Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

LEMBAGA KEUANGAN SYARIAH


Badan Wakaf Di Indonesia

Dosen Pengampu
Dian Eka Rezkiani, S.E., M.E.
Disusun Oleh Kelompok 5

1. Karmiasih NIM : 19 5 12 0215


2. Ningsih NIM : 19 5 12 0201
3. Siska NIM : 19 5 12 0208
4. Zainal h. sampedo NIM : 19 5 12 0203
5. Moh. arya subhan qadar NIM : 19 5 12 0192

EKONOMI SYARIAH
FAKULTAS EKONOMI & BISNIS ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
2020

1
KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmannirrahiim.....

Alhamdulillahi robbil ‘alamin assholatu wassalamu ‘ala asyrofil ambiya’i wal mursalin,
wa’ala alihi wasohbihi ajma’in ‘amma ba’du.

Puji dan Syukur kami panjatkan ke Hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat
limpahan Rahmat dan Karunia-Nya sehingga kami dapat menyusun makalah ini dengan baik
dan tepat pada waktunya. Dalam makalah ini kami membahas mengenai Badan Wakaf Di
Indonesia. Atas dukungan yang diberikan dalam penyusunan makalah ini, maka kami
mengucapkan terima kasih.

Kami menyadari bahwa dalam proses penulisan makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan baik materi maupun cara penulisannya. Namun demikian, penulis berharap
semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi seluruh pembaca.

Akhir kata, tiada gading yang  tak  retak, demikin dengan makalah  ini. Oleh karena itu,
kami mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan makalah kami
selanjutnya.

Kelompok 5, 28 desember 2020

Penulis

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...........................................................................................................2

DAFTAR ISI..........................................................................................................................3

BAB I PENDAHULUAN......................................................................................................4

A. Latar belakang..................................................................................................................4
B. Rumusan masalah............................................................................................................4
C. Maksud dan tujuan...........................................................................................................5

BAB II PEMBAHASAN.......................................................................................................6

A. Pengertian wakaf..............................................................................................................6
B. Dasar hukum....................................................................................................................6
C. Sejarah dan perkembangan wakaf di indonesia...............................................................8
D. Rukun dan syarat wakaf...................................................................................................12
E. Harta benda wakaf dan badan wakaf indonesia...............................................................13

BAB III PENUTUP...............................................................................................................17


A. Kesimpulan......................................................................................................................17
B. Saran................................................................................................................................17

DAFTAR PUSTATAKA.......................................................................................................18

3
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam Islam telah mengatur seluruh aspek kehidupan umatnya, seperti yang berkaitan
dengan konteks amal ibadah pokok seperti shalat, selain itu islam juga mengatur
hubungan sosial kemasyarakatan maupun dalam hal pendistribusian kesejahteraan
(kekayaan) dengan cara menafkahkan harta yang dimiliki demi kesejahteraan umum
seperti adanya perintah zakat, infaq, shadaqah, qurban, hibah dan wakaf.

Di Indonesia yang mayoritas masyarakatnya adalah umat Islam yang beberapa


diantaranya telah mengenal wakaf dengan baik . Potensi wakaf sebagai salah satu sumber
dana publik mendapat perhatian cukup dari masyarakat. Hal ini dapat dibuktikan dengan
banyaknya bermunculan lembaga-lembaga amal yang salah satu peranannya adalah
mengelola dana umat, dalam hal ini termasuk wakaf. Dengan adanya pengelolaan wakaf
dari lembaga lembaga amal diharapkan wakaf dapat memajukan kesejahteraan
umum.Pada umumnya wakaf diartikan dengan memberikan harta secara sukarela untuk
digunakan bagi kepentingan umum dan memberikan manfaat bagi orang banyak seperti
untuk masjid, mushola, sekolah, dan lain-lain. Dengan seiring berjalannya waktu wakaf
nantinya tidak hanya menyediakan sarana ibadah dan sosial tetapi juga memiliki kekuatan
ekonomiyang berpotensiantara lain untuk memajukan kesejahteraan umum, sehingga
perludikembangkan pemanfaatannya sesuai dengan prinsip syariah.

Saat ini definisi wakaf lebih mudah dipahami, yaitu wakaf diartikan sebagai perbuatan
hukum wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya
untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan
kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syariah.
Lalu pengertian harta benda wakaf sendiri juga mengalami perubahan maksud yang lebih
mudah, yaitu bahwa harta benda wakaf ialah harta benda yang diwakafkan oleh wakif,
yang memiliki daya tahan lama dan/atau manfaat jangka panjang serta mempunyai nilai
ekonomi menurut syariah. Harta benda wakaf tersebut dapat berupa harta benda tidak
bergerak maupun yang bergerak.

