Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH

AKUNTANSI SYARIAH
Tentang
WAKAF

Di susun oleh :
1. Nia Rosdianti (A1C017111)
2. Novian Hidayat (A1C017166)
3. Silvia Rahil (A1C017149)
4. Titania Ayuda Ilham (A1C017157)

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS


UNIVESITAS MATARAM
2020/2021
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah segala puji tidak lupa kita ucapkan kepada Allah SWT yang
masih memberikan kesehatan dan kesempatan kepada kami, sehingga dengan kesehatan
dan kesempatan itu kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik. Sholawat beserta
salam kami sampaikan kepada Nabi Besar Muhammad SAW, karena dengan
syafa’atnyalah kita bisa diringankan dalam memperoleh ridho Allah sehingga bisa masuk
ke dalam surga Allah.
Kami  menyadari bahwa  makalah ini masih kurang dari kata sempurna dan
masih banyak kekurangan di dalamnya. Oleh sebab itu dengan penuh rendah hati kami
mohon agar kami diberikan kritik dan saran yang membangun
guna menyempurnakan tugas ini .
Dengan   segala   kekurangan   dan   keterbatasan,   semoga  makalah   ini
dapat bermanfaat bagi penulis maupun pembaca, Amin.

Mataram, 01 April 2020

Kelompok 7
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR........................................................................................................
DAFTAR ISI.......................................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN...................................................................................................
1.1. Latar Belakang.......................................................................................................
1.2. Rumusan Masalah..................................................................................................
1.3. Tujuan Penulisan.....................................................................................................
BAB II PEMBAHASAN..................................................................................................
2.1. Sejarah Wakaf dan Dasar Hukum Wakaf..................................................................
2.2. Pengertian Wakaf......................................................................................................
2.3. Rukun Wakaf dan Dasar - dasar Syariah...................................................................
2.4. Syarat - syarat Wakaf................................................................................................
2.5. Jenis – jenis Wakaf ...................................................................................................
2.6. Pengurus Wakaf.........................................................................................................
2.7. Perubahaan Status, Penggantian Benda dan Tujuannya............................................
2.8. Sasaran dan Tujuan Wakaf........................................................................................
2.9. Ketentuan Bagi Pengelolaan Wakaf..........................................................................
2.10. Akuntansi Lembaga Wakaf.....................................................................................
2.11. Permasalahaan dalam Praktik Permasalahan..........................................................
2.12. Penerapan Wakaf di Indonesia................................................................................
BAB III PENUTUP .........................................................................................................
3.1. Kesimpulan................................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Dalam Islam telah mengatur seluruh aspek kehidupan umatnya, seperti yang
berkaitan dengan konteks amal ibadah pokok seperti shalat, selain itu islam juga
mengatur hubungan sosial kemasyarakatan maupun dalam hal pendistribusian
kesejahteraan (kekayaan) dengan cara menafkahkan harta yang dimiliki demi
kesejahteraan umum seperti adanya perintah zakat, infaq, shadaqah, qurban, hibah dan
wakaf.

Di Indonesia yang mayoritas masyarakatnya adalah umat Islam yang beberapa


diantaranya telah mengenal wakaf dengan baik . Potensi wakaf sebagai salah satu sumber
dana publik mendapat perhatian cukup dari masyarakat. Hal ini dapat dibuktikan dengan
banyaknya bermunculan lembaga-lembaga amal yang salah satu peranannya adalah
mengelola dana umat, dalam hal ini termasuk wakaf. Dengan adanya pengelolaan wakaf
dari lembaga lembaga amal diharapkan wakaf dapat memajukan kesejahteraan
umum.Pada  umumnya wakaf diartikan dengan memberikan harta secara sukarela  untuk
digunakan bagi kepentingan umum dan memberikan manfaat bagi orang banyak seperti
untuk masjid, mushola, sekolah, dan lain-lain. Dengan seiring berjalannya waktu wakaf
nantinya tidak hanya menyediakan sarana ibadah dan sosial tetapi juga memiliki kekuatan
ekonomiyang berpotensi antara lain untuk memajukan kesejahteraan umum, sehingga
perlu  dikembangkan pemanfaatannya sesuai dengan prinsip syariah.

Saat ini definisi wakaf lebih mudah dipahami, yaitu wakaf diartikan sebagai
perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda
miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan
kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syariah.
Lalu pengertian harta benda wakaf sendiri juga mengalami perubahanmaksud yang lebih
mudah, yaitubahwa  harta benda wakaf ialah harta benda yang diwakafkan oleh wakif,
yang memiliki daya tahan lama dan/atau manfaat jangka panjang serta mempunyai nilai
ekonomi menurut syariah. Harta benda wakaf tersebut dapat berupa  harta benda tidak
bergerak maupun yang  bergerak.

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana Sejarah wakaf,dan dasar hukum wakaf

2. Apa pengertian dari wakaf menurut berbagai sumber ?


3. Jalaskan mengenai Rukun Wakaf dan dasar- dasar syariah?
4. Sebutkan dan jelaskan Syarat-syarat Wakaf?
5. Apa sajakah jenis-jenis Wakaf?
6. Jalaskan tentang Pengurus Wakaf dan apa saja tugas dari pengurus wakaf?
7. Bagaimana status harta wakaf jika terjadi Perubahan Status, Penggantian Benda
dan Tujuan perwakafan?
8. Apa sasaran dan tujuan wakaf?
9. Apa saja ketentuan bagi pengelola wakaf?
10. Bagaimana akuntansi lembaga wakaf?
11. Apa sajakah permasalahan dalam praktik perwakafan?
12. Bagaimana proses penerapan Wakaf di Indonesia?

1.3 Tujuan Penulisan


1. Dapat mengetahui Sejarah Wakaf dan dasar hukum wakaf
2. Pengertian dari wakaf menurut berbagai sumber.
3. Dapat mengetahui Rukun wakaf dan dasar- dasar syariah
4. Mengetahui Syarat-syarat untuk berwakaf.
5. Mengetah jenis-jenis wakaf.
6. Mengetahui tentang Pengurus Wakaf dan apa saja tugas dari pengurus wakaf
7. Mengetahui status harta wakaf jika terjadi Perubahan Status, Penggantian Benda
dan Tujuan perwakafan?
8. Mengetahui sasaran dan tujuan wakaf
9. Mengetahui Apa saja ketentuan bagi pengelola wakaf
10. Mengetahui akuntansi lembaga wakaf
11. Mengetahui permasalahan dalam praktik perwakafan
12. Mengetahui proses penerapan Wakaf di Indonesia

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Sejarah Wakaf dan Dasar Hukum Wakaf


Esensi wakaf pada dasarnya telah dilakukan oleh umat- umat terdahulu, termasuk
dikalangan non muslim. Hanya saja apa yang dilakukan oleh umat terdahulu tersebut
bukan untuk mendapat keridaan Allah melainkan persembahan untuk kepercayaan
mereka. Kondisi ini menjadi penyebab ulama besar seperti Imam Syafi’I menyatakan
bahwa tidak ada wakaf sebelum umat islam. Sejarah wakaf dibagi dalam dua kelompok
yaitu : masa Rasulullah dan para sahabat, dan masa dinasti-dinasti Islam.

