Anda di halaman 1dari 26

MAKALAH

LEMBAGA WAKAF

Dosen Pengampu : Mawardi, S.,Ag., M.Si,

Disusun Oleh:
Imam Ma’ruf (12020513960)
Mahdalina Priscilla (12020526426)
Medikal Khairi (12020513793)

PROGRAM STUDI EKONOMI SYARIAH


FAKULTAS SYARIAH DAN ILMU
HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGRI
RIA
U
2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan atas ke hadirat Allah SWT atas segala nikmat
dan anugerah yang dilimpahkan, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini
dengan lancar dan sesuai dengan jadwal. Shalawat dan salam tidak lupa kami
curahkan kepada nabi besar Rasulullah Muhammad SAW yang telah membawa
kita semua dari zaman kegelapan hingga zaman yang penuh dengan ilmu
pengetahuan seperti sekarang ini.
Makalah ini berjudul “Lembaga Wakaf”. Hasil makalah ini diharapkan
dapat membantu siswa dalam menyelesaikan tugas dan dapat mempermudah
dalam proses pembelajaran.

Kami menyadari bahwamakalah ini masih jauh dari sempurna karena


kemampuan ilmu serta pengalaman kami yang dimiliki masih rendah, oleh karena
itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran dari pembaca untuk
menyempurnakan makalah ini.

Dalam kesempatan ini kami mengucapkan terimakasih kepada semua pihak


yang telah membantu dalam menyelesaikan makalah ini, semoga apa yang telah
diberikan mempunyai arti tersendiri bagi kami dan bermanfaat bagi kita semua.

Pekanbaru, 10 September 2021

Penyusun (kelompok 3)

i
Daftar Isi

Kata Pengantar...................................................................................i
Daftar Isi..............................................................................................ii
Bab I PENDAHULUAN.....................................................................1
1.1 Latar Belakang........................................................................1
1.2 Rumusan Masalah...................................................................1
1.3 Tujuan......................................................................................2
Bab II PEMBAHASAN........................................................................3
2.1 WAKAF..................................................................................3
2.1.1 Pengertian Wakaf..........................................................3
2.1.2 Sejarah Wakaf...............................................................5
2.1.3 Rukun Dalam Perwakafan.............................................11
2.1.4 Syarat-syarat Untuk Berwakaf......................................13
2.1.5 Macam-macam Wakaf..................................................13
2.1.6 Landasan Hukum Wakaf...............................................14
2.2 BWI (Badan Wakaf Indonesia)...............................................16
2.2.1 Pengertian BWI (Badan Wakaf Indonesia)...................16
2.2.22 Tugan dan Wewenang BWI (Badan Wakaf Indonesia) 16
2.2.3 Sistem Organisasi BWI ( Badan Wakaf Indonesia)......18
2.2.4 Keanggotaan BWI (Badan Wakaf Indonesia)...............19
2.2.5 Pengelolaan dan Pengembangan Harta Benda Wakaf . 19
Bab III PENUTUP..............................................................................21
3.1 Kesimpulan..............................................................................21
Daftar Pustaka....................................................................................23
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Wakaf sangat memliliki manfaat untuk membantu umat kaum muslim
meningkatkan kesejahteraannya yang dimana wakaf digunakan sebagai untuk
sarana penyaluran rezeki untuk kebutuhan sosial ekonomi baik dalam
pendidikan, pelayanan kesehatan, pelayanan sosial dan kepentingan umum,
kegiatan keagamaan, pengembangan ilmu pengetahuan serta dalam peradaban
Islam.
Di Indonesia, wakaf telah dikenal dan dilaksanakan oleh umat Islam sejak
agama Islam masuk di Indonesia. Selain di Indonesia perkembangan Wakaf
di Negara-negara Timur Tengah juga sangat baik, bahkan disana Wakaf di
atur sedemikian rupa sehingga sanat dirasakan manfaatnya bagi masyarakat di
Negara-negara tersebut. Sebagai salah satu Lembaga keagamaan yang erat
hubungannya dengan sosial ekonomi, wakaf telah banyak membantu
pembangunan secara menyeluruh di Indonesia dan berbagai Negara lainnya,
baik dalam pembangunan sumber daya manusia maupun dalam pembangunan
sumber daya sosial. Karena pada kenyataannya, sebagian besar rumah ibadah,
tempat pemakaman, peguruan Islam dan lembaga-lembaga keagamaan Islam
lainnya dibangun di atas tanah wakaf.

Wakaf salah satu bagian yang sangat penting dari hukum Islam. Ia
mempunyai jalinan hubungan antara kehidupan spiritual dengan bidang social
ekonomi masyarakat muslim. Kedudukan wakaf sebagai ibadah diharpkan
sebagai tabungan si wakif di akhirat kelak. Oleh karena itu wajar jika wakaf
dikelompokkan kepada amal jariyah yang tidak putus-putusnya walaupun
wakif telah meninggal dunia.
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1 Apa pengertian wakaf?
1.2.2 Bagaimana sejarah wakaf?
1.2.3 Apa rukun dalam perwakafan?

1
1.2.4 Apa syarat-syarat untuk berwakaf?
1.2.5 Apa macam-macam wakaf?
1.2.6 Bagaimana landasan hukum wakaf?
1.2.7 Apa pengertian BWI (badan wakaf indonesia)?
1.2.8 Apa tugan dan wewenang BWI (Badan Wakaf Indonesia)?
1.2.9 Bagaimana sistem organisasi BWI ( Badan Wakaf Indonesia) ?
1.2.10 Bagaimana keanggotaan BWI (Badan Wakaf Indonesia)?
1.2.11 Bagaimana pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf ?
1.3 Tujuan
1.3.1 Mengetahui Pengertian Wakaf
1.3.2 Mengetahui Sejarah Wakaf
1.3.3 Mengetahui Rukun Dalam Perwakafan
1.3.4 Mengetahui Syarat-syarat Untuk Berwakaf
1.3.5 Mengetahui Macam-macam Wakaf
1.3.6 Mengetahui Landasan Hukum Wakaf
1.3.7 Mengetahui Pengertian BWI (Badan Wakaf Indonesia)
1.3.8 Mengetahui Tugan dan Wewenang BWI (Badan Wakaf Indonesia)
1.3.9 Mengetahui Sistem Organisasi BWI ( Badan Wakaf Indonesia)
1.3.10 Mengetahui Keanggotaan BWI (Badan Wakaf Indonesia)
1.3.11 Mengetahui Pengelolaan dan Pengembangan Harta Benda Wakaf
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 WAKAF
2.1.1 Pengertian Wakaf

