Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH

FIKIH WAKAF

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Akademik Semester Genap

Mata Kuliah: Hukum Zakat dan Wakaf

Dosen Pengampu: SHOFIYATUL MAULA, S.H.I, M.H

Disusun oleh:

1. Siti Neine Dwi Nirmala (2120210034)


2. Heni Wijayanti (2120210049)
3. Nisa Maisaroh (2120210062)

PRODI HUKUM EKONOMI SYARIAH


FAKULTAS SYARIA INSTITUT AGAMA ISLAM
NEGERI (IAIN) KUDUS TP 2023/2024
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan
rahmat serta karunia-Nya kepada kami sehingga kami berhasil menyelesaikan
makalah ini yang Alhamdulillah tepat pada waktunya. Tanpa pertolongan-Nya
mungkin kami tidak akan sanggup menyelesaikan dengan baik.

Dengan membuat tugas ini kami diharapkan mampu untuk lebih mengenal
tentang Fikih Wakaf yang kami sajikan berdasarkan informasi dari berbagai
sumber. Dalam penyelesaian makalah ini, kami banyak mengalami kesulitan,
terutama disebabkan oleh kurangnya ilmu pengetahuan yang menunjang. Namun,
berkat bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak, akhirnya makalah ini dapat
terselesaikan dengan cukup baik. Karena itu, sudah sepantasnya jika kami
mengucapkan terima kasih kepada:

1. Dosen yang telah membimbing kami dalam pembuatan makalah ini.


2. Serta teman-teman kami yang telah member semangat pada kami.

Kami sadar, sebagai seorang mahasiswa yang masih dalam proses


pembelajaran, penulisan makalah ini masih banyak kekurangannya. Oleh karena
itu, kami sangat mengharapkan adanya kritik dan saran yang bersifat positif, guna
penulisan makalah yang lebih baik lagi di masa yang akan datang.

Akhir kata, kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah
berperan serta dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir. Semoga
Allah SWT senantiasa meridhoi segala usaha kita. Amiin.

Kudus, 05 Maret 2023

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..............................................................................................i
DAFTAR ISI............................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................1
Latar Belakang.....................................................................................................1
Rumusan Masalah................................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN........................................................................................2
1. Definisi Wakaf..................................................................................................2
2. Dasar Hukum Wakaf........................................................................................3
3. Syarat dan Rukun Wakaf..................................................................................6
4. Kewenangan Pengelolaan Wakaf.....................................................................9
BAB III PENUTUP...............................................................................................15
Kesimpulan.........................................................................................................15
Saran...................................................................................................................15
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................16

ii
BAB I
PENDAHULUAN

Latar Belakang
Bahasan wakaf banyak dapat kita jumpai dalam litelatur kajian Islam.
Berderet kitab, baik dalam bentuk menuskrip maupun kitab yang terekam dalam
bentuk tulisan modern telah tersaji, sehingga kita sebagai penikmat dengan leluasa
dapat mengkonsumsinya. Dapat dipahami demikian, karena pengkajian terhadap
posisi wakaf sendiri memiliki nilai dan kegunaan yang begitu urgen dalam proses
dakwah dan kesejahteraan umat.
Pembahasan wakaf telah mengalami perkembangan sejalan dengan
tuntutan perubahan zaman. Dimulai dari kajian wakaf klasik hingga inovasi-
inovasi mutakhir berkenaan dengan pengembangan wakaf. Pada abad-abad
terakhir, naluri kajian wakaf mengarah kepada wakaf yang lebih mensejahterakan
ganda. Artinya, selain nilai positif dari wujud benda wakaf itu sendiri, juga
dituntut adanya produktifitas lain yang dapat dirasakan dan berkorelasi positif
dengan misi dakwah demi kesejahteraan umat dari sisi ekonomi. Lebih kongkrit,
wakaf mengarah kepada uang yang lebih nyata produktifitasnya, karena ia mampu
menjadi instrument investasi yang efektif.
Dalam makalah singkat ini, pemakalah mencoba menulis kajian wakaf secara
literalis dengan mencoba memperbandingkannya dengan bahasan wakaf mutakhir.

Rumusan Masalah
Didalam makalah yang berjudul fikih wakaf ini terdapat beberapa rumusan
masalah yaitu:
1. Bagaimana definisi wakaf?
2. Bagaimana dasar hukum wakaf?
3. Bagaimana syarat dan rukun wakaf?
4. Bagaimana kewenangan pengelolaan wakaf?