1. Masa Rasulullah dan para Sahabat.


Para ahli fikih berbeda pendapat tentang siapa yang melakukan wakaf pertama
kali, sebagian mengatakan bahwa wakaf dilakukan oleh Rasulullah atas pembangunan
masjid, dan sebagian lagi mengatakan dilakukan oleh sahabat Umar atas tanahnya di
Khaibar. Rasulullah pernah mewakafkan tujuh kebun kurma di Madinah, selanjutnya
disusul oleh para sahabat lainnya, seperti : Abu Thalhah yang mewakafkan kebunnya,
Abu Bakar yang mewakafkan sebidang tanahnya di Mekah, Utsman bin Affan
menyedekahkan hartanya di Khaibar, Ali Bin Abi Thalib mewakafkan tanahnya yang
subur, Muadz bin Jabal mewakafkan rumahnya. Kemudian pelaksanaan wakaf disusul
oleh Anas bin Malik, Abdullah bin Umar, Zubair bin Awwan dan ‘Aisyah istri Rasulullah
SAW.

2. Masa dinasti-dinasti Islam.


Pada masa dinasti Umayyah dan Abbasiyah, pelaksanaan wakaf menjadi lebih
luas lagi, yaitu untuk turut membangun solidaritas umat dan ekonomi masyarakat.Pada
dinasti Abbasiyah, pengelolaan wakaf baik secara administrasi dan independen dilakukan
oleh lembaga disebut dengan”shadr al-wuquf”.Pada masa Ayyubiyah, terjadi lompatan
besar dalam berwakaf. Dinasti utsmani, yang menguasai sebagian besar wilayah Negara
Arab, menerapkan syariah islam dengan lebih mudah termasuk mengatur tentang wakaf
yang mulai diberlakukan pada tanggal 19 Jumadil Akhir tahun 1280 H (1859 M).
Selanjutnya tahun 1287 H (1866 M) dikeluarkan Undang-undang yang menjelaskan
tentang kedudukan dan tanah-tanah kekuasaan Turki Utsman dan tanah produktif yang
berstatus wakaf.Dari implementasi undang-undang tersebut di Negara-negara Arab masih
banyak tanah yang berstatus wakaf dan dipraktikan sampai sekarang.

 Dasar Hukum Wakaf :

Secara umum tidak terdapat ayat al-Quran yang menerangkan konsep wakaf
secara jelas. Oleh karena wakaf termasuk infaq fisabilillah, maka dasar yang digunakan
para ulama dalam menerangkan konsep wakaf ini didasarkan pada keumuman ayat-ayat
al - Quran yang menjelaskan tentang infaq fi sabilillah.
Artinya : "Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari
hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi
untuk kamu. dan janganlah kamu memilih yang burukburuk lalu kamu menafkahkan
daripadanya, Padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan
memincingkan mata terhadapnya. dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha
Terpuji."(Q.S al-Baqarah:267). Artinya : "Kamu sekali-kali tidak sampai kepada
kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sehahagian harta yang kamu
cintai. dan apa saja yang kamu nafkahkan Maka Sesungguhnya Allah mengetahuinya."
(Q.S ali Imran: 92).

2.2 Pengertian Wakaf


Menurut bahasa wakaf berasal dari waqf yang berarti radiah (terkembalikan), al-
tahbis (tertahan) , al-tasbil (tertawan) dan alman’u (mencegah).1 Perkataan wakaf yang
menjadi bahasa Indonesia, berasal dari bahsa Arab dalam bentuk masdar atau kata yang
dijadikan kata kerja atau fi’il waqafa. Kata kerja atau fi’il waqafa ini adakalanya
memerlukan objek (muta’addi). Dalam perpustakaan sering ditemui sinonim waqf ialah
habs Waqafa dan habasa dalam bentuk kata kerja yang bermakna menghentikan dan
menahan atau berhenti di tempat.2 Sedangkan menurut istilah syara, ialah menahan
sesuatu benda yang kekal zatnya, untuk diambil manfaatnya untuk kebaikan dan
kemajuan Islam. Menahan suatu benda yang kekal zatnya, artinya tidak dijual dan tidak
diberikan serta tidak pula diwariskan, tetapi hanya disedekahkan untuk diambil
manfaatnya saja. Ada beberapa pengertian tentang wakaf antara lain:
a. Menurut mazhab syafi’i dan hambali adalah seseorang menahan hartanya untuk
bisa dimanfaatkan di segala bidang kemaslahatan dengan tetap melanggengkan
harta tersebut sebagai taqarrub kepada Allah ta’alaa.
b. Menurut imam Abu Hanafi adalah menahan harta-benda atas kepemilikan orang
yang berwakaf dan bershadaqah dari hasilnya atau menyalurkan manfaat dari
harta tersebut kepada orang-orang yang dicintainya.
c. Menurut mazhab Maliki adalah memberikan sesuatu hasil manfaat dari harta,
dimana harta pokoknya tetap/lestari atas kepemilikan pemberi manfaat tersebut
walaupun sesaat.
d. Menurut Peraturan Pemerintah / PP No.41 tahun 2004 adalah perbuatan hukum
wakif untuk memisahkan sebagian benda miliknya, untuk dimanfaatkan
selamanya atau dalam jangka waktu tertentu sesuai kepentingannya guna
keperluan ibadah atau kesejahteraan umum menurut syariah. Dari definisi
tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa wakaf itu termasuk salah satu
diantara macam pemberian, akan tetapi hanya boleh diambil manfaatnya, dan
bendanya harus tetap utuh.
Oleh karena itu, harta yang layak untuk diwakafkan adalah harta yang tidak habis
dipakai dan umumnya tidak dapat dipindahkan, misalnya tanah, bangunan dan sejenisnya.
Utamanya untuk kepentingan umum, misalnya untuk masjid, mushala, pondok pesantren,
panti asuhan, jalan umum, dan sebagainya.
2.3 Rukun Wakaf dan Dasar-dasar syariah

1. Pewakaf (wakif)
“Orang yang mewakafkan hartanya, dalam istilah hukum Islam disebut wakif.
Seorang wakif haruslah memenuhi syarat untuk mewakafkan hartanya, diantaranya
adalah kecakapan bertindak, telah dapat mempetimbangkan baik buruknya perbuatan
yang dilakukannya dan benar-baner pemilik harta yang diwakafkan itu. Mengenai
kacakapan bertindak, dalam hokum fikih Islam ada dua istilah yang perlu dipahami
perbedaannya yaitu baligh dan rasyid. Pengertian baligh menitikberatkan pada usia,
sedangkan rasyid pada kematangan pertimbangan akal” menurut A.A. Basyir dalam
[ CITATION Ali88 \p 85 \t \l 1033 ].
“Apabila seorang wakif berada dalam keadaan sakit parah keika mewakafkan
hartanya, perbuatan itu dapat dikiyaskan pada wasiat yang akan berlaku setelah ia
meninggal dunia dan jumlahnya tidak boleh melebihi sepertiga dari jumlah harta
kekayaannya, kecuali perwakfan itu disetujui oleh ahli warisnya. Seorang wakif tidak
boleh mencabut kembali wakafnya dan tidak boleh menuntut agar harta yang sudah
diwakafkan dikembalikan ke dalam hak miliknya. Agama yang dipeluk seseorang tidak
menjadi syarat bagi seorang wakif, artinya seorang nonmuslim pun boleh berwakaf asal
tujuannya tidak bertentangan dengan ajaran Islam” menurut A. Wasit Aulawi
dalam[ CITATION Ali88 \p 85-86 \t \l 1033 ].