Untuk mengetahui pengertian wakaf mulanya kita harus mengetahui


asal dari kata wakaf tersebut, wakaf berasal dari bahasa Arab Waqafa.
Asal kata Waqafa berarti “menahan” atau “berhenti” atau “diam di
tempat” atau tetap berdiri”. Kata Waqafa-Yaqifu-Waqfan sama artinya
dengan Habasa – Yahbisu - Tahbisan. Secara bahasa kata wakaf ( ‫)وقف‬
berarti al-habs (menahan), radiah (tekembalikan), al-tahbis (tertahan)
dan al-man’u (mencegah). Secara istilah wakaf diartikan sebagai suatu
tindakan penahanan barang yang masih ada, dimana seseorang dapat
memanfaatkan atau menggunakan hasilnya untuk tujuan amal, dari
penyerahan dan penggunaan aset tersebut. Wakaf juga dapat diartikan
sebagai harta yang diberikan untuk berbagai tujuan kemanusiaan, yang
dalam penyerahan aset tetap oleh seseorang sebagai bentuk manifestasi
kepatuhan pada agama, sekali untuk selamanya. Dalam pengertian
yang lainnya wakaf yaitu menahan sesuatu benda atau harta yang dapat
diambil manfaatnya untuk digunakkan pada jalan yang diridai Allah
Swt.
Dari beberapa definisi diatas dapat disimpulkan bahwa wakaf
adalah suatu tindakan menyerahkan aset dan menahan diri
memanfaatkannya, untuk dapat dikelola dengan menahan pokoknya,
dan hasilnya dimanfaatkan untuk kepentingan umum sebagai wujud
dari kepatuhan terhadap agama pada jalan yang diridhai Allah Swt.
Para ahli fiqih berbeda dalam mendefinisikan wakaf menurut
istilah, sehingga mereka berbeda pula dalam memandang hakikat
wakaf itu sendiri. Berbagai pandangan tentang wakaf menurut istilah
sebagai berikut:
1. Abu Hanifah
Menurut Abu Hanafiah mengartikan wakaf sebagai shadaqah
yang kedudukannya seperti ‘ariyah, yaitu pinjam-meminjam. Perbedaan
dari kedua arti ini adalah pada bendanya. Dalam ‘ariyah benda ada
ditangan sipeminjam sebagai pihak yang menggunakan dan mengambil
manfaat benda itu. Sedangkan benda dalam wakaf ada ditangan si
pemilik yang tidak menggunakan dan mengambil manfaat dari benda
itu. Dengan demikian benda wakaf itu tetap menjadi milik wakif
sepenuhnya, hanya manfaatnya saja yang disedekahkan.
2. Imam Maliki
Pendapat memiliki perbedaan dari pendapat abu nifah yang
dimana menurut Imam Malik wakaf tidak harus dilembagakan secara
abadi dalam ari muabbad dan boleh saja mesti diwakafkan untuk
tenggang waktu tertentu yang disebut muaqqat. Namun demikian wakaf
itu tidak boleh ditarik ditengah perjalanan. Dengan lain perkataan si
wakif tidak boleh menarik ikrar wakafnya sebelum habis tenggang
waktu yang telah ditetapkan. Disinilah letak kepastian hukumnya dalam
perwakafan menurut Imam Malik, yaitu kepastian hukum yang
mengikat berdasarkan suatu ikrar. Maksud dari Imam Maliki wakaf
disini dengan cari perjanjian atau kontrak dengan menggunakan waktu
yang telah disepakati dengan perjanjian menggunakkan hukum.
3. Imam Syafi’i dan Hambali
Menurut Imam Syafi’i wakaf itu disamakan dengan shadaqah.
Pada dasarnya Syafi’i dan Hambali mempunyai pandangan yang sama
tentang wakaf, baik dalam kedudukannya yang lazim maupun sahnya
wakaf dengan ucapan maupun perbuatannya. Ada beberapa syarat
keabsahan wakaf: pertama benda yang diwakafkan itu dapat diperjual
belikan dan menunjukkan pemanfaatannya secara langsung tanpa
mengalami kerusakkan bendanya. Kedua wakaf mesti ditujukkan untuk
kebaikkan (al-birr), seperti untuk orang – orang miskin, tempat ibadah,
kepentingan umum, jembatan dan lain – lain. Ketiga, wakaf hendaknya
diserahkan kepada orang yang mempunyai hak untuk memiliki sesuatu
yang disebut al-tamalluk. Dengan demikian wakaf tidak sah jika
diberikkan kepada hamba sahaya. Keempat, wakaf mesti dilaksanakan
secara langsung tanpa digantungkan kepada suatu syarat tertentu.
2.1.2 Sejarah Wakaf
Untuk mengetahui asal muasalnya wakaf tersebut, bisa dipahami dari
sejarah mulanya adanya wakaf, yang dimulai dari masa Rasulullah. Untuk
lebih jelasnya sejarah wakaf, yaitu :
1. Masa Rasulullah
Awal mulanya wakaf terjadi pada zaman Rasulullah yang bisa dapat
dilihat dalam sejarah Islam, wakaf dikenal sejak masa Rasulullah SAW
karena wakaf disyariatkan setelah Nabi SAW berhijrah ke Madinah,
pada tahun kedua hijriyah. Di zaman Rasulullah terdapat dua pendapat
para ahli fuqaha’ mengenai siapa yang melaksanakan pertama kali Syariat
wakaf. Menurut beberapa pendapat ulama yang mengatakan bahwa yang
melaksanakan wakaf pertama kali adalah Rasulullah SAW, wakaf yang di
lakukan Rasulullah adalah tanah miliknya sendiri yang digunakan untuk
dibangun masjid. Pendapat ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan
oleh Umar bin Syabah dari ‘Amr bin Sa’ad bin Mu’ad, ia berkata: Sa'ad
bin Muad berkata : “Dan diriwayatkan dari Umar bin Syabah, dari
Umar bin Sa'ad bin Muad berkata : “Kami bertanya tentang mula-
mula wakaf dalam Islam? Orang Muhajirin mengatakan adalah wakaf
Umar, sedangkan orang-orang Ansor mengatakan adalah wakaf
Rasulullah SAW.
Tidak hanya itu Rasulullah juga pernah mewakafkan tujuh kebun
kurma di Madinah yang terjadi pada tahun ketiga hijriah, di antara kebun
kurma tersebut ialah kebon A’raf, Shafiyah, Dalal, Barqah dan kebon
lainnya. Menurut pendapat sebagian ulama mengat akan bahwa yang
pertama kali melaksanakan Syariat wakaf adalah Umar bin Khathab.
Pendapat ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan Ibnu Umar ra. ia