4
B. Rumusan Masalah

1. Apa pengertian wakaf?


2. Apa dasar hukum wakaf?
3. Bagaimana sejaran dan perkembamgan wakaf di Indonesia?
4. Apa saja rukun dan syarat wakaf?
5. Apa yang dimaksud harta benda dan badan wakaf Indonesia?

C. Tujuan Masalah

1. Mengetahui pengertian wakaf.


2. Mengetahui dasar hukum wakaf.
3. Mengetahui sejaran dan perkembamgan wakaf di Indonesia.
4. Mengetahui rukun dan syarat wakaf.
5. Mengetahui Apa yang dimaksud harta benda dan badan wakaf Indonesia.

BAB II

PEMBAHASAN

5
A. Pengertian Wakaf

Wakaf adalah suatu kata yang berasal dari bahasa arab, yaitu waqafa yang berarti
menahan, menghentikan atau mengekang. Dalam bahasa indonesia kata waqaf biasa
diucapkan dengan wakaf dan ucapan inilah yang dipakai dalam perundang-undangan di
indonesia. Dalam istilah syara’ secara umum, wakaf adalah sejenis pemberian yang
pelaksanaannya dilakukan dengan jalan menahan (pemilikan) asal (tahbisul ashli), lalu
menjadikan manfaatnya berlaku umum. Yang dimaksud dengan tahbisul ashli ialah menahan
barang yang diwakafkan itu agar tidak diwariskan, dijual, dihibahkan, digadaikan, disewakan
dan sejenisnya.

Wakaf ditinjau dari pandangan ahli agama amatlah luas dan rinci definisinya. Salah satu
pendapat yang dapat merangkumnya secara luas ialah dari pandangan Mazhab Hanafi seperti
yang dilansir Badan Wakaf Indonesia, adalah menahan suatu benda yang menurut hukum,
tetap di wakif (orang yang mewakafkan) dalam rangka mempergunakan manfaatnya untuk
kebajikan. Berdasarkan definisi itu maka pemilikan harta tidak lepas dari wakif, bahkan orang
tersebut dibenarkan menariknya kembali dan boleh menjualnya.  Jika wakif meninggal dunia,
harta tersebut menjadi harta warisan untuk ahli warisnya. Tujuannya adalah menyedekahkan
manfaatnya kepada suatu pihak kebajikan (sosial), baik sekarang atau pun yang akan datang.

Sedangkan definisi wakaf menurut UU no. 41 tahun 2004 adalah suatu perbuatan hukum
oleh pihak yang melakukan untuk memisahkan atau menyerahkan sebagian harta benda atau
aset miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu untuk
keperluan ibadah atau kesejahteraan umum sesuai ketentuan agama Islam.

B. Dasar Hukum Wakaf


a. Menurut Al-Quran

Secara umum tidak terdapat ayat al-Quran yang menerangkan konsep wakaf secara
jelas.  Oleh karena wakaf termasuk infaq fi sabilillah, maka dasar yang digunakan para ulama
dalam menerangkan konsep wakaf ini didasarkan pada keumuman ayat-ayat al-Quran yang
menjelaskan tentang infaq fi sabilillah. Di antara ayat-ayat tersebut antara lain: 

“Hai orang-orang yang beriman! Nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usaha
kamu yang baik-baik, dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu.”
(Q.S. al-Baqarah (2): 267) 

6
“Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna) sebelum kamu
menafkahkan sebagian dari apa yang kamu cintai.” (Q.S. Ali Imran (3): 92) 

“Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya


di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir. Pada tiap-
tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi sesiapa yang Dia kehendaki,
dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (Q.S. al-Baqarah (2): 261)

Ayat-ayat tersebut di atas menjelaskan tentang anjuran untuk menginfakkan harta yang
diperoleh untuk mendapatkan pahala dan kebaikan. Di samping itu, ayat 261 surat al-Baqarah
telah menyebutkan pahala yang berlipat ganda yang akan diperoleh orang yang
menginfakkan hartanya di jalan Allah.

b. Menurut Hadis

Di antara hadis yang menjadi dasar dan dalil wakaf adalah hadis yang menceritakan
tentang kisah Umar bin al-Khaththab  ketika memperoleh tanah di Khaibar. Setelah ia
meminta petunjuk Nabi tentang tanah tersebut, Nabi  menganjurkan untuk menahan asal
tanah dan menyedekahkan hasilnya.