2. Harta yang Diwakafkan (Mauquf)


Syarat dari harta yang akan diwakafkan adalah : (a) harus tetap zatnya dan dapat
dimanfaatkan untuk jangka waktu yang lama, tetapi haruslah dimanfaatkan untuk hal-hal
yang berguna, halal dan sah menurut hukum. (b) harta yang diwakafkan haruslah jelas
wujudnya dan batas-batasnya (misal yang diwakafkan adalah tanah). (c) harta yang
diwakafkan harus benar-benar kepunyaan wakif dan bebas dari beban hutang orang lain.
(d) harta yang diwakafkan dapat berupa benda mati maupun benda bergerak (misal saham
atau surat-surat berharga lainnya) [ CITATION Ali88 \p 86 \t \l 1033 ].

3. Tujuan Wakaf (Mauquf ‘alaih)


Dalam tujuan harus tercermin siapa yang berhak atas wakaf, misalnya (a) untuk
kepentingan umum, seperti (tempat) mendirikan masjid, sekolah, rumah sakit, dll. (b)
untuk menolong fakir-miskin, anak yatim seperti mendirikan panti asuhan,dll. (c) tujuan
wakaf tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai Ibadah seperti mewakafkan tanahnya
untuk kuburan, pasar, lapangan olah raga, dll [ CITATION Ali88 \p 87 \t \l 1033 ].
4. Lafal atau pernyataan (sighat) wakif
Pernyataan wakif yang merupakan tanda penyerahan barang atau benda yang
diwakafkan, dapat dilakukan dengan lisan atau tulisan. Dengan pernyataan tersebut,
hilanglah hak wakif terhadap bend yang diwakafkannya. Dengan pernyataan wakif yang
merupakan ijab perwakafan telh terjadi, sedangkan pernyataan qabul dari mauquf ‘alaih
yakni orang yang berhak manikmati hasil wakaf itu tidak diperlukan, artinya dalam wakaf
hanya ada ijab tanpa ada qabul [ CITATION Ali88 \p 87 \t \l 1033 ].
Contoh lafal yang diucapkan wakif saat perwakafan : “saya wakafkan tanah milik
saya seluas 200 meter persegi ini, agar dibangun Masjid di atasnya”. Pada lafal wakaf
tidak boleh ada unsur ta’lik (syarat), karena maksud dari wakaf adalah pamindahan
kepemilikan untuk selamanya bukan untuk sementara. Contoh lafal wakaf yang tidak
sah : “saya wakafkan tanah sawah milik saya kepada para fakir miskin selama satu
tahun”[ CITATION sya04 \p 178 \t \l 1033 ].

A. Pewakaf
Kriteria pewakaf:
a. Merdeka
b. Berakal sehat
c. Dewasa (baligh)
d. Tidak berada di bawah pengampuan
Ada kalanya seseorang mewakafkan hartanya, tetapi wakaf tersebut tidak
langsung terlaksana, dan pelaksanaannya dikaitkan dengan keberadaan orang
lain. Ada beberapa hukum wakaf yang berkaitan degan masalah ini:
B. Orang yang mempunyai utang, maka wakafnya ada 3 macam:
1. Jika ia berada di bawah pengampuan karena utang dan mewakafkan seluruh
atau sebagian hartanya, sedang utangnya meliputi seluruh harta yang dimiliki,
hukum wakafnya sah. Tetapi pelaksanaannya tergantung pada kerelaan para
krediturmya

2. Jika ia berada di bawah pengampuan karena utang dan mewakafkan seluruh


atau sebagian hartanya ketika sedang menderita sakit parah, maka wakafnya
sah. Akan tetapi pelaksanaannya bergantung pada kerelaan para kreditor
3. Jika dia tidak di bawah pengampuan karena utang dan mewakafkan seluruh
atau sebgaian hartanya ketika dalam keadaan sehat, maka wakafnya sah dan
dapat dilaksanakan, baik utangnya meliputi seluruh harta yang dimiliki atau
hanya sebagian saja

Apabila pewakaf mewakafkan hartanya ketika sedang sakit parah, dan ketika
mewakafkan harta tersebut dia masih cakap untuk melakukan perbuatan baik (tabarru’),
maka wakafnya sah dan dapat dilaksanaka selama dia masih hidup. Hal ini karena
penyakitnya tidak bisa dipastikan sebagai penyakit kematian. Jika kemudian pewakaf
meninggal, maka hukum wakafnya sebagai berikut:

a. Jika dia meninggal sebagai debitor, maka hukum wakafnya seperti yang telah
diuraikan dalam butir (1) di atas
b. Jika dia meninggal tidak sebagai debitor, maka hukum wakaf yang terjadi
ketika dia sedang sakit keras seperti wasiat. Yaitu jika yang diberi wakaf bukan
ahli warisnya dan harta yang diwakafkan tidak lebih dari 1/3 hartanya, maka
wakaf terlaksana hanya sebatas 1/3 hartanya saja, jika harta yang diwakafkan
lebih dari 1/3, maka kelebihan dari 1/3 tersebut bergantung pada kerelaan ahli
waris sebagai pemilik harta tersebut.

Syarat seorang Nazhir atau pengelola wakaf:


1. Muslim
2. Berakal
3. Dewasa
4. Adil
5. Cakap hokum

C. Mauquf Bih (Harta yang Diwakafkan)


Dalam UU No.41/2004 dinyatakan tidak ada pembatasan dalam jumlah harta
yang diwakafkan.Namun terkait dengan hukum wasiat, maka sangat relevan
bahwa pembatasan wakaf adalah 1/3 dari jumlah harta yang dimiliki.Tujuannya
adalah untuk kesejahteraan anggota keluarga pewakaf.Sebagaiman hadist nabi
Muhammad SAW.
Oleh karena itu, seseorang diharamkan memberikan wakaf yang merugikan
ahli waris. Barang yang diwakafkan harus memenuhi kriteria harta benda yang
bernilai (mutaqowwam), dapat diketahui (ma’lum) dan milik sempurna (tidak
dalam keadaan khiyar).
Syarat sahnya harta wakaf, adalah :

1. Harta yang diwakafkan harus merupakan harta yang bernilai (mal


mutaqowwam). Mutaqowwam adalah segala sesuatu yang dapat disimpan
dan halal digunakan dalam keadaan normal (bukan dalam keadaan darurat)
dan memiliki nilai (harga). Contoh barang yang tidak mutaqowwam yaitu
buku-buku anti Islam, peternakan babi, dan lain sebagainya.
2. Harta yang akan diwakafkan harus jelas sehingga tidak akan menimbulkan
persengketaan.