1
BAB II

PEMBAHASAN

1. Definisi Wakaf
Kata wakaf dalam bahasa Indonesia berasal dari kata ‫ يقف‬- ‫ف‬AA‫ وق‬berarti
“berdiri, berhenti”.Dalam istilah Syara, wakaf berarti penyerahan harta benda
dalam jangka waktu lama kepada seorang nadzir (penjaga wakaf) atau pengurus,
dengan ketentuan bahwa pendapatan atau keuntungannya digunakan untuk hal-hal
yang sesuai dengan ajaran Syariat Islam.1 Dalam hal tersebut, benda yang
diwakafkan bukan lagi hak milik yang mewakafkan, dan bukan pula hak milik
tempat menyerahkan, tetapi ia menjadi hak milik Allah (hak umum).
Wakaf menurut mazhab Hanafi yaitu menahan harta dari hukum
kepemilikan wakif dan disadaqahkan manfaatnya untuk kebaikan. Harta wakaf
pada dasarnya tidak kehilangan kepemilikan dan berhak untuk diambil kembali
dan dijual, karena wakaf sebenarnya mubah, tidak wajib, seperti meminjamkan
barang.
Menurut mazhab Maliki, wakaf tidak melepaskan harta wakaf dari
kepemilikan wakif, tetapi wakaf mencegah wakif untuk melakukan perbuatan
yang dapat melepaskan kepemilikannya dari harta lain, dan wakif berkewajiban
untuk menyerahkan harta wakaf tersebut. manfaat sedekah dan tidak dapat
menarik kembali wakafnya.
Mazhab Syafi'i dan Ahmad bin Hanbal menyatakan bahwa wakaf
melepaskan harta wakaf dari kepemilikan wakif setelah wakaf berakhir dan wakif
tidak boleh melakukan apapun terhadap harta wakaf.2
Menurut sebagian besar ulama, harta adalah harta yang dapat digunakan
selama harta itu masih utuh. Ketika hak pakai wakif berakhir karena keutamaan
yang hanya untuk mendekatkan diri kepada Allah. 3 Harta wakaf atau hasilnya,
dibelanjakan untuk mendekatkan diri kepada Allah. Dengan diwakafkannya harta
itu, maka harta keluar dari pemilikan wakif, dan jadilah harta wakaf tersebut
secara hukum milik Allah. Bagi wakif, terhalang untuk memanfaatkan dan wajib
mendermakan hasilnya sesuai tujuan.

1
arun Nasution, et all., Ensiklopedi Islam Indonesia, Jakarta: Djambatan, 1992, hlm.981
2
Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adilatuhu Juz 8, Beirut: Dar al-fikr, t.th, hlm. 153.
3
Abdurrahman, Masalah Perwakafan Tanah Milik Dan Kedudukan Tanah Wakaf Di Negara Kita,
Bandung: Citra Aditya Bakti, 1994, hlm. 20

2
Dalam Pasal 215 (1) Hukum Islam disebutkan bahwa wakaf adalah
perbuatan hukum seseorang atau sekelompok orang atau badan hukum yang
memisahkan dan melembagakan secara tetap sebagian dari harta miliknya. Ibadah
atau keperluan umum lainnya yang sesuai dengan ajaran Islam.4
Dalam pengertian lain, sebagaimana ditentukan dalam UU RI nomor 41
Tahun 2004, tentang wakaf, mendefinisikan sebagai berikut:
“Wakaf adalah perbuatan hukum wakif untuk melepaskan dan/atau menghibahkan
sebagian hartanya untuk digunakan secara tetap atau selama waktu tertentu demi
kepentingannya guna keperluan ibadah atau kesejahteraan umum menurut aturan
syariah.”5
Walau definisi wakaf berbeda antara satu dengan yang lain, akan tetapi
definisi tersebut nampaknya berpegang pada prinsip bahwa benda wakaf, pada
hakikatnya adalah pengekalan dari manfaat benda wakaf itu. Namun demikian,
dari beberapa definisi dan keterangan di atas, dapatlah ditarik suatu kesimpulan
bahwa wakaf itu meliputi beberapa aspek sebagai berikut:
a. Harta benda itu milik yang sempurna.
b. Harta benda itu zatnya bersifat kekal dan tidak habis dalam sekali atau
dua kali pakai.
c. Harta benda tersebut dilepaskan kepemilikannya oleh pemiliknya.
d. Harta benda yang dilepaskan kepemilikannya tersebut, adalah milik
Allah dalam arti tidak dapat dihibahkan, diwariskan atau
diperjualbelikan.
e. Manfaat dari harta benda tersebut untuk kepentingan umum yang sesuai
dengan ajaran Islam.6

2. Dasar Hukum Wakaf


Walaupun perwakafan yang dimaksud dalam kajian ini tidak dijelaskan
secara eksplisit di dalam Al-Qur’an, namun demikian ada beberapa ayat yang
memerintahkan agar manusia berbuat kebajikan kepada masyarakat. Adapun yang
dijadikan landasan hukum perwakafan adalah:

4
Gani Abdullah, Pengantar Kompilasi Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia, Jakarta: Gema
Insani Press, 1994. pasal 215 ayat 1.
5
Undang-Undang RI no 41 tahun 2004, pasal 1 ayat 1.
6
Ahmad Rofiq, Fiqh Kontekstual: dari Normatif ke Pemaknaan Sosial, Semarang: LSM Damar,
Cet. ke-1, 2004, hlm. 320.

3
a. Al-Qur’an
Tidak ada dalam ayat Al-Qur’an yang secara tegas menjelaskan tentang
ajaran wakaf. Bahkan tidak ada satupun ayat Al- Qur’an yang menyinggung
kata “waqf”, sedangkan pendasaran ajaran wakaf dengan dalil yang menjadi
dasar utama disyari’atkannya ajaran ini lebih dipahami berdasarkan konteks
ayat Al-Qur’an, sebagai sebuah amal kebaikan.7 Ayat-ayat yang berkaitan
dengan wakaf sebagai berikut :

‫ َربَّ ُك ْم َوا ْف َعلُوا‬A‫ َوا ْعبُ ُد ْوا‬A‫ٰيٓاَيُّهَا الَّ ِذي َْن ٰا َمنُوا ارْ َكع ُْوا َوا ْس ُج ُد ْوا‬
‫ ْال َخي َْر لَ َعلَّ ُك ْم تُ ْفلِح ُْو َن‬.
Artinya: Wahai orang-orang yang beriman! Rukuklah, sujudlah, dan sembahlah
Tuhanmu; dan berbuatlah kebaikan, agar kamu beruntung.
(Q.S.Al.Hajj:77).