berkata: “Bahwa sahabat Umar ra. meperoleh sebidang tanah di
Khaibar, kemudian Umar ra. Menghadap Rasulullah SAW. untuk
meminta petunjuk. Umar berkata: “Hai Rasulullah SAW., saya mendapat
sebidang tanah di Khaibar, saya belum mendapatkan harta sebaik itu,
maka apakah yang engkau perintahkan kepadaku?” Rasulullah SAW.
bersabda: “Bila engkau suka, kau tahan (pokoknya) tanah itu, dan
engkau sadekahkan (hasilnya). “Kemudian Umar mensadekahkan
(tanahnya untuk dikelola), tidak dijual, tidak dihibahkan dan tidak
diwariskan. Ibnu Umar berkata: “Umar menyedekahkannya (hasil
pengelolaan tanah) kepada orang-orang fakir, kaum kerabat, hamba
sahaya, sabilillah, ibnu sabil dan tamu. Dan tidak dilarang bagi yang
mengelola (nazhir) wakaf makan dari hasilnya dengan cara yang baik
(sepantasnya) atau memberi makan orang lain dengan tidak bermaksud
menumpuk harta.” (HR. Muslim)
Setelah Umar Bin Khattab melaksanakan syariat tentang pewakafan,
kemudian wakaf juga dilaksanakan oleh Abu Thalhah yang mewakafkan
kebun Bairaha miliknya yang merupakan kebun kesayangannya,
Selanjutnya pewakafan dilakukan oleh sahabat Nabi SAW. lainnya,
seperti Abu Bakar yang mewakafkan sebidang tanahnya di Mekkah yang
diperuntukkan kepada anak keturunannya yang datang ke Mekkah.
Utsman menyedekahkan hartanya di Khaibar. Ali bin Abi Thalib
mewakafkan tanahnya yang subur. Setelah itu dilanjutkan oleh Mu’adz
bin Jabal yang dimana ia mewakafkan rumahnya yang dikenal dengan
“Dar al- Anshar”. Kemudian pelaksanaan wakaf disusul oleh Anas bin
Malik, Abdullah bin Umar, Zubair bin Awwam dan ‘Aisyah Istri
Rasulullah SAW.
2. Masa Dinasti-Dinasti Islam
Setelah di zaman Rasulullah pelaksanaan wakaf semakin
berkembang luas pada masa dinasti Umayah dan dinasti Abbasiyah,
semua orang telah berlomba-lomba untuk melaksanakan wakaf, wakaf
dimanfaatkan tidak hanya untuk orang-orang fakir dan miskin , tetapi
juga wakaf menjadi modal untuk membangun untuk kepentingan
bersama yaitu seperti pembangunan lembaga pendidikan, membangun
perpustakaan dan membayar gaji para stafnya, gaji para guru dan
beasiswa untuk para siswa dan mahasiswanya. Pelaksanaan wakaf yang
dilakukan masyarakat ini menjadi suatu keinginaan untuk mengatur
pelaksanaan dalam pengelolaan wakaf sebagai suatu usaha untuk
membangun solidaritas sosial dan ekonomi masyarakat untuk
kesejahteraan negara.
Pelaksanaan wakaf awalnya hanyalah untuk keinginan seseorang
yang dengan kekayaan yang dimilikinya untuk berbuat baik secara
individu untuk dapat mengelolanya dan dikelola secara individu tanpa
ada aturan yang pasti. Setelah masyarakat Islam dapat merasakan
banyak manfaatnya lembaga wakaf, maka mulailah timbul keinginan
untuk pelaksanaan pengaturan perwakafan dengan baik dan kemudian
akan mulai dibentuk lembaga yang mengatur wakaf untuk mengelola,
memelihara dan menggunakan harta wakaf, baik secara umum seperti
masjid atau secara individu atau keluarga.
Dalam pengembangan wakaf pada masa dinasti Umayyah ada
hakim Mesir yang bernama Taubah bin Ghar al-Hadhramiy yang ada pada
masa khalifah Hisyam bin Abd. Malik. Beliau begitu perhatian dan
telah tertarik dengan pengembangan wakaf sehingga terbentuk lembaga
wakaf tersendiri sebagaimana lembaga lainnya di bawah pengawasan
hakim. Di Mesir inilah lembaga wakaf terjadi pertama kali untuk
pelaksanaan dalam administrasi bahkan ini terjadi di seluruh negara Islam.
Dan saat itu juga Hakim Taubah mendirikan lembaga wakaf di Basrah.
Sejak itulah pengelolaan lembaga wakaf di bawah Departemen
Kehakiman yang dikelola dengan baik dan hasilnya disalurkan kepada
yang berhak dan yang membutuhkan.
Lembaga wakaf Shadr al-Wuquuf” yang ada pada masa dinasti
Abbasiyah yang akan mengatur dan mengelola administrasi dan
memilih staf pengelola lembaga wakaf. Beitu juga dalam
perkembangan wakaf pada masa dinasti Umayyah dan Abbasiyah yang
manfaatnya dapat dirasakan oleh masyarakat, sehingga lembaga wakaf
berkembang searah dengan pengaturan administrasinya. Pada masa
dinasti Ayyubiyah di Mesir perkembangan wakaf cukup
menggembirakan, di mana hampir semua tanah-tanah pertanian
menjadi harta wakaf dan semuanya dikelola oleh negara dan menjadi
milik negara (baitul mal).
Saat dalam pemerintahan Mesir Shalahuddin Al-Ayyuby, ia
bertujuan untuk mewakafkan tanah-tanah milik negara yang akan
diserahkannya kepada yayasan keagamaan dan yayasan sosial yang
dimana telah dilakukan oleh dinasti Fathimiyyah sebelumnya,
meskipun secara hukum fiqih mewakafkan harta baitulmal ada
perbedaan pendapat para ulama. Untuk mewakafkan tanah milik negara
(baitul mal) orang harus mewakafkanya terlebih dahulu kepada yayasan
keagamaan dan sosial adalah Raja Nuruddin Asy-Syahid dengan
ketegasan fatwa yang dikeluarkan oleh seorang ulama pada masa itu ialah
Ibnu ‘Ishrun dan didukung oleh para ulama lainnya bahwa mewakafkan
harta milik negara hukumnya boleh (jawaz), dengan argumentasi
(dalil) memelihara dan menjaga kekayaan negara. Oleh karena itu harta
yang menjadi milik negera pada hukumnya tidak boleh diwakafkan
Shalahuddin al-Ayyuby banyak mewakafkan lahan milik negara untuk
kegiatan pendidikan, seperti mewakafkan beberapa desa (qaryah)
untuk pengembangan madrasah mazhab asy-Syafi’iyah, madrasah al-
Malikiyah dan madrasah mazhab al-Hanafiyah dengan dana melalui