Hadis tentang hal ini secara lengkap adalah; “Umar memperoleh tanah di Khaibar, lalu
dia bertanya kepada Nabi dengan berkata; Wahai Rasulullah, saya telah memperoleh tanah di
Khaibar yang nilainya tinggi dan tidak pernah saya peroleh yang lebih tinggi nilainya dari
padanya. Apa yang baginda perintahkan kepada saya untuk melakukannya? Sabda
Rasulullah: “Kalau kamu mau, tahan sumbernya dan sedekahkan manfaat atau faedahnya.”
Lalu Umar menyedekahkannya, ia tidak boleh dijual, diberikan, atau dijadikan wariskan.
Umar menyedekahkan kepada fakir miskin, untuk keluarga, untuk memerdekakan budak,
untuk orang yang berperang di jalan Allah, orang musafir dan para tamu. Bagaimanapun ia
boleh digunakan dengan cara yang sesuai oleh pihak yang mengurusnya, seperti memakan
atau memberi makan kawan tanpa menjadikannya sebagai sumber pendapatan.”

Hadis lain yang menjelaskan wakaf adalah hadis yang diceritakan oleh imam Muslim
dari Abu Hurairah. Nas hadis tersebut adalah; “Apabila seorang manusia itu meninggal dunia,
maka terputuslah amal perbuatannya kecuali dari tiga sumber, yaitu sedekah jariah (wakaf),
ilmu pengetahuan yang bisa diambil manfaatnya,  dan anak soleh yang mendoakannya.”

Selain dasar dari al-Quran dan Hadis di atas, para ulama sepakat (ijma’) menerima wakaf
sebagai satu amal jariah yang disyariatkan dalam Islam. Tidak ada orang yang dapat

7
menafikan dan menolak amalan wakaf dalam Islam karena wakaf telah menjadi amalan yang
senantiasa dijalankan dan diamalkan oleh para sahabat Nabi dan kaum Muslimim sejak masa
awal Islam hingga sekarang.

Dalam konteks negara Indonesia, amalan wakaf sudah dilaksanakan oleh masyarakat
Muslim Indonesia sejak sebelum merdeka. Oleh karena itu pihak pemerintah telah
menetapkan Undang-undang khusus yang mengatur tentang perwakafan di Indonesia, yaitu
Undang-undang nomor 41 tahun 2004 tentang Wakaf. Untuk melengkapi Undang-undang
tersebut, pemerintah juga telah menetapkan Peraturan Pemerintah nomor 42 tahun 2006
tentang Pelaksanaan Undang-undang nomor 41 tahun 2004.

Dasar hukum wakaf diambil dari Al-qur’an dan As-sunah dan juga UU No. 41/2004
tentang wakaf pasal 4. Dalam UU No 41/2004 tentang wakaf pasal 4 bahwa tujuan wakaf itu
sendiri adalah untuk memanfaatkan harta benda wakaf sesuai dengan fungsinya, Pasal 5 UU
41/2004 menyatakan bahwa fungsi wakaf adalah mewujudkan potensi dan manfaat ekonomis
harta benda wakaf untuk kepentingan ibadah dan untuk memajukan kesejahteraan umum.

C. Sejarah Dan Perkembangan Wakaf Di Indonesia


Sejaraah Awal Mula Wakaf
Dalam sejarah Islam, wakaf dikenal sejak masa Rasulullah SAW karena wakaf
disyariatkan setelah Nabi hijrah ke Madinah pada tahun kedua Hijriyah. Ada dua pendapat
yang berkembang di kalangan ahli yurisprudensi Islam (fuqaha) tentang siapa yang pertama
kali melaksanakan syariat wakaf. Menurut sebagian ulama, yang pertama kali melaksanakan
wakaf adalah Rasulullah SAW, yakni mewakafkan tanah milik Nabi SAW untuk dibangun
masjid.

Pendapat ini berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Umar bin Syabah dari Amr bin
Sa’ad bin Mu’ad, dan diriwayatkan dari Umar bin Syabah, dari Umar bin Sa’ad bin Muad
berkata, Kami bertanya tentang mula-mula wakaf dalam Islam? Orang Muhajirin mengatakan
adalah wakaf Umar, sedangkan orang- orang Ansor mengatakan adalah wakaf Rasulullah
SAW.