‫ت َما َك َس ْبتُ ْم َو ِم َّمٓا اَ ْخ َرجْ نَا‬ ِ ‫ٰيٓاَيُّهَا الَّ ِذي َْن ٰا َمنُ ْٓوا اَ ْنفِقُ ْوا ِم ْن طَي ِّٰب‬
‫ْث ِم ْنهُ تُ ْنفِقُ ْو َن َولَ ْستُ ْم‬َ ‫ض ۗ َواَل تَيَ َّم ُموا ْال َخبِي‬ ِ ْ‫لَ ُك ْم ِّم َن ااْل َر‬
‫بِ ٰا ِخ ِذ ْي ِه آِاَّل اَ ْن تُ ْغ ِمض ُْوا ِف ْي ِه ۗ َوا ْعلَ ُم ْٓوا اَ َّن هّٰللا َ َغنِ ٌّي َح ِم ْي ٌد‬
Artinya: Wahai orang-orang yang beriman! Infakkanlah sebagian dari hasil
usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari
bumi untukmu. Janganlah kamu memilih yang buruk untuk kamu
keluarkan, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan
dengan memicingkan mata (enggan) terhadapnya. Dan ketahuilah bahwa
Allah Mahakaya, Maha Terpuji.(Q.S.Al-Baqarah:267).

Ayat ini menjelaskan bahwa barang yang dinafkahkan seseorang haruslah


miliknya yang baik, yang disenanginya, bukan barang yang buruk, yang ia sendiri
tidak menyukainya, baik berwujud makanan, buah-buahan, atau barang-barang
maupun binatang ternak, dan sebagainya.8

b. Al-sunnah
7
Achmad Junaidi dan Thobieb al-Asyhar, Menuju era Wakaf Produktif Sebuah Upaya Progresif
untuk Kesejahteraan Umat, Jakarta: Mitra Abadi Press, Cet. ke-3, 2006.
8
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya, Semarang: CV Wicaksana, Jilid 1, Juz 1-2-3,
hlm. 453.

4
Dari pengertian ini dapat disimpulkan bahwa sunnah nabi bisa berupa sunnah
qauliyah, yaitu hadits-hadits Rasulullah saw yang beliau katakan dalam berbagai
tujuan dan konteks. Sunnah fi’liyah yaitu perbuatan Rasulullah saw, dan sunnah
taqririyah yaitu sesuatu yang timbul dari sahabat Rasulullah saw yang telah diakui
oleh Rasulullah saw baik berupa ucapan maupun perbuatan.9
Para ulama menilai bahwa wakaf itu termasuk kategori sedekah jariah, yang
nilai pahalanya senantiasa mengalir selagi manfaatnya bisa dipetik. Dalam
konteks inilah, maka para ahli fiqih mengemukakan hadits Nabi SAW, yang
berbicara tentang keutamaan sedekah jariah sebagai salah satu sandaran wakaf.
Pengertian amal jariah dalam hadits tidak secara khusus menyatakan wakaf, akan
tetapi perbuatan mewakafkan termasuk shadaqah jariyah.Sabda Nabi SAW: “Dari
bin Umar ra katanya Umar (bapaknya) mendapat bagian tanah/kebun di Khaibar,
ia datang kepada Rasulullah minta pendapat beliau. Kata Umar kepada beliau, hai
Rasulullah saya telah mendapat sebidang tanah di Khibar, belum pernah saya
mendapat suatu harta yang saya anggap lebih berharga dari padanya. Dengan apa
tuan perintahkan kepada saya tentang tanah itu? jawab Rasulullah SAW: jika anda
rela, tanah/kebun itu wakafkan saja, dan hasilnya dermakan, maka oleh Umar
perintah Rasulullah diturutinya. Bahwa tanah itu tidak dijualbelikan, tidak
diwariskan dan tidak pula dihibahkan. Kata bin Umar, maka hasil kebun itu
didermakan Umar kepada fakir miskin, sanak famili, melunaskan penebusan diri
sahaya yang akan memerdekakan dirinya, fisabilillah, ibnu sabil dan buat tamu-
tamu. Bagi pengurus kebun itu dibolehkan mengambil nafkah sederhana daripada
hasilnya, dan memberi makan teman-teman tanpa memboroskannya.”(H. R.
Muslim).

Berdasarkan ayat Al-Qur’an dan Hadits yang dikemukakan di atas, ada anjuran
yang mengandung perintah yang tidak harus dilakukan. Perintah wakaf disini
tidak menunjukkan wajib, sebab wakaf kalau dihukumi wajib, berarti memaksa
kepada orang yang mempunyai harta untuk berwakaf. Perintah ini hanya sunnat,
yang dapat memberikan dorongan kepada orang-orang yang mempunyai harta
untuk beribadah melalui wakaf. Maka dapat dikemukakan bahwa status hukum
wakaf adalah sunnat, yaitu merupakan perbuatan yang sangat mulia, dan akan
diberi pahala atau imbalan bagi siapa yang melakukannya. Meskipun demikian,
tidak dibebani dosa jika tidak melakukannya. Dengan demikian perbuatan wakaf
adalah merupakan anjuran dalam syari’at Islam.

