kepemilikannya atas harta benda wakaf
itu telah hilang, dan ia tidak boleh menerima manfaat dari harta benda yang telah
diwakafkannya kecuali jika ia termasuk ke dalam mawquf alayh yang umum, seperti
seseorang yang mewakafkan masjid maka ia boleh melaksanakan shalat di masjid
tersebut. Apabila manfaat wakaf kembali kepada wakif, maka mayoritas ulama
berpendapat wakafnya tidak sah karena bertentangan dengan keluarnya harta benda
wakaf dari kepemilikan wakif, juga karena wakif tidak boleh memiliki untuk dirinya
dari harta benda miliknya yang telah diwakafkan. Namun menurut Abu Yusuf
wakafnya tetap sah karena wakaf telah terlaksana dengan ucapan tanpa penyerahan.
4. Mawquf alayh harus merupakan pihak yang boleh untuk memiliki. Para
ulama sepakat bahwa wakaf adalah kepemilikan manfaat, maka tidak boleh menjadi
mawquf alayh kecuali yang boleh memiliki seperti manusia, atau yang mempunyai
manfaat seperti masjid, sekolah, dan rumah sakit.

Selanjutnya yang perlu untuk diperhatikan bahwa kehadiran mawquf alayh


tidak disyaratkan pada saat ikrar wakaf, seperti wakaf yang manfaatnya untuk Zaid dan
anak-anaknya serta keturunannya, dan setelah mereka untuk fakir miskin, atau untuk
masjid. Demikian juga tidak disyaratkan mawquf alayh harus ditentukan dengan nama
dan dibatasi, sebab dimungkinkan mawquf alayh ditentukan dengan sifat tanpa dibatasi
seperti fakir miskin, fuqaha, para imam dan khotib. Apabila ketika ikrar wakaf, mawquf
alayh belum ditentukan maka yang menjadi mawquf alayh adalah fakir miskin, mereka
yang berhak untuk menerima manfaat wakaf sebab penyaluran manfaat wakaf asalnya
untuk fakir miskin.
Mengenai kehadiran mawquf alayh, disebutkan dalam Peraturan Pemerintah
Nomor 42 tahun 2006 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Wakaf Pasal 30 ayat (1)
Pernyataan kehendak wakif dituangkan dalam bentuk Akta Ikrar Wakaf sesuai dengan
jenis harta benda yang diwakafkan, diselenggarakan dalam Majelis Ikrar Wakaf yang
dihadiri oleh nazhir, mawquf alayh, dan sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi. Ayat
(2) Kehadiran nazhir dan mawquf alayh dalam Majelis Ikrar Wakaf untuk wakaf benda
bergerak berupa uang dapat dinyatakan dengan surat pernyataan nazhir dan/atau
mawquf alayh. Ayat (3) Dalam hal mawquf alayh adalah masyarakat luas (publik),
maka kehadiran mawquf alayh dalam Majelis Ikrar Wakaf sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) tidak disyaratkan.
Akhirnya, jika wakif tidak boleh menerima manfaat wakaf atau menjadi
mawquf alayh, tidak demikian dengan anak dan keturunan wakif, mereka boleh
menerima manfaat wakaf apabila wakafnya dalam bentuk wakaf ahli (wakaf keluarga),
yaitu wakaf yang manfaatnya diperuntukkan bagi kesejahteraan umum sesama kerabat
berdasarkan hubungan darah (nasab) dengan wakif, atau wakafnya dalam bentuk wakaf
musytarak (wakaf gabungan) antara wakaf ahli dan wakaf khairi, yaitu wakaf yang
sebagian manfaatnya untuk kesejahteraan keluarga wakif, dan sebagian manfaatnya
lagi untuk kesejahteraan umat. Maka strategi yang harus dipilih untuk memperbanyak
wakaf adalah membuat produk wakaf yang manfaatnya untuk kesejahteraan keluarga
wakif dan/atau yang manfaatnya untuk kesejahteraan keluarga wakif dan juga untuk
kesejahteraan umat, bukan dengan membuat produk wakaf yang menjadikan wakif
sebagai mawquf alayh (penerima manfaat wakaf) karena ulama melarangnya.