Pendapat sebagian ulama yang mengatakan bahwa Sayyidina Umar adalah orang
pertama yang melaksanakan syariat wakaf berdasar pada hadis yang diriwayatkan Ibnu Umar
yang berkata, Bahwa sahabat Umar RA, memperoleh sebidang tanah di Khaibar, kemudian
Umar RA, menghadap Rasulullah SAW untuk meminta petunjuk, umar berkata: ‘Hai

8
Rasulullah SAW, saya mendapat sebi dang tanah di Khaibar, saya belum mendapat harta
sebaik itu, maka apakah yang engkau perintahkan kepadaku?’ Rasulullah SAW bersabda:
Bila engkau suka, kau tahan (pokoknya) tanah itu, dan engkau sedekahkan (hasilnya), tidak
dijual, tidak dihibah kan, dan tidakdiwariskan. Ibnu Umar berkata lagi: Umar
menyedekahkannya (hasil pengelolaan tanah) kepada orang-orang fakir, kaum kerabat,
hamba sahaya, sabilillah Ibnu sabil, dan tamu, dan tidak dilarang bagi yang mengelola
(nazhir) wakaf makan dari hasilnya dengan cara yang baik (sepantasnya) atau member makan
orang lain dengan tidak bermaksud menumpuk harta.

Selain Umar, Rasulullah juga mewakafkan tujuh kebun kurma di Madinah di antaranya
ialah kebun A’raf Shafiyah, Dalal, Barqah, dan lainnya. Nabi juga mewakafkan perkebunan
Mukhairik, yang telah menjadi milik beliau setelah terbunuhnya Mukhairik ketika Perang
Uhud. Beliau menyisihkan sebagian keuntungan dari perkebunan itu untuk member nafkah
keluarganya selama satu tahun, sedangkan sisanya untuk membeli kuda perang, senjata dan
untuk kepentingan kaum Muslimin. Mayoritas ahli fikih mengatakan bahwa peristiwa ini
disebut wakaf.

Perkembangan Wakaf di Indonesia

Perkembangan wakaf di Indonesia dapat dibagi dalam 3 kurun waktu, yaitu :

1. Sebelum Kemerdekaan Republik Indonesia

Wakaf merupakan suatu lembaga ekonomi Islam yang eksistensinya sudah ada semenjak
awal kedatangan Islam. Wakaf adalah lembaga Islam kedua tertua di Indonesia setelah (ata

u bersamaan dengan) perkawinan. Sejak zaman awal telah dikenal wakaf masjid, wakaf
langgar / surau dan wakaf tanah pemakaman di berbagai wilayah Indonesia. Selanjutnya
muncul wakaf tanah untuk pesantren dan madrasah atau wakaf tanah pertanian untuk
membiayai pendidikan Islam dan wakaf-wakaf lainnya.

Pada mulanya lembaga wakaf di Indonesia sering dilakukan oleh umat Islam, sebagai
konsekuensi logis banyaknya kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia. Sekalipun lembaga wakaf
merupakan salah satu pranata Islam, tetapi seolah-olah sudah merupakan kesepakatan
diantara para ahli hukum bahwa pewakafan merupakan masalah dalam Hukum Adat
Indonesia, sebab diterimanya lembaga berasal dari suatu kebiasaan dalam pergaulannya.
Sejak itu persoalan wakaf telah diatur dalam Hukum Adat yang sifatnya tidak tertulis dengan
mengambil sumber dari Hukum Islam.

9
Sewaktu Belanda mulai menjajah Indonesia lebih kurang tiga abad yang lalu, maka
wakaf sebagai lembaga keuangan Islam telah tersebar di berbagai persada nusantara
Indonesia. Dengan berdirinya Priesterrad (Rad Agama / Peradilan Agama) berdasarkan
Staatsblad Nomor 152 pada tahun 1882, maka dalam praktek yang berlaku, masalah wakaf
menjadi salah satu wewenangnya, di samping masalah perkawinan, waris, hibah, shadaqah
dan hal-hal lain yang dipandang berhubungan erat dengan agama Islam. Pengakuan Belanda
ini berdasarkan kenyataan bahwa penyelesaian sengketa mengenai masalah wakaf dan lain-
lain yang berhubungan dengan hukum Islam diajukan oleh masyarakat ke Mahkamah
Syar’iyyah atau Peradilan Agama lokal dengan berbagai nama di berbagai daerah di
Indonesia.

Pada masa ini (baca juga penjajah), telah dikeluarkan berbagai peraturan yang mengatur
tentang wakaf, antara lain :

a. SE Sekretaris Govememen pertama tanggal 31 Januari 1905 Nomor 435 sebagaimana


termuat dalam Bijblad 1905 Nomor 6196 tentang Toezicht op den bouw van
Mohammaedaansche bedehuizen.
b. SE Sekretaris Govememen tanggal 4 Juni 1931 Nomor 1361 yang termuat dalam Bijblad
1931 Nomor 125/3 tentang Toezicht van de Regeering op Mohammaedaansche,
Vridagdiensten en wakaf.
c. SE Sekretaris Govememen pertama tanggal 24 Desember 1934 Nomor 3088/A
sebagaimana termuat dalam Bijblad tahun 1934 Nomor 13390 tentang Toezicht van de
Regeering op mohammaedaansehe bedehuize, Vrijdag diensten en wakafs.