9
Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, Beirut: Dar al-Kutub, 1986. hlm. 45

5
3. Syarat dan Rukun Wakaf
Praktik wakaf memerlukan unsur-unsur (rukun) yang harus memnuhi
persyaratan-persyaratan tertentu. Unsur-unsur yang dimaksud adalah Pewakaf
(waqif), harta yang diwakafkan (mauquf), tujuan wakaf (mauquf alaih),
pernyataan/ikrar wakif (sighat), Nadzir wakaf (pengelola wakaf).
a. Wakif (Pewakaf)
Wakif adalah orang atau orang-orang ataupun badan hukum yang
mewakafkan benda miliknya.10 Jadi wakif tidak hanya perorangan tetapi juga bisa
dalam bentuk organisasi dan badan hukum.11
Wakif atau orang yang mewakafkan amalan wakaf pada hakikatnya adalah
tindakan tabarru’ (melepaskan hak milik tanpa mengharap imbalan), karena itu
syarat seorang wakif adalah cakap melakukan tindakan12 tabarru’.13
Adapun syarat-syaratnya dikemukakan pada pasal 8 UU No. 41 Tahun
2004 dikemukakan dalam pasal wakif perseorangan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 7 huruf a hanya dapat melakukan wakaf apabila memenuhi persyaratan:
a) Dewasa
b) Berakal sehat
c) Tidak terhalang melakukan perbuatan hukum,14
d) Pemilik sah harta benda wakaf.
Sedangkan bagi wakif yang berasal dari organisasi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 7 huruf b hanya dapat melakukan wakaf apabila memenuhi ketentuan
organisasi untuk mewakafkan harta benda wakaf milik organisasi sesuai dengan
anggaran dasar organisasi yang bersangkutan.
Kemudian bagi wakif yang berasal dari badan hukum sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7 huruf c hanya dapat melakukan wakaf apabila memenuhi
ketentuan badan hukum untuk mewakafkan harta benda wakaf milik badan hukum
sesuai dengan anggaran dasar badan hukum yang bersangkutan.
10
Pasal 215 (2) KHI dan pasal 1 (2) PP No. 28 Tahun 1977
11
Pasal 7 UU No. 41 Tahun 2004.
12
Mengenai kecakapan bertindak, dalam hukum fiqh ada dua istilah yang perlu dipahami untuk
membedakannya, yakni baligh dan rasyid. Pengertian baligh menitikberatkan pada usia, dalam hal
ini umumnya ulama berpendapat umur 15 tahun. Adapun yang dimaksud dengan rasyid adalah
cerdas atau kematangan dalam bertindak. Oleh karena itu, menurut Jumhur Ulama’ tidak ada
wakaf yang bisa dilakukan oleh orang bodoh atau pailit (bangkrut). Said Agil Husin Al Munawar
dalam bukunya, Hukum Islam dan Pluralitas Sosial, Jakarta: Penama dani, 2004, h. 136
13
Muhammad Rawas Qal’ah Jay, Mausu’ah Fiqh Umar Ibn Al-Khatab, Beirut, Libanon : Dar Al
Nafais, 1409 H./1989 M, h. 887.
14
Maksud dari tidak terhalang untuk melakukan perbuatan hukum adalah sudah memenuhi kriteria
selain baligh dan berakal sehat juga harus rasyid sebagaimana yang dijelaskan fuqaha’ serta Said
Agil al-Munawar dalam bukunya Hukum Islam Dan Pluralitas Sosial h. 136. Dengan demikian
segala perbuatan dari wakif dapat dipertanggungjawabkan di depan hukum

6
Selain itu, wakaf yang tabarru’ (melepaskan hak milik tanpa mengharap
imbalan), dalam pelaksanaannya tidak diperlukan adanya qabul (ucapan
menerima) dari orang yang menerima wakaf. Namun demikian ketentuan ini perlu
dipahami, bahwa dalam pelaksanaannya hendaknya diikuti dengan bukti-bukti
tertulis, agar tindakan hukum wakaf tersebut mempunyai kekuatan hukum
sekaligus menciptakan tertib administrasi.15
b. Mauquf (harta yang diwakafkan)
Semua harta benda wakaf yang akan diwakafkan menjadi sah, apabila
memenuhi syarat-syarat tertentu. Adapun syarat dari benda yang akan diwakafkan
adalah sebagai berikut:
a) Benda wakaf dapat dimanfaatkan untuk jangka panjang, tidak sekali
pakai. Hal ini karena watak wakaf yang lebih mementingkan manfaat
benda tersebut.
b) Benda wakaf dapat berupa milik pribadi, kelompok atau badan hukum (al
masya’).
c) Hak milik wakif harus jelas batas-batas kepemilikannya, selain itu benda
wakaf merupakan benda milik yang bebas segala pembebanan, ikatan,
sitaan dan sengketa.
d) Harta yang diwakafkan itu haruslah jelas wujudnya dan pasti batasan-
batasannya (misalnya tanah).16
e) Benda wakaf dapat dialihkan hanya jika jelas-jelas untuk maslahah yang
lebih besar.
f) Harta yang diwakafkan itu dapat berupa benda yang bergerak dan yang
tidak bergerak.17
g) Benda wakaf tidak dapat diperjualbelikan, dihibahkan atau diwariskan.
h) Bukan barang haram atau najis.18

c. Mauquf Alaih (Peruntukan Wakaf)


Dalam pelaksanaan wakaf seharusnya Wakif menentukan tujuan dalam
mewakafkan harta benda miliknya, seperti harta wakaf tersebut digunakan untuk
Masjid, pondok pesantren atau yang lainnya. Dalam wakaf yang utama adalah
wakaf itu diperuntukkan untuk kebaikan mencari keridhaan Allah dan
15
Ahmad Rofiq, Hukum Islam Di Indonesia, Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 1995, h.493
16
Said Agil Husin Al Munawar, Hukum Islam dan Pluralitas Sosial, Jakarta: Penamadani, 2004. h.
136-139
17
Undang-undang No.41 tahun 2004 Tentang Wakaf pasal pasal 16
18
Muhammad Rawas Qal’ah Jay, Mausu’ah Fiqh Umar Ibn Al-Khatab, Beirut, Libanon : Dar Al
Nafais, 1409 H./1989 M, h.887