F. Ruang Lingkup dan Urgensi Manajemen Zakat dan Wakaf
Urgensi Manajemen pengelolaan zakat dan wakaf bagi peningkatan kesejahteraan
masyarakat.
Pelaksanaan zakat didasarkan pada firman Allâh SWT yang terdapat dalam al-
Qur`ân surat at-Taubah ayat 60 yang menjelaskan tentang kelompok yang berhak
menerimanya (mustahiq) dan ayat 103 yang menjelaskan tentang pentingnya zakat
untuk diambil (dijemput) oleh para petugas (amil) zakat. Demikian pula petunjuk yang
diberikan oleh Rasulullah SAW kepada Muadz Ibn Jabal ketika diutus ke Yaman,
beliau mengatakan:
“.....jika mereka telah mengucapkan dua kalimat syahadat dan melaksanakan
salat, maka beritahukanlah bahwasanya Allâh SWT telah mewajibkan zakat yang
diambil dari harta mereka dan diberikan kepada orang- orang fakirnya....”
Seperti telah dikemukakan di atas dan juga berdasarkan petunjuk al-Qur`ân,
hadis Nabi dan pelaksanaannya di zaman Khulafa’ al-Rasyidin, bahwa pelaksanaan
zakat bukanlah sekedar amal karitatif (kedermawanan), tetapi merupakan kewajiban
bersifat otoritatif (ijbari). Jadi zakat tidaklah seperti shalat, shaum, dan ibadah haji yang
pelaksanaannya diserahkan kepada individu masing-masing (sering disebut sebagai
masalah dayyani), tetapi juga disertai keterlibatan aktif dari para petugas yang amanat,
jujur, terbuka, dan profesional yang disebut amil zakat (sering disebut sebagai masalah
qadha’i).
Pengelolaan zakat melalui lembaga amil zakat, menurut Didin (2002),
didasarkan pada beberapa pertimbangan. Pertama, untuk menjamin kepastian dan
disiplin pembayaran zakat. Kedua, menjaga perasaan rendah diri para mustahiq apabila
berhadapan langsung untuk menerima haknya dari para muzakki. Ketiga, untuk
mencapai efisiensi, efektifitas, dan sasaran yang tepat dalam penggunaan harta zakat
menurut skala prioritas yang ada di suatu tempat. Misalnya, apakah disalur-kan dalam
bentuk konsumtif ataukah dalam bentuk produktif untuk meningkatkan kegiatan usaha
para mustahiq. Keempat, untuk memperlihatkan syi’ar Islam dan semangat
penyelenggaraan negara dan pemerintahan yang Islami. Sebaliknya, jika
penyelenggaraan zakat itu begitu saja diserahkan kepada para muzzaki, maka nasib dan
hak-hak orang miskin dan para mustahiq lainnya terhadap orang-orang kaya tidak
memperoleh jaminan yang pasti.
Asas operasional dan pelaksanaan zakat seperti dikemukakan di atas tidak
mengabaikan sifat dan kedudukan zakat itu sendiri sebagai ibadah mahdhah yang harus
dilaksanakan atas dasar kesadaran, keikhlasan, dan ketaqwaan seseorang kepada Allâh
SWT. Demikian asas ikhlas dan sukarela tetap dominan dalam pelaksanaan zakat
sebagaimana yang berlaku pada zaman Rasulullah SAW., Khulafa’ al-Rasyidin, dan
pemerin-tahan Islam sesudahnya. Zakat yang sudah dikumpulkan oleh Lembaga Amil
Zakat (LAZ) atau Badan Amil Zakat (BAZ) harus dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya
bagi kepentingan mustahiq, sebagaimana digambarkan dalam al-Qur`ân surat at-
Taubah ayat 60. karena itu LAZ harus dikelola dengan amanah, jujur, transparan dan
profesional. Dalam pasal 22 KMA Nomor 581 tahun 1999 dikemukakan bahwa LAZ
yang baik memenuhi persyaratan, yaitu:
o Berbadan hukum;
o Memiliki muzakki dan mustahiq;
o Memiliki program kerja;
o Memiliki pembukuan;
o Melampirkan surat pernyataan bersedia diaudit
Zakat yang dikumpulkan disalurkan langsung untuk kepentingan mustahiq, baik