2. Pasca Kemerdekaan Republik Indonesia

Peraturan-peraturan tentang perwakafan yang dikeluarkan pada masa penjajah Belanda,


sejak Proklamasi Kemerdekaan RI tanggal 17 Agusus 1945 masih tetap berlaku berdasarkan
bunyi pasal II Aturan Peralihan UUD 1945.  Maka untuk menyesuaikan dengan Negara
Republik Indonesia dikeluarkan petunjuk Menteri Agama RI tanggal 22 Desember 1953
tentang Petunjuk-petunjuk mengenai wakaf, menjadi wewenang Bagian D (Ibadaha Sosial),
Jawatan Urusan Agama, dan pada tanggal 8 Oktober 1956 telah dikeluarkan SE Nomor
5/D/1959 tentang Prosedur Perwakafan Tanah.

Dalam rangka penertiban dan pembaharuan sistem Hukum Agraria, masalah wakaf
mendapat perhatian yang lebih dari pemerintah nasional, antara lain melalui Departemen

10
Agama RI. Selama lebih tiga puluh tahun sejak tahun 1960, telah dikeluarkan berbagai
Undang-undang, Peraturana Pemerintah, Peraturan Menteri, Insturksi Menetri / Gebernur dan
lain-lain yang berhubungan karena satu dan lain hal dengan masalah wakaf.

Dalam pasal 5 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960, yang pada intinya menyatakan
benda wakaf adalah hukum agama yang diakui oleh hukum adat di Indonesia, di samping
kenyataan bahwa hukum adat (al-‘uruf) adalah salah satu sumber komplementer hukum
Islam. Sehingga dalam pasal 29 ayat (1) UU yang sama dinyatakan secara jelas tentang hak-
hak tanah untuk kepelruan suci dan sosial. Wakaf adalah salah satu lembaga keagaaan dan
sosial yang diakui dan dilingdungi oleh UU ini.

3. Era Peraturan Perudang-undangan Republik Indonesia

Sebagaimana yang diketahui peraturan tentang perwakafan tanah di Indonesia masih


belum memenuhi kebutuhan maupun dapat memberikan kepastian hukum, dari sebab itulah
seuai dengan ketentuan pasal 49 ayat (3) UUPA, pemerintah pada tanggal 17 Mei 1977
menetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik.
Dengan berlakunya peraturan ini maka semua peraturan perundang tentang perwakafan
sebelumnya yang bertentangan dengan PP Nomor 28 Tahun 1977 ini dinyatakan tidak
berlaku.

Dalam rangka mengamankan, mengatur dan mengelola tanah wakaf secara lebih baik
maka pemerintah mengeluarkan Inpres Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum
Islam yang di dalamnya juga mengatur masalah wakaf, sehingga setelah munculnya Inpres
ini, kondisi wakaf lebih terjaga dan terawat, walaupun belum dikelola dan dikembangkan
secara optimal.

Pada tanggal 11 Mei 2002 Majelis Ulama Indonesia mengeluarkan fatwa yang
membolehkan wakaf uang (cash wakaf/ waqf al nuqud) dengan syarat nilai pokok wakaf
harus dijamin kelestariannya. Dan atas dukungan political will Pemerintah secara penuh salah
satunya adalah lahirnya  Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf dan
Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 tentang pelaksanaannya (UU Nomor 41 Tahun
2004 tentang Wakaf).

Dari pasal undang-undang ini telah mewacana yang mengemuka tentang wakaf tunai dan
realitas respon dari berbagai kalangan menjadi dasar pemikiran pentingnya penyusunan
Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf yang di dalamnya memuat aturan

11
tentang wakaf tunai. Karena Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977, sebagai satu-
satunya peraturan perundang-undangan tentang wakaf sama sekali tidak mengcover masalah
tersebut, Undang-undang ini diharapkan dapat memberikan optimisme dan keteraturan dalam
pengelolaan wakaf secara umum dan wakaf tunai secara khusus di Negara Kesatuan Republik
Indonesia ke depan.

D. Rukun Dan Syarat Wakaf


a. Rukun Wakaf

Rukun Wakaf Ada empat rukun yang mesti dipenuhi dalam berwakaf. 

 Pertama, orang yang berwakaf (al-waqif).