7
mendekatkan diri kepada Nya. Serta tidak diperbolehkan memberikan wakaf
untuk kepentingan maksiat.
d. Sighat (Ikrar Wakaf)
Sighat wakaf ialah kata-kata atau pernyataan yang diucapkan atau
dinyatakan oleh orang yang berwakaf.19
Dalam sighat atau pernyataan wakaf harus dinyatakan dengan tegas baik
secara lisan maupun tulisan, dan disebutkan dengan jelas benda yang diwakafkan,
kepada siapa diwakafkan dan untuk apa dimanfaatkan.20 Sighat tersebut biasanya
menggunakan kata “aku mewakafkan” atau “aku menahan” atau kalimat semakna
lainnya.
Dengan pernyataan wakif tersebut, maka gugurlah hak wakif. Selanjutnya
benda itu menjadi milik mutlak Allah yang dimanfaatkan untuk kepentingan
umum yang menjadi tujuan wakaf.21
Dalam ketentuan UU No. 41/ 2004 pada pasal 18 dinyatakan, dalam hal
wakif tidak dapat menyatakan ikrar wakaf secara lisan atau tidak dapat hadir
dalam pelaksanaan ikrar wakaf karena alasan yang dibenarkan oleh hukum, wakif
dapat menunjuk kuasanya dengan surat kuasa yang diperkuat oleh 2 (dua) orang
saksi. Dari ketentuan UU di atas, maka ikrar wakaf dapat diwakilkan pada
kuasanya, dengan diperkuat oleh dua orang saksi. Dalam hal Pengucapan dan /
atau tulisannya harus memenuhi syarat sebagai dalam UU No. 41/ 2004 pasal 17
Namun, bila wakif mewakafkan dengan wakaf mutlak dan tidak
menyebutkan bagi siapa wakaf tersebut, seperti mengatakan: ”rumah untuk
wakaf,” yang demikian ini sah menurut Malik. Hal ini berbeda dengan pendapat
yang kuat bagi mazhab Syafi’i yang menyatakan bahwa wakaf itu tidak sah,
karena tidak adanya penjelasan siapa yang diwakafi.22

e. Nadzir Wakaf (pengelola wakaf)


Pada umumnya di dalam kitab-kitab fiqih tidak mencantumkan Nadzir
wakaf sebagai salah satu rukun wakaf. Ini dapat dimengerti, karena wakaf adalah
ibadah tabarru’. Namun demikian, memperhatikan tujuan wakaf yang ingin

19
Depag RI, Ilmu Fiqh, h. 216
20
Adijani al-Alabij, Perwakafan Tanah Di Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002, h. 31
21
Ahmad Rofiq, Hukum Islam Di Indonesia,…, h. 497
22
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah 3, Beirut: Daar Al-Fikr, t.th, hlm. 159

8
melestarika manfaat dari benda wakaf, maka kehadiran Nadzir sangat
diperlukan.23
Adapun syarat nadzir menurut pasal 10 UU No.41 tahun 2004 adalah:
1) Perseorangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf a hanya dapat
menjadi Nadzir apabila memenuhi persyaratan:warga negara Indonesia;
beragama Islam; dewasa; amanah; mampu secara jasmani dan rohani; dan
tidak terhalang melakukan perbuatan hukum.
2) Organisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf b hanya dapat
menjadi Nadzir apabila memenuhi persyaratan : pengurus organisasi yang
bersangkutan memenuhi persyaratan nadzir perseorangan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1); dan organisasi yang bergerak di bidang sosial,
pendidikan, kemasyarakatan, dan/atau keagamaan Islam.
3) Badan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf c hanya dapat
menjadi Nadzir apabila memenuhi persyaratan: penguru badan hukum
yang bersangkutan memenuhi persyaratan nazhir perseorangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1 ); dan badan hukum Indonesia yang
dibentuk sesuai dengan peraturan perundang.undangan yang berlaku; dan
badan hukum yang bersangkutan bergerak dibidang sosial, pendidikan,
kemasyarakatan dan/atau keagamaan Islam.

4. Kewenangan Pengelolaan Wakaf


Orang yang mengelola wakaf disebut nazhir. Nazhir adalah sekelompok
orang atau badan hukum yang dipercaya untuk memelihara, mengelola, mengurus
harta benda wakaf.24 Sedangkan dalam pasal 1 (4) UU No. 41 tahun 2004 tentang
pengelolaan Wakaf, menjelaskan bahwa nazhir adalah pihak yang menerima harta
benda wakaf dari wakif untuk dikelola dan dikembangkan sesuai dengan
peruntukannya. Posisi nazhir sebagai pihak yang bertugas untuk memlihara dan
mengurusi harta wakaf mempunyai kedudukan yang penting dalam perwakafan.
Kedudukan nazhir dalam perwakafan, sehingga berfungsi tidaknya wakaf bagi
mauquf ‘alaih sangat bergantung pada nazhir wakaf. Dengan demikian nazhir
mempunyai kekuasaan mutlak terhadap harta yang diamanahkan kepadanya.
Pada umumnya, para ulama telah bersepakat bahwa kekuasaan nazhir
wakaf hanya terbatas pada pengelolaan wakaf untuk dimanfaatkan sesuaidengan

23
Ahmad Rofiq, op.cit., h. 498
24
Imam Suhadi, Wakaf untuk Kesejahteraan Umat, (Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Prima Yasa,
2002), hlm. 32