model mewakafkan kebun dan lahan pertanian, seperti pembangunan
madrasah mazhab Syafi’iy di samping kuburan Imam Syafi’i dengan
cara mewakafkan kebun pertanian dan pulau al-Fil.
Dalam rangka mengembangkan para ulama dan kepentingan misi
mazhab Sunni Shalahuddin al-Ayyuby menetapkan kebijakan (1178
M/572 H) bahwa bagi orang Kristen yang datang dari Iskandar untuk
berdagang wajib membayar bea cukai. Hasilnya dikumpulkan dan
diwakafkan kepada para ahli yurisprudensi (fuqahaa’) dan para
keturunannya. Wakaf telah menjadi sarana bagi dinasti al-Ayyubiyah
untuk kepentingan politiknya dan misi alirannya, ialah mazhab Sunni
dan mempertahankan kekuasaannya. Harta milik negara yang menjadi
pemasukkan untuk diwakafkan untuk pelaksanaan pengembangan mazhab
Sunni dan untuk menggusur mazhab Syi’ah yang dibawa oleh dinasti
sebelumnya, ialah dinasti Fathimiyah.
Perkembangan wakaf pada masa dinasti Mamluk sangat pesat dan
beraneka ragam, sehingga apapun yang dapat diambil manfaatnya
boleh diwakafkan. Aka tetapi yang paling banyak diwakafkan pada saat
itu ialah tanah pertanian dan bangunan, bangunan yang di wakafkan
seperti gedung perkantoran, penginapan dan tempat belajar. Pada
masa Mamluk terdapat wakaf hamba sahaya yang diwa kafkan untuk
merawat lembaga-lembaga agama. Seperti mewakafkan budak untuk
memelihara masjid dan madrasah. Hal ini dilakukan pertama kali oleh
penguasa dinasti Utsmani ketika menaklukkan Mesir, Sulaiman Basya
yang mewakafkan budaknya untuk merawat masjid.
Manfaat wakaf pada masa dinasti Mamluk digunakan
sebagaimana tujuan wakaf, seperti wakaf keluarga untuk kepentingan
keluarga, wakaf umum untuk kepentingan sosial, membangun tempat
untuk memandikan mayat dan untuk membantu orang-orang fakir dan
miskin. Yang sangat membawa syi’ar Islam adalah wakaf yang
digunakkan untuk sarana di Haramain, ialah Mekkah dan Madinah,
seperti kain Ka’bah (kiswatul ka’bah). Sebagaimana yang dilakukan
oleh Raja Shaleh bin al-Nasir yang membeli desa Bisus lalu
diwakafkan untuk membiayai kiswah Ka’bah setiap tahunnya dan
mengganti kain kuburan Nabi SAW dan mimbarnya setiap lima tahun
sekali.
Perkembangan selanjutnya telah banyak manfaat dari pelaksanaan
wakaf yang akhirnya menjadi sarana untuk membantu dalam roda
ekonomi pada masa dinasti Mamluk mendapat perhatian khusus pada
masa itu meski tidak diketahui secara pasti awal mula disahkannya
undang-undang wakaf. Namun menurut berita dan berkas yang
terhimpun bahwa perundang-undangan wakaf pada dinasti Mamluk
dimulai sejak Raja al-Dzahir Bibers al-Bandaq (1260-1277 M./658-
676 H) di mana dengan undang-undang tersebut Raja al-Dzahir
memilih hakim dari masing-masing empat mazhab Sunni. dimasa al-
Dzahir Bibers perwakafan dibagi menjadi tiga : yang pertama ialah
pendapatan negara dari hasil wakaf yang diberikan oleh penguasa kepada
orang-orang yang dianggap berjasa, dan yang kedua wakaf untuk
membantu Haramain (fasilitas Mekkah dan Madinah) dan yang ketiga
kepentingan masyarakat umum.
Sejak abad lima belas, kerajaan Turki Utsmani dapat
memperluas wilayah kekuasaannya, sehingga Turki dapat menguasai
sebagian besar wilayah negara Arab. Kekuasaan politik yang diraih
oleh dinasti Utsmani secara otomatis mempermudah untuk
menerapkan Syari’at Islam, di antaranya ialah peraturan tentang
perwakafan. Di antara undang-undang yang dikeluarkan pada masa
dinasti Utsmani ialah peraturan tentang pembukuan pelaksanaan wakaf,
yang dikeluarkan pada tanggal 19 Jumadil Akhirtahun 1280 Hijriyah.
Undang-undang tersebut mengatur tentang pencatatan wakaf, sertifikasi
wakaf, cara pengelolaan wakaf, upaya mencapai tujuan wakaf dan
melembagakan wakaf dalam upaya realisasi wakaf dari sisi
administratif dan perundang-undangan.
Pada tahun 1287 Hijriyah dikeluarkan undang-undang yang
menjelaskan tentang kedudukan tanah-tanah kekuasaan Turki Utsmani
dan tanah-tanah produktif yang berstatus wakaf. Dari implementasi
undang-undangtersebut di negera-negara Arab masih banyak tanah
yang berstatus wakaf dan diperaktekkan sampai saat sekarang.
Pada masa perkembangan sejarahnya yang dimulai pada masa
Rasulullah, masa kekhalifahan dan masa dinasti-dinasti Islam sampai
sekarang , pelaksanaan wakaf masih d lakukan dari waktu ke waktu di
seluruh negeri muslim, termasuk di Indonesia. Kenyataan ini dapat
terlihat bahwa lembaga wakaf yang berasal dari agama Islam ini
telah bisa diterima menjadi hukum adat bagi bangsa Indonesia sendiri.
Yang telah banyak diketahui dari kenyataan pula bahwa di Indonesia
terdapat banyak benda wakaf, baik wakaf benda bergerak atau benda tak
bergerak.
Dapat kita amati bahwa di negara-negara muslim lainnya, wakaf
mendapat perhatian yang cukup sehingga wakaf menjadi amal sosial
yang mampu memberikan manfaat kepada masyarakat banyak. Dalam
perkembangan sejarah wakaf yang akan terus semakin berkembang dengan
perkembangan perubahan jaman dengan berbagai memberikan inovasi
dalam pembentukkan wakaf, seperti wakaf tunai, wakaf HAKI dan lain-
lain. Di Indonesia sendiri, saat ini wakaf mendapat perhatian yang
cukup serius dengan (akan) dikeluarkannya Undang-undang Wakaf
sebagai upaya pengintegrasian terhadap beberapa peraturan
perundangundangan wakaf yang terpisah-pisah.
2.1.3 Rukun Dalam Wakaf