 Kedua, benda yang diwakafkan (al-mauquf). 
 Ketiga, orang yang menerima manfaat wakaf (al-mauquf ‘alaihi). 
 Keempat, lafadz atau ikrar wakaf (sighah).

b. Syarat-Syarat Wakaf

1. Syarat-syarat orang yang berwakaf (al-waqif)Syarat-syarat al-waqif ada empat, pertama


orang yang berwakaf ini mestilah memiliki secara penuh harta itu, artinya dia merdeka
untuk mewakafkan harta itu kepada sesiapa yang ia kehendaki. Kedua dia mestilah orang
yang berakal, tak sah wakaf orang bodoh, orang gila, atau orang yang sedang mabuk.
Ketiga dia mestilah baligh. Dan keempat dia mestilah orang yang mampu bertindak
secara hukum (rasyid). Implikasinya orang bodoh, orang yang sedang muflis dan orang
lemah ingatan tidak sah mewakafkan hartanya.
2. Syarat-syarat harta yang diwakafkan (al-mauquf)Harta yang diwakafkan itu tidak sah
dipindahmilikkan, kecuali apabila ia memenuhi beberapa persyaratan yang ditentukan
oleh ah; pertama barang yang diwakafkan itu mestilah barang yang berharga Kedua,
harta yang diwakafkan itu mestilah diketahui kadarnya. Jadi apabila harta itu tidak
diketahui jumlahnya (majhul), maka pengalihan milik pada ketika itu tidak sah. Ketiga,
harta yang diwakafkan itu pasti dimiliki oleh orang yang berwakaf (wakif). Keempat,
harta itu mestilah berdiri sendiri, tidak melekat kepada harta lain (mufarrazan) atau
disebut juga dengan istilah (ghaira shai’).
3. Syarat-syarat orang yang menerima manfaat wakaf (al-mauquf alaih) Dari segi
klasifikasinya orang yang menerima wakaf ini ada dua macam, pertama tertentu
(mu’ayyan) dan tidak tertentu (ghaira mu’ayyan). Yang dimasudkan dengan tertentu

12
ialah, jelas orang yang menerima wakaf itu, apakah seorang, dua orang atau satu
kumpulan yang semuanya tertentu dan tidak boleh dirubah. Sedangkan yang tidak tentu
maksudnya tempat berwakaf itu tidak ditentukan secara terperinci, umpamanya
seseorang sesorang untuk orang fakir, miskin, tempat ibadah, dll. Persyaratan bagi orang
yang menerima wakaf tertentu ini (al-mawquf mu’ayyan) bahwa ia mestilah orang yang
boleh untuk memiliki harta (ahlan li al-tamlik), Maka orang muslim, merdeka dan kafir
zimmi yang memenuhi syarat ini boleh memiliki harta wakaf. Adapun orang bodoh,
hamba sahaya, dan orang gila tidak sah menerima wakaf. Syarat-syarat yang berkaitan
dengan ghaira mu’ayyan; pertama ialah bahwa yang akan menerima wakaf itu mestilah
dapat menjadikan wakaf itu untuk kebaikan yang dengannya dapat mendekatkan diri
kepada Allah. Dan wakaf ini hanya ditujukan untuk kepentingan Islam saja.
4. Syarat-syarat Shigah Berkaitan dengan isi ucapan (sighah) perlu ada beberapa syarat.
Pertama, ucapan itu mestilah mengandungi kata-kata yang menunjukKan kekalnya
(ta’bid). Tidak sah wakaf kalau ucapan dengan batas waktu tertentu. Kedua, ucapan itu
dapat direalisasikan segera (tanjiz), tanpa disangkutkan atau digantungkan kepada syarat
tertentu. Ketiga, ucapan itu bersifat pasti. Keempat, ucapan itu tidak diikuti oleh syarat
yang membatalkan. Apabila semua persyaratan diatas dapat terpenuhi maka penguasaan
atas tanah wakaf bagi penerima wakaf adalah sah. Pewakaf tidak dapat lagi menarik
balik pemilikan harta itu telah berpindah kepada Allah dan penguasaan harta tersebut
adalah orang yang menerima wakaf secara umum ia dianggap pemiliknya tapi bersifat
ghaira tammah.

E. Harta Benda Wakaf Dan Badan Wakaf Di Indonesia

Harta benda wakaf adalah harta benda dimiliki dan dikuasai oleh pewakaf secara sah dan
merupakan salah satu unsur penting dalam perwakafan. Undang-Undang Nomor 41 Tahun
2004 tentang wakaf menegaskan bahwa salah satu syarat utama yang harus dipenuhi
mengenai harta benda wakaf adalah harta benda yang hendak diwakafkan dimiliki dan
dikuasai oleh pewakaf secara sah.