9
tujuan wakaf yang dikehendaki wakif. Asaf A.A. Fyzee berpendapat sebagaimana
yang dikutip oleh Dr. Uswatun Hasanah, bahwa kewajiban nazhir adalah
mengerjakan segala sesuatu yang layak untuk menjaga dan mengelola harta.
Sebagai pengawas haeta wakaf, nazhir dapat mempekerjakan beberapa wakil atau
pembantu untuk menyelenggarakan urusan-urusan yang berkenaan dengan tugas
dan kewajibannya. Oleh karena itunazhir dapat berupa 25perseorangan, organisasi
maupun badan hukum. Nazhir sebagai pihak yang berkewajiban mengawasi dan
memelihara wakaf tidak boleh menjual, menggadaikan ataupun menyewakan
harta wakaf kecuali diijinkan oleh pengadilan. Ketentuan ini sesuai dengan
masalah kewarisan dalam kekuasaan kehakiman yang memiliki wewenang untuk
mengontrol kegiatan nazhir.
Maka keberadaan harta wakaf yang ada di tangan nazhir dapat dikelola
dan diberdayakan secara maksimal untuk kepentingan kesejahteraan masyarakat
banyak yang bisa dipertanggung jawabkan secara moral dan hukum Allah swt.26
Fungsi dan Tugas Nazhir:
Nazhir berfungsi sebagai orang atau badan hukum yang mempunyai
kewenangan untuk mengelola, memelihara dan mengurus harta benda wakaf dari
wakif sehingga hasilnya dapat ditasharufkan kepada mauquf ‘alaih.
Didalam UU Nomor 41 Tahun 2004 Pasal 11 tentang wakaf menegaskan
tugas-tugas nazhir. Tugas-tugas ini diasumsikan dapat menjamin pengelolaan
benda wakaf secara optimal. Adapun tugas-tugas nazhir yang diatur dalam UU
terssebut yaitu:27

a. Melakukan pengadministrasian harta benda wakaf.


b. Mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf sesuai dengan
tujuan, fungsi, dan peruntukannya.
c. Mengawasi dan melindungi harta benda wakaf.
Hal pertama yang perlu dilakukan dalam kerangka melindungi
harta benda wakaf, pelaksanaan perwakafan itu harus dilakukan
menurut prosedur yang resmi. Karena dalam aturan perwakafan diatur
mengenai ketentuan-ketentuan yang harus dilakukan, termasuk snksi

25

26
Imam Suhadi, Wakaf untuk Kesejahteraan Umat, (Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Prima Yasa,
2002), hlm. 69-70
27
Imam Suhadi, Wakaf untuk Kesejahteraan Umat, (Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Prima Yasa,
2002), hlm. 83-86

10
bagi yang melanggarnya. Aturan perwakafan bersifat preventif dalam
mengantisipasi kemungkinan agar tidak terjadi pelanggaran dalam
pengelolaan wakaf. Contoh dalam upaya perlindungan harta benda
wakaf adalah keharusan nazhir didaftarkan pada Menteri dan BWI
melalui KUA setempat. Kewajiban pendaftaran ini bermaksud untuk
menciptakan tertib hukum dan administrasi wakaf guna melindungi
harta benda wakaf.
d. Melapporkan pelaksanaan tugas kepada BWI (Badan Wakaf
Indonesia).
Laporan yang dibuat nazhir dilakukan secara berskala sebagaimana
diatur dalam UU No 42 Tahun 2006 Pasal 13 ayat (2 dan 3):
Ayat (2) Nazhir wajib membuat laporan secara berskala kepada
Menteri dan BWI mengenai kegiatan perwakafan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).
Ayat (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembuatan
laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), diatur dengan
Peraturan Menteri.

Dari uraian tugas-tugas nazhir di atas dapat dipahami sebenarnya tanggung


jawab nazhir tidaklah ringan. Ia memikul amanat dari umat yang harus ditunaikan
dengan penuh kesungguhan. Bahkan apabila nazhir tidak menunaikan tugas-
tugasnya, berdasarkan Pasal 45 UU Nomor 41 Tahun 2004 ia dapat diancam
untuk diberhentikan dari jabatannya.

Hak dan kewajiban Nazhhir

a. Hak Nazhir
Menurut Muhammad Syafi‟i Antonio dalam pengelolaan wakaf yang
profesinonal terdapat tiga filosofi dasar yaitu: Pertama pola manajemennya harus
dalam bingkai proyek yang terintegrasi, Kedua mengedepankan asas
kesejahteraan nazhir, yang menyeimbangkan antara kewajiban yang harus
dilakukan dan hak yang diterima. Ketiga, asas transparansi dan akuntabilitas,
dimana badan wakaf dan lembaga yang dibantunnya, harus melaporkan setiap
tahun mengenai proses pengelolaan dana kepada umat dalam bentuk audited
financial report. Termasuk kewajaran dari masing-msing pos biayanya.
Karena itu mestinya ada keseimbangan antaratugas atau kewajiban nazhir
dalam mengelola harta wakaf dengan pemberian hak-hak yang menjadi miliknya.