1. Pewakaf (wakif)
“Orang yang mewakafkan hartanya, dalam istilah hukum Islam disebut
wakif. Seorang wakif haruslah memenuhi syarat untuk mewakafkan
hartanya, diantaranya adalah kecakapan bertindak, telah dapat
mempetimbangkan baik buruknya perbuatan yang dilakukannya dan
benar-baner pemilik harta yang diwakafkan itu. Mengenai kacakapan
bertindak, dalam hokum fikih Islam ada dua istilah yang perlu dipahami
perbedaannya yaitu baligh dan rasyid. Pengertian baligh
menitikberatkan pada usia, sedangkan rasyid pada kematangan
pertimbangan akal” menurut A.A. Basyir

“Apabila seorang wakif berada dalam keadaan sakit parah keika


mewakafkan hartanya, perbuatan itu dapat dikiyaskan pada wasiat yang
akan berlaku setelah ia meninggal dunia dan jumlahnya tidak boleh
melebihi sepertiga dari jumlah harta kekayaannya, kecuali perwakfan
itu disetujui oleh ahli warisnya. Seorang wakif tidak boleh mencabut
kembali wakafnya dan tidak boleh menuntut agar harta yang sudah
diwakafkan dikembalikan ke dalam hak miliknya. Agama yang dipeluk
seseorang tidak menjadi syarat bagi seorang wakif, artinya seorang
nonmuslim pun boleh berwakaf asal tujuannya tidak bertentangan
dengan ajaran Islam” menurut A. Wasit Aulaw.

2. Harta yang Diwakafkan (Mauquf)


Syarat dari harta yang akan diwakafkan adalah : (a) harus tetap
zatnya dan dapat dimanfaatkan untuk jangka waktu yang lama, tetapi
haruslah dimanfaatkan untuk hal-hal yang berguna, halal dan sah
menurut hukum. (b) harta yang diwakafkan haruslah jelas wujudnya
dan batas-batasnya (misal yang diwakafkan adalah tanah). (c) harta
yang diwakafkan harus benar-benar kepunyaan wakif dan bebas dari
beban hutang orang lain. (d) harta yang diwakafkan dapat berupa benda
mati maupun benda bergerak (misal saham atau surat-surat berharga
lainnya).

3. Tujuan Wakaf (Mauquf ‘alaih)


Dalam tujuan harus tercermin siapa yang berhak atas wakaf,
misalnya (a) untuk kepentingan umum, seperti (tempat) mendirikan
masjid, sekolah, rumah sakit, dll. (b) untuk menolong fakir-miskin,
anak yatim seperti mendirikan panti asuhan,dll. (c) tujuan wakaf tidak
boleh bertentangan dengan nilai-nilai Ibadah seperti mewakafkan
tanahnya untuk kuburan, pasar, lapangan olah raga, dll

4. Lafal atau pernyataan (sighat) wakif


Pernyataan wakif yang merupakan tanda penyerahan barang atau
benda yang diwakafkan, dapat dilakukan dengan lisan atau tulisan.
Dengan pernyataan tersebut, hilanglah hak wakif terhadap bend yang
diwakafkannya. Dengan pernyataan wakif yang merupakan ijab
perwakafan telh terjadi, sedangkan pernyataan qabul dari mauquf
‘alaih
yakni orang yang berhak manikmati hasil wakaf itu tidak diperlukan,
artinya dalam wakaf hanya ada ijab tanpa ada qabul