3. Milik pewakaf secara penuh. Contoh : X mewasiatkan pemberian rumah


kepada Y. Kemudian Y mewakafkannya kepada Z, sementara X masih
hidup. Wakaf ini tidak syah karena syarat kepemilikan pada wasiat ialah
setelah yang berwasiat wafat. Contoh lain mewakafkan barang gadai,
barang curian, dsb.
4. Harta tersebut bukan milik bersama (musya’) dan terpisah. Para ulama
sepakat bahwa harta wakaf tidak boleh berupa harta yang bercampur,
khususnya untuk masjid dan kuburan karena wakaf tidak terlaksana
kecuali harta itu terpisah dan bebas (independen). Contoh : A
mewakafkan sebagian dari harta bersama untuk dijadikan masjid atau
pemakama n maka ini tidak sah dan tidak menimbulkan akibat hukum,
kecuali apabila bagian yang diwakafkan tersebut dipisahkan dan
ditetapkan batas- batasnya.

5. Syarat-syarat yang ditetapkan pewakaf terkait harta wakaf. Syarat yang


ditetapkan pewakaf dapat diterima asalkan tidak melanggar prinsip dan
hukum syariah/wakaf ataupun menghambat pemanfaatan barang yang
diwakafkan.

D. Syarat Mauquf’alaih
Yang dimaksud mauquf’alaih adalah tujuan/peruntukkan wakaf.
Wakaf harus dimanfaatkan dalam batas-batas yang sesuai dan diperbolehkan
syariat Islam. Ada perbedaan pendapat dari para ahli fikih terkait dengan
syarat peruntukkan wakaf yaitu :

1. Mazhab Hanafi, menyaratkan agar peruntukkan wakaf ditujukan untuk


ibadah dan syiar Islam menurut pandangan Islam dan menurut keyakinan
pewakaf.
2. Mazhab Maliki, mensyaratkan agar peruntukkan wakaf untuk ibadat
menurut pandangan pewakaf.
3. Mazhab Syafi’i dan Hambali, mensyaratkan agar peruntukkan wakaf
adalah ibadat menurut pandangan Islam saja, tanpa memandang keyakinan
pewakaf.
4. Imam Syafi’i membagi tempat penyaluran wakaf menjadi 2 bagian, yaitu :
a. Kepada orang-orang tertentu (satu orang atau jamaah tertentu), seperti
wakaf kepada muslim dan wakaf kepada nonmuslim tertentu-kepada
kafir dzimmi dari muslim-adalah sah, sebagaimana Syafiyah binti
Huyyai istri nabi SAW telah mewakafkan kepada saudaranya yang
yahudi. Sedangkan wakaf kepada kafir harbi dan orang murtad dari
muslim tidak sah hukumnya.
b. Kepada pihak yang tidak tertentu , tujuan wakaf ini untuk memberikan
wakaf kepada pihak yang menderita kefakiran dan kemiskinan secara
umum atau untuk Syiar Islam dengan tujuan ibadah adalah sah. Seperti
wakaf kepada fakir miskin, mujahid, masjid, sekolah, pengurusan
jenazah, tempat penampungan anak yatim piatu dan jihad.

E. Syarat Shighat (Ikrar Wakaf)


Pengertian shighat adalah segala ucapan, tulisan atau isyarat dari orang yang
berwakaf untuk menyatakan kehendak dan menjelaskan apa yang diinginkannya.
Namun, shighat wakaf cukup dengan pernyataan/ikrar ijab atau penyerahan dari
pewakaf tanpa memerlukan qabul dari penerima wakaf. Pernyataan dalam bentuk
ijab/penyerahan harus dilakukan karena wakaf adalah melepaskan hak milik atas
suatu benda dan manfaatnya atau dari manfaatnya saja, dan mengalihkannya
kepada pihak lain. Ijab pewakaf mengungkapkan dengan jelas keinginan
/peruntukkan wakaf dari pewakaf.

Adapun lafal shighat wakaf ada dua macam, yaitu :

1. Lafal yang jelas (sharih), dalam lafal ini, tidak ada kata yang mengandung
suatu pengertian lain kecuali wakaf. Ada tiga jenis wakaf yang termasuk
dalam kelompok ini yaitu : 1. Al waqf (wakaf); 2. Al-habs (menahan); 3.
Al-asbil (berderma). Ibnu Qodamah berkata,”lafal-lafal yang sharih (jelas)
yaitu : waqaftu (saya mewakafkan), habistu (saya menahan harta ), dan
sabbaltu (saya mendermakan).
2. Lafal kiasan (kinayah), lafal kinayah merupakan lafal yang menunjukkan
beberapa kemungkinan makna, bisa berarti wakaf bisa juga bermakna lain.
Lafal sedekah atau nazar adalah lafal kiasan jika tidak disertai dengan
indikasi yang mengisyaratkan makna wakaf. Menurut Ibnu Qodimah ,
lafal-lafal kiasan semisal ,”saya bersedekah” atau “saya abadikan”.

Syarat sahnya shighat ijab, baik berupa ucapan maupun tulisan ialah
 Shighat harus munajah (terjadi seketika/selesai). Maksudnya ialah shighat
menunjukkan terjadi dan terlaksananya wakaf seketika setelah shighat ijab
diucapkan atau ditulis. Shighat harus singkat dan tidak bertele-tele, jelas,
dan tegas.
 Shighat tidak diikuti syarat batil (palsu). Maksudnya ialah syarat yang
menodai dasar atau meniadakan hukum wakaf.
 Shighat tidak mengandung suatu pengertian untuk mencabut kembali
wakaf yang sudah dilakukan. Tidak ada syarat yang mengikat, yang bisa
mempengaruhi hakikat wakaf dan bertentangan dengan ketentuan wakaf.
2.4 Syarat-syarat Wakaf
Syarat-syarat sahnya perwakafan sesorang adalah sebagai berikut : (1) Perwakafan benda
itu tidak dibatasi oleh waktu tertentu melainkan selamanya. (2) Tujuannya harus jelas dan
disebutkan ketika mengucapkan ijab. (3) Wakaf harus segera dilaksanakan segera setelah ikrar
wakaf dinyatakan oleh wakif dn tidak boleh menggantungkan pelaksanaannya, jika pelaksanaan
wakaf tertuda hingga wakif meninggal dunia, hukum yang berlaku adalah wasiat yang kemudian
syaratnya, harta yang diwakafkan tidak boleh lebih dari sepertiga harta peninggalan. (4) Wakaf
yang sah wajib dilaksanakan, karena ikrar wakaf oleh wakif berlaku seketika dan selama-
lamanya. (5) Perlu dikemukakan syarat yang dikeluarkan oleh wakif atas harta yang
diwakafkannya, artinya seorang wakif berhak memberikan syarat akan diapakan harta yang ia
wakafkan selama tidak bertentangan dengan hukum Islam [ CITATION Ali88 \p 88-89 \t \l 1033 ].