11
Pemberian hak kepada nazhir merupakan bentuk apresiasi atas kinerja yang
dilakukannya. Di samping itu hak yang diterima nazhir dapat memotivasi dirinya
untuk bekerja lebih professional.
Prof. Dr. Jaih Mubarok meniscayakan nazhir sebagai profesi yang
menjanjikan. Menurut beliau, untuk menjadi sebuah profesi yang bonafid kita
jangan terjebak pada pemikiran kecil-kecil saja , yang memikirkan wakaf hanya
dalam bentuk mushola, masjid, dan kuburan saja. Kalau itu yang terpikirkkan,
maka tidak ada gambaran wakaf dapat mendatangkan profit yang menjanjikan.
Maka pemikiran kita harus kreatif dalam mengubah harta benda wakaf menjadi
sesuatu yang produktif dan bernilai. Dengan pengelolaan yang optimal wakaf
dapat mendatangkan hasil yang signifikan. Karena itu sangat logis apabila atas
prestasi yang dilakukannyua seorang nazhir memperoleh hak-haknya.
Menurut ulama Hanafiyah, nazhir berhak menerima upah apabila ia
melaksanakan tugas-tugasnya. Adapun besarnya upah berkisar antara 1/10
(sepersepuluh), 1/8 (seperdelapan), dan sebagainya berdasarkan ketentuan wakif.
Jika wakif tidak menetapkan, maka hakim dapat menetapkan besar upah yang
diterima nazhir. Ulama Malikiyah senada dengan pendapat di atas. Hanya ada
sebagian ulama Malikiyah yang berpendapat jika wakif tidak menentukan upah
nazhir, maka hakim dapat mengambilkan dari kas negara (baitul mal).
Ulama Syafi‟iyah berpendapat pihak yang menetapkan upah nazhir
adalah wakif. Seandainya wakif tidak menetapkan, maka nazhir tidak berhak
memperoleh upah. Nazhir dapat mendapakan upah dengan jalan mengajukan
permohonan gaji kepada hakim. Bila tidak mengajukan maka nazhir tidak berhak
atas upah atau gaji. Sebagian ulama syafi‟iyah berpandangan bahwa nazhir
sebenarnya tidak berhak mengajukan permohonan gaji kecuali sangat
membutuhkan. Mereka menganalogikan nazhir dengan seorang wali harta anak
kecil di mana ia tidak berhak mengambil harta anak itu kecuali secukupnya saja
dengan cara yang ma‟ruf ketika membutuhkan.
Sedangkan menurut Imam Hambali nazhir berhak mendapatkan upah
yang di tentukan wakif. Seandainya wakif tidak menentukan, dalam madzab ini
terdapat dua pendapat; Pertama, tidak halal bagi nazhir memperoleh upah,
melainkan hanya diperbolehkan untuk makan seperlunya. Kedua, nazhir berhak
memperoleh bayaran atau upah sesuai pekerjaan yang menjadi tanggung
jawabnya.

12
Sehubungan dengan masalah hak nazhir, Muhammad Abu Zahrah
berpendapat atas kewajiban yang dilaksanakannya nazhir berhak mendapatkan
upah yang layak sesuai dengan tugas yang diberikan kepadanya. Nazhir
diperbolehkan memperoleh upah yang diambilkan dari hasil pengelolaan benda
wakaf maupun sumber yang lain.
Dari pendapat-pendapat fuqaha‟ di atas dapat dikongklusikan bahwa
jumhur ulama‟ sepakat nazhir memperoleh upah darui pekerjaan yang dilakukan
dalam mengelola wakaf, hak upah itu diambil dari keuntungan pengelolaan wakaf
ataukah sumber lain. Meski demikian pemberian upah nazhir harus seperlunya
saja, tanpa ada maksud untuk memperkaya diri.
Dalam peraturan perundang-undangan persoalan upah nazhir juga diatur
secara singkat. Dalam KHI Pasal 222 menyatakan “ Nazhir berhak mendapatkan
penghasilan dan fasilitas yang jenis dan jumlahnya ditentukan berdasarkan
kelayakan atas saran Majelis Ulama Kecamatan dan Kantor Urusan Agama
Kecamatan setempat”. Ketentuan KHI tersebut belum menentukan kadar upah
yang diberikan kepada nazhir. Ukuran yang digunakan adalah kepantasan atas
saran MUI dan KUA. Berbeda dengan KHI, UU Nomor 41 Tahun 2004 sudah
menetapkan kadar upah yang diterima nazhir. Dalam pasal 12 diatur bahwa
“Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, nazhir dapat
menerima imbalan dari hasil bersih atas pengeolaan dan pengembangan harta
benda wakaf yang besarnya tidak melebihi 10% (sepuluh persen)”.
Ketentuan Pasal 12 UU No 41 Tahun 2004 di atas sangat jelas di mana
upah yang diterima nazhir berasal dari hasil (keuntungan) pengelolaan wakaf
maksimal sebanyak 10% (sepuluh persen). Upah tidak diambil dari substansi atau
pokok harta wakaf, melainkan dari profit atau keuntungan pengelolaan. Karena
kalau upah diambilkan dari harta wakaf, maka harta wakaf itu pada akhirnya akan
habis.28
b. Kewajiban Nazhir
1) Mengurus dan mengawasi kekayaan wakaf serta hasilnya sesuai dengan
tujuan wakaf serta menurut ketentuan yang diatur oleh Menteri Agama,
yaitu meliputi kewajiban-kewajiban:
a. Menyimpan lembar salinan AIW
b. Memelihara tanah wakaf
c. Memanfaatkan dan berusaha meningkatkan hasil wakaf

28
Acmad Arief Budiman, Hukum wakaf administrasi, Pengelolaan dan pengembangan,
Semarang: CV. Karya Abadi Jaya, 2015, hlm. 86-90.

13
d. Menyelenggarakan pembukuan dan administrasi yang meliputi
buku catatan mengenai keadaan tanah wakaf dan pengelolaan
hasil tanah wakaf
2) Membuat laporan secara berkala atas semua hal-hal yang menyangkut
kekayaan wakaf. Laporan tersebut meliputi:
a. Hasil pencatatan wakaf tanah milik dalam buku tanah dan
sertifikatnya kepada KUA
b. Perubahan status tanah milik yang telah diwakafkan dan
perubahan penggunaannya akibat ketentuan pasal 12 dan 13
sebagaimana juga diatur dalam pasal 11 ayat (1) PP.
No.28/1997.
c. Laporan kepada KUA sebagaimana disebut diatas dilaksanakan
setahun sekali.