Dari pengertian di atas dapat dipahami harta benda yang dapat diwakafkan oleh wakif
hanya harta yang nyata-nyata dimiliki dan dikuasai sepenuhnya oleh pewakaf secara sah.
Seorang pewakaf tidak bisa mewakafkan harta yang diperoleh secara sah, akan tetapi tidak
dimilikannya atau dikuasai pada saat itu.

13
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 pasal 16 tentang harta benda wakaf, harta benda
wakaf itu terdiri dari:

a. Benda tidak bergerak.


b. Benda bergerak

Peraturan perundangan perwakafan menegaskan bahwa yang dimaksud dengan benda


tidak bergerak tersebut meliputi: hak atas tanah, hak atas bangunan, hak atas tanaman, hak
milik atas satuan rumah susun dan benda tidak bergerak lain. Sesuai ketentuan peraturan
perundangan-undangan perwakafan, bahwa hak atas tanah yang menjadi objek wakaf tersebut
adalah hak atas tanah sesuai dengan peraturan perundangan baik sudah maupun yang belum
terdaftar. Hak-hak yang sudah terdaftar, misalnya Hak Milik, Hak Guna Bangunan, Hak
Guna Usaha, Hak Pakai. Sedangkan yang belum terdaftar, misalnya Hak Milik Adat, Hak
atas tanah yang dikuasai langsung oleh Negara yang dimiliki seseorang.

Selain hak atas tanah, hak yang dapat diwakafkan adalah ahak atas bangunan atau bagian
bangunan yang berdiri di atas tanah sebagaimana dikemukakan di atas. Misalnya seseorang
memiliki beberapa petak toko di suatu pusat perbelanjaan. Pemilik toko tersebut dapat
mewakafkan satu petak atau beberapa petak dari bangunan toko yang dimilikinya itu.

`Selanjutnya yang dapat diwakafkan oleh seseorang pewakaf adalah tanaman dan benda
lain yang berkaitan dengan tanah. Dalam hal ini yang diwakafkan adalah berupa pohon atau
pokok tanaman yang berada dan tumbuh di atas tanah, sedangkan tanahnya tidak diwakafkan.
Misalnya wakaf pohon kelapa, wakaf pohon sawit, wakaf pohon durian dan lain-lain
sebagainya. Wakaf pohon ini banyak ragamnya, misalnya dengan cara, setiap panen kelapa,
hasil penjualan buah kelapa dari pokok kelapa yang diwakafkan itu diserahkan kepada Nazhir
Mesjid. Hasil penjualan panen buah kelapa tersebut terus diserahkan selama pokok kelapa itu
berbuah atau selama diperlukan.

Selain benda tidak bergerak, benda yang bergerak juga dapat diwakafkan, asalkan saja
benda tersebut tidak habis karena dikonsumsi seperti beras, minyak makan, kue-kuean,
minuman dan barang-barang lainnya yang dapat habis karena dikonsumsi. Pasal 16 ayat (3)
UU Wakaf menegaskan benda-benda bergerak yang dapat diwakafkan adalah berupa uang,
logam mulia, surat berharga, kendaraan, hak atas kekayaan intelektual, hak sewa, dan benda

14
bergerak lain sesuai dengan ketentuan syariah dan peraturan perundang-undangan yang
berlaku[6].

Wakaf berupa benda bergerak misalnya wakaf uang, uang wakaf ini kemudian
diinvestasikan, dan hasil investasi yang diperoleh dipergunakan sesuai dengan kehendak
pewakaf, misalnya untuk membantu fakir miskin, biaya pendidikan dan lain-lain. Wakaf uang
ini potensinya sangat besar, sebab selain pewakaf tidak mesti kaya (karena uang lima ratus
rupiah pun dapat diwakafkan) , juga lebih mudah untuk diinvestasikan. Dengan mudahnya
untuk diinvestasikan tentu akan lebih cepat untuk menghasilkan, kalau wakaf sudah
menghasilkan maka pewakaf akan lebih cepat untuk memperoleh aliran pahala.

Objek wakaf berupa logam mulia, misalnya berupa koin mas, atau barang-barang
perhiasan lainnya. Sedangkan objek wakaf berupa surat berharga misalnya berupa saham di
perusahaan, pada saat perusahaan membagi deviden atas saham-saham, maka dividen atas
saham yang telah diwakafkan dipergunakan sesuai dengan tujuan yang dikemukakan oleh
pewakaf pada saat berwakaf.