yang bersifat konsumtif, sebagaimana dinyatakan dalam al-Qur`ân surat al-Baqarah
ayat 273, maupun yang bersifat produktif sebagaimana pernah terjadi di zaman
Rasulullah SAW dan dikemukakan dalam hadits riwayat Imam Muslim dari Salim Ibn
Abdillah ibn Umar dari ayahnya bahwa Rasulullah Saw telah memberinya pemberian
(zakat) menyuruhnya untuk dikembangkan (tamawwalah) dalam kaitan itu, terdapat
pendapat yang menarik dari sebagian ulama bahwa perintah (dalam hal ini BAZ dan
LAZ yang amanah, terpercaya, dan profesional) diperbolehkan mem-bangun
perusahaan-perusahaan, pabrik-pabrik dan yang lainnya dari uang zakat, untuk
kemudian kepemilikan dan keuntungannya diberikan kepada para mustahiq dalam
jumlah yang relatif besar, sehingga terpenuhi kebutuhan mereka dengan lebih leluasa.
Pengembangan usaha yang lainnya dapat dianalogikan kepadanya. Hanya saja, dalam
pelaksanaannya perlu kesungguhan, kehati-hatian, dan kecermatan, agar jangan sampai
terjadi kerugian karena kesalahan para pengelola.
Hal yang sama dapat dilakukan pula untuk wakaf, terutama wakaf uang. Kalau
dilihat secara hsitoris, para penguasa Dinasti Abbasiyah kerap mendorong
pengembangan wakaf sebagai sumber pendapatan dan sekaligus pembiayaan untuk
pembangunan, seperti biaya pendidikan. Cara inilah yang tetap abadi, karena tetap
dilanjutkan oleh negara-negara Islam saat ini, seperti Saudi Arabia, Mesir, Turki dan
Yordania, melalui lembaga-lembaga wakafnya. Wakaf bagi negara ini, tidak saja untuk
biaya pendidikan, dan kesehatan masyarakat, melainkan juga dapat membangkitkan
ekonomi masyarakat, karena menurut hemat mereka wakaf dapat dikelola dalam bentuk
saham, usaha-usaha produktif, seperti real estate, pertanian, dsbnya, yang dikelola oleh
lembaga-lembaga ekonomi yang profesional. (Budi Setyanto, 2003).
Hanya saja di samping dikelola oleh lembaga yang amanah, menurut Didin
(2004), kerjasama dengan Lembaga Keuangan Syariah, seperti Bank Syariah
merupakan suatu keniscayaan. Bagaikan yang terdapat pada negara Mesir. Badan
Wakaf yang dibentuk oleh pemerintah Mesir, ,emitipkan hasil harta wakaf di bank-
bank islam. Bahkan Badan Wakaf turut berpartisipasi mendirikan bank-bank Islam,
bekerja sama dengan beberapa perusahaan, membeli saham dan obligasi perusahaan
penting, di samping juga memanfaatkan lahan kosong agar produktif. Hasil
pengembangan wakaf dimanfaatkan untuk membantu kehidupan masyarakat miskin,
anak yatim, mengangkat kehidupan pedagang kecil dan kaum dhuafa. Dana hasil
pengembangan wakaf digunakan juga untuk mendirikan masjid, sekolah dan
pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Bagaikan juga di negara Bangladesh, menurut Budi, wakaf dikelola oleh
lembaga keuangan syariah, yakni melalui Social Investment Bank Ltd. (SIBL), dengan
mengembangkan Pasar Modal Sosial (the Voluntary Capital Market). Di samping itu
lembaga ini
juga mengembangkan instrumen-instrumen keuangan lainnya; Waqf Properties
Development Bond, Cash Waqf Deposit Certificate, Family Waqf Certificate, Mosque
Community Share, Quard-e-Hasana Certificate, Zakat/ Ushr Payment Certificate, Hajj
Saving Certificate, dan lain-lainnya.
Bahkan di negara kapitalis, Amerika Serikat, wakaf warga muslimpun dikelola
secara profesional oleh lembaga-lembaga keuangan, seperti, Kuwait Waqf Public
Foundation (KAPF) yang bermarkas di New York, dan al-Manzil Islamic Financial