Kewajiban Nazhir lainnya yaitu:

1) Melaporkan berhentinya seorang anggota nazhir atau lebih sehingga


menyebabkan tidak terpenuhinya syarat yang diatur pasal 8 ayat (1); (2)
mengusulkan pengganti nazhir sebagaimana dimaksud poin (1) di atas
kepada KUA/PAIW untuk kemudian disahkan oleh PPAIW.
2) Menganjurkan atau menyampaikan permohonan, atau laporan perubahan
status dan penggunaan tanah wakaf kepada Bupati/Walikota cq. Kasubdit
Agraria. Selanjutnya, lihat PP. No. 28/1977 Pasal 11 ayat (3).29

BAB III

PENUTUP

Kesimpulan
Kata wakaf dalam bahasa Indonesia berasal dari kata ‫ يقف‬- ‫ف‬AA‫ وق‬berarti
“berdiri, berhenti”.Dalam istilah Syara, wakaf berarti penyerahan harta benda
dalam jangka waktu lama kepada seorang nadzir (penjaga wakaf) atau pengurus,
dengan ketentuan bahwa pendapatan atau keuntungannya digunakan untuk hal-hal
yang sesuai dengan ajaran Syariat Islam. Dasar hukum wakaf yang dijadikan

29
Juhaya S Praja, Perwakafan di Indonesia, Sejarah, pemikiran hukum, dan perkembangannya,
Bandung: Yayasan Piara, 1997, hlm 44-45.

14
landasan hukum perwakafan adalah: Al-Qur’an dan Al-Sunnah. Rukun dan
syaratnya yaitu: Pewakaf (waqif), harta yang diwakafkan (mauquf), tujuan wakaf
(mauquf alaih), pernyataan/ikrar wakif (sighat), Nadzir wakaf (pengelola wakaf).

Orang yang mengelola wakaf disebut nazhir. Nazhir adalah sekelompok


orang atau badan hukum yang dipercaya untuk memelihara, mengelola, mengurus
harta benda wakaf. Sedangkan dalam pasal 1 (4) UU No. 41 tahun 2004 tentang
pengelolaan Wakaf, menjelaskan bahwa nazhir adalah pihak yang menerima harta
benda wakaf dari wakif untuk dikelola dan dikembangkan sesuai dengan
peruntukannya. Posisi nazhir sebagai pihak yang bertugas untuk memlihara dan
mengurusi harta wakaf mempunyai kedudukan yang penting dalam perwakafan.

Saran
Dengan demikian kami sebagai penulis membuat makalah ini yang
berjudul “Fiqih wakaf” yang bertujuan untuk memberikan pengetahuan kepada
masyarakat luas supaya semakin mengetahuinya tentang “Fiqih Wakaf”. Dengan
wakaf merupakan bentuk pemberian yang dapat menumbuhkan rasa
kesetiakawanan yang tinggi, mempersempit kesenjangan social antara yang kaya
dan yang miskin, sehingga bentuk pemberian tersebut sangat dianjurkan.

15
DAFTAR PUSTAKA

Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, Dar al-Kutub, Beirut, 1986.
Abdurrahman, Masalah Perwakafan Tanah Milik Dan Kedudukan Tanah Wakaf
Di Negara Kita, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1994.
Achmad Arief Budiman, Hukum Wakaf Administrasi, pengelolaan dan
pengembangan, Semarang: CV. Karya Abadi Jaya, 2015.
Achmad Junaidi dan Thobieb al-Asyhar, Menuju era Wakaf Produktif Sebuah
Upaya Progresif untuk Kesejahteraan Umat, Mitra Abadi Press, Cet. ke-3,
Jakarta, 2006.
Adijani al-Alabij, Perwakafan Tanah Di Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2002.
Ahmad Rofiq, Fiqh Kontekstual: dari Normatif ke Pemaknaan Sosial, LSM
Damar, Cet. ke-1, Semarang, 2004.
Ahmad Rofiq, Hukum Islam Di Indonesia, Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada,
1995.
Arun Nasution, et all, Ensiklopedi Islam Indonesia, Djambatan, Jakarta, 1992.
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya, CV Wicaksana, Jilid 1, Juz 1-2-
3, Semarang.
Departemen agama, Ilmu Fiqh 3, Jakarta: Depag RI, 1986), cet. Ke-II.
Gani Abdullah, Pengantar Kompilasi Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia,
Gema Insani Press, Jakarta, 1994.
Imam Suhadi, Wakaf untuk Kesejahteraan Umat, Yogyakarta: PT. Dana Bhakti
Prima Yasa, 2002.
Juhaya S Praja, Perwakafan di Indonesia Sejarah, pemikiran hukum, dan
perkembangannya, Bandung: Yayasan Piara, 1997.
Muhammad Rawas Qal’ah Jay, Mausu’ah Fiqh Umar Ibn Al-Khatab, Beirut,
Libanon : Dar Al Nafais, 1409 H./1989 M.
Pasal 215 (2) KHI dan pasal 1 (2) PP No. 28 Tahun 1977.
Said Agil Husin Al Munawar, Hukum Islam dan Pluralitas Sosial, Penama dani,
Jakarta, 2004.
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah 3, Beirut: Daar Al-Fikr, t.th.
Undang-Undang No. 41 Tahun 2004.
Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adilatuhu Juz 8, Beirut: Dar al-fikr, t.th.

16

Anda mungkin juga menyukai