Contoh lafal yang diucapkan wakif saat perwakafan : “saya


wakafkan tanah milik saya seluas 200 meter persegi ini, agar dibangun
Masjid di atasnya”. Pada lafal wakaf tidak boleh ada unsur ta’lik
(syarat), karena maksud dari wakaf adalah pamindahan kepemilikan
untuk selamanya bukan untuk sementara. Contoh lafal wakaf yang tidak
sah : “saya wakafkan tanah sawah milik saya kepada para fakir miskin
selama satu tahun”

2.1.4 Syarat-syarat Untuk Berwakaf


Syarat-syarat sahnya perwakafan sesorang adalah sebagai berikut :
1 Perwakafan benda itu tidak dibatasi oleh waktu tertentu melainkan
selamanya.
2 Tujuannya harus jelas dan disebutkan ketika mengucapkan ijab.
3 Wakaf harus segera dilaksanakan segera setelah ikrar wakaf dinyatakan
oleh wakif dn tidak boleh menggantungkan pelaksanaannya, jika
pelaksanaan wakaf tertuda hingga wakif meninggal dunia, hukum yang
berlaku adalah wasiat yang kemudian syaratnya, harta yang diwakafkan
tidak boleh lebih dari sepertiga harta peninggalan.
4 Wakaf yang sah wajib dilaksanakan, karena ikrar wakaf oleh wakif
berlaku seketika dan selama-lamanya.
5 Perlu dikemukakan syarat yang dikeluarkan oleh wakif atas harta yang
diwakafkannya, artinya seorang wakif berhak memberikan syarat akan
diapakan harta yang ia wakafkan selama tidak bertentangan dengan
hukum Islam
2.1.5 Macam-macam Wakaf

1. Wakaf Keluarga atau Wakaf Ahli atau Wakaf Khusus


Wakaf Keluarga atau Wakaf Ahli atau Wakaf Khusus adalah wakaf
yang diperuntukkan bagi orang-orang tertentu, seorang atau lebih,
baik keluarga maupun orang lain. “Dibeberapa Negara Timur
Tengah wakaf semacam ini menimbulkan banyak masalah terutama
jika wakaf tersebut berupa tanah pertanian sering kali terjadi
penyalahgunaan seperti : (a) menjadikan wakaf keluarga ini sebagai
alat untuk menghidari pembagian harta kekayaan pada ahli waris
yang berhak menerimanya, setelah wakif meninggal dunia. (b) wakaf
keluarga ini dijadikan alat untuk mengelak dari tuntutan kreditor
terhadap hutang-hutang yang dibuat oleh seseorang, sebelum ia
mewakafkan tanahnya itu. Maka dari itu di beberapa Negara wakaf
keluarga ini dihapuskan seperti di Mesir tahun 1952 wakaf ini
dihapuskan karena praktek-praktek penyimpangan yang tidak sesuai
ajaran Islam. Selain itu di Indonesia harta pusaka suku Minangkabau
memiliki cirri-ciri seperti wakaf keluarga, harta pusaka tersebut
dipertahankan tidak dibagi-bagi atau diwariskan kepada keturunan
secara individual, karena diperuntukkan bagi kepentingan keluarga”,

2. Wakaf Umum atau Wakaf Khairi


Wakaf Umum atau Wakaf Khairi adalah wakaf yang
diperuntukkan bagi kepentingan atau kemaslahatan umum, yang
sifatnya sebagai lembaga kaegamaan dan lembaga sosial dalam
bentuk Masjid, madrasah, pesantren, rumah sakit, dll. Wakaf umum
inilah yang paling sesuuai dengan ajaran Islam dan sangat dianjurkan
karena bagi yang menjalankannya akan memperoleh pahala yang
terus mengalir.
2.1.6 Landasan Hukum Wakaf
Wakaf merupakan salah satu bentuk ibadah yang nilainya lebih
dominan pada ibadah sosial. Hal ini berarti juga merupakan salah satu jenis
dari beberapa jenis ibadah serupa, seperti amal shaleh, sedekah, infak dan
lainnya, yang kesemuanya itu merupakan bentuk charity (charitable
endowmens). Pada dasarnya Al-Qur’an tidak pernah menyebut secara jelas
tentang wakaf. Namun demikian ada beberapa ayat yang biasanya dijadikan
landasan hukum wakaf oleh para ulama, Diantaranya adalah dalam surah al-
Hajj ayat 77, Allah berfirman :

‫د َ ْ وا ْف خ َل تُ ْف ح ْون‬aُ‫واعب‬ ‫ْوا‬ ‫وا ْو‬aُ‫ ُّي ها ن امن‬aَ‫ ٰٓا‬at‫ي‬


‫وا ا ْل ْي َعل ِل‬aُ‫ْوا ّب م َعل‬ ُ
‫واسجد‬ ُ‫ار ا كع‬ ‫الَّ ِذ ْي‬
‫ّر ك‬ ‫ر‬
‫ْم‬ ‫ك‬

Artinya: Wahai orang-orang yang beriman! Rukuklah, sujudlah, dan


sembahlah Tuhanmu; dan berbuatlah kebaikan, agar kamu beruntung.

Sedangkan dalam hadis yang menunjukkan landasan wakaf, seperti


sabda nabi yang artinya :
"Jika manusia mati maka terputuslah semua amalnya kecuali tiga:
sedekah jariah (yang terus meneruskan), ilmu yang bermanfaat dan
anak sholeh yang mendoakan kepadanya”. (HR. Muslim).