2.5 Jenis-jenis Wakaf

 Berdasarkan Peruntukan
1) Wakaf ahli (Wakaf Dzurri) atau disebut juga wakaf ‘alal aulad, yaitu wakaf yang
dipeuntukan bagi kepentingan dan jaminan sosial dalam lingkungan keluarga, dan
lingkungan kerabat sendiri.
2) Wakaf Khairi (kebajikan) adalah wakaf yang secara tegas untuk kepentingan agama
(keagamaan) atau kemasyarakatan (kebajikan umum). Seperti wakaf yang diserahkan
untuk keperluan pembangunan masjid, sekolah, jembatan, rumah sakit, panti asuhan anak
yatim dan lain sebagainya. Wakaf jenis ini jauh lebih banyak manfaatnya dibandingkan
dengan jenis wakaf ahli, karena tidak terbatasnya pihak-pihak yang dapat mengambil
manfaat darinya. Dan jenis wakaf inilah yang sesungguhnya paling sesuai dengan tujuan
perwakafan itu sendiri secara umum.
 Berdasarkan Jenis Harta
Dalam Undang-Undang No.41 Tahun 2004 tentang Wakaf, dilihat dari jenis harta yang
diwakafkan, wakaf terdiri atas:
1) Benda tidak bergerak, yang kemudian dapat dibagi lagi menjadi: Hak atas tanah sesuai
dengan ketentuan peraturan perundangundangan
 Bangunan atau bagian bangunan yang berdiri di atas tanah
 Tanaman dan benda bagian lain yang berkaitan dengan tanah
 Hak milik atas satuan rumah susun sesuai dengan ketentuan peraturan
 perundang-undangan Benda tidak bergerak lain sesuai dengan ketentuan prinsip
syariah
 danperaturan perundang-undangan
2) Benda bergerak selain uang, terdiri atas :
 Benda digolongkan sebagai benda bergerak karena sifatnya yang
dapat berpindah atau dipindahkan atau karena ketetapan undangundang.
 Benda bergerak terbagi dalam benda bergerak yang dapat dihabiskan dan yang tidak
dapat dihabiskan karena pemakaian.

 Benda bergerak yang dapat dihabiskan karena pemakaian tidak dapat


diwakafkan, kecuali air dan bahan bakar minyak yang persediaannya
berkelanjutan.
 Benda bergera karena sifatnya yang dapat diwakafkan (kapal, pesawat terbang,
kendaraan bermotor, mesin, logam dan batu mulia).
 Benda bergerak selain uang karena peraturan perundang-undangan yang dapat
diwakafkan sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip syariah (surat berharga, hak
atas kekayaan intelektual, hak atas benda bergerak lainnya).
3) Benda bergerak berupa uang (wakaf tunai, cash waqf) yang merupakan inovasi
dalam keuangan publik Islam (Islamic society finance), karena jarang ditemukan pada
fikih klasik. Berdasarkan beberapa dalil dan pendapat para ulama maka MUI melalui
komisi fatwa mengeluarkan tentang wakaf uang yang intinya berisi sebagai berikut:
 Wakaf uang (cash wakaf/waqf al-Nuqud) adalah wakaf yang dilakukan oleh seseorang,
kelompok orang, lembaga atau badan hukum dalam bentuk uang tunai
 Termasuk ke dalam pengertian uang adalah surat-surat berharga
 Wakaf uang hukumnya jawaz (boleh);
 Wakaf uang hanya boleh disalurkan dan digunakan untuk hal-hal yang dibolehkan
secara syar’i.
 Nilai pokok wakaf uang harus dijamin kelestariannya, tidak bolehdijual, dihibahkan,
dan atau diwariskan.
4) Berdasarkan Waktu
 Muabbad, yaitu wakaf yang diberikan untuk selamanya.
 Mu’aqqot, yaitu wakaf yang diberikan dalam jangka waktu tertentu.
5) Berdasarkan Penggunaan Harta yang Diwakafkan
 Mubayir/dzati yaitu harta wakaf yang menghasilkan pelayanan masyarakat dan bisa
digunakan secara langsung seperti madrasah dan rumah sakit.
 Istitsmary, yaitu harta wakaf yang ditunjukan untuk penanaman modal dalam produksi
barang-barang dan pelayanan yang dibolehkan syara’ dalam bentuk apapun kemudian
hasilnya diwakafkan sesuai keinginan pewakaf.

2.6 Pengurus Wakaf : Nadzir atau Mutawalli


Nadzir adalah seseorang atau badan yang memegang amanat untuk memelihra dan
mengurus harta wakaf sebaik-baiknya sesuai dengan wujud dan tujuannya. Jika Nadzir itu adalah
perorangan, para ahli menentukan beberapa syarat yaitu : (1) telah dewasa, (2) berakal sehat, (3)
dapat dipercaya, (4) mampu menyelenggarakan segala urusan yang berkenaan dengan harta
wakaf, menurut A.A. Basyir dalam[ CITATION Ali88 \p 92 \t \l 1033 ].
Hak-hak seorang wakaf yaitu : (1) Nadzir wakaf berhak melakukan hal yang mendatangkan
kebaikan bagi wakaf yang bersangkutan, namun tidak berhak menggadaikan harta wakaf dan
menjadikannya sebagai jaminan hutang.(2) Nadzir wakaf berhak mendapatkan upah atas jerih
payahnya mengurus harta wakaf, selama melaksanakan tugasnya dengan baik. Besarnya upah
ditentukan oleh wakif biasanya sepersepuluh atau seperdelapan dari hasil tanah atau harta yang
diwakafkan. Yang berhak menetukan Nadzir wakaf adalah wakif, menurut A.A. Basyir dan
Abdurraoef dalam [ CITATION Ali88 \p 92 \t \l 1033 ].

2.7 Perubahan Status, Penggantian Benda dan Tujuan


Menurut para ahli hukum (fikih) Islam, perubahan status dapat dilakukan karena
didasarkan pada pandangan agar manfaat wakaf itu tetap terus berlangsung sebagai Shadaqah
Jariyah, tidak mubazir, tidak rusak, dan tetap berfungsi sebagai mana mestinya. Karena misal :
(1) tanah wakaf ditukar ditempat lain, status tanah wakaf tidak berubah ia tetap adalah tanah
wakaf yang berubah hanya tempatnya. (2) sebagian kecil dari sebuah bangunan yang diwakafkan
rusak sehingga tidak dapat dimanfaatkan lalu diambil bagian bangunan yang rusak untuk
mendirikan bangunan yang baru yang lebi sederhana agar tetap dapat dimanfaatkan secara
optimal. (3) sebuah bangunan yang awalnya diperuntukkan bagi anak yatim diubah menjadi
sekolah atau madrasah karena tempat untuk anak yatim sudah ada yang baru. Semua hal itu bisa
dilakukn asal tujuannya agar tanah atau harta wakaf dapat dimanfaatkan dengan optimal
[ CITATION Ali88 \p 93 \t \l 1033 ].