Service bertindak sebagai advisor. Hasilnya KAPF berhasi membangun apertemen
senilai 85 juta dollar di atas tanah milik Islamic Cultural Center New York.
Di Indonesia, pemerintah pada dasarnya punya kepentingan dengan
pengembangan lembaga wakaf ini, apakah melalui lembaga keuangan syariah atau
tidak. Sebab lembaga ini bisa membantu pemerintah dalam mengatasi kemiskinan dan
pembangunan ekonomi masyarakat. Walaupun sangat disadari bahwa pemahaman
umumnya masyarakat tentang wakaf mempengaruhi terhadap kelambanan
terbentuknya lembaga wakaf ini secara konkrit. Dalam pemahaman umat yang telah
terpatri bertahun-tahun, wakaf hanyalah berbentuk tanah dan hanya diperuntukkan
untuk rumah ibadah atau lembaga-lembaga sosial.
Untuk itu suatu hal yang sangat perlu dan mendesak (urgen) dalam pemahaman
yang sama adalah, peningkatan kekuatan ekonomi umat melalui manajemen zakat dan
wakaf yang baik akan terjadi, bila dilakukan secara sinergis dan koordinatif antara
lembaga yang dimiliki umat. Zakat dan wakaf dapat pula dimanfaatkan untuk
kepentingan peningkatan SDM, seperti pemberian beasiswa bagi para pelajar, santri,
dan mahasiswa dalam hal orang tua mereka termasuk dalam kategori mustahiq zakat.
Singkatnya, para pengelola zakat dan wakaf harus memiliki program dan skala prioritas
yang jelas. Demikian pula pelaporan (pemasukan dan pengeluaran) harus disampaikan
secara terang dan jelas agar kepercayaan muzakki dan waqif akan semakin bertambah.
BAB 3
PENUTUP
A.Kesimpulan
Dalam UU No. 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat, disebutkan pengertian zakat,
yaitu sebagai: 'harta yang wajib dikeluarkan oleh seorang muslim atau badan usaha untuk
diberikan kepada yang berhak menerimanya sesuai dengan syariat Islam'.
Sedangkan dasar hukum zakat dan wakaf telah tertulis dalam beberapa ayat Al Qur'an
dan hadis nabi Muhammad SAW mengenai wakaf, Dan menurut hukum Indonesia Pengaturan
perwakafan di Indonesia diatur dalam berbagai pengaturan dalam perundang-undangan.
B. Saran
Demikianlah makalah ini pemakalah uraikan diharapkan dengan adanya pembahasan makalah
ini kita semua dapat mengambil hikmahnya dan dalam penyusunan makalah ini pasti terdapat
beberapa kekurangan baik dalam penyusunan materi yang dibahas ataupun kurangnya referensi
buku untik pembuatan makalah ini. Oleh karena itu saran dan kritik yang sifatnya membangun
dari pembaca sangat pemakalah butuhkan supaya untuk pembuatan makalah selanjutnya bisa
lebih baik lagi.
DAFTAR PUSTAKA

Guti Herman Hasan, manajemen zakat dan wakaf;(2023) hal- 17

Balkaoui, Ahmed Riahi, Teori Akuntansi, Edisi Pertama, Penerbit Salemba Empat, Jakarta,
2000

Primiana, Ina, Menggerakkan Sektor Riil UKM & Industri, Penerbit Alfabeta, Bandung, 2009

Adi, M. Kwartono, Analisis Usaha Kecil Dan Menengah, Penerbit CV. Andi Offset,
Yogyakarta, 2007

Amelia Fauzia dan Ary Hermawan, dalam Idris Thaha (Ed), Berderma untuk semua; Wacana
dan Praktik Filantropi Islam, Teraju, Jakarta, 2003

Tohar, M., Membuka Usaha Kecil, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 2001

Muhammad Daud Ali, Sistem Ekonomi Islam Zakat dan Wakaf, Jakarta UI Press, 1988

Direktorat Pemberdayaan Wakaf Direktorat Jenderal Bimbingan Massyarakat Islam

Departemen Agama RI Fiqh Wakaf, Jakarta, 2006

Sayyid Sabiq, Fiqhu as-Sunnah, Lebanon, Dar al-Arabi, 1971

Anda mungkin juga menyukai