Benda bergerak lainnya yang dapat diwakafkan adalah kenderaan, misalnya pemilik
kenderaan mewakafkan kenderaan yang dimilikinya untuk transport anak-anak Panti
Asuhan. Selanjutnya benda bergerak yang dapat diwakafkan adalah hak atas kekayaan
intelektual (HAKI), misalnya seorang pengarang buku, mewakafkan hak cipta yang
dimilikinya atas sebuah buku, selanjutnya royalti yang diperoleh dari penjualan buku tersebut
dimanfaatkan sesuai dengan tujuan wakaf oleh pengarang buku yang telah mewakafkan
haknya.

Selain benda-benda bergerak yang dikemukakan diatas, yang digolongkan kepada benda
bergerak yang dapat diwakafkan adalah hak sewa. Misalnya seseorang pewakaf menyewa
sebuah rumah selama dua tahun, kemudin hak sewa selama dua tahun tersebut diwakafkan
untuk kepentingan tempat tinggal pelajar dan mahasiswa yang sedang menuntut ilmu. Begitu
juga benda-benda bergerak lainnya yang dapat dipergunakan sesuai dengan ketentuan syariah
dan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.

Badan Wakaf Indonesia atau disingkat BWI adalah lembaga independen untuk


mengembangkan perwakafan di Indonesia yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang
Nomor 41 Tahun 2004 tentang wakaf. Berkedudukan di ibu kota Indonesia, Jakarta dan
mempunyai cabang di provinsi dan kabupaten/ kota. Dengan jumlah pengurus paling sedikit

15
20 orang dan paling banyak 30 orang dan di pusat diangkat oleh presiden, sedangkan
keanggotaan BWI di daerah diangkat oleh BWI.

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

16
Wakaf adalah suatu kata yang berasal dari bahasa arab, yaitu waqafa yang berarti
menahan, menghentikan atau mengekang. Dalam bahasa indonesia kata waqaf biasa
diucapkan dengan wakaf dan ucapan inilah yang dipakai dalam perundang-undangan di
indonesia. Dalam istilah syara’ secara umum, wakaf adalah sejenis pemberian yang
pelaksanaannya dilakukan dengan jalan menahan (pemilikan) asal (tahbisul ashli), lalu
menjadikan manfaatnya berlaku umum. Yang dimaksud dengan tahbisul ashli ialah menahan
barang yang diwakafkan itu agar tidak diwariskan, dijual, dihibahkan, digadaikan, disewakan
dan sejenisnya.

Dasar hukum wakaf diambil dari Al-qur’an dan As-sunah dan juga UU No. 41/2004
tentang wakaf pasal 4. Dalam UU No 41/2004 tentang wakaf pasal 4 bahwa tujuan wakaf itu
sendiri adalah untuk memanfaatkan harta benda wakaf sesuai dengan fungsinya, Pasal 5 UU
41/2004 menyatakan bahwa fungsi wakaf adalah mewujudkan potensi dan manfaat ekonomis
harta benda wakaf untuk kepentingan ibadah dan untuk memajukan kesejahteraan umum.
Rukun Wakaf Ada empat rukun yang mesti dipenuhi dalam berwakaf. 

 Pertama, orang yang berwakaf (al-waqif).


 Kedua, benda yang diwakafkan (al-mauquf). 
 Ketiga, orang yang menerima manfaat wakaf (al-mauquf ‘alaihi). 
 Keempat, lafadz atau ikrar wakaf (sighah).

B. Saran

Pada saat pembuatan makalah Penulis menyadari bahwa banyak sekali kesalahan dan
jauh dari kesempurnaan. dengan sebuah pedoman yang bisa dipertanggungjawabkan dari
banyaknya sumber Penulis akan memperbaiki makalah tersebut . Oleh sebab itu penulis
harapkan kritik serta sarannya mengenai pembahasan makalah dalam kesimpulan di atas.

DAFTAR PUSTAKA

http://alfitri-johar.blogspot.com/2011/08/perkembangan-wakaf-di-indonesia.html

17
http://jurnal.uinbanten.ac.id/index.php/tazkiya/article/view/1153

https://www.rumah.com/panduan-properti/tentang-wakaf-hukum-wakaf-jenis-jenis-syarat-
dan-aturan-hukum-

https://www.bwi.go.id/dasar-hukum-wakaf/

https://tabungwakaf.com/sejarah-perkembangan-wakaf-di-indonesia/

https://www.bwi.go.id/4186/2019/12/13/sejarah-awal-mula-wakaf/

 https://bwi.or.id/index.php?option=com_content&view=category&id=49%3Aprofil-
bwi&layout=blog&Itemid=136&lang=in/ 

https://id.wikipedia.org/wiki/Badan_Wakaf_Indonesia

18

Anda mungkin juga menyukai