2.8 Sasaran Dan Tujuan Wakaf


Secara umum, tujuan wakaf adalah untuk kemaslahatan manusia, dengan mendekatkan
diri kepada Allah, serta memperoleh pahala dari pemanfaatan harta yang diwakafkan yang akan
terus mengalir walaupun pewakaf sudah meninggal dunia. Selain itu wakaf memiliki fungsi
sosial, karena sasaran wakaf bukan sekedar untuk fakir miskin tetapi juga untuk kepentingan
publik dan masyarakat luas.
Wakaf memiliki sasaran khusus, yaitu :
a. Semangat keagamaan Sasaran wakaf ini berperan sebagai saran untuk mewujudkan
sesuatu yang diniatkan oleh seorang pewakaf. Dengan wakaf, pewakaf berniat untuk
b. Semangat sosial
Sasaran ini diarahkan pada aktivitas kebajikan, didasarkan pada kesadaran manusia
untuk berpartisipasi dalam kegiatan bermasyarakat.Sehingga, wakaf yang dikluarkan
merupakan bukti partisipasi dalam pembangunan masyarakat.
c. Motivasi keluarga
Motivasi ini ingin menjadikan wakaf sebagai saran untuk mewujudkan rasa tanggung
jawab kepada keluarga, terutama sebagai jaminan hidup di masa depan. Namun
wakaf tidak dapat diperuntukkan untuk diri pewakaf sendiri ataupun pada janin yang
masih dalam kandungan.
d. Dorongan kondisional
Terjadi jika ada seseorang yang ditinggalkan keluarganya, sehingga tidak ada yang
akan menanggungnya. Atau, seorang perantau yang jauh meninggalkan
kluarganya.Dengan wakaf, pewakaf bisa menyalurkan hartanya untuk menyantuni
orang-orang tersebut.
e. Dorongan naluri
Naluri manusia memang tidak ingin lepas dari kepemilikannya.Setiap orang
cenderung ingin menjaga peninggalan harta orang tua atau kakeknya dari kehancuran
atau kemusnahan. Dengan wakaf, maka dia akan terdorong untuk membatasi
pembelanjaan. Dengan berniat wakaf kepada seseorang atau lembaga tertentu, dia
bisa menyalurkan hartanya dengan baik, tidak kuatir terjadi, pemborosan atau
kepunahan kekayaan.
2.9 Ketentuan bagi pengelola wakaf
Pengelola wakaf (Nazhir) adalah pihak yang menerima harta benda wakaf dari
pewakaf untuk dikelola dan dikembangkan sesuai dengan peruntukannya.Pengelola
wakaf mempunyai kedudukan yang penting dalam pewakafan yang bertugas untuk
memelihara dan mengelola harta wakaf. Pengelola wakaf dapat dijalankan oleh
perseorangan maupun lembaga (baik berbadan hukum atau organisasi
kemasyarakatan).Sedemikian pentingnya pengelola wakaf dalam perwakafan, sehingga
berfungsi tidaknya wakaf sangat bergantung

padanya.Meskipun demikian tidak berarti pengelola wakaf mempunyai kekuasaan mutlak


terhadap harta yang diamanahkan / dititipkan kepadanya.
Hal-hal yang wajib dilakukan oleh pengelola wakaf (Alkabisi, 2004),
yaitu:
1) Melakukan pengelolaan dan pemeliharaan barang yang diwakafkan, baik pewakaf
mensyaratkan secara tertulis atau tidak (pendapat jumhur ahli fikih).
2) Sumber dana wakaf harus terus dikelola, baik diperoleh dari dana khusus yang
disiapkan pewakaf untuk pembangunan, ataupun harta wakaf yang siap
dimanfaatkan secara langsung.
3) Melaksanakan syarat dari pewakaf
Pengelola wakaf wajib menjalankan semua syarat-syarat yang dibuat oleh pewakaf
dengan tidak menyalahi aturan syariah dan wakaf.Contoh : menyamaratakan
pembagian atau memprioritaskan pembagian pada mustahik tertentu, atau siapa
yang harus menerima terlebih dahulu saat pembagian hasil, dan dalam hal apa saja
dana itu digunakan.
Pengelola wakaf boleh melanggar syarat pewakaf apabila :
1) Adanya maslahat yang mendorong pengelola wakaf untuk melanggar syarat
tersebut.
2) Perkara itu diajukan ke hadapan hakim, agar pengelola wakaf diberikan izin untuk
melanggar syarat yang telah dibuat oleh pewakaf, karena hakim memiliki hak
perwalian umum.
3) Membela dan mempertahankan kepentingan harta wakaf
4) Usaha ini dapat dilakukan sendiri atau dengan bantuan pihak lain (wakilnya),
seperti pengacara atau penasihat hukum.
5) Melunasi hutang wakaf dengan menggunakan pendapatan atau hasil produksi harta
wakaf tersebut.
6) Menunaikan hak-hak mustahik dari harta wakaf, tanpa menundanya, kecuali terjadi
sesuatu yang mengakibatkan pembagian tersebut tertunda. Misalnya, kebutuhan
mendesak guna merenovasi atau memperbaiki harta wakaf yang menuntut wakaf
dialokasikan untuk kepentingan tersebut, atau melunasi

utang terkait dengan harta wakaf. Hal ini harus didahulukan ketimbang
menyerahkannya kepada para mustahik.
Hal-hal yang boleh dilakukan pengelola wakaf ( Alkabisi, 2004), yaitu :
1) Menyewakan harta wakaf
Pengelola wakaf berwenang untuk menyewakan wakaf jika menurutnya akan
mendatangkan keuntungan dan tidak ada pihak yang melarangnya, sehingga dari
penerimaan itu, pengelola wakaf dapat membiayai hal-hal yang ditentuka oleh
pewakaf atau untuk kepentingan wakaf dan penerima wakaf, seperti membangun,
mengembangkan, maupun memperbaiki kerusakannya.
2) Menanami tanah wakaf
Pengelola boleh memanfaatkan tanah wakaf dengan cara menanaminya dengan
aneka jenis tanaman perkebunan, dengan memperhatikan dampaknya pada tanah
wakaf dan kepentingan para mustahik.
3) Membangun pemukiman di atas tanah wakaf untuk disewakan
Pengelola wakaf berwenang mendirikan bangunan berupa gedung untuk disewakan,
seperti membangun rumah kediaman, dalam hal ini jika keuntungan yang didapat
dari hasil sewa bangunan lebih besar ketimbang jika digunakan untuk lahan
pertanian.
4) Mengubah kondisi harta wakaf menjadi lebih baik dan bermanfaat bagi para fakir
miskin dan mustahik
Dalam hal ini perlu diperhatikan bahwa dalam pengubahan tersebut dia harus
menjaga dan memperhatikan kondisi harta wakaf dan kebutuhan penerima wakaf,
sehingga dapat dipadukan antara pelaksanaan syarat dari pewakaf dan tujuan dari
wakaf.
Hal-hal yang tidak boleh dilakukan pengelola wakaf ( Alkabisi, 2004) :
1) Tidak melakukan dominasi atas harta wakaf, karena dua pihak yang bertransaksi
tidak bolehterkumpul pada satu orang ( misalnya, pengelola wakaf merangkap
sebagai penyewa harta wakaf ). Pengelola wakaf juga tidak boleh menyewakan
harta wakaf kepada orang yang tidak diterima atau