Hadis yang lain yang juga sangat populer digunakan adalah hadis yang
diriwayatkan oleh Bukhori dan Muslim dari Ibn Umar : “Umar mempunyai
tanah di Khaibar, kemudian dia datang kepada Rasulullah aku memiliki
sebidang tanah di Khaibar, tetapi aku belum mengambil manfaatnya,
bagaimana aku harus berbuat untuk itu?” Nabi Bersabda: Jika kamu
menginginkannya tahanlah itu dan shadaqahkan hasilnya. Tanah tersebut
tidak boleh dijual atau diperjual belikan, dihibahkan atau diwariskan. Umar
menshadaqahkannya kepada fakir miskin, karib kerabat dan ibn sabil.”
Dari dalil - dalil diatas tersebut dapat kita pahami menurut para ahli
hadis dan ahli-ahli fiqh mengidentikkan wakaf sama dengan shadaqah jariyah
sebagimana yang telah disebutkan dalam ayat dan hadis diatas. Hal ini
dikarenakan shadaqah jariyah adalah amalan yang pahalanya terus mengalir
sehingga dipersamakan dengan amal wakaf. Yang dimana wakaf disini
mempunyai banyak manfaat untuk banyak orang. Adapun status hukum wakaf
itu dalam agama adalah tidak wajib tetapi mandub atau sunnah.
2.2 BWI ( Badan Wakaf Indonesia)
2.2.1 Pengertian BWI (Badan Wakaf Indonesia)

Kelahiran Badan Wakaf Indonesia (BWI) merupakan perwujudan


amanat yang digariskan dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004
tentang wakaf. Kehadiran BWI, sebagaimana dijelaskan dalam pasal 47,
adalah untuk memajukan dan mengembangkan perwakafan di Indonesia.
Untuk kali pertama, Keanggotaan BWI diangkat oleh Presiden Republik
Indonesia, sesuai dengan Keputusan Presiden (Kepres) No. 75/M tahun 2007,
yang ditetapkan di Jakarta, 13 Juli 2007. Jadi, BWI adalah lembaga
independen untuk mengembangkan perwakafan di Indonesia yang dalam
melaksanakan tugasnya bersifat bebas dari pengaruh kekuasaan manapun,
serta bertanggung jawab kepada masyarakat.
BWI berkedudukan di ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia
dan dapat membentuk perwakilan di Provinsi dan/atau Kabupaten/Kota sesuai
dengan kebutuhan. Dalam kepengurusan, BWI terdiri atas Badan Pelaksana
dan Dewan Pertimbangan, masing-masing dipimpin oleh oleh satu orang
Ketua dan dua orang Wakil Ketua yang dipilih dari dan oleh para anggota.
Badan pelaksana merupakan unsur pelaksana tugas, sedangkan Dewan
Pertimbangan adalah unsur pengawas pelaksanaan tugas BWI.
2.2.2 Tugan dan Wewenang BWI (Badan Wakaf Indonesia)

Sementara itu, sesuai dengan UU No. 41/2004 Pasal 49 ayat 1


disebutkan, BWI mempunyai tugas dan wewenang sebagai berikut:
1. Melakukan pembinaan terhadap nazhir dalam mengelola
dan mengembangkan harta benda wakaf.
2. Melakukan pengelolaan dan pengembangan harta benda
wakaf berskala nasional dan internasional.
3. Memberikan persetujuan dan atau izin atas perubahan peruntukan
dan status harta benda wakaf.

4. Memberhentikan dan mengganti nazhir.

5. Memberikan persetujuan atas penukaran harta benda wakaf.


6. Memberikan saran dan pertimbangan kepada Pemerintah
dalam penyusunan kebijakan di bidang perwakafan.

Pada ayat 2 dalam pasal yang sama dijelaskan bahwa dalam


melaksanakan tugasnya BWI dapat bekerjasama dengan instansi
Pemerintah baik Pusat maupun Daerah, organisasi masyarakat, para ahli,
badan internasional, dan pihak lain yang dianggap perlu. Dalam
melaksanakan tugas-tugas itu BWI memperhatikan saran dan
pertimbangan Menteri dan Majelis Ulama Indonesia, seperti tercermin
dalam pasal 50. Terkait dengan tugas dalam membina nazhir, BWI
melakukan beberapa langkah strategis, sebagaimana disebutkan dalam PP
No.4/2006 pasal 53, meliputi:
1. Penyiapan sarana dan prasarana penunjang operasional Nazhir
wakaf baik perseorangan, organisasi dan badan hukum.
2. Penyusunan regulasi, pemberian motivasi, pemberian fasilitas,
pengkoordinasian, pemberdayaan dan pengembangan terhadap harta
benda wakaf.
3. Penyediaan fasilitas proses sertifikasi Wakaf.
4. Penyiapan dan pengadaan blanko-blanko AIW, baik wakaf benda
tidak bergerak dan/atau benda bergerak.
5. Penyiapan penyuluh penerangan di daerah untuk melakukan
pembinaan dan pengembangan wakaf kepada Nazhir sesuai dengan
lingkupnya.
6. Pemberian fasilitas masuknya dana-dana wakaf dari dalam dan
luar negeri dalam pengembangan dan pemberdayaan wakaf.

Tugas-tugas itu, tentu tak mudah diwujudkan. Jadi, dibutuhkan


profesionalisme, perencanaan yang matang, keseriusan, kerjasama, dan
tentu saja amanah dalam mengemban tanggung jawab. Untuk itu, BWI
merancang visi dan misi, serta strategi implementasi. Visi BWI adalah
“Terwujudnya lembaga independen yang dipercaya masyarakat,
mempunyai kemampuan dan integritas untuk mengembangkan perwakafan
nasional dan internasional”. Sedangkan misinya yaitu “Menjadikan Badan
Wakaf Indonesia sebagai lembaga profesional yang mampu mewujudkan
potensi dan manfaat ekonomi harta benda wakaf untuk kepentingan ibadah
dan pemberdayaan masyarakat”.
2.2.3 Sistem Organisasi BWI ( Badan Wakaf Indonesia)