diragukan kesaksiannya, baik orang tua, anak atau istrinya, untuk mencegah
timbulnya fitnah dan untuk berhati-hati dalam melakukan tindakan.
2) Tidak boleh berutang atas nama wakaf, baik melalui pinjaman ataupun dengan
membeli keperluan yang dibutuhkan untuk perawatan harta wakaf secara kredit. Di
mana ia berjanji untuk membayar harganya setelah adanya keuntungan yang
dihasilkan dari harta wakaf. Hal ini untuk menghindari sita atas harta wakaf atau
hasil yang didapatkan untuk dapat melunasi hutangnya, sehingga harta wakaf
menjadi hilang dan para mustahik tidak dapat mendapatkan keuntungan darinya.
3) Tidak boleh menggadaikan harta wakaf dengan membebankan biaya tebusan
kepada kekayaan wakaf, atau dirinya, atau kepada salah seorang mustahik. Hal
tersebut dapat mengakibatkan hilangnya harta wakaf, dan dapat menghilangkan
manfaat dari harta wakaf itu sendiri.
4) Tidak boleh mengizinkan seseorang menggunakan harta wakaf tanpa bayaran,
kecuali dengan alasan hukum. Apabila pengelola wakaf menempatkan seseorang di
rumah wakaf tanpa bayaran, maka orang yang emnempati rumah tersebut haus
membayar ongkos sewa dengan harga yang pantas, baik rumah dalam kondisi siap
pakai maupun tidak.
5) Tidak boleh meminjamkan harta wakaf kepada pihak yang tidak termasuk dalam
golongan peruntukkan wakaf. Sebab, tindakannya itu termasuk dalam pemakaian
harta secara gratis yang menyebabkan tidak adanya keuntungan bagi wakaf dan
mengabaikan hak-hak para mustahik. Orang yang telah meminjam harat wakaf dan
mengambil manfaat darinya harus membayar ongkos sewa dengan harga yang
pantas.
Pengelola wakaf tidak wajib memberikan ganti rugi apabila harta atau sumber
wakaf rusak jika penyebabnya adalah kekuatan besar yang sulit dihindari atau bencana
yang tidak bisa dicegah, sementara dia tidak lalai dalam menjaga harta wakaf tersebut.
Pengelola wakaf diperbolehkan memakan sebagian dari hasil wakaf itu, sesuai dengan
hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar : “Dan tidak ada halangan bagi orang yang
mengurusinya untuk memakan sebagian darinya dengan cara yang ma’ruf (besaran yang
wajar).”

2.10 Akuntansi lembaga wakaf


Secara umum, lembaga wakaf dibentuk atau didirikan untuk mengelola sebuah atau
sejumlah kekayaan wakaf, agar manfaat maksimalnya dapat dicapai untuk kesejahteraan umat
umumnya, dan menolong mereka yang kurang mampu khususnya. Hingga saat ini belum ada
PSAK yang mengatur tentang akuntansi lembaga wakaf. Namun merujuk pada akuntansi
konvensional serta praktik dari lembaga wakaf yang telah beroperasi di Indonesia saat ini, maka
perlakuan akuntansi untuk zakat, infak/sedekah dengan wakaf tidak akan berbeda jauh. Hal ini
disebabkan akuntansi untuk zakat, infak/sedekah harus dilakukan pencatatannya secara terpisah
atas setiap dana yang diterima.

2.11 Permasalahan dalam praktik perwakafan


1) Masalah pemahaman masyarakat tentang hukum wakaf
Pada umumnya masyarakat belum memahami hukum wakaf dengan baik dan
benar, baik dari segi rukun dan syarat wakaf, maupun maksud disyariatkan wakaf.
Selain itu, masih cukup banyak masyarakat yang memahami bahwa benda yang
diwakafkan hanyalah benda tidak bergerak, seperti tanah, bangunan dan benda-benda
tidak bergerak lainnya. Dengan demikian, peruntukkannya pun menjadi sangat
terbatas, seperti masjid , mushalla, rumah yatim piatu, madrasah, dan sejenisnya.
Sehingga perlu disosialisasikan kepada masyarakat perlu dikembangkannya wakaf
benda bergerak, selain benda tidak bergerak.
Pewakaf pun kurang mempertimbangkan kemampuan nadzir untuk mengelola
harta wakaf sehingga tujuan wakaf untuk meningkatkan perekonomian dan
kesejahteraan umat tidak optimal. Sementara di masa lalu cukup banyak wakaf berupa
kebun yang produktif, yang hasilnya diperuntukkan bagi mereka yang memerlukan.
Untuk itu, kompetensi pengelola wakaf harus diperhatikan agar sasaran wakaf dapat
tercapai optimal.

2) Pengelolaan dan manajemen wakaf

Pengelolaan dan manajemen wakaf yang lemah dapat mengakibatkan pengelolaan


harta wakaf tidak optimal, harta wakaf terlantar, bahkan harta wakaf dapat hilang.
Untuk mengatasi masalah ini, paradigma baru dalam pengelolaan wakaf harus
diterapkan. Wakaf harus dikelola secara produktif dengan menggunakan manajemen
modern. Untuk mengelola wakaf secara produktif, ada beberapa yang perlu dilakukan.

3) Selain perumusan konsepsi fikih wakaf dan peraturan perundang- undangan,


pengelola wakaf harus dibina dan dilatih menjadi pengelola wakaf profesional untuk
dapat mengembangkan harta yang dikelolanya, apalagi jika harta itu berupa uang. Di
samping itu, untuk mengembangkan wakaf secara nasional, diperlukan badan khusus
untuk melakukan pembinaan pengelola wakaf, antara lain Badan Wakaf Mesir, Badan
Wakaf Sudan, Badan Wakaf Indonesia, dan lain-lain.