Organisasi BWI Badan Wakaf Indonesia terdiri atas dua unsur yakni
Badan pelaksana dan dewan pertimbangan. Badan pelaksana merupakan
unsur pelaksanaan tugas Badan Wakaf Indonesia, sedangkan dewan
pertimbangan merupakan unsur pengawas pelaksanaan tugas Badan Wakaf
Indonesia. Ketentuan yang mengatur memberikan peluang kepada anggota
Badan Wakaf Indonesia untuk berijtihad dalam mengatur diri mereka
sendiri dikarenakan badan pelaksanaan dan dewan pertimbangan Badan
Wakaf Indonesia masing-masing dipimpin oleh satu orang ketua dan dua
orang wakil ketua yang dipilih dari dan oleh para anggota sedangkan
susunan keanggotaannya ditetapkan oleh para anggota.
Sesuai dengan aturan Undang-Undang tentang batasan minimum
dan batasan maksimum keanggotaan Badan Wakaf Indonesia menyatakan
bahwasannya jumlah minimum anggota untuk Badan Wakaf Indonesia
yakni 20 (dua puluh) orang, sedangkan batasan maksimumnya adalah 30
(tiga puluh) orang yang berasal dari unsur masyarakat.
Badan Wakaf Indonesia memiliki kewenangan untuk menentukan
persyaratan-persyaratan yang dianggap perlu selain dari persyaratan
pokok. Adapun syarat-syarat pokok bagi calon anggota Badan Wakaf
Indonesia sesuai dengan Undang-Undang yakni:
a. Warga Negara Indonesia
b. Beragama Islam
c. Dewasa
d. Amanah
e. Mampu secara jasmani dan rohani
f. Tidak terhalang melakukan perbuatan hukum
g.Memiliki pengetahuan, kemampuan, dan/atau pengalaman di bidang
perwakafan dan/atau ekonomi, khususnya di bidang ekonomi
syariah
h. Mempunyai komitmen yang tinggi untuk mengembangkan perwakafan
nasional.
2.2.4 Keanggotaan BWI (Badan Wakaf Indonesia)
Dalam hal masa bakti Keanggotaan Badan Wakaf Indonesia hal ini
melibatkan Presiden. Dikatakan demikian dikarenakan sesuai dengan
ketentuan Undang-Undang bahwasannya pengangkatan dan
pemberhentian keanggotaan Badan Wakaf Indonesia dilakukan oleh
presiden. Namun ketika kita berbicara perwakilan Badan Wakaf Indonesia
di daerah, semua itu tidak bicara lagi presiden dikarenakan Keanggotaan
Perwakilan Badan Wakaf Indonesia di daerah diangkat dan diberhentikan
oleh Badan Wakaf Indonesia.
Adapun Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengangkatan
dan pemberhentian anggota sebagaimana yang telah di maksud, semuanya
telah diatur oleh peraturan Badan Wakaf Indonesia. Keanggotaan Badan
Wakaf Indonesia diangkat untuk masa jabatan selama 3 (tiga) tahun dan
dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan. Untuk pertama
kali, pengangkatan keanggotaan Badan Wakaf Indonesia diusulkan kepada
Presiden oleh Menteri Agama. Namun setelah itu Pengusulan
pengangkatan keanggotaan Badan Wakaf Indonesia kepada Presiden untuk
selanjutnya dilaksanakan oleh Badan Wakaf Indonesia. Ketentuan
mengenai tata cara pemilihan calon keanggotaan Badan Wakaf Indonesia
sebagaimana yang dimaksud, seluruhnya diatur oleh Badan Wakaf
Indonesia yang penting pelaksanaannya terbuka untuk umum.
2.2.5 Pengelolaan dan Pengembangan Harta Benda Wakaf

Dalam pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf nazhir


wajib mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf sesuai dengan
tujuan, fungsi dan peruntukannya serta melaksanakannya sesuai dengan
prinsip syariah dan dilakukan secara produktif. Dalam pengembangan
harta benda wakaf diperlukan penjamin yaitu dari lembaga penjamin
syariah,
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

wakaf adalah suatu tindakan menyerahkan aset dan menahan diri


memanfaatkannya, untuk dapat dikelola dengan menahan pokoknya, dan
hasilnya dimanfaatkan untuk kepentingan umum sebagai wujud dari
kepatuhan terhadap agama pada jalan yang diridhai Allah Swt.
Sejarah wakaf dimulai dari masa rasulullah yang dimana rasulullah
sendiri yang mewakafkan tanah miliknya untuk membangun mesjid dan
beberapa kebun yang ia miliki.

Hukum wakaf berlandasan dengan Al-Qur’an dan Hadis yang dimana


hukum wakaf senidri tidaklah wajib melainkan sunnah.

Ada dua macam wakaf yaitu wakaf ahli yang merupakan wakaf yang
diberikan untuk ahli waris keluarga dan wakaf khairi yaitu yang diberikan
untuk kepentingan umum.

Ada empat rukun wakaf, yaitu wakif, mauquf, mauquf ‘alaih,dan shighat
wakaf.

Badan Wakaf Indonesia adalah lembaga yang berkedudukan


sebagai media untuk memajukan dan mengembangkan perwakafan
Nasional. Badan Wakaf Indonesia merupakan lembaga wakaf yang
bersifat nasional selain bertugas mengkoordinasikan para nazhir, Badan
Wakaf Indonesia pun memprakarsai kerja sama antar nazhir, dengan
demikian mereka dapat saling tolong menolong dalam pengelolaan wakaf.

Dalam kepengurusan, BWI terdiri atas Badan Pelaksana dan


Dewan Pertimbangan, masing-masing dipimpin oleh oleh satu orang Ketua
dan dua orang Wakil Ketua yang dipilih dari dan oleh para anggota. Badan
pelaksana merupakan unsur pelaksana tugas, sedangkan Dewan
Pertimbangan adalah unsure pengawas pelaksanaan tugas BWI.
DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Syalaby, Sejarah Pendidikan Islam, terj. Mukhtar Yahya dan sanusi latif,
Jakarta: Bulan Bintang, 1978
Ali, M. D, Sistem Ekonomi Islam Zakat dan Wakaf. Jakarta: UI-Press, 1988
Asnil Aidah Ritonga, Pendidikan Islam dalam Buaian Arus Sejarah,
Bandung: Citapustaka Media Perintis, 2008

Depag. 2006, Peraturan Perundangan Perwakafan, Jakarta: Direktorat Jendral


Bimbingan Masyarakat Islam
Halim, Abdul. 2005, Hukum Perwakafan di Indonesia, Jakarta: Ciputat Press.
PP NO. 42/2006 tentang UU NO. 41/2004 tentang Wakaf

UU NO. 41/2004 tentang Wakaf

Anda mungkin juga menyukai