4) Pengelola wakaf adalah salah satu unsur penting dalam perwakafan. Berfungsi atau
tidaknya wakaf sangat tergantung pada kemampuan pengelola wakaf. Apabila
pengelola wakaf kurang cakap dalam mengelola harta wakaf, dapat mengakibatkan
potensi harta wakaf sebagai sarana untuk meningkatkan perekonomian masyarakat
muslim tidak optimal. Bahkan dalam bebagai kasus ada pengelola wakaf yang kurang
memegang amanah, seperti melakukan penyimpangan dalam pengelolaan, kurang
melindungi harta wakaf, dan kecurang-kecurangan lain sehingga memungkinkan harta
tersbut berpindah tangan. Untuk mengatasi masalah ini, hendaknya calon pewakaf
sebelum berwakaf memperhatikan lebih dahulu apa yanfg diperlukan masyarakat, dan
dalam memilih pengelola hendaknya dipertimbangkan kompetensinya

2.12 Penerapan Wakaf di Indonesia


Di Indonesia wakaf diatur sacara formal oleh Negara dalam sebuah lembaga yaitu Badan
Wakaf Indonesia (BWI), dimana Ikrar atau Ijab wakaf dilakukan oleh wakif di depan pejabat
yang berwenang, yaitu Kepala Kantor Urusan Agama (KUA) sebagai Pejabat Pembuat Akta
Tanah Wakaf, kemudian dikeluarkan akta wakaf, jika wakaf itu dalam bentuk tanah maka oleh
Kantor Badan Pertanahan Nasional atau biasa disebut Agraria dikeluarkan sertifikat wakaf
berdasarkan akta wakaf yang dibuat KUA. Dengan dibuatnya akta dan sertifikat wakaf tersebut,
maka harta wakaf itu terlindungi dari penyalahgunaan atau gugatan pihak lain [ CITATION Sur96 \p
131 \t \l 1033 ].

1. Tata Cara Perwakafan Tanah di Indonesia


Tata cara Perwakafan Tanah dan Pendaftarannya : (1) calon wakif harus
melengkapi surat-surat yang diperlukan bagi perwakafan tanah yaitu sertifikat tanah, surat
keteranagan dari Kepala desa dan Camat bahwa tanah tersebut benar-benar milik wakif dan
bebas dari sengketa. (2) wakif mengucapkan ijab kepada nadzir didepan kepala KUA dan
dihadiri minimal dua orang saksi. (3) wakif yang tidak dapat hadir karena sakit parah dapat
menuliskan ijabnya lalu di bacakan didepan nadzir dan kepala KUA. (4) Pejabat membuat Akta
Ikrar wakaf. (5) kapala KUA atas mana nadzir mengajukan permohonan pendaftaran tanah
wakaf kepada Bupati atau Kepala Daerah. (6) dengan telah didaftarkan dan dicatatnya tanah
wakaf tersebut dalam sertifikat tanah milik yang diwakafkan, maka tanah wakaf itu telah
mempunyai pembuktian yang kuat [ CITATION sya04 \p 180-181 \t \l 1033 ].

2. Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) tentang Wakaf Uang


Pada tanggal 11 Mei 2002 M atau 28 Shafar 1423 H, Majelis Ulama Indonesia
telah menetapkan Fatwa tentang wakaf uang yaitu : (a) Wakaf Uang Cash Wakaf / Waqf al-
Nuqud adalah wakaf yang dilakukan seseorang, kelompok orang, lembaga atau badan hukum
dalam bentuk uang tunai. (b) Termasuk kedalam Pengertian uang adalah surat-surat berharga. (c)
Wakaf Uang hukumnya jawaz (boleh). (d) Wakaf Uang hanya boleh disalurkan dan digunakan
untuk hal-hal yang dibolehkan secara Syar’iy. (e) Nilai pokok Wakaf Uang harus dijamin
kelestarinnya, tidak boleh dijual, dihibahkan, dan / atau diwariskan. [ CITATION Ami11 \p 424 \t \l
1033 ].
Menurut Keputusan Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia ke-III tahun 2009 tetang
Masail Fiqhiyyah Mu’ashirah, Masalah yang terkait dengan Wakaf. Ketentuan Hukum Nomor 2
yaitu : Wakaf Uang boleh diubah menjadi wakaf benda, atau sebaliknya wakaf benda boleh
diubah menjadi wakaf uang dengan syarat : (a) manfaatnya lebih besar. (b) keadaan memaksa
untuk itu. (c) benda wakaf boleh dijual dengan ketentuan : adanya hajah dalam menjaga
maksud wakif, hasil penjualannya harus digunakan untuk membeli harta benda lain sebagai
wakaf pengganti, kemanfaatan wakaf pengganti tersebut minimal sepadan dengan benda wakaf
sebelumnya. (d) alih fungsi benda wakaf dibolehkan sepanjang kemashlahatannya lebih
dominan. (e) Nadzir ikut mengerti benar tugas dan tanggung jawabnya sebagai nadzir. Ia juga
wajib menguasai norma-norma investasi. Selama Nadzir mengikuti norma-normanya, maka
kerugian investasinya tidak menjadi tanggung jawabnya [ CITATION Ami11 \p 886-887 \t \l 1033 ].

3. Perkembangan Peraturan Perundang-undangan di Indonesia tentang wakaf


Peraturan perundang-undangan tentang wakaf telah dikeluarkan oleh departemen
agama di zaman kemerdekaan. Antara lain tahun 1953 tantang petunjuk mengenai wakaf, tahun
1956 tentang petunjuk mengenai wakaf yang bukan kemesjidan dan prosedur perwakafan tanah.
Dalam pasal 49 Undang-Undang Pokok Agraria disebutkan tentang hak-hak tanah untuk
keperluan suci dan sosial. Pada tanggal 17 mei 1997 pemerintah mengeluarkan peraturan
pemerintah No. 28 tentang perwakafan tanah milik diiringi dengan seperangkat peraturan
pelaksanaannya oleh Departemen Agama dan Departemen Dalam Negeri dan beberapa Instruksi
Gubernur Kepala Daerah [ CITATION Ali88 \p 78-79 \t \l 1033 ].
Undang-undang Nomor 41 tahun 2004 tentang wakaf : “
BAB III

PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Wakaf berarti menahan harta dan memberikan manfaatnya di jalan Allah SWT
atau dapat dikatakan juga perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan/atau
menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk
jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan atau
kesejahteraan umum menurut syariah. Masih cukup banyak harta benda wakaf, terutama
yang berupa tanah, yang belum dikelola secara baik dan maksimal. Untuk itu perlu
dirumuskan strategi pengelolaan dan menerapkannya dalam rangka pengembangan wakaf
secara berkesinambungan.
Hal ini perlu dilakukan untuk mencapai tujuan wakaf secara umum yaitu untuk
kemaslahatan manusia, dengan mendekatkan diri kepada Allah, serta memperoleh pahala
dari pemanfaatan harta yang diwakafkan yang akan terus mengalir walaupun pewakaf
sudah meninggal dunia serta fungsi sosial yang dimiliki dari wakaf, karena sasaran wakaf
bukan sekedar untuk fakir miskin tetapi juga untuk kepentingan publik dan masyarakat
luas.
Sehingga wakaf menjadi salah satu alternatif pemberdayaan kesejahteraan umat
secara keseluruhan. Hal ini juga tidak lepas dari peranan nadzir sebagai pihak yang
mengelola wakaf untuk menciptakan wakafyang mempunyai potensi sebagai sarana untuk
meningkatkan perekonomian masyarakat muslim secara optimal.
Daftar Pustaka

file:///C:/Users/Yazid/Documents/WAKAF/385895684-WAKAF-AKUNTANSI-SYA.pdf

sumber https://www.academia.edu/17683894/Makalah_Wakaf_Pengertian_wakaf_Rukun_Wakaf_Syarat_Macam-
macam_Wakaf

Anda mungkin juga menyukai